Seperti halnya perjanjian-perjanjian pada umumnya, dalam suatu perjanjian jual beli, khususnya dengan sistem kredit ini, kemungkinan terjadinya gagal bayar sangat besar. KEKUATAN AGUNG DALAM SISTEM KREDIT PEMBELIAN DAN PEMBELIAN (STUDI PERBANDINGAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM SIPIL).
Penegasan Istilah
Pasal 1444 KUH Perdata: Bila suatu barang tertentu menjadi barang akad, musnah, tidak dapat ditawar lagi, atau hilang sedemikian rupa sehingga diketahui dengan pasti apakah barang itu masih ada, maka akad itu putus, asalkan barang itu masih ada. musnah atau hilang bukan karena kesalahan debitur dan karena kelalaian dalam penyerahannya. Hukum kewajiban diatur dalam Buku III KUH Perdata Belanda yang secara garis besar terbagi menjadi 2 bagian yaitu kewajiban yang timbul karena perjanjian dan perjanjian yang timbul karena undang-undang.
Rumusan Masalah
Bagaimana perbandingan kedudukan dan batasan Overmacht dalam hukum Islam dan hukum perdata dalam perjanjian jual beli sistem kredit. Bagaimana perbandingan hukum Islam dan hukum perdata dengan penyelesaian sengketa force majeure dalam perjanjian jual beli sistem kredit.
Tujuan Kajian
Bagaimana perbandingan hukum Islam dan hukum perdata mengenai kewajiban debitur terhadap kreditur apabila terjadi akad jual beli kredit secara berlebihan.
Manfaat Kajian
Tesis ini membahas tentang perjanjian sewa guna usaha dan kewajiban pihak yang menyewakan barang, serta syarat-syarat hukum sewa guna usaha. Bagaimana ulasan fiqih tentang resiko kerusakan barang akibat force majeure dalam sewa guna usaha secara perdata.
Metodologi Kajian
Jenis penelitian yang digunakan adalah studi kepustakaan yang mengkaji perbandingan hukum Islam dan hukum perdata terhadap permasalahan force majeure yang terjadi dalam akad jual beli sistem kredit, dari hasil karya narasumber yang berkaitan dengan permasalahan force majeure. Dengan menggunakan metode komparatif atau komparatif yaitu dengan cara membandingkan tema mengenai supremasi antara hukum Islam dan hukum perdata.
Sistematika Pembahasan
Bab IV berisi tentang analisis data terkait perbandingan mengacu pada landasan teori sebagaimana tercantum pada bab 2 dan 3 mengenai teori force majeure dalam jual beli kredit menurut hukum Islam dan hukum perdata. Pada tahap terakhir yaitu pada bab V memuat kesimpulan akhir hasil analisis penulis terhadap teori hukum Islam dan hukum perdata mengenai force majeure dalam jual beli kredit serta saran-sarannya.
BAB II
Definisi Jual Beli Sistem Kredit Menurut Hukum Islam
Akibat hukumnya, apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka perjanjian yang dibuat oleh para pihak menjadi batal demi hukum. Kalaupun ada suatu persoalan yang tidak ada dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, maka para ulama akan melakukan ijtihad mengenai hukumnya dan ijtiha>dnya tidak pernah menyimpang dari Al-Qur'an dan As-Sunnah.
طسق ))
Hukum Jual Beli Secara Kredit
Bilamana hadis tersebut layak dijadikan landasan dan asumsi yang cocok untuk membahas hukum jual beli kredit. Larangan model jual beli ini dibakukan dengan ‘illat’, yang diwujudkan dalam bentuk ketidaktahuan kedua belah pihak mengenai harga barang dan sadd az-dzariah, sehingga memperkecil kemungkinan menjadikan jual beli tersebut sebagai cara untuk melakukan riba. terlarang. Pandangan batalnya jual beli ini beranggapan bahwa: (1) shigat keluar memuat dua shigat sekaligus, sedangkan penjual tidak menetapkan satu jual beli; (2) Harganya belum dapat ditentukan dengan jelas, apakah itu harga tunai atau harga kredit.
Apabila pihak yang ditawari menerima salah satu akad jual beli, maka persetujuannya ditujukan kepada pihak pertama.
Overmacht Menurut Hukum Islam
Dan dalam ayat-ayat ini dan ayat-ayat yang lain, para fuqaha telah menetapkan satu prinsip yang sangat berharga, iaitu: "Keadaan terpaksa mengizinkan yang haram. Tetapi ayat-ayat itu pun tetap memberikan sekatan kepada pesalah (orang yang dirujuk dalam keadaan terpaksa). iaitu dengan perkataan ghaira baghin wala 'aadin (tidak disengajakan dan tidak melampaui batas).
Kedudukan dan Batasan Overmacht Dalam Jual Beli Kredit Menurut Hukum Islam
لازي ررضلا
تاروظحا حيبت تارورضلا
اهردقب ردقي ةرورضلل حيبا ام
Jadi jika debitur mengalami keadaan dharurah pada saat jual beli kredit, maka ia dapat menunda pembayaran kepada kreditur sampai debitur mampu melunasinya. Dirinya sendiri atau orang lain dalam keadaan darurat yang dikhawatirkan membahayakan nyawa atau anggota tubuh. Kemudahan yang diperoleh debitur mengalami situasi dharurah juga diperkuat dengan kaidah fiqh yang berbunyi:
رسيتلا بلج ةقشما
Kewajiban-kewajiban Debitur Dalam Jual Beli Sistem Kredit Yang Mengalami Overmacht Menurut Hukum Islam
Dalam hal ini kreditur juga memberikan keringanan kepada debitur berupa penundaan pembayaran, hal ini sesuai dengan QS. Setelah debitur kembali normal atau dalam keadaan lapangan seperti semula, maka debitur memenuhi kewajibannya kepada kreditur seperti semula yaitu berupa pembayaran kepada kreditur.
قاض رماا عستا اذا
Penyelesaian Sengketa Overmacht Dalam Jual Beli Kredit Menurut Hukum Islam
Al-shulh secara bahasa berarti meredakan suatu perselisihan, sedangkan menurut istilah “sulh” berarti suatu jenis kontrak atau perjanjian untuk mengakhiri secara damai suatu perselisihan atau pertengkaran antara dua pihak yang bertikai. Al-Husaini berpendapat bahwa perdamaian (al-shulh) adalah kontrak yang menyelesaikan perselisihan dua pihak yang bertikai. Menurut Abu Al-Ainain Fatah Muhammad, konsep tahkim menurut istilah fiqh adalah ketergantungan dua orang yang berkonflik dengan seseorang yang keputusannya mereka setujui untuk menyelesaikan perselisihan pihak-pihak yang berkonflik.
Adapun pengertian tahkim menurut para ahli hukum golongan Syafiyyah yaitu pembagian sengketa antara pihak-pihak yang berkonflik atau lebih dengan hukum Allah atau wahyu dan penetapan hukum Sira atas suatu peristiwa yang harus dilakukan.
BAB III
Jual Beli Sistem Kredit Menurut Hukum Perdata
Kata 'kredit' berasal dari bahasa Latin 'creditus', bentuk past participle dari kata 'credere', yang berarti 'kepercayaan'. Pengertian kredit menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 menunjukkan bahwa kredit adalah suatu perjanjian peminjaman uang antara bank sebagai kreditur dan nasabah sebagai debitur. Adanya pihak-pihak yaitu “kreditur” sebagai pihak pemberi pinjaman seperti bank dan “debitur” sebagai pihak yang perlu meminjam uang/barang atau jasa.
Adanya pelunasan sejumlah/barang/jasa dari debitur kepada kreditur disertai dengan pemberian imbalan/bunga atau bagi hasil.
Overmacht Menurut Hukum Perdata
Apalagi keadaan yang timbul itu harus berupa suatu keadaan yang tidak dapat diketahui pada saat dibuatnya akad, atau setidak-tidaknya risikonya tidak dapat ditanggung oleh debitur. Setiawan Force majeure atau force majeure adalah keadaan yang timbul setelah perjanjian dibuat, yang mengakibatkan debitur tidak dapat memenuhi kinerjanya, dimana debitur tidak dapat disalahkan dan tidak harus menanggung resiko serta tidak dapat memperkirakan kapan terjadinya perjanjian. akan disimpulkan datang. Namun dalam perkembangannya, nampaknya konsep ini lebih pada pengertian force majeure atau force majeure secara umum, sebagai akibat dari force majeure atau force majeure.
Overmacht menurut kamus ilmiah adalah suatu kondisi yang tidak dapat dihindari dan terjadi secara tidak terduga atau di luar kendali kita.
Kedudukan dan Batasan Overmacht Dalam Jual Beli Kredit Menurut Hukum Perdata
Force majeure bersifat relatif atau tidak mutlak, yaitu suatu keadaan dimana perjanjian masih dapat dilaksanakan, namun dengan pengorbanan yang sangat besar dari pihak debitur, misalnya harga barang yang masih harus diimpor oleh penjual tiba-tiba menjadi sangat mahal. tinggi dan segera. Ukuran subyektif didasarkan pada keadaan debitur dengan menghubungkan pengorbanan yang harus diterima debitur jika ingin mencapai kinerja tersebut. Jika mengikuti ketiga poin yang menjadi tolok ukur tersebut, maka pengertian hambatan dalam melakukan pertunjukan yang termasuk dalam kategori force majeure atau force majeure memang akan sangat luas.
Batasan Overmacht atau force majeure menurut Subjek: "Jika, akibat dari kejadian yang tidak diduga, barang-barang yang disebutkan dalam perjanjian telah dibatalkan, jelas bahwa pelaksanaan perjanjian tidak dapat diwajibkan untuk masa yang akan datang sehingga perjanjian itu selesai. boleh dikatakan dibatalkan.
Kewajiban-kewajiban Debitur Dalam Jual Beli Sistem Kredit Yang Mengalami Overmacht Menurut Hukum Perdata
Pasal 1245 KUH Perdata) “Tidak ada penggantian biaya, kerugian dan bunga, apabila debitur dihalangi untuk memberikan atau melakukan sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan apa yang dilarang baginya”. Dalam Pasal 1244 KUH Perdata-1245 KUH Perdata, sebagai dasar pemikiran dibuatnya undang-undang force majeure adalah alasan untuk dikecualikan dari kewajiban membayar ganti rugi. Tidak ada penggantian biaya, kerugian dan bunga, apabila debitur berhalangan memberikan atau melakukan sesuatu yang diwajibkan karena force majeure atau akibat suatu kejadian yang tidak dikehendaki atau akibat hal-hal yang sama yang dilarangnya. melakukan suatu tindakan.
Bagi debitur yang dituduh melakukan kelalaian, hal ini juga menimbulkan beban pembuktian bagi debitur, yaitu beban pembuktian bahwa telah terjadi suatu peristiwa yang disebut dengan “keadaan yang dipaksakan”.
Penyelesaian Sengketa Overmacht Dalam Jual Beli Kredit Menurut Hukum Perdata
Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah suatu proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang mana pihak-pihak yang bersengketa dapat membantu atau terlibat dalam penyelesaian sengketanya atau melibatkan pihak ketiga yang netral. 30 Tahun 1999 telah mengatur beberapa alternatif lembaga penyelesaian sengketa secara damai yang dapat ditempuh oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa perdatanya, baik dengan menggunakan lembaga perundingan, konsiliasi, mediasi maupun penilaian ahli. Perundingan merupakan penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa tanpa melibatkan pihak ketiga (UU No. 30 Tahun 1999 pasal 6 ayat 2).
Alternatif lembaga penyelesaian sengketa lain yang sering digunakan untuk menangani berbagai jenis sengketa perdata adalah mediasi.
BAB IV
AnalisisKomparasi Kedudukan Dan Batasan Overmacht Dalam Jual Beli Sistem Kredit Menurut Hukum Islam dan Hukum Perdata
Dalam hukum Islam, cakupan pembahasan overmacht lebih luas, tidak hanya terbatas pada urusan pertunangan, sedangkan hukum perdata membatasi overmacht pada urusan pertunangan. Dalam hukum Islam memberikan pengertian yang lebih rinci mengenai overmacht yang dapat mengancam eksistensi manusia dalam kaitannya dengan maqasid al-syariah yaitu agama, jiwa, harta benda, keturunan dan kehormatan manusia, sedangkan hukum perdata tidak memberikan rinciannya, hanya mengancam debitur. . . Kedudukan overmacht dalam hukum Islam didasarkan pada sesuatu yang dapat mengancam maqasid al-syariah, sedangkan dalam hukum perdata didasarkan pada teori mengenai jenis overmacht itu sendiri.
Dalam hukum Islam, penetapan batasan diukur berdasarkan kebutuhan seseorang yang mengalami force majeure, sedangkan batasan dalam hukum perdata didasarkan pada teori obyektif dan subyektif.
Analisis Komparasi Kewajiban Debitur Yang Mengalami Overmacht Dalam Jual Beli Sistem Kredit Menurut Hukum Islam dan Hukum Perdata
- Analisis Komparasi Penyelesaian Sengketa Overmacht Dalam Jual Beli Kredit Menurut Hukum Islam Dengan Hukum Perdata
Analisis Perbandingan Penyelesaian Sengketa Overmacht Dalam Jual Beli Kredit Menurut Hukum Islam dan Hukum Perdata. Penyelesaian sengketa dalam hukum Islam dan hukum perdata mempunyai persamaan yaitu melalui litigasi dan non-litigasi, dalam hukum Islam penyelesaian sengketa non-litigasi melalui al-shulh (perdamaian) dan at-tahkim (arbitrase), sedangkan penyelesaian sengketa melalui non-litigasi. -proses pengadilan. - litigasi dalam hukum perdata melalui perundingan, mediasi, konsultasi dan penilaian ahli, sedangkan litigasi dalam hukum Islam dikenal dengan al-qadha (pengadilan) dan litigasi dalam hukum perdata dikenal dengan Pengadilan Negeri. Sedangkan sidang al-qadha dalam hukum Islam dan pengadilan negeri dalam hukum perdata mempunyai persamaan, yaitu penyelesaian sengketa dilakukan dengan penetapan hakim.
Oleh karena itu, dari ulasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa penyelesaian sengketa dalam hukum Islam dan hukum perdata mempunyai persamaan yaitu melalui litigasi dan prosedur non yudisial, dan dalam hukum Islam cara non yudisial adalah melalui al-shulh, tahkim.
BAB V PENUTUP
Kesimpulan
Sedangkan hukum perdata mengatur tentang kewajiban debitur yang mengalami force majeure, antara lain: tidak diharapkan mencapai prestasi dalam jual beli kredit, tidak wajib membayar ganti rugi, dan bukti terjadinya peristiwa force majeure. Sedangkan penyelesaian sengketa dalam hukum Islam dan hukum perdata mempunyai persamaan yaitu melalui litigasi dan non litigasi. Ciri-ciri al-shulh mempunyai persamaan yaitu perundingan hanya melibatkan kedua belah pihak yaitu debitur dan kreditur, penyelesaian sengketa dengan tahkim mempunyai persamaan dengan mediasi, konsultasi dan penilaian ahli yaitu dengan ikut sertanya pihak ketiga.
Penyelesaian sengketa al-qadha mempunyai kesamaan penyelesaian sengketa melalui pengadilan negeri, yang berarti kedua penyelesaiannya dilakukan berdasarkan keputusan hakim.
Saran