Self-regulated learning merupakan penerapan model regulasi umum dan regulasi diri dalam proses pembelajaran. Pintrich (Mukhid, 2008) mendefinisikan pembelajaran mandiri sebagai proses aktif dan konstruktif dimana siswa menetapkan tujuan belajar dan dipandu oleh tujuannya. Pembelajaran yang diatur sendiri, atau pengaturan diri dalam pembelajaran, mencakup keterampilan strategi kognitif, teknik belajar, dan pembelajaran sepanjang hayat.
Menurut Wine (1997), self-regulated learning adalah kemampuan seseorang dalam mengelola pengalaman belajarnya secara efektif dengan berbagai cara guna mencapai hasil belajar yang optimal. Conro (2005) juga menambahkan bahwa siswa yang mempunyai kemampuan belajar mandiri akan memiliki motivasi belajar yang tinggi. Berdasarkan definisi yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa self-regulated learning adalah kemampuan dimana individu secara aktif mengontrol proses kognitif, motivasi dan perilaku untuk mencapai tujuan tertentu yang telah dilaksanakan.
Cobb (2003) menyatakan bahwa regulasi diri belajar dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain kecerdasan emosional, motivasi dan tujuan. Menurut Cobb (2003), tujuan pembelajaran menghasilkan kinerja akademik yang tinggi dan menunjukkan penggunaan strategi pembelajaran mandiri melalui pemrosesan informasi yang mendalam. Menurut Zimmerman (1989), faktor-faktor yang mempengaruhi self-regulated learning berasal dari tiga bidang, yaitu bidang pribadi, bidang perilaku, dan bidang lingkungan.
Lingkungan belajar yang baik akan mendorong siswa untuk mengatur diri belajar, sedangkan lingkungan yang kurang baik akan membuat siswa sulit berkonsentrasi pada tugas. Siswa yang memiliki pembelajaran mandiri mengetahui apa yang ingin mereka capai dalam studinya. Siswa dengan self-regulated learning mempunyai rencana masa depan terkait dengan tugas belajar dan menggunakan waktunya secara efektif untuk mencapai tujuannya.
Siswa dengan self-regulated learning akan berusaha memusatkan perhatiannya pada tugas yang ada dan menghilangkan pemikirannya serta pikiran dan emosi yang berpotensi mengganggu. Siswa dengan self-regulated learning akan mengevaluasi apakah yang dipelajarinya cukup untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Penerapan pembelajaran mandiri bisa lebih atau kurang otomatis (atau absolut atau implisit).
Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa tahapan belajar mandiri adalah perencanaan, pemantauan diri, pengendalian, refleksi atau evaluasi. Strategi self-regulated learning merupakan komplikasi dari perencanaan yang digunakan siswa untuk mencapai pembelajaran (Suminarti & Fatimah, 2013). Penelitian Spitzer (Santrock, 2004) menunjukkan bahwa strategi self-regulated learning berkaitan erat dengan prestasi akademik siswa yang menerapkan strategi self-regulated learning.
Zimmerman dan Martinez-Pons (Ormrod, 2008) melakukan penelitian dengan menggunakan metode wawancara yang menghasilkan 10 kategori perilaku belajar sebagai strategi self-regulated learning sebagai berikut.
Kecerdasan Emosi
Pengertian Kecerdasan Emosi
Goleman (2006) menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan manusia untuk mengelola kehidupan emosional kita dengan kecerdasan, menjaga keselarasan dan ekspresi emosi (kesesuaian emosi dan ekspresinya) dengan bantuan keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri. , empati dan keterampilan sosial. Mayer (Goleman, 2006) menyatakan bahwa kecerdasan emosional merupakan hasil kerja sama kekuatan emosi dengan pemikiran rasional, fungsi pengendalian diri, semangat, ketekunan dan kemampuan memotivasi, kemudian menggunakannya sebagai kekuatan inti dalam hidup untuk mencapai kesuksesan. dalam menjalin hubungan dengan orang lain, keberhasilan dalam pemecahan masalah, serta kesejahteraan dan keberhasilan dalam hidup. Berdasarkan definisi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang dalam mengatur kehidupan emosinya serta mampu membedakan dan merespons secara tepat, mengatur suasana hati, memotivasi diri sendiri, bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati, mengendalikan emosi. stres, berempati dan mampu menjalin kontak dengan orang lain.
Melalui kesadaran diri, pikiran rasional dapat memberikan informasi penting untuk menghilangkan suasana hati yang tidak menyenangkan. Pada saat yang sama, kesadaran diri dapat membantu mengelola diri sendiri dan hubungan pribadi serta menyadari emosi dan pikiran diri sendiri. Pengendalian emosi tidak dilakukan dengan menekan emosi, namun dengan mampu menyalurkan emosi dan mengarahkan suasana hati melalui aktivitas positif seperti menonton, membaca buku, berbelanja dan membantu orang lain (Goleman, 1995).Pengaturan diri adalah kemampuan untuk mengikuti.
Sebaliknya emosi yang tidak terkontrol dapat menimbulkan gangguan emosi, yang ingin kita capai adalah emosi yang normal yaitu keselarasan antara perasaan dan lingkungan. Menurut Stein & Book (2002), pemecah masalah yang sukses termotivasi dengan memandang masalah sebagai tantangan yang harus diatasi atau sebagai pengalaman berharga yang akan membantu mereka menjadi lebih kuat dan berkembang. Orang optimis beranggapan bahwa kegagalan disebabkan oleh sesuatu yang bisa diubah agar bisa sukses di masa depan.
Empati adalah merasakan apa yang dirasakan orang lain, mampu memahami sudut pandangnya, membina hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan orang lain. Jika mengembangkan empati yang tercipta dari pemahaman dan frustasi, perasaan dan pikiran orang lain, maka seseorang akan mampu melihat situasi dari sudut pandang yang lebih luas. Menurut Bar-On (Stein & Book, 2002) empati adalah menyelaraskan diri terhadap hal tersebut, serta latar belakang perasaan dan pikiran orang lain, sebagaimana yang dirasakan dan dipikirkan orang tersebut.
Keterampilan sosial adalah mengendalikan emosi dengan baik ketika berinteraksi dengan orang lain, dan membaca situasi dan jaringan sosial dengan cermat, berinteraksi dengan lancar, menggunakan keterampilan tersebut untuk mempengaruhi dan memimpin, berunding dan menyelesaikan perselisihan, serta bekerja sama dalam tim (Goleman, 2000). Unsur kecerdasan emosional ini tidak hanya berkaitan dengan keinginan untuk menjalin persahabatan dengan orang lain, tetapi juga kemampuan untuk merasa tenang dan nyaman dalam hubungan tersebut, serta kemampuan untuk memupuk harapan positif dalam interaksi sosial. Berdasarkan uraian di atas, kecerdasan emosional meliputi aspek yaitu kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, harapan, optimisme, empati dan keterampilan sosial.
Faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa faktor kecerdasan emosional meliputi: faktor internal yaitu faktor fisik dan psikis, dan faktor eksternal yaitu stimulus itu sendiri dan lingkungan/keluarga. Hubungan Kecerdasan Emosional dengan Self Regulated Learning Self Regulated Learning merupakan kemampuan dasar yang meliputi pengaturan emosi, pikiran, belajar dan tindakan belajar Self Regulated Learning dapat diartikan sebagai pengaturan diri dalam belajar secara konstruktif dan aktif dengan menentukan sasaran. rencana kegiatan belajar, memantau kemajuan, mengendalikan dan mengatur aktivitas kognitif dan perilakunya. Strategi pembelajaran ini akan menunjang kinerja pembelajaran, karena memerlukan pengaturan pembelajaran yang baik, karena pembelajaran memerlukan aktivitas mental yang tinggi (Woolfolk, 2004).
Menurut Gunarsa (2004), faktor yang mengembangkan pengaturan diri adalah proses perhatian, kesadaran akan emosi negatif. Tokoh lain bernama Gilliom mengatakan, faktor yang mempengaruhi pengaturan diri adalah pengaturan emosi.Kecerdasan emosional bersinergi dengan keterampilan kognitif yang terdapat pada aspek prestasi akademik. Hasil penelitian yang dilakukan Alfina (2014) menunjukkan bahwa bekal utama yang diperlukan siswa untuk beradaptasi dengan tuntutan tugas adalah memiliki kemampuan dan keterampilan mengatur kegiatan belajar, mengendalikan perilaku belajar dan mengenal tujuan, arah dan penunjang. sumber daya. pembelajaran mereka.
Regulasi diri (SLR) merupakan hal yang dibutuhkan siswa untuk dapat mengatur dan mengarahkan, beradaptasi dan menguasai, terutama ketika dihadapkan pada tugas-tugas yang lebih sulit. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sari (2012) menyatakan bahwa individu yang memiliki kecerdasan emosional akan mencapai hasil yang baik melalui pengaturan diri belajar, termasuk keterampilan kognitif dan mungkin mencakup kemampuan mengelola sistem pembelajarannya, namun tanpa kecerdasan emosional individu tidak akan mampu. mampu menggunakan kemampuan kognitif. kemampuan dengan potensi dan mengidentifikasi masalah yang dapat mempengaruhi keberhasilan akademik. Kecerdasan emosional yang mempunyai kemampuan kognitif merupakan kunci keberhasilan akademik seseorang, sehingga ia mampu menghadapi permasalahan dan menyelesaikan kegagalan dalam mencapai nilai akademik.
Oleh karena itu, kecerdasan emosional mencakup kemampuan menilai dengan benar, yaitu tidak merasa kesulitan, menghargai, mengungkapkan emosi, dan kemampuan memasuki dan/atau membangkitkan perasaan. Di sisi lain, Goleman (2009) menjelaskan bahwa jika seseorang mengalami kebingungan emosional dan tidak dapat berpikir jernih, hal ini akan mengakibatkan kurangnya kemampuan intelektual anak dan menghambat kemampuannya dalam belajar. Seorang siswa yang cerdas emosi atau mempunyai kecerdasan emosional yang tinggi sadar akan kelemahan dan kelebihan yang dimilikinya.
Hal tersebut juga memotivasi dirinya dalam belajar (Santosa, 2008), sehingga dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional berdampak terhadap pencapaian kinerja belajar. Oleh karena itu, self-regulated learning merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional, yang menyatakan bahwa salah satu aspek dari self-regulated learning adalah metakognisi, sedangkan metakognisi mempunyai fungsi kontrol eksekutif dan strategis. Hal ini didukung oleh penelitian Weinters dan Mayer (1986) yang menyimpulkan bahwa siswa yang mampu memperkuat strategi metakognitif dan strategi kognitif menghasilkan prestasi akademik. Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat kesimpulan bahwa terdapat hubungan antara kecerdasan emosional dengan self-regulated learning pada siswa SMA Al-Azhar Plus Medan.
Kerangka Konseptual
Hipotesis