• Tidak ada hasil yang ditemukan

3 Skripsi Pertiwi G0011157 2.6 ind

N/A
N/A
Kenneth Jonathan

Academic year: 2025

Membagikan "3 Skripsi Pertiwi G0011157 2.6 ind"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Umur dan Jenis Kelamin a. Umur

Umur adalah lamanya keberedaan seseorang yang diukur dalam satuan waktu yang merupakan ukuran sifat seseorang yang dipandang dari hal usia kronologik rata-rata individu normal yang memperlihatkan derajat kecakapan yang sama (Dorland, 2010).

Menurut Depkes RI (2009), umur dapat dikategorikan menjadi anak- anak, dewasa, dan tua. Umur anak-anak adalah ≤ 18 tahun, umur dewasa adalah 19-45 tahun, dan umur tua adalah ≥ 46 tahun.

b. Jenis Kelamin

Jenis kelamin adalah konsep seseorang tentang dirinya sendiri sebagai laki-laki atau perempuan yang biasanya berdasarkan ciri fisik, sikap dan penghargaan orang tua, serta tekanan sosial dan psikologis yang dialami individu tersebut (Dorland, 2010). Menurut Depkes (2009), jenis kelamin dapat dikategorikan menjadi laki-laki dan perempuan.

Jenis kelamin mempunyai pengaruh besar terhadap kesehatan laki-laki dan perempuan. Baik laki-laki maupun perempuan sama-sama terkena dampak dan gender steriotipi masing-masing. Misalnya sesuai dengan pola

(2)

perilaku yang diharapkan sebagai laki-laki, maka laki-laki dianggap tidak pantas memperlihatkan rasa sakit atau mempertunjukkan kelemahan serta keluhannya. Perempuan yang diharapkan memiliki toleransi yang tinggi, berdampak terhadap caranya menunda-nunda pencarian pengobatan, terutama dalam situasi sosial ekonomi yang kurang dan harus memilih prioritas, maka biasanya perempuan dianggap wajar untuk berkorban. Keadaan ini juga dapat berpengaruh terhadap konsekuensi kesehatan yang dihadapi laki-laki dan perempuan. Penting sekali memahami realitas, bahwa perempuan dan laki- laki menghadapi penyakit dan kesakitan bisa berbeda (Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI, 2006).

2. Nekrosis Pulpa dengan Abses Periapikal a. Nekrosis Pulpa

Nekrosis pulpa (necrotic pulp atau non-vital pulp) merupakan jaringan pulpa yang tidak memperoleh aliran darah dan saraf serta sudah tidak mengandung jaringan hidup, dengan atau tanpa invasi bakteri. Hal ini dapat dibuktikan dari hilangnya kepekaan terhadap rangsangan listrik, panas, dingin, maupun trauma. Apabila keadaan nekrosis jaringan pulpa disebabkan oleh suatu infeksi bakteri yang mengikuti hingga mengganggu suplai darah ke pulpa serta memberikan gambaran stadium lanjut dari pulpitis yang tidak tertangani, maka nekrosis seperti ini disebut gangren pulpa (Dorland, 2010).

(3)

Gambar 2.1 Nekrosis Pulpa dengan Abses Periapikal (Shafer et al., 2009) Proses terjadinya nekrosis pulpa diawali dengan plak yang menjadi tempat tumbuh bagi bakteri. Bakteri pada gigi dan mulut akan mungubah plak menjadi zat asam yang akan menurunkan pH. Hal tersebut akan mengawali demineralisasi gigi, kemudian mengakibatkan pembentukan kavitas. Awalnya akan terlihat bercak putih pada lapisan email gigi yang kemudian berangsur- angsur berubah menjadi warna coklat (Neville et al., 2008).

Melalui kavitas yang terbentuk, bakteri akan terus masuk hingga ke jaringan pulpa yang selanjutnya akan menjadi sumber utama inflamasi sehingga mengakibatkan peradangan pada pulpa. Beberapa penelitian menyatakan bahwa inflamasi pulpa yang mengakibatkan penyakit pulpa merupakan infeksi polimikrobial, yaitu infeksi yang disebabkan oleh berbagai jenis bakteri (Sutasmi, 2012). Menurut Fouad (2009), beberapa jenis bakteri yang menjadi iritan mikroba pada gigi nekrosis sebagai berikut.

(4)

1) Peptostreptococcus sp

Peptostreptococcus sp merupakan genus Streptococcus yang hanya tumbuh dalam kondisi anaerob atau mikroaerofilik dan menghasilkan berbagai hemolisin. Streptococcus ini merupakan flora normal mulut, saluran napas atas, usus, dan traktus genitalia. Organisme ini bersama dengan spesies bakteri lain sering menimbulkan infeksi bakteri campuran di abdomen, pelvis, paru, dan otak.

2) Porphyromonas sp

Porphyromonas sp merupakan bakteri basil gram negatif. Bakteri jenis ini merupakan bagian dari flora normal mulut dan terdapat juga pada organ tubuh yang lain. Genus Porphyromonas meliputi spesies yang sebelumnya dimasukkan ke dalam genus Bacteroides. Spesies Porphyromonas dapat dibiakkan dari infeksi gusi dan periapikal gigi.

3) Prevotella sp

Spesies Prevotella merupakan bakteri basil gram negatif dan dapat terlihat seperti coccobasillus. Spesies yang paling sering diisolasi adalah P.

melannognica, P. bivia, dan P.disiens. Prevotella sering dikaitkan dengan organisme anaerob lainnya yang merupakan bagian dari flora normal terutama Peptostreptococcus, bakteri basil anaerob gram positif, spesies Fusobacterium, bakteri anaerob fakultatif gram positif dan gram negatif yang merupakan bagian dari flora normal.

(5)

4) Fusobacterium sp

Fusobacterium merupakan bakteri basil pleomorfik gram negatif.

Sebagian besar spesies menghasilkan asam butirat dan merubah treonin menjadi asam propionat. Kelompok Fusobacterium meliputi beberapa spesies yang paling sering diisolasi dari infeksi bakteri campuran yang disebabkan oleh flora normal mukosa. Namun, spesies Fusobacterium juga dapat menjadi satu- satunya bakteri pada sebuah infeksi.

5) Actinomyces sp

Kelompok Actinomyces meliputi beberapa spesies yang menyebabkan aktinomikosis. Pada pewarnaan gram, bakteri ini sangat bervariasi ukurannya.

Beberapa spesies dapat bersifat aerotoleran dan tumbuh dengan adanya udara.

Spesies Actinomyces sensitif terhadap penisilin, eritromisin, dan antibiotik lainnya.

6) Enterococcus sp

Kelompok Enterococcus merupakan bakteri kokus gram positif. Bakteri ini bersifat nonhemolitik, katalase negatif, dan merupakan salah satu penyebab infeksi nosokomial yang paling sering dan resisten terhadap antibiotik tertentu.

Enterococcus lebih resisten terhadap penisilin daripada Streptococcus. Banyak isolat Enterococcus yang resisten terhadap vankomisin.

Bakteri akan memproduksi toksin yang akan berpenetrasi ke dalam pulpa melalui tubulus dentinalis sehingga sel-sel inflamasi kronik seperti makrofag, limfosit, dan sel plasma akan berinfiltrasi secara lokal pada jaringan pulpa. Jika pulpa terbuka maka leukosit polimorfonuklear berinfiltrasi dan membentuk suatu

(6)

daerah nekrosis pada lokasi terbukanya pulpa. Jaringan pulpa bisa tetap terinflamasi untuk waktu yang lama, apabila tanpa perawatan yang baik akan menjadi nekrosis pulpa. Hal ini tergantung pada virulensi bakteri, kemampuan mengeluarkan cairan inflamasi untuk mencegah peningkatan tekanan intra-pulpa, ketahanan inang, jumlah sirkulasi, dan drainase limfe. Apabila sampai terjadi peningkatan tekanan jaringan di dalam ruang pulpa, maka dapat menyebabkan kolapsnya pembuluh darah yang menjadikan pulpa kekurangan asupan nutrisi sehingga terjadi proses nekrosis. (Sudibyo, 2003; Neville, et al., 2008).

Beberapa penyebab lain nekrosis pulpa dapat berupa trauma yang hebat akibat kecelakaan yang dapat memutuskan jaringan pulpa dengan jaringan periapikalnya, benturan yang hebat, dislokasi gigi, dan fraktur gigi (Mansjoer, 2009; Shafer et al., 2009).

Adanya kerusakan gigi disadari setelah timbul rasa nyeri. Nyeri biasanya timbul bila rangsangan mengenai ujung sel odontoblas pada perbatasan dentin dengan email yang merupakan garis depan pertahanan jaringan pulpa. Apabila rangsangan sudah mencapai pulpa, nyeri dentin dapat berlanjut menjadi nyeri pulpa. Kemudian terjadi reaksi pada sistem aliran darah mikro dan sistem seluler jaringan pulpa. Proses ini menyebabkan odema pada pulpa karena terganggunya keseimbangan antara aliran darah yang masuk dengan yang keluar. Odema pada pulpa yang terletak di dalam rongga pulpa yang sempit mengakibatkan sistem persarafan pulpa terjepit sehingga menimbulkan rasa nyeri hebat. Persarafan pulpa gigi adalah serat saraf cabang sensorik ganglion trigeminal dan cabang otonomik ganglion servikal superior. Fungsi saraf sensorik (saraf aferen/sensory neuron, di

(7)

antaranya A-delta dan C-fibers) untuk mendeteksi rangsangan dan melanjutkannya ke sistem saraf pusat. Sistem otonomik berfungsi untuk menjaga keseimbangan jaringan pulpa dan menjaga sistem homeostatis. Sistem yang terdapat dalam organ pulpa gigi ini yang mengatur proses pemulihan/reaksi jaringan pulpa terhadap cedera (Rukmo, 2011).

Manifestasi klinis nekrosis pulpa dapat berupa nekrosis parsial dan nekrosis total. Nekrosis parsial menunjukkan gejala seperti pulpitis ireversibel dengan nyeri spontan sedangkan nekrosis total tidak menunjukkan gejala dan tidak ada respons terhadap tes termal dan tes listrik. Pada saat inspeksi, pada bagian depan mahkota gigi, terkadang akan terlihat bercak coklat kehitaman yang merupakan fokus karies. Gambaran radiografik akan terlihat adanya radiolusen pada akar gigi dan gambaran ruang pulpa menghilang. Gambaran radiografik ini akan sangat berguna untuk menentukan penyebab nyeri yang tidak jelas di kuadran maxilla atau mandibula (Shafer et al., 2009).

Menurut Tarigan (2006), ada 2 tipe nekrosis pulpa, yaitu tipe koagulasi dan tipe likuifaksi. Pada nekrosis pulpa tipe koagulasi terdapat bagian jaringan pulpa yang larut, mengendap, dan berubah menjadi bahan yang padat. Pada tipe likuifaksi, enzim proteolitik mengubah jaringan pulpa menjadi suatu bahan yang lunak atau cair. Pada setiap proses nekrosis pulpa selalu terbentuk hasil akhir berupa H2S, amoniak, bahan-bahan yang bersifat lemak, indikan, protamain, air, dan CO2. Selain itu juga dihasilkan indol, skatol, putresin, dan kadaverin yang menyebabkan bau busuk pada nekrosis pulpa. Secara klinis pada pasien dengan nekrosis pulpa akan ditemui bau mulut yang tajam.

(8)

Nekrosis pulpa merupakan akibat akhir dari pulpitis yang diawali karies, tetapi juga menjadi awal dari penyakit atau kelainan periapikal ketika nekrosis tersebut tidak mendapat perawatan (Mansjoer, 2009).

b. Abses Periapikal

Abses periapikal adalah abses pada apikal gigi yang ditandai dengan pengeluaran pus secara intermiten melalui saluran sinus dengan onset yang bertahap di mana jaringan yang terkena abses hanya mengalami sedikit pembengkakan dan sedikit rasa tidak nyaman (Dorland, 2010).

Peradangan yang terjadi terus-menerus pada daerah periapikal akan mengakibatkan respons peradangan akut yang mengubah jaringan periapikal menjadi jaringan granulomatosa dengan sel-sel inflamasi kronis dan fibroblas.

Kondisi ini tanpa gejala, tetapi disertai dengan pembentukan daerah radiolusen sebagai akibat dari resorpsi tulang periapikal (Queiroz et al., 2010), sedangkan pada prosedur perkusi dan palpasi hasilnya respons tidak sensitif (McClanahan et al., 2002).

Perubahan patologis pada jaringan periapikal tersebut merupakan respons imunitas inang terhadap produk bakteri yang dikeluarkan melalui foramen apikal dari pulpa yang terinfeksi. Respons imunitas inang ini ditandai oleh migrasi leukosit polimorfonuklear, monosit, limfosit, plasma, dan sel mast ke daerah yang terinfeksi secara terus-menerus yang sebagian besar untuk mencegah invasi bakteri ke dalam jaringan periapikal. Dalam hal ini, sel imun dan mediator inflamasi seharusnya melindungi inang dari invasi patogen, tetapi pada kasus

(9)

abses periapikal sel imun dan mediator inflamasi justru mengakibatkan resorpsi tulang periapikal (Queiroz et al., 2010).

Perkembangan infeksi pulpa gigi memicu respons inflamasi pada jaringan periapikal. Sel-sel inflamasi seperti makrofag ditarik ke daerah yang mengalami infeksi dan melepaskan mediator proinflamasinya. Salah satu mediator adalah IL- 12, yang menginduksi sel Th1 untuk memproduksi IFN-γ. Jalur IL-12 - IFN-γ dapat menginduksi resorpsi tulang dengan produksi sitokin proinflamasi seperti TNF-α dan IL-1β. Jalur ini menginduksi resorpsi tulang dengan menekan diferensiasi dan aktivasi osteoklas yang mendukung pemeliharaan dan pembentukan tulang sehingga terjadi ketidakseimbangan antara osteoklas dan osteoblas. Ketidakseimbangan inilah yang mengakibatkan resorpsi tulang periapikal (Queiroz et al., 2010).

Penyakit jaringan periapikal biasanya dimulai dengan periodontitis, tanpa disertai gejala atau ada sedikit kepekaan terhadap perkusi dan penebalan ligamen periodontal. Periodontitis ini pada mulanya disebabkan oleh perluasan radang pulpa atau trauma periapikal akibat perawatan endodontik, seperti instrumentasi berlebih atau rangsangan obat saluran akar. Selain itu adanya plak, kalkulus, debris makanan, benda asing, dan prosedur drainase yang salah juga dapat mengakibatkan bakteri plak pada poket periodontal menyebabkan iritasi dan inflamasi, sehingga terjadi produk pus di dalam poket yang menyebabkan abses periodontal (Tarigan, 2006).

Jika radang pada jaringan periapikal dibiarkan tanpa perawatan, produk iritasi pulpa yang mati dapat menjadi rangsangan yang terus-menerus di jaringan

(10)

periapikal. Dalam keadaan normal jaringan periapikal gigi tersebut akan berusaha membendung laju rangsangan dengan cara mengadakan proliferasi jaringan granulasi, sehingga terbentuk suatu granuloma periapikal. Jika proses iritasi berlangsung terus, maka epitel yang terperangkap di dalam granuloma mengadakan proliferasi. Proliferasi epitel ini diduga disebabkan oleh karena adanya penurunan tekanan O2 dan adanya kemampuan epitel untuk mengadakan glikolisis anaerob. Kegagalan memperoleh nutrisi pada bagian tersebut akan mengakibatkan degenerasi sehingga menjadi nekrotik (Rukmo, 2011).

c. Angka Kejadian Nekrosis Pulpa dengan Abses Periapikal

Angka kejadian nekrosis pulpa dengan abses periapikal dipengaruhi oleh dua faktor yaitu umur dan jenis kelamin yang erat hubungannya dengan oral hygiene masing-masing individu. Hal ini dikarenakan semakin rendah oral hygiene individu, maka semakin besar risiko terkena nekrosis pulpa dengan abses periapikal yang diawali dengan karies (Pitts et al., 2011).

Angka kejadian di negara-negara Eropa, dulunya lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain. Hal ini berkaitan dengan tingginya konsumsi gula per kapita. Selain itu, pada masa industri, kebiasaan tradisional masyarakat yang mengonsumsi karbohidrat, membuat angka kejadian nekrosis pulpa meningkat karena bakteri pada mulut cepat mengubah karbohidrat menjadi asam. Namun, saat ini di negara maju seperti Eropa sudah terdapat perbaikan karena tingkat kesadaran yang tinggi akan menjaga kesehatan dan kebersihan gigi dan mulut (Shafer et al., 2009). Berbanding terbalik dengan Indonesia pada era globalisasi saat ini di mana menurut penelitian Bagramian (2009) dan

(11)

Mafuvadze (2013), prevalensi karies meningkat di negara-negara berkembang.

Budaya konsumtif masyarakat yang senang mengonsumsi makanan cepat saji dan minuman kemasan berkarbonasi sangat berdampak pada kesehatan gigi dan mulut. Selain itu kurangnya kesadaran untuk menjaga kebersihan dan melakukan perawatan gigi dan mulut jelas akan meningkatkan kejadian nekrosis pulpa yang disertai abses.

Menurut Departemen Kesehatan RI (2006), penyakit gigi dan mulut pada 2004, diderita oleh 90% penduduk Indonesia dengan penyakit utama yang diderita adalah penyakit jaringan penyangga. Hasil Riskesdas yang dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) tahun 2007 didapatkan pasien gigi dan mulut di Indonesia sebanyak 23,5%. Hasil Riskesdas tahun 2013, di Indonesia yang mengalami penyakit gigi dan mulut sebanyak 25,9%.

3. Pengaruh Umur dan Jenis Kelamin terhadap Kejadian Nekrosis Pulpa dengan Abses Periapikal

Angka kejadian nekrosis pulpa dengan abses periapikal dipengaruhi oleh dua faktor yaitu umur dan jenis kelamin yang erat hubungannya dengan oral hygiene masing-masing individu. Hal ini dikarenakan semakin rendah oral hygiene individu, maka semakin besar risiko terkena nekrosis pulpa dengan abses periapikal (Pitts et al., 2011).

Umur individu berpengaruh pada angka kejadian nekrosis pulpa dengan abses periapikal. Kebanyakan individu tua dan anak-anak memiliki oral

(12)

hygiene yang rendah jika dibandingkan dengan individu dewasa yang menyebabkan anak-anak lebih mudah mengalami karies sedangkan orang yang sudah tua lebih mudah mengalami pulpitis hingga nekrosis. Faktor yang memengaruhi antara lain tingkat kesadaran untuk menjaga kesehatan dan kebersihan gigi dan mulut yang berkurang. Semakin muda (≤ 18 tahun) dan tua (≥ 46 tahun), kebiasaan menggososk gigi 2 kali sehari jarang dilakukan sehingga rongga mulut akan menjadi tempat yang baik untuk pertumbuhan bakteri yang merugikan (Neville et al., 2008; Chu et al., 2012; Jain et al., 2012;

Dixit et al., 2013). Perilaku orang dewasa yang lebih teratur melakukan perwatan gigi dan mulut dan menggosok gigi ≥ 2 kali perhari sehingga angka kejadiannya lebih sedikit (Wiener et al., 2013). Selain itu, pada individu tua biasanya mudah ditemui penyakit-penyakit sistemik seperti penyakit kardiovaskular, diabetes mellitus (DM), dan penyakit ginjal. Adanya penyakit sistemik memengaruhi tingkat imunitas individu, kurangnya perfusi darah dan oksigen ke jaringan (termasuk pulpa), memudahkan bakteri untuk masuk ke jaringan pulpa, dan meningkatkan mediator inflamasi yang dapat mengakibatkan reaksi berbeda pada individu terkait. Jadi, semakin banyak penyakit sistemik yang menyerang individu, imunitas akan semakin menurun, dan semakin mudah terserang penyakit gigi dan mulut seperti nekrosis pulpa (Tunes et al., 2010; Martinez et al., 2011; Shetty et al., 2012).

Jenis kelamin mempunyai pengaruh besar terhadap kesehatan laki-laki dan perempuan. Baik laki-laki maupun perempuan sama-sama terkena dampak dari stereotipe masing-masing, tetapi pola perilaku laki-laki dan perempuan

(13)

akan memberikan dampak yang berbeda terhadap kesehatannya (Kristina, 2014). Berdasarkan jenis kelamin, terbukti bahwa laki-laki lebih mudah terkena nekrosis pulpa dengan abses periapikal daripada perempuan. Hal ini dikarenakan kebiasaan laki-laki yang lebih banyak merokok dan mengunyah permen karet (Kundu et al., 2011; Glazar et al., 2013). Menurut Wiener et al (2013), terdapat perbedaan perilaku dalam menjaga kesehatan gigi berdasarkan jenis kelamin yang menyebabkan perempuan memiliki oral hygiene yang lebih baik daripada laki-laki. Perilaku yang diteliti meliputi menggosok gigi 2 kali sehari, membersihkan sela-sela gigi menggunakan benang gigi, dan melakukan perawatan gigi dan mulut secara teratur sebagai pencegahan terhadap penyakit gigi dan mulut.

Selain itu, kebiasaan merokok pada laki-laki juga dapat meningkatkan angka kejadian nekrosis pulpa dengan abses periapikal (Kundu et al., 2011;

Barnabe et al., 2014). Merokok dapat mengakibatkan karies melalui peningkatan jumlah plak. Adanya kandungan tembakau seperti tar, nikotin dan karbon monoksida dalam rokok dapat menimbulkan terbentuknya stain pada permukaan gigi yang menyebabkan permukaan gigi menjadi kasar dan berakibat pula mudah terbentuk plak dan kalkulus. Selain itu dalam asap rokok terdapat eugenol (minyak cengkeh) dan derivatnya yang mempunyai efek anti inflamasi dan topikan anestesi yang menyebabkan perokok jarang merasa sakit gigi meskipun menderita karies (Mulyawati, 2008).

Kebiasaan laki-laki yang sering mengonsumsi permen karet juga dapat meningkatkan angka kejadian nekrosis pulpa dengan abses. Permen karet

(14)

mengandung gula sukrosa. Sukrosa yang menaikkan indikasi karies paling besar. Hal ini disebabkan oleh sintesa ekstra sel sukrosa lebih cepat daripada gula lainnya seperti glukosa, fruktosa, dan laktosa sehingga cepat diubah oleh mikroorganisme dalam rongga mulut menjadi asam (Sutasmi, 2012). Menurut Zero et al (2011), rongga mulut yang asam akan menurunkan pH plak sehingga mudah terbentuk lubang pada gigi yang mengawali proses karies dan apabila tidak dilakukan perawatan gigi akan mengakibatkan nekrosis pulpa hingga abses periapikal.

(15)

B. Kerangka Pemikiran

Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Plak

Karies gigi

Bakteri (anaerob pyogenik)

Peradangan pada pulpa

Nekrosis Pulpa

Bakteri penetrasi ke jaringan periapikal

Peradangan jaringan periapikal

Umur

Jenis Kelamin

Abses periapikal

(16)

C. Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah:

H0: Tidak terdapat pengaruh umur dan jenis kelamin dengan angka kejadian nekrosis pulpa dengan abses periapikal.

H1: Terdapat pengaruh umur dan jenis kelamin dengan angka kejadian nekrosis pulpa dengan abses periapikal.

Referensi

Dokumen terkait

Berkumur dengan seduhan daun sirih hijau (Piper betle L.) dapat menurunkan indeks plak gigi dan menurunkan jumlah Colony Forming Unit bakteri Streptococcus mutans di rongga

Penggunaan pasta gigi dengan tujuan terapetik diharapkan dapat mengurangi proses penyakit di dalam mulut, yaitu dapat menurunkan insiden karies, gingivitis,

Karies gigi, gingivitis dan status kesehatan rongga mulut sangat berhubungan karena penyakit periodontal (seperti gingivitis dan periodontitis) dan karies gigi merupakan akibat

Kalsium dan fosfat yang dihasilkan oleh CPP-ACP akan terikat pada protein plak gigi sehingga dapat mengurangi kondisi asam dalam rongga mulut.. CPP- ACP dapat menghambat enzim

Faktor lokal yang dapat menyebabkan lesi rongga mulut adalah iritasi kronis yang disebabkan oleh tambalan yang kasar, radiks, karies gigi, permukaan gigi yang tajam dan permukaan

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa karya tulis ilmiah yang berjudul “Uji Klinis Penggunaan Pasta Gigi Herbal terhadap Penurunan Indeks Plak Rongga Mulut ” adalah

Kalkulus adalah suatu massa adheren yang merupakan mineralisasi dari plak bakteri yang terbentuk pada permukaan gigi dan protesa di rongga mulut.. 23 Kalkulus merupakan

Kalsium dan fosfat yang dihasilkan oleh CPP-ACP akan terikat pada protein plak gigi sehingga dapat mengurangi kondisi asam dalam rongga mulut.. CPP- ACP dapat menghambat enzim