Materi KAT ITB 2022
A. DEMA ITB (1960-1978)
A.2 Usaha Penyikapan Terhadap Pemerintahan Orde Baru Pada Tahun 1978
Tumbangnya rezim orde lama dan dimulainya pemerintahan orde baru ternyata belum membawa kemakmuran bagi masyarakat, minimal itikad baik pemerintah orde baru untuk itu belumlah kelihatan benar. Setelah menjabat sebagai kepala pemerintahan untuk dua periode, Soeharto sepertinya ingin tetap berkuasa melalui Pemilu 1977. Hal ini menimbulkan banyak protes di kalangan masyarakat
dan kalangan intelektual yang menuntut penolakan pencalonan Soeharto sebagai presiden RI yang ketiga kalinya. Walaupun dalam UUD 1945 tidak ada penjelasan yang membatasi seseorang menjadi presiden (maksimal dua periode). Hal ini, merupakan imbas ketidakpercayaan masyarakat dan kalangan intelektual terhadap Soeharto untuk membawa pembangunan Indonesia untuk periode yang ketiga kali.
♦ Gerakan Anti Kebodohan (GAK)
Mulai maraknya usaha parpol kontestan pemilu untuk menjaring suara rakyat dan berbagai tindakan politis pemerintah mendapat penyikapan dari mahasiswa.
DEMA ITB yang tergabung dalam DM/SM se-Bandung banyak melakukan kajian terhadap kondisi yang ada pada saat itu dan hasilnya mereka diskusikan dengan pimpinan parpol (PPP dan PDI) dan Golongan Karya.(Golkar) serta menteri di Jakarta.
Gerakan diskusi yang berangkat ke Jakarta tersebut dinamakan Gerakan Anti Kebodohan (GAK). Gerakan Anti Kebodohan ini sebenarnya wujud dari kekecewaan DEMA ITB yang menganggap parpol kontestan Pemilu banyak melakukan pembodohan kepada masyarakat. Dengan jargon-jargon pembangunan dan berbagai janji-janji muluk yang seringkali berlebihan. Disamping itu, GAK juga banyak memberi masukan terhadap bidang-bidang ekonomi, politik, hukum dan ketimpangan sistem pendidikan nasional. Hasil diskusi ini, dibawa kedalam bentuk seminar dan diskusi lanjutan yang menghasilkan pemikiran-pemikiran konstruktif untuk dijalankan oleh pemerintah. Namun perjuangan belum berakhir . . .
♦ Menggugat Teori “Trickle Down Effect”
Pemerintahan orde baru sejak awal sudah menggunakan kebijakan ekonomi Trickle Down Effect. Paradigma ini menggunakan asumsi bahwa akumulasi kapital dan kekayaan yang terdapat dalam jumlah yang besar akan merembes kebawah. Artinya secara teoritis, pembangunan fisik harus digencarkan untuk mengangkat perekonomian masyarakat kecil.
Kebijakan ini diikuti dengan kemudahan yang diberikan pemerintah dalam UU penanaman modal (PMA dan PMDN) melalui kampanye penanaman modal. Sehingga pada awal tahun ‘70-an pembangunan dalam negeri sangatlah gencar. Tidak lama kemudian, kebijakan tersebut menimbulkan para pemodal-pemodal raksasa. Namun, pembangunan tersebut ternyata tidak membawa perbaikan bagi masyarakat kecil yang kelaparan yang tidak mendapatkan ‘kue’ pembangunan. Hal ini berarti kebijakan ekonomi Trickle Down Effect hanya dinikmati oleh segelintir orang.
Realita itu memaksa mahasiswa untuk melakukan penyikapan berupa tuntutan perubahan kebijakan ekonomi makro dari pemerintah. Gugatan mahasiswa itu
pembangunan kedua) yang akan melakukan dialog ke kampus kampus. Secara umum, dialog ini tidak menghasilkan suatu rumusan konkrit yang harus dilaksanakan.
Hal ini disebabkan karena yang terjadi cenderung berupa dialog pembelaan diri. Tujuh orang menteri yang merupakan orang yang sangat berperan dalam menentukan kebijakan ekonomi pemerintah waktu itu masih merasa bahwa kebijakan pemerintah benar, dengan menunjukkan statistik pembangunan dan beberapa parameter ekonomi yang diadopsi dari barat.
Kondisi minimal yang dihasilkan pada waktu itu adalah pemasukan usulan usulan kepada pemerintah melalui tujuh menteri itu oleh DEMA ITB bersama DM/SM se-Bandung.
• Penyikapan DEMA ITB Pada Tahun 1978
Aksi-aksi dari mahasiswa semakin marak sepanjang akhir bulan Desember 1977. Aksi tersebut masih berkisar seputar gugatan terhadap kebijakan pemerintah di bidang HAM, ekonomi, politik, hukum serta pendidikan. Aksi-aksi mahasiswa tersebut mulai dianggap membahayakan kewibawaan pemerintah yang akhirnya memaksa ABRI mengeluarkan pernyataan akan mengambil tindakan keras terhadap siapa saja yang mengancam “kepemimpinan nasional”. Hal ini merupakan pernyataan yang menarik bagi banyak pihak, seakan akan kondisi ini mirip dengan kondisi kritis pemerintahan orde lama dulu (tahun 66). Pernyataan dari ABRI yang cukup keras itu banyak mendapat reaksi susulan dari berbagai lembaga daerah yang sangat berkesan mendukung pemerintahan Soeharto.
Salah satu yang memberikan usulan tersebut diatas adalah DPRD Jawa Barat yang melakukan sidang pleno DPRD Jawa Barat pada tanggal 27 Desember 1977 yang menghasilkan pernyataan dukungan pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden RI pada pemilu ’78 nanti. Tentu saja pernyataan menimbulkan kemarahan dikalangan aktivis mahasiswa.
Puncak gerakan mahasiswa terlihat di Bandung pada tanggal 14 Januari 1978.
Pada hari itu, DEMA ITB mengeluarkan sebuah pernyataan sikap yang ditandatangani ketua DEMA ITB, Heri Akhmadi, berupa mosi ketidakpercayaan sekaligus penolakan pencalonan Soeharto kembali sebagai presiden RI sekaligus menuntut MPR menampilkan tokoh-tokoh nasional lainnya yang layak diajukan sebagai calon Presiden RI.
Sikap yang dinilai banyak pengamat sangat berani ini dibalas dengan aksi keras pemerintah dengan melakukan pendudukan beberapa kampus yang ada di Jawa. Hal ini dilakukan pemerintah atas dasar keyakinan kampus-kampus lainnya juga akan melakukan tindakan yang sama dengan DEMA ITB. Sehingga sebelum itu
terjadi kampus harus dibekukan dari aktivitas kemahasiswaan.
♦ Buku Putih Perjuangan Mahasiswa
Selain mengeluarkan pernyataan sikap, DEMA ITB juga mengeluarkan Buku Putih Perjuangan Mahasiswa, berjudul “Indonesia di bawah sepatu lars”, yang bertujuan untuk memberikan gambaran kepada masyarakat tentang “apa dan untuk apa mahasiswa berjuang”
Adapun isi dari buku putih merupakan pembahasan tentang kesalahan kebijaksanaan yang diambil pemerintah dengan menyebutkan berbagai kasus yang memerlukan penyikapan mahasiswa.
Buku putih menyebutkan dua hal yang menyebabkan semua situasi nasional pada saat itu, yaitu:
1. Kepemimpinan Nasional 2. Strategi pembangunan
♦ Pendudukan Kampus Oleh Tentara
Pernyataan sikap DEMA ITB membuat pemerintah sangat gusar. Tindakan pendudukan kampus ITB oleh tentara dan penangkapan para pimpinan mahasiswa.
Hal ini dilakukan untuk menghancurkan basis operasi mahasiswa. Sejarah mencatat, kampus ITB diserbu dan diduduki aparat keamanan seperti layaknya menyerbu
“musuh” dalam perang terbuka.
♦ Keluarnya NKK/BKK
Setelah pendudukan dan penangkapan para pemimpin mahasiswa oleh militer, dinamika politik mahasiswa dan kemahasiswaan ITB khususnya mengalami kemunduran secara perlahan-lahan.
Setelah surat keputusan Pangkopkamtib No. SKEP/02/KOPKAM/1978 mengenai pembekuan Dewan Mahasiswa, kemudian diikuti oleh surat keputusan Menteri P&K, Dr Daoed Joesoef, No. 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus, yang antara lain menugaskan para rektor perguruan tinggi sebagai penanggung jawab tertinggi di kampusnya masing-masing untuk melaksanakan konsep NKK/BKK.
Dibawah konsep NKK, mahasiswa tidak diperkenankan untuk membentuk pemerintahan mahasiswa (student government) sebagai sarana penggalangan solidaritas dan publikasi mahasiswa dalam melakukan aksi-aksi protes terhadap otoritas pemerintah.
Semenjak DEMA dibubarkan, kekuatan gerakan kemahasiswaan ITB yang mulanya terpusat ke DEMA berubah menyebar ke himpunan dan unit. Pada tingkat himpunan dibentuk FKHJ (Forum Ketua Himpunan Jurusan) yang bertujuan mengkoordinasi HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan) yang ada di ITB dan untuk tingkat unit kemahasiswaan dibentuk BKSK (Badan Koordinator Satuan Kegiatan).
Mengkristalnya kekuatan kemahasiswaan ITB tersebut secara politis melemahkan kekuatan kemahasiswaan karena mulai terkotaknya kemahasiswaan di tingkat himpunan dan unit. Apalagi tekanan dari rektorat ITB terhadap kemahasiswaan pada waktu itu sangat keras dengan mulai banyaknya larangan kegiatan kemahasiswaan dengan cap “ilegal”.
Kenapa ilegal? Setelah dibekukannya DEMA ITB, rektorat mengajukan konsep SMPT (Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi) sebagai LSM (Lembaga Sentral Mahasiswa). Peraturan-peraturan dalam konsep SMPT disusun oleh pihak rektorat.Akibatnya ketua senat dalam konsep SMPT nantinya akan bertanggung jawab pada rektorat.
Nah, konsep SMPT ini yang tidak dapat diterima oleh lembaga-lembaga kemahasiswaan yang ada di ITB. Friksi antara rektorat dan lembaga kemahasiswaan pun kian meruncing. Rektorat kerap kali mengajukan peraturan yang intinya menekan lembaga mahasiswa yang pada waktu itu masih bertahan, yaitu himpunan dan unit.
Beberapa contoh yang bisa diambil misalnya : peraturan setiap lembaga harus melakukan registrasi, permasalahan kaderisasi yang sering di intervensi, masalah perizinan penggunaan fasilitas ITB dan lain-lain yang sering menekan terhadap lembaga kemahasiswaan ITB.
Banyaknya permasalahan internal menyebabkan FKHJ dan BKSK dahulu disibukkan hanya untuk mengurusi masalah internal kampus yaitu antara lembaga mahasiswa dengan rektorat. Yaa . . . akhirnya kemahasiswaan ITB nggak maju maju.
Adapun permasalahan internal yang dulu sempat menghangat : ♦ Masalah kaderisasi
Untuk masalah kaderisasi merupakan masalah yang cukup sering menimbulkan friksi antara himpunan & unit dengan pihak rektorat, mulai dari masalah izin hingga proses kaderisasi yang seringkali diintervensi oleh pihak jurusan dan rektorat. Apabila mereka melihat sesuatu yang tidak sesuai kacamata mereka maka keluarlah sanksi akademis yang diberikan pada ketua lembaga atau/dan panitia kaderisasi. Kalau didata tak sedikit ketua lembaga dan panitia kaderisasi harus merasakan ‘surat cinta’ dari rektorat berupa sanksi skorsing atau DO (drop out)
Kasus Yos dan Mei, kasus meninggalnya M. Zaki merupakan contoh-contoh
permasalahan kaderisasi, dimana akhirnya posisi himpunan dan lembaga mahasiswa ITB semakin ditekan dengan memanfaatkan kasus tersebut (tanpa mengurangi makna bahwa terjadinya kecelakaan tersebut bukanlah sesuatu hal yang diharapkan).
Permasalahan-permasalahan diatas bukan tidak mendapat tanggapan dari FKHJ dan BKSK. Dengan berbagai kelemahan bargaining legalitas dimata rektorat, FKHJ khususnya masih mampu memberikan penyikapan bersama yang cukup menggambarkan kemahasiswaan ITB masih cukup kompak. Hal ini berdasarkan fakta masih cukup seringnya aksi bersama lembaga-lembaga kemahasiswaan untuk melakukan penyikapan bersama-sama. Masih cukup kuatnya solidaritas ITB pada waktu itu
♦ Masalah registrasi
Pada umumnya himpunan dan unit di ITB tidak melakukan registrasi dengan alasan keberatan terhadap peraturan-peraturan yang harus disetujui oleh pihak himpunan atau unit. Misalnya, peraturan tentang ketua lembaga yang bertanggung jawab pada ketua jurusan atau koordinator unit, masalah status keanggotaan himpunan, masalah harus disetujuinya AD/ART lembaga yang harus disetujui ketua jurusan atau koordinator unit, dan sebagainya.
Himpunan dan unit yang tidak melakukan registrasi dicap ilegal oleh pihak rektorat sehingga tidak sedikit fasilitas ruangan himpunan dan unit yang dicabut bahkan tidak mendapat izinnya untuk menggunakan fasilitas ITB seperti penggunaan nama ITB, fasilitas ITB , dan sebagainya.
♦ Masalah Penggusuran Ruangan Unit Dari Student Centre
Ketika DEMA ITB masih ada, pengaturan penggunaan ruangan di Student Centre Timur dan Student Centre Barat dipegang oleh DEMA. Namun semenjak dibekukannya DEMA, fungsi tersebut diambil alih rektorat secara perlahan-lahan.
Kalau dulunya ada unit yang ingin mendapatkan/menggunakan fasilitas SC dapat menghubungi DEMA. Akan tetapi sekarang rektorat lah yang mempunyai kuasa penuh dengan sikap yang relatif lebih birokratis dan bertele-tele dengan alasan harus mengikuti prosedur.
Pada tahun 1997, PR III (bidang kemahasiswaan) berencana memugar bangunan SC. meminta unit-unit yang ada pada di SC waktu itu untuk pindah sementara waktu ke Gedung Bengkok (Bagian Timur ITB). BKSK dengan ketuanya Agus (dari PSIK) bersedia dengan usulan Pak Isnu dengan perjanjian pemugaran di lakukan secara bertahap dari SC Timur ke SC Barat dan kemudian setelah pemugaran selesai unit-unit yang dipindahkan harus dikembalikan ke SC Timur.
dikembalikan ke SC dan banyak ruangan SC yang telah berubah dari formatnya yang lama diisi oleh lembaga-lembaga yang bukan dikelola oleh mahasiswa, misalnya Bank, Toko Optik, Koperasi Pegawai dan sebagainya. Hal ini tentu meninggalkan pengalaman yang buruk bagi penghuni SC Barat yang hingga sekarang seringkali diminta untuk mengosongkan ruangan karena ruangan SC Barat akan dipugar atau alasan lainnya. Pengalaman dari SC Timur membuat unit-unit yang ada di SC Barat sudah tidak begitu percaya dengan segala bentuk janji dan kompromi dari Pak Isnuwardianto.
Sayangnya, ketika kasus tidak dikembalikannya fungsi SC Timur ke fungsi semula, BKSK sudah bubar dengan begitu saja sehingga tidak ada lembaga yang mencoba memperjuangkan kepentingan unit-unit. Sehingga praktis, kemahasiswaan ITB pada saat itu berada pada FKHJ.