• Tidak ada hasil yang ditemukan

digital old29 20313040-S43677-Identifikasi struktur

N/A
N/A
Seli

Academic year: 2025

Membagikan "digital old29 20313040-S43677-Identifikasi struktur"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

IDENTIFIKASI STRUKTU DERIVATIVE METODE GA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

IDENTIFIKASI STRUKTUR PATAHAN BERDASARKAN ANALI DERIVATIVE METODE GAYABERAT DI PULAU SULAWESI

SKRIPSI

ANITA HARTATI 0706262136

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM STUDI FISIKA

DEPOK JUNI 2012

AN BERDASARKAN ANALISA DI PULAU SULAWESI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

(2)

IDENTIFIKASI STRUKTU DERIVATIVE METODE GA

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sains

FAKULTAS MATEMATIKA DAN

IDENTIFIKASI STRUKTUR PATAHAN BERDASARKAN ANALI DERIVATIVE METODE GAYABERAT DI PULAU SULAWESI

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sains

ANITA HARTATI 0706262136

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM STUDI FISIKA

DEPOK JUNI 2012

AN BERDASARKAN ANALISA DI PULAU SULAWESI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sains

ILMU PENGETAHUAN ALAM

(3)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Anita Hartati NPM : 0706262136 Tanda Tangan :

Tanggal : 20 Juni 2012  

 

       

   

 

       

 

(4)

   

       

   

 

       

 

(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, petunjuk, dan ilmu kepada penulis, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Identifikasi Struktur Patahan Berdasarkan Analisa Derivative Metode Gayaberat di Pulau Sulawesi”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Program Studi Geofisika, Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar- besarnya kepada:

1. Dr. Syamsu Rosid dan Dr. Ir. Eko Widianto, MT selaku pembimbing yang telah sabar dan banyak meluangkan waktu serta tenaga untuk terus memberikan masukan hingga akhir penyusunan skripsi ini. Terimakasih banyak Pak :)

2. Dr. Eng. Supriyanto dan Drs. Hendar Gunawan, M.Sc selaku penguji yang telah banyak memberikan saran dan kritik membangun demi perbaikan skripsi ini.

3. Orangtua dan adik tercinta yang tidak pernah berhenti memberikan doa, dukungan, dan semangat kepada penulis selama proses pembuatan skripsi.

4. Sahabat tersayang; Indah Fitriana Walidah, Hira Nasmy, Dwintha Zahrianthy, dan Diana Putri Hamdiana. Terimakasih atas dukungan kalian yang sangat berarti selama ini.

5. Sahabat seperjuangan seperbimbingan; Indah PS, Torkis, Yan, Maul, dan Fristy yang selalu membantu dan memberikan semangat. Terimakasih teman-teman atas kerjasamanya yang sangat baik dalam beberapa bulan terakhir ini.

6. Sahabat 2007 seperjuangan 5 tahun yang selalu memberi semangat, dorongan, serta motivasi; Rismauly, Aji, Rino, Ichwan, Gangga, Riki, Byan, Willem, Rangga, Muladi, Imas, Rusyda, Yulia, Ferdi, Vani,

   

       

   

 

       

 

(6)

Radityo, Wahid, Zul, Arif, Syahril, Bowo, Cepi, Edo, Septian, Aisyah, Ari, Syukur, dan Bundi.

7. Teman-teman 2007 lainnya; Nedya, Gigis, Michael, Nanda, Denny, Aliyyus, Angga, Andy, Afar, Igan, Melly, Imam, Dzil, Khoiron, Omen, Anni, Fera, Ady, Yakub, Bagus, Lomario, Deki, Singkop, Mergo, Melati, Evan, Romi, Rifqo, Sava, Candra, Husni, Oji, Mamen, Jaelani, Jumari, dan Raditya.

8. Kakak-kakak, adik-adik, dan keluarga besar Fisika UI atas semangat yang selalu hadir.

9. Teman-teman Danus BKUI 2010; Iib, Anda, Fina, Hesi, Ita, dan Tika.

Terimakasih atas semangat dan liburannya.

10. Teman-teman yang dari masa SMP (Putri, Atun, Iski, Marsya, Devi, Jivi), SMA (Gita, Cita, Lukita, Gina, Debby), hingga sekarang selalu ada untuk menyemangati.

11. Semua keluarga, sahabat, teman, dan pihak yang tidak bisa Saya ucapkan satu per satu disini. Saya ucapkan terimakasih banyak atas segala bantuannya.

12. Kamu, yang membaca skripsi ini :D

Akhir kata penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, sehingga saran dan kritik yang bermanfaat sangat diharapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna untuk menambah wawasan bagi pembacanya.

Jakarta, Juni 2012

Penulis  

 

       

   

 

       

 

(7)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Anita Hartati

NPM : 0706262136

Program Studi : Geofisika Departemen : Fisika

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Jenis Karya : Skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

Identifikasi Struktur Patahan Berdasarkan Analisa Derivative Metode Gayaberat di Pulau Sulawesi

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/penciptadan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Depok Pada tanggal : 20 Juni 2012

Yang menyatakan  

 

       

   

 

       

 

(8)

ABSTRAK

Nama : Anita Hartati Program Studi : Fisika S-1 Reguler

Judul : Identifikasi Struktur Patahan Berdasarkan Analisa Derivative Metode Gayaberat di Pulau Sulawesi

Pulau Sulawesi merupakan salah satu pulau di Indonesia yang berada pada zona pertemuan antara tiga lempeng besar: lempeng Indo-Australia, lempeng Pasifik, dan lempeng Eurasia. Perkembangan tektoniknya yang berlangsung sejak zaman Tersier hingga sekarang membuat Pulau Sulawesi merupakan daerah teraktif di Indonesia. Hal ini menyebabkan Pulau Sulawesi mempunyai fenomena geologi yang kompleks dan rumit, sehingga banyak terdapat patahan-patahan besar yang aktif. Untuk mengetahui keberadaan struktur patahan di bawah permukaan, dilakukan analisis data gayaberat. Struktur patahan dapat diketahui dari peta kontur anomali Bouguer, yang ditunjukkan dari adanya nilai anomali positif dan negatif yang dibatasi dengan kontur yang rapat, seperti yang terindikasi pada daerah Sulawesi Selatan, lengan Timur Sulawesi, dan Gorontalo. Analisa spektrum dilakukan untuk mengetahui kedalaman anomali regional dan residual.

Filtering dengan metode polinomial orde 1, 2, dan 3 dilakukan untuk mengetahui kemenerusan patahan. First horizontal derivative dan second vertical derivative digunakan untuk mengidentifikasi keberadaan serta jenis patahan, yang kemudian dilakukan pemodelan 2D. Pengolahan data memperlihatkan bahwa, daerah Sulawesi Selatan teridentifikasi adanya patahan normal yang diperkirakan memiliki dip 18° dan strike N14°W, untuk daerah lengan Timur Sulawesi teridentifikasi adanya patahan naik yang diperkirakan memiliki dip 10° dan strike N74°E, sedangkan untuk daerah Gorontalo teridentifikasi adanya patahan naik yang diperkirakan memiliki dip 12° dan strike N12°E.

Kata Kunci : patahan, anomali Bouguer, analisa spektrum, first horizontal derivative, second vertical derivative

xv+95 halaman ; 57 gambar; 2 tabel Daftar Acuan : 26 (1949-2012)

   

       

   

 

       

 

(9)

ABSTRACT

Name : Anita Hartati Program Study : Physics

Title : Fault Structure Identification Based on Derivative Analysis Gravity Method in Sulawesi Island

Sulawesi Island is one of island in Indonesia that located at subduction zone between 3 large plates: Indo-Australia plate, Pasific plate, and Eurasia plate. The tectonic developments since Tertiary age until now causes the Sulawesi Island become the active area in Indonesia. It makes Sulawesi Island have complex and complicated geological phenomenon that many large active faults being there. In order to know the presence of subsurface fault structure, gravity method was used.

Fault structure can be known from Bouguer anomaly contour map, that indicated by anomaly positive and negative value which are limited by tightly contour, like in Southern Sulawesi, Eastern arm Sulawesi, and Gorontalo. Spectrum analysis was made to know the depth of regional and residual anomaly. Filtering using first, second and third polynomial method was made to know the fault continuity.

First horizontal derivative dan second vertical derivative were used to identify the presence and kind of fault, which is then performed by 2D modeling. Data processing shows that South Sulawesi zone was identified as a presence of normal fault with estimated of dip is 18° and strike is N14°W, for Eastern arm Sulawesi zone was identified as a presence of thrust fault with estimated of dip is 10° and strike is N74°E, then for Gorontalo zone was identified as a presence of thrust fault with estimated of dip is 12° and strike is N12°E.

Keywords : fault, Bouguer anomaly, spectrum analysis, first horizontal derivative, second vertical derivative

xv+95 pages ; 57 pictures; 2 tables Bibliography : 26 (1949-2012)

   

       

   

 

       

 

(10)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Halaman Pernyataan Orisinalitas ... ii

Halaman Pengesahan ... iii

Kata Pengantar ... iv

Halaman Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah ... vi

Abstrak ... vii

Abstract ... viii

Daftar Isi ... ix

Daftar Tabel ... xii

Daftar Gambar ... xiii

Daftar Lampiran ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Penelitian ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

1.3 Batasan Masalah... 3

1.4 Metodologi Penelitian ... 3

1.5 Sistematika Penulisan ... 4

BAB II LANDASAN TEORI ... 6

2.1 Prinsip Dasar Metode Gayaberat ... 6

2.1.1 Hukum Newton... 6

2.1.2 Percepatan Gravitasi ... 7

2.1.3 Potensial Gravitasi ... 7

2.2 Koreksi-koreksi Gayaberat... 8

2.2.1 Koreksi Pasang Surut (Tide Correction) ... 9

2.2.2 Koreksi Apungan (Drift Correction) ... 10

2.2.3 Koreksi Lintang ... 10

2.2.4 Koreksi Udara Bebas (Free Air Correction) ... 11

2.2.5 Koreksi Bouguer ... 12

2.2.6 Koreksi Medan (Terrain Correction) ... 13

2.3 Anomali Bouguer Lengkap (Complete Anomaly Bouguer) ... 15  

 

       

   

 

       

 

(11)

2.4 Analisa Spektrum ... 15

2.5 Pemisahan Anomali Regional dan Residual (Filtering) ... 17

2.6 Analisa Derivative ... 20

2.6.1 First Horizontal Derivative (FHD) ... 20

2.6.2 Second Vertical Derivative (SVD) ... 21

BAB III TINJAUAN GEOLOGI ... 26

3.1 Tinjauan Umum Sulawesi ... 26

3.2 Sejarah Geologi Sulawesi ... 27

3.3 Tektonik Sulawesi ... 29

3.4 Geologi Daerah Penelitian ... 33

3.4.1 Sulawesi Selatan ... 33

3.4.2 Lengan Timur Sulawesi ... 36

3.4.3 Gorontalo ... 39

BAB IV PENGOLAHAN DATA ... 41

4.1 Pendigitan ... 41

4.2 Anomali Bouguer ... 42

4.3 Analisa Spektrum ... 44

4.4 Pemisahan Anomali Regional dan Residual (Filtering) ... 45

4.5 Analisa Derivative ... 47

BAB V ANALISA DAN PEMBAHASAN ... 51

5.1 Sulawesi Selatan... 51

5.1.1 Anomali Bouguer ... 51

5.1.2 Analisa Spektrum ... 52

5.1.3 Pemisahan Anomali Regional dan Residual ... 54

5.1.4 Analisa Derivative ... 57

5.1.5 Pemodelan 2D... 58

5.1.6 Analisa Patahan ... 60

5.2 Lengan Timur Sulawesi ... 61

5.2.1 Anomali Bouguer ... 61

5.2.2 Analisa Spektrum ... 62

5.2.3 Pemisahan Anomali Regional dan Residual ... 64

5.2.4 Analisa Derivative ... 66  

 

       

   

 

       

 

(12)

5.2.5 Pemodelan 2D... 68

5.2.6 Analisa Patahan ... 70

5.3 Gorontalo ... 71

5.3.1 Anomali Bouguer ... 71

5.3.2 Analisa Spektrum ... 72

5.3.3 Pemisahan Anomali Regional dan Residual ... 75

5.3.4 Analisa Derivative ... 77

5.3.5 Pemodelan 2D... 78

5.3.6 Analisa Patahan ... 80

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 82

6.1 Kesimpulan ... 82

6.2 Saran ... 82

DAFTAR ACUAN ... 83

Lampiran ... 85  

 

       

   

 

       

 

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Konstanta polinomial orde 1, 2, dan 3 di setiap daerah ... 47 Tabel 4.2 Salah satu contoh hasil perhitungan FHD ... 48

   

       

   

 

       

 

(14)

xiii DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Peta Lokasi Penelitian (Sompotan, 2012) ... 2

Gambar 1.2 Diagram Alir Penelitian ... 4

Gambar 2.1 Pengaruh gravitasi bulan di titik P (Kadir, 2000) ... 9

Gambar 2.2 Koreksi Udara Bebas (Reynolds, 1997) ... 11

Gambar 2.3 Koreksi Bouguer (Reynolds, 1997) ... 12

Gambar 2.4 Hammer Chart (Reynolds, 1997) ... 14

Gambar 2.5 Cincin silinder untuk menghitung koreksi medan (Reynolds, 1997) . 14 Gambar 2.6 Pembagian zona anomali melalui grafik ln A terhadap k ... 18

Gambar 2.7 Kontur polinomial TSA dengan variasi orde (Grandis, 2009) ... 21

Gambar 2.8 Nilai gradien horizontal pada model tabular (Blakely, 1996) ... 21

Gambar 2.9 Respon analisa SVD pada struktur geologi (Reynolds, 1997) ... 23

Gambar 2.10 Chart perhitungan pendekatan turunan kedua menggunakan grid (Rosenbach, 1953)... 25

Gambar 3.1 Peta tektonik global Indonesia (Katili, 1973) ... 26

Gambar 3.2 Sejarah pembentukan Pulau Sulawesi (Satyana, 2008) ... 28

Gambar 3.3 Cross section geologi regional Sulawesi (Satyana, 2008) ... 30

Gambar 3.4 Pembagian keadaan tektonik Pulau Sulawesi (Leeuwen, 1994)... 32

Gambar 3.5 Peta cekungan Sulawesi (Badan Geologi, 2010) ... 33

Gambar 3.6 Peta geologi Sulawesi Selatan (Leeuwen, 1994) ... 34

Gambar 3.7 Stratigrafi Sulawesi Selatan (Wilson, 1995) ... 35

Gambar 3.8 Peta geologi Lengan Timur Sulawesi (Leeuwen, 1994) ... 37

Gambar 3.9 Stratigrafi Lengan Timur Sulawesi (Satyana, 2008) ... 37

Gambar 3.10 Peta geologi Gorontalo (Leeuwen, 1994) ... 39

Gambar 4.1 Peta kontur anomali Bouguer Pulau Sulawesi ... 41

Gambar 4.2 Peta kontur anomali Bouguer yang menunjukkan daerah penelitian 42 Gambar 4.3 Peta kontur anomali Bouguer (a) Sulawesi Selatan, (b) lengan Timur Sulawesi, dan (c) Gorontalo ... 43

Gambar 4.4 Pemisahan anomali regional dan residual ... 45

Gambar 4.5 Salah satu tampilan kurva penampang FHD ... 48

Gambar 4.6 Salah satu tampilan kurva penampang SVD ... 49

Gambar 4.7 Tampilan penampang FHD dan SVD untuk menentukan batas dan tipe patahan ... 50

Gambar 5.1 Peta kontur anomali Bouguer Sulawesi Selatan ... 51

Gambar 5.2 Lintasan pada peta kontur anomali Bouguer daerah Sulawesi Selatan ... 52

Gambar 5.3 Hasil analisa spektrum lintasan AA’, BB’, dan CC’ ... 53

Gambar 5.4 Anomali regional (kiri) dan residual (kanan) dengan polinomial (a) orde 1, (b) orde 2, dan (c) orde 3 Sulawesi Selatan ... 55

Gambar 5.5 Penampang anomali residual dari polinomial orde 1, 2, dan 3 Sulawesi Selatan... 56

Gambar 5.6 Peta Kontur SVD Rosenbach daerah Sulawesi Selatan ... 57

Gambar 5.7 Analisa derivative pada lintasan di Sulawesi Selatan ... 58

Gambar 5.8 Pemodelan 2D daerah Sulawesi Selatan ... 59  

 

       

   

 

       

 

(15)

Gambar 5.9 Rekonstruksi patahan daerah Sulawesi Selatan ... 61

Gambar 5.10 Peta kontur anomali Bouguer lengan Timur Sulawesi ... 62

Gambar 5.11 Lintasan pada peta kontur anomali Bouguer daerah lengan Timur Sulawesi ... 63

Gambar 5.12 Hasil analisa spektrum lintasan PP’ dan RR’ ... 64

Gambar 5.13 Anomali regional (kiri) dan residual (kanan) dengan polinomial (a) orde 1, (b) orde 2, dan (c) orde 3 lengan Timur Sulawesi ... 65

Gambar 5.14 Penampang anomali residual dari polinomial orde 1, 2, dan 3 lengan Timur Sulawesi ... 66

Gambar 5.15 Peta Kontur SVD Rosenbach daerah lengan Timur Sulawesi ... 67

Gambar 5.16 Analisa derivative pada lintasan di lengan Timur Sulawesi ... 68

Gambar 5.17 Pemodelan 2D daerah lengan Timur Sulawesi ... 69

Gambar 5.18 Rekonstruksi patahan daerah lengan Timur Sulawesi ... 71

Gambar 5.19 Peta kontur anomali Bouguer Gorontalo ... 72

Gambar 5.20 Lintasan pada peta kontur anomali Bouguer daerah Gorontalo ... 73

Gambar 5.21 Hasil analisa spektrum lintasan XX’ ... 73

Gambar 5.22 Ketidakselarasan Mohorovicic yang ditunjukkan pada garis merah (King, 2005) ... 74

Gambar 5.23 Anomali regional (kiri) dan residual (kanan) dengan polinomial (a) orde 1, (b) orde 2, dan (c) orde 3 Gorontalo ... 76

Gambar 5.24 Penampang anomali residual dari polinomial orde 1, 2, dan 3 Gorontalo ... 77

Gambar 5.25 Peta Kontur SVD Rosenbach daerah Gorontalo ... 78

Gambar 5.26 Analisa derivative pada lintasan di Gorontalo ... 78

Gambar 5.27 Pemodelan 2D daerah Gorontalo ... 79

Gambar 5.28 Rekonstruksi patahan daerah Gorontalo ... 80  

 

       

   

 

       

 

(16)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Tabel Densitas Batuan (Telford, 1990) ... 85

Lampiran 2 Penurunan Persamaan Rosenbach ... 86

Lampiran 3a Script MATLAB Filtering Metode Polinomial (Orde 1) ... 91

Lampiran 3b Script MATLAB Filtering Metode Polinomial (Orde 2) ... 92

Lampiran 3c Script MATLAB Filtering Metode Polinomial (Orde 3) ... 93

Lampiran 4 Tabel Perhitungan First Horizontal Derivative (FHD) dan Second Vertical Derivative (SVD)………... 94

   

       

   

 

       

 

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Pulau Sulawesi merupakan suatu pulau di Indonesia yang terletak pada zona pertemuan diantara tiga pergerakan lempeng besar. Dari selatan, pergerakan lempeng Indo-Australia memiliki kecepatan rata-rata 7 cm/tahun, lempeng Pasifik dari arah timur dengan kecepatan sekitar 6 cm/tahun, dan lempeng Eurasia yang bergerak relatif pasif ke tenggara sekitar 3 cm/tahun (Kaharuddin, dkk., 2011).

Perkembangan tektonik di kawasan Pulau Sulawesi berlangsung sejak zaman Tersier hingga sekarang. Sehingga bentuknya yang menyerupai huruf “K”

termasuk daerah teraktif di Indonesia dan mempunyai fenomena geologi yang kompleks dan rumit. Dari fenomena geologi dan tektonik tersebut, maka di kawasan Pulau Sulawesi terdapat beberapa daerah rawan terhadap bencana terutama masalah gempa.

Wilayah yang sering terjadi gempa bumi akibat aktivitas tektonik pada umumnya terletak dekat dengan zona tumbukan lempeng dan dekat dengan patahan aktif. Untuk mengetahui keberadaan struktur geologi tersebut, maka dibutuhkan metode geofisika yang dapat digunakan untuk mengetahui kondisi bawah permukaan.

Salah satu metode geofisika yang dapat digunakan adalah metode gayaberat atau gravitasi. Metode gayaberat merupakan metode yang didasarkan pada pengukuran variasi percepatan gravitasi di permukaan bumi. Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi dan menggambarkan bentuk struktur geologi (diantaranya litologi batuan) bawah permukaan berdasarkan variasi medan gayaberat bumi yang ditimbulkan oleh perbedaan densitas antar batuan (Telford, et al., 1990).

Selain untuk dapat mengetahui keberadaan struktur patahan, metode gayaberat juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi patahan, yaitu dengan

   

       

   

 

       

 

(18)

menggunakan analisa

gayaberat adalah turunan pertama (FHD) dan turunan kedua

berperan untuk menentukan batas struktur anomali, sedangkan SVD dapat mengidentifikasikan jenis patahan

ataupun patahan turun. Sehingga dapat membantu penafsiran geologi daerah tersebut.

Gambar 1.

1.2 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui keberadaan struktur patahan di Pulau Sulawesi dengan menggunakan data gayaberat.

2. Mengidentifikasi

patahannya dengan analisa derivative.

3. Melakukan analisa patahan.

menggunakan analisa derivative. Turunan yang biasa digunakan dalam analisis gayaberat adalah turunan pertama horizontal atau First Horizontal

D) dan turunan kedua vertikal atau Second Vertical Derivative

berperan untuk menentukan batas struktur anomali, sedangkan SVD dapat mengidentifikasikan jenis patahan yang ada di Pulau Sulawesi, yaitu patahan naik ataupun patahan turun. Sehingga dapat membantu penafsiran geologi daerah

Gambar 1.1 Peta Lokasi Penelitian (Sompotan, 2012)

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

Mengetahui keberadaan struktur patahan di Pulau Sulawesi dengan menggunakan data gayaberat.

engidentifikasi adanya patahan di suatu daerah dan menentukan tipe dengan analisa first horizontal derivative dan

Melakukan analisa patahan.

. Turunan yang biasa digunakan dalam analisis Horizontal Derivative Vertical Derivative (SVD). FHD berperan untuk menentukan batas struktur anomali, sedangkan SVD dapat yang ada di Pulau Sulawesi, yaitu patahan naik ataupun patahan turun. Sehingga dapat membantu penafsiran geologi daerah

Mengetahui keberadaan struktur patahan di Pulau Sulawesi dengan

suatu daerah dan menentukan tipe dan second vertical  

 

       

   

 

       

 

(19)

1.3 Batasan Masalah

Untuk lebih memfokuskan pembahasan pada penelitian ini, maka kajian dibatasi pada beberapa hal:

a. Data yang digunakan adalah peta anomali Bouguer lengkap (Complete Bouguer Anomaly/CBA) yang kemudian didigitasi melalui proses digitasi.

b. Metode analisa derivative gayaberat yang digunakan untuk membantu identifikasi struktur daerah penelitian adalah First Horizontal Derivative (FHD) dan Second Vertical Derivative (SVD).

c. Struktur geologi yang akan diidentifikasi berdasarkan data anomali Bouguer lengkap, FHD, dan SVD adalah struktur patahan (naik atau turun).

d. Daerah yang digunakan untuk mengidentifikasi patahan adalah hanya beberapa daerah di Pulau Sulawesi.

1.4 Metodologi Penelitian

Metode penelitian ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu:

1. Studi literatur mengenai teori dasar metode gayaberat, analisa derivative, serta ditunjang dengan pemahaman literatur tentang geologi daerah penelitian baik secara regional maupun lokal.

2. Melakukan proses digitasi lembar anomali Bouguer daerah penelitian.

3. Melakukan analisa spektrum untuk mengetahui perkiraan kedalaman regional dan residual, serta filtering untuk pemisahan anomali regional dan residual.

4. Mengidentifikasi struktur patahan berdasarkan analisa derivative.

5. Membuat pemodelan kedepan untuk mengetahui model bawah permukaan.

6. Analisa patahan daerah penelitian.

   

       

   

 

       

 

(20)

Gambar 1.2 Diagram Alir Penelitian

1.5 Sistematika Penulisan

Sistematika pada penulisan ini dibagi menjadi 5 bab, yang masing-masing terdiri dari beberapa sub-bab untuk mempermudah penjelasan. Penulisan bab-bab dilakukan sebagai berikut:

BAB I. PENDAHULUAN

Membahas mengenai latar belakang, tujuan, batasan masalah, hingga metodologi penelitian, serta sistematika penulisan.

   

       

   

 

       

 

(21)

BAB II. LANDASAN TEORI

Membahas mengenai konsep dasar yang melandasi penelitian ini.

Dimulai dari teori dasar metode gayaberat, pengolahan data, serta analisa derivative.

BAB III. TINJAUAN GEOLOGI

Membahas mengenai keadaan geologi regional di daerah penelitian, yaitu Pulau Sulawesi. Adapun keadaan geologi yang dibahas adalah tinjauan umum, sejarah, dan tektonik regional Pulau Sulawesi, serta stratigrafi daerah yang dianalisis.

BAB IV. PENGOLAHAN DATA

Membahas mengenai tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penelitian.

BAB V. ANALISA DAN PEMBAHASAN

Menganalisa dan membahas mengenai hasil pengolahan data gayaberat dan analisa derivative yang divalidasi dengan data geologi daerah penelitian dan pemodelan dua dimensi bawah permukaan di masing-masing daerah penelitian.

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN

Membahas kesimpulan dari pengolahan dan analisa data, serta saran terhadap penelitian yang dilakukan.

   

       

   

 

       

 

(22)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Prinsip Dasar Metode Gayaberat

Metode gayaberat merupakan metode geofisika yang digunakan untuk melihat kondisi bawah permukaan dengan cara mengamati variasi sifat fisis batuan, yaitu rapat massa atau densitas. Variasi densitas batuan dapat mengakibatkan perbedaan percepatan gravitasi di permukaan bumi. Metode gayaberat ini didasari oleh konsep dasar fisika yang berhubungan dengan gaya, percepatan, dan potensial gravitasi.

2.1.1 Hukum Newton

Landasan dari metode gayaberat adalah hukum Newton tentang gaya tarik menarik antara dua partikel. Hukum ini menyatakan jika dua buah titik dengan massa masing-masing M dan m yang terpisah sejauh jarak r akan tarik menarik dengan sebuah gaya F. Dimana gaya tarik menarik antara dua buah titik tersebut sebanding dengan perkalian massa kedua titik tersebut dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antara titik pusat keduanya.

Besar gaya tarik menarik antara dua buah partikel dituliskan dengan persamaan:

2

F G Mm

= r

(2.1)

dimana: F: gaya tarik menarik antar dua benda (Newton)

G: konstanta gravitasi universal (6.67 x 10-11 m3 kg-1 det-3) M: massa bumi (kg)

   

       

   

 

       

 

(23)

m: massa benda di permukaan bumi (kg) r : jarak antara titik pusat massa (m)

2.1.2 Percepatan Gravitasi

Dalam pengukuran gayaberat yang diukur bukanlah gaya gravitasi F, melainkan percepatan gravitasi g. Hubungan antara keduanya dijelaskan oleh hukum Newton II yang menyatakan bahwa sebuah gaya adalah hasil perkalian dari massa dengan percepatan.

F = mg

(2.2)

Interaksi antara bumi (dengan massa M) dengan benda di permukaan bumi (dengan massa m) sejauh jarak R dari pusat keduanya juga memenuhi hukum tersebut, maka dari persamaan (2.1) dan (2.2) didapatkan:

2

2

GMm mg r

g GM r

=

=

(2.3)

Dimana satuan g adalah m/det2 dalam SI, atau Gal (Galileo) yaitu 1 cm/det2. Karena pengukuran dilakukan dalam variasi percepatan gravitasi yang begitu kecil, maka satuan yang sering digunakan adalah miliGal (mGal).

Menurut persamaan (2.3), terlihat bahwa besar percepatan gravitasi g berbanding lurus dengan massa m, yaitu perkalian antara densitas dengan volume, sehingga besar percepatan gravitasi yang terukur merupakan pencerminan dari densitas dan volume massa tersebut.

2.1.3 Potensial Gravitasi

Potensial gravitasi adalah energi yang diperlukan untuk memindahkan  

 

       

   

 

       

 

(24)

dalam sistem ruang akan menimbulkan medan potensial di sekitarnya. Dimana medan potensial bersifat konservatif, artinya usaha yang dilakukan dalam suatu medan gravitasi tidak tergantung pada lintasan yang ditempuhnya tetapi hanya tergantung pada posisi awal dan akhir (Rosid, 2005). Medan potensial dapat dinyatakan sebagai gradien atau potensial skalar (Blakely, 1996), melalui persamaan:

( )

g = −∇ U r

(2.4)

Fungsi U pada persamaan di atas disebut potensial gravitasi, sedangkan percepatan gravitasi g merupakan medan potensial. Tanda minus menandakan bahwa arah gayaberat-nya menuju ke titik yang dituju.

Dengan mengasumsikan bumi dengan massa M bersifat homogen dan berbentuk bola dengan jari-jari R, potensial gravitasi di permukaan dapat didefinisikan dengan persamaan:

( ) 2

R R

dr M

U r gdr GM G

r R

= −

= −

= (2.5)

2.2 Koreksi-koreksi Gayaberat

Dalam metode gayaberat terdapat perbedaan nilai g di suatu tempat dengan tempat yang lain. Apabila bumi dianggap bulat, homogen, dan tidak berotasi maka gravitasi di seluruh permukaan bumi akan sama. Namun pada kenyataannya bumi lebih mendekati bentuk spheroid dengan relief yang tidak rata, memiliki ketidakteraturan densitas secara lateral (tidak homogen), dan berotasi pada porosnya.

Nilai g hasil pengukuran gayaberat yang diinginkan adalah nilai densitas dari benda target anomali. Akan tetapi, nilai yang terukur pada gravimeter juga terpengaruh oleh berbagai macam faktor. Faktor-faktor ini dapat dihilangkan dengan melakukan beberapa koreksi:

   

       

   

 

       

 

(25)

2.2.1 Koreksi Pasang Surut (Tide Correction)

Koreksi pasang surut merupakan koreksi yang disebabkan oleh pengaruh tarikan massa benda-benda langit. Benda-benda langit yang paling dominan berpengaruh adalah bulan dan matahari, karena jaraknya yang relatif dekat terhadap bumi dan massanya yang relatif besar.

Koreksi ini perlu diperhitungkan untuk menghilangkan efek gaya tarik yang dialami bumi akibat bulan dan matahari, yang mempengaruhi pembacaan anomali gravitasi di permukaan bumi. Menurut Longman (1959), pengaruh gravitasi bulan di titik P pada permukaan bumi yang terlihat pada Gambar 2.1 dapat diselesaikan melalui persamaan:

3

2 2 2 2

1 1

( ) 3 sin sin sin 2 sin 2 cos cos cos cos 2

3 3

m

U G r c t t

R δ φ φ δ φ δ

    

=     −  − − + 

      

(2.6) dimana: ø: sudut lintang

δ: sudut deklinasi t: moon hour angle c: jarak rata-rata ke bulan

Gambar 2.1 Pengaruh gravitasi bulan di titik P (Kadir, 2000)  

 

       

   

 

       

 

(26)

2.2.2 Koreksi Apungan (Drift Correction)

Koreksi apungan diberikan sebagai akibat adanya perbedaan pembacaan gayaberat dari stasiun yang sama pada waktu yang berbeda, yang disebabkan karena adanya guncangan pegas alat gravimeter selama proses pengukuran dari satu stasiun ke stasiun lainnya. Komponen gravimeter dirancang dengan sistem keseimbangan pegas yang dilengkapi dengan massa beban yang tergantung diujungnya. Karena pegas yang tidak elastis sempurna, maka sistem pegas mengembang dan menyusut perlahan sebagai fungsi waktu.

Untuk menghilangkan efek ini, akuisisi data didesain dalam suatu rangkaian tertutup, yang bertujuan untuk mengetahui besarnya penyimpangan pembacaan yang diasumsikan linier pada selang waktu tertentu. Secara matematis, koreksi apungan dituliskan dengan persamaan:

0

0 0

( )

f

drift n

f

g g

g t t

t t

= − −

mgal (2.6)

dimana: gf: pembacaan gravimeter pada akhir looping g0: pembacaan gravimeter pada awal looping tf: waktu pembacaan pada akhir looping t0: waktu pembacaan pada awal looping tn: waktu pembacaan pada stasiun ke-n

2.2.3 Koreksi Lintang

Nilai percepatan gravitasi di kutub berbeda dengan di equator. Gravitasi di equator lebih kecil daripada di kutub karena jari-jarinya yang lebih panjang.

Dengan kata lain nilai percepatan gravitasi di setiap titik dipengaruhi oleh posisi lintang.

   

       

   

 

       

 

(27)

Koreksi ini diperlukan karena perputaran bumi mengakibatkan perbedaan percepatan gravitasi bumi pada setiap lintang. Untuk menghitung koreksi lintang (Reynolds, 1997) digunakan rumus sebagai berikut:

2 4

978.03185(1 0.005278895sin 0.000023462sin )

gθ = +

θ

+

θ

mgal (2.7)

dengan gθ adalah nilai percepatan gravitasi teoritik pada posisi titik amat dan θ adalah koordinat lintang.

2.2.4 Koreksi Udara Bebas (Free Air Correction)

Koreksi udara bebas merupakan koreksi yang dilakukan untuk menghilangkan perbedaan percepatan gravitasi bumi akibat perbedaan ketinggian (elevasi) dari setiap titik pengukuran. Semua titik pengukuran ditarik ke bidang geoid dengan mengabaikan kandungan massa yang berada diantara titik pengukuran dan bidang geoid, seperti yang terlihat pada Gambar di bawah ini.

Gambar 2.2 Koreksi Udara Bebas (Reynolds, 1997)

Menurut Reynolds (1997), dengan menganggap bumi berbentuk ellipsoid dengan massa terkonsentrasi pada pusatnya, maka nilai gravitasi pada bidang geoid adalah :

0 2

g GM

= r

(2.8) Sedangkan nilai gravitasi pada titik pengukuran dengan ketinggian h (meter) di atas bidang geoid adalah:

   

       

   

 

       

 

(28)

2 2

1 2 ...

( )

h

M M h

g G G

R h R R

 

= + =   (2.9)

Perbedaan nilai gravitasi di bidang geoid dan di stasiun pada ketinggian h disebut koreksi udara bebas:

0 0

2

FA h

g g g g h

= − = R (2.10)

dengan g0 = 9.8 m/det2, R = 6.371x106 m, dan h dalam m, maka

0.3086

g

FA

= × h

mgal (2.11)

Dalam perhitungan koreksi udara bebas, dapat dijumlah ataupun dikurang.

Koreksi akan dijumlah jika titik pengukuran berada di atas geoid. Karena semakin tinggi h maka g akan semakin kecil, sehingga untuk menyamakan dengan bidang geoid koreksi harus ditambah. Dan juga sebaliknya, koreksi akan dikurang jika titik pengukuran berada di bawah geoid. Namun pada umumnya koreksi ini dijumlah karena permukaan bumi berada di atas bidang geoid.

.

2.2.5 Koreksi Bouguer

Koreksi bouguer merupakan koreksi yang memasukkan efek kandungan massa batuan yang berada diantara titik pengukuran dan bidang geoid yang sebelumnya diabaikan pada perhitungan koreksi udara bebas.

Gambar 2.3 Koreksi Bouguer (Reynolds, 1997)  

 

       

   

 

       

 

(29)

Koreksi ini dihitung dengan persamaan (Telford, et al., 1990):

B 2

g = π ρG h (2.12)

dimana π= 3.14, G = 6.67 x 10-11 m3 kg-1 det-3, ρ dalam gr/cm3, dan h dalam m, maka:

0.04192

g

B

= ρ h

mgal (2.13)

Tanda koreksi Bouguer berbanding terbalik dengan koreksi udara bebas.

Jika titik pengukuran berada di atas bidang geoid, koreksi akan dikurang. Hal ini dikarenakan kandungan massa di atas bidang geoid membuat nilai g titik pengukuran lebih besar dari g geoid, sehingga untuk menarik titik pengukuran ke bidang geoid koreksi harus dikurang. Dan juga sebaliknya, jika titik pengukuran berada di bawah bidang geoid, koreksi akan ditambah.

2.2.6 Koreksi Medan (Terrain Correction)

Koreksi medan atau topografi dilakukan untuk mengoreksi adanya pengaruh penyebaran massa yang tidak teratur di sekitar titik pengukuran. Dalam koreksi Bouguer diasumsikan bahwa titik pengukuran di lapangan berada pada suatu bidang datar yang sangat luas. Sedangkan seringkali kenyataan di lapangan memiliki topografi yang berundulasi seperti adanya lembah dan gunung. Maka jika hanya dilakukan koreksi bouguer saja hasilnya akan kurang sempurna.

Adanya massa bukit atau hilangnya massa akibat lembah akan menimbulkan efek yang mengurangi besarnya percepatan gravitasi sesungguhnya di titik pengukuran, sehingga koreksi medan yang diperhitungkan harus ditambah (Rosid, 2005).

Cara perhitungan koreksi topografi dapat dilakukan dengan menggunakan Hammer Chart yang dikembangkan oleh Sigmund Hammer. Hammer Chart membagi area ke dalam beberapa zona dan kompartemen (segmen). Hammer

   

       

   

 

       

 

(30)

melakukan pendekatan pengaruh topografi dengan suatu cincin yang terlihat pada Gambar 2.4 di bawah ini.

Gambar 2.4 Hammer Chart (Reynolds, 1997)

Menurut Reynolds (1997), besarnya koreksi topografi dengan menggunakan pendekatan cincin silinder dituliskan dalam persamaan:

2 2 2 2

2 1 1 2

2 G

TC r r r z r z

N

πρ

=  − + + − +  mgal (2.14)

dimana: N: jumlah kompartemen pada zona yang digunakan r2: radius luar (m)

r1: radius dalam (m)

z: perbedaan ketinggian rata-rata kompartemen dan titik pengukuran

Gambar 2.5 Cincin silinder untuk menghitung koreksi medan (Reynolds, 1997)  

 

       

   

 

       

 

(31)

2.3 Anomali Bouguer Lengkap (Complete Bouguer Anomaly)

Setelah mereduksi hasil pengukuran lapangan dengan koreksi-koreksi seperti yang telah diuraikan di atas, maka dihasilkan koreksi akhir yaitu anomali Bouguer lengkap (∆gB) yang memiliki persamaan:

B obs FA B

g g g

θ

g g TC

∆ = − ± ∓ +

(2.15)

gobs merupakan nilai gravitasi yang terbaca pada gravimeter setelah dikoreksi terhadap apungan pegas alat (drift correction) dan pengaruh pasang surut bumi (tide correction).

Anomali Bouguer dapat bernilai positif ataupun negatif. Nilai anomali Bouguer positif mengindikasikan adanya kontras densitas yang besar pada lapisan bawah permukaan, sedangkan anomali negatif menggambarkan perbedaan densitas yang kecil. Dari kontur anomali Bouguer dapat diketahui adanya anomali di bawah permukaan.

Anomali Bouguer merupakan gabungan dari anomali regional dan residual (lokal). Anomali regional berasal dari batuan-batuan yang sifatnya regional (luas dan dalam), dan dicirikan oleh kontur anomali yang smooth dan berfrekuensi rendah. Sedangkan anomali residual atau yang sering disebut juga sebagai anomali sisa yang berasal dari batuan-batuan yang sifatnya lebih dangkal dan sempit, dan dicirikan oleh kontur anomali yang tidak smooth dan berfrekuensi tinggi. Kontur anomali residual yang tidak smooth ini merupakan efek dari adanya batuan-batuan lokal yang dangkal (heterogen).

2.4 Analisa Spektrum

Analisa spektrum dilakukan untuk melihat respon anomali yang berasal dari zona regional, residual, dan noise, sehingga kedalaman dari anomali gravitasi dapat diestimasi. Analisa spektrum dilakukan dengan mentransformasi Fourier lintasan-lintasan yang telah ditentukan.

   

       

   

 

       

 

(32)

( ) ( ) ikx F k f x e dx

−∞

=

(2.16)

dimana k adalah bilangan gelombang, yang nilainya didapatkan dari persamaan berikut:

2 2

k

π π

f

=

λ

≈ (2.17)

Transformasi Fourier F(k) merupakan suatu fungsi kompleks yang terdiri dari bilangan real dan imajiner, yaitu :

( ) ( ) ( )

2 2 12

Re Im

( ) (Re ( )) (Im ( )) ( ) Amplitudo

F k F k F k

F k F k F k

F k

= +

 

= + 

=

(2.18)

Spektrum diturunkan dari potensial gravitasi yang teramati pada suatu bidang horizontal dimana transformasi Fouriernya menurut Blakely (1996) adalah:

( ) 1

F U G F

µ

 r

=  

  (2.19)

dengan

( 0 ')

1 2

k z z

F e

r π k

  =

   

(2.20)

dimana: U: potensial gravitasi G: konstanta gravitasi µ: anomali densitas r: jarak

k: bilangan gelombang

z0 dan z’: ketinggian titik pengukuran dan kedalaman anomali  

 

       

   

 

       

 

(33)

Sehingga persamaannya menjadi:

( 0 ')

( ) 2

k z z

F U G e

π µ k

=

(2.21)

Berdasarkan persamaan (2.21) di atas, transformasi Fourier anomali gravitasi yang diamati pada bidang horisontal adalah:

0

0

0

( ')

( ')

( ')

( ) ( ) 2

2 2

z

k z z

k z z

k z z

F g F U

z G e

z k

G e

z k G e

π µ

π µ π µ

= ∂

= ∂

= ∂

=

(2.22)

Sehingga hasil transformasi Fourier anomali gravitasi menjadi:

( 0 ') k z z

A=Ce (2.23)

dimana A = amplitudo dan C = konstanta

Dengan melogaritmakan spektrum amplitudo yang dihasilkan dari transformasi Fourier, maka didapatkan hubungan langsung antara amplitudo (A) dengan bilangan gelombang (k) dan kedalaman (z0-z’), sehingga memberikan hasil persamaan garis lurus, yaitu:

(

0 '

)

ln A= zz k (2.24)

Estimasi kedalaman tiap anomali dapat dilakukan dengan melakukan regresi linear pada masing-masing zona, seperti yang terlihat pada Gambar 2.6.

Kedalaman regional akan didapatkan dengan melakukan regresi linear pada zona regional, dan begitu juga dengan zona residual dan noise.

   

       

   

 

       

 

(34)

Gambar 2.6 Pembagian zona anomali melalui grafik ln A terhadap k

2.5 Pemisahan Anomali Regional-Residual (Filtering)

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, anomali Bouguer merupakan gabungan dari anomali regional dan residual. Untuk mendapatkan anomali regional, salah satu metode yang dapat dilakukan adalah polinomial trend surface analysis (TSA). Anomali residual didapat dari mengurangkan anomali Bouguer dengan anomali regional.

Polinomial trend surface analysis ini digunakan untuk mendapatkan anomali residual yang berfrekuensi tinggi yang terdapat pada daerah penelitian, dimana biasanya anomali ini tidak begitu menonjol pada peta anomali Bouguernya, karena masih dipengaruhi oleh anomali regional yang memiliki frekuensi rendah (Kadir, 1991).

Anomali regional didapat dari persamaan polinomial orde n. Abdelrahman (1985) menyatakan bahwa persamaan polinomial tersebut adalah:

,

0 0

( , )

p s

n s s

i n s s

n n

Z x y g a x y

= =

= =

∑∑

(2.25)

dimana an-s,s adalah ½ (p+1)(p+2), koefisien p adalah orde pada persamaan polinomial 2D, x dan y adalah koordinat, jika persamaan (2.25) dijabarkan untuk persamaan orde 2 menjadi:

2 2

1 2 3 4 5 6

i i i i i i i

g =C +C x +C y +C x y +C x +C y (2.26)

ln A

k  

 

       

   

 

       

 

(35)

dimana: i: 1, 2, 3, … , n (jumlah stasiun gravitasi) gi: anomali gravitasi

xi, yi: koordinat stasiun

c1, …, c6: konstanta polinomial yang akan dicari

Untuk mengetahui konstanta-konstanta c1 s/d c6, persamaan diatas dapat dituliskan dalam bentuk matriks sebagai berikut:

2 2

1 1 1 1 1 1 1 1

2 2

2 2 2 2 2 2 2 2

2 2

1 1

i 1 i i i i i i i

g x y x y x y c

g x y x y x y c

g x y x y x y c

 

   

 

   

 

   

 

   

= 

   

 

   

 

   

 

   

    

    

i i i i i i i i

i i i i i i i i

i i i i i i i i

(2.27)

Lalu apabila ditulis dalam bentuk matematis secara singkat, akan didapatkan persamaan berikut:

d = Gm

(2.28)

dimana d adalah vektor dari data input anomali Bouguer, G adalah matriks dari koordinat stasiun atau disebut juga matriks kernel, dan m adalah vektor konstanta polinomial (model parameter) yang akan dicari.

Model parameter yang akan dicari terkandung pada elemen-elemen vektor. Jika data yang kita miliki sangat ideal (tidak ada error sama sekali) maka m dapat ditulis: m=G d1 . Namun, semua data pengukuran memiliki error yang besarnya bervariasi. Oleh karena itu, error tersebut harus dimasukkan pada persamaan (2.28), sehingga menjadi:

d = Gm e +

i (2.29)

   

       

   

 

       

 

(36)

Solusi regresi linear diupayakan dengan cara meminimalkan jumlah kuadrat dari error ei (Supriyanto, 2007). Dalam formulasi matematika, kuadrat error tersebut dinyatakan dengan:

( ) ( )

T T

q = e e = − d Gm d Gm −

(2.30)

Dimana T merupakan operasi transpose dari matriks. Agar kuadrat error minimal, maka persamaan (2.30) diturunkan terhadap m dan hasilnya harus sama dengan nol, seperti yang diturunkan pada persamaan dibawah ini:

0

( )

0 0

2 2

T T T T T T

T T T T T

T T

q m

d d d Gm m G d m G Gm m

d G G d G Gm m G G G Gm G d

∂∂ =

∂ − − + =

− − + + =

=

T T

G Gm = G d

(2.31)

Sehingga perhitungan model parameter dinyatakan dengan persamaan:

T 1 T

m=G G G d (2.32)

Persamaan trend surface analysis menunjukkan bahwa semakin besar orde polinomial, maka semakin banyak suku matematika dimana suku matematika tersebut memiliki kontribusi geologi. Jadi semakin banyak suku matematika, batuan semakin heterogen yang berarti semakin dangkal, dan kontur semakin tidak smooth. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 2.7 di bawah.

   

       

   

 

       

 

(37)

Gambar 2.7 Kontur polinomial

2.6 Analisa Derivative

2.6.1 First Horizontal Derivative

FHD anomali gayaberat merupakan perubahan nilai anomali gayaberat dari satu titik ke titik

memiliki karakteristik tajam berupa nilai maksimum atau minimum pada kontak benda anomali, sehingga dapat digunakan untuk menunjukkan batas suatu struktur geologi berdasarkan anomali gayaberat.

Gambar 2.8 Nilai gradien horizontal pada m

Gambar 2.7 Kontur polinomial TSA dengan variasi orde (Grandis, 2009)

Derivative

First Horizontal Derivative (FHD)

FHD anomali gayaberat merupakan perubahan nilai anomali gayaberat dari satu titik ke titik lainnya secara horizontal dengan jarak tertentu, yang memiliki karakteristik tajam berupa nilai maksimum atau minimum pada kontak benda anomali, sehingga dapat digunakan untuk menunjukkan batas suatu struktur geologi berdasarkan anomali gayaberat.

2.8 Nilai gradien horizontal pada model tabular (Blakely, 1996) TSA dengan variasi orde (Grandis, 2009)

FHD anomali gayaberat merupakan perubahan nilai anomali gayaberat lainnya secara horizontal dengan jarak tertentu, yang memiliki karakteristik tajam berupa nilai maksimum atau minimum pada kontak benda anomali, sehingga dapat digunakan untuk menunjukkan batas suatu struktur

del tabular (Blakely, 1996)  

 

       

   

 

       

 

(38)

Turunan horizontal lebih mudah dipalikasikan dengan menggunakan metode turunan berhingga dan perhitungan secara diskrit. Untuk data dua dimensi, misalnya jika nilai g(i,j), i = 1,2,3, …, j = 1,2,3,…, yang menunjukkan perhitungan diskrit dari g(x,y) pada interval sampel yang sama ∆x dan ∆y, maka turunan horizontal pertama dari g(x,y) pada titik i,j diberikan oleh persamaan:

1, 1,

( , )

2

i j i j

g g

dg x y

dx x

+

≈ ∆ (2.33)

2.6.2 Second Vertical Derivative (SVD)

SVD bersifat sebagai high pass filter, sehingga dapat menggambarkan anomali residual yang berasosiasi dengan struktur dangkal yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi jenis patahan turun atau patahan naik.

Perhitungan SVD diturunkan langsung dari persamaan Laplace untuk anomali gayaberat di permukaan, yang dituliskan dalam persamaan:

2

g 0

∇ =

atau

2 2 2

2 2 2

0

g g g

x y z

∂ + ∂ + ∂ =

∂ ∂ ∂

(2.34)

Sehingga SVD diberikan oleh persamaan:

2 2 2

2 2 2

g g g

z x y

∂ = −∂ −∂

∂ ∂ ∂ (2.35)

SVD dari suatu anomali gayaberat permukaan adalah sama dengan negatif dari second horizontal derivative (SHD). Anomali yang disebabkan oleh struktur cekungan mempunyai nilai harga mutlak minimal SVD selalu lebih besar daripada harga maksimalnya. Sedangkan anomali yang disebabkan struktur intrusi berlaku sebaliknya, harga mutlak minimalnya lebih kecil dari harga maksimalnya sehingga analisa struktur pada SVD dapat dilihat pada Gambar 2.9 berikut.

   

       

   

 

       

 

(39)

Gambar 2.9 Respon analisa SVD pada struktur geologi (Reynolds, 1997)

Dalam bukunya, Reynolds (1997) menyatakan bahwa kriteria untuk menentukan jenis struktur patahan adalah sebagai berikut:

2 2

2 2

maks min

g g

z z

∂ ∆  > ∂ ∆ 

   

∂ ∂

    untuk patahan normal (2.33)

2 2

2 2

maks min

g g

z z

∂ ∆  < ∂ ∆ 

   

∂ ∂

    untuk patahan naik (2.34)

Prinsip dasar dan teknik perhitungan dari metode ini telah dijelaskan oleh Henderson & Zietz (1949), Elkins (1951), dan Rosenbach (1953). Pada data gravitasi, nilai anomali akan mengalami perubahan secara vertikal yang

   

       

   

 

       

 

(40)

diakibatkan karena adanya efek distribusi massa yang tidak merata secara vertikal, maka turunan keduanya akan memperlihatkan besarnya efek gravitasi dari struktur-struktur yang lebih luas dan terletak jauh lebih dalam. Oleh karena itu struktur-struktur kecil/lokal dan samar-samar dapat diperjelas keberadaannya atau lebih dipertajam bentuk kurvanya dibanding struktur-struktur regional yang lebih melebar bentuknya.

Pada metode gravitasi nilai anomali Bouguer digunakan sebagai input pada proses pengolahan data turunan kedua vertikal untuk menghasilkan anomali residual. Untuk mengubah data anomali Bouguer menjadi data turunan kedua/anomali residual, dapat digunakan chart dengan beberapa lingkaran berpusat pada satu titik.

Bila grid data dibuat berspasi S, maka harga turunan kedua pada pusat lingkaran dengan radius berbeda adalah :

0 0 1 1 2 2

2 ( ...)

D c a T a T a T

= s + + + (2.35)

dimana: D: harga turunan kedua pada pusat lingkaran T0: harga anomali pada pusat lingkaran T1: harga anomali rata-rata pada lingkaran C: koefisien numerik

S: jarak antar kisi

a0, a1, a2,...: faktor bobot dari harga gravitasi  

 

       

   

 

       

 

(41)

Gambar 2.10 Chart perhitungan pendekatan turunan kedua menggunakan grid (Rosenbach, 1953)

Persamaan (2.35) di atas merupakan persamaan umum dari pendekatan turunan kedua vertikal. Kemudian Henderson & Zietz, Elkins, dan Rosenbach menurunkan persamaan-persamaan yang menjadi solusi penyelesaian dari turunan vertikal orde dua, sebagai berikut:

a. Henderson & Zietz (1949)

2

0 1 2

2 2

2 (3T 4T T )

z s

∂ Φ = − +

b. Elkins (1951)

2

0 1 2

2 2

1 (16 8 12 )

28 T T T

z s

∂ Φ = + −

c. Rosenbach (1953)

2

0 1 2 3

2 2

1 (96 72 32 8 )

24 T T T T

z s

∂ Φ = − − +

dimana T0: Harga rata-rata medan anomali pada r=0 T1: Harga rata-rata medan anomali pada r=s T2: Harga rata-rata medan anomali pada r=s 2 T3: Harga rata-rata medan anomali pada r=s 5

   

       

   

 

       

 

(42)

BAB III

TINJAUAN GEOLOGI

3.1 Tinjauan Umum Sulawesi

Sulawesi dalam tektonik global tidak terlepas dari tatanan tektonik Indonesia yang berada pada daerah pertemuan tiga lempeng yang saling berinteraksi satu sama lain. Sulawesi terletak pada zona pertemuan di antara tiga pergerakan lempeng besar, yaitu pergerakan lempeng Indo-Australia dari selatan, lempeng Pasifik dari arah timur, dan lempeng Eurasia bergerak relatif pasif ke tenggara (Gambar 3.1).

Gambar 3.1 Peta tektonik global Indonesia (Katili, 1973)  

 

       

   

 

       

 

(43)

3.2 Sejarah Geologi Sulawesi

Sejarah geologi Pulau Sulawesi dapat terbagi menjadi 3 masa, yaitu masa Paleozoikum, Mesozoikum, dan Kenozoikum. Pada masa Paleozoikum periode Perm (280 Ma) semua benua mulai menyatu membentuk suatu daratan yang sangat luas yang disebut benua Pangea.

Kemudian pada masa Mesozoikum periode Trias (250 Ma), pecahnya Pangea menjadi dua yaitu Laurasia dan Gondwana. Laurasia meliputi Amerika Utara, Eropa, dan sebagian besar Asia sekarang. Indonesia dan wilayah sekitar bagian barat (Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan bagian barat Sulawesi) merupakan bagian benua Laurasia, sedangkan Indonesia dari bagian timur (bagian Timur Sulawesi, Timor, Seram, Buru, dan seterusnya) yang merupakan bagian benua Gondwana.

Pada periode Jura (215 Ma), bagian barat Sulawesi bersama-sama dengan Sumatera, Kalimantan, dan daratan yang kemudian akan menjadi Kepulauan Lengkung Banda dianggap terpisahkan dari Antartika dalam pertengahan periode Jura, atau dengan kata lain, bagian barat Indonesia bersama dengan Tibet, Birma Thailand, Malaysia, dan Sulawesi Barat terpisah dari benua Laurasia.

Pada masa Kenozoikum kurun Eosen (50 Ma), Australia terpisah dari Antartika, vulkanisme mulai timbul di bagian barat Sulawesi. Eurasia terbentuk pada area kontinental yang stabil, dengan batas kontinental Eurasia yang berorientasi ke arah NE-SW. Taiwan, Palawan Utara, dan continental shelf (berarah NW dari Kalimantan) berada di luar kondisi passive margin stabil, yang terbentuk sepanjang periode Kapur. Pada zaman ini, Sundaland memisah dari Eurasia akibat dari kerak samudra Mesozoik.

Pada kurun Miosen (25 Ma), Australia, Irian, dan bagian timur Sulawesi kemungkinan terpisahkan dari Irian sebelum bertabrakan dengan Sulawesi bagian barat. Pada periode pertengahan Miosen, mulai muncul daratan. Australia, Sulawesi Timur dan Irian terus bergarak ke utara kira kira 10 cm pertahun.

   

       

   

 

       

 

(44)

Pada kurun Miosen ini, Lempeng Australia bergerak ke utara mengakibatkan melengkungnya bagian timur, Lengkung Banda ke barat. Gerakan ke arah barat ini digabung dengan desakan ke darat sepanjang sistem patahan Sorong dari bagian barat Irian dengan arah timur barat, mengubah kedua masa daratan yang akan menghasilkan bentuk khas Sulawesi yang sekarang (bentuk K).

Diperkirakan tabrakan ini terjadi sekitar 15 Ma (pertengahan Miosen).

Kepulauan Banggai Sula bertabrakan dengan Sulawesi Timur dan seakan akan menjadi ujung tombak yang masuk ke Sulawesi bagian barat, yang menyebabkan semenanjung barat daya berputar berlawanan dengan arah jarum jam sebesar kira- kira 35°, dan bersama itu membuka Teluk Bone. Semenanjung Utara memutar ujung utaranya menurut arah jarum jam hampir sebesar 90°, yang menyebabkan terjadinya subduksi (penempatan secara paksa suatu bagian kerak bumi di bawah bagian lain pada pertemuan dua lempeng tektonik) sepanjang alur Sulawesi Utara dan Teluk Gorontalo, dan obduksi (penempatan secara paksa suatu bagian kerak bumi diatas bagian lain pada pertemuan dua lempeng tektonik).

Diperkirakan juga bahwa Sulawesi Barat bertabrakan dengan Kalimantan Timur pada Akhir Pliosen (3 Ma yang lalu) yang sementara itu menutup Selat Makassar dan baru membuka kembali dalam periode Kwarter, meskipun tidak ada data pasti yang menunjang pendapat ini. Endapan tebal dari sebelum Miosen di Selat Makassar memberikan petunjuk bahwa Kalimantan dan Sulawesi pernah terpisahkan sekurang-kurangnya 25 Ma.

Gambar 3.2 Sejarah Pembentukan Pulau Sulawesi (Satyana, 2008)  

 

       

   

 

       

 

(45)

3.3 Tektonik Sulawesi

Tektonik Pulau Sulawesi terbentuk akibat dari peristiwa konvergen dan transform. Untuk kawasan konvergen di Sulawesi, lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Indo-Australia saling bergerak dan mendekati. Pergerakan ketiga lempeng ini bersifat tumbukan. Tumbukan antar ketiganya tertekuk dan menyusup kebawah lempeng benua hingga masuk ke Astenosfer (zona melange), yang merupakan kedudukan titik-titik fokus gempa tektonik.

Banyak model tektonik yang sudah diajukan untuk menjelaskan evolusi tektonik dari Pulau Sulawesi. Ada dua peristiwa penting yang terjadi di Sulawesi bagian barat pada masa Kenozoikum. Yang pertama adalah rifting dan pemekaran lantai samudera di Selat Makassar pada Paleogen yang menciptakan ruang untuk pengendapan material klastik yang berasal dari Kalirnantan. Yang kedua adalah peristiwa kompresional yang dimulai sejak kala Miosen, kompresi ini dipengaruhi oleh tumbukan kontinen di arah barat dan ofiolit serta fragmen-fragmen busur kepulauan di arah timur. Fragmen-fragmen ini termasuk mikro-kontinen Buton, Tukang Besi dan Banggai Sula. Kompresi ini menghasilkan Jalur Lipatan Sulawesi Barat (West Sulawesi Fold Belt) yang berkembang pada kala Pliosen Awal. Meskipun ukuran fragmen-fragmen ini relatif kecil, efek dari koalisinya dipercaya menjadi penyebab terjadinya peristiwa-peristiwa tektonik di seluruh bagian Sulawesi (Sompotan, 2012).

Secara regional, Pulau Sulawesi mendapat tekanan dari luar sehingga terjadi deformasi secara terus menerus, seperti tekanan dari Laut Flores di bagian selatan mengaktifkan patahan Palu-Koro dan Walanae, Banggai-Sula, dan Laut Banda. Dari timur mengaktifkan Patahan Matano, Batui, Lawanoppo, dan Kolaka.

Laut Sulawesi dari utara mengaktifkan subduksi Laut Sulawesi, Patahan Gorontalo, dan aktivitas gunung api di utara. Tekanan dari lempeng Laut Maluku dari timur menimbulkan gempa dan gunung api di Sulawesi Utara (Kaharuddin, dkk., 2011). Sehubungan dengan fenomena tektonik tersebut di atas, maka di kawasan Pulau Sulawesi terdapat banyak patahan besar.

   

       

   

 

       

 

(46)

Gambar 3.3

Struktur regional yang mempengaruhi perkembangan tektonik geologi Pulau Sulawesi menurut Katili (1973) adalah:

1. Selat Makassar yang memisahkan Paparan Sun

dari lempeng Eurasia) dengan Sulawesi Selatan dan Tengah, terbentuk karena pemekaran samudra sejak k

2. Adanya konvergensi antara lengan tenggara Sulawesi dengan Laut Banda melalui Tolo Trench

3. Dalaman Sulawesi Utara y Pasifik.

Berdasarkan litotektonik, P (Leeuwen, 1994), yaitu:

1. Mandala Barat

busur magmatik dibagi menjadi bagian utara dan bagian barat. Bagian utara memanjang dari Buol sampai sekitar Manado, sedangkan bagian barat memanjang dari Buol sampai sekitar Makassar.

Gambar 3.3 Cross section geologi regional Sulawesi (Satyana, 2008)

Referensi

Dokumen terkait

Data regional yang diperoleh selanjutnya dikurangkan dengan hasil anomali Bouguer yang kemudian selisihnya (AB - REG) adalah data residual. Hasil pengurangan anomali

Identifikasi Struktur Geologi Bawah Permukaan Dasar Laut Berdasarkan Interpretasi Data Anomali Magnetik Di Perairan Teluk Tolo Sulawesi.. Universitas Pendidikan Indonesia |

Identifikasi Struktur Geologi Bawah Permukaan Dasar Laut Berdasarkan Interpretasi Data Anomali Magnetik Di Perairan Teluk Tolo Sulawesi.. Universitas Pendidikan Indonesia |

Nilai kontur anomali Second Vertical Derivative bernilai 0 mengidentifikasikan terdapat struktur sesar ataupun patahan di bawah permukaan bila dilihat persebaran nilai anomalinya

Hasil anomali gravitasi residual menunjukkan adanya anomali tinggi yang diperkirakan sebagai adanya intrusi batuan andesit dan adanya sesar yang ditunjukkan pada daerah

Hasil anomali gravitasi residual menunjukkan adanya anomali tinggi yang diperkirakan sebagai adanya intrusi batuan andesit dan adanya sesar yang ditunjukkan pada daerah

Berdasarkan interpretasi rekaman seismik terdapat empat satuan batuan yaitu: Batuan Dasar sebagai batuan dasar Mikro Buton dan Lengan Timur Sulawesi; Batuan Prisma Akresi sebagai

Berdasarkan interpretasi rekaman seismik terdapat empat satuan batuan yaitu: Batuan Dasar sebagai batuan dasar Mikro Buton dan Lengan Timur Sulawesi; Batuan Prisma Akresi sebagai