• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

B. Kajian Teori

3. Siswa Tunarungu

Tunarungu yaitu suatu keadaan di mana seseorang tidak dapat menerima rangsangan dikarenakan tidak berfungsinya indra pendengarannya dikarenakan oleh sesuatu hal.

Sebagaimana yang di kutip T. Sutjihati Somantri, Andreas Dwidjosumarto mengemukakan bahwa seseorang yang tidak atau kurang mampu mendengar suara dikatakan tunarungu. Ketunarunguan dibedakan menjadi dua kategori yaitu tuli (deaf) dan kurang dengar (low of hearing).

Tuli adalah mereka yang indra pendengarannya mengalami kerusakan dalam taraf berat sehingga pendengarannya tidak berfungsi lagi.

Sedangkan kurang dengar yaitu mereka yang indra pendegarannya

58 Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan,(Jakarta:

Prenadamedia Group,2006),172-173

mengalami kerusakan tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar, baik dengan atau tanpa menggunakan alat bantu dengar (hearing aids).59

Sebagaimana yang dikutip T. Sutjihati Somantri, Menurut Mufti Salim tunarungu adalah anak yang mengalai kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran sehingga ia mengalami hambatan perkembangan bahasanya. Ia memerlukan bimbingan dan pendidikan khusus untuk mencapai kehidupan lahir batin yang layak.60

Proses pembelajaran anak tunarungu dengan anak normal sangat berbeda, anak normal untuk memahami suatu peristiwa tidaklah sulit karena mereka dapat memahami melalui pendengaran, penglihatan, serta dibantu alat indra lain. Namun bagi anak tunarungu, segala sesuatu yang sempat terekam di otak melalui presepsi visualnya saja tidak lain seperti pertunjukan film bisu. Atas dasar itulah rata-rata problem yang dihadapi oleh anak tunarungu dari aspek kebahasaannya yaitu keterbatasannya kosa kata (perbendaharaan kata/bahasa terbatas), sulit mengartikan kata-kata abstrak seperti Tuhan, mustahil, dan lain-lain, sulit dalam mengartikan arti dari bahasa yang mengandung kiasan atau sindiran, kesulitan menguasai gaya bahasa.61

59 T. Sutjihati Somantri, Psikologi Anak Luar Biasa, 93

60 T. Sutjihati Somantri, Psikologi Anak Luar Biasa, 93

61 Mohammad Efendi, Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan, (Jakarta: Bumi Aksara,

2008), 77

Dapat ditarik kesimpulan bahwa anak tunarungu adalah mereka yang kehilangan pendengaran baik sebagian maupun keseluruhannya yang menyebabkan pendengarannya tidak memiliki fungsional di dalam kehidupan sehari-hari. Keterbatasan fisik yang menjadi kesulitan anak tunarungu dalam proses pembelajarannya akan menjadi suatu masalah atau problem yang akan dihadapi oleh siswa itu sendiri ataupun untuk gurunya.

a. Klasifikasi anak tunarungu 1) Klasifikasi secara Etiologis

a) Pada saat sebelum dilahirkan

(1) Salah satu atau kedua orang tua anak menderita tunarungu atau mempunyai gen sel pembawa sifat abnormal, misalnya dominat genes, recesive gen, dan lain-lain.

(2) Karena penyakit

Sewaktu ibu mengandung terserang penyakit terutama penyakit-penyakit yang diderita pada saat kehamilan tri semester pertama yaitu pada saat pembentukan ruang telinga. Penyakit ini biasanya penyakit rubella, moribili.

(3) Karena keracunan obat-obatan

Pada suatu kehamilan, ibu meminum obat-obatan terlalu banyak, ibu seorang pecandu alkohol, atau ibu tidak menghendaki kehadiran anaknya sehingga ia meminum obat penggugur kandungan, hal ini akan mengakibatkan ketunarunguan pada anak yang akan dilahirkan.

b) Pada saat kelahiran

(1) Sewaktu melahirkan, ibu mengalami kesulitan sehingga persalinan dibantu dengan penyedotan (tang)

(2) Prematurias, yakni bayi yang lahir sebelum waktunya.

c) Pada saat setelah kelahiran

(1) Ketulian yang terjadi karena infeksi, misalnya infeksi pada otak (meningitis) atau infeksi umum seperti difteri, morbili, dan lain-lain.

(2) Pemakainan obat-obatan ototoksi pada anak-anak.

(3) Karena kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan alat pendengaran bagian dalam misalnya jatuh.

2) Klasifikasi menurut tarafnya

Klasifikasi menurut tarafnya dapat diketahui dengan tes audiometris. Untuk kepentingan pendidikan ketunarunguan dibagi menjadi:

a) Tingkat I, Kehilangan kemampuan mendengar antar 35 sampai 54 db, penderita hanya memerlukan latihan berbicara dan bantuan mendengar secara khusus.

b) Tingkat II, Kehilangan kemampuan mendengar antara 55 sampai 69 db, penderita kadang-kadang memerlukan penempatan sekolah secara khusus, dalam kebiasaan sehari-hari memerlukan latihan berbicara dan bantuan latihan berbahasa secara khusus.

c) Tingkat III, Kehilangan kemampuan mendengar antar 70 sampai 89 db

d) Tingkat IV, Kehilangan kemampuan mendengar 90 db ke atas.

Penderita dari tingkat I dan Tingkat II dikatakan mengalami ketulian. Dalam kebiasaan sehari-hari mereka sesekali latihan berbicara, mendengar, berbahasa dan memerlukan pelayanan pendidikan secara khusus. Anak yang kehilangan kemampuan pendengaran dari Tingkat III dan Tingkat IV pada hakikatnya memerlukan pelayanan pendidikan khusus.62

b. Pengaruh Pendengaran Pada Perkembangan Anak Tunarungu 1) Perkembangan bicara dan bahasa anak tunarungu

Dalam perkembangan bahasa dan berbicara anak tunarungu mengalami penghambatan atau kegagalan, yang di sebabkan kekurangan fisiknya. Pada dasarnya pendengaran sangat dibutuhkan oleh setiap anak dalam berkomunikasi di dalam kesehariannya.

Anak yang memiliki keterbatasan pendengarannya atau tunarungu, secara otomatis dia akan mengalami kesulitan dalam berbicara, disebabkan tidak adanya penerimaan suara atau bahasa dalam dirinya pada saat dia kecil artinya tidak ada pembiasaan penerimaan suara atau bahasa yang ia terima pada saat kecil berpengaruh pada

62 T. Sutjihati Somantri, Psikologi Anak Luar Biasa, 94-95

bahasa dan berbicaranya. Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam berinteraksi dengan sesamanya. Hal ini berarti bila sekelompok manusia memiliki bahasa yang sama, maka mereka akan dengan mudah dalam bertukar pikiran mengenai segala sesuatu yang dialami secara konkret maupun yang abstrak.

Dengan demikian bila seorang anak memiliki kemampuan berbahasa, mereka akan memiliki sarana untuk mengembangkan kemampuan dirinya dari segi sosial, emosional, maupun intelektualnya. Mereka akan memiliki kemampuan mengungkapkan perasaan dan keinginannya terhadap sesama, dapat memperoleh pengetahuan, dan saling bertukar pikiran antar sesama dilingkungannya. Anak tunarungu yang perkembangan kemampuan bahasa dan komunikasi tergolong tunarungu total tentu tidak mungkin untuk sampai pada penguasaan bahasa melalui pendengarannya, melainkan harus melalui penglihatannya dan memanfaatkan sisa pendengarannya mereka.63

Anak tunarungu memiliki media tersendiri yang mereka gunakan untuk komunikasi. Media ini berbeda dengan media-media yang digunakan oleh anak normal lainnya yang bebas tanpa kendala dalam berinteraksi atau berkomunikasi dengan sesama.

Adapun berbagai media komunikasi yang dapat digunakan oleh anak tunarungu yaitu:

63 T. Sutjihati Somantri, Psikologi Anak Luar Biasa, 96

a) Bagi anak tunarungu yang mampu bicara, tetap menggunakan bicara sebagai media dan membaca ujaran sebagai sarana penerima dari pihak anak tunarungu.

b) Menggunakan media tulisan dan membaca sebagai sarana penerimaannya

c) Menggunakan isyarat sebagai media.64 2) Perkembangan Kognitif Anak Tunarungu

Pada umumnya intelegensi anak yang mengalami ketunarunguan tidak sama tingkat intelegensinya dengan anak normal, hal ini di akibatkan karena keterbatasan informasi, keterbatasan berbahasanya, dan daya abstraksi anak yang mengalami penghambatan pada anak tunarungu. Akibat ketunarunguannya juga menghambat proses pencapaian pengetahuan yang lebih luas. Jadi perkembangan kognitif pada anak dipengaruhi oleh perkembangan bahasa. Jika bahasa anak mengalami penghambatan maka tingkat intelegensinya juga mengalami penghambatan. Hal itulah yang di alami tingkat intelegensi anak yang mengalami ketunarunguan.65

3) Perkembangan Sosial Anak Tunarungu

Seperti yang kita tahu bahwa manusia adalah makhluk sosial di mana kita membutuhkan orang lain dalam kehidupan kita. Sama halnya dengan anak yang memiliki kebutuhan khusus. Akan tetapi karena mereka memiliki kelainan dalam segi fisiknya, biasanya akan ada perbedaan dalam penyesuaian dirinya dengan lingkungan.

64 Ibid, 96-97

65 T Sutjihati Somantri, Psikologi Anak Luar Biasa, 97

Pada umumnya dalam lingkungan anak tunarungu dipandang orang dengan sebelah mata karena kekurangannya, mereka dipandang anak yang tidak memiliki potensi atau tidak bisa melakukan apa- apa. Dengan penilaian lingkungan yang demikian, akan membuat anak tunarungu merasa benar-benar kurang berharga di lingkungannya. Dalam hubungan sosial diperlukannya komunikasi dengan orang lain, namun bagi anak tunarungu kesulitan komunikasi tidak bisa dihindari karena anak tunarungu mengalami kekurangan dari segi pendengaran dan berbicara. Kemiskinan bahasa membuat anak tunarungu tidak mampu terlibat secara baik dalam interaksi atau hubungan sosialnya. Seseorang yang berkomunikasi dengan anak tunarungu akan sulit memahami apa yang ada di pikiran dan perasaannya.66

4) Perkembangan Perilaku Anak Tunarungu

Kepribadian pada dasarnya merupakan keseluruhan sifat dan sikap pada seseorang yang menentukan cara-cara yang unik dalam penyesuaiannya dengan lingkungan. Oleh karena itu banyak ahli berpendapat perlu diperhatikannya masalah penyesuaian seseorang agar kita mengetahui bagaimana kepribadiannya. Demikian pula anak tunarungu, untuk mengetahui keadaan kepribadiannya, perlu kita perhatikan bagaimana penyesuaian diri mereka. Perkembangan banyak ditentukan oleh hubungan antara anak dan orang tua terutama ibunya. Lebih-lebih pada masa awal perkembangannya.

Perkembangan kepribadian terjadi dalam pergaulan atau perluasan pengalaman pada umumnya dan diarahkan pada faktor anak sendiri. Pertemuan antara faktor-faktor dalam diri anak tunarungu, yaitu tidak mampunya menerima rangsangan pendengarannya, kemiskinan berbahasa, ketidaktetapan emosi, dan keterbatasan intelegensi dihubungkan dengan sikap

66 T. Sutjihati Somantri, Psikologi Anak Luar Biasa, 99

lingkungan terhadapnya menghambat perkembangan kepribadiannya.67

c. Masalah-masalah dan Dampak Ketunarunguan

Dampak anak yang memiliki Kebutuhan Khusus seperti anak tunarungu pasti memiliki masalah atau dampak yang akan dihadapinya entah dampak itu akan di alaminya di lingkungan keluarga, masyarakat, tempat sekolahnya bahkan dampak bagi dirinya sendiri.

1) Bagi anak tunarungu itu sendiri

Karena kekurangan fisik yang di alami anak tunarungu yaitu keterbatasan kosa kata serta sulit dalam memahami kata-kata yang bersifat kiasan dan abstrak yang sulit bagi mereka. Dan dalam kesulitan dalam berinteraksi atau berkomunikasi dengan orang lain hal itulah yang menjadi masalah bagi mereka.68

2) Bagi keluarga

Lingkungan keluarga merupakan faktor utama yang mempunyai pengaruh penting dan kuat terhadap perkembangan anak terutama anak berkebutuhan khusus tunarungu. Anak yang memiliki kekurangan seperti ini akan mengalami kesulitan di lingkungannya. Keberhasilan anak tunarungu dalam bersosialisasi dengan lingkungannya tergantung pada bimbingan dan dukungan orang tuanya. Pada dasarnya tidak mudah bagi orang tua menerima kenyataan bahwa anaknya akan memiliki kekurangan seperti ini.

67 Ibid, 99-100

68 T Sutjihati Somantri, Psikologi Anak Luar Biasa, 100

Reaksi setiap orang tua akan berbeda pada saat mengetahui anaknya memiliki kekurangan. Reaksi pertama orang tua pastinya akan terpukul dan bingung, namun pada akhirnya orang tua akan menerima seiringnya waktu dan mulai memahami bahwa anaknya mempunyai keistimewaan.69

3) Bagi masyarakat

Anak yang memiliki kekurangan akan tetap di anggap tidak melakukan apa-apa. Pandangan yang seperti inilah akan memberikan dampak yang buruk terhadap masa depan anak tunarungu. Di mana anak tunarungu akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan, kesulitan dalam berkembang dalam lingkungannya.70

4) Bagi penyelenggara pendidikan

Pendidikan anak yang memiliki kekurangan pada saat sudah cukup diperhatikan oleh pemerintah. Terbukti dengan adanya sekolah-sekolah yang sudah tersebar di berbagai daerah yang memang di khususkan untuk penyandang cacat atau anak yang memang memiliki kebutuhan khusus. Sekolah khusus untuk anak yang memiliki dinamakan sekolah luar biasa (SLB). Pada saat ini yang juga mendapatkan perhatian yaitu anak yang rumahnya berjauhan dari sekolah khusus ini pastinya anak-anak tidak dapat bersekolah namun solusinya sudah didirikannya asrama di

69 T Sutjihati Somantri, Psikologi Anak Luar Biasa, 100-101

70 Ibid, 101

lingkungan sekolah luar biasa ini. Namun segala usaha pasti akan mendapat kendala, usaha lain yang mungkin akan dapat mendorong anak tunarungu bersekolah dengan cepat adalah mereka mengikuti pendidikan di sekolah normal atau sekolah umum yang disediakan program-program khusus untuk mereka yang memiliki kekurangan dan mereka juga tidak akan mampu menguasai pelajaran seperti anak normal lainnya.71 Namun sekolah yang cocok untuk anak berkebutuhan khusus seperti tunarungu tetap sekolah luar biasa bagi anak-anak yang memang memiliki kebutuhan khusus sebab disana akan lebih difokuskan dalam pembelajaran anak yang memiliki kelainan. Di sekolah SLB anak tunarungu akan benar-benar di ajarkan bagaimana menggunakan bahasa isyarat dan di kenalkan dengan lingkungan sekitar.

Problematika sendiri merupakan suatu masalah atau kendala yang dihadapi oleh seseorang dalam suatu proses pembelajaran.

Problematika pembelajaran PAI sendiri bisa dilihat dari beberapa aspek entah dari materi itu sendiri, guru pengajar, siswa maupun sarana dan prasarannya. Guru di sini dituntut agar mampu menyampaikan materi dengan baik kepada peserta didiknya.

Problematika pembelajaran PAI pada siswa tunarungu merupakan suatu kendala atau masalah yang dihadapi oleh guru dalam memberikan materi atau pembelajaran pendidikan agama Islam

71 T. Sutjihati Somantri, Psikologi Anak Luar Biasa, 102

kepada anak yang memiliki kekurangan fisik atau anak berkebutuhan khusus seperti anak tunarungu yang memang memiliki kekurangan dalam fisiknya. Problem-problem yang biasanya dihadapi anak tunarungu yaitu kesulitan berbicara, keterbatasan kosa kata, kesulitan dalam pelafalan ayat, dan keterbatasan pemahaman makna yang abstrak.

BAB III

METODE PENELITIAN