• Tidak ada hasil yang ditemukan

CASE BASED DISCUSSION UVEITIS ANTERIOR ODS

N/A
N/A
Muhammad Farras Afif Syamhudi

Academic year: 2023

Membagikan "CASE BASED DISCUSSION UVEITIS ANTERIOR ODS "

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

CASE BASED DISCUSSION UVEITIS ANTERIOR ODS

Oleh:

MUHAMMAD FARRAS AFIF S 2118012158

Perceptor:

dr. Muhammad Yusran, M.Sc., Sp. M(K)

KEPANITERAAN KLINIK SMF BAGIAN MATA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH H. ABDUL MOELOEK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

BAB I STATUS PASIEN 1.1. IDENTITAS

Nama : Ny. SW

Usia : 50 Tahun

Jenis kelamin : Perempuan Tingkat pendidikan : SMA

Agama : Islam

Status : Menikah

Pekerjaan : IRT

Alamat : Pasir Putih, Sukamaju Tanggal pemeriksaan : 30/10/2023

Tempat pemeriksaan : Poliklinik Mata RSAM 1.2. ANAMNESIS

Keluhan Utama: Pandangan kabur pada mata kanan dan kiri sejak 1 tahun SMRS disertai mata merah.

Keluhan Tambahan:

Mata berair dan nyeri ketika meilahat cahaya

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien Ny. SW, 50 tahun, seorang IRT datang ke Poli Mata RSUDAM dengan keluhan pandangan kabur pada kedua mata sejak 1 tahun SMRS.

Keluhan disertai mata merah yang saat ini sudah tidak dikeluhkan.

Penglihatan turun dirasakan secara perlahan dan disertai rasa nyeri serta memberat ketika melihat cahaya. Pasien juga sering mengeluhkan mata

(3)

Keluhan pandangan kabur awalnya disertai mata merah yang tersebar merata pada seluruh mata kiri pasien, keluhan disertai rasa nyeri yang dirasakan terus menerus dan diperberat ketika melihat sinar matahari sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari. Nyeri dirasakan hingga ke belakang mata. Keluhan kotoran mata berlebih disangkal, rasa mengganjal disangkal. Pasien lalu pergi ke dokter mata untuk mengobati keluhannya dan diberikan obat tetes 2 macam namun pasien tidak mengingat nama obat tersebut.

Setelah menjalani pengobatan, keluhan pasien membaik. Mata merah mereda. Namun, Sejak 1 bulan SMRS, keluhan yang sama seperti sebelumnya timbul di mata kanan. Mata kanan terasa merah dan pandangan kabur serta berair. Rasa nyeri juga dikeluhkan pasien.

Pasien merupakan IRT dengan aktivitas diluar rumah yang minim.

Riwayat trauma, terkena tumbuhan, penggunaan lensa kontak disangkal.

Riwayat penggunaan kaca mata sebelumnya disangkal. Pasien mengaku memiliki lubang pada giginya yang sudah lama dan belum dilakukan pengobatan.

Riwayat Penyakit Dahulu:

Pasien tidak memiliki keluhan serupa sebelumnya. Riwayat penyakit Hipertensi (-), DM (-), Riwayat menggunakan kacamata (-). Riwayat operasi mata (-). Riwayat alergi, infeksi ataupun trauma pada mata disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga:

Tidak ada keluarga dengan keluhan serupa. Riwayat diabetes melitus, hipertensi, gangguan kolesterol, alergi, dan keganasan pada keluarga disangkal.

(4)

1.3. STATUS GENERALIS a. Pemeriksaan Fisik

Status Present

Keadaan Umum : Tampak sakit ringan Kesadaran : Compos mentis Tekanan darah : 127/80 mmHg

Nadi : 90 x/menit

Pernapasan : 20 x/menit

Suhu : 36,8oC

b. Status Generalis Kepala

Muka : Simetris, normochepal, oedem (-).

Rambut : Tidak dilakukan pemeriksaan.

Mata : (Terlampir di status oftalmologis).

KGB preaurikular : Tidak ada pembesaran.

Kesan : Dalam batas normal.

Leher

Tidak ada deviasi trakea, tidak ada pembesaran KGB leher.

Jantung

Tidak dilakukan pemeriksaan.

Paru

Tidak dilakukan pemeriksaan.

Abdomen

(5)

1.4. STATUS OFTALMOLOGI

OD OS

OD OS

6/30 Visus 5/60

Orthoforia Posisi bola mata Orthoforia

Kesan dalam batas normal TIO dengan

tonometri Kesan dalam batas normal Bebas ke segala arah Gerak bola mata Bebas ke segala arah

N Lapang pandang N

Kedudukan bola mata

normal, strabismus (-) Bulbus Oculi Kedudukan bola mata normal, strabismus (-) Edema (-), hiperemis (-),

blefarospasme (+)

Palpebra Superior

Edema (-), hiperemis (-), blefarospasme (+) Edema (-), hiperemis (-),

entropion (-), ektropion (-)

Palpebra Inferior

Edema (-), hiperemis (-), entropion (-), ektropion (-)

Madarosis (-), Supersilia Madarosis (-)

Hiperemis (-), edema (-) Konjungtiva

Palpebra Hiperemis (-), edema (-) Hiperemis (-), edema (-) Konjungtiva

Forniks Hiperemis (-), edema (-) Injeksi konjungtiva (-),

sekret (-), kemosis (-) Konjungtiva

Bulbi Injeksi konjungtiva (-), sekret (-), kemosis (-)

Ikterik (-) Sklera Ikterik (-)

Jernih Kornea Jernih

Dalam, hipopion (-),

hifema (-) Bilik Mata

Depan Dalam, hipopion (-), hifema (-) Coklat, Sinekia posterior

(+) Iris Coklat, Sinekia (-),

Bulat, tepi ireguler (+) Pupil Bulat, tepi ireguler (+) Keruh (-), shadow test (-) Lensa Keruh (-), shadow test (-)

Tidak dilakukan Funduskopi Tidak dilakukan

(6)

Saran: Darah lengkap 1.6. DIAGNOSA KERJA

Uveitis Anterior ODS

(7)

1.7. PENATALAKSANAAN

Non Medikomentosa

 Edukasi pada pasien dan keluarga mengenai penyakit pasien.

 Edukasi tentang menjaga higienitas mata dan lingkungan tempat tinggal: mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, menggunakan pelindung mata saat keluar rumah, tidak terlalu sering mengucek mata.

 Menjelaskan cara penggunaan obat yang diberikan.

 Menjelaskan mengenai komplikasi yang dapat terjadi: glaukoma, katarak, endoftlmitis, panoftalmitis, kebutaan

 Merujuk ke spesialis mata untuk penanganan lebih lanjut.

Medikamentosa

 Atropin Sulfate 1% 3x1 tetes per hari ODS

 Methylprednisolone 16 mg tab 3 dd 1 pc

1.8. PROGNOSIS

Prognosis OD OS

Quo ad Vitam bonam bonam

Quo ad Fungtionam dubia ad bonam dubia ad bonam Quo ad Sanationam dubia ad bonam dubia ad bonam

(8)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

2.2 Uvea

merupakan lapisan vaskular di dalam bola mata yang

terdiri dari iris,

2.3 korpus siliaris, dan koroid. Bagian ini dilindungi oleh kornea dan sklera.

Uvea

2.4 ikut memasok darah ke retina.

Uvea dibagi

(9)

menjadi 2 bagian yaitu uvea anterior 2.5 yang terdiri

dari iris dan badan siliaris dan uvea

posterior yaitu koroid. Dalam 2.6 tulisan ini

hanya dibahas mengenai uveia anterior saja

2.7 Uvea

merupakan lapisan vaskular di dalam bola mata yang

terdiri dari iris,

(10)

2.8 korpus siliaris, dan koroid. Bagian ini dilindungi oleh kornea dan sklera.

Uvea

2.9 ikut memasok darah ke retina.

Uvea dibagi

menjadi 2 bagian yaitu uvea anterior 2.10 yang terdiri

dari iris dan badan siliaris dan uvea

posterior yaitu

koroid. Dalam

(11)

2.11 tulisan ini hanya dibahas mengenai uveia anterior saja

2.12 Uvea

merupakan lapisan vaskular di dalam bola mata yang

terdiri dari iris,

2.13 korpus siliaris, dan koroid. Bagian ini dilindungi oleh kornea dan sklera.

Uvea

2.14 ikut memasok

darah ke retina.

(12)

Uvea dibagi

menjadi 2 bagian yaitu uvea anterior 2.15 yang terdiri

dari iris dan badan siliaris dan uvea

posterior yaitu koroid. Dalam 2.16 tulisan ini

hanya dibahas mengenai uveia anterior saja

2.17 Uvea

merupakan lapisan

vaskular di dalam

(13)

bola mata yang terdiri dari iris,

2.18 korpus siliaris, dan koroid. Bagian ini dilindungi oleh kornea dan sklera.

Uvea

2.19 ikut memasok darah ke retina.

Uvea dibagi

menjadi 2 bagian yaitu uvea anterior 2.20 yang terdiri

dari iris dan badan

siliaris dan uvea

(14)

posterior yaitu koroid. Dalam 2.21 tulisan ini

hanya dibahas mengenai uveia anterior saja

Uvea merupakan lapisan vaskular di dalam bola mata yang terdiri dari iris, korpus siliaris, dan koroid. Bagian ini dilindungi oleh kornea dan sklera. Uvea ikut memasok darah ke retina. Uvea dibagi menjadi 2 bagian yaitu uvea anterior yang terdiri dari iris dan badan siliaris dan uvea posterior yaitu koroid (Vaughan et.al., 2000).

(15)

2.1.1 Iris

Iris adalah perpanjangan korpus siliaris ke anterior. Iris berupa permukaan pipih dengan apertura bulat di tengah yang disebut dengan pupil. Iris terletak bersambungan dengan permukaan anterior lensa, yang memisahkan kamera okuli anterior dan kamera okuli posterior, yang masing-masing berisi humor aqueus. Didalam stroma iris terdapat sfingter dan otot-otot dilator. Kedua lapisan berpigmen pekat pada permukaan posterior iris merupakan perluasan neuroretina dan lapisan epitel pigmen retina kearah anterior (Vaughan et.al., 2000).

Pendarahan iris didapat dari circulus major iris. Kapiler-kapiler iris mempunyai lapisan endotel yang tak berlubang (nonfenestrated) sehingga normalnya tidak membocorkan fluoresein yang disuntikkan secara IV. Persarafan sensoris iris melalui serabut- serabut dalam nervi cilliares (Vaughan et.al., 2000).

(16)

Iris mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk ke dalam mata.

Ukuran pupil pada prinsipnya ditentukan oleh keseimbangan antara konstriksi akibat aktivitas parasimpatis yang dihantarkan melalui nervus kranialis III dan dilatasi yang ditimbulkan oleh aktivitas simpatis (Vaughan et.al., 2000).

2.1.2 Korpus Siliaris

Korpus siliaris yang secara kasar berbentuk segitiga pada potongan melintang, membentang ke depan dari ujung anterior koroid ke pangkal iris (sekitar 6 mm). Korpus siliaris terdiri atas zona anterior yang berombak-ombak, pars plicata (2 mm), dan zona posterior yang datar, pars plana (4 mm). Prosessus siliaris berasal dari pars plicata. Prosessus siliaris ini terutama terbentuk dari kapiler dan vena yang bermuara ke vena-vena vorticosa. Kapiler-kapilernya besar dan berlubang-lubang sehingga membocorkan fluoresein yang disuntikkan secara intravena (Vaughan et.al., 2000).

Ada 2 lapisan epitel siliaris yaitu satu lapisan tanpa pigmen di sebelah dalam yang merupakan perluasan neuroretina ke anterior dan satu lapisan berpigmen di sebelah luar, yang merupakan perluasan lapisan epitel pigmen retina. Prosessus siliaris dan epitel siliarisis pembungkusnya berfungsi sebagai pembentuk aqueous humor (Vaughan et.al., 2000).

Muscullus cilliares tersusun dari gabungan serat-serat longitudional, sirkular, dan radial. Fungsi serat-serat sirkular adalah untuk mengerutkan dan relaksasi serat-serat zonula yang berorigo di lembah-lembah di antara prosessus siliaris. Otot ini mengubah tegangan pada kapsul lensa sehingga lensa dapat mempunyai berbagai fokus baik untuk objek berjarak dekat maupun yang

(17)

Pembuluh-pembuluh darah yang mendarahi corpus siliaris berasal dari sirkulus arteriosus major iris. Persarafan sensoris iris melalui saraf- saraf siliaris (Vaughan et.al., 2000).

Anatomi Badan Siliar 2.1.3 Koroid

Koroid kaya dengan vaskularisasi, dan menutupi sebagian besar permukaan dalam sklera. Lapisan ini memasok bahan nutrisi ke permukaan posterior retina. Melanosit menghasilkan pigmen melanin dan memberikan warna coklat hitam pada koroid. Ke arah anterior, koroid beralih menjadi korpus siliaris yang merupakan bagian tunika vaskulosa yang paling tebal (Vaughan et.al., 2000).

2.2Uveitis

Radang uvea dapat mengenai hanya bagian depan jaringan uvea atau selaput pelangi (iris) dan keadaan ini disebut sebagai iritis. Bila mengenai bagian tengah uvea maka keadaan ini disebut sebagai siklitis. Biasanya iritis akan disertai dengan siklitis yang disebut sebagai uveitis anterior. Bila mengenai selaput hitam bagian belakang mata maka disebut koroiditis (Islam, 2010).

2.2.1 Uveitis Anterior

(18)

Uveitis anterior adalah inflamasi di iris dan korpus siliaris (pars plikata).

Inflamasi di iris saja disebut iritis sedangkan bila inflamasi meliputi iris dan badan siliar maka disebut iridosiklitis. Menurut American Optometric Association (AOA) tahun 2004, uveitis anterior adalah suatu proses inflamasi intraokular dari bagian uvea anterior hingga pertengahan vitreus. Penyakit ini dihubungkan dengan trauma bola mata, dan juga karena berbagai penyakit sistemik seperti juvenile rheumatoid ankylosing spondilitis arthritis, Sindrom Reiter, Sarcoidosis, Herpes zoster, dan Sifilis (Islam, 2010).

2.2.1.1 Etiologi

Penyebab terjadinya uveitis anterior dibagi menjadi beberapa golongan antara lain: autoimun, infeksi, keganasan, dan lain-lain.

Penyebab autoimun terdiri dari: spondilitis ankilosa, sindrom Reiter, kolitis artritis rhematoid juvenile ulseratif, sarkoidosis, Crohn's Disease, psoriasis. Penyebab infeksi terdiri dari: sifilis, tuberkulosis, lepra, herpes zooster, herpes simpleks, adenovirus, AIDS. Untuk penyebab keganasan terdiri dari: sindrom masquerade, retinoblastoma, leukemia, limfoma, melanoma maligna. Sedangkan yang lainnya berasal dari: uveitis traumatika, ablasio retina (Islam, 2010)..

Uveitis anterior juga dapat disebabkan oleh infeksi fokal seperti:

gigi, telinga, hidung, tenggorokan, traktus urogenitalis, traktus digestivus, kulit, dan lain-lain. Trauma perforata dan oftalmia simpatika juga dapat menyebabkan uveitis anterior (Islam, 2010)..

2.2.1.2 Klasifikasi

Secara klinis (menurut cara timbul dan lama perjalanan

(19)

minggu. Sedangkan yang kronik mulainya berangsur-angsur, dan perjalanan penyakitnya dapat berbulan-bulan maupun tahunan (Ilyas, 2015).

Klasifikasi uveitis anterior berdasarkan patologi anatominya terdiri dari tipe granulomatosa dan non granulomatosa. Tipe granulomatosa infiltratnya terdiri dari sel epiteloid dan makrofag.

Uveitis granulomatosa cenderung kronis dan sering dikaitkan dengan kondisi sistemik dan reaksi autoimun. Ini juga dapat dikaitkan dengan etiologi infeksi seperti sifilis, tuberkulosis (TB), dan infeksi virus herpes. Infeksi herpes biasanya menyebabkan uveitis non granulomatosa pada kasus akut dan uveitis granulomatosa pada kasus kronis. Sedangkan tipe non granulomatosa infiltratnya terdiri dari sel plasma dan limfosit.

Uveitis non granulomatosa biasanya akut dan idiopatik atau terkait dengan kondisi antigen leukosit manusia B27 (HLA-B27) (Ilyas, 2015).

2.2.1.3 Patofisiologi

Penyakit peradangan traktus uvealis umumnya unilateral, biasanya terjadi pada orang dewasa dan usia pertengahan. Pada kebanyakan kasus penyebabnya tidak diketahui. Berdasarkan patologi dapat dibedakan dua jenis besar uveitis: yang nongranulomatosa (lebih umum) dan granulomatosa (Sanjaya, 2019).

Badan siliar berfungsi sebagai pembentuk cairan bilik mata (aqueous humor) yang memberi makanan kepada lensa dan kornea.

Radang iris dan badan siliar menyebabkan rusaknya blood aqueous barrier sehingga terjadi peningkatan protein, fibrin, dan sel-sel radang dalam aqueous humor. Pada pemeriksaan slit lamp hal ini tampak sebagai flare, yaitu partikel-partikel kecil dengan gerak Brown (efek tyndal). Dengan adanya peradangan di iris dan badan

(20)

melebar, pembentukan cairan bertambah, sehingga dapat menyebabkan glaukoma sekunder. Selain oleh cairan bilik mata, dinding pembuluh darah dapat juga dilalui oleh sel darah putih, sel darah merah, dan eksudat yang akan mengakibatkan tekanan osmose cairan bilik mata bertambah dan dapat mengakibatkan glaucoma (Sanjaya, 2019).

Cairan dengan lain-lainya ini, dari bilik mata belakang melalui celah antar lensa iris, dan pupil ke kamera okuli anterior. Di kamera okuli anterior, oleh karena iris banyak mengandung pembuluh darah, maka suhunya meningkat dan berat jenis cairan berkurang, sehingga cairan akan bergerak ke atas. Di daerah kornea karena tidak mengandung pembuluh darah, suhu menurun dan berat jenis cairan bertambah, sehingga di sini cairan akan bergerak ke bawah. Sambil turun sel-sel radang dan fibrin dapat melekat pada endotel kornea, membentuk keratik presipitat yang dari depan tampak sebagai segitiga dengan endapan yang makin ke bawah semakin besar. Di sudut kamera okuli anterior cairan melalui trabekula masuk ke dalam kanalis Schlem untuk menuju ke pembuluh darah episklera. Bila keluar masuknya cairan ini masih seimbang maka tekanan mata akan berada pada batas normal 15-20 mmHg. Sel radang dan fibrin dapat pula menyumbat sudut kamera okuli anterior, sehingga alirannya terhambat dan terjadilah glaukoma sekunder. Galukoma juga bisa terjadi akibat trabekula yang meradang atau sakit (Sanjaya, 2019).

Pada proses peradangan yang lebih akut, dapat dijumpai penumpukan sel sel radang didalam bilik mata depan (BMD) yang disebut hipopion, ataupun migrasi eritrosit ke dalam BMD dikenal dengan hifema. Akumulasi sel-sel radang dapat juga terjadi pada

(21)

Sel-sel radang, fibrin, dan fibroblast dapat menimbulkan perlekatan antara iris dengan kapsul lensa bagian anterior yang disebut sinekia posterior, ataupun antara iris dengan endotel kornea yang disebut dengan sinekia anterior. Pada kasus berat dapat terbentuk bekuan fibrin besar atau hipopion di kamera okuli anterior. Dapat pula terjadi perlekatan pada bagian tepi pupil, yang disebut seklusio pupil. Perlekatan-perlekatan tersebut, ditambah dengan tertutupnya trabekular oleh selsel radang, akan menghambat aliran akuos humor dari bilik mata belakang ke bilik mata depan sehingga akuos humor tertumpuk di bilik mata belakang dan akan mendorong iris ke depan yang tampak sebagai iris bombe dan menyebabkan sudut kamera okuli anterior menyempit, dan timbulah glaukoma sekunder (Sanjaya, 2019).

Perlekatan perlekatan iris pada lensa menyebabkan bentuk pupil tidak teratur. Pupil dapat pula diisi oleh sel-sel radang yang menyebabkan organisasi jaringan dan terjadi oklusi pupil.

Peradangan badan siliar dapat pula menyebabkan kekeruhan pada badan vitreus, yang tampak seperti kekeruhan karena debu. Dengan adanya peradangan ini maka metabolisme pada lensa terganggu dan dapat mengakibatkan katarak. Pada kasus yang sudah lanjut, kekeruhan badan kaca pun dapat mengakibtakan organisasi jaringan yang tampak sebagai membrana yang terdiri dari jaringan ikat dengan neurovaskularisasi dari retina yang disebut retinitis proloferans. Pada kasus yang lebih lanjut lagi dapat mengakibatkan ablasi retina (Sanjaya, 2019).

2.2.1.4 Diagnosis Anamnesis

Pasien dengan uveitis anterior biasanya mengeluh nyeri pada mata, fotopobia, penglihatan kabur, mata merah, dan mata berair. Nyeri

(22)

menyebar ke pelipis atau daerah periorbital. Nyeri dapat lebih terlokalisasi dan parah jika berhubungan dengan peningkatan tekanan intraokular (TIO). Pada kasus uveitis kronis, pasien dapat tidak bergejala, dan biasanya peradangan ditemukan pada evaluasi rutin (Ilyas, 2015).

Pemeriksaan fisik

Tanda-tanda umum dari uveitis anterior akut termasuk injeksi siliar dan sel dan flare di bilik mata depan. Injeksi siliar merupakan akibat sekunder dari pembesaran pembuluh darah episklera yang berdekatan dengan korpus siliaris yang meradang. Pasien juga dapat datang dengan injeksi difus atau pola campuran. Sel dan flare di akuos disebabkan oleh sel inflamasi dan protein di bilik mata depan. Sel di bilik mata depan adalah diagnostik uveitis anterior dan mungkin disertai atau tidak disertai dengan flare. Selain entitas seluler di bilik mata depan, sering juga terdapat deposit seluler pada endotelium yang dikenal sebagai keratik presipitat.

Karakteristik keratik presipitat dapat menjadi diagnostik yang sangat penting dalam membedakan etiologi peradangan. Keratik presipitat halus umumnya terkait dengan peradangan nongranulomatous, sedangkan keratik presipitat yang lebih besar, berminyak, mutton fat dikaitkan dengan peradangan granulomatosa (Sanjaya, 2019).

Miosis dapat terjadi akibat spasme sfingter iris atau distensi pembuluh darah iris. Nodul iris merupakan indikasi peradangan granulomatosa dan terlihat dalam dua bentuk – Nodul Busacca terlihat pada stroma anterior sedangkan nodul Koeppe terlihat pada margin pupil. Keduanya terdiri dari leukosit dan harus dibedakan

(23)

Koeppe terlihat pada uveitis anterior granulomatosa dan nongranulomatosa (Sanjaya, 2019).

Gambaran nodul iris multiple pada tepi pupil (nodul Koeppe) dan stroma iris (nodul Busacca)

Dengan peradangan kronis dan iskemia, atrofi iris dapat berkembang. Sinekia posterior – perlengketan antara lensa dan iris – pada akhirnya dapat meluas 360°, mencegah aliran akuos melalui jalur ini. Akhirnya, neovaskularisasi stroma iris dapat terjadi dengan peradangan yang berkepanjangan (Sanjaya, 2019).

Sinekia posterior

Pasien dengan uveitis anterior dapat mengalami perubahan TIO.

Ada beberapa mekanisme yang dapat berkontribusi pada perubahan ini. Yang pertama dan paling sering ditemui adalah penurunan TIO.

Hal ini terjadi ketika badan siliaris meradang, yang mengakibatkan rendahnya produksi aqueous humor pada badan siliaris. TIO dapat

(24)

meningkat jika aliran keluar akuous humor terhambat melalui trabecular meshwork (Sanjaya, 2019).

Komplikasi yang lebih parah adalah ketika TIO meningkat karena sinekia anterior perifer yang menghalangi trabecular meshwork.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium bermanfaat pada kelainan sistemik misalnya darah perifer lengkap, laju endap darah, serologi, urinalisis, dan . Untuk antinuclear antibody mendiagnosis infeksi virus dapat dilakukan pemeriksaan PCR, kultur dan tes serologi (Sanjaya, 2019).

2.2.1.4 Tatalaksana Terapi bertujuan:

 Menghilangkan nyeri dan inflamasi pada mata

 Mencegah kerusakan struktur ocular, terutana pada macula dan saraf optic, yang dapat menyebabkan kehilangan penglihatan permanen

1.) Terapi non spesifik Kortikosteroid

Terapi steroid merupakan terapi pilihan utama. Ada dua cara pengobatan kortikosteroid pada uveitis yaitu lokal (tetes mata atau injeksi peri okular) dan sitemik. Pengobatan awal uveitis anterior melibatkan kortikosteroid tetes mata. Kortikosteroid tetes mata yang paling umum diberikan untuk pengobatan uveitis anterior

(25)

Pengobatan kortikosteroid bertujuan mengurangi cacat akibat peradangan. Banyak dipakai preparat prednison untuk kortikosteroid sistemik dengan dosis awal antara 1–2 mg/kg BB/hari, yang selanjutnya diturunkan perlahan selang sehari (alternating single dose).

Midriatik-sikloplegik

Pada uveitis anterior, mendilatasikan pupil dapat menghilangkan nyeri akibat spasme siliar dan mencegah pembentukan sinekia posterior dengan memisahkannya dari kapsul anterior lensa serta menstabilkan blood-aqueous barrier dan mencegah terjadinya flare.

Bila tidak, sinekia menyebabkan gangguan dilatasi normal pupil.

Dilatasi dicapai dengan midriatikum, misalnya tetes mata siklopentolat atau atropine. Atropine memiliki kerja Panjang. Suatu usaha untuk melepaskan sinekia yang terbentuk harus dilakukan dengan tetes mata siklopentolat dan fenilefrin inisial yang intensif.

2) Terapi spesifik

Terapi diberikan sesuai penyakit yang mendasari. Dalam kasus uveitis infeksi, pengobatan sistemik yang disesuaikan dengan etiologi yang diidentifikasi dikombinasikan dengan pengobatan steroid lokal. Penatalaksanaan multidisiplin diperlukan dalam kasus uveitis bakteri, terutama karena tidak ada protokol terapeutik yang ditetapkan.

(26)

BAB III PEMBAHASAN

Uveitis biasanya terjadi pada orang dewasa yaitu usia 20–59 tahun. Penelitian yang dilakukan pada RSUP Sanglah Denpasar didapatkan bahwa penderita uveitis terjadi lebih banyak pada usia rentang 45–64. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fernandez di Sao Paulo, Brazil didapatkan hasil 41,8% pasien yang mengalami uveitis dengan rentang umur 41-64 tahun. Pada penelitian prospektif observasional yang dilakukan di salah satu rumah sakit di India didapatkan bahwa insiden uveitis anterior paling tinggi (26,6%) dari 30 pasien terjadi pada rentang umur 41-50 tahun. Dari paparan di atas kasus yang ada sesuai dengan teori yakni pasien berusia 50 tahun yang memiliki kejadian uveitis terbanyak.

Keluhan pandangan kabur awalnya disertai mata merah yang tersebar merata pada seluruh mata kiri pasien sejak 1 tahun SMRS, keluhan disertai rasa nyeri yang dirasakan terus menerus dan diperberat ketika melihat sinar matahari sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari. Keluhan juga disertai mata berair. Gejala yang ditimbulkan oleh uveitis anterior biasanya ringan namun bisa memberat dan dapat menimbulkan adanya komplikasi apabila tidak diberikan tatalaksana yang baik.

Uveitis anterior lebih sering terjadi unilateral dengan onset akut. Keluhan utama yang paling banyak terjadi pada pasien uveitis anterior adalah penglihatan kabur diikuti mata merah dan mata nyeri dengan beberapa dari pasien uveitis anterior mengalami lebih dari satu keluhan dan umumnya unilateral. Gejala klinis uveitis anterior lainnya juga meliputi fotopobia dan penglihatan menurun. Penglihatan yang kabur dimana menjadi gejala yang umum, penyebabnya adalah kekeruhan dari aliran aqueous. Umumnya dikarenakan Photophobia spasme otot siliaris, infiltrasi di ruang anterior seluler dan edema epitel kornea. Uveitis anterior menyebabkan spasme otot siliaris dan sfingter pupil yang menimbulkan nyeri

(27)

Uveitis anterior dapat disebabkan oleh infeksi fokal seperti: gigi, telinga, hidung, tenggorokan, traktus urogenitalis, traktus digestivus, kulit, dan lain-lain. Pada pasien ini terdapat riwayat gigi berlubang yang belum pernah diobati.

Jika dianalisis dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, gejala yang dialami pasien sesuai dengan gejala klilnis pada uveitis anterior. Visus OD 6/30 dan OS 5/60, pupil bentuk bulat dengan tepi ireguler, sinekia posterior (+). Penurunan tajam penglihatan terutama akibat kekeruhan cairan akuos dan edema kornea walaupun uveitis tidak selalu menyebabkan edema kornea. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan injeksi pada mata, namun menurut anamnesis mata pasien sempat merah ketika keluhan pertama kali muncul. injeksi merupakan tanda patognomonik dan gejala dini. Pada pemeriksaan fisik didapatkan Sinekia posterior. Sinekia posterior merupakan perlengketan iris dengan kapsul depan lensa. Perlengketan dapat berbentuk benang atau dengan dasar luas dan tebal. Bila luas akan menutupi pupil, berbentuk bunga yang menyebabkan pupil tampak ireguler.

Presentasi bilateral cenderung dikaitkan dengan kronis, kondisi sistemik, sedangkan kondisi unilateral cenderung akut dan idiopatik atau menular.

Pasien diberikan terapi medikamentosa Sulfas atropine 1% eye drop 3x1 ODS, Metilprednisolon 16 mg tab 3x1. Terapi steroid merupakan terapi pilihan utama.

Pengobatan kortikosteroid bertujuan mengurangi cacat akibat peradangan dan perpanjangan periode remisi. Ada dua cara pengobatan kortikosteroid pada uveitis yaitu lokal (tetes mata atau injeksi peri okular) dan sitemik. Pada uveitis anterior, mendilatasikan pupil dapat menghilangkan nyeri akibat spasme siliar dan mencegah pembentukan sinekia posterior dengan memisahkannya dari kapsul anterior lensa serta menstabilkan blood-aqueous barrier dan mencegah terjadinya flare. Dilatasi dicapai dengan midriatikum, misalnya tetes mata siklopentolat atau atropine. Atropine memiliki kerja Panjang.

(28)

DAFTAR PUSTAKA

Gueudry J, Muraine M. Anterior uveitis. J Fr Ophtalmol. 2017:1-11.

Ilyas S, Yulianti SR. 2015. Ilmu penyakit mata, edisi 5. Jakarta:Badan Penerbit FKUI

Islam N, Pavesio C. Uveitis (acute anterior). BMJ Clin Evid. 2010:0705.

Sanjaya FE. Uveitis anterior. Jakarta: Universitas Trisakti;2019.

Sitompul R. 2016. Diagnosis dan penatalaksanaan uveitis dalam upaya mencegah kebutaan. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Mata FK Universitas Indonesia RSUP Nasional dr. Cipto Mangunkusumo.

Sitorus RS, Sitompul R, Widyawati S, Bani AP. 2020. Buku Ajar Oftalmologi.

Edisi 1 Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

Vaughan DG, Asbury T, Riordan Eva P. 2000. Oftalmologi umum. 14 ed. Jakarta:

Widya medika

Referensi

Dokumen terkait

Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien bahwa pasien mempunyai kelainan mata presbiopi yang menyebabkan penglihatan pasien kabur saat melihat objek jarak dekat

17.Seorang ♀ usia 38 tahun, datang dengan keluhan kedua mata kabur sejak 3 minggu yang lalu timbul perlahan - lahan, tidak nyeri, mata tidak merah, sedang mendapatkan

4 Pada pasien ini didapatkan keluhan penglihatan yang terasa buram secara perlahan dan pada pemeriksaan oftalmologis lensa mengalami subluksasi ke anterior

dengan keluhan mata kanan merah dan nyeri sejak 1 hari yang lalu, disertai pandangan kabur. mendadak, mata

Seorang laki-laki usia 40 tahun dengan ke Puskesmas dengan keluhan kedua mata merah dan pandangan buram sejak 2 hari yang lalu setelah terciprat lumpura. Pasien berprofesi sebagai

Pasien dapat mengeluhkan nyeri pada mata, fotofobia, mata berair, mata merah, mata kabur, adanya sensasi benda asing di mata, dan riwayat trauma sebelum gejala muncul.1,7 Pada

PAL Surabaya, sebanyak 38% dari 42 responden mengalami CVS, gejala yang dialami berupa sakit kepala, pusing, susah tidur, mata merah, iritasi, gangguan konsentrasi, penglihatan kabur

Seorang perempuan berusia 17 tahun datang ke klinik anda dengan keluhan penglihatan kedua mata kabur sejak 6 bulan yang lalu.. Pasien merasa kabur saat melihat tulisan atau benda yang