• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persamaan Mononobe

Dalam dokumen hathi (Halaman 156-170)

Apabila data hujan jangka pendek tidak tersedia, dan hanya memiliki data hujan harian maksimum, maka intensitas hujan dapat dihitung dengan persamaan Mononobe (Suripin, 2004) sebagai berikut:

3 2

24 24

24 

 

 

t I R

dengan:

I : intensitas hujan (mm/jam) t : lamanya hujan (jam)

R24 : curah hujan maksimum harian 24 jam (mm) METODOLOGI STUDI

Seperti yang telah diuraikan di atas, studi ini memanfaatkan data curah hujan harian maksimum tahunan yang tercatat selama 16 tahun terakhir pada lima stasiun penakar hujan yaitu BMKG Kota Bandung, stasiun Talaga Bodas, stasiun Lembang, stasiun Padalarang, dan stasiun Cileunyi. Selain data curah hujan harian, studi ini juga menyertakan curah hujan berdurasi pendek yang dalam hal ini hanya tersedia pada stasiun BMKG Kota Bandung. Untuk mengetahui adanya indikasi perubahan curah hujan ekstrem, analisis frekuensi dilakukan pada berbagai variasi panjang data pengamatan dengan menambahkan 1 tahun seri data secara menerus. Hal serupa juga dilakukan untuk seri data curah hujan berdurasi pendek untuk mengetahui ada tidaknya kecenderungan peningkatan intensitas curah hujan yang terjadi di wilayah Kota Bandung. Mempertimbangkan terbatasnya data hujan berdurasi pendek, studi ini memanfaatkan sejumlah metode regresi termasuk metode Mononobe untuk menurunkan lengkung IDF pada berbagai periode ulang dengan memanfaatkan hujan harian 24 jam.

HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN

Perubahan Kecenderungan Curah Hujan Rencana

Berdasarkan hasil analisis frekuensi seri data curah hujan pada Stasiun BMKG Kota Bandung selama 16 tahun terakhir yakni 2001-2016 diketahui curah hujan rencana pada periode ulang 2, 5, 10, dan 25 tahun mengalami kenaikan terhitung sejak tahun 2013 seperti ditunjukan pada Gambar 2 di bawah ini. Hal serupa juga ditunjukkan untuk stasiun hujan Talaga Bodas, Lembang, dan Padalarang, seperti disajikan pada Gambar 3, dimana curah hujan rencana cenderung mengalami kenaikan meskipun tidak cukup signifikan. Sedangkan stasiun hujan Cileunyi, hasil analisis frekuensi yang diperoleh justru mengindikasikan adanya penurunan curah hujan rencana.

Gambar 2. Kecenderungan curah hujan rencana BMKG Kota Bandung

0 20 40 60 80 100 120 140

2 5 10 25

Tinggi Hujan (mm)

Periode Ulang (Tahun)

2001-2010 2001-2011 2001-2012 2001-2013 2001-2014 2001-2015 2001-2016

(a) Stasiun Talaga Bodas (b) Stasiun Lembang

(c) Stasiun Padalarang (d) Stasiun Cileunyi

Gambar 3. Kecenderungan curah hujan rencana pada berbagai stasiun hujan di wilayah Kota Bandung

Gambar 4 di bawah ini lebih lanjut mengindikasikan jumlah kejadian minimum curah hujan harian maksimum tahunan pada BMKG Kota Bandung yang dalam 3 tahun terakhir nilainya menyamai atau bahkan melampaui curah hujan rencana dengan periode ulang 5 dan 10 tahun yaitu sebesar 100,9 mm dan 112 mm secara berurutan. Sedangkan pada Stasiun Talaga Bodas, hasil plotting menunjukkan setidaknya 3 kejadian curah hujan maksimum tahunan yang tercatat dalam 16 tahun terakhir melampaui hujan rencana periode ulang 5 tahun dan khususnya pada tahun 2010 diketahui besarnya hujan harian maksimum tahunan hampir menyamai hujan rencana 25 tahun. Hasil serupa juga ditunjukkan pada Stasiun Lembang dimana tercatat setidaknya 4 kejadian hujan harian maksimum tahunan memiliki nilai melampaui hujan rencana 5 tahunan. Sementara pada Stasiun Padalarang tercatat bahwa dalam 3 tahun terakhir hujan rencana 5 tahunan dan 10 tahunan telah terlampaui setidaknya 1 kali. Hasil yang sangat berbeda diperoleh untuk Stasiun Cileunyi dimana terhitung sejak tahun 2006, hujan harian maksimum tahunan yang terjadi diketahui tidak pernah melampaui hujan rencana 5 tahunan.

Tabel 1. Curah hujan rencana wilayah Kota Bandung dan sekitarnya Periode

Ulang

Curah Hujan Rencana (mm)

BMKG Bandung Talaga Bodas Lembang Padalarang Cileunyi

2 83,1 93,1 73,9 69,8 90,8

5 100,9 122,6 84,8 84,5 110, 2

10 112,0 142,0 90,2 92,5 120,7

25 125,5 166,6 95,7 101,1 132,2

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180

2 5 10 25

Tinggi Hujan (mm)

Periode Ulang (Tahun)

2001-2010 2001-2011 2001-2013

2001-2014 2001-2015 2001-2016

0 20 40 60 80 100 120 140

2 5 10 25

Tinggi Hujan (mm)

Periode Ulang (Tahun)

2001-2010 2001-2011 2001-2012 2001-2013 2001-2014 2001-2015 2001-2016

0 20 40 60 80 100 120 140

2 5 10 25

Tinggi Hujan (mm)

Periode Ulang (Tahun)

2001-2010 2001-2011 2001-2012 2001-2013 2001-2014 2001-2015 2001-2016

0 20 40 60 80 100 120 140

2 5 10 25

Tinggi Hujan (mm)

Periode Ulang (Tahun)

2001-2010 2001-2011 2001-2012 2001-2013 2001-2014 2001-2015 2001-2016

(a) Stasiun BMKG Kota Bandung

(b) Stasiun Talaga Bodas (c) Stasiun Lembang

(d) Stasiun Padalarang (e) Stasiun Cileunyi

Gambar 4. Kejadian hujan harian maksimum tahunan terhadap curah hujan rencana Lebih lanjut, apabila dilakukan pengelompokan hasil analisis hujan rencana, dapat dilihat terdapat 3 buah zona yaitu zona Stasiun Talaga Bodas, zona Stasiun Cileunyi-BMKG Bandung, dan zona Stasiun Padalarang-Lembang. Seperti tersaji pada Gambar 5, Stasiun Talaga Bodas memiliki nilai curah hujan rencana yang jauh lebih tinggi dibandingkan stasiun hujan lainnya. Sebaliknya Stasiun Padalarang dan Lembang memiliki nilai curah hujan rencana terendah. Hal ini menimbulkan keraguan kebenaran data mengingat (1) lokasi Stasiun Talaga Bodas terletak tidak jauh dari BMKG Bandung, dan (2) Stasiun Lembang memiliki elevasi yang jauh lebih tinggi dibandingkan stasiun hujan lainnya.

Kemudian ditinjau dari distribusi hujan maksimum bulanan rata-rata dan hujan harian maksimum tahunan, Gambar 6(a) di bawah ini menunjukkan konsistensi kecenderungan bahwa Stasiun Padalarang dan Lembang secara umum memang memiliki besaran hujan maksimum bulanan rata-rata yang lebih rendah dibandingkan stasiun hujan lainnya. Sedangkan ditinjau dari data hujan harian maksimum tahunan, seperti ditunjukkan pada Gambar 6(b), seluruh stasiun hujan mengindikasikan adanya kecenderungan peningkatan hujan harian maksimum tahunan kecuali Stasiun Cileunyi. Hal ini mengindikasikan ketidakwajaran

0 20 40 60 80 100 120 140

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

R2 R5 R10 R25

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2013 2014 2015 2016

Tinggi Hujan (mm)

Tahun

R2 R5 R10 R25

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

Tinnggi Hujan (mm)

Tahun

R2 R5 R10 R25

0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 120.0

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2013 2014 2015 2016

Tinggi Hujan (mm)

Tahun

R2 R5 R10 R25

0 20 40 60 80 100 120 140

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

Tinggi Hujan (mm)

Tahun

R2 R5 R10 R25

perilaku hujan wilayah terlepas dari kemungkinan adanya pencilan dalam seri data hujan yang tercatat.

Gambar 5. Zonasi hujan rencana untuk Kota Bandung dan sekitarnya

(a) Hujan maksimum bulanan rata-rata (b) Hujan harian maksimum tahunan

Gambar 6. Distribusi hujan maksimum bulanan rata-rata dan hujan harian maksimum tahunan untuk Kota Bandung dan sekitarnya

Perubahan Kecenderungan Intensitas Curah Hujan

Ditinjau dari aspek hujan berdurasi pendek, berdasarkan hasil analisis frekuensi yang diperoleh dari Stasiun BMKG Bandung selama 31 tahun terakhir yakni tahun 1986-2016 terhitung sejak tahun 2006, diketahui adanya kecenderungan kenaikan curah hujan rencana yang cukup signifikan terutama untuk hujan berdurasi di bawah 1 jam. Kenaikan hujan rencana terbesar, sebagaimana ditunjukan pada Gambar 7, terjadi pada hujan berdurasi 5, 10, dan 15 menit untuk periode ulang 2, 5, dan 10 tahun. Hal ini tentunya akan berdampak terhadap kapasitas saluran drainase kawasan yang terletak di wilayah Kota Bandung.

Secara lebih rinci, perubahan intensitas curah hujan juga ditunjukkan oleh lengkung IDF yang diturunkan berdasarkan sejumlah metode regresi yang ada yaitu metode Talbot, Sherman, dan Ishiguro. Seperti yang disajikan pada Gambar 8, diketahui bahwa metode Talbot memberikan penyimpangan terkecil terhadap data curah hujan berdurasi pendek BMKG Kota Bandung dibandingkan dengan metode Sherman dan Ishiguro. Mempertimbangkan bahwa data curah hujan berdurasi pendek tidak tersedia pada stasiun hujan kecuali pada Stasiun BMKG Bandung, studi ini telah mengkaji sejumlah alternatif metode untuk menurunkan lengkung IDF dari data hujan 24 jam termasuk metode Mononobe. Hasil analisis

60 80 100 120 140 160 180 200

0 10 20 30 40 50

Tinggi Hujan (mm)

Periode Ulang (Tahun)

Bandung Talaga Bodas Lembang Padalarang Cileunyi

0 10 20 30 40 50 60 70

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Tinggi Hujan (mm)

Bulan

BMKG Bandung Talaga Bodas Lembang Padalarang Cileunyi 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

Tinngi Hujan (mm)

Tahun

BMKG Bandung Talaga Bodas Lembang Padalarang Cileunyi

yang diperoleh menunjukkan bahwa secara umum lengkung IDF yang diperoleh berdasarkan persamaan Mononobe memberikan nilai intensitas curah hujan yang lebih rendah dibandingkan data pengamatan seperti ditunjukan pada Gambar 9.

Besarnya penyimpangan rata-rata lengkung IDF yang dihasilkan yaitu sebesar 30%, 40%, dan 45% secara berturut-turut untuk periode ulang 2, 5, dan 10 tahun.

(a) Hujan rencana berdurasi pendek T = 2th

(b) Hujan rencana berdurasi pendek T = 5th (c) Hujan rencana berdurasi pendek T = 10th

Gambar 7. Kecenderungan curah hujan rencana berdurasi pendek BMKG Kota Bandung pada berbagai periode ulang

(a) Lengkung IDF pada periode ulang 2 tahun

(b) Lengkung IDF pada periode ulang 5 tahun (c) Lengkung IDF pada periode ulang 10 tahun

Gambar 8. Lengkung IDF menggunakan persamaan Talbot, Sherman, dan Ishiguro

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160

5 10 15 30 45 60 120 180 360 720

Tinggi Hujan (mm)

Waktu (menit)

1986-1995 1986-1996 1986-1997 1986-1998 1986-1999 1986-2000 1986-2001 1986-2002 1986-2003 1986-2004 1986-2005 1986-2006 1986-2007 1986-2008 1986-2009 1986-2010 1986-2011 1986-2012 1986-2013 1986-2014 1986-2015 1986-2016

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160 170 180 190 200

5 10 15 30 45 60 120 180 360 720

Tinggi Hujan (mm)

Waktu (Menit)

1986-1995 1986-1996 1986-1997 1986-1998 1986-1999 1986-2000 1986-2001 1986-2002 1986-2003 1986-2004 1986-2005 1986-2006 1986-2007 1986-2008 1986-2009 1986-2010 1986-2011 1986-2012 1986-2013 1986-2014 1986-2015 1986-2016

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240

5 10 15 30 45 60 120 180 360 720

Tinggi Hujan (mm)

Waktu (Menit)

1986-1995 1986-1996 1986-1997 1986-1998 1986-1999 1986-2000 1986-2001 1986-2002 1986-2003 1986-2004 1986-2005 1986-2006 1986-2007 1986-2008 1986-2009 1986-2010 1986-2011 1986-2012 1986-2013 1986-2014 1986-2015 1986-2016

0 50 100 150 200 250 300

0 100 200 300 400 500 600 700 800

Intensitas Hujan (mm/jam)

Waktu (menit)

Intensitas Hujan Talbot Sherman Ishiguro

0 50 100 150 200 250 300 350

0 100 200 300 400 500 600 700 800

Intensitas Hujan (mm/jam)

Waktu (menit)

Intensitas Hujan Talbot Sherman Ishiguro

0 50 100 150 200 250 300 350 400

0 100 200 300 400 500 600 700 800

Intensitas Hujan (mm/jam)

Waktu (menit)

Intensitas Hujan Talbot Sherman Ishiguro

(a) IDF periode ulang 2 tahun

(b) IDF periode ulang 5 tahun (c) IDF periode ulang 10 tahun

Gambar 9. Lengkung IDF menggunakan persamaan Mononobe untuk periode ulang 2, 5, dan 10 tahun

Untuk memperkecil penyimpangan yang terjadi, persamaan Mononobe perlu dimodifikasi lebih lanjut. Sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 2 di bawah ini, modifikasi persamaan Mononobe dilakukan dengan membagi persamaan menjadi 2 bagian yaitu untuk durasi hujan kurang dari 15 menit dan lebih dari 15 menit.

Nilai pangkat yang cukup berbeda ditemukan terutama pada periode ulang 10 tahun dimana untuk durasi hujan di atas 15 menit besarnya pangkat persamaan adalah 0,843. Meskipun telah dilakukan penyesuaian pangkat, namun hasil plotting persamaan modifikasi masih menunjukkan adanya penyimpangan yang cukup besar. Seperti disajikan pada Gambar 10, besarnya penyimpangan yang terjadi hanya dapat direduksi menjadi 30-35% untuk semua periode ulang. Bahkan untuk waktu konsentrasi yang sangat pendek, persamaan Mononobe modifikasi memberikan nilai intensitas curah hujan yang jauh lebih besar dibandingkan data pengamatan.

Tabel 2. Penyesuaian Pangkat pada Persamaan Mononobe Periode

Ulang Waktu (menit) 5 - 15 15 - 720

2 0.779 0.779

5 0.788 0.788

10 0.789 0.843

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180

0 100 200 300 400 500 600 700 800

Intensitas (mm/jam)

Waktu (menit)

Data Mononobe

0 50 100 150 200 250

0.000 100.000 200.000 300.000 400.000 500.000 600.000 700.000 800.000

Intensitas (mm/jam)

Waktu (menit)

Data Mononobe

0 50 100 150 200 250 300

0.000 100.000 200.000 300.000 400.000 500.000 600.000 700.000 800.000

Intensitas (mm/jam)

Waktu (Menit)

Data Mononobe

(a) IDF periode ulang 2 tahun

(b) IDF periode ulang 5 tahun (c) IDF periode ulang 10 tahun

Gambar 10. Lengkung IDF menggunakan persamaan Mononobe modifikasi untuk BMKG Bandung dengan periode ulang 2, 5, dan 10 tahun

Mengasumsikan bahwa persamaan Mononobe ini dapat diterapkan pada stasiun hujan lain yang hanya memiliki hujan 24 jam, seperti disajikan pada Gambar 11, tampak bahwa Stasiun BMKG Bandung, Padalarang, dan Lembang memiliki lengkung IDF yang hampir sama dan berada di bawah lengkung IDF Stasiun Talaga Bodas dan Cileunyi terutama pada waktu konsentrasi kurang dari 1 jam.

Gambar 11. Lengkung IDF menggunakan persamaan Mononobe modifikasi untuk wilayah Kota Bandung dan sekitarnya pada periode ulang 2 tahun

Menyadari besarnya penyimpangan yang dihasilkan baik dengan persamaan Mononobe maupun persamaan Mononobe modifikasi, studi ini mengupayakan pemanfaatan sejumlah metode regresi lain untuk menghasilkan analisis lengkung IDF yang lebih akurat. Berdasarkan hasil uji coba sejumlah metode regresi yang ada, diketahui bahwa kombinasi metode regresi logarithmic untuk durasi hujan kurang dari 60 menit dan metode regresi power untuk durasi hujan lebih dari 60 menit mampu memberikan hasil pendekatan terbaik seperti disajikan pada

0 50 100 150 200 250 300

0 100 200 300 400 500 600 700 800

Intensitas (mm/jam)

Waktu (menit)

Data Mononobe Mononobe Modifikasi

0 50 100 150 200 250 300 350

0 100 200 300 400 500 600 700 800

Intensitas (mm/jam)

Waktu (menit)

Data Mononobe Mononobe Modifikasi

0 50 100 150 200 250 300 350 400

0 100 200 300 400 500 600 700 800

Intensitas (mm/jam)

Waktu (menit)

Data Mononobe Mononobe Modifikasi

0 50 100 150 200 250 300 350

0 100 200 300 400 500 600 700 800

Intensitas Hujan (mm/jam)

Waktu (Menit)

BMKG Bandung Talaga Bodas Lembang Padalarang Cileunyi 0

50 100 150 200 250 300 350

0 10 20 30 40 50 60

Intensitas Hujan (mm/jam)

Waktu (Menit)

BMKG Bandung T ala ga Bodas Lemba ng Pada lara ng Cileunyi

Gambar 12. Amat disayangkan pendekatan ini hanya dapat diterapkan apabila tersedia data hujan berdurasi pendek.

(a) IDF periode ulang 2 tahun

(b) IDF periode ulang 5 tahun (c) IDF periode ulang 10 tahun

Gambar 12. Lengkung IDF menggunakan kombinasi metode regresi logarithmic dan power

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan

1. Hasil analisis frekuensi pada berbagai variasi panjang data pengamatan menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan curah hujan rencana yang signifikan untuk wilayah Kota Bandung. Sedangkan untuk wilayah lain yaitu Talaga Bodas, Lembang, dan Padalarang, peningkatan curah hujan rencana yang terjadi adalah relatif lebih kecil. Sebaliknya untuk wilayah Cileunyi, hasil analisis menunjukkan adanya kecenderungan penurunan curah hujan rencana.

2. Hasil analisis frekuensi menunjukkan adanya 3 zona/kelompok curah hujan rencana untuk wilayah Kota Bandung dan sekitarnya yaitu zona Talaga Bodas, zona BMKG Bandung-Cileunyi, dan zona Padalarang-Lembang. Hasil zonasi tersebut mengindikasikan diperlukannya pemeriksaan kualitas data hujan mengingat (1) lokasi Stasiun Talaga Bodas terletak tidak jauh dari BMKG Bandung, dan (2) Stasiun Lembang memiliki elevasi yang jauh lebih tinggi dibandingkan stasiun hujan lainnya.

3. Kecenderungan peningkatan intensitas curah hujan yang signifikan pada berbagai periode ulang terjadi untuk hujan berdurasi kurang dari 1 jam.

KesiMPulAn dAn reKoMendAsi Kesimpulan

1. Hasil analisis frekuensi pada berbagai variasi panjang data pengamatan menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan curah hujan rencana yang signifikan untuk wilayah Kota Bandung. Sedangkan untuk wilayah lain yaitu Talaga Bodas, Lembang, dan Padalarang, peningkatan curah hujan rencana yang terjadi adalah relatif lebih kecil. Sebaliknya untuk wilayah Cileunyi, hasil analisis menunjukkan adanya kecenderungan penurunan curah hujan rencana.

2. Hasil analisis frekuensi menunjukkan adanya 3 zona/kelompok curah hujan rencana untuk wilayah Kota Bandung dan sekitarnya yaitu zona Talaga Bodas, zona BMKG Bandung-Cileunyi, dan zona Padalarang-Lembang. Hasil zonasi tersebut mengindikasikan diperlukannya pemeriksaan kualitas data hujan mengingat (1) lokasi Stasiun Talaga Bodas terletak tidak jauh dari BMKG Bandung, dan (2) Stasiun Lembang memiliki elevasi yang jauh lebih tinggi dibandingkan stasiun hujan lainnya.

3. Kecenderungan peningkatan intensitas curah hujan yang signifikan pada berbagai periode ulang terjadi untuk hujan berdurasi kurang dari 1 jam.

4. Modifikasi persamaan Mononobe tidak mampu memberikan hasil analisis lengkung IDF yang memadai. Hasil pendekatan lengkung IDF terbaik dihasilkan dengan memanfaatkan kombinasi metode regresi logarithmic dan power.

rekomendasi

Mempertimbangkan adanya ketidakwajaran seperti yang ditunjukkan pada hasil plotting zonasi curah hujan rencana dan kecenderungan penurunan besaran curah hujan rencana pada Stasiun Cileunyi dibandingkan stasiun hujan lainnya, studi ini merekomendasikan agar dilakukan pemeriksaan kualitas data yang tercatat pada stasiun tersebut. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan melakukan uji konsistensi hujan tahunan suatu stasiun hujan terhadap stasiun hujan lainnya dan membandingkan besaran hujan yang diukur pada stasiun hujan dan TRMM atau data satelit serupa lainnya.

reFerensi

Aryansyah, R., Yudianto, D., dan Wicaksono, A., 2014. Evaluasi perubahan

intensitas curah hujan dan dampaknya terhadap kapasitas saluran drainase di kampus Universitas Katolik Parahyangan, disajikan pada Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air pada tanggal 20 September 2014, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Indonesia.

BMKG (Badan Metereologi Klimatologi dan Geofisika). 2011. Evaluasi cuaca dan sifat hujan Bulan Agustus 2011 serta prakiraan cuaca dan sifat hujan Bulan September 2011. Bulletin Metereologi. Badan Metereologi Klimatologi dan Geofisika Stasiun Metereologi Otorita Batam 1:39.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). 2014. Atlas Bencana Indonesia 2014, ISBN 978-602-14551-8-0.

Hermawan, E. dan Lestari, S. 2007. Analisis Variabilitas Curah Hujan di

Sumatera Selatan dikaitkan dengan Kejadian Dipole Mode. Makalah: Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim LAPAN-Bandung

Prayoga, M.B.R., Sobirin, dan Kusratmoko, E. 2013. Kecenderungan Perubahan Curah Hujan Periode 1980-2009 di Daerah Aliran Way Sekampung, Lampung. Universitas Indonesia.

Suripin, 2004. Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan. Andi, Yogyakarta.

Triatmodjo, B., 2008. Hidrologi Terapan. Beta Offset, Yogyakarta.

AnAlisis KeseiMbAngAn oKsigen terlArut PAdA PerAirAn PertAniAn PAsAng surut

di KAliMAntAn selAtAn

Achmad rusdiansyah

Program Studi Teknik Sipil, Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin [email protected]

intisari

Oksigen terlarut (DO) adalah salah satu variabel terpenting dalam analisis kualitas air.

Konsentrasi rendah secara langsung mempengaruhi dan mengubah keseimbangan ekologis yang sehat. Karena DO dipengaruhi oleh banyak parameter kualitas air lainnya, ini adalah indikator sensitif kesehatan sistem perairan. Karakteristik parameter kualitas air akan berbeda tergantung spesifik lokasi, lahan rawa non pasang surut tidak sama dengan lahan rawa pasang surut. Parameter kualitas air pada lahan rawa pasang surut dengan bercirikan parameter spesifik lokasi yaitu pirit dimana peristiwa oksidasi pirit membutuhkan oksigen.

Akibat oksidasi pirit ini keseimbangan oksigen yang terjadi tidak stabil menjadikan konsentrasi do < 5 ppm.

Kualitas air di lahan rawa pasang surut dapat diperiksa dengan mengembangkan sebuah model numerik kualitas air. Model didasarkan pada penyelesaian numerik persamaan angkutan parameter kualitas air. Didalam persamaannya terdapat konstanta suku source dan sink, dan dalam penelitian ini dimulai dengan mengidentifikasi parameter kualitas air di dalam badan air yaitu source arus, sink bakteri, sink pirit, sink NH3, sink N03, sink sedimen, sink zooplankton dan sink nanoplankton. Dengan demikian terjadi keseimbangan oksigen di badan air akibat konsumsi oksigen oleh parameter kualitas air tersebut. Hasil penelitian ini mendapatkan parameter kualitas air spesifik lokasi lahan rawa yaitu parameter pirit dengan konsumsi oksigen sebesar Besaran ini telah mempengaruhi keseimbangan oksigen di badan air selain faktor reaerasi dengan kecepatan arus yang berfluktuasi akibat pasang surut dan angin. Besaran konsumsi parameter ini dapat dipergunakan sebagai input data solusi pemodelan numerik kualitas air khususnya di lahan rawa.

Kata kunci: kualitas air, oksigen terlarut, konsumsi oksigen, rawa, pirit, lAtAr belAKAng

Lahan rawa umumnya di nilai sebagai ekosistem yang tidak saja marjinal akan tetapi juga rapuh. Akan tetapi, hal ini tidak dapat diartikan bahwa lahan tersebut tidak memiliki potensi untuk dimanfaatkan bagi pengembangan komoditas tanaman pangan, perkebunan dan perikanan. Lahan rawa dapat dijadikan pusat produksi pangan yang berkelanjutan dengan cara pemanfaatan, pengembangan dan pengelolaan yang sesuai, serasi, seimbang dengan ciri, sifat dan kelakuannya.

Teknologi pengembangan lahan rawa sangat dibutuhkan dalam pengembangan lahan rawa baru atau rehabilitasi daerah-daerah yang sudah dibuka. Salah satu kelemahan yang ada saat ini adalah tidak tesedianya data, informasi dan teknologi yang spesifik lokasi secara baik, tepat dan cepat. Teknologi spesifik yang ada pada

suatu lokasi sering diterapkan begitu saja di tempat lain (Susanto, 2002). Dengan demikian pengetahuan yang mendalam mengenai karakteristik suatu lahan rawa sebelum dikembangkan menjadi lahan pertanian, perkebunan dan perikanan adalah hal yang mutlak diketahui.

Manajemen air sering dinyatakan sebagai penyebab utama ketidak berhasilan panen di daerah rawa.. Untuk melihat keterkaitan managemen air daerah rawa dengan komponen pasang surut dan kualitas air, terutama untuk kualitas airnya maka sangat diperlukan adanya penentuan segmentasi kualitas air di tata air makro dan diharapkan akan dapat mengetahui segmentasi penyebaran kualitas air yang bersifat spesifik lokasi. DO adalah salah satu variable penting di dalam analisis kualitas air, lahan rawa pertanian pasang surut dengan konsentrasi DO rendah (4 – 4,5) ppm akan mengganggu langsung kepada keseimbangan ekologi, kehidupan ikan, dan pengembangan pertanian. Sebab DO berpengaruh banyak kepada parameter kualitas air, dan merupakan satu indicator keseimbangan system kehidupan air (equatic system).

DO telah banyak dimodelkan lebih dari 70 tahun yang lalu, seperti persamaan dasar yang dikembangakan dan digunakan oleh Streeter dan Phelps (1925).

Perkembangan selanjutnya dan aplikasi tambahan persyaratan persamaan dasar dianalisis berdasarkan spesifik lokasi, khususnya pemodelan kualitas air daerah rawa pasang surut yang dipengaruh oksidasi pirit mengakibatkan konsentrasi DO rendah (4-4,5) ppm. Persamaan pemodelan DO seperti berikut.

SHUNHEXQDQGDQSHULNDQDQ/DKDQUDZDGDSDWGLMDGLNDQSXVDWSURGXNVLSDQJDQ\DQJ EHUNHODQMXWDQGHQJDQFDUDSHPDQIDDWDQSHQJHPEDQJDQGDQSHQJHORODDQ\DQJVHVXDL VHUDVLVHLPEDQJGHQJDQFLULVLIDWGDQNHODNXDQQ\D

7HNQRORJLSHQJHPEDQJDQODKDQUDZDVDQJDWGLEXWXKNDQGDODPSHQJHPEDQJDQODKDQ UDZDEDUXDWDXUHKDELOLWDVLGDHUDKGDHUDK\DQJVXGDKGLEXND6DODKVDWXNHOHPDKDQ

\DQJDGDVDDWLQLDGDODKWLGDNWHVHGLDQ\DGDWDLQIRUPDVLGDQWHNQRORJL\DQJVSHVLILN ORNDVLVHFDUDEDLNWHSDWGDQFHSDW7HNQRORJLVSHVLILN\DQJDGDSDGDVXDWXORNDVLVHULQJ GLWHUDSNDQEHJLWXVDMDGLWHPSDWODLQ6XVDQWR'HQJDQGHPLNLDQSHQJHWDKXDQ

\DQJ PHQGDODP PHQJHQDL NDUDNWHULVWLN VXDWX ODKDQ UDZD VHEHOXP GLNHPEDQJNDQ PHQMDGLODKDQSHUWDQLDQSHUNHEXQDQGDQSHULNDQDQDGDODKKDO\DQJPXWODNGLNHWDKXL 0DQDMHPHQDLUVHULQJGLQ\DWDNDQVHEDJDLSHQ\HEDEXWDPDNHWLGDNEHUKDVLODQSDQHQGL GDHUDK UDZD 8QWXN PHOLKDW NHWHUNDLWDQ PDQDJHPHQ DLU GDHUDK UDZD GHQJDQ NRPSRQHQSDVDQJVXUXWGDQNXDOLWDVDLUWHUXWDPDXQWXNNXDOLWDVDLUQ\DPDNDVDQJDW GLSHUOXNDQDGDQ\DSHQHQWXDQVHJPHQWDVLNXDOLWDVDLUGLWDWDDLUPDNURGDQGLKDUDSNDQ DNDQ GDSDW PHQJHWDKXL VHJPHQWDVL SHQ\HEDUDQ NXDOLWDV DLU \DQJ EHUVLIDW VSHVLILN ORNDVL'2DGDODKVDODKVDWXvariableSHQWLQJGLGDODPDQDOLVLVNXDOLWDVDLUODKDQUDZD SHUWDQLDQSDVDQJVXUXWGHQJDQNRQVHQWUDVL'2UHQGDK±ppmDNDQPHQJJDQJJX ODQJVXQJ NHSDGD NHVHLPEDQJDQ HNRORJL NHKLGXSDQ LNDQ GDQ SHQJHPEDQJDQ SHUWDQLDQ 6HEDE '2 EHUSHQJDUXK EDQ\DN NHSDGD SDUDPHWHU NXDOLWDV DLU GDQ PHUXSDNDQVDWXLQGLFDWRUNHVHLPEDQJDQV\VWHPNHKLGXSDQDLUequatic system '2WHODKEDQ\DNGLPRGHONDQOHELKGDULWDKXQ\DQJODOXVHSHUWLSHUVDPDDQGDVDU

\DQJGLNHPEDQJDNDQGDQGLJXQDNDQROHK6WUHHWHUGDQ3KHOSV3HUNHPEDQJDQ VHODQMXWQ\DGDQDSOLNDVLWDPEDKDQSHUV\DUDWDQSHUVDPDDQGDVDUGLDQDOLVLVEHUGDVDUNDQ VSHVLILN ORNDVL NKXVXVQ\D SHPRGHODQ NXDOLWDV DLU GDHUDK UDZD SDVDQJ VXUXW \DQJ GLSHQJDUXK RNVLGDVL SLULW PHQJDNLEDWNDQ NRQVHQWUDVL '2 UHQGDK ppm.

3HUVDPDDQSHPRGHODQ'2VHSHUWLEHULNXW ߲

߲ݐሺ׎ܪሻ ൅ ߲

߲ݔሺܷ׎ܪሻ ൅ ߲

߲ݕሺܸ׎ܪሻ ൌ ߲

߲ݔ ൬ܦݔ

߲

߲ݔ ሺ׎ܪሻ൰ ൅

߲

߲ݕ ൬ܦݕ

߲

߲ݕ ሺ׎ܪሻ൰ ൅ ܨሺ׎ሻ 'DODPSHUVDPDDQLQLVXNX)׎DGDODKNRQVWDQWDVXNXVRXUFHGDQVLQN\DLWXVRXUFH DUXVVLQNEDNWHULVLQNSLULWVLQN1+VLQN1VLQNVHGLPHQVLQN]RRSODQNWRQGDQ VLQN QDQRSODQNWRQ NHWHUNDLWDQ DQWDUD NRQVWDQWD WHU[HEXW VHSHUWL SDGD GLDJUDP

*DPEDU

8QWXNPHQJHPEDQJNDQZLOD\DKODKDQUDZDPHQMDGLODKDQSHUWDQLDQGDQSHULNDQDQ SHUOXGLVHOLGLNLWHUOHELKGDKXOXNXDOLWDVDLUWHUXWDPDNDQGXQJDQNRQVHQWUDVLRNVLJHQGL GDODPDLU\DQJPHUXSDNDQSDUDPHWHUSHQHQWXGDULNXDOLWDVDLUWHUVHEXW

Dalam persamaan ini, suku F(∅) adalah konstanta suku source dan sink yaitu source arus, sink bakteri, sink pirit, sink NH3, sink N03, sink sedimen, sink zooplankton dan sink nanoplankton, keterkaitan antara konstanta terxebut seperti pada Gambar 1.

Untuk mengembangkan wilayah lahan rawa menjadi lahan pertanian dan perika- nan, perlu diselidiki terlebih dahulu kualitas air, terutama kandungan konsentrasi oksigen di dalam air yang merupakan parameter penentu dari kualitas air tersebut.

Dissolved Oxygen (DO) adalah suatu parameter kualitas air yang penting, sebab DO mempengaruhi keadaan seluruh makhluk hidup di air yang memerlukan oxygen.

Aktivitas pertanian di lahan rawa dan peristiwa alam dalam suatu daerah tangkapan mempengaruhi tingkatan DO dalam sungai atau badan air lainnya. DO berkaitan dengan oxygen saat ini di dalam air. Pengukuran DO menggambarkan keseimban- gan antara konsumsi dengan penyediaan oxygen, seperti tergambar dalam diagram Gambar 1. Di dalam badan air oxygen dihasilkan oleh :

a. Photosynthesis oleh tumbuhan air.

b. Transfer diffusi oxygen dari atmosfer kedalam air.

*DPEDU'LDJUDPNHWHUNDLWDQXQVXUSDUDPHWHUNXDOLWDVDLUGLEDGDQDLU UDZDSDVDQJVXUXW

Dissolved Oxygen'2DGDODKVXDWXSDUDPHWHUNXDOLWDVDLU\DQJSHQWLQJVHEDE'2 PHPSHQJDUXKL NHDGDDQ VHOXUXK PDNKOXN KLGXS GL DLU \DQJ PHPHUOXNDQoxygen.

$NWLYLWDVSHUWDQLDQGLODKDQUDZDGDQSHULVWLZDDODPGDODPVXDWXGDHUDKWDQJNDSDQ PHPSHQJDUXKL WLQJNDWDQ '2 GDODP VXQJDL DWDX EDGDQ DLU ODLQQ\D '2 EHUNDLWDQ GHQJDQR[\JHQVDDWLQLGLGDODPDLU.3HQJXNXUDQ'2PHQJJDPEDUNDQNHVHLPEDQJDQ DQWDUDNRQVXPVLGHQJDQSHQ\HGLDDQoxygen, VHSHUWLWHUJDPEDUGDODPGLDJUDP*DPEDU 'LGDODPEDGDQDLUR[\JHQGLKDVLONDQROHK

‡ PhotosynthesisROHKWXPEXKDQDLU

‡ Transfer diffusi oxygenGDULDWPRVIHUNHGDODPDLU 'LGDODPEDGDQDLUR[\JHQGLEXWXKNDQROHK

‡ 7XPEXKWXPEXKDQGDQELQDWDQJDLUPHODOXLSHUQDSDVDQ

‡ 3HPEXVXNDQ]DW]DWRUJDQLNPLFURRUJDQLVPHGDODPBiological Oxygen Demand%2'

‡ 5HDNVLNLPLDPHPHUOXNDQoxygenGDODPChemical Oxygen Demand&2'

‡ 5HDNVLRNVLGDVLSLULWGDQ

‡ 3HPDQDVDQVXKXXGDUDPHOHELKL&DLUVHJDUSDGD&GDSDWPHQFDSDL NRQVHQWUDVLoxygenPJ/

2OHKNDUHQDQ\DWLQJNDWNRQVHQWUDVL'2GDSDWEHUXEDKVDQJDWFHSDWGDQIOXNWXDVL\DQJ EHUDUWLVHODPDMDP

0DNVXG3HQHOLWLDQLQLDGDODK

0HQHQWXNDQLGHQWLILNDVL XQVXUXQVXU]DW\DQJ DGDGL GDODP EDGDQ DLUNKXVXVQ\DGL SHUDLUDQUDZDSHUWDQLDQSDVDQJVXUXW

D

D

D

D

D

D

D

E

E

Ki Ko

Atmosfer

D O

Bakteri,Jamur

ZooPlankton

NanoPlankton Pengolahan

Pertanian

OksidasiPirit AmmoniaNH3

NitriteNO2

NitrateNO3 Sedimen E

E

Gambar 1. Diagram keterkaitan unsur parameter kualitas air di badan air rawa pasang surut

Di dalam badan air oxygen dibutuhkan oleh :

a. Tumbuh-tumbuhan dan binatang air melalui pernapasan.

b. Pembusukan zat-zat organik microorganisme dalam Biological Oxygen Demand (BOD).

c. Reaksi kimia memerlukan oxygen dalam Chemical Oxygen Demand (COD).

d. Reaksi oksidasi pirit, dan

e. Pemanasan suhu udara melebihi 25-350 C, air segar pada 00 C dapat mencapai konsentrasi oxygen 14,6 mg/L.

Oleh karenanya, tingkat konsentrasi DO dapat berubah sangat cepat dan fluktuasi yang berarti selama 24 jam.

MAKsud PenelitiAn ini AdAlAh:

Menentukan/identifikasi unsur-unsur/zat yang ada di dalam badan air khususnya di perairan rawa pertanian pasang surut.

tujuan Penelitian ini adalah:

Menganalisis hubungan keterkaitan antara unsur/zat parameter kualitas air dan mengetahui konsumsi oksigen (oxygen uptake) oleh unsur-unsur/zat di dalam badan air yang mempengaruhi keseimbangan konsentrasi dissolved oxsigen (DO).

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat menjadi data dasar yang memperkaya basis data mengenai rawa. Pengetahuan yang tepat mengenai karakteristik kualitas air akan memandu pemahaman yang benar dalam menentukan konsep penanganan lebih lanjut.

Dalam dokumen hathi (Halaman 156-170)