• Tidak ada hasil yang ditemukan

Buku Implementasi Kebijakan Publik pdf

N/A
N/A
wong deso

Academic year: 2024

Membagikan "Buku Implementasi Kebijakan Publik pdf"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/327762798

Implementasi Kebijakan Publik

Book · September 2018

CITATIONS

10

READS

34,643

1 author:

Rulinawaty Kasmad Universitas Terbuka 121PUBLICATIONS   291CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Rulinawaty Kasmad on 20 September 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.

(2)
(3)
(4)

Implementasi Kebijakan Publik

The Implementation Game, Eugene Bardach dalam bukunya yang provokatif mengutarakan bahwa cukup sulit untuk membuat sebuah program dan kebijakan umum yang kelihatannya bagus diatas kertas. Lebih sulit merumuskannya dalam kata-kata dan slogan-slogan yang kedengarannya mengenakan bagi telinga para pemimpin dan para pemilih yang mendengarkannya. Dan lebih sulit lagi untuk melaksanakannya dalam bentuk dan cara yang memuaskan semua orang termasuk mereka yang dianggap klien. Bardach melukiskan kesulitan-kesulitan dalam mencapai kesepakatan didalam proses implementasi kesepakatan tersebut.

Perencanaan atau sebuah program kebijakan yang baik akan berperan menentukan hasil yang baik. Apabila dilihat dari nilai presentasinya maka kontribusi konsep mencapai 60% dari keberhasilan, khususnya di zaman sekarang dimana data dan informasi tentang masa depan sudah bisa diakses. Jika kita sudah mempunyai konsep yang baik,60% keberhasilan sudah ditangan. Namun,yang 60% itu pun akan hangus jika 40% implementasinya tidak konsisten dengan konsep. Jadi dapat dilihat, implementasi kebijakan itu memang krusial. Dari persentasi diatas maka saatnya harus memberi perhatian pada implementasi kebijakan karena administrasi publik kita sering mengalami implementation myopia, yaitu matanya besar,membelalak, tetapi tidak melihat kesalahan besar didepan hidungnya. Tiga myopia implementasi kebijakan adalah (i) sebagian besar risorsis dihabiskan untuk membuat perencanaan, namun tidak cukup untuk bagaimana melaksanakannya; (ii) selama ini banyak anggapan bahwa apabila suatu kebijakan telah diputuskan,diundangkan, maka dianggap rakyat

(5)

sudah mengetahuinya, kalau melanggar kebijakan yang telah ditetapkan maka akan dihukum; (iii) selama ini anggapan banyak policy maker bahwa apabila kebijakan sudah dibuat, maka implementasi akan jalan dengan sendirinya.

Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik. Suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan. Untuk memahami implementasi kebijakan ada beberapa literatur terbaik yang menyajikan pembahasan teoritik atau konseptual,seperti misalnya Berman,1978, dalam “The Study of Macro-and Micro-Implemnation’

Chase,1979.”Implementing A Human Services Program: How Hard Will It Be? “Elmore, 1978 “Organizational Models of Social Program Implementation, “Hardgrove,1975. “The Missing Link: The Study of the Implementatio of social policy,Montjoy dan O’Toole,1979.Toward a Theory of Policy Implementation: An Organizational Perspective,”Pressman dan Wildavsky,1979,Implementation,van Meter dan van Horn,1975. “The Policy implementation Process: A Conceptual Framework,” dan Edwards,1980, Implementating Public Policy.

Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan derivate atau turunan dari kebijakan.

Bangsa Indonesia terkenal hebat dalam membuat konsep. Salah satu konsep dimasa lalu yang terkenal adalah Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang dimana kalangan pengkritisi kebijakan publik sering memplesetkan GBHN dari kepanjangan

(6)

aslinya menjadi Gagasan Besar Hasilnya Nol, hal ini tidak perlu membuat pemerintah menjadi geram, tetapi perlu dilihat sebagai salah satu indikator yang menunjukkan something wrong dalam implementasi kebijakan. Selain GBHN, konsep yang dibuat oleh Indonesia adalah Pancasila,UUD 1945, Nasakom adalah dokumen-dokumen kebijakan yang dibuat bangsa Indonesia dalam bentuk konsep yang mendekati sempurna. Pancasila begitu terkenal di mancanegara dan diakui oleh banyak negara sebagai filsafat terbaik yang dibuat bangsa Indonesia, namun yang menjadi keprihatinan adalah banyak negara-negara lain yang tidak menganut ideologi Pancasila lebih ‘berpancasila” dari pada bangsa Indonesia sendiri.

Kedudukan implementasi kebijakan adalah sangat penting dalam proses kebijakan sebagaimana pandangan Chief D.O.Udoji dalam (Wahab,2008) mengemukakan bahwa the execution of policies is as importand if not more important than policy-making. Policies will remaind dreams or blue prints file jackets unless they are implemented. Pressman dan Wildavsky (1973) telah menekankan bahwa implementasi harus mendapat perhatian yang seksama, dan oleh sebab itu keliru kita menganggap bahwa proses tersebut dengan sendirinya akan berlangsung mulus.

Implementasi kebijakan banyak memerlukan tenaga kerja, uang, dan kemampuan organisasional dari apa yang telah ada. Berdasarkan keadaan ini, implemantasi kebijakan adalah sebuah proses dalam mendapatkan sumberdaya tambahan sehingga dapat mengukur apa-apa yang telah dikerjakan. Implemantasi kebijakan bersifat interaktif dengan kegiatan-kegiatan kebijakan yang mendahuluinya.

Implemantasi mungkin dapat dipandang sebuah proses interaksi antara suatu perangkat tujuan dan tindakan yang mampu meraihnya,dengan demikian implementasi

(7)

menjadi suatu jaringan yang tak tampak, tetapi memiliki kemampuan untuk membentuk hubungan-hubungan lebih lanjut dalam rangkaian sebab akibat yang menghubungkan tindakan dengan tujuan. Masalah yang penting dalam implementasi kebijakan adalah memindahkan suatu keputusan ke dalam kegiatan atau pengoperasian dengan cara tertentu. Dan cara tersebut adalah, bahwa apa yg dilakukan memiliki kemiripan nalar dengan keputusan tersebut, serta berfungsi dengan baik didalam lingkup lembaganya.

A. Perspektif Teoritik

Konsep implementasi yang berasal dari kerangka teoritik berangkat dari kebijakan itu sendiri dimana suatu tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran ditetapkan. Dari pembicaraan awal inilah sebuah proses implementasi bermula. Proses implementasi akan berbeda-beda tergantung pada sifat kebijakan yang dilaksanakan. Keputusan- keputusan yang berbeda akan menunjukkan karateristik, struktur-struktur dan hubungan-hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan publik sehinga proses implementasinya juga akan mengalami perbedaan.

Implemantasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang luas,merupakan tahap dari proses kebijakan segera setelah penetapan undang-undang. Implementasi dipandang secara luas mempunyai makna pelaksanaan undang-undang di mana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan dalam upaya untuk meraih tujuan-tujuan kebijakan atau program-program. Implementasi pada sisi yang lain merupakan fenomena yang kompleks yang mungkin dapat dipahami sebagai suatu proses, suatu keluaran (output) maupun sebagai dampak (outcome). Misalnya, Implementasi dikonseptualisasikan

(8)

sebagai suatu proses, atau serangkaian keputusan dan tindakan yang ditujukan agar keputusan-keputusan yang diterima oleh lembaga legislative bisa dijalankan.

Implementasi juga bisa diartikan dalam konteks keluaran, atau sejauh mana tujuan- tujuan yang telah direncanakan mendapatkan dukungan, seperti tingkat pengeluaran belanja bagi suatu program. Akhirnya, pada tingkat abstrasi yang paling tinggi, dampak implementasi mempunyai makna bahwa telah ada perubahan yang bisa diukur dalam masalah yang luas yang dikaitkan dengan program,undang-undang publik, dan keputusan yudisial. Misalnya, apakah kemiskinan telah bisa dikurangi atau warga negara merasakan lebih aman dalam kehidupan sehari-harinya dibandingkan pada waktu sebelum penetapan program kesejahteraan sosial atau kebijakan pemberantasan kejahatan. Singkatnya implementasi sebagai suatu konsep semua kegiatan ini. Sekalipun dipahami sebagai suatu proses, suatu keluaran, dan suatu dampak. Implemantasi juga melibatkan sejumlah aktor. Organisasi, dan teknik-teknik pengendalian.

Ripley dan Franklin berpendapat bahwa implementasi adalah apa yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan(benefit), atau suatu jenis keluaran yang nyata (tangible output). Istilah implementasi menunjuk pada sejumlah kegiatan yang mengikuti pernyataan maksud tentang tujuan-tujuan program dan hasil-hasil yang diinginkan oleh para pejabat pemerintah. Implementasi mencakup tindakan-tindakan (tanpa tindakan-tindakan) oleh berbagai aktor, khususnya para birokrat, yang dimaksudkan untuk membuat program berjalan. Lebih jauh menurut mereka, implementasi mencakup banyak macam kegiatan. Pertama, badan-badan pelaksana yang ditugasi oleh undang-undang dengan

(9)

tanggung jawab menjalankan program harus mendapatkan sumber-sumber yang dibutuhkan agar implemantasi berjalan lancar. Sumber-sumber ini meliputi personil, peralatan, lahan tanah, bahan-bahan mentah, dan di atas semuanya-uang. Kedua, badan-badan pelaksanaan mengembangkan bahasa anggaran dasar menjadi arahan konkret, regulasi,serta rencana-rencana dan desain program. Ketiga, badan-badan pelaksana harus mengorganisasikan kegiatan-kegiatan mereka dengan menciptakan unit-unit birokrasi dan rutinitas untuk mengatasi beban kerja. Akhirnya, badan-badan pelaksana memberikan keuntungan atau pembatasan kepada para pelanggan atau kelompok-kelompok target. Mereka juga memberikan pelayanan atau pembayaran atau batasan-batasan tentang kegiatan atau apapun lainnya yang bisa dipandang sebagai wujud dari keluaran yang nyata dari suatu program.

Sementara itu, Grindle juga memberikan pandangannya tentang implementasi dengan mengatakan bahwa secara umum, tugas implemantasi adalah membentuk suatu kaitan (linkage) yang memudahkan tujuan–tujuan kebijakan bisa direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan pemerintah. Oleh karena itu, tugas implementasi mencakup terbentuknya “a policy delivery system” di mana sarana-sarana tertentu dirancang dan dijalankan dengan harapan sampai pada tujuan-tujuan yang diinginkan.

dengan demikian, kebijakan publik-pernyataan-pernyataan secara luas tentang tujuan, sasaran, dan sarana diterjemahkan ke dalam program-program tindakan yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang dinyatakan dalam kebijakan. Dengan demikian, berbagai program bisa dikembangkan untuk merespon tujuan-tujuan kebijakan yang sama. Program-program tindakan itu bisa dipilah-pilah kedalam proyek- proyek yang spesifik untuk dikelola.

(10)

Selanjutnya, van Meter dan van Horn membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (atau kelompok- kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya. Tindakan- tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahan-peruahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan. Yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa tahap implementasi kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan-tujuan dan saran-saran ditetapkan atau diidentifikasi oleh keputusan kebijakan. Dengan demikian, tahap implementasi terjadi hanya setelah undang-undang ditetapkan dan dana disediakan untuk membiayai implementasi kebijakan tersebut.

Setelah melakukan pembatasan mengenai apa yang dimaksudkan dengan implemantasi kebijakan langkah berikutnya yang dilakukan oleh Van Meter dan van Horn adalah memberi pembedaan antara apa yang dimaksud dengan implementasi kebijakan, pencapaian kebijakan dan apa yang secara umum menunjuk kepada dampak kebijakan. Konsep-koonsep tersebut merupakan konsep-konsep yang berbeda, walaupun tidak berarti bahwa konsep-konsep ini tidak saling berhubungan satu sama lain. Studi tentang dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan-kebijakan publik, seperti dikemukakan van Meter dan van Horn mengkaji konsekuensi–konsekuensi dari suatu keputusan kebijakan. Sementara itu, studi implementasi kebijakan memfokuskan diri pada aktivitas atau kegiatan-kegiatan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, studi kebijakan akan mampu memberi penjelasan terhadap salah satu atau lebih kekuatan-

(11)

kekuatan yang menentukan dampak kebijakan. Implemantasi kebijakan hanya merupakan salah satu variabel penting yang berpengaruh terhadap keberhasilan suatu kebijakan dalam memecahkan persoalan-persoalan publik.

Keberhasilan implementasi dengan demikian sangat dipengaruhi oleh pemahaman yang mendalam mengenai bagaimana berbagai elemen tersebut dapat bekerja bersama-sama secara harmonis yang ditandai dengan interaksi antara aktor, kapasitas pelaksana di lapangan, strategi penyampaian informasi atau sosialisasi, dan kapasitas organisasi.

Perubahan Organisasi yang terencana apabila ditinjau kembali dalam kajian literatur dapat teridentifikasi beberapa faktor yang mempengaruhi konsensus tujuan, seperti sejauh mana para birokrat pada level bawah (implementators) berperan serta dalam pembuatan keputusan kebijakan. Kajian ini memperoleh dukungan dengan argument-argumen berikut: Pertama peran serta implementators dalam pembuatan keputusan menimbulkan semangat yang tinggi dari kalangan staf, semangat staf yang tinggi diperlukan untuk keberhasilan implementasi; Kedua, dengan menjadi bagian dalam pembuatan keputusan maka menimbulkan komitmen yang besar, dan komitmen ini diperlukan untuk mempengaruhi perubahan; Ketiga, peran serta menimbulkan pemahaman tentang pembaharuan dan pemahaman yang dibutuhkan untuk implementasi. Keempat, peran serta akan mengurangi resistensi dasar dalam perubahan sehingga memudahkan berhasilnya implementasi; Kelima, para birokrat level bawah cenderung akan menentang suatu pembaharuan, jika prakarsa atas pelaksanaan kebijakan hanya berasal dari pejabat yang menjadi atasan mereka.

Dengan demikian terlihat bahwa peran serta menjadi faktor yang sangat penting bagi

(12)

keberhasilan suatu proses implementasi kebijakan. Satu hal yang harus dipahami adalah kita tidak dapat memperdebatkan bahwa peran serta pejabat birokrat level bawah dalam pembuatan keputusan perlu menghasilkan konsensus tujuan. Selain itu juga kegagalan atau munculnya masalah dapat dihilangkan dengan sekali konsesus tujuan tercapai.

Implementasi kebijakan sebagai salah satu fokus dalam kebijakan publik dihadapkan pada masalah pilihan model, mana yang terbaik yang hendak dipakai.

Setiap jenis kebijakan memerlukan model imlementasi kebijakan yang berlainan. Ada kebijakan yang lebih tepat menggunakan model implementasi top-down, ada yang lebih tepat dengan model implementasi bottom-up, bahkan ada juga yang lebih tepat dengan menggabungkan atau memadukan kedua model yaitu bersifat top-downer dan bottom- upper. Selain itu terdapat kebijakan dengan mekanisme pasar yang lebih efektif dan ada juga mekansime paksa yang tepat dan efektif.(Nugroho;2009), Matland (1995).

Pilihan lainnya adalah terhadap model implementasi kebijakan dinegara dunia ketiga (grindle,1980)

B. Studi Implementasi

Studi implementasi telah berkembang sejak beberapa dekade di negara-negara maju seperti Negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Untuk negara- negara berkembang studi implementasi masih merupakan topik yang hangat untuk dikaji maupun diperbincangkan. Meningkatnya perhatian akademisi dinegara berkembang terhadap studi implementasi tidak lepas dari banyaknya fenomena tentang kegagalan kebijakan publik yang diimplementasikan di negara-negara berkembang. Bisa dilihat

(13)

bagaimana kucuran bantuan pinjaman yang mengalir deras kepada negara berkembang dari negara-negara donor maupun Bank Dunia untuk mengembangkan laju pembangunan sehingga negara berkembang mengalami eskalasi pada tahun 1980- an. Tetapi sangat disayangkan dana yang besar dari negara donor untuk mendanai mega proyek pembangunan hampir sebagian besar gagal ketika diimplementasikan.

Studi kebijakan publik dalam wacana ilmuan di Indonesia semakin penting dan menarik untuk mencari jawaban atas permasalahan tersebut.

Studi Implementasi muncul sebagai minat untuk mengkaji usaha atau mencari jawaban terhadap berbagai pertanyaan yang timbul yang berkaitan dengan fenomena implementasi seperti mengapa suatu kebijakan yang telah dirumuskan dengan baik dengan melalui proses deliberasi yang panjang kemudian gagal mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan dalam penerapannya, Mengapa kebijakan nasional yang sama ketika diimplementasikan oleh pemerintah daerah berbeda-beda ada yang berhasil dan ada yang tidak berhasil dan yang berhasil memiliki tingkat variasi yang berbeda, mengapa jenis kebijakan tertentu lebih mudah tingkat keberhasilannya dibanding kebijakan lainnya.

Minat untuk mengkaji implementasi kebijakan mendapat perhatian yang luas, yang menurut Peter de Leon dan Linda de Leon (2011), pendekatan-pendekatan dalam implementasi kebijakan publik dapat dikelompokkan menjadi tiga generasi.yaitu generasi pertama, generasi kedua dan generasi ketiga. Masing-masing generasi memiliki tantangan dan kontribusinya sendiri-sendiri terhadap upaya memahami fenomena implementasi ini

(14)

1. Generasi Pertama (1970-an) Generasi menggunakan Studi Kasus. Memahami implemantasi kebijakan sebagai masalah-masalah yang terjadi antara kebijakan dan eksekusinya. Generasi pertama tidak dapat dilepaskan dari kegalauan para ahli tentang kenyataan yang mereka hadapi dan temukan dalam kehidupan peraktis kebijakan publik. Hakekat kebijakan publik yang dipahami oleh akademisi atau ilmuan administrasi publik, mereka percaya bahwa kebijakan publik, sebagai sebuah aksi kolektif dan merupakan instrumen yang dianggap paling efektif dalam memecahkan problema atau masalah yang dihadapi oleh masyarakat (masalah publik) ketika mekanisme pasar gagal memecahkan masalah bersama.

Secara teoritis alat yang dianggap paling efektif untuk memecahkan masalah publik dilapangan tidak selalu mampu bekerja sebagaimana diharapkan.

Implementasi kebijakan didalam prakteknya sungguh sangat merisaukan, dimana implementasi kebijakan memunculkan sebuah jurang pemisah yang lebar antara gagasan dan kondisi ideal yang ingin diraih untuk mencapai tujuan-tujuan kebijakan ketika perumusan awal kebijakan. Hal ini disebabkan oleh perspektif para ahli dalam memahami kebijakan publik.

Wilson (1887) memberikan sebuah gagasan pada para penganut pandangan dikhotomi politik-administrasi yang percaya bahwa hal yang paling sulit dari keseluruhan siklus kebijakan publik adalah tahapan politik (agenda setting,formulasi, dan legitimasi). Sedangkan tahapan implementasi dianggap sebagai hal yang mudah karena hanya dianggap sebagai kegiatan administrasi belaka. Namun fenomena yang ada menunjukkan bahwa implementasi berbagai program pemerintah ternyata banyak yang gagal dari yang berhasil. Dari kegagalan inilah

(15)

mendorong Pressman dan Wildavsky melakukan sebuah kajian implemantsi lalu diikuti oleh para ilmuan yang tertarik mengikuti jejak mereka.

Pendekatan generasai pertama hanya terbatas pada studi kasus dengan metode deskriptif dengan melakukan investigasi terhadap implementasi suatu kebijakan publik secara mendalam yang dilaksanakan pada daerah atau lokasi tertentu. Hal ini bertujuan untuk mengetahui mengapa implementasi kebijakan yang dilakukan tersebut gagal dilakukan. Dari berbagai studi kajian yang dilakukan oleh generasi pertama maka lahirlah sebuah istilah yang lazim disebut sebagai missing link yang dipakai untuk menjelaskan kegagalan pemerintah dalam mentrasformasikan niat baik mereka menjadi kebijakan yang baik sehingga bisa dimaknakan bahwa tidak cukup hanya sebuah niat baik mereka (good intentions) menjadi good policy (P.delon dan L.deLeon,2002). Maknanya, niat baik yang ditunjukkan pemerintah tidak akan membuahkan hasil yang positif ketika pemerintah tidak mampu merancang dan mengimplementasikan kebijakan tersebut dengan baik.

Dengan pendekatan studi kasus, Generasi pertama kemudian menghasilkan banyak sekali kasus-kasus kegagalan implementasi.Cara mereka menjelaskan fenomena kegagalan tersebut biasanya dengan metode deskriptif, yaitu menggambarkan kebijakan yang ditelitinya secara: mendalam, detil, dan banyak ilustrasi sehingga hasil penelitian mereka sangat menarik untuk dibaca. Setelah membuat deskripsi tentang kegagalan implementasi dan mengidentifikasi faktor yang menjadi penyebab kegagalan, para peneliti kemudian memberikan preskripsi (resep) masing-masing tentang bagaimana mengatasi permasalahan implementasi suatu kebijakan. Sayangnya “resep-resep” yang dirumuskan tersebut belum mampu

(16)

menghasilkan apa yang bisa disebut sebagai teori umum tentang implementasi, yaitu penjelasan hubungan sebab-akibat tentang kegagalan atau keberhasilan implementasi yang dapat diterapkan dimana saja. Sebagai sebuah studi kasus, hasil penelitian generasi pertama memang memiliki limitasi, di mana proposisi-proposisi yang mereka hasilkan hanya berlaku di lokasi dimana studi kasus tersebut dihasilkan. Tentang hal ini P.deLeon dan L.deLeon (2002:469) menggambarkannya secara menarik “The end product of the first generation was a cornucopia of fascinating idiographic case studies, each with its owns prescribed lessons, but litte in terms of generic implementation theory”

Tidak dapat dipungkiri, meskipu Generasi pertama berbagai kelemahan, akan tetapi kerja akademik mereka menjadi pondasi penting bagi generasi-generasi berikutnya untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang implementasi suatu kebijakan

2. Generasi kedua (1980-an),Generasi yang Membangun Model. Mengembangkan pendekatan implementasi kebijakan yang bersifat dari atas kebawah (top-down perspective), perspektif dari pendekatan yaitu berfokus pada tugas birokrasi untuk melaksanakan kebijakan yang telah diputuskan secara politik.

Generasi kedua banyak membangun teori serta model implementasi untuk diuji dilapangan disebabkan kontribusi para peneliti pada generasi pertama. Studi implementasi yang dilakukan generasi kedua lebih kompleks dan telah menggunakan metode yang ketat dengan mematuhi kaedah yang diisyaratkan bagi suatu kajian ilmiah. Peneliti generasi ke dua juga telah menggunakan hipotesis tentang model implementasi yang ideal serta menguji model yang dirancang

(17)

tersebut dengan menggunakan data empiris yang mereka kumpulkan dilapangan.Generasi kedua cenderung menggunakan metode yang bersifat posotivistik dengan dukungan data-data kuantitatif. Dalam menjelaskan permasalahan dalam implementasi mereka dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu pendekatan Top-Down dan Bottom-Up.

a) Pendekatan Top-Down

Pendekatan ini menggunakan logika berfikir dari atas lalu melakukan pemetaan kebawah untuk melihat keberhasilan atau kegagalan dalam implementasi suatu kebijakan. Menggunakan bahasa Sabatier (1986), pendekatan top-down dilakukan oleh para peneliti dengan langkah sebagai berikut: “they started with policy decision (usually statue) and examined the extent to which its legally-mandated objectives were achieved over time and why” Pendekatan ini juga sering kali disebut “policy centered” karena hanya fokus kepada kebijakan dan berusaha untuk memperoleh fakta-fakta apakah kebijakan tersebut ketika diimplementasikan mampu mencapai tujuan atau tidak (cf.Hogwood and Gunn, 1984).

Senada dengan interprestasi Barrett (2004) studi implementasi yang menggunakan pendekatan top-down tujuan utamanya adalah “ to identify the cause of implementation problems of failure and suggest ways of enchancing the likelihood of obtaining compliance with policy objectives, generally focused on strategies for improved communication of intentions, coordination of the ‘links in the chain’ management of resources and control implementing agents”. Dari statemen Barrett tersebut terlihat jelas bahwa studi implementasi Generasi

(18)

kedua memiliki kecenderungan untuk menjelaskan persolan-persoalan (hambatan atau kegagalan) yang berkaitan dengan implemantasi suatu kebijakan dan atas dasar faktor-faktor yang membuat implementasi gagal tersebut. Oleh karena itu beberapa ahli sering menyebut apa yang dilakukan oleh para peneliti Generasi kedua yang menggunakan top-down tersebut sebagai pendekatan yang pesimistis. Sebutan yang demikian karena kecenderungan mereka untuk melakukan studi terhadap kegagalan implementasi.

Secara garis besar, tahapan-tahapan kerja para peneliti Generasi kedua yang menggunakan pendekatan top-down biasanya adalah sebagai berikut :

i. Memilih kebijakan yang akan dikaji;

ii. Mempelajari dokumen kebijakan yang ada untuk dapat mengidentifikasi tujuan dan sasaran kebijakan yang secara formal tercantum dalam dokumen kebijakan;

iii. Mengidentifikasi bentuk-bentuk keluaran kebijakan yang digunakan sebagai instrument untuk mencapai tujuan dan sasaran kebijakan;

iv. Mengidentifikasi apakah keluaran kebijakan telah diterima oleh kelompok sasaran dengan baik (sesuai dengan Standard Operating Procedure yang ada);

v. Mengidentifikasi apakah keluaran kebijakan tersebut memiliki manfaat bagi kelompok sasaran

vi. Mengidentifikasi apakah muncul dampak setelah kelompok sasaran memanfaatkan keluaran kebijakan yang mereka terima. Analisis kemudian

(19)

diarahkan untuk mengetahui apakah dampak yang muncul tersebut berimplikasi terhadap terwujudnya tujuan kebijakan sebagaimana ditetapkan dalam dokumen kebijakan.

Dengan langkah-langkah kerja sebagaimana digambarkan, maka penelitian yang bersifat top-down lebih tepat dipakai untuk menilai efektifitas implementasi suatu kebijakan, yaitu untuk memastikan apakah tujuan-tujuan kebijakan yang telah ditetapkan dapat tercapai dilapangan atau tidak.

Beberapa ahli yang dapat digolongkan sebagai penganut top-down adalah: Nakamura dan Smallwood (1980).Edward III (1980) dan Grindle (1980).

Mereka diklasifikasikan sebagai pengguna pendekatan top-down karena cara kerja mereka sesuai dengan langkah-langkah yang telah dijelaskan didepan yaitu dimulai dengan memahami kebijakan dan melihat efektifitas pencapaian tujuan kebijakan tersebut dilapangan. Cara pendekatan yang demikian ini sering juga disebut sebagai pendekatan command and control yang secara harafiah diartikan sebagai memberikan komando dan mengawasi pelaksanaannya (P.deLeon and L.deLeon,2002).

Mengapa disebut sebagai pendekatan command and control? Hal ini didasarkan pada asumsi-asumsi yang dipercaya oleh para peneliti bahwa keberhasilan implementasi suatu kebijakan sangat dipengaruhi oleh kejelasan perintah atasan kepada bawahan dan selanjutnya bagaimana cara atasan mengawasi para bawahan tersebut dalam melaksanakan perintahnya. Jika diberi makna lebih luas, kejelasan perintah atasan ini pada dasarnya berkaitan dengan kejelasan perintah atasan ini pada dasarnya berkaitan dengan kejelasan

(20)

pendefinisian tentang tujuan kebijakan. Karena yang memiliki otoritas tertinggi untuk memahami dan menafsirkan tujuan kebijakan adalah atasan maka bentuk interprestasi terhadap tujuan-tujuan kebijakan tersebut adalah berupa perintah atau instruksi atasan. Tentu keberhasilan implementasi suatu kebijakan tidak hanya berhenti sampai tujuan suatu kebijakan dapat dipahami dengan jelas oleh atasan dan kemudian diterjemahkan secara lebih detil dalam bentuk instruksi- instruksi kerja, akan tetapi juga sangat dipengaruhi bagaimana atasan mampu mengawasi pelaksanaan instruksi yang diberikan tersebut kepada bawahannya.

Kemudian muncul dari pemahaman ini oleh para peneliti sebuah rekomendasi tentang bagaimana cara terbaik untuk dapat mencapai berbagai sasaran kebijakan yang telah ditetapkan dalam model-model yang mereka hasilkan dari studi yang mereka lakukan. Para ahli yang berusaha membuat model implementasi ideal dengan menggunakan pendekatan top-down ini adalah Van Meter dan Van Horn’s (1975). Namun, dari sejunlah ahli yang dapat digolongkan sebagai pengikut aliran top-down, barangkali Mazmanian dan Sabatier (1983) adalah yang dianggap paling lengkap dalam ‘meramu’ berbagai variable hasil karya para peneliti generasi kedua yang menggunakan pendekatan top-down menjadi sebuah model komprehensif. Model yang dibangun oleh Sabatier dan Mazmanian (1983) mensintesis lebih kurang 17 variabel tergantung hasil penelitian para sarjana terdahulu. Variabel-variabel tersebut kemudian dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu: (1) Tractablity of the problem atau tingkat kesulitan masalah yang harus dipecahkan melalui implementasi suatu kebijakan. Semakin sulit masalah yang harus dipecahkan tentu akan semakin

(21)

kecil peluang keberhasilan implementasi;(2) Ability of statute to structure implementation atau kemampuan kebijakan dalam merespon masalah yang akan dipecahkan. Semakin jelas tujuan,dukungan sumber daya, dan lain-lain maka akan semakin besar peluang keberhasilan implementasi kebijakan; (3) Non Statutory variable atau variable non kebijakan. Kelompok variable ketiga ini dapat juga disebut sebagai variable konteks atau lingkungan kebijakan. Semakin baik dukungan lingkungan kebijakan maka semakin besar peluang keberhasilan implementasi kebijakan

(22)

Tabel. 1

Model Implementasi Top Down

Stages (Dependent Variables) in the Implementation Process

Sumber: Mazmanian dan Sabatier (1983:22)

Tractability of the problem 1. Technical difficulties

2. Diversity of target group behavior

3. Target group as percentage of the population 4. Extent of behavior change require

Ability of Statue to Structure Implementation

1. Clear and consistent objectives 2. Incorporation of adequate causal

theory

3. Initial allocation of financial resources

4. Hierarchical integration within and among implementation institutions

5. Decision rules of implementing agencies

6. Recruiting of implementing officials

7. Formal acces by outsides

Non Statutory Variables Afecting Implementations 1. Socio economic

conditions and technology 2. Public support

3. Attitudes and resources of constituency groups 4. Support from

sovereigns 5. Commitment and

leadership skill of implementing official Independent

Variabels

Complience with policy outputs by target groups Policy outputs

implementing agencies

Perceived impact of policy outputs

Major revision in

statute

(23)

b) Pendekatan Bottom-Up

Para peneliti Generasi kedua yang menggunakan pendekatan top-down telah memberikan banyak kontribusi terhadap upaya untuk memahami realitas implementasi kebijakan, akan tetapi beberapa peneliti Generasi kedua tidak terlalu puas dengan pendekatan top-down yang dianggap terlalu menyederhanakan masalah dan cenderung instrumentalis karena hanya menaruh perhatian terhadap efektifitas implementasi kebijakan. Padahal, menurut para pengkritik pendekatan top-down ini, realitas implementasi kebijakan bisa jadi kompleks dan tidak hanya berkepentingan dengan isu efektifitas atau efisiensi implementasi suatu kebijakan saja. Sabatier (1984) mencatat pada dasarnya ada empat kritik yang dilontarkan terhadap pendekatan top-down oleh para peneliti implementasi. Empat kelemahan pendekatan top- down yang dimaksudkan tersebut menurut para peneliti yang kritis seperti: Hjern dan Hull (1982), Barrett dan Fudge (1981), serta Elmore (1979) adalah (i) menganggap bahwa aktor utama yang paling berpengaruh adalah dalam implementasi yaitu para policy maker, sehingga mereka lupa bahwa kegagalan dalam implementasi dapat dipengaruhi oleh beberapa aktor antara lain yaitu birokrat garda depan, kelompok sasaran,sektor swasta dan lain-lainnya; (ii) pendekatan top-down sulit diterapkan ketika tidak ada kebijakan atau aktor yang dominan. Beberapa kasus yang dapatmenunjukkan bahwa suatu persoalan pubik menarik perhatian banyak pihak sehingga upaya untuk mengatasi kasus tersebut tidak hanya melinatkan pemerintah akan tetapi juga swasta dan

(24)

masyarakat sipil;(iii) pendekatan top-down merupakan kenyataan bahwa para birokrat garda depan dan para kelompok sasaran memiliki kecenderungan untuk menyelewengkan arah kebijakan bagi kepentingan mereka masing-masing, (iv) siklus kebijakan itu sendiri sering tahapan-tahapannya tidak bersifat clear-cut, sehingga membuka ruang bagi para birokrat garda depan dan kelompok sasaran untuk mempengaruhi dan melakukan negosiasi pada saat formulasi kebijakan dilakukan hingga berlanjut pada implementasi

Pendekatan bottom-up ini dipelopori oleh beberapa peneliti Generasi kedua seperti Elmore (1978,1979), Lipsky (1971), Berman (1978) dan Hjern, Hanf, serta Porter (1978) yang didasarkan atas ketidakpuasan mereka, kemudian mereka mengembangkan pendekatan baru yaitu bottom-up. Para penganut pendekatan ini mencoba menekankan bagaimana pentingnya memperhatikan dua aspek yang penting dalam implementasi suatu kebijakan, yaitu: birokrat pada level bawah (street level bureaucrat) dan kelompok sasaran kebijakan (target group). Argumen yang menjadi dasar tentang pentingnya peran birokrat pada level bawah sangat terkait dengan posisinya dalam melakukan kegiatan merealisasikan keluaran kebijakan (apabila konteks keluaran kebijakan bersifat pelayanan kepada masyarakat) atau menyampaikan keluaran tersebut kepada target group (apabila konteks keluaran kebijakan berupa hibah,bantuan,subsidi, dan lain-lain). Dengan peran sebagai merealisasikan keluaran kebijakan, maka birokrat pada level bawah memiliki posisi kunci yang menentukan keberhasilan implementasi kebijakan. Disamping itu, menurut para bottom-uppers (sebutan para pendukung pendekatan bottom-up), implementasi

(25)

akan berhasil apabila kelompok sasaran (target group) dilibatkan sejak awal dalam proses perumusan kebijakan sampai dengan implementasinya. Hal inilah yang kerap kali sering dilupakan Para penganut aliran top-down (biasa disebut top-downers)

Secara garis besar, tahapan-tahapan kerja para peneliti Generasi kedua yang menggunakan pendekatan bottom-up biasanya adalah dengan langkah- langkah sebagai berikut :

i. Memetakan aktor dan organisasi (steakholder) yang terlibat dalam implementasi kebijakan pada level bawah;

ii. Mempertanyakan para aktor tersebut tentang pemahaman mereka terhadap kebijakan yang mereka implementasikan dan apa kepentingan mereka terlibat dalam implementasi dalam bentuk pengumpulan informasi;

iii. Memetakan keterkaitan (jaringan) para aktor pada level terbawah tersebut dengan aktor-aktor pada level diatasnya;

iv. Peneliti mencoba memetakan pimpinan pada level yang lebih tinggi dengan mencari informasi yang sama

v. Peneliti melakukan pemetaan sampai kejenjang level tertinggi yaitu para pembuat kebijakan (policy maker)

Dengan pola penelitian sebagaiman digambarkan tersebut, tujuan dari penelitian implementasi dengan pendekatan yang berbeda dari top-down adalah agar pendekatan bottom-up ini mengetahui jaringan implementasi yang melibatkan para aktor dari berbagai level tersebut dan memetakan motif ekonomi-politik para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan. Tentang

(26)

hal ini Schofield (2004:288) “Pemetaan jaringan implementasi dan motif ekonomi-politik ini akan mejadi faktor penting untuk menjelaskan sebab- musabab kegagalan dan keberhasilan implementasi kebijakan.

Untuk mendapatkan pemahaman yang jelas antara gambaran perbedaan pendekatan top-down dan bottom-up, Sabatier (1984) membuat suatu ringkasan elemen-elemen yang berbeda dari dua pendekatan sebagai berikut :

Tabel 2

Perbandingan Pendekatan Top-down dan Bottom-up

Top-down Bottom-up

Fokus awal Kebijakan pemerintah (pusat)

Jaringan implementasi paa level paling bawah

Identifikasi aktor utama yang terlibat dalam proses

Dari pusat (atas) dilanjutkan ke bawah sebagai konsekwensi implementasi

Dari bawah, yaitu para implementer pada level local ke atas

Kriteria Evaluasi Berfokus pada pencapaian tujuan formal yang dinyatakan dalam dokumen kebijakan

Kurang begitu jelas, apa saja yang dianggap peneliti penting

dan punya relevansi dengan kebijakan

Fokus secara keseluruhan

Bagaimana mekanisme implementasi bekerja untuk mencapai tujuan kebijakan

Intraksi strategis antar berbagai aktor yang terlibat dalam implementasi

(27)

c. Generasi ketiga (1990-an) dikembangkan oleh Malocom L.Gogging.

Merumuskan bahwa perilaku aktor pelaksana implementasi kebijakan lebih menentukan keberhasilan implementasi kebijakan. Pada masa ini lahir pendekatan kontijensi (situasional) yang berpandangan bahwa implementasi kebijakan didukung oleh implementasi kebijakan tersebut. Berbagai upaya untuk membangun model dan mengujinya dilapangan makin membuat body of knowledge studi implementasi terus mengalami perkembangan. Hal ini member peluang bagi para model yang berhasil digagas oleh para ahli.

Generasi ketiga ketiga disebut sebagai generasi pembaharu karena ingin menerapkan menerapkan metodologi yang lebih “sound” sehingga hasil studi implementasi lebih dipercaya. Generasi ketiga sepakat untuk melanjutkan dukungannya terhadap pendekatan bottom-up yang telah dirintis oleh para generasi kedua, namun disamping itu mereka juga berusaha mengembangkan studi implementasi kearah yang lebih scientific.

Penelitian ini dilakukan dengan cara menganjurkan penggunaan prosedur ilmiah yang lebih baku. Goggin et.al (1990) dalam bukunya mengatakan bahwa agar implementasi makin diakui kualitas kaar keilmiahannya maka peneliti perlu: (i) memperjelas konsep-konsep yang digunakan, terutama konsep implementasi itu sendiri; (ii) memperbanyak kasus yang akan distudi sehingga member ruang yang lebih baik untuk menjelaskan fenomen implementasi (iii) membangun model dan indicator yang akan dipakai untuk menguji hipotesis;

(iv) berani melakukan perbaikan terhadap persoalan penggunaaan konsep dan pengukuran yang dihadapi oleh para peneliti sebelumnya. Yang membedakan

(28)

para Generasi ketiga dengan para peneliti sebelumnya adalah mendorong penelitian implementasi untuk mengadopsi penelitian kuantitatif dengan makin meningkatkan kualitas indikator untuk melakukan pengukuran, baik terhadap variable dependent (kinerja implementasi) maupun variable predictor (faktor- faktor yang menjelaskan kinerja implementasi.

Walaupun para ilmuan tertarik mengkaji kebijakan publik semakin meningkat, namun relatif sedikit yang diketahui orang mengenai proses implementasi kebijakan.

Keadaan ini akan berdampak negatif dalam dua hal. Pertama, hal ini tentu saja merupakan kekurangan yang tidak menguntungkan dalam usaha memahami proses kebijakan Kedua,kondisi ini akan lebih mendorong terjadinya kesempatan/peluang untuk memberi saran yang kurang baik pada para pembentuk kebijakan.

Kekurangpahaman terhadap implementasi kebijakan mendorong para pengamat segera mengaitkan kegagalan suatu kebijakan dengan perencanaan yang tidak memadai atau tidak memadainya program itu sendiri ketika mereka dihadapkan dengan suatu program yang tidak berhasil. Levine, dengan melihat kebijakan-kebijakan sosial secara umum berkesimpulan bahwa kesulitan yang berkaitan dengan kebijakan perang melawan kemiskinan tidak berasal dari sifat program seperti misalnya kesulitan- kesulitan administrasi. Sementara itu, dengan menunjuk kepada kemungkinan kesenjangan antara maksud-maksud dan pernyataan-pernyataan para pejabat pemerintah (Kebijakan) di satu pihak dan pemberian pelayanan publik (pelaksanaan) di lain pihak , Dolbeare dan Hammond, berpendapat bahwa sedikit sekali kemungkinan yang sebenarnya bisa ditetapkan dengan keputusan atau undang-undang. Menurut Dolbeare dan Hammond, pernyataan kebijakan nasional seperti itu mungkin baru

(29)

merupakan permulaan dari proses keputusan dalam menentukan apa yang akan terjadi kepada siapa dan memahami tahap selanjutnya, adalah sangat penting bagi pemahaman sepenuhnya terhadap politik, oleh karena itu, studi implemantasi menambahkan suatu dimensi baru kepada analisis kebijakan. Hal ini memberikan suatu pemahaman baru tentang bagaimana suatu sistem berhasil atau gagal dalam menerjemahkan tujuan-tujuan kebijakan secara umum kedalam pelayanan-pelayanan publik yang nyata dan bermakna bagi para peminat politik dan pembuat keputusan.

Ada beberapa alasan mengapa studi mengenai implementasi kebijakan sering diabaikan oleh ilmuan politik. Pertama, pengabaian studi implementasi kebijakan sebagaian disebabkan oleh asumsi yang naif yang tersirat dalam banyak studi kebijakan. Mereka mempunyai asumsi bahwa sekali kebijakan itu dibuat oleh pemerintah, maka kebijakan itu akan diimplementasikan dan hasil-hasil yang diinginkan akan mendekati hasil-hasil yang diharapkan oleh para pembentuk kebijakan. Proses implementasi dianggap merupakan serangkaian keputusan-keputusan dan interaksi- interaksi biasa yang tidak layak mendapatkan perhatian. Kedua pada tahun 1960-an di negara maju Penyusunan Program dan Perencanaan hanya memberikan konsentrasinya kepada para pembuat keputusan pada pilihan-pilihan antara metode- metode yang berbeda untuk mencapai tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang dipilih dengan mengesampingkan ealon-esalon bawahan dari badan yang bertanggung jawab bagi implementasi. Ketiga sulitnya mengkaji secara rinci proses implementasi kebijakan karena sangat kompleks dan para sarjana seringkali dihambat oleh pertimbangan- pertimbangan metodologi, batas kajian dan membatasi aktor-aktor yang relevan,

(30)

sehingga untuk melengkapi studi implementasi membutuhkan banyak variabel dan sangat sulit untuk mengukurnya.

Implementasi yang dirancang oleh pemerintah pusat (federal government) cenderung gagal ketika diimplementasikan oleh pemerintah negara bagian (state govermant), namun sampai hari ini fenomena kegagalan tersebut masih terus saja berulang. Berbagai kebijakan dan program pembangunan yang dirancang secara baik oleh pemerintah ketika dilapangan pada proses implementasi ternyata hasil pencapaiannya jauh dari apa yang diharapkan. Fakta yang ada dapat menunjukkan bahwa berbagai kondisi ideal yang tercantum di dalam dokumen kebijakan, misalnya undang-undang,peraturan pemerintah,regulasi yang setingkat dengan menteri dan program pembangunan tahunan yang rutin ternyata ketika harus berhadapan dengan kenyataan atau realitas lapangan menjadi mandeg atau dengan kata lain sulit untuk direalisasikan.

Presman dan Wildavsky dalam kajian-kajian penelitiannya yang kemudian dikenal sebagai pelopor dalam pengembangan studi implementasi dalam kasus implementasi kebijakan dinegara-negara berkembang yang terangkum dalam buku Grindle (1980) yang berjudul “Politics and Policy Implementation in the Third World”

Munculnya perhatian para ahli terhadap studi implemantasi berbagai kebijakan dan program pembangunan dinegara-negara berkembang memang sangat masuk akal sebab ketika implemantasi kebijakan dinegara-negara maju sulit dilakukan,apalagi negara-negara berkembang. Pengabaian terhadap politik implemantasi mulai berakhir setelah terbitnya studi oleh Martha Derthick tentang kebijakan urban, melalui New Towns in Town : why a Federal Program Filed (1972). Studi Derthick dipandang

(31)

sebagai terobosan penting dalam perkembangan kajian implemantasi. Karya Pressman dan Wildavsky (1973), kemudian diakui sebagai sumbangan yang paling berpengaruh dalam perkembangan kajian implementasi kebijakan publik (Parson;2001),(Nugroho;2009). Pemahaman Pressman dan Wildavsky tentang implementasi masih banyak terpengaruh oleh paradigma dikhatomi politik-administrasi.

Dalam kasus Indonesia, kita sering membaca di media cetak,melihat di TV, atau bahkan menyaksikan secara langsung berbagai kejadian kegagalan implementasi kebijakan,program, dan proyek pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah (baik pemerintah pusat,provinsi,maupun daerah). Pada tingkat pemerintah pusat kita sering menyaksikan kegagalan implementasi berbagai kebijakan dan program pembangunan yang dirancang oleh kementerian/lembaga. Contoh Pada tahun 2002 UNDP menerbitkan Laporan Pembangunan Manusia dengan tema “Deepening Democrasy in a Fragmented World” Fokus utamanya adalah bahwa politik menentukan pembangunan, kemiskinan dapat dihilangkan jika politik pro pada penanggulangan kemiskinan. Pembangunan berjalan dengan baik jika semua orang punya hak untuk menentukan arah politk. Demokrasi yang semakin mendalam diindonesia berhenti dititik politik, yaitu kehidupan multipartai yang begitu riuh rendah,pemekaran wilayah yang membuat APBN lebih banyak “berlubang” untuk urusan membiayai para “elite politik”

daerah-daerah baru,bupati baru,walikota baru,jajaran pemda yang baru,DPRD baru, dan seterusnya-dari pada untuk menuntaskan kemiskinan dan pengangguran, dan yang paling hiruk-pikuk adalah pilkada (Pemilihan Kepala Daerah Langsung). Dengan pilkada langsung, dan dengan 33 provinsi dan 450 kabupaten/kota (per April 2007), maka ada 483 pilkada dalam waktu 5 tahun. Dapat dikatakan 4 hari sekali ada Pilkada di

(32)

Indonesia. Seorang yang mencalonkan diri menjadi bupati atau walikota membelanjakan dana antara Rp7,5 hingga 25 miliar. Untuk gubernur,per calon, diperkirakan membelanjakan dana antara Rp25 miliar danRp75 miliar. Biaya Pilkada Provinsi sumut tahun 2007 dianggarkan Rp520 miliar (dari APBD). Disebuah kabupaten kecil di Sumut, seorang calon membelanjakan Rp15 miliar untuk menang,padahal PAD dari daerah tersebut hanya Rp5 miliar. Bagaimana membayangkan kepala daerah yang fokus kepada pembangunan jika harus terlebih dahulu mengembalikan investasi- semacam return on investment (ROI) yang bermuatan korupsi,kolusi dan nepotisme- sebelum memikirkan rakyat. Implementasi program anti kemiskinan yang dibuat oleh pemerintah mulai dari Inpres Desa Tertinggal (IDT) yang dirancang oleh Pemerintahan Presiden Suharto sampai dengan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan PNPM Mandiri yang digagas oleh Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kurang dapat diimplementasikan secara baik disebabkan tujuan pimpinan lebih fokus kepada ROI, yang menjadi faktor utama kegagalan beragai program kemiskinan yang diluncurkan oleh pemerintah seperti adanya kecenderungan untuk penyeragaman kebijakan,lemahnya dukungan pemerintah daerah, dan rendahnya pengetahuan kelompok sasaran terhadap program yang diimplementasikan juga merupakan kontributor terhadap kegagalan implemantasi program-program anti kemiskinan yang diluncurkan oleh pemerintah.

Kegagalan implemantasi berbagai kebijakan dan program pembangunan sebagaimana digambarkan diatas tentu saja mengundang keprihatinan masyarakat atau publik secara luas. Alasan pertama untuk prihatin adalah berkaitan dengan kerugian secara finansial (biaya) yang harus ditanggung oleh masyarakat akibat

(33)

kegagalan tadi. Alasan kedua untuk prihatin adalah hilangnya kesempatan (lost of opportunity) karena kegagalan implementasi berbagai kebijakan dan program tadi.

Realitasnya karena adanya keterbatasan anggaran (budget constraint), setiap pilihan kebijakan yang diambil oleh pemerintah pasti akan menyebabkan terjadinya pertukaran (trade-off), yaitu kondisi dilematis yang harus dipilih oleh pemerintah karena kterbatasan anggaran yang dimilikinya tersebut.

Implementasi kegagalan pemerintah Indonesia dalam mengimplemantasikan berbagai kebijakan dan program pembangunan adalah masih belum mampu mewujudkan aganda pemerintah untuk mengatasi berbagai persoalan pelik, seperti:

peningkatan kualitas pelayanan pendidikan, kesehatan, sanitasi dan air bersih,peningkatan kesempatan kerja, dan pembangunan infrastruktur. Akhirnya suatu studi implementasi yang komprehensif memerlukan perhatian yang besar terhadap banyak tindakan dalam kurun waktu yang panjang. Hal ini akan berakibat pada kebutuhan alokasi waktu yang lama dan sumber-sumber yang besar untuk melakukan studi implementasi kebijakan.

C. Konseptualisasi Implementasi

Untuk mendalami proses implementasi maka perlu dipahami konsep implementasi terlebih dahulu. Istilah implementasi mulai muncul kepermukaan beberapa dekade yang lalu. Yang pertama menggunakan istilah tersebut adalah Harold Laswell (1956). Sebagai ilmuan yang pertama kali mengembangkan studi tentang kebijakan publik, Laswell menggagas suatu pendekatan yang ia sebut sebagai pendekatan proses (policy process approach). Menurutnya agar ilmuan dapat

(34)

memperoleh pemahaman yang baik tentang apa sesungguhnya kebijakan publik, maka kebijakan publik tersebut harus diurai menjadi beberapa bagian sebagai tahapan- tahapan, yaitu agenda-setting,formulasi,legitimasi,implementasi,evaluasi,reformulasi, dan terminasi. Dari siklus kebijakan tersebut terlihat secara jelas bahwa implementasi hanyalah bagian atau salah satu tahap dari proses besar bagaimana suatu kebijakan publik dirumuskan.

Implementasi kebijakan memiliki bayak pengertian dari berbagai ahli, seperti Masmanian dan Sabatier (1983 : 71) melihat implementasi kebijakan sebagai pelaksanaan berbagai keputusan, baik yang berasal dari legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Menurut Van Meter dan Van Horn (1978 : 447), “Policy implementation encompasses those action by public or private individuals (or group) that are directed at the achievement of objectives set forth in prior policy decisions” implementasi kebijakan merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu/pejabat atau kelompok pemerintah atau swasta, yang diarahkan pada tercapainya tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan. Selanjutnya, Wahab (1997 : 50) mendefinisikannya sebagai “suatu proses melaksanakan keputusan kebijakan”. Definisi yang sama juga dikemukakan oleh Edward III (1980 : 1), yaitu : “policy implementatiom… is the stage of policy making between the establisment of a policy… and the consequencies of the policy for the people whom it affects”. Sedangkan menurut Jones (1996 : 126) Implementasi kebijakan merujuk pada pelaksanaan secara efektif, sehingga implementasi kebijakan memuat tentang aktivitas-aktivitas program yang akan dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan dan dirasakan manfaatnya oleh kelompok sasaran yang dituju. Sementara Anderson melihat implementasi

(35)

sebagai: “administration of the law in which various actors,organizations,producers, and techniques work together to put adopted policies into effect in an effort to attain policy or program goals”(Anderson,1990:172). Dalam pemahaman ini, implementasi dimaknai sebagai pengelolaan hukum (karena kebijakan telah disyahkan dalam bentuk hukum) dengan mengerahkan semua sumber daya yang ada agar kebijakan tersebut mampu mencapai atau mewujudkan tujuannya.

Dalam perkembangan pemaknaan terhadap implementasi terus mengalami perkembangan. Bagi para peneliti yang menggolongkan sebagai generasi ketiga, implementasi dipahami secara lebih kompleks sebagai sebuah transaksi (pertukaran) berbagai sumber daya yang melibatkan banyak stakeholder. Secara lebih lengkap Warwick (1982:190) dalam Brynard (2005:13) menemukakan : “Implementation means transaction. To carry out a program,implementters must continually deal with task, environments, clients, and each other. The formalities of organization and the mechanis of administration are important as background, but the key to success is continual coping with contexts,personalities,aliances, and events. And crucial to such adaptation is the willingness to acknowladge and correct mistakes, to shift direction, and to learn from doing. Nothing ismore vital to implementational than self-corection; Nothing is more vital lethal than blind perseveration”

Pengertian implementasi kebijakan tersebut mengandung unsur-unsur, sebagai berikut : 1) proses, yaitu rangkaian aktivitas atau aksi nyata yang dilakukan untuk mewujudkan sasaran / tujuan yang telah ditetapkan; 2) tujuan, yaitu sesuatu yang hendak dicapai melalui aktivitas-aktivitas yang dilaksanakan, dan 3) hasil atau dampak, yaitu manfaat nyata yang dirasakan oleh kelompok sasaran. Dengan demikian studi

(36)

implemntasi kebijakan publik pada prinsipnya berusaha memahami apa yang senatanya terjadi sesudah sesuatu program dirumuskan, yaitu peristiwa-peritiwa dan kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah proses kebijakan ditetapkan, baik menyangkut usaha-usaha mengadministrasikan maupun usaha-usahan untuk memberikan dampak tertentu pada masyarakat ataupun peristiwa-peristiwa.

Selanjutnya menurut Syukur (1986 : 396) ada tiga unsur penting dalam proses implementasi, yaitu :

“1) adanya program atau kebijakan yang dilaksanakan; 2) target group, yaitu kelompok masyarakat yang menjadi sasaran dan diharapkan akan menerima manfaat dari program ini, perubahan atau penngkatan, 3) unsur pelaksana (implementor), baik organisasi maupun perorangan untuk bertanggung jawab dalam memperolehpelaksanaan dan pengawasan dari proses implementasi tersebut.

Adapun implementasi program pemerintah dapat dipandang dari tiga sudut yang berbeda, yaitu : pertama, pemrakarsa kebijakan/ pembuat kebijakan; kedua, pejabat-pejabat pelaksana di lapangan, dan ketiga, aktor-aktor perorangan di luar badan-badan pemerintahan kepada siapa program itu dituju, yakni kelompok sasaran.”

Kebijakan publik selalu mengandung setidak-tidaknya tiga komponen dasar, yaitu tujuan, sasaran dan cara mencapai sasaran dan tujuan tersebut (Wibawa, 1994 : 5).

Interaksi antara ketiga komponen inilah yang biasa disebut sebagai implementasi.

Dalam suatu proses kebijakan publik, implementasi merupakan suatu tahap yang harus senantiasa ada dan merupakan tahap yang esensial dan taka mungkin terpisahkan dari keseluruhan proses kebijakan sebagai suatu sistem. Berbagai tahap kebijakan yang

(37)

dikemukakan oleh berbagai ahli (Jones, 1996 : 27 – 28; Anderson 2000 : 23-24; Lane, 1986: x, Islami, 1984 : 82), tak satupun yang melewatkan tahap implemntasi sebagai tahapan terpenting dalam sistem kebijakan publik. Hal ini disebabkan karena aspek implementasi inilah yang menentukan untuk merealisasikan kebijakan publik menjadi upaya nyata untuk memenuhi kepentingan publik, dalam arti tidak hanya menjadi rencana bagus di atas kertas belaka. Dengan demikian implementasi mempunyai kedudukan penting dalam kebijakan negara, karena betapapun baiknya suatu kebijakan dirumuskan tidak akan bermakna jika tidak dilaksanakan. Bahkan menurut Wahab (1997 : 45), pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting dari pada pembuatan kebijakan itu sendiri. Kebijakan-kebijakan akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan.

Implementasi kebijakan merupakan salah satu tahap dalam proses kebijakan selain tahap formulasi kebijakan dan evaluasi kebijakan. Lengkapnya proses kebijakan publik akan terdiri dari langkah-langkah, (Dye, 1981: 340), yaitu: 1) problem identification (indentifikasi masalah kebijakan), 2) formulation (tahapan formulasi kebijakan), 3) legitimation (legitimasi kebijakan), 4) implementation (implementasi kebijakan), dan 5) evaluation (evaluasi kebijakan). Oleh karena itu, semua tahapan dalam proses kebijakan publik sama pentingnya dengan pihak-pihak yang berperan dalam proses itu, karena semuanya memiliki peran masing-masing yang saling melengkapi dan mendukung satu dengan yang lainnya. Kartasasmita (1996 : 64) berpendapat bahwa dari pengalaman pembangunan selama ini, makin jelas banyak persoalan yang menghambat pembangunan adalah dalam pelaksanaannya.

(38)

Adapun pelaksana dari setiap kebijakan itu adalah birokrasi dan justeru dalam pelaksanaan itulah sesungguhnya suatu kebijakan diberi bentuk (Rasyid, 1997b : 5).

Sedangkan Siagian (1995 : 225) mengatakan bahwa :

“implementasi kebijakan dan strategi merupakan desain pengelolaan berbagai sistem yang berlaku dalam organisasi untuk mencapai tingkat integrasi yang tinggi dari seluruh unsur yang terlibat yaitu : manusia, struktur, proses administrasi dan manajemen, dana serta daya. Kesemuanya dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi. Dengan kata lain ruang lingkup dari kegiatan manajerial yang dihubungkan dengan implementasi dapat dikatakan sama dengan seluruh proses administrasi dan manajemen yang terlaksana dalam suatu organisasi.”

Berdasarkan pandangan tersebut diketahui bahwa implementasi kebijakan adalah suatu aktivitas atau kegiatan dalam rangka mewujudkan atau merealisasikan kebijakan yang telah ditetapkan sebelumnya, yang dilakukan oleh organisasi, badan pelaksana melalui proses adminsitrasi dan manajemen dengan memmanfaatkan segala sumber daya yang tersedia untuk mencapai tujuan tertentu.

Dengan demikan organisasi, badan pelaksana (birokrasi) besar sekali perannya dalam tahap implementasi ini, sehigga terdapat pula kendala-kendala dari para implementor itu. Kendala dalam implementasi kebijakan yang dinamakan oleh Dunsire (1978 : 87) sebagai implementation gap yaitu suatu keadaan dalam proses kebijakan selalu terbuka untuk kemungkinan akan terjadinya perbedaan antara apa yang diharapkan (direncanakan) oleh pembuat kebijakan dengan apa yang senyatanya dicapai ( sebagai hasil atau prestasi dari pelaksanaan kebijakan). Perbedaan tersebut

(39)

tergantung dari implementation capacity dari organisasi/aktor atau kelompok/organisasi yang dipercaya mengembang tugas mengimplementasikan kebijakan tersebut. Untuk mengetahui kinerja suatu implemntasi kebijakan dapat digunakan konsep

“keberhasilan” yang dalam khazanah ilmu manajemen dikenal dengan efisiensi dan efektivitras. Secara sederhana keberhasilan dapat dilihat dua sisi, yaitu sisi keberhasilan dalam mencapai tujuan (sasaran) dan keberhasilan dalam proses (pelaksanaan).

Bagi penulis, setelah membaca berbagai definisi implementasi dari para ahli, inti implementasi adalah kegiatan yang dilakukan perorangan atau sekelompok orang baik dalam lingkup pemerintah maupun swasta untuk mendisribusikan keluaran dari kebijakan yang dilakukan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya kepada kelompok sasaran dalam kurun waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usaha perubahan besar dan kecil yang dihasilkan oleh keputusan-keputusan kebijakan. Tujuan kebijakan diharapkan akan muncul manakala hasil dari kebijakan dapat diterima dan dimanfaatkan dengan baik oleh kelompok sasaran sehingga dalam jangka panjang hasil kebijakan akan mampu diwujudkan

Gambar.1

Implementasi Sebagai Mekanisme Distribusi Hasil Kebijakan

Keluaran

Kebijakan Distribusi

Kelompok

Sasaran Implikasi

Hasil Kebijakan

(40)

Memahami implementasi dapat dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan yaitu Pendekatan pertama, memahami implementasi sebagai bagian dari proses atau siklus kebijakan. Implementasi merupakan salah satu tahapan dari serangkaian proses atau siklus kebijakan. Implementasi sebagai tahapan ketiga dari proses perumusan kebijakan. Setiap masalah publik yang dirumuskan akan selalu dimulai dari adanya suatu masalah yang mendapat perhatian luas yang menuntut tindakan pemerintah untuk memecahkan masalah tersebut melalui suatu kebijakan.

Karena masalah publik jumlahnya sangat banyak, maka untuk mendapatkan perhatian publik yang luas diperlukan kompetisi untuk membangun dukungan dari berbagai elemen atau kekuatan politik yang ada ditengah-tengah masyarakat. Tahap inilah yang disebut sebagai tahapan pertama yaitu agenda setting. Oleh karena itu tidak mengherankan jika tahap agenda setting sering disebut sebagai tahapan yang lebih bersifat politis dalam proses perumusan kebijakan. Tahapan yang kedua yaitu formulasi kebijakan yang menyangkut upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan berbagai alternatif disepakati untuk maalah yang dikembangkan dan siapa yang berpartisipasi dalam proses penyusunan rencana serta metode untuk menyelesaikan permasalahan yang ada dalam agenda setting. Tahap selanjutnya adalah implementasi kebijakan yang bermuara pada output yang dapat berupa kebijakan itu sendiri ataupun manfaat langsung yang dapat dilrasakan oleh pemanfaat. Tahap yang keempat dan kelima adalah tahap evaluasi kebijakan dan penyempurnaan yang dalam jangka panjang,kebijakan tersebut menghasilkan outcome dalam bentuk impak kebijakan yang diharapkan semakin meningkatkan tujuan yang hendak dicapai dengan kebijakan tersebut yang merupakan tahapan akhir.

(41)

Gambar. 2. Proses Perumusan Kebijakan

Sumber : Lester dan Stewart (2000:5)

Pendekatan kedua, Implementasi kebijakan dilihat sebagai suatu studi atau sebagai suatu bidang kajian. Perspektif ini tidak dapat dilepaskan dari upaya yang dilakukan oleh para ahli untuk memahami problematika implementasi itu sendiri. Kajian kebijakan salah satu bidang penting dalam ilmu sosial. Namun demikian, ternyata sangat langka kepustakaan tentang kajian kepustakaan. Implementasi sebagai studi, tentu memilliki berbagai elemen penting , yaitu subject matter (ontologi),cara memahami obyek yang dipelajari (epistemologi), dan rekomendasi tindakan yang diperlukan (aksiologi).

Kajian kebijakan adalah penelitian yang berkenaan dengan perumusan kebijakan, implementasi kebijakan, kinerja kebijakan, dan lingkungan kebijakan . Kajian

(42)

tentang rumusan kebijakan adalah inti dari penelitian hukum atau legal research yang dapat dikelompokkan sebagai bagian dari policy research. Dari pemahaman ini bisa dikatakan bahwa terdapat perbedaan hakiki antara kajian kebijakan dengan evaluasi kebijakan. Berikut paparan perbedaannya :

Tabel 3

Perbandingan Kajian Kebijakan dan Evaluasi Kebijakan

(43)

Lincoln dan Guba dengan tegas mengemukakan perbedaan mendasar antara ”kajian” dan ”evaluasi” yang membuat keduanya tidak dapat saling dipertukarkan, karena evaluating has diffrent purposes, objectives, audiences, and intended outcomes than research and thus the terms evaluation and research should not be used together (Lincoln&Guba,1086:8).

Kajian kebijakan dapat dipahami dengan melihat kronologis, tahapan- tahapan ilmiah implementasi sebagai suatu studi kajian yaitu

a. Menemukan masalah atau fenomena implementasi yang menarik untuk dikaji b. Merumuskan pertanyaan penelitian (research question) yang hendak diteliti c. Merumuskan landasan teoritis, konsep, dan variabel-variabel penelitian d. Menetapkan metodologi yang hendak dipakai untuk mengumpulkan data e. Mengolah dan menganalisis data

f. Rekomendasi Kebijakan

Kajian tentang implementasi kebijakan adalah kajian tentang bagaimana suatu kebijakan diterapkan. Salah satu pendekatan yang disarankan untuk dipergunakan dalam melakukan kajian implementasi adalah dengan mempergunakan matriks dari Matland (1995,2).

D. Model-model Implementasi Kebijakan

Rencana adalah 20% keberhasilan, implementasi adalah 60% sisanya, 20%

sisanya adalah bagaimana kita mengendalikan implementasi. Implementasi kebijakan adalah hal yang paling berat, karena di sini masalah-masalah yang kadang tidak

(44)

dijumpai dalam konsep, di lapangan. Selain itu ancaman utama adalah konsistensi implementasi

Dalam implementasi kebijakan, ada banyak model kebijakan dari berbagai ahli.

Semua model kebijakan tersebut berusaha menjelaskan keberhasilan suatu pelaksanaan suatu kebijakan, seperti model-model kebijakan yang dikelompokkan oleh PeterdeLeon dan Linda deLeon (2001) yaitu Generasi pertama yaitu pada tahun 1970- an,memahami implementasi kebijakan sebagai masalah-masalah yang terjadi antara kebijakan dan eksekusinya.Pada generasi ini implementasi kebijakan berhimpitan dengan studi pengambilan keputusan disektor publik.Generasi Kedua, tahun 1980- an,adalah generasi yang mengembangkan pendekatan implementasi kebijakan yang bersifat ”dari atas ke bawah” (top-downer perspective).Perspektif ini lebih fokus pada tugas birokrasi untuk melaksanakan kebijakan yang diputuskan secara politik. Para ilmuan sosial yang mengembangkan pendekatan ini adalah Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier (1983),Rober Nakamura dan Franks Smallwood (1980), dan Paul Berman (1980). Pada saat yang sama muncul pendekatan bootom-upper yang dikembangkan oleh Michael Lipsky (1971,1980), dan Benny Hjren (1982,1983). Generasi Ketiga 1990- an, dikembangkan oleh ilmuan sosial Malcom L. Goggin (1990), memperkenalkan pemikiran bahwa variabel perilaku aktor pelaksana implementasi kebijakan lebih menentukan keberhasilan implementasi kebijakan. Pada saat yang sama, muncul pendekatan kontijensi atau situasional dalam implementasi kebijakan yang mengemukakan bahwa implementasi kebijakan banyak didukung oleh adaptabilitas implementasi kebijakan tersebut. Para ilmuan yang mengembangkan pendekatan ini antara lain Richard Matland (1995),Helen Ingram (1990), dan Denise Scheberle (1997).

(45)

1. Model Van Meter dan Van Horn

Model pertama dikemukakan oleh duet Donald Van Meter dan Carl Van Horn (1975: 462 – 474) adalah model yang paling klasik.Model ini mengendalikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linier dari kebijakan publik,implementor, dan kinerja kebijakan publik. Model kebijakan adalah yang memperlihatkan 6 variabel yang membentuk hubungan antara kebijakan dengan kinerja, yaitu, policy standard and objectives, policy resources, kemudian ditambah lagi dengan 4 faktor yang berhubungan dengan kinerja kebijakan, yaitu, interorganizational communication and enforcement activities; characteristics of the implementation agencies; economic, social, and political condition; and disposition of implementors.

1) Policy Standard and Objectives

Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan kinerja kebijakan adalah standar dan tujuan-tujuan kebijakan.Oleh karena itu, indikator-indikator keberhasilan dan tujuan-tujuan kebijakan perlu jelas sehingga pihak pelaksana kebijakan tidak menimbulkan berbagai interpretasi yang berbeda dengan pembuat kebijakan.

Terjadinya berbagai interpretasi dari tujuan kebijakan tersebut akan dapat menimbulkan kegagalan dalam pelaksanaan kebijakan.

2) Policy Resources

Selain indikator-indikator kinerja kebijakan dan tujuan-tujuan kebijakan harus jelas, juga sumber-sumber daya pendukung pelaksanaan kebijakan tidak bisa disepelekan. Sumber-sumber daya yang dimaksud di sini adalah dana, materi, manusia ,dan berbagai insentif yang dapat melancarkan pelaksanaan suatu kebijakan. Insentif dapat berupa pemberian hadiah bagi mereka yang berhasil dalam

(46)

pelaksanaan pekerjaan, dan pemberian “hukuman” bagi mereka yang gagal dalam melaksanakan tugasnya.

3) Interorganizational Communication and Enforcement Activities

Dalam model ini, standar kinerja dan tujuan-tujuan kebijakan serta sumber- sumber daya merupakan faktor-faktor utama yang menentukan kinerja kebijakan.

Selain faktor-faktor utama tersebut, ada faktor pendukung lain yang perlu diperhatikan dalam memperlancar pelaksanaan kebijakan, diantaranya adalah komunikasi antar organisasi dan aktivitas-aktivitas penguatan.

Komunikasi antar organisasi perlu untuk memperlancar proses berjalannya informasi dari sumber-sumber informasi dalam rangka memperjelas standar-standar atau indikator-indikator kinerja kebijakan. Baik atau t

Gambar

Gambar 9  Model Jaringan

Referensi

Dokumen terkait

Tugas yang harus dilakukan sebelum pemerintahan mulai terlibat dalam pengambilan kebijakan publik adalah memilih salah satu instrumen atau kombinasi dari instrumen-instrumen yang

Kebijakan Keterbukaan Informasi Publik belum sesuai dengan pelaksanaan pelayanan informasi publik di Kementerian Pertanian, hal ini dapat terlihat pada level operasional

Sikap para pegawai mengenai pelaksanaan kebijakan tersebut masih ragu namun terus berusaha dijalani dikarenakan himbauan Walikota Sukabumi yang harus ditindaklanjuti

Lingkungan kebijakan publik dalam Subarsono (2010: 98) memiliki beberapa karakteristik yaitu kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan teknologi, dukungan

fokus penelitian (1) Implementasi Kebijakan Pelayanan Kesehatan Masyarakat Miskin Nonkuota (Jamkesda dan SPM) Kabupaten Blitar berdasarkan model implementasi George Edward

Analisis Kebijakan Publik , Yogyakarta., Gadjah Mada University Press.. Menjelaskan relasi dan pengaruh budaya terhadap produk Kebijakan Publik Mengetahui Faktor-

Hal tersebut didukung berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Deden Taupiq, 2020 yang menunjukan bahwa Pelaksanaan Kebijakan program keluarga harapan di Tasikmalaya saat belum

Menariknya, Penulis juga mengulas pandangan ahli yang sekiranya dapat mengukur dapat tidaknya program atau kebijakan mencapai sasaran atau tujuan seperti yang diinginkan, Edward III