KAUMAN MUKTISARI JEMBER SKRIPSI
Oleh:
RAHMATULLAH NIM: 084101023
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) JEMBER FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
MEI, 2017
viii Jember.
Setiap para pengajar (ustadz dan ustadzah) dalam sebuah pendidikan adalah sebagai pembina santri-santrinya menggunakan pembelajaran mengenai kecerdasan spiritual terhadap akhlak santri yang ada di dalam pondok pesantren.
Cara pengajar saat membina akhlak santri-santrinya yaitu dengan memperdalam nilai-nilai kecerdasan spiritual yang berupa kejujuran, kemandirian, dan amanah dengan dikaitkan kepada akhglak santri kepada Allah, manusia dan alam sekitarnya. Karena, hasil dari apa yang diajarkan oleh para pengajar tergantung dari bagaimana cara yang memperdalam ilmu yang telah didapat oleh para santri yang berada di dalam pondok pesantren.
Fokus penelitian dalam skripsi ini yaitu: a) Bagaimana internalisasi nilai- nilai kecerdasan spiritual dalam membina akhlak santri kepada Allah di pondok pesantren Al-Azhar Kauman Muktisari Jember? b) Bagaimana internalisasi nilai- nilai kecerdasan spiritual dalam membina akhlak santri kepada manusia di pondok pesantren Al-Azhar Kauman Muktisari Jember? c) Bagaimana internalisasi nilai- nilai kecerdasan spiritual dalam membina akhlak santri kepada alam di pondok pesantren Al-Azhar Kauman Muktisari Jember.
Tujuan penelitian dalam skripsi ini yaitu: a) Untuk mendeskripsikan internalisasi nilai-nilai kecerdasan spiritual dalam membina akhlak santri kepada Allah di pondok pesantren Al-Azhar Kauman Muktisari Jember. b) Untuk mendeskripsikan internalisasi nilai-nilai kecerdasan spiritual dalam membina akhlak santri kepada manusia di pondok pesantren Al-Azhar Kauman Muktisari Jember. c) Untuk mendeskripsikan internalisasi nilai-nilai kecerdasan spiritual dalam membina akhlak santri kepada alam di pondok pesantren Al-Azhar Kauman Muktisari Jember.
Adapun metodologi penelitian skripsi ini yaitu pendekatan kualitatif deskriptif. Penentuan subyek penelitian menggunakan teknik purposive sampling (sampel bertujuan). Sedangkan metode pengumpulan data menggunakan teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi. Adapun pengecekan keabsahan data dalam penelitian ini yaitu triangulasi sumber.
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, dapat disimpulkan bahwa menginternalisasikan nilai-nilai kecerdasan spiritual dalam proses membina akhlak santri. Internalisasi nilai-nilai kecerdasan spiritual dalam membina akhlak santri disebut sebagai keterampilan yang semua santri tidak dapat melakukannya.
Nilai-nilai kecerdasan spiritual dalam membina akhlak santri yaitu kejujuran, kemandirian, dan amanah. Dan pembinaan akhlak santri meliputi tiga sub variabel yaitu akhlak kepada Allah, akhlak kepada Manusia, akhlak kepada Alam.
Akhlak santri kepada Allah adalah manusia harus taqwa, taat, dzikir, berdo’a, ikhlas, cinta dan ridha, tawakkal, syukur dan taubat. Akhlak terhadap manusia harus melalui tingkah laku terhadap dirinya sendiri, keluarga dan masyarakat yang pernah manusia itu mengadaptasi lingkungannya. Dan akhlak kepada alam yaitu harus menjaga lingkungan dan menghindari pekerjaan yang dapat merusak lingkungan, misalnya.
ix
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iii
MOTTO ... iv
PERSEMBAHAN ... v
KATA PENGANTAR ... vi
ABSTRAK ... viii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xi
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Fokus Penelitian ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian... 7
E. Definisi Istilah ... 8
F. Sistematika Pembahasan ... 10
BAB II. KAJIAN KEPUSTAKAAN A. Penelitian Terdahulu ... 12
B. Kajian Teori ... 14
1. Nilai-nilai kecerdasan spiritual ... 14
A. Kejujuran ... 16
B. Kemandirian ... 17
C. Amanah ... 18
2. Akhlak santri ... 20
x BAB III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 56
B. Lokasi Penelitian ... 57
C. Subyek Penelitian ... 58
D. Teknik Pengumpulan Data ... 58
E. Analisis Data ... 61
F. Keabsahan Data ... 61
G. Tahap-Tahap Penelitian ... 62
BAB IV. PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS A. Gambaran Obyek Penelitian ... 64
B. Penyajian Data dan Analisis ... 70
C. Pembahasan Temuan ... 78
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 82
B. Saran-saran ... 85
DAFTAR PUSTAKA ... 87 LAMPIRAN-LAMPIRAN
xi
Tabel 2 ... 68
Tabel 3 ... 69
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan ikhtiar seseorang dalam hidupnya. Untuk mengembalikan fungsi pendidikan sebagai alat pembebasan manusia dari berbagai bentuk penindasan dan ketertindasan yang dialami oleh masyarakat baik dari soal kebodohan sampai ketertinggalan. Dalam sebuah pendidikan yang harus dikembangkan yaitu pendidikan akhlak. Yang dimaksud pendidikan akhlak adalah menanamkan sejak dini nilai-nilai keagamaan yang terpuji ke dalam jiwa peserta didik yang terefleksikan dalam perilaku, sikap dan pemikiran dalam kehidupan sehari-hari. Jika hal ini dihubungkan dengan kecerdasan yang harus dikembangkan dalam diri peserta didik, maka kecerdasan spiritual inilah yang harus diperhatikan.1
Allah SWT telah berfirman, bahwa sesungguhnya para utusan-Nya telah diperintahkan untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik dan mulia. Dengan kata lain yakni moralitas (berakhlak), sebagaimana sabda Rasulullah yang berbunyi sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak. Beliau mendidik bangsa Arab Jahiliyah yang tidak beradab menjadi manusia-manusia luhur yang berbudi pekerti yang baik serta mendidik umat manusia dengan pendidikan moral dengan mencontoh beliau.
1 Hamdan Nugroho, Buku Pedoman Baitul Arqam, (Yogyakarta: Majelis pendidikan kader pimpinan, 2008), 1.
Oleh karena itu, untuk mencapai hasil pendidikan secara maksimal, terutama dalam menginternalisasikan nilai-nilai kecerdasan spiritual kedalam jiwa santri demi tercapainya tujuan pendidikan yaitu memanusiakan manusia, sebagaimana yang dikatakan oleh Faulo Freire yang dikutip oleh Moh.
Shofan. Untuk bisa memanusiakan manusia atau untuk bisa menghargai dan menghormati orang lain diperlukan penanaman atau internalisasi nilai-nilai, terutama nilai-nilai kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient), karena menginternalisasikan nilai-nilai kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient) sangat berpengaruh dalam peningkatan akhlak (etika) seorang santri.
Kecerdasan spiritual sangat di butuhkan pada masa sekarang ini, dimana kecerdasan spiritual ini akan menjadi kontrol bagi perilaku-perilaku yang menyimpang dari ajaran-ajaran agama. Kecerdasan spiritual ini perlu dimiliki oleh setiap orang baik itu anak-anak, remaja bahkan orang dewasa.
Tanda-tanda dari spiritual quetion yang telah berkembang adalah kemampuan bersikap fleksibel (adaptif secara spontan dan aktif), tingkat kesadaran diri yang tinggi, kemampuan untuk menghadapi dan memanfatkan penderitaan, serta kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit. Tanda-tanda lainnya adalah kualitas hidup yang di ilhami oleh visi dan nilai-nilai, serta keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu.2
Ajaran pokok dalam islam adalah akhlak, karena akhlak mencakup semuanya baik akhlak kepada Allah, manusia, dan alam.dalam mengembangkan akhlak tersebut bisa dalam wadah pesantren yang memang
2 Sarlito W. Sarwono, Pengantar Psikologi Umum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), 54.
fokus pendidikannya pada ranah keagamaan. Dalam hal tersebut tentunya tidak terlepas dari sosok seorang pemimpin atau kiai yang bertanggung jawab terhadap pesantren tersebut dan seluruh santri meskipun ada beberapa pihak yang mempengaruhi, akan tetapi kiai merupakan tokoh sentral dalam lembaga tersebut. Seorang kiai tentunya lebih ointen dalam membina akhlak santri, karena selama santri berada dalam lingkungan pesantren pasti seorang kiai mengetahui gerak-gerik santriu tersebut. Seorang kiai tidak hanya diakui sebagai guru pengajar pengetahuan agama, tetapi juga dianggap oleh santri sebagai seorang bapak yang luas jangkauan pengaruhnya kepada semua santri.3
Seorang santri merupakan orang yang sedang mendalami keilmuannya, dimana ilmu yang ia pelajari diharapkan akan memberikan ia suatu kecerdasan spiritual. Dengan kecerdasan spiritual yang dimiliki santri dipandang sebagai orang yang mempunyai kepribadian yang baik, hal itu didukung oleh lingkungan pondok pesantren. Di dalam pondok pesantren inilah santri akan terbiasa dengan didikan yang baik, seperti halnya kedisiplinan, kerajinan, kesopanan, keramahan dan masih banyak sifat baik yang lainnya.
Sejalan dengan perkembangan globalisasi sekarang ini, sangat penting sekali menanamkan pendidikan akhlak menuju integralisasi nilai-nilai religius dengan mengupayakan internalisasi nilai-nilai kecerdasan spiritual. Dengan demikian pendidikan akhlak yang diberikan pada para santri yang mendiami pondok pesantren Al-Azhar Kauman Muktisari Jember dapat diterima,
3 Sukanto, Kepemimpinan Kiai Dalam Pesantren, (Jakarta: Pustaka, LP3ES, 1999), 77.
dilaksanakan dan masuk ke dalam jiwanya atau terinternalisasi sehingga dapat mewarnai kepribadiannya, serta perilaku kehidupannya pun akan senantiasa selaras dengan pengetahuan agama yang ia miliki. Pelaksanaan internalisasi nilai-nilai kecerdasan spoiritual di pondok pesantren Al-Azhar Kauman Muktisari Jember terlihat dalam penyampaian materi kepada para santrinya, dimana pengajar atau narasumber memasukkan atau mengkaitkan nilai-nilai religi yang terdapat pada ayat-ayat Al-Qur’an dengan pendidikan akhlak.
Pendidikan akhlak di pondok pesantren Al-Azhar Kauman Muktisari Jember selalu berusaha untuk berdasarkan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dan konsekuen dengannya. Hasil penanaman akhlak mulai terlihat pada santri- santri. Karena merekalah santri-santri yang diwajibkan mengikuti program yang ada di pondok pesantren. Suatu hal yang membuat ketertarikan penulis terhadap program pondok pesantren sebagai tempat penelitian adalah ditanamkannya nilai-nilai kecerdasan spiritual yang berupa tawadhu’, ta’dzim kepada guru, birrul walidain, hormat kepada yang paling senior, kedisiplinan dalam ibadah khusus dan menghormati serta menghargai orang lain.4
Dalam kegiatan di pondok pesantren Al-Azhar Kauman Muktisari Jember ini, santri-santri tidak hanya dituntut untuk mempelajarinya saja tetapi juga mempraktekkan apa yang telah didapatkan dari proses pembelajaran di pondok pesantren selama berdiam di pondok dalam kehidupan sehari-hari.
Karena dalam pelaksanaan pondok pesantren terlihat dari kegiatan mahasiswa yang selalu diwajibkan sholat wajib secara berjama’ah, shalat sunnah, shalat
4 KH. Abdul Hamid Hasbullah, Wawancara, 10 April 2017.
sunnah qiyamul lail, tausiyah, praktek kultum dan tadarus. Kegiatan sehari- hari atau kebiasaan yang dilakukan di pondok pesantren diharapkan akan menjadi kebiasaan mereka di luar atau setelah kegiatan ini berakhir.
Dalam kegiatan ini para santri dilatih untuk bisa beradaptasi dengan orang lain, karena pada dasarnya mereka akan bersosialisasi dengan masyarakat dan lingkungan sekitar yang ada di dalam pondok pesantren tersebut. Yang lain dari pada itu, semangat belajar perlu dimiliki oleh seorang santri, agar apa yang menjadi tujuan ia masuk dalam pondok pesantren, yaitu memiliki ilmu yang nantinya dapat diaplikasikan, baik untuk diri sendiri maupun untuk masyarakat dapat terwujud. Akan tetapi hal itu nampaknya belum dapat kita jumpai sepenuhnya pada santri, karena kebanyakan dari mereka terlihat memiliki semangat belajar yang rendah. Sangat jarang dari mereka yang mengulang kembali pelajaran yang telah diajarkan, mereka membuka kitab hanya ketika mengikuti pembelajaran. Akan tetapi ada juga dari mereka yang memiliki semangat belajar yang tinggi dan berprestasi dalam berbagai perlombaan Qiroatul kutub.5
Seorang santri juga dipandang sebagai seorang yang jauh dari perilaku- perilaku yang menyimpang, yang biasa terjadi pada remaja-remaja masa kini seperti, pergaulan bebas, mengkonsumsi obat-obatan terlarang, minum- minuman keras dan yang lainnya. Namun apakah sepenuhnya itu benar, rupanya tidak sepenuhnya, karena masih banyak santri melakukan tindakan- tindakan yang menyimpang dari ajaran-ajaran agama, hal itu akan menjadi
5 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, (Bandung: Alfabeta, 2005), 206-207.
masalah yang cukup serius, karena masa depan bangsa diharapkan akan lebih baik dengan adanya generasi-generasi yang memiliki kecerdasan spiritual.
Berpijak dari uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk melalukan penelitian yang berjudul “Internalisasi Nilai-Nilai Kecerdasan Spiritual Dalam Membina Akhlak Santri Di Pondok Pesantren Al-Azhar Kauman Muktisari Jember”.
B. Fokus Penelitian
a) Bagaimana internalisasi nilai-nilai kecerdasan spiritual dalam membina akhlak santri kepada Allah di pondok pesantren Al-Azhar Kauman Muktisari Jember?
b) Bagaimana internalisasi nilai-nilai kecerdasan spiritual dalam membina akhlak santri kepada manusia di pondok pesantren Al-Azhar Kauman Muktisari Jember?
c) Bagaimana internalisasi nilai-nilai kecerdasan spiritual dalam membina akhlak santri kepada alam di pondok pesantren Al-Azhar Kauman Muktisari Jember.
C. Tujuan Penelitian
a) Untuk mendeskripsikan internalisasi nilai-nilai kecerdasan spiritual dalam membina akhlak santri kepada Allah di pondok pesantren Al-Azhar Kauman Muktisari Jember.
b) Untuk mendeskripsikan internalisasi nilai-nilai kecerdasan spiritual dalam membina akhlak santri kepada manusia di pondok pesantren Al-Azhar Kauman Muktisari Jember.
c) Untuk mendeskripsikan internalisasi nilai-nilai kecerdasan spiritual dalam membina akhlak santri kepada alam di pondok pesantren Al-Azhar Kauman Muktisari Jember.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dalam penelitian ini berisi tentang kontribusi apa yang akan diberikan setelah selesai melaksanakan penelitian. Kegunaan dapat bersifat teoritis dan praktis, seperti kegunaan bagi penulis, instansi dan masyarakat secara keseluruhan.6
1. Secara Teoritis
Hasil Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan wacana, dan sebagai pedoman bagi para orang tua untuk membina akhlak santri dan untuk mendalami nilai-nilai kecerdasan spiritual terhadap santri, baik dalam lingkungan pondok pesantren maupun dalam lingkungan masyarakat nantinya.
2. Secara Praktis
Hasil dari penelitian ini dapat digunakan untuk rujukan sebagai berikut:
6 Tim Penyusun IAIN Jember, Pedoman Penulisan Karya Tulis Ilmiah, (Jember: IAIN Jember Press, 2017), 45.
a) Dapat disajikan pelengkap bagi penelitian yang lebih luas dalam rangka menambah atau memperdalam khazanah tentang internalisasi nilai-nilai kecerdasan spiritual dalam membina akhlak santri di pondok pesantren.
b) Dapat dijadikan sebagai bahan rujukan bagi para mahasiswa atau masyarakat umum lainnya yang berkaitan dengan kecerdasan spiritual para santri di pondok pesantren.
c) Penelitian ini diharapkan dapat menambah kepustakaan yang berupa hasil penelitian dengan harapan dapat disajikan sebagai acuan karya tulis ilmiah yang akan datang.
E. Definisi Istilah a. Internalisasi
Internalisasi adalah pendalaman, penghayatan terhadap suatu ajaran, doktrin atau nilai sehingga merupakan keyakinan dan kesadaran akan kebenaran doktrin atau nilai yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku.7
b. Nilai
Nilai adalah sifat-sifat, hal-hal yang berguna penting bagi kemanusiaan, kemudian menurut Soekanto, nilai adalah sesuatu yang dapat dijadikan sasaran untuk mencapai tujuan yang menjadi sifat keseluruhan tatanan yang terdiri dari dua atau lebih dari komponen yang satu sama lain saling mempengaruhi atau bekerja dalam satu kesatuan atau keterpaduan yang bulat dan berorientasi kepada nilai dan moralitas islami.
7 A Partanto. Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), 267.
c. Kecerdasan Spiritual
Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan rohani.8 Chaplin berpendapat bahwa kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk mengaktualisasikan nilai-nilai ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah menuju manusia seutuhnya dan memiliki pola pemikiran tauhid serta berprinsip hanya karena Allah.9
d. Membina
Membina adalah mengusahakan supaya lebih baik. Membina merupakan suatu tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara efektif dan efisien. Pembinaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tindakan dan kegiatan para pengajar pondok pesantren dalam menuntun dan menanamkan kecerdasan spiritual kepada santri-santrinya seperti ibadah dan taqwanya, serta dari segi amanahnya.
e. Akhlak
Akhlak artinya tabi’at, budi pekerti, kebiasaan atau adat, keperwiraan, kesatriaan, kejantanan, agama, dan kemarahan. Akhlak difokuskan dalam substansinya adalah sifat yang telah terpatri dan melekat dalam jiwa seorang manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan secara spontan dan mudah tanpa dipaksa atau dibuat-buat.10
8 Pius A Partanto, M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya, Arkola, 2001), 247.
9 Chaplin, KamusLengkap Psikologi, (Jakarta: Rajawali, 1989), 480.
10 Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak Tasawuf, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2012), 4.
Akhlak adalah sifat-sifat yang dibawa manusia sejak lahir yang tertanam dalam jiwanya dan selalu ada pada jiwanya.11
f. Santri
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), santri adalah orang yang mendalami agama islam atau orang yang beribadah dengan sungguh.
Penggunaan istilah santri ditujukan kepada orang yang sedang menuntut pengetahuan agama di pondok pesantren.12
g. Pondok pesantren
Pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan islam, yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman, dipimpin oleh kiai sebagai pemilik pesantren dan dibantu oleh ustadz atau guru yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman kepada santri.13
Kecerdasan Spritual (SQ) adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan, SQ merupakan kecerdasan tertinggi bagi anak khususnya santri. Dan akhlak santri merupakan hal penting dalam tumbuh kembang anak. Sejumlah faktor yang berasal dari keluarga dapat mempengaruhi perkembangan dan perilakunya dalam kehidupan. Proses pembinaan akhlak santri bertempat di pondok pesantren.
F. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah pemahaman dan klarifikasi penulisan, peneliti membagi pembahasan bab, dan setiap bab dibagi menjadi beberapa sub bab, berikut uraiannya:
11 Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2002), 1.
12 Sukanto, Kepemimpinan Kiai Dalam Pesantren, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1999), 97.
13 A. Halim, dkk. Manajemen Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka pesantren, 2005), 247.
a. BAB I merupakan bagian pendahuluan yang membahas tentang latar belakang masalah yaitu landasan penulis mengapa tertarik meneliti judul dalam penelitian ini, fokus penelitian beserta tujuannya, manfaat penelitian, definisi istilah, dan sistematika pembahasan.
b. BAB II berisi tentang kajian kepustakaan yang meliputi penelitian terdahulu, kajian teori mengenai kecerdasan spiritual yang terbagi menjadi ibadajh dan taqwa serta relasi vertikal. Sekaligus mengenai akhlak yang berhubungan dengan Allah, manusia dan alam.
c. BAB III membahas tentang metode penelitian yang meliputi pendekatan dan jenis penelitian, lokasi penelitian, subyek penelitian, teknik pengumpulan data, analisis data, keabsahan data, dan tahap-tahap penelitian.
d. BAB IV berisi tentang : a. Gambaran obyek penelitian, mulai sejarah singkat pondok pesantren, profil pondok, letak geografis, kondisi lingkungan, kegiatan yang berlangsung, data pengasuh pondok pesantren dan para asatidz-asatidzah, data santri, keadaan sarana dan prasarana, struktur organisasi, b. Penyajian data dan analisis, antara pokok masalah dan sub pokok masalah, sekaligus pembahasan temuannya.
e. BAB V merupakan bab yang terakhir yang berisikan kesimpulan proposal ini, baik kesimpulan umum ataupun khusus dan berisikan saran-saran dari peneliti.
A. Penelitian Terdahulu
Berdasarkan tinjauan terhadap hasil penelitian terdahulu ada beberapa hasil penelitian yang penulis anggap mempunyai relevansi dengan penelitian yang penulis lakukan.
Imroatus Sholiha, 2014, Pengaruh Pembelajaran Kitab Bidayatul Hidayah Terhadap Pembinaan Akhlak Santri Di Pondok Pesantren Islam Ash- Shiddiqi Putri Jalan KH Shiddiq 82 Jember. Penelitian tersebut dilakukan karena ingin mengetahui apakah ada pengaruh dari hasil mengaji kitab bidayatul hidayah terhadap akhlak santri, dan tentunya akhlak kepada Allah, manusia, dan alam. Persamaan [penelitian ini adalah sama-sama meneliti tentang akhlak, sedangkan perbedaannya adalah penelitian yang dilakukan oleh Imroatus Soliha adalah penelitian kuantitatif sedangkan yang peneliti lakukan adalah peneloitian kualitatif. Selain itu penelitian tersebut fokus pada satu kitab yaitu bidayatul hidayah dan hanya fokus pada adab kuasa, sedangkan yang peneliti lakukan sifatnya umum tidak focus pada satu kitab saja. Juga mempunyai perbadaan dari peneliti yakni mendalami nilai-nilai kecerdasan spiritual dalam membina akhlak santri di pondok pesantren.
Terdapat juga penelitian lain yaitu Miswati, 2015, Pendidikan ta’limul mut’allim dalam meningkatkan akhlak santri di pondok pesantren Miftahul Ulum Suren Ledokombo Jember. Karya ini membahas tentang peningkatan
akhlak baik kepada Allah, manusia, dan alam. Yang juga menggunakan metode penelitian kualitatif. Pengumpulan data dengan observasi, interview, dan dokumentasi. Sedangkan analisis data menggunakan reduksi data, display data, dan verifikasi. Yang dala hasil penelitiannya memberikan kepastian bahwa dengan melalui pendidikan kitab ta’lim muta’allim sikap dan akhlak santri menunjukkan akan kebaikan tingkat akhlaknya dalam kehidupan sehari- hari.
Mashuri, (STAIN Jember, 2009) Peranan Guru Pendidikan Agama Islam dalam Pembinaan Sikap Keagamaan Siswa di Madrasah Tsanawiyah Negeri Jember III Tanggul tahun pelajaran 2012-2013. Metode penelitian menggunakan pendekatan penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa peranan guru pendidikan agama islam dalam pembinaan sikap keagamaan siswa harus diawali dari proses kegiatan pembelajaran dalam kelas dengan menggunakan berbagai metode pembelajaran yang mudah dipahami dan dihayati oleh peserta didik. Dan di luar kelas, dengan sikap yang diperankan langsung para guru dengan sikap keagamaannya agar peserta didik bisa langsung mempraktekkan.
Penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini adalah:
No. Penulis dan Judul Persamaan Perbedaan 1. Imroatus Sholiha, (STAIN
Jember tahun 2014), Pengaruh Pembelajaran Kitab Bidayatul Hidayah Terhadap Pembinaan Akhlak Santri Di Pondok Pesantren Islam Ash- Shiddiqi Putri Jalan K.H.
Terdapat
persamaan dari variabel Y yaitu dalam membina akhlak santri di dalam pondok pesantren.
Metode
penelitian yang digunakan adalah metode penelitian
kuantitatif, sedangkan penulis
Shiddiq 82 Jember. menggunakan metode penelitian kualitatif.
2. Miswati (IAIN Jember tahun 2015), Pendidikan ta’limul
mut’allim dalam
meningkatkan akhlak santri di pondok pesantren Miftahul Ulum Suren Ledokombo Jember.
Mempunyai persamaan dari metode
penelitiannya, yakni sama-sama menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif.
Memakai hanya satu kitab saja untuk.
Sedangkan penulis memakai
beberapa kitab dengan kata lain masih fokus pada banyak
buku atau
refrensi.
3. Mashuri, (STAIN Jember tahun 2009), Peranan Guru Pendidikan Agama Islam dalam Pembinaan Sikap Keagamaan Siswa di Madrasah Tsanawiyah Negeri Jember III Tanggul tahun pelajaran 2012-2013.
Mempunyai persamaan dari metode
penelitiannya, yakni sama-sama menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif.
Memiliki perbedaan dalam membina akhlak. Dimana penulis meneliti seorang santri di dalam pondok pesantren.
Judul Peneliti yaitu: Internalisasi nilai-nilai kecerdasan spiritual dalam membina akhlak santri di pondok pesantren Al-Azhar Kauman Muktisari Jember.
B. Kajian Teori
1. Kecerdasan spiritual
Menurut Ary Ginanjar, kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan melalui langkah -langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju
manusia yang seutuhnya (Hanif), dan memiliki pola pemikiran tauhid (integralistik) serta berprinsip “hanya karena Allah”.14
Sedangkan menurut Toto Tasmara, kecerdasan spiritual adalah kemampuan seseorang untuk mendengarkan hati nuraninya, baik buruk dan rasa moral dalam caranya menempatkan diri dalam pergaulan.15
Dari beberapa pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang sudah ada dalam setiap manusia sejak lahir yang membuat manusia menjalani hidup ini dengan penuh makna, selalu mendengarkan suara hati nuraninya, tak pernah merasa sia-sia, dan semua yang dijalaninya selalu bernialai ibadah.
Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang dapat membantu para santri menyembuhkan dan membangun dirinya secara utuh. Dan sebuah kesadaran yang dengannya setiap santri tidak hanya menjalani nilai-nilai yang ada. Tetapi secara kreatif juga menemukan nilai-nilai baru.
Kecerdasan spiritual seorang santri tidak bergantung tehadap budaya dan nilai. Dan tidak hanya mengikuti nilai-nilai yang ada, tetapi menciptakan kemungkinan untuk memiliki nilai-nilai itu sendiri.16
Terdapat beberapa indikator yang mencerminkan kecerdasan spiritual yang tinggi bagi santri. Antara lain sebagai berikut:
14 Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spuritual, (Jakarta:
Penerbit Arga, 2001), 57.
15 Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah, (Jakarta: Gema Insani, 2001), 23.
16 Danah Zohar dan Ian Marshall, Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dan Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, (Bandung: Mizan Pustaka, 2002), 9.
A. Kejujuran
Kejujuran atau jujur adalah apa yang dikatakan seseorang sesuai dengan hati nuraninya. Apa yang dikatakannya sesuai dengan kenyataan yang ada.17 Sedangkan kenyataan yang ada itulah kenyataan yang benar-benar ada. Jujur juga berarti seseorang bersih hatinya dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama dan hokum. Untuk itu dituntut satu kata dan perbuatan, yang berarti bahwa apa yang dikatakan harus sama dengan perbuatannya. Karena itu jujur berarti juga menepati janji atau kesanggupan yang terlampir melalui kata-kata atau perbuatan.
Saat ini sebuah kejujuran menjadi sebuah barang langka, karena kejujuran tidak mudah ditemui dan juga tidak mudah membuat dengan segera karena barang kejujuran melewati proses panjang dan pendidikan, ujian, dan cobaan. Jadi, nilai sebuah kejujuran menjadi barang mahal dan barang keramat. Bila saat ini ada nilai kejujuran maka akan menjadi pujian bagi orang yang mengamalkannya. Begitu sebaliknya sebuah kejujuran menjadi bumerang bagi yang ingin melakukan kebohongan karena dianggap menjadi bencana untuk dirinya, kelompok, maupun lingkungan.
Sikap kejujuran harus dikembangkan sejak dini. Para santri harus dididik untuk jujur dan bertanggung jawab kepada dirinya sendiri. Orang tua juga harus menjadi tauladan bagi anak-anaknya.
17 Ibid., 21.
Begitu juga orang tua tidak boleh menyogok pengasuh pondok pesantren agar anaknya yang bodoh menjadi pintar. Tindakan seperti itu memberikan contoh kepada anak bahwa uang dapat menyelesaikan segalanya. Sebuah tindakan yang sangat tidak terpuji yang dilakukan oleh orang tua, maka ilmunya akan diambil oleh anaknya. Sangat disayangkan bila ilmu yang didapat oleh anak dari orang tua tersebut merupakan buah dari sebuah ketidak jujuran.
B. Kemandirian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mandiri adalah keadaan yang dapat berdiri sendiri, tidak bergantung terhadap orang lain.
Kemandirian berasal dari kata diri, maka pembahasan mengenai kemandirian tidak dapat dilepaskan dari perkembangan diri itu sendiri.
Diri adalah inti dari kepribadian dan merupakan titik pusat yang menyelaraskan dan mengkoordinasikan segala aspek kepribadian.
Kemandirian juga dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana seseorang tidak bergantung kepada otoritas dan tidak membutuhkan arahan secara penuh.
Menurut Yasin Setiawan, kemandirian adalah keadaan seseorang yang dapat menentukan diri sendiri yang mana dapat dinyatakan dalam tindakan atau perilaku seseorang yang dapat dinilai.
Berangkat dari definisi tersebut, maka dapat diambil pengertian
kemandirian adalah keadaan seseorang yang dapat berdiri sendiri, tumbuh, dan berkembang karena disi[plin dan berkomitmen.18
Kemandirian merupakan perilaku yang aktivitasnya diarahkan pada diri sendiri serta tidak mengharapkan pengarahan dari orang lain.
Orang yang mandiri bahkan akan berusaha memecahkan masalah sendiri tanpa meminta bantuan dari orang lain.
Maka dari itu, setiap anak didik harus dibina oleh sang guru agar bangkit menjadi pribadi yang mandiri. Karena anak didik yang mandiri tidak akan terwujud selama ia tidak mempunyai sikap-sikap mandiri dan belajar menjadi pribadi yang mandiri. Pribadi yang mandiri itu sendiri itu memiliki beberapa karakteristik, yaitu sikap mental yang baik, memiliki keberanian, dan menikmati proses.
C. Amanah
Amanah secara bahasa, berarti jujur, dapat dipercaya. Amanah menurut istilah adalah sesuatu yang harus dipelihara dan dijaga agar sampai kepada yang berhak memilikinya, segala sesuatu yang diambil manfaatnya dengan ijin pemiliknya, tidak mengambil sesuatu yang melebihi haknya dan tidak mengurangi hak orang lain. Setiap anak yang telah baligh, memikul beban amanah berupa hakn dan kewajiban.
Orang yang mengingkari amanah berarti mengingkari perintah Allah SWT. Amanah mempunyai akar kata yang sama dengan kata iman dan
18 Ibid., 26.
aman. Jadi, mukmin berarti orang yang beriman, mendatangkan keamanan, juga memberi dan menerima amanah.
Sikap amanah dalam kepribadian anak didik menciptakan harmonisasi hubungan, kesejahteraan dan kemakmuran sebuah lembaga pendidikan, jujur, transparan, tanggung jawab, disiplin, saling percaya, dan berprasangka yang baik.
Rasulullah SAW dikenal sebagai orang yang paling terpercaya dalam menjalankan amanah. Sejak kecil nabi Muhammad SAW dikenal oleh penduduk Mekkah sebagai al-amin (orang yang jujur, dapat dipercaya). Kejujuran dan amanah menjadi kunci sukses nabi Muhammad SAW sebagai direktur pemasaran dalam bisnis Siti Khodijah, figur ditengah masyarakat, sukses sebagai pedagang, suami saudagar kaya, pemimpin umat, dan utusan Allah SWT.19
Rosulullah SAW sendiri menanamkan amanah sejak usia dini.
Abdullah yang masih kecil disuruh ibunya menyampaikan setandan anggur kepada Rosulullah SAW. Tapi di jalan, mungkin karena kehausan, beberapa anggur dimakan oleh Abdullah. Ketika anggur itu diberikan, Rosulullah SAW mengetahui hal itu. Lalu Rosulullah SAW menarik telinga Abdullah sambil mengucapkan kalimat, “hai pengkhianat” sebayak tiga kali.
Jadi, ketika kecerdasan spiritual seorang santri masih banyak yang kurang baik, maka yang pertama kali sering disalah kan adalah
19 Ahmad Amin, Ilmu Akhlak Terj Farid Ma’ruf, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 54.
para guru di lembaga pendidikan tersebut. Dikarenakan santri adalah anak-anak yang berada di bawah naungan para pendidik (guru/pengasuh) dalam pondok pesantren.
2. Akhlak santri
Secara etimologis, kata akhlak dari bahasa arab al-akhlaq yang merupakan bentuk jamak dari kata kholaqo yang berarti budi pekerti, tingkah laku, atau tabi’at.20 Sinonim dari kata akhlak ini adalah etika dan moral. Sedangkan secara terminologis, akhlak berarti keadaan gerak jiwa yang mendorong ke arah melakukan perbuatan dengan tidak menghajatkan pikiran. Inilah pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Maskawayh. Sedang Al-Ghozali mendefinisikan akhlak sebagai suatu sifat yang tetap pada jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak membutuhkan kepada pikiran.21
Dari pengertian di atas jelaslah bahwa kajian akhlak adalah tingkah laku manusia, atau lebih tepatnya nilai dari tingkah lakunya, yang bisa bernilai baik (mulia) atau sebaliknya bernilai buruk (tercela). Yang dinilai di sini adalah tingkah laku manusia dalam berhubungan dengan Allah, yakni dalam ibadah, dalam berhubungan dengan manusia, yakni dalam bermuamalah atau dalam melakukan hubungan dengan sosial antar manusia, dalam berhubungan denganmakhluk hidup yang lain seperti binatang dan tumbuhan, serta dalam berhubungan dengan lingkungan atau benda-benda mati yang juga merupakan makhluk Allah.
20 Hamzah Ya’qub, Etika Islam: Pembinaan Akhlaqul Karimah (Suatu Pengantar), (Bandung: CV Diponegoro. Cet. IV, 1988), 11.
21 Rachmat Djatnika, Sistem Etika Islami (Akhlak Mulia), (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996), 27.
Secara singkat, dalam buku Kuliah Akhlak karya Yunahar Ilyas akhlak dibagi menjadi enam bagian, yaitu:
Akhlak kepada Allah
Akhlak kepada Rosulullah
Akhlak kepada diri sendiri
Akhlak kepada keluarga
Akhlak kepada bermasyarakat
Akhlak kepada bernegara
Namun peneliti memilih dan menambah satu ranah akhlak yang dirasa perlu ditambahkan, yaitu “Akhlak kepada Lingkungan”. Akhlak tersebut ditambahkan karena akhlak tidak hanya kepada manusia saja, kepada alam pun manusia membutuhkan akhlak. Namun diklasifikasikan kembali menjadi 3, yaitu:
A. Akhlak kepada Allah
Akhlak kepada Allah adalah akhlak seorang hamba kepada sang pencipta, yang dibagi menjadi beberapa, yaitu:
1) Taqwa
Kalimat “ittaqullah” (bertaqwalah kepada Allah) jika diterjemahkan secara harfiyah akan menjadi jauhilah Allah atau hindarkanlah dirimu dari Allah. Hali ini tentunya mustahil dapat dilakukan manusia karena siapakah yang dapat menghindar dari- Nya, maka dari itu para ulama’ berpendapat bahwa sesungguhnya terdapat kata yang tersirat antara “hindarilah” dan “Allah”. Kata
yang dimaksud dengan menghindari Allah adalah menghindari siksa/adzab dan hukuman-Nya.22
Definisi taqwa yang paling populer adalah memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Atau lebih ringkasnya mengikuti segala perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.23
Jadi sudah jelas bahwa orang-orang yang melanggar perintah Allah akan mendapatkan siksa atau hukuman dari Allah.
Oleh karena itu Taqwa kepada Allah adalah menjalankan segala yang diperintah oleh Allah dan menjauhi segala sesuatu yang dilarang oleh Allah.
Kualitas ketaqwaan seseorang menentukan tingkat kemuliaannya di sisi Allah. Semakin maksimal taqwanya seseorang maka semakin mulia dia. Sebagaimana firman Allah:
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Al- Hujurat[49]:13).
22 Rosihon Anwar, Akidah Akhlak (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008), 217.
23 Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta: LPPI, 1999), 17.
Ramahurmuzi meriwayatkan dari Abul ‘Aliyah berkata,
“Apabila kami mendatangi seseorang untuk belajar kami melihat sholatnya. Jika sholatnya baik, maka kami mengambil ilmu darinya. Dan jika sholatnya buruk kami meninggalkannya”.24
Muhammad bin Sirin berkata, “Sesungguhnya ilmu ini merupakan agama, maka lihatlah dari siapa kalian mengambil ilmu kalian“. Hamdan bin Zaid juga berkata, “Kami menjenguk Anas bin Sirin ketika beliau sakit”, lalu beliau berkata, “Wahai para pemuda, bertaqwalah kepada Allah SWT. Dan lihatlah dari siapa kalian mengambil hadits-hadits ini. Sebab ia adalah agama kalian”.
Imam Malik berkata, sesungguhnya ilmu adalah darah dagingmu, tentangnya kamu akan ditanya pada hari kiamat. Maka lihatlah dari siapa kalian mengambilnya”. Mujalid juga berkata,
“Agama tidak dipelajari kecuali dari ahli agama”.25
Ketika nukilan-nukilan di atas menyusup ke telinga para santri maka mereka benar-benar akan memilih para pengajar- pengajarnya yang sudah pantas untuk dijadikan sebagai pengajar.
Maka dari itu, para pengajar jangan lupa perdalam ibadah dan taqwa agar semua ilmunya pantas untuk diajarkan kepada santri- santrinya.
24 Muhammad Abdullah Ad-Duwaisy, Menjadi Guru yang Sukses dan Berpengaruh, (Surabaya:
eLBa, 2006), 63.
25 Ibid., 64.
2) Taat
Taat menurut bahasa artinya tunduk, patuh senantiasa menurut kepada peraturan. Sedangkan menurut istilah, taat adalah sikap patuh dan tunduk kepada peraturan Allah SWT dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Taat kepada Allah SWT merupakan bukti keimanan seseorang kepada Allah SWT, sehingga apabila seseorang berbuat baik bukanlah semata-mata segan kepada manusia atau mengharap keuntungan duniawi semata.
Begitu pula jika meninggalkan perbuatan tercela bukan karena takut kepada manusia tetapi semua itu tulus patuh dan tunduk hanya mengharap ridho Allah SWT semata. Dengan demikian, setiap muslim akan terlatih berjiwa ‘ihsan’ suatu jiwa dimana dalam keadaan apapun dan kondisi bagaimana pun selalu merasa diawasi oleh Allah SWT.
Perintah taat kepada Allah dan Rosul-Nya diawali dengan aththi’u (taatilah) namun tidak demikian dengan ulil amri (penguasa), mengapa? Menurut para ulama, ketaatan pada penguasa sedikit banyaknya tergantung kepada Allah dan Rosul- Nya, maka ia wajib untuk ditaati, namun jika penguasa tersebut tidak taat kepada Allah dan Rosul-Nya, maka tidak wajib ditaati.
Dengan kata lain, hendaknya dilihat terlebih dahulu apa dan
bagaimana penguasa tersebut, jika sejalan dengan ketentuan Allah dan Rosul-Nya, maka taatilah.
Jika anda mentaati ketaatan, maka anda harus terlebih dahulu menaati perintah-perintah Allah SWT dan Rosul-Nya.
Tidak ada satu pun perintah-Nya yang boleh diabaikan. Tentu, semua itu terwujud dalam batas kemampuan kita.
Jangankan manusia, bahkan langit dan bumi pun tunduk pada Allah SWT. Hal ini menunjukkan bahwa Allah SWT adalah penguasa alam raya ini, dan manusia adalah khalifah Allah SWT di muka bumi ini, sehingga wajar jika Dia memerintahkan manusia untuk taat. Bukankah manusia telah dibekali panca indera untuk meraih ilmu?
Dalam kehidupan sehari-hari, seorang anak atau santri sekalipun wajib taat kepada kedua orang tuanya. Allah berfirman:
Artinya: “Dan kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepadaKu lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.S. Al-
‘Ankabut[29]:8).
Ketaatan tidak dilakukan dalam hal maksiat meskipun itu diperintahkan oeh orang tua kita sendiri.
3) Dzikir.
Secara etimologi dapat diartikan sebagai aktivitas untuk mengingat Allah SWT. Adapun menurut terminologi fiqh, dzikir sering dimaknai sebagai amal qauliyah melalui bacaan-bacaan tertentu. Pada dasarnya dzikir memiliki cakupan makna yang sangat luas karena setiap amalan baik yang dilakukan karena Allah merupakan bagian dari berdzikir kepada-Nya. Akan tetapi, yang dimaksud berdzikir di sini adalah dzikir dalam lingkup yang lebih dipersempit, yaitu dzikir yang dilakukan dengan mambaca bacaan- bacaan sebagaimana telah diajarkan Rosulullah SAW. 26
Berdzikir kepada Allah SWT merupakan suatu rangka dari rangkaian iman dan islam yang mendapat perhatian khusus dan istimewa dari Al-qur’an dan Sunnah. Dzikrullah merupakan peringkat doa yang paling tinggi, yang di dalamnya tersimpan hikmah serta manfaat yang besar bagi kehidupan dunia dan akhirat.
Di antara berbagai keutamaan dan keistimewaan dzikrullah adalah sebagai berikut:
Dzikir kepada Allah mewujudkan tanda baik sangka kepada Allah SWT.
26 Samsul Munir Amin, Etika Berdzikir Berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, (Jakarta:
AMZAH, 2011), 1.
Dzikir kepada Allah menghasilkan rahmat dan inayah dari Allah SWT.
Dengan dzikir kepada Allah, seseorang akan disebut-sebut Allah SWT di hadapan hamba-hamba pilihan-Nya.
Dzikrullah akan membimbing hati dengan mengingat dan menyebut Allah SWT.
4) Berdoa
Berdoa merupakan sarana yang paling tepat bagi kita untuk mengajukan permohonan kepada Allah SWT yang juga sebagai amal qauliyah yang paling disenangi Allah SWT. Oleh karena itu, Allah berjanji akan mengabulkan doa bagi siapa saja yang memohon kepada-Nya, sesuai dengan tuntunan serta petunjuk dari Allah SWT dan Rosul-Nya. Sebaliknya, Allah SWT teramat benci dan murka terhadap hamba yang enggan untuk memohon kepada- Nya. Karena seorang hamba yang tidak mau berdoa kepada Allah SWT adalah hamba yang tercela dan mencerminkan sikap sombong serta angkuh.
Berdoa selain media untuk mengajukan berbagai permohonan kepada Allah SWT, di dalamnya juga terkandung hikmah dan manfaat yang besar bagi hidup dan kehidupan. Di antara manfaat dan keutamaan berdoa, Rosulullah telah menjelaskan dalam beberapa haditsnya, yaitu sebagai berikut:
Doa adalah otak atau intisari ibadah.
Doa adalah ibadah qauliyah yang paling utama, dan tidak ada ibadah qauliyah yaitu ibadah ucapan yang lebih utama selain daripada berdoa.
Doa akan menghindarkan kita dari murka Allah SWT, sebab Allah SWT akan sangat murka dan membenci orang-orang yang meninggalkan doa.
Doa mampu menolak atau mengubah takdir Allah SWT.
Agar doa dapat berhasil dengan baik, dalam arti dikabulkan Allah SWT dan dapat memetik segala manfaat yang tersimpan di dalamnya, maka dalam berdoa kita benar-benar dituntut untuk memenuhi berbagai persyaratan bagi terkabulnya doa, dan mengikuti tuntunan Allah SWT dan Rosulullah SAW yang berkenaan dengan hal-hal yang harus dilakukan dalam berdoa, dan perkara-perkara yang harus dilakukan dalam berdoa, dan perkara- perkara yang harus dihindari dalam berdoa.
Di antara syarat-syaratnya adalah beriman dan bertaqwa terhadap Allah SWT, tulus dan ikhlas dalam berdoa, bersungguh- sungguh dalam berdoa, dan yakin dan optimis dalam berdoa.27 5) Cinta dan Ridha
Cinta adalah kesadaran diri, perasaan jiwa dan dorongan hati yang menyebabkan seseorang terpaut hatinya kepada apa yang
27 Ibid., 17-18.
dicintainya dengan penuh semangat dan kasih sayang.28 Cinta adalah fitrah manusia, cinta tidak hanya kepada manusia saja, justru cinta yang harus lebih dalam adalah cinta kepada Allah.
Selain cinta, manusia juga harus bersikap ridha dengan segala yang telah ditetapkan oleh Allah, artinya manusia harus menerima dengan hati yang tulus tanpa ada penolakan sedikitpun terhadap apa yang telah ditetapkan Allah, baik itu berupa perintah ataupun larangan. Jika di dalam hati sudah ada ridha maka tidak aka nada rasa berat dalam melaksanakan perintah-perintah Allah.
Demikianlah sikap cinta dan ridha kepada Allah. Dengan cinta kita mengharapka ridha-Nya, dan dengan ridha kita mengharap cinta-Nya.29
6) Ikhlas
Ikhlas (Al-Ikhlash) yaitu sikap menjauhkan diri dari riya’
(menunjuk-nunjukkan terhadap orang lain) ketika mengerjakan amal baik. Maka amalan seseorang dapat dikatakan jernih, bila dikerjakan dengan ikhlas.30
Ikhlas merupakan salah satu berbagai amal hati dan bahkan ikhlas berada dibarisan paling depan dari amal-amal hati. Karena sebab diterimanya amal tidak bisa menjadi sempurna kecuali dengan amal yang ikhlas. Juga merupakan salah satu hal yang bisa
28 Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak (Yogyakarta: LPPI, 1999), 17.
29 Ibid., 28.
30 Mahjuddin, Akhlak Tasawuf 1: Mu’jizat Nabi, Karomah Wali, dan Ma’rifah Sufi, (Jakarta:
Kalam Mulia, 2009), 15.
menyebabkan suatu amalan ibadah kita diterima Allah SWT. Jadi, dalam beramal kita hanya mengharap balasan dari Allah SWT, tidak dari manusia atau makhluk-makhluk yang lain.
Hafidz Ibnu Jamaah menjelaskan akhlak kepada murid- muridnya. Pertama, hendaknya tujuan mendidik dan mengajar santri atau murid adalah mencari keridhoan Allah SWT menyebarkan ilmu, selalu menegakkan kebenaran, memadamkan kebathilan, terjaganya kebaikan bagi umat dengan banyaknya ulama, mendapatkan pahala orang yang mendapatkan ilmunya telah sampai kepadanya.31
Keikhlasan memiliki peranan yang sangat penting dalam islam. Sekali waktu, seseorang memanggil Rosulullah SAW lalu bertanya, “ya Rosulullah, apakah keimanan itu?”. Beliau menjawab, “keikhlasan”. Apabila niat telah lulus dan keikhlasan menyertainya, Allah SWT akan menerima amalan dan memberikan pahala kepada orang yang melakukannya. Dengan demikian, amalan seseorang merupakan wahana bagi keselamatannya di dunia dan akhirat.
Hadits Rosulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. ini dapat menjadi renungan bagaimana niat dapat mempengaruhi keadaan seseorang di akhirat nanti.
31 Muhammad Abdullah Ad-Duweisy, Menjadi Guru yang Sukses dan Berpengaruh, (Surabaya, eLBa, 2006), 63.
Sesorang yang ingin memiliki hubungan yang islami kepada Allah SWT, sehingga menjadi akhlak seseorang sehari-hari, hendaknya selalu menjaga niat dalam setiap perbuatan yang seseorang lakukan. Seseorang tidak mau bertindak sebelum yakin niat seseorang lurus karena Allah SWT. Seseorang yakin bahwa Allah SWT hanya akan menerima amal ikhlas. Seseorang pun tidak akan mencari pujian atau sanjungan dihadapan manusia.32
Ikhlas adalah melakukan sesuatu semata-mata karena Allah, bukan karena hal lain seperti ingin dipuji orang atau karena ingin mendapatkan upah. Ikhlas tidak ditentukan oleh ada tidaknya upah atau imbalan, tetapi ditentuklan karena tiga faktor.33
Niat yang ikhlas (Ikhlash An Niyah)
Beramal dengan sebaik-baiknya (Itqan Al Amal)
Pemanfaatan hasil usaha dengan tepat (Jaudah Al Ada) 7) Tawakkal
Tawakkal ialah menyerah atau pasrah sepenuhnya.
Bertawakkal kepada Allah ialah menyerahkan permasalahan kepada Allah sepenuhnya, sehingga apapun keputusan yang diberikan-Nya tidak ada rasa sedih lagi tapi menerimanya dengan sepenuh hati.34 Syarat utama yang harus dipenuhi bila seseorang ingin mendapatkan sesuatu yang diharapkan, harus lebih dahulu berupaya sekuat tenaga, lalu menyerahkan ketentuannya kepada
32 M. Fauzi Rahman, Islamic Relationship, (Jakarta: Erlangga, 2012), 15-19.
33 Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak (Yogyakarta: LPPI, 1999), 30-32.
34 Kahar Masyhur, Membina Moral Akhlak (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994), 373.
Allah SWT. Maka dengan cara yang demikian itu manusia dapat meraih kesuksesan dalam hidupnya.35 Yang mana seseorang hanya boleh bertawakkal kepada Allah SWT semata-mata. Allh berfirman:
Artinya: “Dan kepunyaan Allah lah apa yang ghoib di langit dan di bumi dan kepada-Nya lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.”(Q.S. Hud[11]:123).
Hakikat tawakkal adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah SWT, membersihkannya dari ikhtiar yang keliru, dan tetap menapaki kawasan-kawasan hukum dan ketentuan. Dengan demikian, hamba percaya dengan bagian Allah SWT untuknya.
Apa yang telah ditentukan Allah SWT untuknya, ia yakin pasti akan memperolehnya. Sebaliknya, apa yang tidak ditentukan Allah SWT untuknya, ia pun yakin pasti tidak akan memperolehnya.36
Tawakkal merupakan gambaran keteguhan hati dalam menggantungkan diri hanya kepada Allah SWT.37 Dalam hal ini Al-Gozali mengaitkan tawakkal dengan tauhid, dengan penekanan bahwa tauhid sangat berfungsi sebagai landasan tawakkal.
35 Mahjuddin, Akhlak Tasawuf 1: Mu’jizat Nabi, Karomah Wali, dan Ma’rifah Sufi, (Jakarta:
Kalam Mulia, 2009), 14.
36 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka setia, 2010), 93.
37 Ghozali, op. cit., 322.
Tawakkal mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pemahaman manusia khusunya santri akan takdir, ridho, ikhtiar, sabar dan doa. Tawakkal adalah kesungguhan hati dalam bersandar kepada Allah SWT untuk mendapatkan kemaslahatan serta mencegah kemudhorotan, baik menyangkut urusan dunia maupun urusan akhirat.38
Mewujudkan tawakkal bukan berarti meniadakan ikhtiar atau mengesampingkan usaha. Ibnu Rajab menegaskan, “ tawakkal tidak serta merta menafikan ikhtiar untuk memilih sebab-sebab yang telah ditetapkan Allah SWT, tidak pula menafikan menjalani sunnatullah yang telah ditetapkan. Sebab Allah SWT memerintahkan hambanya untuk menjalani sebab-sebab di samping perintah tawakkal. Menjalani sebab dilakukan oleh anggota tubuh, sedangkan tawakkal dilakukan oleh hati.39
Sementara orang ada yang salah paham dalam melakukan tawakkal itu, menurut pendapatnya tawakkal adalah memasrahkan diri begitu saja kepada Allah tanpa berupaya mengusahakan nasib yang lebih baik, ringkasnya enggan berusaha dan bekerja, tetapi hanya menunggu. Orang yang semacam ini mempunyai pemikiran, tidak perlu belajar jika Allah menghendaki pandai tentu akan menjadi orang pandai, atau tidak perlu bekerja, jika Allah menghendaki kaya pasti akan menjadi kaya tanpa bekerja. Semua
38 A. Zainuddin dan M. Jamhari, Al-Islam 2: Muamalah dan Akhlak, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 91
39 Ali Ibn Nayif As- Syahud, Fiqh Al-Ibtila’ fi Al-Qur’an Wa As-Sunnah Jus IV, 224.
itu sama saja dengan orang lapar yang ingin kenyang tapi tidak makan meskipun di depannya ada banyak makanan, karena mereka yakin tanpa makan pun akan kenyang jika Allah menghendaki. Jika pendapat ini dipegang teguh pasti akan menyengsarakan diri sendiri.
Menurut ajaran agama islam tawakkal itu adalah landasan atau tumpuan terakhir dalam sesuatu atau perjuangan, jadi arti tawakkal yang sebenarnya adalah menyerahkan diri kepada Allah SWT, setelah berusaha keras dalam berikhtiar dan bekerja sesuai dengan kemampuan dengan mengikuti sunnah Allah yang ditetapkan.40 Misalnya seseorang yang meletakkan motor di depan rumah, setelah dikunci rapat barulah ia bertawakkal. Mewujudkan tawakkal bukan berarti meniadakan ikhtiar atau mengesampingkan usaha. Ikhtiar itu adalah perintah-Nya terhadap jasad lahiriah kita, sedangkan tawakkal adalah perintah-Nya terhadap hati kita sebagai manivestasi dari keimanan kita kepada Allah SWT.
8) Syukur
Syukur adalah pengakuan terhadap nikmat yang dikaruniakan Allah SWT yang disertai dengan ketundukan kepadanya dan mempergunakan nikmat tersebut sesuai dengan kehendak Allah SWT. Dan bersyukur dengan perbuatan adalah
40 Asmaran, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), 226.
mempergunakan nikmat Allah SWT menurut kehendak Allah SWT yang memberikan nikmat itu sendiri.
Syukur atau bersyukur ialah merasa senang dan berterima kasih atas nikmat yang Allah SWT berikan. Hal ini tercermin aktivitas atau amal orang yang memperoleh nikmat itu dalam beribadah kepada Allah, imannya bertambah teguh, dan lidahnya semakin banyak berdzikir kepada Allah.
Syukur merupakan sikap dimana seseorang tidak menggunakan nikmat yang diberikan oleh Allah untuk melakukan maksiat kepada-Nya. Bentuk syukur ini ditandai dengan menggunakan segala nikmat atau rezeki karunia Allah tersebut untuk melakukan ketaatan kepada-Nya dan memanfaatkannya ke arah kebajikan bukan menyalurkannya ke jalan maksiat atau kejahatan.41
Menurut Ibnu Ajibah syukur adalah senangnya hati seseorang atas kenikmatan yang ia peroleh, lantas anggota tubuhnya tergerak untuk taat kepada yang memberi nikmat, disertai sikap pengakuan kepada Dzat yng memberi nikmatdengan tunduk kepadanya.42
Syukur juga berarti puji dan bila seseorang melihat makna syukur dari segi pujian maka kiranya dapat disadari bahwa pujian terhadap yang terpuji baru menjadi wajar bila yang terpuji
41 Rosihon Anwar, Akidah Akhlak (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008), 224.
42 Abdul Mustaqim, Akhlak Tasawuf Jalan Menuju Revolusi Spiritual, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007), 81.
melakukan sesuatu yang baik secara sadar dan tidak terpaksa.
Setiap pekerjaan yang baik lahir di alam raya ini adalah atas izin Allah SWT. Apa yang baik dari seseorang pada hakikatnya dari Allah SWT semata. Jika demikian, pujian apapun yang seseorang sampaikan kepada orang lain, akhirnya kembali kepada Allah SWT juga. Itu sebabnya kita dianjurkan oleh-Nya untuk mengucapkan Alhamdulillah, yang artinya segala puji bagi Allah SWT.
Memang, Allah SWT juga memuji para utusan-Nya, memuji para hamba-Nya yang taat. Namun pujian kepada siapapun ketika itu, pada hakikatnya adalah pujian yang kembali kepada Allah SWT juga. Bukankah setiap pekerjaan, atau setiap yang baik yang lahir di alam raya ini adalah atas seizin Allah SWT juga?
Syukur manusia kepada Allah SWT dimulai dengan menyadari dari lubuk hatinya yang terdalam betapa besar nikmat dan anugerahnya disertai dengan ketundukan dan kekaguman yang melahirkan rasa cinta kepada-Nya dan dorongan untuk bersyukur dengan lidah dan perbuatan. Melalui perbuatan, kita dapat bersyukur kepada-Nya dengan menghayati makna syukur.
Syukur dimaksudkan sebagai menggunakan anugerah ilahi sesuai dengan tujuan penganugerahannya. Hal ini berarti seseorang harus dapat menggunakan segala yang dianugerahkan Allah SWT
di alam raya ini sesuai dengan tujuan Allah SWT yang menciptakannya.43
Orang yang beriman akan merasa senang dan puas serta bersyukur terhadap nikmat yang Allah berikan tersebut. Bentuk syukur terhadap nikmat yang Allah berikan tersebut adalah dengan jalan mempergunakan nikmat Allah dengan sebaik-baiknya, karunia yang Allah berikan harus kita manfaatkan dan dipelihara seperti harta benda, ilmu pengetahuan dan sebagainya. Salah satu contoh bentuk bersyukur adalah jika kita diberi kesehatan oleh Allah maka pergunakan kesehatan tersebut untuk hal-hal yang baik dan bermanfaat sebagi ibadah, menuntut ilmu dan sebagainya.
Manusia diperintahkan bersyukur kepada Allah SWT bukanlah untuk kepentingan Allah itu sendiri, karena Allah tidak memerlukan apa-apa dari manusia atau dari semesta. Allah berfirman:
Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri, dan barang siapa yang tidak bersyukur maka sesungguhnya Allah maha kaya lagi Maha Terpuji.” (Q.S. Luqman [31]:12).
43 Ibid., 23-27.
9) Taubat
Taubat atau bertaubat adalah suatu sikap yang menyesali suatu perbuatan buruk yang pernah dilakukan dan berusaha menjauhinya, serta melakukan perbuatan baik.44 Dalam hal ini kaum sufi menjadikan taubat sebagai stasiun pertama yang harus dilalui oleh seseorang atau calon sufi dalam mendekatkan diri kepada Allah.45
Taubat menurut ajaran islam adalah meninggalkan perbuatan dosa dan kesalahan karena menyesal dengan niat tidak mengulangi lagi. Dosa dan kesalahan merupakan masalah penting dalam islam, karena keduanya menyangkut hubungan baik antara manusia dengan Allah, dengan masyarakat dan lingkungannya serta dirinya sendiri. Ketentraman, kesejahteraan dan kebahagiaan banyak ditentukan seberapa jauh ia terhindar atau bersih dari dosa dan kesalahan, ataupun seberapa banyak ketaatan dan kebaikan yang diperbuatnya, sebaliknya penderitaan, kesengsaraan dan ketidak bahagiaan manusia banyak pula ditentukan oleh seberapa banyak dosa dan kesalahan yang telah dilakukannya.
Oleh karena itu jika seorang muslim melakukan kesalahan atau kemaksiatan dan perbuatan lain yang melanggar ajaran islam dia wajib segera bertaubat kepada Allah SWT.
44 Mahjuddin, Akhlak Tasawuf 1: Mu’jizat Nabi, Karomah Wali, dan Ma’rifah Sufi, (Jakarta:
Kalam Mulia, 2009), 10.
45 Asmaran, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), 212.
B. Akhlak kepada manusia
Dalam kehidupan, interaksi manusia tidak terlepas dari manusia. Oleh karena itu dalam berakhlak kepada manusia dibagi menjadi tiga bagian, yaitu akhlak kepada diri sendiri, akhlak dalam keluarga, dan akhlak bermasyarakat.
Manusia adalah makhluk sosial. Ayat kedua dari wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad SAW dapat dipahami sebagai salah satu ayat yang menjelaskan hal tersebut. Manusia secara fitrah adalah makhluk sosial dan hidup bermasyarakat merupakan satu keniscayaan bagi mereka.
1) Akhlak kepada diri sendiri
Ketika manusia dituntut untuk berlaku baik kepada orang lain, maka harus memulainya dengan berlaku baik kepada dirinya sendiri, karena bagaimana mungkin seseorang dapat berlaku baik kepada orang lain bila berlaku baik kepada diri sendiri saja tidak ia lakukan. Karenanya, seorang santri tidak boleh menyakiti dirinya sendiri dalam arti luas. Untuk itu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dilaksanakan dalam kehidupan ini.
a) Shiddiq. Merupakan salah satu akhlak mahmudah yang berarti benar atau jujur. Jujur memiliki arti kesesuaian antara apa yang diucapkan atau diperbuat dengan kenyataan yang ada. Jadi, kalau suatu berita sesuai dengan keadaan yang ada, dikatakan benar/jujur, tetapi kalau tidak, dikatakan dusta. Allah SWT
memerintahkan kepada kita untuk berlaku benar baik dalam perbuatan maupun ucapan, sebagaimana firman-Nya:
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dan bersamalah kamu dengan orang- orang yang benar.” (Q.S. At-Taubah [9]:119).
Kejujuran itu ada pada ucapan, juga ada pada perbuatan, sebagaimana seorang yang melakukan suatu perbuatan, tentu sesuai dengan yang ada pada bathinnya. Ketika berani mengatak
“tidak” untuk korupsi, berusaha untuk menjauhi perilaku korupsi.
Jangan sampai mengatakan tidak, kenyataannya ia melakukan korupsi. Demikian juga seorang munafik tidaklah dikatakan sebagai seorang yang jujur karena ia menampakkan dirinya sebagai seseorang yang bertauhid, padahal hatinya tidak. Yang jelas merupakan sifat seorang yang beriman, sedangkan lawannya, dusta, merupakan sifat orang yang munafik.
b) Amanah. Merupakan sikap yang harus dimiliki oleh umat islam, yang merupakan salah satu bentuk akhlak karimah.
Pengertian amanah menurut arti bahasa ialah ketulusan hati, kepercayaan, atau kejujuran. Yang dimaksuk dengan amanah adalah suatu sifat dan sikap pribadi yang setia, tulus hati, dan jujur dalam melaksanakan sesuatu yang dipercayakan kepadanya, berupa harta benda, rahasia maupun tugas
kewajiban. Pelaksana amanah dengan baik disebut al amin yang berarti dapat dipercaya, jujur, setia, dan aman.46
c) Istiqomah. Berarti tegak lurus, yang secara termenologi istiqomah berarti sikap teguh dalam mempertahankan keimanan dan keislaman sekalipun menghadapi berbagai macam tantangan dan godaan. Seseorang yang istiqomah laksana batu karang ditengah-tengah lautan yang tidak bergeser sedikitpun oleh gelombang yang bergulung-gulung.47
Istiqomah tersebut dalam segala hal, dalam solat tepat waktu, dalam belajar dan lain-lain. Orang yang istiqomah dijauhkan oleh Allah dari rasa takut dan sedih yang negatif. Dia tidak akan takut menghadapi masa depan dan tidak sedih dengan yang telah terjadi pada masa lalu.
Perintah supaya beristiqomah dinyatakan dalam al- qur’qn yang binyinya