4 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. LANDASAN TEORI
1. Ilmu Kedokteran Forensik
Forensik diambil dari bahasa Yunani, berasal dari kata
yang artinya debat atau perdebatan. Ilmu forensik adalah ilmu yang digunakan untuk keperluan penyelesaian kejahatan pada sidang pengadilan. Dalam ilmu forensik terdapat beberapa cabang ilmu diantaranya ilmu kedokteran forensik, ilmu psikologi forensik, ilmu kimia forensik, ilmu toksikologi forensik, dan sebagainya. (Maramis M.R, 2015)
Ilmu kedokteran forensik adalah cabang dari ilmu forensik yang menerapkan ilmu kedokteran klinis untuk membantu proses penegakan hukum dan keadilan (Maramis M.R, 2015). Dalam ilmu kedokteran forensik terdapat dua cabang ilmu, yaitu forensik klinik dan forensik patologi. Forensik klinik adalah cabang ilmu kedokteran forensik dimana korban yang diperiksa merupakan korban hidup. Contoh dari kasus forensik klinik adalah pemerkosaan, pencabulan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan kekerasan pada anak (Lumente M.A et al, 2017).
Forensik patologi adalah ilmu yang mencakup pemeriksaan pada jenazah (korban mati) yang bertujuan untuk menemukan penyebab kematiannya.
Contoh dari kasus forensik patologi yaitu kecelakaan, bunuh diri, asfiksia, tenggelam, keracunan, dan semua hal yang menyebabkan kematian (Tololiu C.C. et al, 2016). Perbedaan antara forensik klinik dan forensik patologi hanya terletak pada status kehidupan dari korban yang diperiksa, korban hidup atau korban mati.
Ilmu kedokteran forensik adalah ilmu forensik yang memanfaatkan ilmu kedokteran untuk mengungkap kebenaran materiil demi kepentingan proses penegakan hukum. Berbagai pemeriksaan penunjang
5
dapat digunakan untuk membantu mengungkapkan kebenaran materiil, meliputi : (Y.A. Triana Ohoiwutun, 2018)
a. Pemeriksaan Toksikologi Forensik
Pemeriksaan toksikologi forensik bertujuan untuk menganalisis kandungan racun dan akibat dari penggunaan racun tersebut untuk menemukan penyebab kematian korban. Selain itu, pemeriksaan toksikologi forensik juga digunakan untuk menemukan penyebab kematian akibat kecelakaan yang terjadi karena human error. Pemeriksaan toksikologi dapat mengidentifikasi zat-zat yang ada pada tubuh korban yang kemungkinan berpengaruh pada kecelakaan tersebut.
b. Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi adalah pemeriksaan dengan tektik histologist dengan cara mengidentifikasi jaringan dari tubuh manusia. Contoh pemeriksaan histopatologi yang digunakan dalam kasus pidana yaitu pada kasus pembunuhan bayi, dapat dilakukan pemeriksaan uji apung paru, tujuannya adalah untuk mengetahui bayi tersebut dibunuh saat setelah kelahiran atau beberapa saat setelah kelahiran.
c. Pemeriksaan Antropologi Forensik
Pemeriksaan antropologi forensik dilakukan dengan cara mengidentifikasi kerangka atau sisa-sisa kerangka untuk mengetahui apakah kerangka atau sisa-sisa kerangka itu merupakan bagian dari kerangka manusia atau binatang.
Pemeriksaan antropologi forensik ini berperan untuk mengetahui jenis kelamin, perkiraan usia, bentuk tubuh, ras, penyebab kematian, dan sebagainya.
d. Pemeriksaan Teksik Superimposisi
Pemeriksaan teknik superimposisi dilakukan dengan cara membandingkan tengkorak/kerangka korban mati dengan tengkorak/kerangka korban pada saat masih hidup dan ciri-ciri
6
khusus yang ada pada korban untuk keperluan identifikasi. Ciri- ciri khusus tersebut misalnya pada pemeriksaan odontologi forensic, dengan membandingkan kondisi gigi korban pada saat hidup dan mati. Kendalanya adalah ketika kondisi kerangka/tengkorak tersebut hancur sehingga sulit untuk diidentifikasi.
e. Pemeriksaaan Laboratorium Forensik
Pemeriksaan laboratorium forensik yang digunakan untuk mengungkap kebenaran materiil meliputi pemeriksaan sidik jari, analisis kimia, analisis fisika, generik, mayat, dan semua pemeriksaan yang berhubungan dengan pemeriksaan tubuh manusia. Contoh pada pengguna narkoba dapat dilakukan pemeriksaan urine, atau pemeriksaan sidik jari pada kasus pembunuhan untuk mengungkap pelaku pembunuhan tersebut.
2. Visum et Repertum
a. Pengertian Visum Et Repertum
Visum et Repertum adalah surat keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter dibawah sumpah, atas permintaan resmi secara tertulis oleh penyidik untuk keperluan pengadilan. Visum et Repertum ini merupakan surat keterangan yang berisi temuan dan interpretasinya mengenai bagian dari tubuh manusia baik hidup ataupun mati.
(Afandi, 2017)
b. Peran dan Fungsi Visum Et Repertum
Visum et Repertum merupakan alat bukti yang berperan dalam memberikan keterangan mengenai semua hal tentang hasil pemeriksaan medis, sehingga dapat dijadikan sebagai bukti suatu perkara pidana.
Pada bagian kesimpulan Visum et Repertum, terdapat keterangan atau pernyataan dokter mengenai hasil dari pemeriksaan medis yang dilakukan, sehingga fungsi Visum et Repertum sendiri adalah untuk
7
mengaitkan antara ilmu kedokteran dengan ilmu hukum untuk mengetahui masalah yang terjadi pada seseorang.
c. Jenis Visum et Repertum
Berdasarkan korbannya, visum et repertum dapat dibagi menjadi dua, yaitu : (Tim penyusun modul badan diklat kejaksaan RI, 2019) i. Visum et repertum korban mati
ii. Visum et repertum koban hidup, meliputi : visum et repertum psikiatri, visum et repertum penganiayaan/luka, dan visum et repertum kejahatan susila.
Selain itu, berdasarkan waktunya, visum et repertum dibagi menjadi dua, yaitu visum et repertum sementara dan visum et repertum definitive. (Tim penyusun modul badan diklat kejaksaan RI, 2019) d. Pembuatan Visum Et Repertum
Pembuatan Visum et Repertum harus sesuai dengan format tertentu.
Berikut merupakan bagian-bagian dari Visum et Repertum : (Afandi, 2017)
1) Pro Justitia
Visum et Repertum hanya digunakan untuk kepentingan penegakan keadilan.
2) Pendahuluan
Pendahuluan Visum et Repertum berisi :
- Identitas dari seseorang yang melakukan permohonan terhadap Visum et Repertum
- Tanggal menerima permohonan Visum et Repertum - Identitas dari dokter pemeriksa
- Identitas korban yang diperiksa
- Tempat dan waktu pelaksanaan pemeriksaan 3) Pemberitaan
8
Berisi detail hasil dari pemeriksaan yang ditemukan pada korban secara objektif. Bagian ini merupakan inti dari Visum et Repertum.
4) Kesimpulan
Pada bagian kesimpulan berisi hasil interpretasi yang ditemukan sendiri oleh dokter yang membuat Visum et Repertum dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Pada bagian kesimpulan setidaknya harus berisi 2 unsur minimal, yaitu jenis luka dan kekerasan, dan derajat kualifikasi luka.
Contoh Visum et Repertum :
9
Gambar 2.1. Contoh Visum et Repertum 3. Cara, Sebab dan Mekanisme Kematian
Cara kematian adalah suatu kejadian yang bertanggung jawab terhadap kematian. Cara kematian terbagi menjadi 2, yaitu cara kematian wajar dan tidak wajar. Cara kematian wajar contohnya adalah karena suatu penyakit tertentu, sedangkan cara kematian yang tidak wajar contohnya kematian karena kecelakaan, bunuh diri, pembunuhan, dll.
(Syaulia et al, 2011)
Penyebab kematian adalah penyakit atau trauma/cedera yang bertanggung jawab terhadap terjadinya kematian. Penyebab kematian dibagi menjadi 2, yaitu karena penyakit dan karena trauma (mekanik, kimiawi, fisik). Penyebab kematian karena penyakit contohnya seperti penyakit pada SSP, urogenital, respirasi, dll. Penyebab kematian karena trauma terbagi menjadi 3, yaitu trauma mekanik, trauma kimiawi, dan trauma fisik. Trauma mekanik contohnya seperti bom, senjata api, trauma tajam, trauma tumpul. Trauma kimiawi contohnya seperti asam, basa, dan keracunan. Trauma fisik contohnya seperti listrik, panas, dingin, dll.
(Syaulia et al, 2011)
10
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, mekanisme adalah cara untuk mendapatkan sesuatu secara teratur sehingga menghasilkan suatu pola atau bentuk untuk mencapai tujuan yang di inginkan. Sebab kematian adalah setiap luka, cedera, atau penyakit yang mengakibatkan rangkaian gangguan fisiologis tubuh yang berakhir dengan kematian pada seseorang, misalnya: luka tembak pada kepala. Mekanisme kematian adalah gangguan fisiologis dan biokimia yang disebabkan oleh sebab kematian, sehingga menyebabkan kematian seseorang, misalnya:
perdarahan, aritmia jantung, dan asfiksia.
Definisi mengenai kematian masih terus berkembang dari waktu ke waktu seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Sederhananya, mati merupakan berhentinya 3 sistem utama dalam tubuh manusia yaitu sistem pernafasan, sistem kardiovaskuler, dan sistem saraf pusat, yang disebut sebagai mati somatik. Kematian terdiri dari dua fase, yaitu kematian somatik dan kematian biologik. Kematian somatik adalah fase kematian dimana tidak ada tanda-tanda kehidupan seperti tidak adanya denyut jantung, tidak adanya gerakan nafas, dan tidak adanya aktivitas pada otak. Kematian biologik terjadi 2 jam setelah terjadinya kematian somatik. (Senduk E.A et al, 2013)
Kematian terbagi menjadi dua macam, yaitu kematian yang wajar dan kematian tidak wajar. Kematian yang wajar contohnya seperti kematian karena sakit, karena tua, dan lain-lain. Sedangkan kematian tidak wajar contohnya seperti kecelakaan, pembunuhan, bunuh diri, dan lain-lain. (Tim penyusun modul badan diklat kejaksaan RI, 2019)
Perubahan yang terjadi setelah kematian dipelajari dalam ilmu Tanatologi. Ilmu Tanatologi digunakan untuk memastikan kematian dan memperkirakan waktu kematian. Berikut merupakan hal-hal yang berkaitan dengan kematian dalam ilmu tanatologi, yaitu : (Henky et al., 2017)
1. Lebam mayat
11
Lebam mayat (livor mortis) adalah pengumpulan darah pada bagian tubuh (terutama bagian bawah) yang tidak tertekan karena berhentinya aktivitas jantung dan gravitasi. Lebam mayat terjadi 15 menit - 1 jam setelah kematian. Pada pemeriksaan lebam mayat dilaporkan lokasi lebam mayat, warna lebam, dan hilang atau tidak lebam saat di tekan.
2. Kaku mayat
Kaku mayat (rigor mortis) terjadi ketika tidak ada lagi oksigen yang masuk ketubuh, sehingga menyebabkan terjadinya pemecahan ATP menjadi ADP serta penimbunan dari asam laktat yang menyebabkan otot menjadi kaku dan memendek. Kaku mayat terjadi 2 jam setelah kematian, dan setelah 12 jam kaku mayat menjadi sempurna (menyeluruh). Pada pemeriksaan kaku mayat di laporkan lokasi kaku mayat dan intensitas kaku mayat tersebut.
3. Perubahan pada mata
Setelah kematian, pada mata akan terjadi perubahan berupa ilangnya refleks mata, kornea mengeruh, arteri sentral retina bersegmentasi, dan tekanan di dalam bola mata menjadi menurun. Ketika kornea tersebut mengeruh dilakukan pemeriksaan dengan meneteskan air bersih, kemudian amati hasilnya apakah tetap keruh atau menjadi bening kembali.
4. Pembusukan
Pembusukan terjadi karena adanya aktifitas dari mikroorganisme dan terjadinya proses autolisis. 24 36 jam setelah kematian terjadi pembusukan yang ditandai dengan berubahnya warna kulit menjadi kehijauan dimulai dari perut bagian bawah kanan. Kemudian, 36 48 jam akan terjadi perubahan warna kulit menjadi hitam kehijauan (marbling sign) yang diakibatkan karena pelebaran pembuluh darah.
Setelah 48 72 jam, bagian tubuh yang terdiri dari jaringan ikat longgar akan membengkak (bloating), seperti mata menonjol, wajah bengkak, lidah menjulur, serta menegangnya perut. 72 96 jam
12
setalah kematian akan muncul gelembung-gelembung pembusukan dan pada fase ini rambut sangat mudah dicabut dan kulit akan terkelupas. Pada pemeriksaan pembusukan ini dilaporkan lokasi dan keadaan pembusukan yang terjadi.
4. Kecelakaan Lalu Lintas
Pengertian kecelakaan lalu lintas menurut UU No. 22 Tahun 2009 k disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang
Terdapat tiga pengelompokan korban kecelakaan lalu lintas, yaitu sebagai berikut : (Tahir A, 2006)
i. Korban Mati, adalah korban yang dinyatakan meninggal akibat kecelakaan lalu lintas maksimal 30 hari setelah kecelakaan.
ii. Korban Luka Berat, adalah korban yang dirawat di rumah sakit selama lebih dari 30 hari atau korban yang mengalami cacat secara permanen akibat kecelakaan tersebut.
iii. Korban Luka Ringan, adalah korban yang bukan merupakan korban mati atau korban luka berat.
Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas meliputi faktor manusia, faktor lingkungan, faktor kendaraan, ataupun kombinasi dari beberapa faktor tersebut. Mengurangi angka kejadian kecelakaan lalu lintas dengan melakukan tindakan pencegahan terhadap faktor-faktor tersebut menjadi salah satu penentu berat ringannya suatu cedera yang ditimbulkan (Djaja S. et al, 2016). WHO menyebutkan beberapa intervensi yang efektif untuk mengurangi beratnya cedera yang ditimbulkan adalah dengan melakukan perancangan infrastruktur yang lebih aman dan memasukkan fitur keselamatan jalan ke dalam perencanaan penggunaan lahan dan transportasi, meningkatkan fitur keselamataan kendaraan, meningkatkan perawatan pasca-kecelakaan bagi korban kecelakaan di jalan raya,
13
menetapkan hukum yang berkaitan dengan risiko utama, dan meningkatkan kesadaran publik.
B. Kerangka Pemikiran
Gambar 2.2.Kerangka Pemikiran Kasus Kecelakaan Lalu
Lintas
Kasus kecelakaan korban mati
Forensik patologi
Visum et Repertum
Kesimpulan VeR
: Diteliti
1. Cara kematian (manner of death)
2. Penyebab kematian (cause of death) 3. Mekanisme kematian
(mechanism of death)