• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

kesimpulan tersebut.

20

 Jalal al-Din al-Suyuṭi dalam al-Itqan fi ulum Al- Qur‟an, menyebutkan bahwa kata tafsir adalah bentuk maṣdar dari kata fassara yang artinya al-bayanwa al- kasyfu (penjelasan dan penyingkapan). Ada pendapat yang mengatakan bahwa kata fassara merupakan kata jadian yang ditukar dari kata safara, dalam hal ini bisa disebutkan asfara al-ṣubḥiża (subuh telah pergi apabila telah menghilang). Pendapat lain mengatakan bahwa ia terambil dari kata al-tafsiāh yang artinya al- ism lima ya‟rifu bihi al-ṭbibu maraḍa (nama untuk sesuatu yang digunakan oleh dokter untuk dapat mengetahui penyakit pasien).3

b. Pengertian tafsir menurut terminologi

Secara terminilogi tafsir adalah penjelasan terhadap kalamullah atau menjelaskan lafal Al-Qur‟an dan pemahamannya.4 Pandangan yang sama diungkapkan oleh Al- Qaṭṭan, bahwa tafsir adalah ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, menjelaskan maknanya serta mengeluarkan hokum dan hikmahnya.5

 Menurut al Kilabi di dalam at-Tashil, Tafsir adalah menjelaskan Al-Qur‟an, menerangkan maknanya, dan menjelaskan apa yang dikehendaki nash, isyarat, atau tujuannya.

3 Jalal al-Din al-Suyuṭi al-Syafi‟I, (selanjutnya ditulis al-Suyuṭi), al-Itqan fi Ulum al-Qur‟an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), hlm. 173.

4 Abdul Hamid Al-Bilali, Al-Mukhtaṣar Al-Masḥun Min Kitab Al-Tafsir Wa Al- Mufasyirun (Kuwait: Dar al-Dakwah, 1405).

5 Manna‟ Khalil Qaṭṭan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an (Jakarta Timur: Pustaka al- Kauṡar, 2008).

 Menurut Abu Hayyan, tafsir adalah ilmu menhenai cara pengucapan kata-kata Al-Qur‟an serta cara mengungkapkan petunjuk, kandungan-kandungan hukum dan makna-makna yang terkandung di dalamnya.6

2. Metode Tafsir

Kata metode berasal dari bahasa yunani methodos yang berarti jalan atau cara. Diserap dalam bahasa inggris yaitu method, sementara dalam bahasa Arab yakni manhaj atau ṭariqah, berdasarkan KBBI kata metode yakni cara yang teratur serta berfikir baik-baik agar mencapai tujuan (pada ilmu pengetahuan dan sebagainya), cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai suatu tujuan tertentu.7 Pada petunjuk ilmu tafsir Al-Qur‟an ada dua metode yakni: metode tafsir serta metodologi tafsir.

Metode tafsir ialah cara yang digunakan seorang mufassir untuk menafsirkan atau menjelaskan ayat-ayat Al-Qur'an menurut kaidah-kaidah yang telah dirumuskan dan diakui kebenarannya agar sampai dengan tujuan penafsiran.8 Sedangkan metodologi tafsir adalah ilmu yang membahas cara yang teratur dan terpikir baik untuk mendapatkan pemahaman yang benar dari ayat-ayat Al-Qur‟an sesuai kemampuan manusia.9 Jadi metode tafsir ialah kaidah atau kerangka digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an sementara

6 Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, (Pustaka Setia: Bandung, 2000), hlm. 141.

7 Tim Penyusun. Kamus Bahasa Indonesia. Cet. Ke-1 (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), hlm. 580-581.

8 Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Al-Qur‟an dan Tafsir, (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2019), Cet ke-1, hlm. 17.

9 Hadi yasini, “Mengenal Metode Penafsiran Al-Qur‟an,” Tadzhib Akhlaq 1,(2020):

h. 40.

Metode Tafsir Mauḍu‟i (tematik), adalah suatu cara menafsirkan Al-Qur‟an dengan mengambil tema tertentu, kemudian mengumpulkan ayat-ayat yang berkaitan dengan tema tersebut, lalu dijelaskan satu persatu dari sisi semantisnya serta penafsirannya, dihubungkan satu dengan yang lain sehingga membentuk suatu gagasan yang komprehensip dan utuh mengenai pandangan Al- Qur‟an terhadap tema yang dikaji.10

Menurut al-Farmawi ada dua bentuk metode mauḍu‟i, Mauḍu‟i berdasarkan tema dan berdasarkan surat.

a) Berdasarkan Tema

Bentuk pertama ini menghimpun pesan-pesan yang tidak hanya terdapat pada satu surat saja.11 Tafsir dengan metode mauḍū‟i adalah menjelaskan konsep Al-Qur‟an tentang suatu permasalahan/tema tertentu dengan cara menghimpun seluruh ayat Al-Qur‟an yang berbicara tema tersebut. Kemudian masing-masing ayat tersebut di kaji seara mendalam, komprehensif dan tuntas dari berbagai aspek kajiannya. Baik dari segi munasabahnya, makna kosa katanya, asbāb al-nuzūl-nya, pendapat para mufassir mengenai makna masing-masing ayat seacar parsial, serta aspek-aspek lainnya yang dipandang penting. Ayat-ayat tersebut dipandang sebagai satu kesatuan yang integral membicarakan suatu tema (mauḍū‟i) tertentu

10 Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Al-Qur‟an dan Tafsir, (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2019), Cet ke-1, hlm. 19.

11 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an, Tafsir Maudhu‟I atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1997), h. xiii.

didukung oleh berbagai data dan fakta, dikaji secara rasional dan ilmiah.12

Tahapan dalam mengikuti metode ini ialah:

1. Menetapkan serta menentukan kasus dalam Al-Qur‟an yang akan dikaji seacara tematik;

2. Menghimpun serta menelusuri ayat-ayat berkaitan masalah yang ditetapkan, ayat madaniyyah juga ayat makiyyah;

3. Mengurutkan ayat-ayat tersebut secara runtut berdasarkan kronologi masa turunnya, disertai pengetahuan yang berkenaan dengan asbāb al-nuzūl atau latar belakang turunnya ayat;

4. Mengetahui munasabah ayat-ayat tersebut di dalam masing masing suratnya;

5. Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang sistematis, utuh (outline), sempurna;

6. Melengkapi uraian dan pembahasan dengan hadis, bila dianggap perlu, sehingga pembahasan menjadi semakin jelas dan semakin sempurna;

7. Mempelajari secara menyeluruh ayat-ayat tersebut secara tematik dengan cara mengumpulkan ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, titik temu antara pengertian yang muṭlaq dan muqayyad, antara yang „ām dan khāṣ, menyesuaikan ayat-ayat yang tumbuh tampak kontradiktif, menguraikan ayat yang nāsikh dan mansūkh, sehingga semua ayat terkumpul menjadi satu

12 Acep Hermawan, Ulumul Qur‟an: Ilmu Untuk Memahami Wahyu, (Bandung:

Remaja Posdakarya, 2011), h. 118-119.

kesatuan tanpa adanya kontradiksi dan perbedaan atau upaya mengklaim beberapa ayat terhadap makna yang tidak tepat.13 Contoh kitab tafsir mauḍū‟i seperti Al-Riba fi Al-Qur‟an karya Abu al-A‟la al-Maududi, Al-Mar‟ah fi Al-Qur‟an karya Abbas Mahmud al-„Aqqad, kitab Min Haża Al-Qur‟an karya Mahmud Syaltut.14 b) Berdasarkan Surat

Yakni menguraikan suatu surah secara keseluruhan dan menjelaskan isi kandungan surah tersebut, baik bersifat umum maupun khusus serta menjelaskan keterkaitan antara tema satu dengan yang lainnya, sampai surah tersebut nampak merupakan suatu pembahasan yang sangat kohoh dan cermat.15

Langkah-langkah yang harus ditempuh adalah:

1. Identifikasi nama-nama surat

2. Deskripsi tujuan surat dalam Al-Qur‟an 3. Penguraian surat ke dalam beberapa bagian

4. Penghimpunan beberapa tema ke dalam tema utama.16

Contoh kitab tafsirnya seperti al-Futūḥāt al-Rabbāniyyah fi al-Tafsir al-Muḍū‟I li al-āyāt Al-Qur‟āniyyah karya al-Ḥusain Abu Farhah, Tafsir Qur‟ān al-Karim karya Syaikh Maḥmud Syaltut, dan Naḥwa Tafsir al-Mauḍū‟I li suwar Al-Qur‟an al-Karim karya Muhammad Ghazali.

13 Abdul Hayyi Al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tfsir al-Mudhu‟I, Terj. In Surya A.

Jamrah, (Jakarta: Raja Grafindonesiao, 1996), Cet ke-2, hlm.45-46.

14 Said Agil Husin al-munawar dan Masykur Hakim, I‟jaz Al-Qur‟an dan Metodologi Tafsir, (Semarang: Dina Utama Semarang (Dimas), 1994), h. 40.

15 Abdul Hayyi Al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tfsir al-Mudhu‟I, Terj. In Surya A.

Jamrah, (Jakarta: Raja Grafindonesiao, 1996), Cet ke-2, hlm. 35.

16 Muṣṭafā Muslim, Mabāḥiṡ fi al-Tafsir al-Mauḍu‟I, (Damaskus: Dār al-Qalam, 2000), h. 28-29.

dan arti dalam suatu bahasa pada umumnya. Semantik juga banyak membahas sejarah makna, ilmu makna, mengapa terjadi perubahan makna dalam sejarah bahasa dan bagaimana perkembangannya.

Semantik mencakup dua bagian, pertama bagian yang menerjemahkan berupa bentuk bunyi bahasa. Kedua bagian yang diterjemahkan atau substansi pada bagian pertama tersebut. Kedua bagian ini merupakan tanda, sementara itu yang dilambangkan atau ditandai ialah objek yang berada diluar bahasa yang konvensional dinamakan hal yang ditunjuk dan referen.20 Signifikansi bahasa beragam sesuai situasi penggunaannya pada kalimat. Oleh karenanya, pada analisis semantik harus disadari bahwa bahasa itu bersifat unik atau mempunyai hubungan erat dengan masalah budaya. Alhasil, analisis suatu bahasa dapat berlaku untuk bahasa itu saja dan tidak dapat digunakan untuk mengkaji bahasa lain. Dalam upaya mencari signifikansi pada bahasa, semantik mempunyai tiga bentuk. Pertama memberikan definisi hakikat makna kata. Kedua mendefinisikan hakikat makna kalimat. Ketiga menjelaskan proses komunikasi. Pada cara yang pertama, makna kata diambil sebagai bentuk, yang dalam bentuk itu makna komunikasi dan kalimat dapat dijelaskan. Pada cara kedua, makna kalimat dipetik sebagai dasar, sedangkan kata-kata dipahami sebagai pemberi yang sistematik terhadap makna kalimat.

Pada cara yang ketiga, baik makna kata ataupun makna kalimat dijelaskan dalam batas penggunaannya pada langkah komunikasi.21 Semantik memiliki hubungan dengan ilmu lain, baik ilmu bahasa

20 Abdul Chair, Pengantar Semantik, h. 2.

21 Mansur Pateda, Semantik Leksikal, (Flores: Nusa Indah, 2001), h. 9.

maupun nonbahasa. Ilmu yang berhubungan antara lain ialah morfologi, fonologi, sintaksis, dan sastra.22

Pertama Morfologi mempunyai hubungan erat dengan semantik. Perihal ini dikarenakan pembentukan kata yang salah akan mengakibatkan makna kata tersebut berbeda atau bahkan tidak bermakna. Kedua Fonologi yakni ilmu tentang bunyi (fonem) yang merupakan unsur paling kecil dari bahasa. Fonem sebuah kata yang memiliki perbedaan akan membuat perbedaan makna. Keterkaitan semantik dengan fonologi yaitu sabagai ilmu yang mempelajari kaidah bentuk dan pembentukan kata.

Ketiga Sintaksis yaitu cabang linguistik yang mempelajari kalimat serta bagian-bagiannya. Sintaksis sebagai cabang ilmu bahasa yang mengulas kalimat, asal-usul wacana, frasa dan klausa. Akan mudah dipahami maknanya kalimat yang tersusun secara teratur dibanding kalimat yang susunannya tidak teratur. Fungsi sintaksis tersebut harus tersusun secara valid agar makna kalimat mudah dipahami. Sebuah kalimat tersusun dari beberapa fungsi sintaksis seperti subjek, objek, predikat, serta keterangan. Keempat Sastra yakni karya fiksi yang mengambil bahasa sebagai media penyampaian menggunakan semantik. Akan tetapi, berbeda dengan bahasa sehari-hari dan bahasa ilmiah, bahasa sastra ialah salah satu bentuk idiosyncratic, yakni kata-kata yang diambil ialah hasil kreasi ekspresi penulisnya. Implementasi gaya bahasa yang tidak alamiah dalam bahasa sehari-hari ataupun bahasa ilmiah yang ditemui dalam

22 Mohamad Jazeri, Semantik: Teori Memahami Makna Bahasa, (Tulungagung:

Tulungagung Pres, 2012), h. 8.

karya sastra. Bahasa alegoris dan metaforis menjadi komponen yang membuat sebuah karya sastra menarik dimaknai serta dibaca.23

Adapun keterkaitan semantik pada non-linguistik mencakup psikologi, sosiologi, antropologi, dan filsafat. keterkaitan semantik dengan psikologi terlihat dalam sejumlah aliran pada psikologi yaitu kognitivism dan behaviorisme. Psikologi kognitivisme berpendapat bahwa makna bahasa berkaitan dengan aspek kejiwaan dalam kaitannya dengan konteks pemakaiannya dan referen yang diacu.

Psikologi behavioris memahami makna berdasarkan respon dan relasi stimulus sesuai dengan hasil belajar yang dimiliki dan asosiasi Sebuah kata bisa mempunyai makna yang berbeda sesuai konteks penggunaannya.24 keterkaitan pada sosiologi sebagaimana ada ungkapan bahasa yang menunjukkan bangsa yang menggambarkan hubungan antara semantik dengan sosiologi. Kalimat atau kata yang digunakan masyarakat tertentu dapat mengandung makna yang berbeda pada masyarakat lainnya. maka dari itu, kata tertentu bisa menandai pengucapnya.

Keterkaitan antara semantik dan ilmu antropologi kajian wilayahnya relative hamper mirip dengan sosiologi, yaitu permasalahan manusia di dalam masyarakat. Berarti, antropologi dan sosiologi sama-sama mempelajari fenomena kulturan dan sosial kemasyarakatan. Suatu budaya berbeda akan menghasilkan pernyataan bahasa berbeda meski validitas hendak diungkapkan sama. Keterkaitan filsafat dengan semantik terlihat pada aktivitas

23 Mohamad Jazeri, Semantik: Teori Memahami Makna Bahasa, (Tulungagung:

Tulungagung Pres, 2012), h. 9-11.

24 Mohamad Jazeri, Semantik: Teori Memahami Makna Bahasa, (Tulungagung:

Tulungagung Pres, 2012), h. 12.

berfilsafat membutuhkan bahasa sebagai media proses menyampaikan hasil berpikir tersebut. Apabila berfilsafat ialah kegiatan berpikir, maka pikiran juga bahasa pasti mempunyai hubungan berbalasan. Bahasa mempengaruhi pikiran dan pikiran mempengaruhi bahasa. Tanpa bahasa, manusia tidak akan memahami apa yang dilihat, apa yang dibaca, da nap ayang diamati. Manusia juga tidak dapat menangkap kesan atau berpikir dan membentuk sebuah gagasan tanpa bahasa. Maka dari itu, validitas hanya bisa terungkap ketika validitas tersebut terekspresikan dalam bahasa.25 Sedangkan seamantik menurut Toshihiko Izutsu ialah kajian tentang sifat dan struktur pandangan dunia sebuah bangsa saat sekarang dan pada perioe sejarahnya, dengan menganalisis konsep-konsep pokok yang telah dihasilkan untuk dirinya sendiri dan telah terkonsep padakata-kata kunci yang telah terdapat pada Al-Qur‟an. Izutsu beropini bahwa tidak ada seorangpun yang memiliki kesatuan bentuk ilmu semantic yang rapid an teratur. Yang dimiliki oleh sebagian orang ialah sejumlah teori tentang makna yang beragam. Setiap orang yang berbicara mengenai semantic cenderung menganggap dirinya paling berhak mendefinisikan dan memahami kata-kata tersebut sebagaimana yang disukainya.26

Jadi, yang dimaksud semantik oleh Toshihiko Izutsu ialah kajian analitik terhadap istlah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual atau pandangan dunia masyarakat yang menggunakan bahasa itu tidak

25 Mohamad Jazeri, Semantik: Teori Memahami Makna Bahasa, (Tulungagung:

Tulungagung Pres, 2012), h. 13-14.

26 http://sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214113440026.pdf diakses pada 25 juni 2022 h. 14.

hanya sebagai alat bicara dan berfikir. Akantetapi yang lebih penting lagi yakni penafsiran dan pengkonsepan dunia yang melingkupinya.27 Dalam menganalisis Al-Qur‟an secara semantik, Izutsu memberikan tahapan seperti:

a. Memilih tema

b. Menghimpun ayat yang mempunyai kata dasar kata yang sama

c. Mengklasifikasi ayat berbanding dengan kata dasarnya d. Menguraikan makna secara kamus

e. Menguraikan makna secara kontekstual, dengan cara seperti apa Al-Qur‟an menggunakan kosa kata tersebut f. Mengaitkan semua kosa kata satu dan lainnya

g. Mencari lawan kata kata tersebut h. Menyimpulkannya28

Stephen Ullman30 membagi masa perkembangan kajian semantik dalam tiga masa:

1) Meliputi masa sekitar setengah abad (dimulai sejak 1923), diistilahkan dengan underground period (periode bawah tanah). Pada tahun 1825 Christian Karl Reisig31 mengutarakan konsep baru terhadap tata bahasa, beliau berpandangan bahwa tata bahasa tersebut meliputi tiga unsur utama, yakni semasiologi (ilmu tanda), sintaksis (ilmu kalimat), dan etimologi (studi tentang asal-usul kata sehubungan dengan perubahan bentuk maupun makna). Dalam fase ini istilah semantik belum digunakan meskipun kajian terhadap semantik sudah dilakukan.

2) Sejarah ilmu semantik diawali pada 1880-an sampai pada setengah abad kemudian. Periode ini ditandai dengan munculnya karya Michael Breal (1883), individual berkebangsaan Prancis, dengan judul Les Lois Intellectuelles du Langage. Pada masa tersebut meskipun Breal telah menyebutkan semantik sebagai bidang baru dalam keilmuan, tetapi sebagaimana Reisig, ia masih menyebutkan bahwa semantik sebagai ilmu yang murni. Pandangan ini masih

30 Stephen Ullman seorang tokoh semantic yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di Inggris. Pada tanggal 31 Juli 1914 beliau lahir dan meninggal pada usia 61 tahun yakni tanggal 10 januari 1976. Karya Stephen Ullman banyak diterjemahkan kedalam berbagai bahasa seperti Prancis, Jepang, Spanyol, dan Rusia. Beliau mengajar di Universitas of Leeds dimana beliau sebagai profesor dari bahasa Prancis.

31 Christian Karl Reisig seorang filolog dan ahli bahasa Jerman, lahir pada 17 November 1792 dan pada 17 Januari 1829 beliau meninggal. Dia adalah seorang filolog klasik yang dikreditkan dengan mengembagkan cabang baru linguistic yang dikenal sebagai semsiologi. Beliau memperkenalkan disiplin baru ini karena beliau merasa bahwa studi tentang arti kata tidak dapat dipenuhi secara memadai dalam batasan sintaksis atau etimologi.

mewarnai kajian semantik pada fase kedua, ia menjadi ciri kajian semantik pada masa itu.

3) Pada fase ketiga, kajian semantik mulai melakukan studi makna secara empiris32. Hal ini ditandai dengan adanya karya seorang filolog Swedia Gustav Stren dengan judul Meaning and Change of Meaning, With Special Reference to The English Language (makna dan perubahan makna, dengan acuan khusus bahasa ke bahasa Inggris) yang diterbitkan pada tahun 1931. Dalam buku ini Stren melakukan studi tentang makna terhadap bahasa Inggris.33

Kajian semantik di dunia Arab telah ada mulai zaman sahabat, meskipun masih sangan umum. Di antara usaha para linguis Arab untuk menggali dan memahami rahasia-rahasia Al-Qur‟an pada abad permulaan Islam ialah penghimpunan ungkapan Arab dan kata-kata serta analisi makna yang terkandung pada kata dan ungkapan tersebut untuk membantu orang-orang yang ingin mencari makna kata yang tidak dipahami dalam upaya mempelajari isi Al-Qur‟an, Hadits Nabi, dan buku-buku berbahasa Arab lainnya.34

Usaha para linguis Arab dalam mengkaji semantik atau masalah makna secara sistematik, sudah dilakukan sejak abad kedua hijriyah. Hal ini ditandai dengan disusunnya sebuah kamus oleh al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi yang diberi nama kitab al-

„Ain, sesuai kata pertama dari urutan isinya yang disusun

32 Berdasarkan pengalaman (terutama yang diperoleh dari penemuan, percobaan, dan pengamatan yang telah dilakukan).

33 Erwin Suryaningrat, “Pengertian, Sejarah dan Ruang Lingkup Kajian Semantik (Ilmu Dalalah),” Jurnal At-Ta‟lim 12, no. 1, (2018): h. 107.

34 http://sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214113440026.pdf diakses pada 25 juni 2022 h. 17.

berdasarkan urutan makhraj bunyi mulai dari ḥalq (tenggorokan) sampai ke bibir.

Sementara itu di dalam studi metodologi penafsiran Al- Qur‟an yang menggunakan metode kebahasaan sudah dilakukan oleh beberapa mufassir klasik, diantaranya ialah al-Farra‟ dengan karya tafsirnya Ma‟ani Al-Qur‟an, Abu Ubaidah, al-Sijistani dan al-Zamakhsyari. Selanjutnya dikembangkan oleh Amin al-Khuli yang kemudian teori-teorinya diaplikasikan oleh „Aisyah bint Syaṭi‟ dalam tafsirnya al-Bayan li Al-Qur‟an al-Karim. Gagasan Amin al-Khuli kemudian dikembangkan lagi oleh Toshihiko Izutsu yang dikenal dengan teori Semantik Al-Qur‟an.35

Mendapati dua konsep baru yang ditampilkan Sanssure dan merupakan perubahan dalam teori dan penerapan studi kebahasaan. Konsep yakni:

1. Linguistik, ialah studi kebahasaan yang berfokus pada posisi bahasa tersebut rentan waktu tertentu, sehingga studi yang dilakukan haruslah menggunakan pendekatan sinkronik/studi yang bersifat deskriptip yang dibutuhkan untuk menemukan relasi-relasi strukturalitas dan sinonimitas lainnya.

Studi perihal perkembangan dan sejarah suatu bahasa ialah kajian kesejarahan dengan menggunakan pendekatan diakronik yakni diperlukan untuk mengetahui perubahan makna dan hubungan antara makna terdahulu dengan makna baru.

2. Bahasa, merupakan satu sistem dan satu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur keterkaitan. Wawasan kedua ini, juga menjadi

35 http://sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214113440026.pdf diakses pada 25 juni 2022 h. 18.

akar paham linguistic structural. Pandangan tersebut yang kemudian mempengaruhi berbagai bidang penelitian, terutama di Eropa. Kajian de Sassure, selain berlandaskan pada analisis struktur bahasa juga berlandaskan analisis psikologis, sosisal, dan pemikiran.36

Setelah munculnya karya de Saussure, pandanagn semantik berbeda dari pandangan sebelumnya yang cenderung masih pada kerangka filosofis dan menggunakan pendekatan historis (diakronik).37 Perbedaan tersebut yakni mengenai pandangan historis mulai ditinggalkan, perhatian mulai diarahkan pada struktur di dalam kosakata, semantik mulai dipemgaruhi stilistika, studi semantik terarah pada bahasa tertentu (tidak bersifat umum), hubungan antara pikiran dan bahasa mulai dipelajari karenanya bahasa merupakan kekuatan yang menentukan dan mengarahkan pikiran, serta semantik telah melepaskan diri dari filsafat, namun tidak berarti bahwa filsafat tidak dapat membantu perkembangan semantik.38

M. Syahrur berpendapat, bahasa merupakan satu-satunya media yang paling menungkinkan untuk menyampaikan wahyu.

Memposisikan Al-Qur‟an sebagai teks bahasa yang dapat dianalisa dengan menggunakan bahasa merupakan langkah awal dalam proses semantic Al-Qur‟an.39

Amin al-Khulli mengatakan bahwa diantara cara mempelajari isi Al-Qur‟an ialah dengan melakukan studi aspek internal Al-Qur‟an.

Studi ini meliputi pemeriksaan perkembangan makna dan signifikansi kata-kata tersebut di dalam Al-Qur‟an dalam bentuk tunggalnya, melihat indikasi makna ini dalam berbagai generasi serta pengaruhnya secara sosial, psikologi, dan peradaban umat terhadap pergesaran makna.40 Dalam analisis perkembangannya kemudian lebih dikenal dengan sebutan semantik Al-Qur‟an.

Pandangan Nur Kholis Setiawan, muasal kesadaran semantik pada penafsiran Al-Qur‟an dimulai pada era Muqatil ibn Sulaiman, terdapat karyanya yaitu al-Asybah wa an-Naẓāir fī Al-Qur‟ān al- Karīm dan Tafsīr Muqātil ibn Sulaimān, Muqatil menegaskan bahwa setiap kata dalam Al-Qur‟an disamping memiliki arti definitif (makna dasar), juga memiliki beberapa makna alternative lainnya (makna relasional). Contoh kata mawt, yang memiliki arti dasar mati. Muqatil berpendapat, pada konteks pembicaraan ayat, kata tersebut memiliki empat arti alternatif, yakni:, manusia yang salah beriman, tanah gersang dan tandus, tetes yang belum dihidupkan, serta ruh yang hilang. Berhubungan dengan kemungkinan makna yang dimiliki oleh kosakata dalam Al-Qur‟an, Muqatil menegaskan bahwa seseorang

39 Saiful Fajar, “Konsep Syaithan Dalam Al-Qur‟an (Kajian Semantik Toshihiko Izutsu)”, (Skripsi Sarjana, Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, 2018), h. 24-25.

40 Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur‟an, Terj. Khoirun Nahdliyin.

(Yogyakarta: LkiS, 2005), h. 19.

Dokumen terkait