Tugas Etika Profesi 2023
DAMPAK LINGKUNGAN PEMBANGUNAN
(STUDI KASUS: DAMPAK IMPLEMENTASI MERAUKE INTEGRATED FOOD AND ENERGY ESTATE)
Afina Istiqmalah
215060601111044
Email mahasiswa : [email protected]
RINGKASAN
Proses pembangunan di Indonesia bertujuan untuk meningkatkan gaya hidup, kesehatan, dan ekonomi negara dengan memanfaatkan dan mengembangkan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Proses ini terus berkembang dan beradaptasi dengan perubahan kondisi lingkungan. Undang-undang lingkungan hidup, seperti Stockholm 1972 dan Rio 1992, menekankan pembangunan berkelanjutan atau ecodevelopment. Rencana pembangunan nasional harus membahas berbagai aspek perlindungan lingkungan, termasuk pengelolaan limbah, perlindungan lingkungan, dan degradasi lingkungan. Program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFFE) merupakan sebuah inisiatif penting di Indonesia dan dunia yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan seperti pemerintah, investor, dan sektor swasta. Program ini berfokus pada pembangunan berkelanjutan dan pengelolaan limbah, dengan fokus pada bidang-bidang seperti produksi pangan, pengelolaan limbah, dan perlindungan lingkungan. Program MIFEE telah dipelajari dan dianalisis oleh berbagai peneliti, termasuk Global Forest Watch, yang menemukan bahwa sejumlah besar sampah di Papua berada di Merauke. Program ini bertujuan untuk mencari solusi alternatif untuk mengurangi sampah dan mempromosikan pembangunan berkelanjutan di negara ini. Proses pembangunan di Indonesia bertujuan untuk meningkatkan gaya hidup, kesehatan, dan lingkungan negara melalui pembangunan berkelanjutan dan perlindungan lingkungan.
Kata kunci : Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFFE), pembangunan berkelanjutan dan perlindungan lingkungan
PENDAHULUAN
Proses pembangunan di Indonesia merupakan inisiatif untuk meningkatkan taraf hidup, kesejahteraan, dan kemakmuran bangsa dengan memanfaatkan serta mengembangkan sumber daya alam dan manusia. Proses ini melibatkan beberapa aspek, pertama-tama adalah kemajuan fisik seperti pangan, sandang, perumahan, dan sebagainya. Kedua, terdapat kemajuan aspek batiniah seperti pendidikan, rasa aman, keadilan, kesehatan, dan lain sebagainya. Selanjutnya, terdapat kemajuan yang mencakup seluruh rakyat dan tercermin dalam perbaikan hidup berkeadilan sosial.
Untuk mencapai tujuan ini, pencapaian dalam setiap tahap pembangunan diharapkan dapat dilakukan secara bertahap namun simultan. Keselarasan antara kemajuan fisik dan batiniah yang merata bagi seluruh rakyat diharapkan dapat terwujud, dengan peningkatan kadar keadilan sosial (Soemartono, 2004). Pembangunan diharapkan menjadi suatu proses yang berlangsung secara terus-menerus dan berkesinambungan.
Setiap tahap pembangunan diusahakan memiliki kemampuan untuk menopang langkah- langkah pembangunan selanjutnya. Pembangunan seharusnya dimaknai sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Pentingnya mempertahankan dan memantapkan kemajuan yang telah dicapai juga menjadi fokus.
Tugas Etika Profesi 2023
Dalam perjalanan sejarah, pembangunan berwawasan lingkungan dibidani oleh deklarasi lingkungan, seperti Deklarasi Stockholm 1972 dan Deklarasi Rio 1992, yang mengusung konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) atau ecodevelopment. Konsep ini juga diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Meskipun demikian, pembangunan dihadapkan pada tantangan dan permasalahan yang dipengaruhi oleh faktor perkembangan penduduk dan masyarakat, tekanan dan persediaan sumber daya lingkungan, teknologi, kebudayaan, dan perkembangan dunia internasional. Pembangunan industrialisasi, meskipun penting untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, juga membawa dampak negatif terhadap lingkungan dan sumber daya alam.
Dari berbagai permasalahan inilah penulis akan membahas tentang dampak pembangunan terhadap lingkungan terhada kaitannya dengan etika pembangunan (studi kasus: : Dampak Implementasi Merauke Integrated Food And Energy Estate). Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengembalikandan mendudukkan kembali pentingnya etika pembangunan yangberkelanjutan berwawasan lingkungan. Hal ini agar tetap pada prinsip pentingnya pembangunan yang memperhatikan hak-hak lingkungan.
Pembangunan nasional harus dapat menjawab berbagai persoalan kemiskinan, ketimpangan dan ketidakadilan sosial ekonomi rakyat. Disisi lain pembangunan harus menghindari kerusakan sumber daya alam. Sehingga, pembangunan sebagai dasar dan arah bagi pembaruan yang adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan harus ditumbuhkan. Untuk mendukung konsep di atas maka diperlukan sebuah etika pembangunan sehingga membangun tanpa merusak lingkungan dan berwawasan lingkungan untuk masa kini tanpa meninggalkan kesejahteraan generasi masa datang dapat benar-benar terwujud.
TINJAUAN PUSTAKA A. Sustainable Development
Kesadaran terhadap lingkungan mulai tumbuh ketika manusia menyadari bahwa kerusakan lingkungan dan sumber daya alam semakin meningkat akibat dampak dari tindakan manusia, terutama setelah revolusi industri pada awal abad ke-19 (Siahaan, 2008). Kesadaran ini kemudian melahirkan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan berwawasan lingkungan (ecodevelopment). Istilah
"sustainable development" pertama kali diperkenalkan oleh Rachel Carson melalui bukunya, "Silent Spring," yang pertama kali terbit pada 1982. Dari sana, perbincangan tentang lingkungan hidup meluas secara global dan mendorong Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) untuk menyelenggarakan Konferensi Lingkungan Manusia PBB (UNCHE) di Stockholm, Swedia pada 5 Juni 1972. Sejak saat itu, tanggal 5 Juni dirayakan sebagai Hari Lingkungan Internasional. Dua puluh tahun kemudian, PBB kembali menggelar konferensi khusus tentang lingkungan dan pembangunan yang dikenal sebagai Earth Summit atau KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, pada 3-14 Juni 1992 (Asshiddiqie, 2010). Deklarasi Stockholm 1972 dan Rio de Janeiro 1992 akhirnya membawa lahir hak-hak atas lingkungan dan menjadi dasar penting untuk penghormatan dan perlindungan terhadap integritas lingkungan global dan sistem pembangunan. Deklarasi Stockholm menegaskan bahwa manusia memiliki hak dasar terhadap kebebasan, kesetaraan, dan kondisi hidup yang memungkinkan kehidupan yang layak. Pada Deklarasi Rio de Janeiro, ditekankan bahwa manusia berada di pusat
Tugas Etika Profesi 2023
perhatian untuk pembangunan berkelanjutan, dan perlindungan lingkungan harus menjadi bagian integral dari proses pembangunan. Kedua deklarasi tersebut menegaskan perlunya suatu konsep etika pembangunan berwawasan lingkungan yang berkelanjutan. Konsep sustainable development pada dasarnya sejalan dengan ecodevelopment, diartikan sebagai pembangunan yang tidak mengorbankan kepentingan lingkungan dan selalu memperhatikan aspek lingkungan. Konsep ini diakomodir dalam undang-undang di Indonesia, seperti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Konsep ini tetap ditegakkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Melalui konsep etika pembangunan ecodevelopment dan sustainable development, diharapkan paradigma pembangunan dapat diintegrasikan dengan aspek lingkungan yang berkelanjutan. Hal ini menekankan bahwa pembangunan tidak hanya mengutamakan kepentingan masa kini, tetapi juga memperhatikan kesejahteraan bagi generasi mendatang.
B. Lingkungan Hidup
Isu lingkungan merupakan perhatian utama yang memberikan pemahaman mendalam terhadap beberapa hal. Pertama, planet Bumi, dilihat dari segi fisiknya, merupakan sebuah sistem tunggal. Kedua, kesejahteraan manusia sangat bergantung pada kondisi fisik sistem ini, dan ketiga, manusia memiliki kemampuan untuk mengubah sistem ini melalui teknologinya. Setiap elemen, baik biotik maupun fisik, saling mendukung dan terikat dalam suatu mekanisme yang dikenal sebagai ekosistem.
Gangguan terhadap ekosistem dapat berdampak fatal bagi keberlanjutan hidup Bumi.
Amerika Serikat, khususnya pada masa pemerintahan Presiden Theodore Roosevelt pada 1887, menjadi aktor penting dalam menyuarakan kekhawatiran terhadap kualitas lingkungan. Gerakan lingkungan pada saat itu ditempatkan dalam dua konsep besar:
konservasi dan preservasi. Gerakan konservasi mengusung pendekatan ilmiah dalam pengelolaan sumber daya alam, dengan prinsip bahwa eksploitasi boleh dilakukan selama keberlanjutannya terjaga. Konsep ini menjadi dasar bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan. Sementara itu, aliran preservasi yang dipimpin oleh John Muir menekankan perlindungan alam sebagai prioritas utama. Di bawah konsep preservasi, Amerika Serikat membangun banyak Taman Nasional. Semangat pelestarian alam ini dengan cepat menyebar ke Eropa, termasuk Belanda, dan tentu saja, Indonesia, yang pernah menjadi tanah jajahan Belanda. Pada tahun 1970, momentum kesadaran lingkungan mencapai puncaknya dengan perayaan Hari Bumi di seluruh dunia. Rachel Carson, melalui karyanya "Musim Semi yang Bisu" pada 1962, telah mengingatkan tentang bahaya pestisida terhadap kehidupan manusia. Ideologi baru yang dikenal sebagai environmentalism pun muncul, membawa perubahan cepat dalam kebijakan Amerika Serikat. Environmental Protection Agency (EPA) dibentuk pada 1970, bersamaan dengan pemberlakuan Clean Air Act, Water Quality Control, dan Industrial Pollution Control. Namun, kesadaran lingkungan di negara maju seperti Amerika Serikat menjadi sebuah dilema bagi negara berkembang seperti Indonesia. Indonesia dihadapkan pada tantangan terkait kualitas lingkungan dan sumber daya alam yang terbatas, sementara jumlah penduduk dan pola hidup terus meningkat. Kemajuan teknologi cenderung mengolah sumber daya alam, tetapi menghasilkan limbah yang terus bertambah. Pembangunan ekonomi yang diupayakan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia ternyata juga berpotensi menyebabkan degradasi lingkungan, yang pada akhirnya dapat berdampak negatif pada keberlanjutan pembangunan dan kualitas kehidupan. Permasalahan lingkungan ini juga menjadi sorotan internasional, terbukti dengan diselenggarakannya Konferensi Lingkungan Hidup Sedunia pertama
Tugas Etika Profesi 2023
pada tahun 1972 di Stockholm, Swedia. Kesadaran akan lingkungan semakin berkembang di Indonesia, termanifestasi dalam KTT Bumi di Rio de Janeiro pada Juni 1992, di mana prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan disepakati. Pembangunan berkelanjutan diartikan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi saat ini tanpa merugikan potensi untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi mendatang.
C. Konsep Etika
Konsep etika merupakan salah satu cabang utama dalam filsafat yang memfokuskan pada nilai-nilai dan kualitas yang membahas standar dan penilaian moral.
Etika melibatkan analisis serta penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab (Wikepedia, 2023). St. John of Damascus pada abad ke-7 Masehi menyisipkan etika dalam bidang filsafat praktis. Menurut K. Bertens, etika memiliki dua pengertian, yakni sebagai praktis dan sebagai refleksi. Sebagai praktis, etika mengacu pada nilai-nilai dan norma-norma moral yang dipraktikkan atau tidak, sejalan dengan moralitas yang mencakup apa yang harus dilakukan, tidak boleh dilakukan, atau pantas dilakukan. Etika sebagai refleksi mencakup pemikiran moral (Bertenz, 2007).
Frans Magnis Suseno, dalam karyanya "Etika Jawa," menggambarkan etika sebagai filsafat yang membahas bidang moral. Lebih lanjut, etika diterapkan dalam arti lebih luas sebagai norma dan penilaian yang digunakan oleh suatu masyarakat untuk menentukan cara manusia seharusnya menjalani hidupnya (Suseno, 1984). Etika didefinisikan sebagai seperangkat prinsip moral yang membedakan antara benar dan salah, serta bersifat normatif dengan menentukan dan menyarankan perilaku yang seharusnya diambil atau dihindari (Huda, 1997). Ibnu Miskawaih menyatakan bahwa etika adalah keadaan jiwa yang mendorong pada perbuatan tanpa dipikirkan, yang dapat muncul dari pelatihan dan pembiasaan perilaku tertentu. Al-Jurjani menjelaskan etika sebagai gerakan jiwa yang menghasilkan perbuatan tanpa dipertimbangkan. Secara esensial, etika diartikan sebagai ilmu yang mempelajari perilaku manusia dari sudut pandang baik dan buruk, benar dan salah, dengan tujuan memutuskan dan mengarahkan perilaku menuju kebahagiaan dan kesuksesan tertentu (Lutfi, 2018).
Dari segi epistemologi, etika merupakan teorisasi moral dan norma, mencakup moral dan norma dalam pembahasannya. Jika moral membicarakan baik dan buruk, etika membahas teori baik dan buruk beserta sumber penilaian. Jika norma selalu berbicara tentang benar dan salah, etika membahas teori benar dan salah, serta sumber pembenaran dan alat untuk menyalahkan. Etika bersifat universal, sementara moral dan norma adalah bagian atau aspek yang lebih spesifik. Dalam konteks tulisan ini, etika diartikan secara universal untuk memudahkan pemahaman prinsip-prinsip moral dan norma yang berkaitan dengan pembangunan, dengan fokus pada norma hukum terkait dengan hukum pembangunan (hukum lingkungan) dan tidak mencakup norma agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan (Kant, 1991).
D. Etika Lingkungan
Etika lingkungan mencakup pemahaman yang lebih dalam terhadap kesadaran individu maupun kelompok dari berbagai lapisan sosial dan profesi mengenai norma moral yang seharusnya diikuti dalam menghadapi isu lingkungan. Sayangnya, kenyataan yang sering dihadapi adalah bahwa sumber daya alam, yang seharusnya diperlakukan sebagai elemen penting dalam menjaga fungsi ekosistem, malah seringkali dianggap sebagai musuh. Sebagian manusia tidak hanya tidak mendukung, tetapi malah
Tugas Etika Profesi 2023
menjadi penyebab rusaknya ekosistem. Ironisnya, banyak yang melihatnya sebagai bagian dari aktivitas pembangunan. Saat ini, dunia semakin sadar akan berbagai masalah global, seperti peningkatan suhu bumi, banjir, berkurangnya lahan pertanian, penipisan deposit air tanah, peningkatan penyakit, dan persaingan untuk mendapatkan lahan permukiman, yang secara langsung maupun tidak langsung disebabkan oleh eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali. Revolusi industri pada awal abad ke-19 menjadi tonggak kemajuan pemikiran manusia yang lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi dengan mengorbankan eksploitasi sumber daya alam, yang pada akhirnya dapat merugikan keberlanjutan ekosistem. Sejak revolusi tersebut, manusia berlomba-lomba menciptakan mesin-mesin untuk menghasilkan produk secara efisien, tetapi seringkali melibatkan pembukaan lahan baru untuk pertanian dan perkebunan.
Pertumbuhan jumlah penduduk yang merata di seluruh planet Bumi semakin mempercepat perlombaan untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan.
Meskipun kekayaan alam tersedia, pengambilannya terlalu cepat, melebihi waktu yang diperlukan untuk regenerasinya, sehingga menyebabkan kepunahan sumber daya alam.
Dalam konteks ini, manusia mulai menyadari pentingnya mempertahankan daya dukung alam untuk kelangsungan hidupnya. Meskipun perkembangan teknologi memberikan dampak positif terhadap kualitas hidup, penggunaan sumber daya alam yang berlebihan juga menimbulkan dampak negatif. Perubahan gaya hidup yang eksesif dan tidak ramah lingkungan disebabkan oleh pandangan antroposentris yang melihat alam hanya sebagai alat pemenuhan kebutuhan manusia. Kemajuan ekonomi dan industri moderen mempromosikan pola hidup konsumtif yang meninggalkan dampak limbah. Kesalahan konseptual terjadi karena ekonomi dianggap sebagai segalanya, bukan sebagai bagian dari kehidupan yang kaya. Eksploitasi sumber daya ekonomi secara berlebihan mengakibatkan kerusakan lingkungan dan menciptakan pola perilaku rakus yang tidak peduli terhadap kelestarian alam. Penebangan hutan intensif, meskipun meningkatkan produksi, seringkali mengabaikan keberlanjutan ekosistem. Penggunaan sumber daya alam yang berlebihan dapat menyebabkan erosi, lahan kritis, penipisan sumber daya alam, dan punahnya keanekaragaman hayati. Pertumbuhan penduduk yang cepat juga menempatkan tekanan besar pada ekosistem dan merusak keseimbangan ekosistem secara keseluruhan.
E. Pembangunan Berkelanjutan: Prinsip Etika Pembangunan
Istilah "pembangunan berkelanjutan" resmi diakui pertama kali dalam Undang- Undang Nomor 23 tahun 1997 (LN 1997 no. 68, TLN 3699). Sebaliknya, istilah
"berwawasan lingkungan" pertama kali muncul dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 (LN 1982 No. 12, TLN 3215). Kedua undang-undang tersebut berfokus pada Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU terakhir, yaitu UU No. 4 Tahun 1982, dicabut oleh UU No. 23 Tahun 1997. Dalam UU tersebut, istilah yang digunakan lebih lengkap, yaitu "pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup," sementara UU tahun 1982 hanya menyebut "pembangunan berwawasan lingkungan." Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup hanya menyebut "pembangunan berkelanjutan." Dari pemakaian istilah tersebut, dapat disimpulkan bahwa pemikiran pembangunan dalam konteks lingkungan hidup telah berkembang menuju konsep yang lebih mendasar, yaitu pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang secara inheren mencakup prinsip wawasan lingkungan hidup.
Tugas Etika Profesi 2023
Pentingnya aspek lingkungan hidup dalam pembangunan berkelanjutan lebih lanjut diatur dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2009, yang menjelaskan bahwa pembangunan berwawasan lingkungan yang berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana untuk menggabungkan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan guna menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan mendatang. Hal ini sejalan dengan ketetapan negara mengenai Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang mempersingkat kedua kata tersebut menjadi "pembangunan berkelanjutan." Konstitusi Indonesia, UUD 1945, secara tegas menjamin hak setiap individu untuk hidup sejahtera dan memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat, diakui sebagai hak asasi manusia.
Dalam konteks hak dan kewajiban, setiap individu berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, namun juga berkewajiban untuk menghormati hak orang lain untuk lingkungan yang serupa. Negara, selain berkewajiban untuk menjamin lingkungan hidup yang baik, juga berhak menuntut individu untuk menghormati hak orang lain dan, jika diperlukan, memaksa mereka untuk tidak merusak lingkungan hidup demi kepentingan bersama. Etika pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan diatur dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 dan melibatkan hak asasi manusia.
Konsep ini menekankan perlunya perencanaan dan pengelolaan sumber daya alam secara bijaksana untuk meningkatkan kualitas hidup saat ini dan masa depan. Lima ikhtiar utama, seperti kerja sama antarsektor dan antargenerasi, menyerasikan kebutuhan dengan sumber daya alam, mengembangkan sumber daya manusia, meningkatkan kesadaran lingkungan, dan mendukung lembaga swadaya masyarakat, diidentifikasi sebagai kunci implementasi etika pembangunan. Dalam melaksanakan etika pembangunan, mekanisme kontrol norma, termasuk peradilan terhadap pelanggaran hukum lingkungan, konstitusional, dan tindakan konkret yang merusak ekosistem, diatur melalui Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009. Hak dan kewajiban individu serta tanggung jawab negara dalam menjaga keseimbangan antara pembangunan industri dan pelestarian lingkungan dijelaskan dalam konteks ini. Konsep etika pembangunan berkelanjutan memberikan dasar bagi pemilihan tindakan yang benar, baik, dan bertanggung jawab dalam pembangunan.
PEMBAHASAN
A. MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate)
Program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFFE) mencerminkan sebuah tonggak sejarah dalam upaya menjaga ketahanan pangan, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga secara global. Inisiatif besar ini, yang berlokasi di Merauke, melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, investor, dan masyarakat adat sebagai pemilik lahan. MIFFE memiliki sejumlah kepentingan yang melibatkan aspek swasembada beras, politik, dan peluang pasar.
Isu-isu terkait pertanian dan ketahanan pangan di Indonesia dan dunia menjadi sorotan penulis dan peneliti, seperti yang diungkapkan oleh Scott (2017), yang menyoroti perkembangan pertanian di daerah dengan sumber daya yang melimpah.
Sejumlah penelitian dan buku, termasuk karya-karya seperti "Food for Beginner" oleh George (2007), "Lumbung Pangan Menata Ulang Kebijakan Pangan" oleh Jamthani (2008), "Ironi Negeri Beras" oleh Khudori (2008), "Feeding Frenzy: the New Politics of Food" oleh McMahon (2017), dan "Food Regimes and Agrarian Questions" oleh
Tugas Etika Profesi 2023
McMichael (2021), semuanya membahas berbagai aspek yang terkait dengan ketahanan pangan di Indonesia dan dunia.
Penelitian khusus mengenai ketahanan pangan dalam konteks program MIFEE telah dilakukan oleh Savitri (2013) dengan judul "Korporasi dan Politik Perampasan Tanah," yang secara rinci mengulas dampak program MIFEE. Santosa (2014) membahas program MIFEE dari sudut pandang kebijakan ekonomi dalam tulisannya yang berjudul "Percepatan Pengembangan Food Estate untuk Meningkatkan Ketahanan dan Kemandirian Pangan Nasional." Tulisan ini mengeksplorasi implementasi program yang dinilai belum optimal dan cenderung lambat, serta mencari solusi alternatif agar MIFEE dapat menjadi catatan sejarah dalam pembangunan pangan Indonesia dan dunia.
Penelitian lainnya, yang dilakukan oleh Ramadayanti (2020), mengkaji program ini dari perspektif hukum dengan judul "Upaya Perlindungan Hak Masyarakat Adat setelah Satu Dasawarsa Program MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) melalui Citizen Law Suit."
B. Kerusakan Lingkungan
Selama satu dekade terakhir, data dari Global Forest Watch mencerminkan bahwa kerusakan hutan alam terparah di Papua terjadi di Kabupaten Merauke. Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Perkebunan dari organisasi lingkungan WALHI Indonesia, menyampaikan temuan ini dalam sebuah diskusi pada hari Sabtu.
Menurut Uli, sekitar 112 ribu hektare hutan di Merauke mengalami kerusakan akibat izin pembukaan lahan sawit, hutan tanam industri (HTI), dan proyek lumbung pangan.
Keseluruhan hutan alam di Papua, seluas 700 ribu hektare, mengalami kerusakan secara keseluruhan. Selain Merauke, kerusakan hutan di wilayah lain di Papua juga disebabkan oleh berbagai izin investasi. Hutan alam di Papua dan Papua Barat, yang menjadi harapan dan fungsi paru-paru bumi dengan luas mencapai 33,7 juta hektare atau setara dengan 81 persen daratan, menjadi target pembukaan untuk kepentingan lahan sawit, HTI, dan proyek lumbung pangan. Siagian menyatakan bahwa luasan tutupan sawit saja di kedua provinsi tersebut telah mencapai 158.821 hektare. Dampaknya adalah kehilangan mata pencaharian dan tempat berburu bagi setidaknya 161.114 masyarakat adat.
Kerusakan hutan juga berdampak pada kepunahan flora dan fauna, serta menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Perubahan iklim ini mencetuskan cuaca ekstrem, seperti banjir dan longsor. Siagian menekankan bahwa ketika lingkungan mengalami kerusakan, hak-hak masyarakat adat terancam, dan membutuhkan kebijakan pemerintah untuk mengembalikan hak-hak tersebut. Siagian menyatakan bahwa negara perlu segera mengembalikan hak-hak masyarakat adat di Papua untuk mengakses hutan adat mereka. Ini dapat dicapai melalui pengesahan Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat menjadi Undang-undang dan penerbitan kebijakan yang melindungi masyarakat dan lingkungan mereka. Pemerintah juga harus melakukan audit lingkungan dan mengevaluasi berbagai izin pembukaan hutan, dengan menghentikan ekspansi izin skala besar demi pertumbuhan dan perkembangan.
Suku Marind di Kampung Zanegi, Distrik Animha, Kabupaten Merauke, telah kehilangan hak dan akses mereka untuk memanfaatkan kekayaan alam dan hasil hutan.
Hutan memiliki makna khusus bagi mereka sebagai dunia kehidupan dan warisan nenek moyang. Keberadaan hutan bukan hanya sebagai sumber pangan, seperti sagu, hewan buruan, dan buah-buahan, tetapi juga memiliki nilai kosmologis dalam pandangan
Tugas Etika Profesi 2023
Malind-Anim, di mana hutan dianggap sebagai 'Ibu' yang memberikan kehidupan dan sebagai tempat untuk berhubungan secara religius dengan Dewa.
Namun, dengan cara yang terstruktur dan didukung oleh landasan hukum, Pemerintah dan investor secara paksa merampas hak-hak masyarakat atas tanah dan hutan mereka. Perusahaan menggunakan berbagai metode manipulasi, intimidasi, dan praktik finansial untuk merebut lahan milik masyarakat. Dusun Sagu, yang memiliki sejarah penting, juga terdampak proyek ini, menyebabkan kesulitan dalam mencari sumber daya alam, seperti hewan buruan, tempat penangkapan ikan, dan air bersih.
Kerusakan ekosistem hutan berdampak pada asupan makanan dan dapat mengakibatkan gizi buruk. Ganti rugi yang diberikan tidak mampu mengembalikan kehidupan suku Malin seperti semula.
Proyek perkebunan, seperti Program MIFEE, selalu melibatkan perusahaan besar atau investor sebagai faktor kunci dalam ekonomi politik perkebunan di Indonesia.
Keterlibatan perusahaan atau investor didorong oleh potensi keuntungan besar. Namun, dampaknya terhadap masyarakat adat dan lingkungan sangat merugikan. Ancaman terhadap ekosistem hutan semakin nyata dengan adanya Permen LHK Nomor 24 Tahun 2020, yang melegalkan penyediaan lahan untuk proyek Food Estate, bahkan di kawasan hutan lindung dan produksi. Hal ini menciptakan risiko deforestasi yang besar dan mengancam kerusakan luas hutan alam. Jika Program MIFEE dilanjutkan, bukan hanya ekosistem hutan yang akan rusak, tetapi juga menjadi ancaman bagi semua.
Pertumbuhan ekonomi yang didorong semata-mata oleh semangat kapitalisme dapat menjadi faktor utama ekosida, mengabaikan hubungan sosial dan dampak ekologis.
Papua Barat, dengan sejarah kolonisasi dan genosida yang panjang, menghadapi risiko serius dari proyek-proyek besar seperti Program MIFEE, yang dapat dianggap sebagai bentuk recolonization yang merugikan masyarakat adat dan lingkungan Papua Barat.
C. Meningkatkan Kerawanan Bencana Ekologis
Potensi bencana ekologis semakin meningkat akibat proyek food estate yang mengubah bentang alam, tutupan tanah, dan tata guna lahan secara luas. Kerusakan ekosistem yang berskala luas ini dapat mempercepat penurunan fungsi dan kemampuan lingkungan hidup, merusak kesuburan tanah, dan ketersediaan air. PBR memproyeksikan seluas 728.871 ha berpotensi rawan banjir sangat tinggi, 385.691 ha berpotensi rawan kebakaran hutan dan lahan sangat tinggi, 159.586 ha berpotensi rawan kekeringan sangat tinggi, dan 1.274.148 ha berpotensi rawanan bencana sedang serta rendah. Pengabaian atas kemampuan daya dukung, daya tampung lingkungan dan sosial dapat berdampak pada peningkatan bencana ekologi dalam jangka panjang, seperti kepunahan, banjir, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, pencemaran lingkungan, permasalahan kesejahteraan sosial dan ekonomi, dan sebagainya (Tim Betahita, 2021).
Tugas Etika Profesi 2023
D. Kegagalan MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate)
Program ketahanan pangan di Indonesia telah berjalan sejak masa penjajahan Belanda. Pada periode tersebut, Pemerintah Belanda membentuk lembaga pangan Stichting Het Voedingsmidlenfonds (VMF) pada akhir bulan April 1939 sebagai respons terhadap permasalahan kritis terkait beras yang membutuhkan regulasi khusus dari pemerintah. Seiring berjalannya waktu, khususnya pada masa kemerdekaan sekitar akhir 1957, kenaikan harga beras yang drastis berdampak negatif pada pendapatan riil kelompok dengan pendapatan tetap. Pemerintah mengambil kebijakan distribusi fisik beras untuk memastikan pasokan pangan militer dan pegawai sipil, termasuk mendorong golongan pribumi untuk membayar sebagian dari gaji mereka dalam bentuk beras guna mempertahankan pendapatan riil rakyat. Pada masa Orde Baru, Indonesia berhasil mencapai swasembada beras pada tahun 1984 tanpa impor, bahkan mengalami surplus produksi dalam beberapa tahun berikutnya. Namun, kelebihan produksi tersebut menimbulkan masalah karena beras tidak dapat diekspor akibat harganya yang lebih tinggi dari harga dunia dan kualitasnya yang tidak memenuhi standar internasional.
Selama periode ini, terdapat juga Mega Rice Project, sebuah proyek lahan gambut satu juta hektare dengan tujuan menghasilkan sumber daya pangan. Namun, proyek ini hanya berhasil melakukan satu kali panen padi, sementara sisanya, yaitu 1,4 juta hektare, beralih ke perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI).
Dalam konteks program-program yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, Harris (2014) mencatat bahwa manusia masih dalam tahap perkembangan yang rapuh dan belum matang dalam mencapai kebahagiaan. Terlepas dari kemajuan sains dan ekonomi, upaya manusia untuk mencapai kebahagiaan justru seringkali mengakibatkan ketidakpuasan. Harari (2014) mengaitkan hal ini dengan kebangkitan kapitalisme, yang dianggapnya sebagai kekuatan pendorong di balik kemajuan sains dan ekspansi imperialis. Graeber (2011) menyatakan keprihatinannya terhadap semangat kapitalisme yang mendorong produksi global dengan biaya sekecil mungkin, memicu pertumbuhan utang yang merugikan kehidupan sosial dan ekologi. Kehormatan manusia, yang semula setara, terus tergerus oleh sistem utang dan uang, menyebabkan manusia menjadi objek perdagangan yang dapat mengorbankan harga dirinya di tangan
sesama manusia (Wahyudin & Harjanto , 2023).
Gambar 1. Kerusakan Hutan di Merauke
Tugas Etika Profesi 2023
SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa prinsip sustainable development merupakan prinsip yang sangat penting sebagai etika pembangunan. Hal ini dikarenakan dua hal yaitu pertama, prinsip sustainable development menjadi dasar pembentukan hukum lingkungan. Dengan terbentuknya hukum lingkungan maka hukum mempunyai peran dan fungsi untuk menjaga proses- proses pembangunan agar sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. kedua, prinsip sustainable development sebagai pembentuk prinsip etika lingkungan menjadi acuan untuk memilah dan memilih terhadap tindakan atau perbuatan yang baik atau buruk, benar dan salah, dan bisa dipertanggungjawabkan. Kedua hal tersebut tidak lain untuk menciptakan perhatian terhadap hak-hak lingkungan dan menciptakan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) dalam rangka mencapai kesejahteraan yang merata dan berkeadilan tanpa mereduksi dan mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk mencapai dan menikmati kesejahteraannya. Adapun kualitas lingkungan dipengaruhi oleh etika lingkungan yang dimiliki masing-masing individu, kualitas lingkungan akan terjaga jika manusia menempatkan dirinya sebagai bagian dari planet bumi dan pembangunan tidak bisa dipisahkan dari lingkungan.
Tugas Etika Profesi 2023
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, J. (2010). Green Constitution: Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. .Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Barber, Paul dan Rosa Moiwend. 2011. Comprehending West Papua’ dalam Internet Activism and the MIFEE Project, University of Sydney.
Bertenz, K. ( 2007). etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Chao, Sophie. 2018. “In the Shadow of the Palm: Dispersed Ontologies among Marind, West Papua,” Cultural Anthropology 33, no. 4 (2018): 625.
Huda, C. (1997). Etika Bisnis Islam. Jakarta: Majalah Ulumul Qur’a.
Kant, I. (1991). The Metaphysics of Morals. New York: Cambridge University Press.
Lutfi, A. (2018). Etika Jawa: Sebuah Tawaran Paradigma Pluralitas Untuk Nusantara.
Ponorogo: IKAS Publishing.
McDonnell, John E. 2021. “The Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE):
An Ecologically Induced Genocide of the Malind Anim”. Journal of Genocide Research. Volume 21, 2021 halaman 275-278.
Siahaan, N. ( 2008). Hukum Lingkungan. Jakarta: Pancuran Alam.
Soemartono, R. G. (2004). Hukum lingkungan Indonesia. Jakarta: (akarta Sinar Grafika Offset.
Suseno, F. M. (1984). Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Orang Jawa. Jakarta: PT Gramedia.
Tim Betahita. (2021, Desember 13). Papua: Merauke Alami Kehancuran Hutan Alam Paling Dahsyat. Retrieved from Betahita:
https://betahita.id/news/lipsus/6904/Papua-merauke-alami-kehancuran-hutan- paling-dasyat.html?v=163972192
Wahyudin , A., & Harjanto , T. D. (2023, 12 15). KRITIK MEDIA TERHADAP PROGRAM MERAUKE INTEGRATED FOOD AND ENERGY ESTATE (MIFEE). Yogyakarta, Jawa Tengah, Indonesia.
Wikepedia. (2023, 12 15). Etika. Retrieved from Wikepedia:
http://id.m.wikipedia.org/wiki/etika
Tugas Etika Profesi 2023