• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS TENTANG PERBEDAAN HUKUM TAKLIFI DENGAN HUKUM WADH

N/A
N/A
Taufiq Yusuf

Academic year: 2023

Membagikan " ANALISIS TENTANG PERBEDAAN HUKUM TAKLIFI DENGAN HUKUM WADH"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS TENTANG PERBEDAAN HUKUM TAKLIFI DENGAN HUKUM WADH’I

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Ushul Fiqih Klasik di Ma’had Aly Madarijul

‘Ulum Lampung

Dosen pengampu: KM.Rijah Muhammad Majdidin S.Ag

Oleh:

TAUFIQ YUSUF NIMA: 192118104093

MA’HAD ALY MADARIJUL ULUM LAMPUNG

TAKHASSUS: FIQIH USHUL FIQIH KONSENTRASI: FIQHUL IQTISHAD BATU PUTUK-TELUK BETUNG BARAT-BANDAR LAMPUNG

TAHUN AKADEMIK 1444-1445 H / 2023-2024 M

(2)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT. yang telah menurunkan Nabi Muhammad SAW. untuk umatnya didunia ini sebagai petunjuk untuk menggapai kehidupan di dunia ini menuju kehidupan yang abadi. Sholawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. yang telah membimbing kita dari jalan yang gelap menuju jalan yang terang, yakni dengan tersiarnya agama Islam.

Dengan Hidayah, Rahmat dan Anugrah Allah SWT. sehingga makalah dengan judul

Analisis tentang perbedaan hukum taklifi dengan hukum wadh`i”, ini dapat di selesaikan.

Kami mengucapkan terima kasih banyak kepada KM. Rijah Muhammad Majdidin. dan tak lupa juga kepada Dr.KH. Ihya Ulumuddin SM.M.Pd selaku mudir Ma`had `aly Madarijul `Ulum Lampung yang selalu sabar dan tak pernah letih untuk selalu memotivasi untuk murid-muridnya.

Semoga makalah ini dapat digunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi yang membaca dan terkhusus bagi penulis. Saya selaku penulis menyadari betul bahwa masih banyak dan kekurangan didalamnya. Oleh karena itu saya mengharapkan kepada para pembaca untuk memberikan kritik dan sarannya yang bertujuan untuk menghasilkan makalah yang lebih baik.

Bandar Lampung 19 Oktober 2023

Penulis

ii

(3)

DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR...ii

DAFTAR ISI...iii

BAB 1: PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1

B. Rumusan Masalah...2

C. Tujuan Penulisan...2

D. Metode Penulisan...2

BAB 2: PEMBAHASAN A. Pengertian hukum taklifi...3

B. Perbedaan pendapat antara ‘azimah dan rukhsah...4

C. Pengertian ‘azimah dan rukhsah...4

D. Pengertian hukun wadh’I...7

E. Perbedaan antara hukum taklifi dengan hukum wadh’I...9

BAB 3: PENUTUP A. Kesimpulan...10

B. Saran...11

DAFTAR PUSTAKA

(4)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Dilihat dari segi kebahasaan, kata hukum bermakna “menetapkan sesuatu pada yang lain”.

Seperti menetapkan haram pada khamar, atau halal pada air susu. Sedangkan istilah para ulama ushul, sebagaimana diungkapkan Abu Azhar adalah “titah (khitab) syari’ yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan atau wadh’i.

Ketentuan-ketentuan hukum bagi umat manusia ini, pada dasarnya disyari’atkan Tuhan untuk mengatur tata kehidupan mereka di dunia ini, baik dalam masalah-masalah keagamaan maupun kemasyarakatan. Dengan mengkuti ketentuan-ketentuan hukum ini, mereka akan memperoleh ketentraman dan kenyamanan , serta kebahagian dalam hidupnya. Fungsi hukum diatas telah dinyatakan secara tegas oleh Allah SWT dalam surat An-nisa ayat 105 yang berbunyi :

نُكَت َلَو ّلل َكٰىَرَأ اَمِب ِساّنل َن َب َمُك َتِل ّقَح ِب َبَٰتِك َك َلِإ اَنَزن ُۚه ٱ ٱ ۡي ۡح ۡلٱ ۡلٱ ۡي ۡل َأ اّنِإ اًمْيِصَخ َنيِنِئاَخ ّل ۡل

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu dapat enetapkan hukum kepada manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu”

Tata kehidupan itu perlu diatur dengan norma-norma hukum yang diambil dari ajaran- ajaran islam, karena semua mereka selain hidup di dunia juga akan menjalani kehidupan akhirat yang kebahagian atau kesengsaraannya ditentukan oleh akumulasi pahala dari perbuatan- perbuatan baik didunia ini. Sementara ketentuan-ketentuan hukum yang diambil dari ajaran agama termasuk bagian yang menyediakan pahala tersebut. Demikian, menaati ketentuan-ketentuannya itu, disamping akan membawa ketentraman, kenyamanan serta kebahagiaan dalam kehidupan di dunia ini, juga akan membawa pada kebahagiaan dalam kehidupan akhirat kelak.

(5)

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah makalah ini, yaitu:

1. Apa pengertian tentang hukum taklifi?

2. Apa pengertian tentang hukum wadh`i?

3. Apa tujuan dari hukum taklifi ? 4. Apa tujuan dari hukum wadh’i?

5. Apa perbedaan antara hukum taklifi dengan hukum wadh`i?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini, yaitu:

1. Mengetahui pengertian hukum taklifi.

2. Mengetahui pengertian hukum wadh`i.

3. Mengetahui tujuan dari hukum taklifi.

4. Mengetahui tujuan dari hukum wadh’i.

5. Mengetahui perbedaan antara hukum taklifi dengan hukum wadh`i.

D. Metode Penulisan

Adapun metode penulisan dalam makalah ini, yaitu melalui metode kajian pustaka (Library research) yaitu dilakukan dengan menelaah karya-karya para ulama yang membahas seputar hukum-hukum taklifi dan hukum wadh’i. Sehingga memerlukan berbagai literatur kitab kuning untuk menghasilkan pemahaman yang lengkap.

(6)

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian hukum taklifi Hukum taklifi adalah:

ُهْنَع ّفَكلْاَو ِلْعِفلْا َنْيَب ٍرْيِيْخَت ْوَأ ِلْعِف ْنَع ُهّفَك ْوَأ ِفّلَكمُلْا َنِم ِلْعفِلْا َبَلَط ىَضَتْقِا اَم

“Yaitu hukum yg menetapkan tuntutan melakukan sebuah pekerjaan dari seorang mukallaf, atau mencegah sebuah perbuatan, atau memberi pilihan antara melakukan dan meninggalkannya”.1

Hukum taklifi terbagi menjadi 6, yaitu:

1) Wajib

Yaitu sebuah perbuatan dengan tuntutan yang bersifat mengharuskan atau tidak boleh ditinggalkan.

2) Sunnah

Yaitu sebuah perbuatan dengan tuntutan yang bersifat tidak mengharuskan atau boleh ditinggalkan.2

3) Haram

Yaitu sebuah perbuatan dengan tuntutan yang bersifat mengharuskan atau harus ditinggalkan.3

4) Makruh

Yaitu sebuah perbuatan dengan tuntutan yang bersifat tidak mengharuskan atau larangan yang terkhusus pada perkara tertentu, baik nash, ijma` maupun qiyas.

5) Khilaful aula

1 Jalal as-Suyuthi, syarh Al-Kawkab as-Sathi’, hal. 24 dan Jalal Ad-Din Al-Mahali, Syarh Jam’i Al-Jawami’, Vol I hal. 77-79

2 DR. Wahbah Az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqh Al-Islami, Vol I hal. 50-72 3 Jalal Ad-Din Al-Mahali, syarh Jam’u Al-Jawami’, Vol I hal.82-84

3

(7)

Yaitu sebuah perbuatan dengan tuntutan yang bersifat tidak mengharuskan atau larangan yang tidak terkhusus pada perkara tertentu.

6) Mubah

Yaitu khitab yang memperbolehkan memilih antara melaksanakan atau meninggalkan sebuah perbuatan.4

B. Perbedaan pendapat tentang ‘Azimah dan Rukhsah

Ulama ushul berselisih pendapat mengenai eksistensi ‘Azimah dan Rukhsah, apakah keduanya tergolong hukum taklifi atau wadh’i?

1) Sebagian ulama memasukan keduanya sebagai hukum taklifi, alasannya karena ‘Azimah adalah iqtidha’ (tuntutan) dan rukhsah adalah takhyir (memberi hak pilih).

2) Ulama lain seperti Imam Ibn Al-Hajib, Al-Ghazali, dan As-Syathibi menggolongkan keduanya sebagai hukum wadh’i. Karena hakikat rukhsah adalah bahasa lain dari peletakan As-syari’ atas sebuah sifat menjadi sebab dari keringanan hukum. Dan ‘Azimah adalah bahasa lain dari posisi ‘adat (kebiasaan) yang menjadi sebab pemberlakuan hukum asal yang bersifat menyeluruh.

C. Pengertian ‘Azimah dan Rukhsah

1) Pengertian ‘Azimah

Kata ‘Azimah (ةميزعلا) sendiri merupakan bentuk isim fa’il yang di musytaq dari lafad ‘azama (مزع), artinya menurut bahasa adalah al-qashdu al-mu’akkadu (دّكؤملا دصقلا) yang artinya “kehendak yang kuat”.5

Sedangkan pengertian ‘Azimah menurut istilah, para ulama’ ahli memberikan pengertian yang berbeda-beda, namun pada intinya adalah sama saja, diantaranya:

1. Menurut Syaikh Shafiyuddin Abdul Mu’min w 739 H, beliau berpendapat bahwa yang dinamakan dengan ‘azimah, ialah:

ّيِعْر َش ٍليِلَد ِةَفَلاَخُم ِرْيَغ ْنِم ُتِباّثلا ُمْكُحْلا

4 Syekh Al-Banani, Hasyiah ‘ala Syarh Jam’u Al-Jawami’, Vol I hal. 83

5 Al-Fawa’id As-sunniyah fi syarhil Alfiyah oleh Al-Barmawiy Syamsuddin Muhammad, W 831 H. Maktabah Darun Nashihah, Madinah: 2015 M, juz 1 hal.331.

(8)

Artinya :Tetapnya suatu hukum tanpa bertentangan dengan dalil-dalil syara’.6

2. Sedangkan menurut Syaikh Mu’adzimuddin Abu Abdillah, beliau mengatakan pengertian ‘azimah, sebagai berikut:

ح

ُ ٍحِجاَر ٍضِراَعُم ْنِم ٍلاَخ ّيِعْر َش ٍلْيِلَدِب ٌتِباَث ٌمك

Artinya : Sebuah hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil-dalil syara’ yang terbebas dari penolakan yang berlebihan.7

3. Dan Syaikh Shafiyuddin Muhammad bin Abdurrahim w 710 H, mengatakan :

َيِه َو

َكِلَذ ْنَع ْرّيَغَتَي ْمَلَو ُعِرا ّشلا ُهَعّر َش يِذّلا ّيِلْصَ ْلا ِمْكُحْلا ِنَع ٌةَراَبِع

ٍضِراَعِب ِعْضَوْلا

Artinya : ‘Azimah ialah sebutan untuk suatu hukum asal yang ditetapkan oleh syari’ yang tidak akan berubah karena suatu alasan.8

Dapat kita simpulkan dari tiga definisi diatas bahwa yang disebut dengan ‘azimah menurut ulama’ ushul fiqih adalah suatu hukum yang telah ditetapkan yang tidak akan pernah berubah meskipun dalam keadaan mendesak sekalipun atau juga dapat diartikan dengan hukum yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kesulitan yang merujuk pada asal mula hukum tersebut tanpa mengaitkannya dengan halangan. Azimah juga merupakan syari’at atau hukum murni yang tidak didahului sebab-sebab keringanan dan tidak akan berubah dalam kurun waktu demi keutuhan syariat Islam.

2) Pengertian Rukhsah

Rukhsoh ( (ةصخرلاberasal dari kata (صخر) yang secara arti kata berarti “ringan”.

Sedangkan pengertian rukhsoh menurut bahasa, ialah As-suhulah (ةلوهسلا) atau Al-yusru ( رسيلا) yang berarti “kemudahan”.9

Adapun pengertian rukhsoh menurut istilah yang disampaikan oleh Syaikh Taqiyuddin bin As-subki didalam kitabnya Jam’ul Jawani’, ialah:

6 Shafiyuddin Abdul Mu’min, Qawa’idul Ushul wa maqa’idul fushul, Kuwait: Darul Raka’iz lin Nasyri wat Tawzi’i, 2018 M. hal.62.

7 Mu’adzimuddin Abu Abdillah, W 616 H, Al-Furuq ‘ala Madzhabil Imam Abu Hanifah, Riyadh: Darus Shami’iy lin Nasyri wat Tawzi’i,1998 M, hal.200.

8 Shafiyuddin Muhammad bin Abdurrahim w 710 H, Nihayatul Wushul fi Dirayatil Ushul, Mekkah: Maktabah Tujjariyyah,1996 M, juz 2 hal.682

9 Nidzamuddin Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Ishaq Asy-syasiy, W. 344 H. Ushul Asy-syasiy, Beirut:

Dar Al-kutub Al-‘arabiy. hal.385.

5

(9)

يِلْصَ ْلا ِبَبّسلِل ِماَيِق َعَم ٍرْذُعِل ٍةَلْوُهُس ىَلِا َرّيَغَت ْنِإ ُمْكُحْلا

Artinya : Berubahnya suatu hukum menjadi lebih mudah dikarenakan adanya ‘udzur, disertai dengan tetapnya sebab dalam hukum asal.10

Selain pengertian yang telah disampaikan oleh Syaikh Taqiyuddin bin As-subki, para ulama lain juga memberikan pengertian rukhsoh dengan rumusan yang berbeda dalam mengartikannya, namun pada hakikatnya adalah sama, diantaranya:

1. Menurut Abu Zahrah, rukhsoh ialah:

ا ِفّلَخَتِل ٍغّوَسُم ِماَيِق ِبَبَسِب ْتَعِر ُش اَم ُةَصْخُرلاَو يِلْصَ ْلا ِمْكُح ْل

Artinya : Rukhsah adalah ketentuan yang disyariatkan karena keadaan sebab yang memperkenankannya untuk berbeda dari hukum asalnya.11

2. Sedangkan menurut Syaikh Ali Jum’ah, yang disebut dengan rukhsoh adalah:

ِداَبِعْلا ِراَذْعَ ِل ّيِعْر ّشلا ِلْيِلّدلا ِف َلِخ ىَلَع ٍلْيِلَدِب ُتِباّثلا ُمْكُحْلَا

Artinya: Hukum yang tetap berdasarkan dalil yang berbeda dengan dalil syar’i karena pertimbangan uzur mukallaf .12

3. Syaikh Abu Hasan, memberikan definisi rukhsoh sebagai berikut:

ٍعِماَج ُرْيَغ َوُهَو ،ِمّرَحُمْلا ِبَبّسلا ِماَيِق َعَم ٍرْذُعِل ُهُلْعِف َزاَج اَم

Artinya : Apa yang boleh dilakukan karena suatu alasan selama alasan yang melarang itu ada, dan itu tidak menyeluruh.13

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa yang dinamakan dengan rukhsah adalah sesuatu yang diperbolehkan dilakukan oleh umat muslim yang pada dasarnya dilarang, dikarenakan adanya uzur atau ketidakmampuannya. Dan tujuan dari rukhsoh itu sendiri ialah untuk memberikan kemudahan atau keleluasaan tanpa memberatkan atau membebankan kepada orang berudzur tersebut. Selanjutnya, setelah membahas pengertian tentang rukhsoh akan diterangkan pembahasan pengertian tentang ‘Azimah.

D. Pengertian hukum wadh’i

10 Tajuddin Abdul Wahab bin Ali as Subki, Jam’u Al-jawami’(Lebanon Darul kutub ilmiah, 2019) hal. 15 11 Muhammad Abu Zahrah, Usul Fiqh, Kairo: Darul Fikr Al-Arabi: 2012.

12 Muhammad Ali Jum’ah, Al-Hukmu as-Syar’i ‘indal Ushuliyyin, Kairo: Darus Salam, 2013.

13 Abu Hasan Sayyiduddin Ali, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, Beirut: Al-Maktab Al-Islamiy, juz 1 hal.132

(10)

Hukum wadh`i adalah khitab tentang keberadaan sesuatu sebagai sebab , syarat, mani` (penghalang), sah dan fasad (rusak).

1. Sebab

Menurut arti bahasa adalah tali dan sesuatu yang menghantarkan pada perkara lain. Firman Allah SWT:

:جحلا) ِءاَمّسلا يَلِإ ٍبَبَسِب ْدُدْمَيْلَف

15

maka hendaklah merentangkan tali ke langit”

Sedangkan definisi sabab menurut istilah ulama ushul adalah :

ِ مْكُحْلِل ٌفّرَعُم ُهّنِإ ُثْيَح ْنِم ِهِب ِقّلَعّتلِل ِهْيَلِإ ُمْكُحلْا ُفاَضُي اَم

ُهُرْيَغْو َأ

Sesuatu yang menjadi tempat sandarnya hukum, karena hukum terkait dengannya, dari sisi bahwa sesuatu itu adalah penanda hukum, atau yang lain”.

2. Syarat

Secara bahasa terdapat dua tinjauan yang masing-masing memiliki pemaknaan yang berbeda, yaitu:

1) Berbentuk masdhar dengan huruf ra` yang disukun dan memiliki bentuk jamak syurutun.

Maka arti yang terkandung adalah menetapkan sesuatu dan menyanggupinya.

2) Dengan huruf ra` yang berharakat dan bentuk jamak asyrath. Maka memiliki arti sebuah tanda.

Sedangkan syarat secara istilah adalah, memiliki pengertian sebagai berikut:

ٌمَدَع َلَو ٌدْوُجُو ِهِدْوُجُو ْنِم ُمَزْلَي َلَو ِمَدَعْلا ِهِمَدَع ْنِم ُمَزْلَياَم

Sesuatu yang ketiadaannya menetapkan tidak adanya hukum dan keberadaannya tidak menetapkan ada atau tiadanya hukum”

3. Mani`

7

(11)

Mani` ada dua bentuk, mani` al-hukm (pencegah hukum) dan mani` as-sabab (pencegah sabab). Definisi mani` al-hukm menurut pengarang:

ُطِبَضْنُمْلا ُرِهاّظلا ّيِدْوُجُوْلا ُفْصَوْلَا

ِ مْكُحْلا َضْيِقَن ُفّرَعُمْلا

“Sifat yang berupa perwujudan (bukan ketiadaan), jelas, terukur, dan sebagai penanda kebalikan hukum”

4. Sah

Secara bahasa adalah sehat, sedangkan menurut istilah, pengertian sah ulama ushul adalah:

َعْر ّشلا اًعْوُقُو يِنْيَهْجَوْلا ْيِذ ِلْعفِلا ُةَقَفاَوُم

"Kesesuaian perbuatan berisi ganda (dua wajah) dari aspek realisasinya terhadap syara’”14

5. Fasad

Mengenai definisi dan pemilahannya fasad, ulama berbeda pendapat.

1) Menurut syafi’iyah fasad (batal) merupakan sinonim dengan definisi. Ketidak sesuaian sebuah perbuatan yang berisi dua wajah terhadap syariat.

Contoh, dalam jual beli syara’ menetapkan ketentuan syarat dan rukun. Manakala jual beli melanggar ketentuan ini, maka jual beli tersebut disebut fasad (batal).

2) Menurut imam Abu Hanifah, fasad dan batal berbeda. Menurut beliau bahwa hukum yang dilarang didalamnya mengarah pada asalnya (syarat dan rukun), maka dinamakan batal.

Contoh seperti melakukan sholat tanpa memenuhi sebagian rukun dan syaratnya. Atau mengarah kepada sifatnya ibadah, maka dinamakan fasad.

E. Perbedaan antara hukum taklifi dengan hukum wadh’i

14 Jalal Ad-Din As-Suyuthi, Syarh Al-Kawkab as-Sathi’, vol I hal. 25

(12)

Secara hakikat, perbedaan hukum taklifi dengan hukum wadh’i adalah bahwasannya hukum dalam khitab wadh’i berbentuk penetapan syara’ atas sebuah sifat menjadi sebab, syarat, atau mani’.Sedangkan khitab taklifi berbentuk tuntutan melakukan perbuatan yang ditetapkan berdasarkan beberapa sabab, syarat, dan mani’.15

Perbedaan antara hukum taklifi dengan hukum wadh’i diperjelas oleh Imam Wahbah Az-Zuhaili:

1) Tujuan dalam hukum taklifi adalah menuntut perbuatan, pencegahan, atau memberi hak pilih pada mukallaf. Sedangkan dalam hukum wadh’i , tujuan utamanya bukan tuntutan atau memberi hak pilih, akan tetapi keterkaitan sebuah perkara satu dengan yang lain, dengan pola menjadi sebab atau syarat, dan lain-lain.

2) Dalam hukum taklifi, obyek tuntutan berada dalam jangkauan kemampuan mukallaf.

Sedangkan dalam hukum wadh’i, terkadang obyek berada dalam jangkauan kemampuan mukallaf, terkadang tidak.

3) Hukum taklifi hanya berkaitan dengan mukallaf, yakni orang yang berakal dan baligh.

Sedangkan hukum wadh’i berkaitan dengan manusia, baik mukallaf maupun tidak.16

15Ibid, hal. 25

16 DR. Wahbah Az-Zuhaili, Ushul Al-Islami hal. 43-44 9

(13)

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Hukum taklifi adalah:

ْو َأ ِلْْْعِف ْنَع ُهّفَك ْوَأ ِفّلَكمُلْا َنِم ِلْْْعفِلْا َبَلَط ى َْْضَتْقِا اَْْم

ُهْنَع ّفَكلْاَو ِلْعِفلْا َنْيَب ٍرْيِيْخَت

Yaitu hukum yg menetapkan tuntutan melakukan sebuah pekerjaan dari seorang mukallaf, atau mencegah sebuah perbuatan, atau memberi pilihan antara melakukan dan meninggalkannya”.

Hukum wadh`i adalah khitab tentang keberadaan sesuatu sebagai sebab , syarat, mani`

(penghalang), sah dan fasad (rusak).

Ulama ushul berselisih pendapat mengenai eksistensi ‘Azimah dan Rukhsah, apakah keduanya tergolong hukum taklifi atau wadh’i?

1) Sebagian ulama memasukan keduanya sebagai hukum taklifi, alasannya karena ‘Azimah adalah iqtidha’ (tuntutan) dan rukhsah adalah takhyir (memberi hak pilih).

2) Ulama lain seperti Imam Ibn Al-Hajib, Al-Ghazali, dan As-Syathibi menggolongkan keduanya sebagai hukum wadh’i. Karena hakikat rukhsah adalah bahasa lain dari peletakan As-syari’ atas sebuah sifat menjadi sebab dari keringanan hukum. Dan ‘Azimah adalah bahasa lain dari posisi ‘adat (kebiasaan) yang menjadi sebab pemberlakuan hukum asal yang bersifat menyeluruh.

Perbedaan antara hukum taklifi dan hukum wadh’i Secara hakikat, perbedaan hukum taklifi dengan hukum wadh’i adalah bahwasannya hukum dalam khitab wadh’i berbentuk penetapan syara’ atas sebuah sifat menjadi sebab, syarat, atau mani’.Sedangkan khitab taklifi berbentuk tuntutan melakukan perbuatan yang ditetapkan berdasarkan beberapa sabab, syarat, dan mani’

B. Saran

(14)

Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, maka kedepannya penulis akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber- sumber yang lebih banyak yang dapat dipertanggung jawabkan.

Untuk saran bisa berisi kritik terhadap penulisan juga bisa untuk menanggapi terhadap kesimpulan dari pembahasan makalah yang telah dijelaskan. Untuk bagian terakhir dari makalah adalah daftar pustaka. Pada kesempatan ini saya jelaskan tentang daftar pustaka makalah.

11

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mu’min, Shafiyuddin, Qawa’idul Ushul wa maqa’idul fushul, Kuwait: Darul Raka’iz lin Nasyri wat Tawzi’i, 2018.

Abu Abdillah, Mu’adzimuddin, Al-Furuq ‘ala Madzhabil Imam Abu Hanifah, Riyadh: Darus Abu Zahrah, Muhammad, Usul Fiqh, Kairo: Darul Fikr Al-Arabi: 2012.Shami’iy lin Nasyri wat Tawzi’i,1998.

Al-Banani, Hasyiah ‘ala Syarh Jam’u Al-Jawami’, Vol I.

Al-Barmawiy, Syamsuddin Muhammad, Al-Fawa’id As-sunniyah fi syarhil Alfiyah, Maktabah Darun Nashihah, Madinah: 2015 M, juz .

Ali Ahmad,Nidzamuddin Abu, Muhammad bin Ishaq Asy-syasiy, Ushul Asy-syasiy, Beirut:

Dar Al-kutub Al-‘arabiy.

Al-Mahali, Jalal Ad-Din, Syarh Jam’i Al-Jawami’, Vol I.

As Subki, Tajuddin Abdul Wahab bin Ali, Jam’u Al-jawami’,Lebanon Darul kutub ilmiah, 2019.

As-Suyuthi, Jalal, syarh Al-Kawkab as-Sathi’, t.p,tt.

Az-Zuhaili, Wahbah, Ushul Al-Fiqh Al-Islami, Vol I.

Jum’ah, Muhammad Ali, Al-Hukmu as-Syar’i ‘indal Ushuliyyin, Kairo: Darus Salam, 2013.

Muhammad, Shafiyuddin, Abdurrahim, Nihayatul Wushul fi Dirayatil Ushul, Mekkah:

Maktabah Tujjariyyah,1996 M, juz 2.

Sayyiduddin Ali, Abu Hasan, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, Beirut: Al-Maktab Al-Islamiy, juz 1.

Referensi

Dokumen terkait

lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu yang berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas

1. Tidaklah ada perbedaan jurudis prinsipiil antara Hukum Administrasi Negara dan Hukum Tata Negara. Perbedaannya hanyalah terletak pada titik berat dari pada pembahasannya dalam

          Pertanyaan : Apakah hukum syara' dalam pandanganmu pada seorang laki-laki yang mencela agama di saat marah, apakah ada kewajiban membayar kafarat atasnya? Apakah

Secara lebih rinci Pasal 66 menjelaskan bahwa: “Putusan arbitrase internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, apabila

Kemudian pengertian ini dijabarkan menjadi: “Hukum-hukum syara’ mengenahi perbuatan manusia yang dihasilkan dari dalil-dalil yang terperinci”.4 Syeh Mahmud Syaltut mengartikan syari’ah

Penulisan skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana pada Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah, Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum Islam Institut Agama

PMH dalam ranah hukum pidana dan perdata memiliki konteks yang berbeda, perbedaan tersebut terletak pada pemfokusan sifat antara hukum pidana yang bersifat publik dan hukum perdata yang

Perbedaan Hukum Internasional berbeda dengan Hukum Perdata Internasional dikarenakan adanya perbedaan mendasar yang terletak pada subjek hukumya - Hukum Internasional yang menjadi