ANALISIS PERUBAHAN HARGA BAHAN MAKANAN BERDASARKAN INDEKS HARGA KONSUMEN DI PROVINSI SUMATERA BARAT
Paper
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ekonomi Makro Dosen Pengampu : Dr. Lindawati, SP, Msi
Disusun Oleh:
Cherry Aprillia (200304006) Tietin Indrayanti (200304103) Windy Isnaini Pasaribu (210304005)
Adis Adilla Yunus (210304124)
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2022
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Keadaan ekonomi suatu negara di pengaruhi berbagai faktor diantaranya yakni suku bunga, inflasi, kebijakan-kebijakan pemerintah, isu-isu politik dan PDB (Produk Domestik Bruto). Indeks harga konsumen(IHK) adalah angka indeks yang menggambarkan perubahan barang atau jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat secara umum pada periode waktu pertentu (Noor Azhar Fauzi dalam Karlina, 2017).
Menurut data BPS (2014) IHK adalah suatu indeks yang menghitung rata- rata perubahan harga dalam suatu periode dari suatu kumpulan harga barang dan jasa satu indikator ekonomi yang sangat penting karena dapat mewakili perubahan tingkat harga eceran ditingkat konsumen pada jumlah barang dan jasa tertentu.
Jenis barang dan jasa tersebut dikelompokkan menjadi 7 kelompok yaitu bahan makanan; makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau; perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar; Sandang; Kesehatan; Pendidikan, rekreasi dan olah raga; transpor, komunikasi, dan jasa keuangan
Tujuan Penghitungan Indeks Harga yaitu Petunjuk dalam pengambilan keputusan serta kebijakan baik oleh pelaku usaha maupun pemerintah, Sebagai alat ukur dalam melihat dan mengukur tingkat ekonomi pada satu masa ke masa lain dan Mengukur tingkat inflasi sebuah Negara (Lubis et al., 2017).
Perubahan angka Indeks Harga Konsumen merupakan indikator dalam ekonomi makro yang sangat penting untuk memberikan pola atau gambaran tentang laju inflasi atau deflasi pada suatu daerah/wilayah tertentu, dan juga dapat menggambarkan pola konsumsi di masyarakat. Selain hal tersebut, IHK digunakan untuk membuat analisis sederhana tentang sekilas perkembangan ekonomi di suatu daerah/wilayah (Sari , 2009). Inflasi merupakan proses kenaikan harga-harga umum secara terusmenerus. Inflasi akan mengakibatkan
menurunnya daya beli masyarakat, karena secara riil tingkat pendapatannya menurun (Aji. M & Mukri. S, 2020:65).
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimanakah Indeks harga konsumen (IHK) di Provinsi Sumatera Barat?
1.2.2 Apa sajakah faktor-faktor penyebab kenaikan harga?
1.2.3 Bagaimana solusi kebijakan untuk mengatasi kenaikan harga?
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui indeks harga konsumen (IHK) di Provinsi Sumatera Barat.
1.3.2 Untuk mengetahui apa saja faktor penyebab kenaikan harga.
1.3.3 Untuk mengetahui solusi kebijakan untuk mengatasi kenaikan harga
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Indeks Harga Konsumen Kelompok Bahan Makanan Provinsi Sumatera Barat Perkembangan harga di Provinsi Sumatera Barat dari berbagai jenis mengalami naik dan turun dari tahun 2017 – 2021. Namun pandemi membuat harga bahan makanan melonjak tinggi.
Tabel. Indeks Harga Konsumen Provinsi Sumatera Barat 2017 – 2021
TAHUN IHK SUMATRA BARAT
2017 134.44
2018 138.24
2019 142
2020 103.82
2021 105.54
Sumber:bps.symaterabarat (data olahan)
Grafik. Indeks Harga Konsumen Provinsi Sumatera Barat 2017 – 2021
Sumber:olahan
Dari data diatas dapat kita lihat bersama harga konsumen tertinggi selama kurun waktu 4 tahun teradi di tahun 2019 dengan jumlah IHK 142. Nilai IHK pada kelompok bahan makanan tersusun dari beberapa sub sektor.
Indeks Harga Konsumen (IHK) Nasional untuk Sumatera Barat salah satunya diwakili oleh Kota Padang. Inflasi Provinsi Sumatera Barat tahun 2018 sebesar 2,60 persen, berada di bawah angka nasional sebesar 3,13 persen. Inflasi Kota Padang tahun 2018 tercatat sebesar 2,55 persen. Kenaikan harga yang terjadi tahun ini utamanya disebabkan karena naiknya harga beras yang terjadi di hampir semua daerah di Indonesia dan disebabkan juga dari komoditas barang/jasa lainnya.
Inflasi Provinsi Sumatera Barat tahun 2019, khususnya Kota Padang berada di bawah angka inflasi nasional. Inflasi nasional tercatat sebesar 2,72 persen, sedangkan inflasi Provinsi Sumatera Barat sebesar 1,66 persen. Inflasi Kota Padang tercatat sebesar 1,72 persen. Inflasi pada tahun ini disebabkan oleh kenaikan harga bahan pangan seperti cabai merah, komoditas hasil tangkapan laut, telur ayam ras, petai, dan beberapa komoditas lainnya.
Hasil studi (Ramadhan, 2009) menunjukkan bahwa harga kelompok bahan makanan dengan bobot pembentuk inflasi tertinggi di Sumatera Barat.
Permasalaham utama yang dihadapi terkait pola distribusi pasokan serta dukungan infrastruktur yang terbatas. Salah satu kelompok bahan makanan yang berkontribusi yaitu fluktuasi harga komoditas pangan. Penghitungan IHK Kota Padang tahun tahun 2018 dan 2019 menggunakan tahun dasar 2012= 100.
Sedangkan penghitungan IHK tahun 2020 – 2021 menggunakan tahun dasar 2018
= 100. Perubahan tahun dasar ini dilakukan karena paket komoditas (commodity basket) dan diagram timbang hasil SBH sebelumnya yang digunakan dalam penghitungan IHK sudah tidak sesuai lagi dan tidak menggambarkan keadaan
Tabel. IHK 2017 – 2021 Prov Sumatera Barat
NO Kelompok Tahun
2017 2018 2019 2020 2021 1 Komoditi Makanan Jadi, Minumanan,
Rokok, dan Tembakau
133.85 139.06 141.99 104.46 107.52 2 Komoditi perumuhan, air, listrik, dan
gas 130.4 135.3 136.72 100.7 101.43
3 Kelompok sandang 114.97 118.26 122.67 104.4 106.24 4 Kelompok transportasi 133.75 134.66 139.07 102.87 102.74
Grafik. IHK 2017 Prov Sumatera Barat
Grafik. IHK 2018 Prov Sumatera Barat
Grafik. IHK 2019 Kota Medan
100.00 110.00 120.00 130.00 140.00
Komoditi Makanan Jadi, Minumanan,
Rokok, dan Tembakau
Komoditi perumuhan, air,
listrik, dan gas
Kelompok sandang Kelompok transportasi
IHK PROVINSI SUMATERA BARAT BERDASARKAN SUB NYA TAHUN 2017
105110 115120 125130 135140 145
Komoditi Makanan Jadi, Minumanan,
Rokok, dan Tembakau
Komoditi perumuhan, air,
listrik, dan gas
Kelompok sandang Kelompok transportasi
IHK PROVINSI SUMATERA BARAT
BERDASARKAN SUB NYA TAHUN 2018
Grafik. IHK 2020 Provinsi Sumatera Barat
Grafik. IHK 2020 Sumatera Barat
Grafik. IHK 2021 Sumatera Barat
Sejak awal pandemi harga komoditas pangan cenderung meningkat secara terus menerus. Menurut (Adzanian et al., 2021; Siswoyo & Asrini, 2020; Yuliati, Rini;
Hutajulu, 2020) meningkatnya harga komoditas pangan secara terus-menerus akan menyebabkan inflasi disuatu daerah meningkat. Inflasi Kota Padang sepanjang tahun 2021, terjadi 6 kali mengalami inflasi dan 5 bulan mengalami deflasi. Inflasi terjadi pada bulan Januari (0,10), bulan Maret (0,42), bulan Mei (0,19), bulan September (0,04), bulan Oktober (0,35) dan bulan November (0,70). Deflasi terjadi pada pada bulan Februari (-0,42), bulan April (-0,50), bulan Juni (-0,16), bulan Juli (-0,09), dan bulan Agustus (-0,10). Gambar 2 menunjukkan perkembangan linfasi/deflasi di kota Padang selama tahun 2021.
2.2 Faktor-faktor penyebab kenaikan harga
Harga dapat diartikan sebagai jumlah uang (atau alat tukar lain) yang harus dibayarkan untuk produk ataupun jasa. Harga juga dapat berarti nilai dari sebuah barang ataupun jasa. Namun, harga tersebut pastinya tidak selalu sama dari waktu ke waktu (Luxviantono et al., 2018). Harga konsumen merupakan harga transaksi yang terjadi antara pedagang/pengecer dengan pembeli/konsumen atas suatu barang dan jasa dengan tujuan untuk dikonsumsi.
Dalam hukum permintaan dijelaskan hubungan antara permintaan suatu barang dengan tingkat harganya. Jika semakin rendah harga suatu barang maka semakin banyak permintaan terhadap barang tersebut. Demikian juga sebaliknya, semakin tinggi harga suatu barang, maka semakin sedikit permintaannya.
Sedangkan dalam hukum penawaran ini menjelaskan tentang hubungan antara harga suatu barang dengan jumlah barang yang ditawarkan. Dalam hukum penawaran dikatakan bahwa semakin tinggi harga suatu barang, maka semakin banyak jumlah barang yang ditawarkan. Demikian juga sebaliknya, jika rendah harga suatu barang maka semakin sedikit jumlah barang yang ditawarkan tersebut.
Berikut beberapa faktor-faktor permintaan dan penawaran:
Faktor permintaan:
1. Harga barang itu sendiri.
2. Harga barang lain.
3. Pendapatan rumah tangga dan pendapatan rata-rata masyarakat.
4. Selera masyarakat.
5. Jumlah penduduk.
Faktor penawaran:
1. Harga barang itu sendiri.
2. Harga barang-barang lain.
3. Biaya produksi.
4. Tingkat teknologi yang digunakan.
Berikut beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi harga:
1) Permintaan terhadap suatu barang. Untuk mengetahui hal tersebut perlu diketahui terlebih dahulu jumlah populasi masyarakatnya, jika jumlah populasi sudah diketahui maka hal itu akan mempermudah untuk mengetahui jumlah permintaannya, dan setelah itu mencari tahu total penjualan suatu produk setiap harinya, kemudian di tentukan sampelnya.
2) Harga barang substitusi (pengganti). Jika harga komoditas utama meningkat maka penjual akan meningkatkan jumlah komoditas pengganti (substitusi) yang di tawarkan. Karna hal itu konsumen akan beralih dari barang lama ke barang baru yang cenderung lebih murah. Sebagai contohnya yakni kopi dan teh. Jika harga kopi meningkat, maka konsumen akan beralih dari kopi ke teh.
3) Harga barang complement (pelengkap). Jika suatu permintaan barang utama meningkat, maka permintaan terhadap barang complement (pelengkap) juga meningkat. Sebagai contohnya yakni teh dan gula. Jika permintaan teh meningkat, maka permintaan gula juga meningkat.
4) Selera masyarakat. Selera masyarakat terhadap suatu barang cenderung berubah- ubah. Hal ini akan mengubah permintaan terhadap suatu barang dan akan berpengaruhi terhadap suatu harga.
2.3 Solusi Kebijakan Untuk Mengatasi Kenaikan Harga
Kenaikan harga di suatu daerah adalah sebuah fenomena yang disebut inflasi.
Inflasi merupakan fenomena atau peristiwa ekonomi secara makro yang dapat menggambarkan aktivitas dan pencapaian yang dicapai oleh kegiatan ekonomi, baik di suatu wilayah ataupun di suatu negara. Fenomena ekonomi seperti inflasi, tidak mungkin dihindari, melainkan bagaimana cara pemerintah mampu mengendalikan gejolak inflasi yang tinggi dan tidak stabil, agar menjadi relatif lebih rendah dan tetap stabil. Laju inflasi selain merupakan indikator utama melihat kinerja ekonomi suatu negara, tapi dapat juga merupakan target yang akan dicapai pemerintah, karena sebagai asumsi dalam menyusun nota keuangan negara yakni APBN pada tiap tahunnya juga mengacu pada seberapa besar target inflasi yang akan dicapai pada
tahun tersebut. Jadi laju inflasi harus dapat dikendalikan oleh pemerintah bersama dengan Bank Indonesia yang telah diamanahkan dalam undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Tugas dan Tanggung jawab Bank Indonesia.
Bank Indonesia bersama-sama dengan Pemerintah Pusat sampai dengan Pemerintah Propinsi serta Kota dan Kabupaten selalu bekerjasama dan berkoordinasi dalam mengendalikan laju inflasi, terutama pada kondisi peak season (Bulan Ramadhan dan Hari Raya) dimana laju inflasi menjadi lebih cepat naik dan selalu terjadi pada setiap tahunnya. Hal ini dikarenakan adanya gap expectation di pasar antara konsumen di satu sisi dengan pedagang barang-barang kebutuhan pokok pada sisi lainnya.
Kenaikan harga barang secara keseluruhan yang sering kita sebut sebagai inflasi memiliki dampak yang kuat terhadap perekonomian. Kenaikan harga barang dapat disebabkan karena beberapa faktor diantaranya jumlah uang yang beredar di masyarakat cukup banyak, kelangkaan sumber daya yang akan menyebabkan naiknya impor barang tersebut, dan masih banyak lagi sebab yang lainnya.
Kebijakan Bank Indonesia di dalam mengendalikan inflasi diantaranya dengan mengurangi jumlah uang yang beredar dan menaikkan tingkat suku bunga.
Tujuan Bank Indonesia sebagaimana yang diamanatkan oleh undang- undang yaitu menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia mempunyai tugas utama yakni menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran serta mengatur dan mengawasi perbankan.
Bank Indonesia hanya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi tekanan inflasi yang berasal dari sisi permintaan, sedangkan tekanan inflasi dari sisi penawaran berada di luar pengendalian Bank Indonesia. Inflasi yang berasal dari sisi penawaran atau yang bersifat kejutan (shocks) dapat dapat dicontohkan dalam bentuk seperti kenaikan harga minyak dunia dan adanya gangguan panen atau banjir.
Dengan pertimbangan bahwa laju inflasi juga dipengaruhi oleh faktor yang bersifat kejutan (shock) tersebut maka pencapaian sasaran inflasi memerlukan kerjasama dan koordinasi antara pemerintah dan Bank Indonesia melalui kebijakan makroekonomi yang terintegrasi. Lebih jauh, karakteristik inflasi Indonesia yang cukup rentan terhadap kejutan-kejutan (shocks) dari sisi penawaran memerlukan kebijakan-kebijakan khusus untuk permasalahan tersebut. Dalam usaha untuk mengatasi inflasi yang bersumber dari kejutan pada sisi penawaran di bentuklah Tim Pengendalian Inflasi (TPI) di tingkat pusat sejak tahun 2005 dan sejak tahun 2008 dibentuk pula Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) yang
bertugas untuk membantu pencapaian tingkat inflasi di daerah.
Kajian maupun penelitian tentang persistensi inflasi banyak difokuskan pada skala nasional. Inflasi nasional terbentuk dari inflasi daerah, sehingga penelitian tentang inflasi di tingkat regional sangat diperlukan. Penelitian tentang persistensi daerah dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa masing-masing daerah memiliki karakteristik yang berbeda sehingga menyebabkan adanya kebijakan pengendalian inflasi yang berbeda pula. Meskipun secara umum tekanan inflasi di daerah banyak dipengaruhi shock pada sisi penawaran. Disamping mengenai penelitian Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) perlu juga diketahui tingkat persistensi inflasi di Sumatera Utara dan tindakan seperti apa yang akan diambil oleh Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) terkait dengan pengendalian tingkat inflasi dan tingkat persistensi inflasi di Sumatera Utara.
Berdasarkan pada uraian sebelumnya maka sangat pentingnya mengetahui faktor penyebab utama persistensi inflasi yang terjadi agar otoritas moneter dapat segera merespon shock yang terjadi dan mencegah dampak dari persistensi inflasi tersebut.
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.1.1 Indeks Harga Konsumen Kelompok Bahan Makanan di Provinsi Sumatera Barat memberikan andil inflasi 0,02 persen terhadap inflasi umum di Provinsi Sumatera Barat.
3.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kenaikan harga adalah Permintaan terhadap suatu barang, Harga barang substitusi (pengganti), Harga barang complement (pelengkap) dan Selera masyarakat.
3.1.3 Selain menggunakan kebijakan moneter maupun kebijakan fiskal, untuk mengatasi kenaikan harga pemerintah daerah dapat membentuk Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID).
3.2 Saran
3.2.1 Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi inflasi pada semua kelompok komoditas sebaiknya pemerintah Provinsi Sumatera Barat menindak lanjuti dengan serius segala hal yang merugikan masyarakat dengan peran TPID serta masyarakat.
Daftar Pustaka
BPS PROVINSI SUMATERA BARAT
G, R. (2009). ANALISIS KETERKAITAN HARGA ANTAR KELOMPOK KOMODITAS PEMBENTUK INFLASI DI SUMATERA BARAT. BULETIN EKONOMI
MONETER, 233 - 274.
putri, M. A. (2022). Fluktuasi Harga Pangan dan Pengaruhnya Terhadap Inflasi Di Kota Padang Provinsi Sumatera Barat. AGROPROSS, 404 - 415.
Raharja, p. &. (2008). Pengantar Ilmu Ekonomi. Jakarta: Universitas Indonesia.