ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN PERSARAFAN: EPILEPSI
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Dewasa Sistem Muskuloskeletal, Integumen, Persepsi Sensori, dan Persarafan dengan Dosen
Pengampu : Ns. Jon Hafan Sutawardana, M.Kep., Sp.Kep.MB
Oleh Kelompok 1
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS JEMBER FAKULTAS KEPERAWATAN
SEPTEMBER, 2024 Alifia Marcheilla Yulfansha
Veny Alifia Febrianti Najwa Zahira Shofa Selvia Amelinda Novianti
222310101017 222310101019 222310101091 222310101094
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan ke hadirat Allah SWT atas segala karunia dan rahmatNya sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Ns. Jon Hafan Sutawardana, M.Kep, Sp.
Kep.MB sebagai dosen pengampu mata kuliah Keperawatan Dewasa Sistem Muskuloskeletal, Integumen, Persepsi Sensori, dan Persarafan yang telah membimbing kami selama proses pengerjaan makalah ini.
Kami sebagai penulis berharap makalah ini dapat membantu kami untuk lebih memahami tentang asuhan keperawatan pada klien dewasa dengan epilepsi. Kami juga berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan pembaca.
Makalah ini kami susun dengan sebenar – benarnya dari beberapa sumber baik kajian pustaka maupun media internet. Apabila ada kesalahan maupun kekurangan pada makalah ini, kami memohon kritik dan saran yang membangun dari pembaca agar dapat membantu dalam perbaikan makalah ini.
Demikian makalah ini kami buat, apabila terdapat kesalahan penulisan maupun ketidaksesuaian materi pada makalah ini, kami mohon maaf. Kami sebagai penulis menerima kritik dan saran seluas- luasnya agar dapat membuat karya makalah yang lebih baik lagi kedepannya.
Jember, 10 September 2024
Tim Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... ii
BAB 1... 1
KONSEP PENYAKIT ... 1
1.1 Anatomi dan Fisiologi ... 1
1.2 Definisi ... 3
1.3 Epidemiologi ... 4
1.4 Etiologi ... 4
1.5 Klasifikasi ... 5
1.6 Patofisiologi ... 5
1.7 Manifestasi Klinis ... 6
1.8 Pemeriksaan Penunjang ... 6
1.9 Penatalaksanaan Farmakologi dan Non Farmakologi ... 7
1.10 Komplikasi ... 8
1.11 Pencegahan ... 8
1.12 Pathway ... 9
BAB 2... 10
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN ... 10
2.1 Pengkajian Keperawatan ... 10
2.2 Diagnosis Keperawatan ... 16
2.3 Intervensi Keperawatan ... 17
2.4 Implementasi Keperawatan ... 17
2.5 Evaluasi Keperawatan ... 17
2.6 Pendokumentasian ... 17
BAB 3... 18
ASUHAN KEPERAWATAN ... 18
3.1 Deskripsi Kasus ... 18
3.2 Pengkajian Keperawatan ... 18
3.3 Analisa Data ... 21
3.4 Diagnosa Keperawatan ... 21
3.5 Intervensi Keperawatan ... 22
3.6 Implementasi Keperawatan ... 23
3.7 Evaluasi Keperawatan ... 24
BAB 4... 25
PENUTUP ... 25
4.1 Kesimpulan ... 25
DAFTAR PUSTAKA ... 27
LAMPIRAN ... 28
BAB 1
KONSEP PENYAKIT 1.1 Anatomi dan Fisiologi
Sumber : https://id.pinterest.com/pin/87609155238623910/
Sistem saraf terdiri dari jutaan neuron. Sistem saraf merupakan suatu koordinasi terstruktur yang bekerja untuk menghantarkan rangsangan dari reseptor (penerima) yang kemudian dideteksi menjadi sebuah respon atau tindakan pada tubuh (Meutia et al., 2021). Melalui sistem saraf, tubuh dapat bereaksi karena sel-sel neuron mampu berkomunikasi satu sama lain.
Terdapat tiga fungsi pokok utama dari sistem saraf yaitu :
1. Input sensoris merupakan penghantar pesan dari reseptor sensoris ketika menerima rangsang dari luar tubuh
2. Integrasi merupakan penerjemah pesan yang didapat dari stimulasi reseptor sensoris untuk menghasilkan respon yang sesuai. Pusat integrasi berada pada Sistem Saraf Pusat.
3. Output Motoris merupakan penghantar pesan dari Sistem Saraf Pusat menuju sel-sel efektor, kemudian menuju sel-sel otot sehingga tubuh dapat memberikan respon sesuai dengan pesan yang diterima.
Sistem Saraf Pusat terdiri dari otak dan saraf spinal. Sistem saraf pusat merupakan kunci dari seluruh kegiatan koordinasi pada tubuh manusia. Masing-masing bagian pada sistem saraf pusat memiliki peranan yang berbeda.
1. Otak merupakan pusat koordinasi tubuh yang dilindungi oleh kranium dan diselubungi oleh selaput meninges. Otak bertugas untuk mengatur seluruh gerakan, perilaku, serta fungsi tubuh manusia. Volume otak sekitar 1.350 cc dan terdiri atas 100 juta neuron.
Bagian-Bagian Otak :
a. Otak Besar (Cerebrum)
(Sarwadi & Linangkung, 2019)
Otak besar memiliki lapisan luar berwarna abu-abu yang terdiri atas 15-33 miliar neuron. Otak besar memiliki peranan penting dalam perkembangan manusia seperti ingatan, perhatian, persepsi, pertimbangan, kemampuan berbicara, serta kesadaran. Otak besar terdiri dari dua belahan otak kanan dan otak kiri dengan fungsi yang berkebalikan.
Otak besar memiliki 4 bagian diantaranya lobus frontalis atau bagian penstimulasi terletak di depan tengah dan berperan dalam proses berpikir.
Bagian kedua merupakan lobus parietalis atau area sensoris yang merespon rabaan, tekanan, dan menerima perubahan suhu. Bagian ketiga merupakan lobus occipitalis atau bagian visual yang berfungsi menerima rangsangan dari mata. Bagian keempat yaitu area auditori yang menerima rangsangan dari telinga (Sarwadi dan Linangkung, 2014).
b. Otak Kecil (Cerebellum)
(Sarwadi & Linangkung, 2019)
Otak kecil memiliki berat sekitar 8,5 - 9% dari berat keseluruhan otak manusia. Otot kecil berfungsi mengembalikan tonus otot di luar kesadaran.
Otak kecil akan mengkoordinasikan gerakan otot secara teratur sehingga sendi dapat bergerak sesuai dengan kebutuhan (Sarwadi dan Linangkung, 2014).
2. Saraf Spinal
Saraf spinal merupakan sekumpulan saraf dan sel penyokong yang memanjang di antara tulang belakang dan terhubung ke otak untuk membentuk sistem saraf.
Spinal terdiri dari turus vertebrata dengan tulang sebagai perlindungan. Pada laki-laki saraf spinal memiliki panjang sekitar 45 cm (18 inchi) sedangkan pada perempuan memiliki panjang sekitar 43 cm (17 inchi) (Sarwadi dan Linangkung, 2014).
1.2 Definisi
Epilepsi merupakan penyakit otak kronis tidak menular yang ditandai dengan kejang berulang selama lebih dari 24 jam yang melibatkan sebagian tubuh atau seluruh tubuh disertai dengan hilangnya kesadaran (WHO, 2024).
Satu kali terjadinya kejang pada individu tidak dapat didefinisikan sebagai epilepsi. Kejang pada penderita epilepsi terjadi karena adanya proses pelepasan listrik di neuron otak yang berlebihan. Kejang epilepsi tidak dipicu oleh penyakit otak akut. Kejang tersebut biasanya terjadi sebanyak dua kali atau lebih
(Fitriyani et al., 2023).
Epilepsi telah ada sejak lama, disertai dengan berbagai stigma masyarakat yang dapat berdampak pada kualitas hidup penderita. Serangan kejang yang terjadi secara tiba-tiba dimanapun dan kapanpun akan sangat mempengaruhi kehidupan bersosial penderita. Kondisi ini merupakan suatu permasalahan yang kompleks. Sehingga bagi penderita dan keluarga, epilepsi bukan sekedar suatu penyakit kronis melainkan juga berdampak pada aspek psikologis, sosial serta ekonomi.
1.3 Epidemiologi
Angka kejadian epilepsi di seluruh dunia mencapai hingga 50 juta orang dengan proporsi populasi epilepsi aktif yaitu 4 hingga 10 per 1000 orang.
Prevalensi orang dengan diagnosis epilepsi secara global mencapai 5 juta orang setiap tahunnya. Pada negara dengan penghasilan tinggi terdapat sekitar 49 per 100.000 orang dengan diagnosa epilepsi. Sedangkan pada negara dengan penghasilan rendah dan menengah mencapai 139 per 100.000 orang didiagnosis epilepsi (WHO,2024). Sedangkan, di Indonesia sendiri terdapat sebanyak 8,2 per 1000 penduduk dengan angka kejadian 50 per 100.000 penduduk (Fitriyani et al., 2023). Tingginya angka kejadian tersebut disebabkan oleh meningkatnya risiko kondisi endemik seperti malaria, cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas, serta gangguan kesehatan yang berhubungan dengan kelahiran.
1.4 Etiologi
International League Against Epilepsy (ILAE) 2017 mengelompokkan etiologi epilepsi menjadi beberapa kategori yaitu :
1. Idiopatik
Idiopatik berarti suatu kondisi dimana penderita tidak mengalami kerusakan ataupun gangguan pada saraf otak. Etiologi ini berkaitan dengan faktor genetik dan faktor usia.
2. Kriptogenik
Kriptogenik berarti epilepsi dengan gangguan atau kerusakan pada otak yang tidak diketahui penyebab secara pastinya. Kerusakan pada otak dapat terjadi karena trauma kepala, adanya infeksi pada otak, kelainan kongenital, tumor pada otak, gangguan yang menyebabkan otak kekurangan oksigen,
serta penggunaan alkohol dan obat-obat tertentu.
1.5 Klasifikasi
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 2017, klasifikasi epilepsi yaitu :
1. Epilepsi onset fokal, yang ditandai dengan kejang melibatkan satu sisi bagian tubuh dengan disertai atau tidak disertai penurunan kesadaran.
2. Epilepsi generalisata, yang ditandai dengan kejang melibatkan dua sisi bagian tubuh disertai penurunan kesadaran.
1.6 Patofisiologi
Epilepsi disebabkan karena adanya pelepasan sinyal listrik yang berlebih pada sistem saraf pusat. Pelepasan listrik ini dipengaruhi oleh homeostasis inhibisi dan eksitasi. Patofisiologi terjadinya epilepsi dipengaruhi oleh beberapa hal sebagai berikut :
a. Terganggunya homeostasis eksitasi dan inhibisi di sistem saraf pusat Ketika terjadi kejang, akan terjadi aktivitas eksitasi yang berlebihan akibat dari letupan neuronal yang cepat sehingga terjadi pelepasan sinyal listrik berlebihan. Molekul yang berikatan pada reseptor akan Excitatory Postsynaptic Potentials (EPPs), hal ini menyebabkan terlepasnya ion Na dan ion CA serta terjadi pengikatan ion K sehingga terjadi depolarisasi. Ketika terjadi kejang, sistem inhibisi akan aktif mengkoordinasikan eksitasi yang berlebihan. Kondisi ini menyebabkan terjadinya hiperpolarisasi membran akibat Inhibitory Postsynaptic Potentials (IPPs) akibat permeabilitas ion Cl dan K semakin meningkat. Inhibitor utama neurotransmitter pada otak merupakan Gamma AminoButyric Acid (GABA). Kegagalan fungsi GABA inilah yang menyebabkan kejang menyerang individu.
b. Mekanisme sinkronisasi
Kondisi hipersinkronisasi pada sistem saraf pusat dapat menyebabkan epilepsi. Neuron akan mengirimkan pesan berupa sinyal ke neuron lain yang berdekatan secara berlebihan sehingga penyebaran terjadi secara cepat dan menyebabkan kejang.
c. Mekanisme epileptogenesis
Epileptogenesis merupakan kondisi fisiologis neuron menurun sehingga mudah tereksitasi. Hal ini dapat disebabkan karena berbagai faktor pemicu seperti trauma pada kepala, kondisi kekurangan oksigen pada otak, adanya tumor otak, ataupun infeksi otak lainnya. Apabila neuron ini mengalami kematian maka akson akan berkembang untuk menumbuhkan tunas baru yang dapat mempengaruhi neuron yang sehat.
d. Mekanisme neurokimiawi
Faktor pemicu lainnya yang dapat menyebabkan epilepsi terjadi yaitu penggunaan obat-obatan seperti golongan opioid yang dapat mengaktifkan inhibasi di neurotransmitter. Hal ini dikarenakan obat-obatan golongan opioid dapat menurunkan ambang kejang pada individu.
1.7 Manifestasi Klinis
Menurut WHO 2024, penderita epilepsi memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Kejang berulang sebanyak dua kali atau lebih.
b. Hilang kesadaran sementara.
c. Gangguan koordinasi pergerakan.
d. Tatapan mata yang kosong.
e. Terjadi kedutan pada sebagian wajah atau pada mata.
f. Gangguan psikologis seperti kecemasan, suasana hati berubah, hingga depresi.
g. Gangguan pada sistem pernapasan hingga gangguan oksigenasi menuju otak yang dapat menyebabkan kematian.
1.8 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis epilepsi yaitu pemeriksaan laboratorium, radiologi, elektrodiagnosis, serta pemeriksaan neurobehavior.
a. Pemeriksaan Laboratorium meliputi pemeriksaan darah lengkap, SGOT, kadar ureum, kadar albumin, profil lipid, GDP/GD2PP, kadar asam urat, kadar elektrolit (natrium, kalium, kalsium, magnesium), serta kadar obat antiepilepsi dalam darah.
b. Pemeriksaan Radiologi meliputi pemeriksaan rontgen thoraks dan MRI atau CT scan kepala.
c. Pemeriksaan Electroencephalography (EEG)
d. Pemeriksaan Neurobehavior meliputi lima komponen yaitu kemampuan berbahasa, kemampuan ingatan, kemampuan visual koordinasi antara apa yang dilihat dengan apa yang dipikirkan, kemampuan mengelola emosi dan stimulus, serta kemampuan kognitif.
1.9 Penatalaksanaan Farmakologi dan Non Farmakologi 1) Terapi Farmakologi
Penatalaksanaan epilepsi memiliki tujuan utama untuk meningkatkan kualitas hidup penderita. Epilepsi merupakan permasalahan kesehatan yang berdampak secara holistik mencakup fisik, psikologi, sosial dan ekonomi. Pada penatalaksanaan epilepsi, hal utama lainnya yang perlu diperhatikan yaitu mengurangi frekuensi kejang, serta memonitor efek samping pengobatan jangka panjang. Penatalaksanaan epilepsi dimulai dengan pemberian obat antiepilepsi (OAE) ketika diagnosis epilepsi telah ditegakkan serta pasien dan keluarga menyetujui penegakan diagnosis tersebut. OAE diberikan sesuai dengan jenis sindrom epilepsi yang dialami penderita. Pengobatan OAE dikategorikan dalam dua kelompok yaitu :
a. Pengobatan OAE lini pertama, meliputi obat-obatan karbamazepin, asam valporat, fenobarbital, dan fenitonin.
b. Pengobatan OAE lini kedua, meliputi topiramate, lamotrigine, levetiracetam.
Pemberian lini pertama OAE dimulai dari dosis yang rendah dan kemudian dosis dinaikkan secara bertahap hingga tujuan awal dapat tercapai. Ketika pemberian OAE dosis tinggi tidak mampu meredakan tanda gejala epilepsi, maka akan diberikan OAE kedua. Pada pasien dewasa, pemberian OAE dapat dilakukan selama 3 hingga 5 tahun secara bertahap. Pengobatan OAE dapat dihentikan ketika telah memenuhi syarat minimal pengobatan 3 tahun keatas bebas bangkitan kejang, hasil pemeriksaan EEG menunjukkan hasil normal, keluarga menyetujui atas penghentian pengobatan. Penghentian pengobatan OAE juga dilakukan secara bertahap mulai dari 25% dosis awal selama 3 hingga 6 bulan (Fitriyani et al., 2023).
2) Terapi non farmakologi
Menurut terapi non farmakologi pada penderita epilepsi dapat dilakukan dengan terapi pembedahan maupun non pembedahan. Terapi bedah dapat dilakukan dengan memotong jaringan otak yang terinfeksi sebagai sumber serangan utama. Terapi ini dilakukan ketika terdapat indikasi penderita epilepsi kebal terhadap pengobatan OAE. Sedangkan terapi non pembedahan dapat dilakukan dengan diet ketogenik yang merupakan program diet tinggi lemak, rendah karbohidrat, serta cukup protein. Berdasarkan evidence based, diet ini mampu mengurangi frekuensi kejang sekitar 30-40% pada penderita (Saputra, 2022).
1.10 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita epilepsi yaitu gangguan psikologis seperti depresi, psikosis, ansietas. Penderita epilepsi juga dapat mengalami gangguan kognitif. Kejang yang terjadi secara berulang juga dapat menyebabkan kematian secara mendadak (Fitriyani et al., 2023).
1.11 Pencegahan
Menurut WHO 2024, sekitar 25% kasus epilepsi di dunia dapat dicegah dengan beberapa cara yaitu :
a. Mencegah terjadinya trauma kepala, seperti antisipasi risiko jatuh, meminimalisir terjadinya kecelakaan lalu lintas dan kecelakaan saat berolahraga. Pencegahan ini merupakan salah satu hal yang paling efektif untuk mencegah terjadinya epilepsi setelah cedera.
b. Rutin melakukan pemeriksaan selama kehamilan dapat mengurangi risiko terjadinya epilepsi yang berhubungan dengan kehamilan.
c. Pencegahan epilepsi pada pasien stroke berfokus pada sistem kardiovaskuler, seperti mengendalikan tekanan darah, diabetes, mengurangi merokok, dan mengurangi konsumsi alkohol.
d. Mencegah terjadinya infeksi sistem saraf pusat melalui pembasmian parasit di lingkungan serta pemberian pendidikan kesehatan pada masyarakat.
1.12 Pathway
Sumber : https://calgaryguide.ucalgary.ca/epilepsy-pathogenesis/
BAB 2
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN 2.1 Pengkajian Keperawatan
Pengkajian keperawatan merupakan sebuah tahapan awal yang komprehensif untuk mendapatkan data normal dan abnormal pada pasien.
Data dapat dikumpulkan melalui proses wawancara, observasi, serta pemeriksaan fisik (Kurniawan et al., 2019). Pengkajian data secara akurat dan lengkap sangat berpengaruh dalam merumuskan diagnosa keperawatan dan memberikan pelayanan keperawatan sesuai dengan respons klien (Kartikasari et al., 2020).
A. Identitas Klien
Data yang harus diperoleh oleh perawat diantaranya nama, usia, jenis kelamin, status pernikahan, pekerjaan, agama, pendidikan terakhir, alamat rumah, nomor rekam medis, tanggal dan jam masuk rumah sakit, diagnosa medis, sumber informasi, serta penanggung jawab pasien (Kurniawan et al., 2019).
B. Riwayat Kesehatan Medis 1. Diagnosa Medis
Epilepsi
2. Keluhan Utama
Keluhan utama adalah suatu penyebab yang memicu pasien untuk meminta bantuan perawat. Pada epilepsi biasanya datang dengan keluhan utama kejang berulang, tatapan mata kosong, gangguan koordinasi gerakan, kedutan pada sebagian wajah.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Riwayat penyakit sekarang merupakan seluruh urutan peristiwa yang dialami pasien terkait penyakitnya dari awal hingga saat pertama kali berhubungan dengan tenaga kesehatan atau perawat.
4. Riwayat Penyakit Terdahulu
Riwayat kesehatan sebelumnya meliputi penyakit yang pernah dialami. Pada pasien epilepsi biasanya memiliki riwayat jatuh yang menyebabkan trauma pada kepala, terdapat infeksi pada sistem saraf
pusat, serta kelainan kongenital.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit keluarga pada penderita epilepsi dapat dilihat pada kondisi prenatal dan perinatal. Epilepsi dapat disebabkan oleh gangguan kongenital sehingga penting untuk dikaji riwayat penyakit keluarga yang terjadi pada masa kehamilan.
C. Pendekatan 11 Pola Fungsional GORDON 1. Persepsi kesehatan & pemeliharaan kesehatan
Menggambarkan pola kesehatan dan bagaimana pengelolaan kesehatan yang dilakukan pasien termasuk persepsi terkait status kesehatan dan kaitannya dengan aktivitas saat ini serta perencanaan masa depan. Selain itu termasuk manajemen risiko kesehatan pasien dan kesehatan secara umum perawatan perilaku. Pada pasien dengan epilepsi penting untuk memiliki persepsi kesehatan yang baik terkait pemeliharaan diri.
2. Pola nutrisi/metabolic
Umumnya penderita epilepsi dapat menerapkan perilaku diet ketogenik dengan menerapkan pola makan tinggi lemak, rendah karbohidrat, dan cukup protein.
3. Pola eliminasi
Pasien epilepsi dapat mengalami gangguan eliminasi yang diakibatkan adanya gangguan sistem koordinasi pada anggota tubuh sehingga tidak dapat mengontrol pola eliminasi pada umumnya..
4. Pola aktivitas dan latihan
Pasien epilepsi umumnya memiliki kebiasaan jarang melakukan latihan fisik. Hal ini dikarenakan kondisi tubuh yang kaku ketika kejang menyerang dan setelahnya kondisi terjadi lemah dan keletihan.
5. Pola tidur dan istirahat
Penderita epilepsi juga dapat mengalami kondisi stress. Stress diakibatkan karena stigma masyarakat, diskriminasi yang diterima, sehingga penderita mengalami gangguan psikologis dan kesulitan
untuk tidur.
6. Pola kognitif dan konseptual
Pasien dengan epilepsi dapat mengalami penurunan kesadaran dan penurunan kemampuan kognitif akibat pelepasan sinyal listrik yang berlebihan di sistem saraf pusat.
7. Pola persepsi diri
Epilepsi menyebabkan terjadinya permasalahan yang kompleks pada penderitanya. Diskriminasi dan gangguan kegiatan bersosial di masyarakat dapat menyebabkan dirinya mengalami kecemasan dan gangguan psikologis lainnya. Hal ini menyebabkan pola persepsi diri dapat terganggu.
8. Pola seksualitas dan reproduksi
Kondisi psikologis penderita epilepsi rentan mengalami gangguan.
Hal ini berhubungan dengan pola seksualitas dan reproduksi yang nantinya juga dapat terganggu.
9. Pola peran dan hubungan
Pola peran dan hubungan pada pasien epilepsi dapat mengalami gangguan. Kedudukan peran sosial di masyarakat terganggu akibat kejang yang dapat menyerang kapanpun dan dimanapun. Hal ini akan mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap dirinya sehingga berpengaruh terhadap peran dan hubungan yang tengah dijalankan.
10. Pola manajemen koping-stress
Terkait pola koping umum dan toleransi stres yang efektif, seperti cara penanganan stres, keluarga atau sistem pendukung lainnya, dan kemampuan dalam mengelola situasi penuh tekanan.
11. Sistem nilai dan keyakinan
Informasi yang menjelaskan pola nilai, tujuan, atau keyakinan (termasuk spiritual) yang memandu pilihan atau keputusan. Apa yang penting dalam hidup, kualitas hidup serta tiap konflik yang dirasakan dalam nilai-nilai, keyakinan, atau harapan tentang kesehatan. Termasuk kebiasaan keagamaan atau ibadah pasien.
D. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum : pasien epilepsi biasanya dengan penurunan kesadaran.
2. Tanda-tanda vital : pemeriksaan meliputi tekanan darah, heart rate, respiration rate, dan suhu tubuh.
3. Pemeriksaan Head to Toe a. Kepala
Pada pemeriksaan kepala dapat dilakukan pemeriksaan inspeksi dan palpasi. Inspeksi dapat dilakukan dengan memperhatikan penyebaran rambut, warna rambut, lesi pada kulit kepala, bentuk yang simetris, kondisi kulit pada wajah, serta ekspresi wajah.
Sedangkan pada palpasi, dapat diperhatikan adanya benjolan atau rasa nyeri pada area kepala.
b. Mata
Pemeriksaan mata dapat dilakukan dengan melakukan inspeksi terkait bola mata, konjungtiva sklera, lebar refleks pupil terhadap cahaya, serta ketajaman penglihatan. Palpasi area sekitar mata dengan memperhatikan adanya benjolan atau nyeri tekan.
c. Telinga
Melakukan inspeksi pada area telinga dengan memperhatikan lesi pada telinga, adanya cairan yang keluar dari telinga, dan bentuk telinga. Selain itu, melakukan palpasi pada telinga untuk mengetahui adanya benjolan atau nyeri tekan pada area telinga.
d. Hidung
Melakukan inspeksi terkait bentuk hidung, kesimetrisan hidung, jumlah lubang hidung, serta adanya cairan. Melakukan palpasi pada area empat sinus yang meliputi frontalis, etmoidalis, spenoidalis, dan maxillary dengan memperhatikan adanya benjolan atau nyeri tekan.
e. Mulut
Melakukan inspeksi terkait mukosa bibir, warna bibir,
kebersihan mulut, adanya lesi, bentuk bibir, karies pada gigi, adanya peradangan, serta melakukan palpasi adanya massa/benjolan.
f. Leher
Melakukan inspeksi terkait kesimetrisan bentuk leher, memperhatikan adanya pulsasi, kekuatan otot leher, serta melakukan palpasi terkait adanya benjolan yang meliputi konsistensi, bentuk, dan ukuran.
g. Dada Jantung
Melakukan inspeksi adanya ictus cordis, palpasi pada ictus cordis, melakukan perkusi terkait letak dan batas jantung, serta melakukan auskultasi terkait bunyi, frekuensi, dan irama jantung.
Paru-paru
Melakukan inspeksi terkait kesimetrisan bentuk dada, warna kulit, gerakan dada ketika bernapas, adanya pelebaran vena.
Melakukan palpasi terkait adanya benjolan atau nyeri tekan.
Melakukan perkusi terkait batas paru serta kelainan pada thoraks. Melakukan auskultasi terkait adanya suara napas tambahan.
Payudara dan ketiak
Memperhatikan kesimetrisan, ukuran, lesi, pemeriksaan kelenjar limfe, adanya benjolan ataupun nyeri tekan.
Posterior
Memperhatikan kesimetrisan bentuk, warna kulit, ekspansi dada, dan adanya lesi.
h. Abdomen
Melakukan inspeksi terkait kondisi kulit, gerakan dinding perut, adanya pulsasi, serta kondisi umbilikus. Melakukan auskultasi terkait bising usus, bunyi gerakan cairan, bising aorta, arteri renalis, arteri iliaka, arteri femoralis. Melakukan perkusi terkait
pembesaran ukuran organ, adanya udara dan cairan bebas, penentuan batas dan pembesaran hepar. Serta melakukan palpasi 24 terkait ketegangan otot, adanya pembesaran organ, adanya nyeri tekan, serta adanya benjolan.
i. Genetalia dan anus
Pada laki-laki dapat dilakukan pemeriksaan dengan inspeksi distribusi rambut pubis, ukuran dan bentuk, kebersihan, keadaan uretra dan skrotum, serta dapat dilakukan palpasi terkait adanya benjolan atau nyeri tekan.
Pada perempuan dapat dilakukan pemeriksaan dengan inspeksi distribusi rambut pubis, adanya lesi, serumen, kebersihan, kelainan pada vulva/vagina, serta melakukan palpasi terkait adanya benjolan.
Sedangkan pada anus dapat dilakukan pemeriksaan inspeksi area perineal, kondisi kulit, pelebaran vena, dan melakukan palpasi terkait adanya benjolan.
j. Ekstremitas atas dan bawah
Melakukan inspeksi terkait kesimetrisan bentuk, warna kulit, kekuatan otot, kelainan pada area ekstremitas, ROM, pulsasi, serta melakukan palpasi terkait nyeri tekan dan benjolan.
k. Kulit dan kuku
Pada kuku dapat memperhatikan kondisi kuku, bentuk kuku, capillary refill time, serta kebersihan pada kuku. Sedangkan pada kulit dapat memperhatikan warna kulit, elastisitas kulit, adanya lesi, kelembaban, serta distribusi rambut pada kulit.
l. Keadaan local
Pada keadaan lokal dilakukan pengkajian terfokus, seperti deskripsi luka secara terperinci.
E. Terapi atau Pengobatan
Pengkajian terkait terapi atau pengobatan bertujuan untuk memudahkan perawat dalam mengidentifikasi fungsi dependen yang akan digunakan sebagai dasar dalam proses perencanaan asuhan keperawatan. Pada pasien
epilepsi pengobatan yang digunakan berupa pemberian obat OAE lini pertama dan OAE lini kedua. Serta dapat dikombinasi dengan terapi non farmakologi seperti diet ketogenik.
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dan laboratorium yang dapat dilakukan pada pasien epilepsi antara lain
1. Pemeriksaan Laboratorium meliputi pemeriksaan darah lengkap, SGOT, kadar ureum, kadar albumin, profil lipid, GDP/GD2PP, kadar asam urat, kadar elektrolit (natrium, kalium, kalsium, magnesium), serta kadar obat antiepilepsi dalam darah.
2. Pemeriksaan Radiologi meliputi pemeriksaan rontgen thoraks dan MRI atau CT scan kepala.
3. Pemeriksaan Electroencephalography (EEG)
4. Pemeriksaan Neurobehavior meliputi lima komponen yaitu kemampuan berbahasa, kemampuan ingatan, kemampuan visual koordinasi antara apa yang dilihat dengan apa yang dipikirkan, kemampuan mengelola emosi dan stimulus, serta kemampuan kognitif..
2.2 Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan adalah penilaian perawat yang didasarkan oleh respon pasien secara menyeluruh (bio-psiko-sosio-spiritual) terkait masalah kesehatan atau penyakit yang dialaminya (Kurniawan et al., 2019). Diagnosis juga dapat didefinisikan sebagai suatu pernyataan klinis yang disimpulkan terkait dengan respons manusia yang terdiri dari respons individu, keluarga, ataupun komunitas terhadap permasalahan kesehatan yang aktual atau potensial (Rahmi, 2019). Diagnosa yang dapat muncul pada pasien epilepsi yaitu :
1. Gangguan pertukaran gas (D.0003) 2. Pola napas tidak efektif (D.0005) 3. Nyeri akut (D.0077)
4. Hipertermia (D.0130) 5. Risiko cedera (D.0136)
2.3 Intervensi Keperawatan
Perencanaan adalah tahapan perencanaan tindakan yang dibuat oleh perawat secara sistematis. Tahap perencanaan bertujuan untuk mencegah ataupun mengurangi permasalahan dari klien. Tahapan dalam membuat perencanaan keperawatan diantara menentukan prioritas masalah, menentukan tujuan dan krtiteria hasil (outcome), menentukkan rencana tindakan dan mendokumentasikannya (Kurniawan et al., 2019).
2.4 Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah rangkaian tindakan yang dilakukan oleh perawat berdasarkan rencana yang telah disusun. Tahap implementasi merupakan tindakan keperawatan yang dilakukan oleh perawat sesuai dengan rencana yang telah disusun sebelumnya. Implementasi keperawatan bertujuan untuk membantu pasien menyelesaikan masalah kesehatan sesuai dengan kebutuhan dasarnya (Kurniawan et al., 2019).
2.5 Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan tahapan terakhir pada proses asuhan keperawatan.
Pada tahap ini perawat melakukan penilaian terkait respon dari pasien atas tindakan keperawatan yang berdasarkan pada kriteria hasil yang telah ditetapkan sebelumnya oleh perawat. Evaluasi terdiri dari dua macam yaitu evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui capaian tujuan akhir dari proses asuhan keperawatan (Kurniawan et al., 2019).
2.6 Pendokumentasian
Dokumentasi keperawatan memiliki fungsi penting sebagai aspek legal dalam pelaksanaan asuhan keperawatan. Setiap tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien wajib didokumentasikan sebagai bukti tertulis yang dimiliki oleh seorang perawat. Dokumentasi keperawatan harus ditulis dengan jelas dan mencantumkan nama perawat serta tanggal penulisan (Kurniawan et al., 2019).
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN 3.1 Deskripsi Kasus
Pada 4 Mei 2023 Pasien berusia 24 tahun diantar keluarga ke IGD Rumah Sakit Stella Maris Makassar dengan diagnosis epilepsi. Pasien mengalami sesak, terdapat suara napas tambahan gurgling, penurunan kesadaran, serta telah mengalami kejang di tempat kerjanya.
3.2 Pengkajian Keperawatan 1. Identitas Klien
Nama : Tn. A Usia : 24 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki Alamat : Makassar Pendidikan: -
Tanggal MRS : 4 Mei 2023 Tanggal Pengkajian: 4 Mei 2023 No. Register: 763xxxx
2. Riwayat Kesehatan
a. Diagnosa Medik: Epilepsi
b. Keluhan Utama: Keluarga mengatakan, pasien terjatuh ketika sedang bekerja dan tidak sadarkan diri disusul dengan kejadian kejang dan mulut yang berbusa.
c. Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien mengalami penurunan kesadaran, sesak napas, bernapas dengan suara tambahan gurgling dan terjatuh 15 menit yang lalu ketika bekerja. Skor GCS pasien M3V1E1 dengan kesadaran sopor dan semakin menurun. Suara napas pasien gurgling. TD:
115/75 mmHg. Nadi: 104 x/menit. Pernapasan: 34 x/menit. Suhu: 36.7 C. SpO2: 89%.
d. Riwayat penyakit terdahulu:
1) Penyakit yang pernah dialami: Pasien telah terdiagnosis epilepsi sejak tahun 2021
2) Alergi: Pasien tidak memiliki alergi terhadap obat dan makanan 3) Obat-obatan yang digunakan: Keluarga mengatakan pasien biasanya
mengonsumsi 5 mg/24 jam diazepam.
3. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : kesadaran pasien menurun, sesak napas dengan frekuensi 34 x/menit dan SpO2 89%. Riwayat kejang 2 menit b. Tanda-tanda vital
TD: 115/75 mmHg.
Nadi: 104 x/menit.
Pernapasan: 34 x/menit.
Suhu: 36.7 C.
SpO2: 89%.
c. Head to toe
1) Kepala : normal tidak terdapat lesi dan lebam 2) Mata : pupil tampak isokor pada kedua mata 3) Hidung : tampak septum di tengah
4) Mulut dan Tenggorokan : rongga mulut bersih dan tidak ada peradangan
5) Telinga : Tidak terkaji
6) Leher : Tidak tampak pembesaran 7) Thoraks
Ictus Cordis : teraba pada ICS V linea midclavicularis sinistra 8) Abdomen :
Inspeksi: perut membuncit
Auskultasi: Bising usus 14 x/menit Palpasi: Tidak ada benjolan dan nyeri Perkusi: timpani
9) Genetelia-Rektal : Tidak terkaji
10) Integumen : tampak kembali <3 detik, tidak ada edema, icterik, dan radang
11) Ekstremitas atas dan bawah : tidak ada edema, atrofi otot, dan
refleks patologis babinski negatif. Kekuatan otot tidak dapat dikaji karena pasien mengalami penurunan kesadaran
5. Terapi
Tanggal : 4 Mei 2023
Nama Terapi Dosis Rute Keterangan
Phenytoin 100 mg IV Diberikan ketika kejang
Stesolid 10 mg IV Diberikan ketika kejang
Cairan infus RL 20 tpm IV -
Heart monitor Sinus Rhytm Takikardi
6. Pemeriksaan Penunjang
a. EKG: Sinus Rhytm Takikardi b. Laboratorium:
Parameter Hasil Nilai Normal Keterangan
WBC 11.12 4.60-10.20 H
RBC 5.74 4.70-6.10 -
HGB 12.9 14.1-18.1 L
Hematocrit 41.8 43.5-53.7 -
MCH 22.5 27.0-31.2 L
MCHC 30.9 31.8-35.4 L
Platelet 306 150-450 -
Neutrofil 5.81 1.50-7.00 -
Limfosit 3.42 1.0-3.70 -
3.3 Analisa Data
No Data Etiologi Masalah Nama
dan Paraf 1. DS :
- Keluarga mengatakan pasien mengalami kejang dan mulut yang berbusa
- keluarga mengatakan pasien memiliki riwayat epilepsi
DO :
● Pasien mengalami penurunan tingkat kesadaran dan kejang selama 2 menit
● TD: 115/75 mmHg.
● Nadi: 104 x/menit.
● Pernapasan: 34 x/menit.
● Suhu: 36.7 C.
● SpO2: 89%.
Kejang
Penurunan Kesadaran &
mulut berbusa
Resiko Aspirasi
Resiko Aspirasi (D.
0006) Kelompok 1
3.4 Diagnosa Keperawatan
No Diagnosis Keperawatan Paraf &
Nama 1. Resiko aspirasi b.d. penurunan tingkat kesadaran d.d.
mulut berbusa, RR 34 x/menit, SpO2 89%, Nadi 104
x/menit, TD 115/75 mmHg Kelompok 1
3.5 Intervensi Keperawatan No Diagnosis
Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi Nama
dan Paraf 1. Resiko
aspirasi b.d.
penurunan tingkat kesadaran d.d. mulut berbusa, RR 34 x/menit, SpO2 89%, Nadi 104 x/menit, TD 115/75 mmHg
Setelah dilakukan intervensi selama 1x24 jam
diharapkan tingkat aspirasi menurun dengan kriteria hasil:
1. Tingkat kesadaran meningkat 2. Dispnea
menurun
3. Frekuensi napas membaik
Manajemen Jalan Napas
Observasi
1. Monitor pola napas (usaha napas,
frekuensi, kedalaman) 2. Monitor bunyi napas
(gurgling) Terapeutuik 1. Pertahankan
kepatenan jalan napas dengan chin-lift atau head-tilt
2. Posisikan semi- fowler atau fowler 3. Lakukan penghisapan
lendir kurang dari 15 detik
4. Berikan oksigen jika perlu
Manajemen Kejang Observasi
1. Monitor terjadinya kejang berulang 2. Monitor tanda vital
Terapeutik
1. Baringkan pasien
Kelompok 1
agar tidak terjatuh 2. Pertahankan
kepatenan jalan napas 3. Longgarkan pakaian
terutama di leher 4. Dampingi selama
periode kejang 5. Jauhkan benda
berbahaya dan tajam 6. Catat durasi kejang 7. Pasang akses IV
Edukasi
1. Anjurkan keluarga menghindari
memasukkan apapun ke dalam mulut pasien saat periode kejang
3.6 Implementasi Keperawatan No Tanggal
/ Jam
Diagnosis Implementasi Evaluasi Paraf &
Nama 1. 5 Mei
2023/
10.00
Resiko Aspirasi
1. Memonitor pola napas (usaha napas, frekuensi, kedalaman) 2. Memonitor bunyi napas (gurgling) 3. Mempertahankan kepatenan jalan
napas dengan chin-lift atau head- tilt
4. Memposisikan semi-fowler atau fowler
5. Melakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
6. Memberikan oksigen jika perlu 7. Memonitor terjadinya kejang
berulang
8. Memonitor tanda vital
S : - O :
GCS 5 kesadaran sopor
RR 24 x/menit Nadi 104 x/menit Pasien masih mengalami kejang 1x selama 2 menit
Kelompok 1
9. Membaringkan pasien agar tidak terjatuh
10. Mempertahankan kepatenan jalan napas
11. Melonggarkan pakaian terutama di leher
12. Mendampingi selama periode kejang
13. Menjauhkan benda berbahaya dan tajam
14. Mencatat durasi kejang
15. Memasang akses IV jika perlu 16. Menganjurkan keluarga
menghindari memasukkan apapun ke dalam mulut pasien saat periode kejang
3.7 Evaluasi Keperawatan No Tanggal/
Jam
Diagnosis Evaluasi Sumatif Nama
dan Paraf 1. 5 Mei
2023
Resiko aspirasi S : - O :
GCS 5 kesadaran sopor RR 24 x/menit
Nadi 104 x/menit
Pasien masih mengalami kejang 1x selama 2 menit
A : Masalah belum teratasi P : Lanjutkan Perawatan di ICU
Kelompok 1
BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan
Epilepsi merupakan penyakit otak kronis tidak menular yang ditandai dengan kejang berulang selama lebih dari 24 jam yang melibatkan sebagian tubuh atau seluruh tubuh disertai dengan hilangnya kesadaran (WHO, 2024).
Kejang pada penderita epilepsi terjadi karena adanya proses pelepasan listrik di neuron otak yang berlebihan. Pelepasan listrik ini dipengaruhi oleh homeostasis inhibisi dan eksitasi. Etiologi epilepsi dibedakan atas idiopatik yakni merupakan faktor genetik dan usia serta kriptogenik yang berarti epilepsi dengan gangguan atau kerusakan pada otak yang tidak diketahui penyebab secara pastinya.
Epilepsi dibagi menjadi Epilepsi onset fokal, yang ditandai dengan kejang melibatkan satu sisi bagian tubuh dengan disertai atau tidak disertai penurunan kesadaran. Sedangkan Epilepsi generalisata, yang ditandai dengan kejang melibatkan dua sisi bagian tubuh disertai penurunan kesadaran.
Menurut WHO 2024, penderita epilepsi memiliki karakteristik kejang berulang sebanyak dua kali atau lebih, hilang kesadaran sementara, gangguan koordinasi pergerakan, tatapan mata yang kosong, terjadi kedutan pada sebagian wajah atau pada mata, gangguan psikologis seperti kecemasan, suasana hati berubah, hingga depresi; gangguan pada sistem pernapasan hingga gangguan oksigenasi menuju otak yang dapat menyebabkan kematian, pemeriksaan Laboratorium meliputi pemeriksaan darah lengkap, Pemeriksaan Radiologi meliputi pemeriksaan rontgen thoraks dan MRI atau CT scan kepala, pemeriksaan Electroencephalography (EEG), dan pemeriksaan Neurobehavior meliputi lima komponen yaitu kemampuan berbahasa, kemampuan ingatan, kemampuan visual koordinasi antara apa yang dilihat dengan apa yang dipikirkan, kemampuan mengelola emosi dan stimulus, serta kemampuan kognitif.
Penatalaksanaan epilepsi dimulai dengan pemberian obat antiepilepsi (OAE) ketika diagnosis epilepsi telah ditegakkan serta pasien dan keluarga menyetujui penegakan diagnosis tersebut. Terapi bedah dapat dilakukan dengan memotong jaringan otak yang terinfeksi sebagai sumber serangan utama.
Sedangkan terapi non pembedahan dapat dilakukan dengan diet ketogenik yang
merupakan program diet tinggi lemak, rendah karbohidrat, serta cukup protein.
Pasien dengan epilepsi biasanya datang dengan keluhan utama kejang berulang, tatapan mata kosong, gangguan koordinasi gerakan, kedutan pada sebagian wajah, dan mengalami penurunan kesadaran. Diagnosa yang dapat muncul pada pasien epilepsi yaitu Gangguan pertukaran gas (D.0003), Pola napas tidak efektif (D.0005), Nyeri akut (D.0077), Hipertermia (D.0130), dan Risiko cedera (D.0136).
DAFTAR PUSTAKA
Fitriyani, Devi, P. P., & Januarti, R. W. (2023). Diagnosis dan Tatalaksana Epilepsi. Medula, 13(6), 941–944.
Kartikasari, F., Yani, A., & Azidin, Y. (2020). Pengaruh Pelatihan Pengkajian Komprehensif Terhadap Pengetahuan Dan Keterampilan Perawat Mengkaji Kebutuhan Klien Di Puskesmas. Jurnal Keperawatan Suaka Insan (Jksi), 5(1), 79–89.
Kurniawan, D.E., Afandi, A.T., Purwandari, R., Rifai, A., Ardiana, A., Nur, K.R.M. (2019). Proses dan Dokumentasi Keperawatan. KHD Production : Bondowoso.
Meutia, S., Utami, N., Rahmawati, S., & Himayani, R. (2021). Sistem Saraf Pusat dan Perifer. Medula, 11(3), 306–311.
Rahmi, U. (2019). Dokumentasi Keperawatan. Bumi Medika.
Rikky B., Gregorius, & Christin, C. S. (2023). ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN EPILEPSY DI INSTALASI GAWAT DARURAT RUMAH SAKIT STELLA MARIS MAKASSAR (Doctoral dissertation, STIK Stella Maris Makassar).
Saputra, D. H. (2022). Peran Diet Ketogenik dalam Tata Laksana Epilepsi.
CDK Journal, 49(11), 629–634.
Sarwadi, dan Linangkung, E. (2014). Buku Pintar Anatomi Tubuh Manusia.
Dunia Cerdas : Jakarta Timur.
Wirrell, E., Tinuper, P., Perucca, E., & Moshé, S. L. (2022). Introduction to the epilepsy syndrome papers. In Epilepsia (Vol. 63, Issue 6, pp. 1330–1332).
John Wiley and Sons Inc. https://doi.org/10.1111/epi.17262
World Health Organization. (2024). Epilepsy. [Diakses pada tanggal 5 September 2024]. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/epilepsy
LAMPIRAN
Penulis Kurnia, B., Nangoy, E., dan Posangi, J.
Judul Diet Ketogenik untuk Penyakit Epilepsi Resisten Obat Nama Jurnal
dan Tahun
Jurnal Biomedik (2021)
Latar Belakang Epilepsi resisten obat merupakan gagalnya dua macam obat anti epilepsi yang diberikan untuk membebaskan pasien dari kekambuhan. Epilepsi resisten obat dapat diatasi dengan diet ketogenik yang terdiri atas rendah karbohidrat, tinggi lemak, dan cukup protein sehingga mampu mengontrol kejang pada pasien epilepsi. Diet ketogenik diyakini memiliki hubungan dengan mekanisme kerja obat anti epilepsi yang dapat meningkatkan kualitas hidup pasien dan menghindari mortalitas
Tujuan Penelitian dilakukan untuk mengetahui pengaruh diet ketogenik pada pasien dengan resistensi obat anti epilepsi
Metodologi Metodologi Penelitian literature review menggunakan 15 jurnal yang dipilih dengan kriteria inklusi populasi berupa pasien epilepsi dengan resisten obat yang tidak mendapat pengobatan obat anti epilepsi. Intervensi yang menjadi kriteria inklusi penelitian ini adalah diet ketogenik dengan dan tanpa obat anti epilepsi.
Sedangkan outcome berupa adanya perubahan tingkat kekambuhan pasien.
Hasil Hasil dalam artikel ini berisi 15 literature yang direview terkait peran terapi diet ketogenik dalam penyakit epilepsi yang resisten obat.
Pembahasan Beberapa literature menyatakan bahwa diet ketogenic tidak efektif dalam pengobatan pasien epilepsi. Hasil yang tidak efektif ini dipengaruhi lamanya pasien
mengidap epilepsi dan lama terapi diet ketogenik yang diterapkan. Literature yang menyampaikan diet ketogenik tidak efektif menunjukkan pasien telah mengidap epilepsi selama lebih dari 22 tahun serta mendapat terapi diet ketogenik selama kurang dari 3 bulan. Beberapa literature yang menyatakan diet ketogenik efektif, menerapkan terapi diet ketogenik selama 3 hingga 6 bulan pada pasien pengidap epilepsi 18 hingga 19 tahun. Selain itu, penerapan terapi diet ketogenik pentingnya juga untuk memperhatikan jenis bangkitan pada pasien epilepsi yaitu jenis bangkitan fokal. Efektivitas penerapan diet ketogenik mencapai 42-60% yang menjkadikan terapi ini menjadi salah satu alternatif yang tepat untuk pasien dewasa dengan epilepsi resisten obat.
Kesimpulan Terapi diet ketogenik memiliki efektivitas yang baik untuk dijadikan sebagai alternatif pengobatan epilepsi bagi pasien resisten obat. Hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan terapi ini yaitu jenis bangkitan, lama waktu mengidap epilepsi, dan juga penyebab epilepsi.
Pemberian terapi diet ketogenik yang tepat penting untuk mencapai efektivitas yang baik.
Implikasi Terbukti dari efektivitas diet ketogenic bagi pasien epilspsi, maka perawat dapat menyarankan pemberian terapi diet ketogenik sebagai alternatif untuk meringankan gejala epilepsi yang diderita pasien.
Perawat dapat menyarankan terapi ini berjalan bersamaan dengan terapi farmakologi yang dijalani oleh pasien.