Bab IV
Pengukuran Hutan Campur 4.1 Landasan Teori
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Kemudian menurut umurnya, hutan dibagi menjadi dua, yaitu hutan seumur dan hutan tidak seumur. Hutan tidak seumur adalah hutan yang spesies tanamannya memiliki umur yang berbeda-beda. Sebagai contoh adalah hutan alam (Sasono, dkk., 2022). Hutan alam adalah suatu lahan yang tidak dibebani hak katas tanah yang bertumbuhan pohon-pohon alami dan secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya (Jupriyanto, 2017).
Tanaman yang tumbuh di hutan alam umumnya membentuk struktur tegakan hutan tidak seumur (uneven-aged forest), yang dicirikan oleh semakin berkurangnya jumlah pohon seiring dengan meningkatnya ukuran diameter. Umumnya, pohon- pohon berdiameter kecil pada tingkat pancang (diameter 5–9 cm) dan tiang (diameter 10–19 cm) jumlahnya lebih banyak daripada pohon-pohon berdiameter besar (≥20 cm). Apabila divisualisasikan, struktur tegakan hutan tidak seumur tersebut menyerupai ‘kurva J terbalik’. Dari waktu ke waktu, tegakan hutan akan mengalami dinamika karena adanya penambahan individu pada kelas diameter terkecil (ingrowth/recruitment), penambahan ukuran diameter sehingga beralih dari suatu kelas diameter ke kelas berikutnya (up- growth), tidak mengalami perubahan ukuran yang signifikan (relatif tetap), kematian (mortality) secara alami atau karena gangguan dan karena penebangan (Tiryana, dkk., 2022).
Eksistensi hutan menyediakan potensi sumber daya yang dapat dimanfaatkan oleh manusia sebagai pengelola. Potensi hutan menggambarkan nilai ekonomi dan nilai ekologi suatu hutan yang dapat diketahui dengan melaksanakan kegiatan inventarisasi. Pengertian dari inventarisasi adalah tindakan untuk mengetahui kekayaan yang dimiliki oleh suatu kawasan pada suatu waktu yang bermanfaat untuk mengambil keputusan dalam melaksanakan tindakan-
tindakan selanjutnya. Potensi hutan yang diperoleh dapat berupa flora, fauna, sumber daya manusia, sosial ekonomi, hingga potensi budaya masyarakat. Kegiatan inventarisasi atau merisalah hutan ini penting dilaksanakan sebagai salah satu dari unsur utama perencanaan hutan sehingga dapat diupayakan pemanfaatan kawasan hutan tersebut untuk memperoleh manfaat bagi kesejahteraan masyarakat yang optimal dan lestari (Umar, 2021). Untuk mengetahui potensi yang dimiliki oleh hutan, obyek yang perlu dirisalah di antaranya adalah: 1) tegakan yang meliputi: umur, tinggi, peninggi, kualitas batang, kepadatan bidang dasar; 2) tanah yang meliputi: warna, kedalaman, batuan, kadar humus; 3) topografi yang meliputi: derajat kemiringan, arah lereng, iklim, bentuk lapangan; dan 4) tumbuhan bawah yang meliputi seluruh jenis tumbuhan bawah yang ada. Seluruh informasi tersebut dicatat pada masing-masing petak (Andayani, 2019).
Proses pengumpulan data dan informasi mengenai potensi hutan perlu mempertimbangkan tingkat efisiensi dan efektivitas sehingga dapat memperoleh hasil yang akurat dan tepat guna. Secara sederhana, kegiatan inventarisasi hutan dapat dilakukan dengan mengukur atau menaksir massa tegakan atau volume kayu sehingga informasi yang akan diperoleh adalah potensi kayu yang dimiliki oleh hutan tersebut. Pendataan komponen tinggi dan diameter pohon pada suatu tegakan merupakan satuan pengukuran utama untuk mengetahui potensi kayu yang dimiliki hutan. Tinggi tanaman menjadi indikator kualitas tempat tumbuh, kemudian jumlah tanaman dan luas bidang dasar menggambarkan kerapatan tegakan, serta volume tegakan mencerminkan massa kayu (Afifah & Arifin, 2022). Selain mengetahui potensi hutan, kegiatan pengukuran di hutan dapat membantu menentukan kualitas tempat tumbuh sehingga dapat menjadi dasar keputusan pengelolaan kawasan hutan serta mengidentifikasi produktivitas tegakan di masa depan (Riyanto & Pahlana, 2017).
4.2 Tujuan
Adapun cara kerja dari inventarisasi pada hutan tanaman kayu putih adalah sebagai berikut:
1. Menyusun rancangan sampling untuk inventarisasi hutan pada berbagai intensitas sampling, luas petak ukur, dan jarak petak ukur
2. Melaksanakan pengukuran dan pencatatan data hasil pengukuran tegakan pada unit-unit sampling (sampling unit)
3. Mengolah, menganalisis dan melakukan interpetasi data hasil pengukuran 4. Membuat perbandingan hasil inventarisasi dengan dan tanpa stratifikasi 5. Memberikan rekomendasi teknik sampling yang paling tepat
6. Menyajikan hasil inventarisasi dalam format data tabulasi, spasial, dan narasi 4.3 Cara Kerja
4.3.1 Rancangan Penempatan Petak Ukur 1. Bentuk dan Peletakan Plot
a. Tujuan penarikan contoh pada hutan alam adalah untuk menghitung potensi tegakan mulai dari berbagai tingkatan pertumbuhan pohon (semai (seedling), sapihan (sapling), tiang (poles), pohon)
b. Peletakan plot contoh/sampel dalam areal dilakukan dengan petak ukur berupa jalur (line sampling) dengan lebar jalur 20 meter dengan jalur petama ditetapkan secara acak
c. Jarak antara jalur sebesar 100 m, dengan tujuan mengusahakan agar semua areal petak dapat terwakili
d. Plot sampel di hutan campuran tidak seumur diletakkan dalam jalur inventarisasi dengan arah Utara-Selatan
e. Tiap 20 m dalam jalur diberi tanda dan diberi nomor mulai dari no 1 sampai dengan no terakhir dalam tiap jalur (selanjutnya disebut No PU dalam jalur) f. Pada setiap PU dalam jalur dilakukan pengukuran terhadap seluruh tingkatan
tiang dan pohon (diameter 20 cm up)
g. Pada PU No 1, 6, 11, 16, dst. Dibuat sub PU dan dilakukan pengukuran tingkatan pertumbuhan semai, sapihan, dan tiang dengan ukuran PU secara berurutan 2 x 2 m, 5 x 5 m, dan 10 x 10 m
4.3.2 Pengambilan Data Lapangan
1. Membuat tanda arah masuk pada tiap jalur
2. Membuat tanda batas jalur sisi kiri dan kanan (lebar 20 m)
3. Membuat tanda batas PU dalam jalur (tiap 20 m) sehingga membentuk PU Persegi 20 x 20 m
4. Menentukan pohon sampel tiap PU dalam jalur dan menentukan koordinat letak pohon dalam PU (absis-x dan ordinat-y) dengan titik 0 ada pada pojok kiri awal PU dalam jalur.\Misal koordinat (2,14) berarti pohon tersebut berada 2 m ke arah kanan dari titik 0 dan 14 m ke arah depan dari garis sumbu x
5. Memberi nomor pohon yang masuk dalam PU, penomoran dilakukan secara berurutan mulai no 1 sampai dengan nomor terakhir dalam tiap jalur
6. Melakukan pengukuran diameter/keliling dan tinggi total dan tinggi bebas cabang pohon (semua pohon yang berdiameter 20 cm up)
7. Apabila pohon-pohon bercabang pada ketinggian <1,30 meter, cabang dihitung sebagai nPU. Apabila tinggi cabang >1,30 meter hanya dihitung satu pohon
8. Pengamatan dan pendataan tumbuhan bawah, keadaan tanah, kondisi lapangan, dan keterangan lainnya (termasuk gangguan hama penyakit dan aspek sosial)
9. Pengamatan Hasil Hutan Bukan Kayu dilakukan pada seluruh Petak Ukur dengan mengidentifikasi JENIS dan JUMLAH. Jumlah HHBK disebutkan sesuai satuan misal
rumpun (bambu, rotan, jahe, kunyit, dll), stup (madu), dll. Acuan jenis-jenis HHBK dapat dilihat pada tabel berikut
10. . Semua data PU dicatat pada blanko tally sheet 4.4 Hasil dan Pembahasan
Berisi penjelasan secara berurutan hasil dari pelaksanaan metode analisis/ pengolahan data yang dijelaskan pada sub-bab sebelumnya. Paling tidak, namun tidak terbatas pada: • Ukuran- ukuran yang dapat menggambarkan kondisi hutan campur (komposisi jenis, ukuran diameter, luas bidang dasar, volume) • Komposisi dan struktur tegakan (distribusi kelas diameter) • Jenis, sebaran, dan sediaan hasil hutan bukan kayu
Pengukuran hutan tanaman tidak seumur dilakukan pada hari ketiga yaitu pada hari Selasa, 9 Agustus 2022 di Petak 13, BDH Playen, Yogyakarta seluas 91,65 Ha.
4.5 Kesimpulan dan Rekomendasi
Berisi temuan-temuan penting dan rekomendasi untuk kepentingan keilmuan dan praksis pada pengukuran hutan tanaman kayu putih.