• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Pengertian Tunanetra

Menurut etimologi, tuna adalah kata sifat (adjective) dan kata bendanya adalah ketunaan, yang secara harfiah berarti kerugian atau kerusakan. Hubungan dengan kata “tuna” yang digunakan untuk memperhalus kata “cacat”, maka kata “ketunaan” dapat pula digunakan untuk memperhalus kata “kecacatan”. Oleh karena itu, kata istilah “penyandang ketunaan” cukup sesuai karena tetap menggambarkan keadaan yang sesungguhnya (kerusakan, kekurangan, atau kerugian sebagaimana arti hakikat kata tuna itu), tetapi tidak mengandung unsur merendahkan martabat. Lebih jauh istilah “tuna” juga sudah dikenal dan diterima secara luas, baik oleh penyadangnya maupun oleh masyarakat pada umumnya.12

“Penyandang ketunaan” berasal dari kata “tuna”, dari bahasa Jawa Kuno yang berarti rusak atau rugi. Penggunaan kata ini diperkenalkan pada awal tahun 1960-an sebagai bagian dari istilah yang mengacu pada kekurangan yang dialami oleh seseorang pada fungsi organ tubuhnya secara spesifik, misalnya istilah tunanetra salah satunya. Penggunaan istilah tuna ini pada awalnya dimaksudakan untuk memperhalus kata cacat demi tetap menghormati maratabat penyandangnya, tetapi dalam perkembangan selanjutnya kata tuna digunakan juga untuk membentuk istilah tunawisma, tunasusila dan tunalaras.

12Akhmad Soleh, Aksesibilitas Penyandang Disabilitas, (Yogyakarta: LKis, 2016), h. 7

Dalam pengertian tunanetra menurut bahasa terdiri dari kata tuna dan netra. Tuna mempunyai arti rusak, luka, kurang, tidak memiliki. Sedangkan netra memiliki arti mata.13

Menurut World Health Organization (WHO) dan UNICEF, tunanetra adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak dapat menjalankan pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan penglihatannya sebagai hal yang esensial sebagaimana orang sehat. WHO menganjurkan agar kriteria kebutaan untuk negara yang sedang berkembang ialah tajam penglihatan 3/60 atau lebih rendah yang tidak dapat dikoreksi.14

Menurut Agustyawati dalam bukunya yang berjudul Psikologi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, tunanetra ialah “Salah satu jenis hambatan fisik yang ditandai dengan ketidak mampuan seseorang untuk melihat, baik menyeluruh (total blind) ataupun sebagian (low vision) dan walaupun telah diberi pertolongan dengan alat-alat khusus, mereka masih tetap memerlukan pendidikan khusus”.15 Sama halnya yang dikemukakan oleh Jonni Syatri dalam jurnalnya, bahwa Tunanetra adalah mereka yang memiliki hambatan dalam penglihatan, baik yang sama sekali tidak bisa melihat (buta total/ totally blind) atau kurang penglihatan (low vision).16 Disebut sebagai kategori buta jika individu tidak sama sekali mampu menerima rangsangan cahaya

13Departemen pendidikan dan Kebudayaan, Kamus besar bahasa Indonesia, (Jakarta: 1999), h. 971

14Radjamin, Ilmu Penyakit Mata, (Surabaya: Airlangga Universitas Press, 1993), h.

191

15Agustyawatu dan Solicha, Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus, (Jakarta:

Lembaga Penelitian UIN Jakartam 2009), h. 7

16Jonni Syatri, “Pengajaran Baca-Tulis Al-Qur`an Bagi Tunanetra”, dalam Jurnal Suhuf Kemenag, Vol. 9, No. 2, Desember, 2016, h. 366

29

dari luar dengan visus=0. Pada kategori low vision individu mampu menerima rangsangan cahaya dari luar tetapi ketajaman penglihatan kurang dari 6/21.17 Mereka ini biasanya sangat mengandalkan perabaan dan pendengaran sebagai pengganti indera penglihatan dalam mengenal lingkungannya.18

Kurang lebih sama halnya dengan definisi yang dikemukakan oleh Kaufman dan Hallahan, menurut mereka, tunanetra adalah individu yang memiliki penglihatan lemah atau akurasi penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak memiliki penglihatan. Orang yang mengalami gangguan penglihatan dapat diketahui dengan kondisi sebagai berikut: a) Ketajaman penglihatannya kurang dari ketajaman yang dimiliki orang awas, b) Terjadi kekeruhan pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu, c) Posisi mata sulit dikendalikan syaraf otak, d) Terjadi kerusakan susunan syaraf otak yang berhubungan dengan penglihatan.

Kondisi diatas yang pada umumnya digunakan sebagai patokan seseorang termasuk ke dalam kategori tunanetra atau tidak, yaitu berdasarkan pada tingkat ketajaman penglihatannya.

Untuk mengetahui hal itu dapat digunakan suatu tes yang dikenal dengan tes “Snellen Card”.19

Sedangkan menurut kumpulan Materi Orientasi dan Mobilitas Departemen Sosial, menjelaskan tentang beberapa pengertian

17T. Sujihati Somatri, Psikologi Anak Luar Biasa, (Jakarta: Refika Aditama, 2006), h. 65

18Jonni Syatri, “Pengajaran Baca-Tulis Al-Qur`an Bagi Tunanetra”, dalam Jurnal Suhuf Kemenag, Vol. 9, No. 2, Desember, 2016, h. 366

19Akhmad Soleh, Aksesibilitas Penyandang Disabilitas, (Yogyakarta: LKis, 2016), h. 25

mengenai tunanetra dari sudut pandang pendidikan dan masyarakat yaitu sebagai berikut:20

a. Pendidikan

Tunanetra adalah anak yang mengalami kecacatan visual sehingga tidak dapat mengikuti pendidikan normal dan perlu pendidikan khusus untuk menggabungkan potensi-potensi yang ada,

b. Masyarakat

Tunanetra adalah seseorang yang tidak dapat melakukan aktivitas-aktivitas kehidupan sehari-hari dalam masyarakat.

Jadi, arti tunanetra yang bisa penulis pahami adalah individu yang mengalami kelainan atau kerusakan pada satu atau kedua matanya sehingga tidak dapat berfungsi secara maksimal.

2. Klasifikasi Tunanetra

Tunanetra merupakan sebutan individu yang mengalami gangguan pada indera penglihatannya. Pada dasarnya tunanetra dibagi menjadi dua kelompok, yaitu buta total (buta total/ totally blind) dan kurang penglihatannya (low vision). Beberapa klasifikasi diatas, diantaranya yaitu: 21

a. Buta total (totally blind)

Buta total tidak dapat melihat dua jari di mukanya atau hanya melihat sinar atau cahaya yang lumayan dapat dipergunakan untuk orientasi mobilitas. Mereka tidak bisa menggunakan huruf lain selain huruf Braille.

20Mohammad Iksan, “Pola Mengingat pada Tunanetra Penghafal Al-Qur`an”, Skirpsi, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim2008, h. 96. Tidak diterbitkan (t.d)

21Aqila Smart, Anak Cacat Bukan Kiamat (Metode Pembelajaran Dan Terapi Untuk Anak Kebutuhan Khusus), (Yogyakarta: KATAHATI, 2010) h. 36

31

b. kurang penglihatan (Low vision)

Low vision adalah mereka yang bila melihat sesuatu, mata harus didekatkan atau mata harus dijauhkan dari objek yang dilihatnya, atau mereka yang memiliki pemandangan kabur ketika melihat objek. Untuk mengatasi permasalahn penglihatan, para penderita low vision ini menggunakan kacamata atau lensa.

Sedangkan menurut World Health Organization (WHO) kalasifikasi tunanetra terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu:

1. Buta yang memiliki ketajaman penglihtan kurang dari 20/200 dan yang bidang penglihatannya kurang dari 20 derajat, dan 2. Yang masih memiliki ketajaman penglihatan antara 20/70

sampai dengan 20/200 yang dapat lebih melalui perbaikan.22 Berdasarkan para pendapat diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa pengklasifikasikan tunanetra menurut para ahli dapat dilihat dan diukur dari ketajaman penglihatan individu tunanetra sendiri.

3. Faktor Penyebab Tunanetra

Individu dengan penglihatan yang kedua-duanya tidak berfungsi sebagai saluran menerima informasi dalam kegiatan sehari-hari mempunyai beberapa faktor penyebab tunanetra, antara lain:23

a. Pre-natal (dalam kandungan), diantaranya:

1) Keturunan

22Amrina Rosyadah, “Korelasi Al-Qur`an Braille terhadap Prestasi Baca Tulis Al- Qur`an pada Anak Tunanetra di Pondok Pesantren Raudhatul Makfufin Serpong Tangerang Selatan”, Skripsi, IIQ Jakarta, 2015, h. 67. Tidak diterbitkan (t.d)

23Aqila Smart, Anak Cacat Bukan Kiamat (Metode Pembelajaran Dan Terapi Untuk Anak Kebutuhan Khusus), h. 42-44

Pernikahan dengan sesama tunanetra dapat menghasilkan anak dengan kekurangan yang sama, yaitu tunanetra.

Selain dari pernikahan tunanetra, jika salah satu orangtua memiliki riwayat tunanetra, juga akan mendapatkan anak tunanetra. Ketunanetraan akibat faktor keturunan antara lain Retinitis Pigmentosa, yaitu penyakit pada retina yang umumnya merupakan keturunan. Penyakit ini sedikit demi sedikit menyebabkan mundurnya atau buruknya retina.

Selain itu, katarak juga disebabkan faktor keturunan.

Yaitu, keadaan keruh pada lensa mata yang menghalangi cahaya untuk dapat melihat dengan jelas.

2) Pertumbuhan anak di dalam kandungan

Ketunanetraan anak yang disebabkan pertumbuhan anak dalam kandungan biasa disebabkan oleh:

(i) Gangguan pada saat ibu masih hamil.

(ii) Adanya penyakit menahun, seperti TBC sehingga merusak sel-sel darah tertentu selama pertumbuhan janin dalam kandungan.

(iii)Infeksi atau luka yang dialami oleh ibu hamil akibat terkena rubella atau cacar air dapat menyebabkan kerusakan pada mata, telinga, jantung, dan sistem susunan saraf pusat pada janin yang sedang berkembang.

(iv) Infeksi karena kotor, toxoplasmosis, trachoma, dan tumor. Tumor dapat terjadi pada otak yang berhubungan dengan indera penglihatan atau pada bola mata.

33

(v) Kekurangan vitamin tertentu dapat menyebabkan gangguan pada mata sehingga kehilangan fungsi penglihatan.

b. Post-natal, yaitu merupakan masa setelah bayi dilahirkan.

Tunanetra bisa terjadi pada masa ini:

1) Kerusakan pada mata atau saraf pada waktu persalinan, akibat persalinan, akibat benturan alat-alat atau benda keras.

2) Pada waktu melahirkan, ibu mengalami penyakit gonorrhoe sehingga baksil gonorrhoe menular pada bayi.

3) Mengalami penyakit mata yang menyebabkan ketunanetraan, misalnya: kurang vitamin A, diabetes, katarak, glaucoma.

4) Kerusakan mata yang disebabkan terjadinya kecelakaan.

Oleh karena itu, secara ilmiah ketunanetraan dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu sebagai berikut:

a. Faktor Internal

Hal-hal yang termasuk faktor internal yaitu faktor-faktor yang erat hubungannya dengan keadaan bayi selama masih dalam kandungan. Kemungkinan karena faktor gen (sifat pembawaan keturunan). Kondisi psikis ibu, kekurang gizi, keracunan obat dan lain sebagainya.

b. Faktor Eksternal

Hal-hal yang termasuk faktor eksternal diantaranya faktor- faktor yang terjadi pada saat atau sesudah bayi dilahirkan, misalnya: kecelakaan, pengaruh alat bantu medis (tang) saat melahirkan sehingga sistem persyarafannya rusak, kurang gizi

atau vitamin, terkena racun, panas badan yang terlalu tinggi serta peradangan mata karena penyakit, bakteri ataupun virus.24

Oleh karena itu, penyebab ketunanetraan yang dapat kita pahami adalah bahwa tunanetra dapat disebabkan oleh 2 faktor yaitu faktor internal, yaitu yang merupakan faktor erat hubungannya dengan keadaan bayi selama masih dalam kandungan. Dan faktor eksternal yaitu faktor yang terjadi setelah bayi tersebut dilahirkan.

4. Ciri Khas Tunanetra

Dalam hal karakteristik tunanetra, somantri menjelaskan bahwa masalah intelegensi tunanetra masih mengundang perdebatan di kalangan peneliti. Pada umumnya, mereka menunjukkan bahwa tunanetra mengalami keterbelakangan dalam pemahaman tugas-tugas konseptual. Seperti halnya karakteristik tunanetra bisa ditinjau dari beberapa bagian dianataranya sebagai berikut:25

1. Ditinjau dari segi fisik

a. Gaya berjalan kata dan badannya membungkuk.

b. Langkahnya ragu-ragu dan cenderung mengangkat kaki lebih tinggi.

c. Tangannya meraba-raba di depannya, dikarenakan mata tidak dapat melihat sehingga menggunakan tangan untuk mengetahi situasi.

24Sutjihati Somantri, Psikologi Anak Luar Biasa, (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), h. 66

25Mohammad Iksan, “Pola Mengingat pada Tunanetra Penghafal Al-Qur`an”, Skirpsi, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim2008, h. 102. Tidak diterbitkan (t.d)

35

d. Timbul gerakan-gerakan yang tidak disadari, seperti menggeleng-gelengkan kepala untuk mencari sumber suara, sebab orang tunanetra terarah indera penglihatannya.

2. Ditinjau dari segi psikis a. Curiga terhadap orang lain b. Perasaan mudah tersinggung c. Merasa mudah tersinggung 3. Ditinjau dari segi sosial

a. Sikap tergantung pada orang lain yang berlebihan b. Tingkah laku yang kurang berkembang

c. Dalam lingkungan pergaulan cenderung menarik diri Menurut Euis Nani M dalam bukunya yang berjudul Pendidikan anak berkebutuhan khusus ialah “Adanya gangguan visual pada anak tunanetra menimbulkan karakteristik khusus seperti: tampak pasif, pemalu, kurang percaya diri, kurang dapat bergaul, dan beberapa diantara mereka menunjukkan sikap labil.26

Oleh karena itu, dapat kita pahami ciri khas atau karakteristik jika individu yang mengalami ketunanetraan baik dari lahir maupun setelah dewasa, maka akan memiliki sifat kurang percaya diri, mudah tersinggung, minder, dan lain sebagainya karena mereka merasa berbeda dengan individu normal lainnya.

C. Al-Qur`an dan Sejarah Menghafal Al-Qur`an 1. Pengertian Al-Qur`an

26Euis Nani M, Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, Bandung: CV. Catur Karya Mandiri, 2010), h. 81

Al-Qur`an memang sukar diberi batasan dengan definisi- definisi logika yang mengelompakkan segala jenis. Oleh sebab itu, ketika berbicara tentang pengertian Al-Qur`an, banyak para ulama yang berbeda pendapat dalam mendefinisikannya.

Sehingga hemat penulis dalam pembahasan pengertian Al-Qur`an dibagi menjadi dua bagian, yaitu diantaranya:

a. Pengertian dari segi Bahasa

Dari segi bahasa (etimologi), Al-Qur`an adalah isim masdar dari kata “ أرق ” dengan makna isim maf‟ul yang artinya “yang dibaca”.27 Disamping pengertian yang sudah umum sebagaimana pengertian diatas. Ada beberapa para ulama lain yang mengemukakan sejumlah pendapat yang berangkat dari cara penulisan dan serta pengakaran kata yang berbeda. Diantaranya sebagai berikut:

1) Menurut Imam Syafi‟I (w. 204 H)

Imam Syafi‟i adalah salah seorang pendiri mazhab Fiqih yang hidup antara tahun 150-204 H.28 Beliau menyatakan bahwa Al-Qur`an ditulis dan dibaca tanpa memakai huruf Hamzah. Kata- kata Al-Qur`an tidak diambil atau tidak berasal dari kata “أرق ” atau dari kata apapun. Kata-kata Al-Qur`an merupakan nama yang secara khusus diberikan Allah untuk kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, sebagaimana kata-kata Injil dan Taurat yang juga merupakan nama-nama Kitabullah yang

27Said Agil Husin Al Munawar, Al-Qur`an membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat Prers, 2002), 4

28Abdul Haris Naim, “Moderasi pemikiran hukum Islam Imam Syafi‟I”, dalam Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, Vo. 9, No. 1, Januari-Juni, 2018, h. 176

37

diberikan masing-masing kepada Nabi Isa dan Nabi Musa a.s.29

2) Menurut Al-Farra (w. 207)

Al- Farra merupakan salah seorang penulis Tafsir Ma‟ᾱnῑy al-Qurᾱn dan ahli bahasa yang cukup terkenal, wafat 207 H.30 Menurut Al-Farra bahwa kata “Al-Qur`an” tidak memakai hamzah, ia bukan berasal dari kata “أرق ” melainkan diambil dari kata “ ننارق ” yang merupakan isim jamak dari kata “ ةنيرق” yang mengandung arti petunjuk.

Alasan pendapat ini adalah karena dalam kenyataannya sebagian ayat-ayat Al-Qur`an itu satu dengan yang lainnya berfungsi sebagai Qorinah atau petunjuk terhadap yang dimaksudkan oleh ayat lainnya yang serupa. Arti lain, bahwa ayat-ayat Al-Qur`an satu dengan yang lainnya saling memberikan petunjuk.31

3) Menurut Al-Zajjaaj (w. 311 H)

Al-Zajjaj adalah seorang pengarang kitab Ma‟ani Qur`an yang wafat pada tahun 311 H. Beliau mengatakan bahwa kata Al-Qur`an adalah berhamzah, yang berasal dari kata

“أرقلا” yang berarti perhimpunan. Hal ini juga berdasarkan kenyataanya bahwa kitab suci yang dinamai Al-Qur`an itu

29Muhaimin Zen, Peranan Huffazh Al-Qur`an dalam Mengantisipasi Tahrif Al- Qur`an, (Ciputat: Transpustaka, 2013), h. 8

30Moch Kalam Mollah, “Pendidikan Kebahasaan dalam Penafsiran Al-Qur`an Model Al-Farra”, dalam Jurnal Pemikiran dan Pendidikan Islam, Vol. 7, No. 1, Januari- Juni 2017, h. 169

31Muhaimin Zen, Peranan Huffazh Al-Qur`an dalam Mengantisipasi Tahrif Al- Qur`an, (Ciputat: Transpustaka, 2013), h. 10

di dalamnya menghimpun intisari ajaran-ajaran kitab suci sebelumnya.32

4) Menurut Al-Lihyani (w. 215)

Al-Lihyani adalah termasuk seorang ahli bahasa Arab yang wafat pada tahun 215 H. Menurut pendapatnya, kata Al-Qur`an itu adalah berhamzah, yakni sebagai isim masdar dari kata “أرق” yang berarti membaca.

Menurutnya, kata Qur`an adalah isim masdar, tetapi harus diartikan dengan memakai isim maf‟ul, sehingga artinya yang dibaca. Beliau mengajukan seperti itu, karena beralasan bahwa kitab ini dalam realitanya selalu dibaca oleh mereka, baik pada waktu mereka mengerjakan shalat, maupun pada waktu diluar shalat.33

Dengan melihat beberapa pendapat tersebut, para ulama memiliki tinjauan yang satu sama lain berbeda. Hal ini disebabkan perbedaannya dalam keahlian mereka itu sendiri.

Namun, walaupun demikian pengertian definisi diatas, kesemuanya masih sejalan.

b. Pengertian dari segi Istilah

Dari segi istilah (terminologi), terdapat beberapa definisi Al-Qur`an yang dikemukakakn oleh para ahli sebagaimana halnya definisi Al-Qur`an dari segi bahasa. Diantara pengertian dari sudut istilah, terdapat definisi yang panjang, ada yang pendek dan ada pula yang sedang. Semakin banyak

32Muhaimin Zen, Peranan Huffazh Al-Qur`an dalam Mengantisipasi Tahrif Al- Qur`an, (Ciputat: Transpustaka, 2013), h. 9

33Muhaimin Zen, Peranan Huffazh Al-Qur`an dalam Mengantisipasi Tahrif Al- Qur`an, h. 11

39

yang ingin ditonjolkan dari sifat-sifat Al-Qur`an, maka semakin panjanglah definisi yang ia kemukakan. Namun sebaliknya, jika sedikit sifat Al-Qur`an yang ia tonjolkan, maka sedikit pula definisi Al-Qur`an yang ia kemukakan.

Definisi Al-Qur`an secara terminologi yang dikemukakan seperti yang bisa disebutkan disini adalah sebagai berikut:

1) Dr. Shubhi as- Shalih (penulis kitab Mabahis fi Ulumi al- Qur`an) Al-Qur`an adalah kitabullah yang mengandung I‟jaz, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw yang termaktub dalam mushaf yang disampaikan dengan cara mutawattir dan dinilai ibadah bagi yang membacanya.34 2) Sedangkan menurut az- Zarqani, Al-Qur`an adalah firman

Allah yang merupakan mukjizat (dapat melemahkan para penentang Rasul) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat jibril a.s, yang ditulis di mushaf, dinukil secara mutawattir dan membacanya merupaka suatu ibadah, diawali dari surat al-Fatihah sampai akhir ayat surat an-Nas.35

3) Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, Al-Qur`an adalah Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw dengan perantara malaikat Jibril as, yang ditilawahkan secara lisan, diriwayatkan kepada kita secara mutawattir.36

34Muhaimin Zen, Peranan Huffazh Al-Qur`an dalam Mengantisipasi Tahrif Al- Qur`an, h. 13

35Muhaimin Zen, Metode Pengajaran Tahfiz Al-Qur`an di Pondok Pesantren, Tsanawiyah, ALiyah, dan Perguruan Tinggi, ( percetakanonline.com, 2012), h. 10

36M. Hasbi Ash- Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar „Ulumul Al-Qur`an dan Tafsir, (Jakarta: Bulan dan Bintang, 1992), cet. ke-XIV, h. 97

4) Quraish Shihab menjelaskan bahwa Al-Qur`an didefinisikan sebagai firman-firman Allah yang disampaikan oleh malaikat Jibril sesuai dengan redaksi- Nya kepada Nabi Muhammad saw dan diterima oleh umat Islam secara mutawattir.37

Baik para ulama ushul, ulama ushul fiqh, pakar bahasa arab, maupun ulama Mutakallimin sependapat bahwa pengertian pokok yang terkandung dalam Istilah Al-Qur`an adalah: “Lafaz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw mulai dari surat al-Fatihah sampai surat an-Nas”.

Namun demikian, mereka berbeda pendapat dalam memberikan penjelasan atau rincian dalam pengertian pokok tersebut. Ulama yang memberikan rincian relatif panjang, definisi Al-Qur`an menurut mereka adalah: “Kalam yang bersifat mukjizat, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw yang ditulis dalam mushaf yang dinukilkan secara mutawattir dan membacanya merupakan ibadah.” Dalam definisi tersebut, mereka menambahkan empat sifat terhadap pengertian pokok Al-Qur`an yang telah disebutkan, yaitu:

1) Kalam Allah yang diturnkan kepada Nabi Muhammad saw itu memiliki unsur I‟jaz, artinya tidak bisa dibandingi oleh siapapaun .

2) Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw itu ditulis dan dibukukan dalam mushaf.

37M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur`an: Tinjauan dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Ghaib, (Bandung: Mizan Pustaka, 2014), h. 45

41

3) Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw itu diriwayatkan secara mutawattir.

4) Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw itu bila dibaca memiliki nilai ibadah.

Kemudian versi yang sama yang dikemukakan Ibrahim Eldeeb dalam bukunya be a Living Qur`an mengatakan bahwa Al-Qur`an adalah firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw dengan lafaz dan maknanya, yang membacanya dijadikan sebagai ibadah dan membuat umat manusia tidak mampu menandingi satu surah yang terpendek sekalipun daripadanya.38

Sedangkan menurut Ahsin Sakho Muhammad dalam bukunya yang berjudul Membumikan Al-Qur`an, beliau mengatakan bahwa Al-Qur`an adalah sebagai teks suci yang merupakan Kalamullah yang terjaga kemurnian dan kesuciannya, baik dari segi bacaan maupun tulisannya, semuanya pernyataannya bersifat mutlak dan final.39

Versi lain tentang definisi Al-Qur`an yang mereka kemukakan adalah: “Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dengan bahasa Arab bersifat mukjizat yang menguatkan kenabian beliau dan merupakan tantangan bagi bangsa Arab, yang membacanya dinilai ibadah, dan dinukil secara mutawattir.”

38Ibrahim Eldeeb, be a Living Qur`an, terj. Faruq Zaini, (Ciputat: Lentera Hati, 2009), h. 118

39Ahsin Sakho Muhammad, Membumikan Ulumul Qur`an, (Jakarta Selatan: Qaf Media Kreativa, 2019), h. 151

Dalam definisi diatas, nampak bahwa mereka menambahkan unsure bahasa arab artinya, kalam Allah itu diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dalam ungkapan bahasa Arab40.

Sedangkan menurut Manna‟ al-Qathan yaitu: “ Qur`an adalah Kalam atau firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw yang pembacanya merupakan suatua ibadah”41 Penjelasannya bahwa dalam definisi “kalam” merupakan kelompok jenis yang meliputi segala kalam. Dan dengan menghubungkannya kepada Allah berarti tidak termasuk atau mengecualiakan semua kalam manusia, jin dan malaikat. Dan dengan kata kata yang “diturunkan” maka tidak termasuk kalam Allah yang sudah khusus menjadi milik Nya.42 Kemudian dikaitkannya “diturunkan” dengan “Muhammad saw”

menunjukan tidak termasuk di dalamnya kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi-nabi sebelumnya, seperti kitab Taurat, Injil.43 Sedangkan yang “pembacanya merupakan suatu ibadah”

mengecualikan hadis ahad dan hadis-hadis kudsi, bila kita berpendapat bahwa yang diturunkan dari Allah itu kata-katanya, sebab kata-kata “pembacanya sebagai ibadah” artinya perintah untuk membacanya didalam shalat dan lainnya sebagai ibadah.44 Sedangkan qiraat hadis ahad dan hadis-hadis kudsi lainnya tidak sah untuk dibaca didalam shalat. Muhaimin Zen dalam bukunya

40Muhaimin Zen, Peranan Huffazh Al-Qur`an dalam Mengantisipasi Tahrif Al- Qur`an, h. 16

41 Mannȃ‟ Khalῑl al-Qattận, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur`an, terj. Mabᾱhiṡ fi „Ulūmil Qur‟ᾱn oleh Mudzakir AS, (Surabaya: Litera AntarNusa, 2002), 17

42Mannȃ‟ Khalῑl al-Qattận, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur`an, terj. Mabᾱhiṡ fi „Ulūmil Qur‟ᾱn oleh Mudzakir AS, (Surabaya: Litera AntarNusa, 2002), 18

43Muhaimin Zen, Peranan Huffazh Al-Qur`an dalam Mengantisipasi Tahrif Al- Qur`an, h. 16

44Mannȃ‟ Khalῑl al-Qattận Studi Ilmu-ilmu Al-Qur`an, terj. Mabᾱhiṡ fi „Ulūmil Qur‟ᾱn oleh Mudzakir AS, (Surabaya: Litera AntarNusa, 2002), 18

Dokumen terkait