• Tidak ada hasil yang ditemukan

(1)BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI WILAYAH NEGARA A

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "(1)BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI WILAYAH NEGARA A"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI WILAYAH NEGARA

A. Wilayah Sebagai Unsur Negara

Berbicara persoalan unsur-unsur negara sejatinya merupakan sesuatu yang fundamental bagi keberlangsungan hidup suatu negara.

Eksistensi yang ditimbulkan dari pemenuhan unsur-unsur negara dapat mempengaruhi keadaan baik itu dari skala nasional maupun internasional meliputi sektor ekonomi, perpolitkan, dan pertahanan yang sesuai dengan tujuan daripada pendirian suatu negara. Sebagaiamana dalam Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 tentang hak dan kewajiban negara , yang sebenarnya hanya merupakan konvensi regional kawasan Amerika Regional dimana senantiasa menjadi rujukan pertanyaan kapan suatu entitas politik dapat dikatakan sebagai negara. Pasal 1 konvensi Montevideo 1933 menyatakan bahwa karakteristik negara adalah sebagai berikut : 1

1. Memiliki a defined territory (wilayah yang jelas)

2. Memiliki a permanent population (penduduk yang tetap) 3. Memiliki a government (memiliki pemerintahan)

21 Sefriani, op.cit, hal.40.

(2)

4. Memiliki a capacity to enter into relations with other states ( memiliki kemampuan untuk melakukan hubungan internasional dengan negara lain). Adapun bentuk penjelasan terkait unsur-unsur negara, yakni :2 1. Defined Territory ( wilayah yang jelas )

Defined territory adalah suatu wilayah yang befungsi sebagai tempat bermukim penduduknya. Suatu wilayah dapat dikatakan sebagai pasti atau tetap apabila wilayah tersebut sudah mempunyai kejelasan batas-batas wilayahnya yang dituangkan melalui demarkasi dan dilienasi batas wilayah.

Menurut Wiloughby, eksistensi negara sangat bergantung pada hak negara atas territorial yang dimilikinya sebagai sebuah kesatuan sosial yang nyata juga sebagai kesatuan geografis.

2. a permanent population (penduduk yang tetap)

Rakyat atau masyarakat merupakan unsur utama terbentuknya suatu negara. Jika membicarakan negara, maka sebenarnya yang dibicarakan adalah masyarakat manusia, dimana adanya manusia merupakan suatu keharusan, sehingga manusia itu terciptalah kelompok masyarakat. Terbentuknya kelompok masyarakat karena manusia dalam kenyataanya adalah mahluk (zoom politicon), sebagaimana pendapat Aristoteles “Hidup bermasyarakat merupakan suatu kelompok yang mempunyai ide dan cita-cita serta keinginan untuk bersatu”. Dalam pengamatan ilmu modern adanya ide atau cita-cita untuk bersatu serta

2 Rei Resza “Tinjauan Yuridis Terhadap Penengalaman Kapal Asing Pelaku ILLegal, Unregulated And Unreported Fishing (IUU FISHING), Skripsi dalam Bidang Ilmu Hukum, Universitas Kristen Satya Wacana , Salatiga, 2019, hal. 18-20.

(3)

kesatuan senasib dan seperjuangan disebut sebagai tekad untuk membentuk suatu nation (bangsa). Oleh karena itu pengertian masyarakat tersebut menjadi pengertian rakyat, yang berarti lebih condong kearah konsepsi politik.

Pada umumnya penduduk suatu negara terdiri dari 2 (dua) tipologi.

Pertama, penduduk yang merupakan warga negara yang disetiap negara merupakan mayoritas dari jumlah penduduknya, dimana penduduk tersebut secara permanen di dalam wilayah negara yang bersangkutan serta memiliki hubungan khusus dan timbal balik dengan negara tersebut.

Kedua, penduduk yang bukan warga negara adalah orang asing atau orang yang bukan warga negara dari negara yang bersangkutan atau ada juga orang yang tidak mempunyai status kewarganegaraan (stateless).

3. a government (memiliki pemerintahan)

Penduduk yang mendiami atau bermukim disuatu wilayah hidup dengan mengorganisasikan diri mereka yang kemudian disebut sebagai negara, guna mengatur penggunaan dan pengamanan wilayah serta mengatur hubungan masyarakat dengan wilayah agar dapat mengatur dan membina tata tertib dalam masyarakat, maka perlu adanya suatu kekuasaan. Kekuasaan ini dipegang dan dijalnkan oleh pemerintahan negara.

Pemerintahan terbangun dalam kehidupan bersama manusia selaku anggota masyarakat yang mempunyai kepentingan dan tujuannya dalam bentuk organisasi masyarakat, memilih pimpinan dalam rangka mengatur

(4)

organisasi masyarakatnya yang mempunyai cita-cita dan aktivitasnya dalam hubunganya dengan negara atas atas dasar tatanan nilai, norma, aturan sebagai bentuk kebijaksanaan dan kebijakan. Dalam suatu organisasi pemerintahan yang dikembangkan yang berdimensi kehidupan politik, administrasi, hukum, ekonomi, dan sosial budaya untuk melakukan memerintah pada kelompok manusia dan masyarakat, maka terdapat pemikiran tentang memerintah dan pemerintahan dalam mengatur, mengurus, dan melaksanakan urusan pemerintah.3

4. a capacity to enter the relation with other states ( kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain)

Kemampuan untuk mengadakan hubungan hukum internasional dengan negara lain tidak dapat diamati secara langsung karena bersifat subjektif dan situasional. Kemampuan untuk mengadakan hubungan internasional ini memerlukan proses panjang melalui adanya pengakuan dari negara-negara lain terhadap keberadaan atau eksistensi negara yang bersangkutan. Dengan demikian adanya pengakuan masyarakat internasional mengandung nilai hukum yang melandasi eksistensi suatu negara baik secara de facto (pada kenyataan) dan de jure (berdasarkan hukum).

Kemampuan suatu negara untuk menjalin hubungan hukum dengan subjek hukum internasional lain dapat dipandang sebagai manifestasi dari kedaulatan negara, khususnya kedaulatan yang bersifat eksternal

3 Abd Halil Hi. Ibrahim dan Tjahja Supriatna, Epistemologi Pemerintahan (Paradigma Manajemen, Birokrasi, dan Kebijakan Publik), Gramasurya, Yogyakarta,

2020, hal.1.

(5)

(kedaulatan ke luar). Kedaulatan eksternal inilah yang menjadi salah satu kewenangan negara dalam melakukan hubungan hukum internasional, sedangkan kedaulatan internal bukan merupakan faktor penentu dari eksistensi suatu negara, oleh karena itu hukum internasional tidak berurusan langsung dengan masalah dalam negeri masing-masing negara.4

Unsur-unsur negara yang termaktubkan dalam Pasal 1 konvensi Montevideo 1933 tersebut telah terbagi dalam dua bentuk pengakuan yang dikenal secara umum baik itu secara de facto dan de jure. Pengakuan secara de facto biasanya diberikan atau lahir terlebih dahulu sebelum bentuk pengakuan secara de jure. Dari sudut pandang negara yang mengakui secara de facto, maka negara yang baru lahir itu dianggap telah memenuhi syarat-syarat sebagai subyek hukum internasional yang sifatnya temporer dalam kenyataan.5

Pemenuhan unsur-unsur negara merupakan hal mutlak yang harus dilakukan oleh setiap kelompok atau organisasi tertentu jika ingin mengklaim pendirian suatu negara. Hal ini senantiasa berdampak sangat signifikan dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan benegara, hingga pada tingkatan dunia internasional. Dampak yang ditimbulkan ketika berbicara persoalan unsur negara salah satunya yakni, bentuk penghormatan terhadap wilayah suatu negara sebagaimana telah tercantum pada piagam PBB, dimana bentuk penghormatan tersebut merupakan

4 Suryo Sakti Hadiwijoyo, Perbatasan Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional, Graha Ilmu, Yogyakarta,2011, hal. 7.

5 J.G. Strake, Introduction to international law, Niith ed, Butterworths, London, 1984, p. 137.

(6)

suatu keharusaan yang harus tetap terjaga. Penghormatan terhadap wilayah negara sangatlah melekat pada masyarakat internasional. Sebagaiamana syarat dalam pendirian suatu negara. Terlepas daripada unsur negara yaitu wilayah, ada bentuk pengakuan secara de jure yang lahir ketika pengakuan akan pendirian suatu negara itu diakui oleh negara lain, sehingga hal-hal yang menjadi ketetapan dunia internasional perlu untuk diratifikasi suatu perjanjian seperti aturan terkait batas wilayah.

Peran sentral wilayah dalam skema hukum internasional bisa dilihat dari perkembangan aturan hukum yang melindungi keadaannya yang tidak bisa di ganggu gugat. Prinsip penghormatan integritas territorial negara juga merupakan salah satu penyangga sistem internasional, seperti halnya norma yang melarang campur tangan terhadap urusan internal negara lain. Namun, terdapat sejumlah faktor yang mengurangi ekslusivitas territorial negara dalam hukum internasional. Dalam hal ini, perubahan teknologi dan ekonomi turut berdampak mengingat semakin mencoloknya saling ketergantungan dan bangkitnya perhatian lintas bangsa seperti hak asasi manusia dan penentuan nasib sendiri yang cenderung mengusik ekslusivitas ini.6

Wilayah sebagai unsur negara menjadi salah satu unsur krusial yang tentunya harus ada dari negara yang berdaulat. Wilayah suatu negara sendiri ditentukan oleh batas-batas tertentu, baik itu di darat, laut, maupun udara. Perbatasan tersebut menjadi penting bagi negara selain sebagai

6 Malcolm N. Shaw QC, op.cit., hal. 479

(7)

batas atau penanda luas wilayah suatu negara, tetapi juga menyangkut banyak aspek lain dalam kehidupan bernegara seperti masalah ekonomi, sosial-budaya, keamanan, dan identitas atau harga diri bangsa.7

Hukum internasional didasarkan pada konsep negara. Negara pada dasarnya bekerja di atas fondasi kedaulatan, yang mengekspresikan secara internal supremasi daripada lembaga pemerintah dan mengekresikan secara eksternalisasi negara sebagai badan hukum.8 Tetapi kedaulatan itu sendiri, dengan pengiringnya atas hak dan kewajiban hukum, didasarkan pada fakta wilayah. Tanpa wilayah, badan atau subjek hukum tidak bisa menjadi negara.9 Hal Ini tidak diragukan lagi adalah perihal karakteristik dasarnya dari suatu negara dan yang paling diterima dan dipahami secara luas. Saat ini ada sekitar 200 unit teritorial yang berbeda, masing-masing tunduk pada kedaulatan teritorial dan yurisdiksi yang berbeda.

Konsep hukum fundamental seperti kedaulatan dan yurisdiksi hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan wilayah, maka sifat hukum wilayah menjadi bagian penting dalam studi hukum internasional.

Memang, prinsip dimana negara dianggap melaksanakan kekuasaan eksklusif atas wilayahnya dapat dianggap sebagai aksioma fundamental hukum internasional klasik.10 Perkembangan hukum internasional atas dasar kewenangan eksklusif negara dalam kerangka teritorial yang

7 https://www.hubunganinternasional.id/main/blog/16?title=Perbatasan dalam Studi Hubungan Internasional (diakses pada tanggal 3 maret 2021 )

8 Malcom N Shaw Qc, International Law, ed eight, Cambridge University Press, England,2017, p.451.

9 Ibid. p. 451.

10 L. Delbez, ‘Du Territoire dans ses Rapports avec l’ État’, 39 Revue Générale de Droit International Public, 1932, p. 46.

(8)

diterima, berarti bahwa wilayah menjadi suatu konsep dasar hukum internasional.11 Sebagian besar negara memang berkembang melalui hubungan yang erat dengan tanah yang mereka tempati.12

Hukum mencerminkan kondisi politik dan berkembang, dalam banyak kasus, selaras dengan kenyataan, hukum internasional harus mengembangkan serangkaian aturan yang mengatur transfer dan kontrol wilayah. Aturan seperti itu, pada dasarnya adalah sifat alami masyarakat internasional, sering (meskipun tidak selalu) memiliki efek melegitimasi hasil pelaksanaan kekuasaan. Aturan yang ditetapkan oleh undang-undang dan keputusan yudisial tentang transfer dan penguasaan tanah dalam negara bagian tertentu biasanya sangat rinci, karena mereka berurusan dengan salah satu dari sumber daya dasar dan faktor pencipta kekayaan bangsa. Perlakuan wilayah dalam hukum internasional belum mencapai tahap yang canggih ini karena sejumlah alasan, khususnya sistem horizontal kedaulatan teritorial yang ada secara internasional berbeda dari tatanan vertikal hukum pertanahan yang bertahan di sebagian besar sistem munisipilitas ( entitas administratif yang terdefinisi secara jelas wilayah dan penduduknya).

Dalam hukum internasional, perubahan kepemilikan wilayah tertentu juga melibatkan perubahan kedaulatan dan juga dalam kewenangan hukum yang mengatur daerah tersebut. Artinya, kewarganegaraan penduduk diubah, seperti sistem hukum di mana mereka

11 Ibid.

12 Ibid.

(9)

tinggal, bekerja, dan hubungan berperilaku, sedangkan dalam hukum negara tidak ada perubahan seperti itu terlibat dalam perubahan hukum kepemilikan. Oleh karena itu, hukum internasional harus menangani juga semua efek perubahan yang beragam dalam kedaulatan teritorial dan tidak membatasi perhatiannya pada mekanisme akuisisi belaka atau hilangnya wilayah.13

B. Wilayah-Wilayah Negara 1. Wilayah daratan

Wilayah daratan merupakan tempat dimana setiap aktifitas yang dilakukan oleh individu maupun kelompok maupun tempat untuk berinteraksi antara satu sama lain. Wilayah daratan memiliki keguanaan yang sangat penting yang merupakan suatu objek vital negara dimana pada wilayah daratan berlangsung sistem pemerintahan.

Secara umum dikatakan bahwa hukum internasional tidak mengenal adanya aturan secara khusus yang berlaku dalam rangka pengaturan ratifikasi wilayah perbatasan daratan anatarnegara. Hal ini terkesan bisa menimbulkan konflik antara negara-negara. Metode yang biasanya digunakan dalam hal penentuan perbatasan antara negara dilakukan denga dua cara yakni penerpan secara alami dan secara artificial.

Metode lainnya yang dipakai yakni dengan mengikuti contur alami daerah perbatasan dimaksud. Hukum internasional mengenal pendekatan

13 Ibid. hal. 453.

(10)

ini sebagai pendekatan watershed,yaitu mengikuti aliran turunnya air dari tempat yang lebih tinggi. Dalam prakteknya, mekanisme ini banyak timbulkan permasalahan dan masalah dalam hubungan antara dua negara.

Permasalahan akan timbul karena perbedaan penafsiran kedua belah pihak akibat fakta dilapangan yang lain dan beda dengan substansi naskah perjanjian.Dalam keterkaitan ini, hukum international tekankan perlunya good faith (itikad baik) kedua pihak untuk mengensampingkan pendekatan kekerasan dan sebaliknya prioritaskan untuk cara penyelesaian secara aman damai. Kesepakatan yang dicapai kedua pihak sehubungan dengan output penetapan dilapangan berdasar penerapan method ini umumnya dituangkan didalam field plan dan sebagai salah satu referansi hukum dalam penetapan perbatasan daratan.14

2. Wilayah Laut

Kondisi geografis bumi menunjukan bahwa wilayah lautan lebih besar dari wilayah daratan, sehingga konsekuensi logisnya adalah bahwa sebagian besar sumber daya alam yang diperlukan untuk mendukung kesejahteraan manusia tersedia dilautan. Fungsi utama laut disamping penyedia media transportasi, juga sebagai penyedia sumber daya alam yang paling besar, baik sumber daya alam hayati maupun non-hayati.15

Seorang ahli hukum yang beraliran hukum alam yakni Hugo Grotius berpendapat bahwa “Laut adalah unsur yang bergerak dengan cair,

14 Fitri Windradi dan Niniek Wahyuni, “ Konsep Pengaturan dan Ratifikasi Batas Kedaulatan Wilayah Laut Negara Kesatuan RI dalam Prespektif Hukum Internasional”, Jurnal Transparansi Hukum, Universitas Kadiri, Jawa Timur, 2020, hal.7.

15 Dhian Puspitawati, Hukum Laut Internasional, Kecana,Jakarta, 2017, hal.1-2.

(11)

orang-orang tidak bisa secara permanen tinggal dilautan, laut hanya digunakan sebagai tempat singgah dan jalur transportasi dalam rangka keperluan- keperluan tertentu dan kemudian kembali lagi ke daratan. Di wilayah darat manusia bisa hidup dan berkembang secara permanen, dimana dapat melakukan kekuasaan secara efektif dan berkelanjutan. Oleh karena itu laut tidak bisa dimiliki oleh siapa pun (res extra commercium).

Laut tidak dapat berada dibawah kedaulatan negara mana pun di dunia ini dan laut menjadi bebas”.

Hukum laut mempunyai sejarah panjang dalam pembentukan model hukumnya dikarenakan perdebatan besar atas negara kepulauan dan juga negara yang tak mempunyai pantai dan laut. United Nations Convention on The Law of The Sea 1982 sebagai Konvnesi dari PBB yang membawahi negara-negara di dunia, baik yang memiliki laut dan pantai maupun yang tidak.16 Sehingga menciptakan Instrumen hukum internasional yang hampir seluruh negara yang ikut dalam konvensi tersebut meratifikasi perjanjian tersebut. Pengaturan tentang laut dalam UNCLOS 1982 tidak hanya terbatas pada pengaturan perbatasan kepulauan dan kelautan.17

Dalam beberapa dekade pada tahun 90-an telah terjadi beberapa perubahan terkait pengaturan hukum laut diantaranya :

16 United Nations Convention on The Law of The Sea 1982

17 Melly Aida dan M farid Al Rianto, Hukum Laut Internasional Dalam Perkembangan (Kerjasama Regional Dalam Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Laut di Selat Malaka),Justice Publisher , Bandar Lampung, 2014, hal. 38-39.

(12)

1. The Hague Codification Conference in 1930 ( Konferensi Kodifikasi Den Haag 1930 di bawah naungan Liga BangsaBangsa). Konvensi ini adalah Konvensi pertama yang membahas tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara pantai atas laut. Tetapi Konvensi ini gagal menghasilkan ketetapan-ketetapan internasional dikarenakan tidak terdapatnya persesuaian paham tentang lebar laut teritorial dan pengertian mengenai zona tambahan.18

2. The UN Conference on the law of the sea in 1958 (Konferensi PBB tentang Hukum Laut). Konvensi yang dilaksanakan pada tahun 1958 di Jenewa ini setidaknya terdapat beberapa kesepakatan yang dibuat diantaranya, yakni :

a. Convention on the Territorial Sea and Contigious Zone (Konvensi tentang laut teritorial dan zona tambahan), b.Convention on the High Sea (Konvensi tentang laut lepas), c. Convention on Fishing amd Conservation of the Living

Resources of the High Sea (Konvensi tentang perikanan dan kekayaan alam hayati di laut lepas),

d.Convention on Continental Shelf (Konvensi tentang Landas dan Kontinen).19

Setelah melewati beberapa kesepakatan yang dibuat oleh negara- negara terkait dengan bentuk pengaturan mengenai hukum laut, maka

18 P Joko Subagyo, Hukum Laut – Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hal.3.

19 Boer Mauna, Op.Cit., hal.181.

(13)

ditetapkanya aturan baru serta penambahan hukum laut melalui Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea) yang ditandatangani oleh 119 Negara di Teluk Montego Jamaika tanggal 10 Desember 1982.

Hal utama yang menjadi pokok sehingga dilaksanakanya konvensi hukum laut ini adalah permasalahan maritim zones-laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, landas kontinen, laut tinggi, wilayah laut internasional dan perairan kepulauan. Konvensi ini juga memuat ketentuan untuk lewatnya kapal, perlindungan lingkungan laut, kebebasan penelitian ilmiah, dan eksploitasi sumber daya alam.20

Konvensi PBB tentang hukum laut 1982 (UNCLOS 1982) melahirkan bebarapa bentuk pengaturan terkait hukum laut yakni :

a. Laut Teritorial

Laut territorial (territorial Sea) adalah bagian laut yang terletak pada sisi luar dari garis pangkal atau garis dasar (base line) dan disebelah luarnya dibatasi oleh garis atau batas luar (outer limit). Yang dimaksud oleh garis pangkal adalah garis yang ditarik pada pantai pada air laut surut. Ditetapkanya pada waktu air laut surut disebabkan oleh karena garis air laut surut adalah merupakan batas antara daratan dan perairan (laut).21

Laut territorial berdasarkan bentuk penganturanya merupakan garis pangkal yang diukur sejauh 12 mil laut. Garis

20 http://www.sangkoeno.com/2016/07/sejarah-lahirnya-unclos.html (diakses pada tangga 6 maret 2021).

21 Ibid,hal.150.

(14)

pangakal tersebut yang berada pada kawasan sejauh 12 mil berlaku suatu dasar kedaulatan penuh atas ruang udara yang berada diatasnya serta tanah dibawahnya dan dalam laut territorial juga membahas persoalan hak lintas damai bagi kapal asing.

Sebagaimana dalam Pasal 3 menyebutkan bahwa “setiap negara berhak menetapkan lebar teritorialnya hingga suatu batas yang tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari garis pangkal yang ditentukan sesuai dengan konvensi ini.”

b. Perairan Pedalaman

Pasal 8 ayat (1) United Nations Conventions on the Law of the Sea (UNCLOS 1982) disebutkan bahwa Perairan Pedalaman adalah perairan pada sisi darat garis pangkal laut teritorial. Pasal tersebut berbunyi, “Perairan pada sisi darat garis pangkal laut territorial merupakan bagian perairan pedalaman negara tersebut”.

c. Zona tambahan

Zona tambahan sebenarnya sudah dikenal semenjak perang dunia II, sebagai konsep hukum yang pertama kali diperkenalkan oleh Oden de Bouen dalam konperensi internasional tentang perikanan yang diselenggarakan di Madrid, Spanyol.

Zona tambahan sesuai Pasal 33 ayat (2) UNCLOS 1982 menjelaskan bahwa zona tambahan tidak dapat melebihi dari 24 mil laut garis pangkal dari mana lebar laut territorial diukur. Pada zona tambahan hanya memiliki kedaulatan yang terbatas dimana

(15)

kedaulatan terbatas tersebut hanya mencakup bentuk pencegahan terhadap pelanggaran seperti bea cukai,fisikal, imigrasi atau saniteri dan perikanan seperti ditegaskan pada Pasal 33 ayat 1.

d. Landasan kontinen

Landasan kontinen meliputo dasar laut dan tanah dibawahnya dari area dibawah permukaan laut yang terletak di luar laut territorial, sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratan hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 200 (dua ratus) mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut territorial diukur.22 e. Zona ekonomi eksklusif

ZEE adalah suatu zona selebar tidak lebih dari 200 mil laut dari garis pangkal. Di zona ini negara pantai memiliki hak-hak berdaulat yang eksklusif untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan alam serta yurisdiksi tertentu terhadap :23

1. Pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bagunan

2. Riset ilmiah kelautan

3. Perlindungan dan pelastarian lingkungan laut f. Laut lepas

Istilah laut lepas (high seas) pada mulanya berarti seluruh bagian laut yang tidak termasuk perairan pedalaman dan laut teritorial dari suatu negara. Pada konperensi Kodifikasi Den Haag

22 Sefriani, op.cit., hal. 182.

23 Ibid.,182-183.

(16)

1930 atas prakarsa Liga Bangsa-Bangsa walaupun disetujui mempertimbangkan laut teritorial sebagai bagian dari wilayah negara pantai, dan perairan di luarnya adalah laut lepas, tetapi konperensi tersebut mengalami kegagalan dalam menentukan lebar laut teritorial.

Konsepsi laut bebas ini lebih jelas terlihat di dalam pasal 2 dari Konvensi Jenewa 1958 tentang laut lepas, yang menyatakan bahwa laut lepas adalah terbuka untuk semua bangsa, tidak ada suatu negarapun secara sah dapat melakukan pemasukan bagian dari laut lepas ke daerah kedaulatannya. Laut lepas dimaksudkan untuk kepentingan perdamaian dan tidak suatu negarapun yang dapat melakukan klaim kedaulatannya atas bagian laut lepas.24

Terhadap kawasan laut lepas berlaku prinsip berbagai prinsip kebebasan dalam batas-batas hukum internasional, seperti kebebasan berlayar, penerbangan, kebabasan menagkap ikan dan juga penelitian ilmiah.25

g. Dasar laut samudra dalam

Dasar laut yang berada diluar yuridiksi negara dalam UNCLOS 1982 ditetapkan bahwa Dasar Laut Internasional yang tunduk kepada ketentuan internasional merupakan Warisan Bersama Umat Manusia dan dicadangkan untuk generasi yang

24 Mochtar Kusumaatmadja,Hukum Laut Internasional, IKAPI, Bandung, 1983, hal 95.

25 Ibid, hal . 183.

(17)

akan datang.26 Suatu kemajuan sangat berarti diperoleh oleh negara-negara berkembang dikawasan ini yaitu dengan diakuinya prinsip warisan bersama umat manusia (common heritage of mankind), serta terbentuknya badan otorita hukum laut internasional sebgai tindak lanjutnya.27

3. Wilayah Udara

Terdapat adagium dalam hukum Romawi yang berbunyi “ciujus est solum, ejus est usque ad coelum”, yang artinya barang siapa yang menguasai sebidang tanah, maka dia berhak atas segala sesuatu yang terdapat di tanah tersebut sampai suatu ketinggian yang tidak terbatas.

Adagium ini kemudian diadaptasi oleh hukum internasional berkaitan dengan kedaulatan negara yang meliputi darat, laut dan udara.

Kedaulatan suatu negara atas wilayah udara mengikuti wilayah darat dan laut sampai suatu ketinggian yang disebut ruang angkasa. Sampai saat ini belum ada kesepakatan dalam hukum international mengenai batas wilayah udara suatu negara. Yang dipakai sebagai pedoman adalah sampai suatu batas di mana pesawat udara masih bisa terbang diruang udara.28

26 Heryandi “Kerjasama Internasional Pengelolaan Sea Bed Area dan Implikasinya Bagi Negara Pantai. Jurnal Dinamika Hukum”. Vol.13 No.3. September, 2013, Hal. 356-357

27 Ibid.

28 Fitri Windradi dan Niniek Wahyuni “Konsep Pengaturan dan Ratifikasi Batas Kedaulatan Wilayah Laut Negara Kesatuan RI Dalam Pesektf Hukum Internasional”, Jurnal Transparansi Hukum, hal. 28-29.

(18)

Pengaturan ruang udara juga angkasa memang merupakan aturan yang relative baru dibandingkan pengaturan internasional di wilayah bumi yang lain, seperti halnya laut. Hal ini dapatlah dimaklumi mengingat sebelumnya belum terpikirkan manusia akan bisa terbang mencapai bulan dan benda angkasa lainya. Beda halnya dengan laut yang sudah berhasil dikuasai manusia sejak berabad-abad sebelumnya. Barulah sejak ditemukannya balon udara juga pesawat yang paling sederhana kemudian digunakan untuk melumpuhkan kekuatan musuh di era perang mulai terpikirkan untuk mengatur kedaulatan negara di ruang udara yang ternyata merupakan wilayah yang sangat penting dan strategis bagi suatu negara.29

Setelah menyadari bahwa wilayah udara memiliki nilai ekonomis dan strategis, maka negara-negara mulai memikirkan instrumen hukum untuk melindungi kepentingannya sehingga lahirlah berbagai perjanjian internasional di bidang hukum udara. Dua perjanjian internasional yang melegitimasi kepemilikan negara atas ruang udara adalah Konvensi Paris 1919 dan konvensi Chicago 1944. Lahirnya dua perjanjian tersebut didasarkan atas teori kepemilikan ruang udara (the air sovereignty theory).30

29 Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Ibid, hal .197.

30 Baiq Setiani “Konsep Kedaulatan Negara di Ruang Udara dan Upaya Penegakan Pelanggaran Kedaulatan oleh Pesawat Udara Asing” , Jurnal Ilmu Hukum, Universitas Azzahra, Jakarta Timur, 2017, hal. 4.

(19)

Pasal 1 Konvensi Paris 1919 yang dikuatkan pada Konvensi Chaniago 1944 menegaskan bahwa negara mempunyai kedaulatan yang penuh dan eksklusif atas ruang udaranya. Negara memiliki yurisdiksi eksklusif dan kewenangan yang penuh untuk mengontrol ruang udara diatas wilayahnya. Kata-kata penuh dan ekslusif menunjukan betapa besarnya kedaulatan yang dimiliki suatu negara atas ruang udaranya.

C. Hubungan Wilayah dan Kedaulatan

Kata ‘kedaulatan’ berasal dari bahasa Inggris, yaitu ‘sovereignty

yang berasal dari kata Latin ‘superanus’ berarti ‘yang teratas’. Negara dikatakan berdaulat atau sovereign karena kedaulatan merupakan suatu sifat atau ciri hakiki negara. Apabila dikatakan bahwa suatu negara itu berdaulat, dimaksudkan bahwa negara itu mempunyai kekuasaan tertinggi.

Walaupun demikian, kekuasaan tertinggi ini mempunyai batas- batasnya.Ruang pemberlakuan kekuasaan tertinggi ini dibatasi oleh batas wilayah negara itu, artinya suatu negara hanya memiliki kekuasaan tertinggi di dalam batas wilayahnya. Jadi, pengertian kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi mengandung dua pembatasan penting dalam dirinya yaitu:31

1. Kekuasaan terbatas pada batas wilayah negara yang memiliki kekuasaan itu.

2. Kekuasaan itu berakhir ketika kekuasaan suatu negara lain dimulai.

31 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, op.cit., hal.16-18

(20)

Daniel Patrick O'Connell seorang ahli hukum sekaligus pengacara yang berkonsentrasi pada bidang hukum internasional berpendapat bahwa kedaulatan dan wilayah berkaitan erat karena pelaksanaan kedaulatan didasarkan pada wilayah.

Hubungan antara kedaulatan dan wilayah sama-sama memiliki arti penting bagi keberlangsungan suatu negara, bentuk penghormatan terhadap wilayah itu lahir ketika kedaulatan itu ada. Kedaulatan itu berarti kekuasaan tertinggi diamana ada pemberlakuan yuridksi didalamnya.

Yurisdiksi sendiri diartikan sebagai kekuasaan atau kompetensi hukum negara terhadap orang, benda atau peristiwa hukum. Yurisdiksi juga merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara dan prinsip tidak campur tangan.32

Setiap negara yang lahir dimana sudah memenuhi unsur-unsur yang termaktubkan dalam Konvensi Montevideo memiliki hak yang fundamental dalam bentuk penghargaan terhadap kedaulatan akan wilayahnya. Kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara dalam pelaksanaan jurisdiksi ekslusif memiliki kekuatan yang mengikat bagi setiap negara dan harus di hormati oleh dunia internasional.

Kedaulatan territorial suatu negara tidak serta merta bersifat sebebas bebasnya dalam hal pelaksanaan yuridiksinya, namun ada batasan- batasan yang perlu dihormati dimana, suatu negara tidak dapat melaksanakan Yurisdiksi ekslusifnya ke luar dari wilayahnya yang dapat

32 Ian Brownlie, Principle of Public International Law, Oxford University Press, edisi ke-3, 1979, Hal.109.

(21)

mengganggu kedaulatan wilayah negara lain. Suatu negara hanya dapat melaksanakannya secara ekslusif dan penuh hanya di dalam wilayahnya saja.

Hakikat kedaulatan teritorial terkandung dalam pengertian hak.

Istilah ini berhubungan baik dengan kondisi faktual dan hukum di mana suatu wilayah dianggap sebagai bagian dari suatu wilayah otoritas tertentu atau lainnya. Dengan kata lain, hal ini mengacu pada keberadaan fakta- fakta yang diisyaratkan di bawah hukum internasional untuk menimbulkan konsekuensi hukum dari perubahan status yuridis dari wilayah tertentu.33

Wilayah dalam hal ini merupakan unsur awal yang dapat menjadi acuan sehingga suatu kedaulatan dapat berfungsi semestinya. Ada berbagai hal yang berkesinambungan antara wilayah dan kedaulatan sehingga dua hal tersebut menjadi hal urgent demi keberlangsungan suatu negara.

Adanya suatu wilayah tanpa adanya kedaulatan, jika dilihat dari sudut pandang kedaulatan keluar maka hal dapat merusak citra daripada negara itu sendiri, misalnya negara lain dapat masuk dengan mudah menganggu keamanan dan ketentraman wilayah suatu negara.

Persoalan kedaulatan ialah jati diri suatu bangsa, ketika berdaulat maka bangsa itu akan mampu menunjukkan jati diri, karakter hingga keunggulannya dimana keberadaanya akan diperhatikan dan diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain

33 Jennings, Acquisition, See also Brownlie’s Principles of Public International Law, 8th edn, Oxford, 2012, p. 216.

Referensi

Dokumen terkait

Some problems occured in the administration of the village in Badung are lack of knowledge of society about the traditional village who have difficulty in finding funds for activities,

Academic Writing course material also explains what and how to write chapter 1 through the final chapter of reading source references as well as writing and exposing the statement of