• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum Perkawinan Adat

N/A
N/A
Muhammad Fadlin Tsaqif

Academic year: 2024

Membagikan "Hukum Perkawinan Adat"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

HUKUM PERKAWINAN ADAT

Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah Hukum Adat Dosen Pengampu : Badrut Tamam, S.H., M. H.

Disusun Oleh Kelompok 6 :

Uzlifatul Maulidiyah 214102020004 Maulana Ihsanullah 214102020027 Mochammad Atiyono 214102020028

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KIAI HAJI ACHMAD SIDDIQ JEMBER

NOVEMBER 2022

(2)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Segala puji syukur kami haturkan atas semua yang telah tuhan semesta alam berikan, berupa rahmat dan karunianya sehingga kami bisa menulis makalah mata kuliah hukum adat. Makalah ini disusun oleh kelompok 6 untuk memberikan sedikit pemahaman terhadap hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan adat yang sudah menjadi kebiasaan bagi masyarakat.

Adapun materi yang kami tulis yaitu mengenai perkawinan adat yang di dalamnya membahas pengertian dari perkawinan adat, asas-asas, sistem perkawinan, bentuk dari perkawinan dan bagaimana putusnya perkawinan adat dan implikasinya. Kami berharap agar pembaca dapat menemukan sesuatu yang bermanfaat dalam makalah ini

dan

pasti terdapat kesalahan baik dalam penulisan maupun dalam isi materinya, sehingga kami membutuhkan kritik dan saran dari pembaca agar nantinya kami bisa memperbaiki dan menyempurnakan penyusunan materi makalah selanjutnya.

Jember, 2 November 2022

Kelompok 6

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...ii

DAFTAR ISI ...iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...1

B. Rumusan Masalah ...1

C. Tujuan ...2

BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Perkawinan Adat ...3

B. Asas Hukum Perkawinan Adat ...4

C. Sistem Perkawinan Adat ...7

D. Bentuk Perkawinan Adat ...9

E. Putusnya Perkawinan dan Implikasinya dalam Hukum Adat ...11

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan ...14

DAFTAR PUSTAKA ...15

(4)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara dengan memliki banyak macam suku dan budaya adalah negara indonesia. Adanya budaya dan suku ini membuat setiap daerah memiliki aturan yang berdeda-beda. Dengan banyaknya perbedaan adat, suku dan agama ini menjadikan hukum di indonesia terbagi menjadi hukum positif, hukum adat dan hukum islam.

Setiap suku yang ada di daerah-daerah memiliki aturan dan kebiasaan yang tidak sama. Masyarakat adat akan mematuhi aturan yang sudah jalan secara dengan kebiasaan. Aturan yang ada ditengah-tengah masyarakat adat bersifat tidak tertulis yang mana aturan tersebut berjalan sesuai dengan perkembangan yang dilalui oleh masyarakatnya. Akan tetapi segala sesuatu yang diatur di dalam hukum adat itu sama, seperti wariss, tanah, perkawinan, benda, dan perikatan.

Sehingga dalam makalah ini kami akan membahas tentang perkawinan adat yang ada di indonesia, misalnya dapat kami contohkan dengan perkawina adat yang ada di suku bugis yang mana dalam pelaksanaan-Nya perkawinan ini dilakukan denga meriah karena sudah mengikuti jejak tuntutan nenek moyang. Pastinya perkawinan suku bugis dengan perkawinan suku jawa jauh berbeda, suku jawa menerapkan adat perkawinan yang sederhana dengan tidak bermewah-mewahan.

Perbedaan tersebut tidak akan membuat antara daerah merasa terancam, karena masing-masing memiliki hukum adat yang sesuai dengan daerahnya. Adat seperti ini harus dilestarikan, sebagai generasi muda hendaknya memahami bagaimana sistem perkawinan adat yang telah diterapkan dalam setiap daerahnya.

(5)

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu Perkawinan Adat?

2. Apa Saja Asas Hukum Perkawinan Adat?

3. Bagaimana Sistem Perkawinan Adat?

4. Apa Saja Bentuk Perkawinan Adat?

5. Sebab-sebab Putusnya Perkawinan dan Implikasinya dalam Hukum Adat ?

C. Tujuan Masalah

Jika dilihat dari pembahasan laatar belakang di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam makalah ini ditujukan agar untuk mengetahui pengertian dari perkawinan adat, asas-asas, sistem perkawinan, bentuk dari perkawinan dan bagaimana putusnya perkawinan adat dan implikasinya.

(6)

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Perkawinan Adat

Pengertian dari perkawinan sendiri yang secara umum didefinisikan sebagai ikatan bagi sepasang suami istri, baik secara lahir dan batin dengan tujuan membentuk suatu rumah tangga yang kekal.

Perkawinan adat merupakan perbuatan atau kegiatan sakral yang dilakukan oleh dua belah pihak adat untuk melanjutkan hidup berkeluarga dan bertujuan untuk mendapatkan keturunan. Van Gennep menyebut upacara perkawinan ini sebagai upacara peralihan “Rites De Passage1 yang mana dijadikan sebagai lambang peralihan status bagi kedua meempelai yang awalnya hidup sendiri tidak mempunyai pasangan dialihkan menjadi suami istri untuk membina keluarga baru.

Berikut beberapa pengertian perkawinan adat yang telah dikemukakan oleh para ahli:

1. Hazairin memberikan definisi perkawinan sebagai sebuah proses, rangkaian atau urutan yang magis dengan memiliki tujuan agar terjaminnya ketenangan, kesenangan dan kesuburan antara keduanya.

2. A. Van Gennep seperti yang telah disebutkan di atas bahwa mendefinisikan sebagai upacara peralihan, yang mana peralihan ini merupakan peralihan status dari sepasang suami istri. Adapun peralihan status terbagi menjadi tiga tahapan, pertama Rites de separation, kedua Rites de merge dan yang ketiga Rites de aggregation.

3. Djojodegoeno mendefinisikan perkawinan sebagai hal yang bersifat paguyupan, bukan hubungan yang didasarkan dengan

1 Erwin Oman Hermansyah Soetoto dan Zulkifli Ismail, Melanie Pita Lestari: Buku Ajar Hukum Adat (Malang: Madza Media, 2021), 90.

(7)

perjanjian, akan tetapi hubungan suami istri itu sebagai ketunggalan.

Perkawinan ini adalah suatu kegiatan yang mengikat antara seorang laki-laki dan perempuan yang berada di lingkungan adat untuk disatukan dalam hubungan kekerabatan yang mana hal ini menjadikan sepasang kekasih yang mempunyai tujuan untuk hidup bersama dan memperoleh keturunan untuk meneruskan hubungan kekerabatan-Nya.

Sesuai dengan UU No. 1 Tahun 1974 yang berisi definisi perkawinan sebagai bentuk ikatan antara suami istri dengan tujuan agar terbentuknya keluarga atau rumah tannga yang kekal yang berdasarkan tuhan yang esa.2 Hubungan antara suami istri ini dapat membentuk biologis, yang mana nantinya akan mendapatkan keturunan, dalam hal ini bukan hanya kepentingan dua orang saja. Akan tetapi hal ini juga menjadi kepentingan keluarga yang bersangkutan.

Secara hukum islam perkawinan disebut sebagai suatu perbuatan yang sakral yang dilakukan oleh kedua sepasang suami istri secara runtutan agama dengan memliki tujuan yang sama hidup semati.

B. Asas-Asas Dalam Hukum Perkawinan Adat

Dalam masyarakat hukum adat, hukum perkawinan adat memiliki asas asas perkawinan sebagai pedoman, tuntunan atau barometer masyarakat adat untuk melangsungkan suatu perkawinan. Yang tentunya masing masing daerah juga memiliki aturan, ketentuan ataupun ketetapan yang berbeda beda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Hal itu dapat dilihat dari adat daerah setempat atau kebiasaan kebiasaan daerah tersebut.

Yang mana setiap daerah memiliki kebiasaan atau kultur yang berbeda beda, sehingga dari situlah perbedaan itu ada. Adapun asas asas dalam hukum perkawinan adat antara lain, yaitu:3

2 Sri Warjiyati, Ilmu Hukum Adat, (Sleman: Deepublish, 2020), 109

3 Badrut Tamam, Pengantar Hukum Adat, (Depok : Radja Pustaka, 2022), 84-86

(8)

1. Asas keadatan dan kekerabatan

Menurut asas perkawinan keadatan dan kekerabatan ini yaitu perkawinan hukum adat bukan hanya sekedar menyatukan antar individu atau antara perempuan dan pria dalam satu atap atau rumah tangga. Namun juga menyatukan antara dua keluarga dan menyatukan masyarakat hukum adat yang juga memiliki tanggung jawab untuk mengurus setiap perkawinan anggota masyarakat hukum adatnya.

Sehingga peran keluarga dan masyarakat hukum adat sangatlah penting dalam perkawinan hukum adat, yaitu sebagai penentu pasangan, sebagai penentu upacara adat dan sebagai penentu penentu lainnya sebelum berlangsungnya sebuah perkawinan. Sehingga asas ini sebagai inti dasar dalam perkawinan hukum adat sebelum asas asas yang lain, karena asas ini sebagai penentu awal sebelum terjadinya perkawinan.

2. Asas kesukarelaan/ persetujuan4

Menurut asas ini dalam perkawinan hukum adat seorang calon mempelai tidak memiliki kekuasaan atau kewenangan penuh dalam menentukan kesukarelaan atau persetujuan perkawinan. Akan tetapi setiap perkawinan perlu adanya persetujuan dari orang tua dan anggota kekerabatannya.

Selain itu masyarakat adat juga dapat menolak kedudukan suami atau istri apa bila pasangan dari mempelainya tidak diakui dalam masyarakat adat tersebut. Asas ini juga memiliki sanksi tegas bagi para pelanggarnya yaitu dapat dikeluarkannya dari lingkungan kekerabatan masyarakat adatnya. Lebih lebih dalam suatu masyarakat hukum adat yang sistem kesukuannya sangat kuat maka tidak ada toleransi didalamnya dan wajib hukumnya untuk dipatuhi, seperti masyarakat adat yang ada di Nusa Tenggara Timur.

4 Defitri Maulani, “Akibat Hukum Putusnya Perkawinan Dalam Masyarakat Hukum Adat

Suko Domo di Kenegrian Rumbio Kabupaten Kampar” (Skripsi, UI Riau, 2019), 24

(9)

3. Asas partisipasi dan masyarakat adat

Dalam asas ini menjelaskan bahwasanya partisipasi atau peran orang tua, keluarga atau kerabat dan masyarakat adat sangatlah penting dan memberikan pengaruh yang cukup besar dalam keberlangsungan perkawinan hukum adat. Partisipasi yang dimaksud dalam asas mencakup banyak hal, mulai dari pemilihan pasangan mempelai, persetujuan dalam pemilihan pasangan,

Etika-etika yang perlu dijaga dalam perkawinan, batasan batasan yang perlu diketahui oleh calon mempelai untuk mencapai pada kelanggengan atau kebahagiaan dalam perkawinan adat tersebut. Sehingga tanggung jawab moral dalam pelaksanaan perkawinan hukum adat sangatlah besar untuk mencapai suatu tujuan perkawinan yang bahagia baik secara langsung maupun tidak langsung.

4. Asas Poligami5

Maksud dari asas Poligami ini adalah seseorang yang mengawini beberapa perempuan atau lebih dari satu dalam waktu bersamaan, yang mana praktik seperti ini sudah ada sejak lama dan menjadi tradisi yang melekat pada masyarakat hukum adat.

Sehingga tidak sedikit dari raja raja dan para bangsawan memiliki istri lebih dari satu bahkan sampai puluhan, baik itu dari para raja atau bangsawan yang beragama Hindu, Budha, kristen dan islam.

Karena sering kita ketahui bahwa tradisi poligami sering dikaitkan pada masyarakat muslim, padahal hal itu sudah terjadi sejak lama dan hal itu tidak hanya dilakukan oleh masyarakat muslim. Dari masing masing para istri yang dipoligami itu juga

5 Sekretariat Negara Republik Indonesia. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, pasal 3

(10)

memiliki kedudukan yang berbeda antar yang satu dengan yang lain, apabila dilihat dari sudut pandang struktur adat tersebut.

Namun dengan seiring perkembangan jaman dan mulai melemahnya institusi hukum adat. Dan mulai berkembang adanya hukum nasional, maka lambatlaun praktik poligami mulai ditinggalkan. Kalaupun ada, hal itu akan menyesuaikan pada ketentuan masing masing agamanya. Sehingga poligami dalam hukum adat mulai tersisihkan oleh hukum yang lebih kuat.

5. Asas Selektivitas

Maksud dari asas selektivitas ini yaitu sesuai dengan namanya selektif yang berarti memilih atau mempertimbangkan.

Sehingga dalam proses perkawinan adat ada yang namanya penentuan calon mempelai pasangan suami ataupun istri.6 Sesuai yang sudah dijelaskan diatas bahwasanya dalam proses penentuan pasangan ini peran orang tua, anggota kerabat dan masyarakat adat juga memiliki peran atau andil yang cukup penting atau cukup besar.

Yang berarti perlu persetujuan dari orang tua, kerabat dan masyarakat hukum adat untuk menentukan pasangan. Dalam proses pemilihan atau penentuan calon mempelai ini diarahkan pada jenis perkawinan yang dikehendaki dan menghindari perkawinan yang dilarang dalam masyarakat hukum adat tersebut.

C. Sistem Perkawinan Dalam Hukum Adat

Dalam sistem perkawinan hukum adat di Indonesia ada 3 macam sistem yang berlaku dan dilaksanakan oleh masyarakat di Indonesia antara lain yaitu:

1. Sistem endogamy

Sistem endogami yaitu suatu sistem perkawinan yang menghendaki seseorang hanya boleh dan dapat menikahi yang

6 Yulia, Buku Ajar Hukum Adat (Sulawesi: Unimal Press, 2016), 54

(11)

memiliki suku, kekerabatan dan kekeluargaan yang sama dengan dirinya.7

Yang mana berarti perkawinan ini hanya dapat dilakukan dalam lingkungan anggota, rumpun, suku atau marga yang sama antar mempelai laki laki dan mempelai perempuan. Sistem perkawinan ini bertujuan untuk kepentingan persatuan dalam hal hubungan kekeluargaan, dengan harapan agar kekeluargaannya tidak pecah, berpencar atau menghilang.

Selain itu juga untuk bisa mempertahankan tanah atau daerahnya, agar tetap menjadi milik sendiri, keluarga, suku atau adat tersebut. Dengan begitu suku atau adat tersebut tidak akan hilang atau tersingkirkan, karena wilayah tetap dikuasai dah keanggotaannya juga tetap terjaga. Sistem perkawinan seperti ini dapat kita jumpai dibeberapa daerah di Indonesia salah satunya didaerah Toraja, yang sistem perkawinannya masih menganut pada sistem endogami ini.

2. Sistem exogami

Sistem exogami merupakan salah satu sistem perkawinan adat yang mewajibkan seseorang untuk memilih pasangan hidupnya atau menikah dengan orang yang ada di luar suku yang sama untuk meneruskan keturunan pada suku yang awal dengan menikah atau memilih pasangannya di masyarakat yang memiliki hukum adat yang berbeda.seperti di suatu daerah Tapanuli dengan alas Minangkabau yang mana di daerah tersebut menganut sistem exogami dalam dalam sistem perkawinan adatnya.

3. Sistem eleutherogami

System perkawinan yang tidak mengenal larangan larangan atau keharusan keharusan tertentu seperti yang ada pada kedua sistem perkawinan diatasnya. Dengan begini berarti dalam sistem ini memberikan kebebasan kepada anggota masyarakat hukum adatnya

7 Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluaga (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992). 132

(12)

untuk menentukan pasangannya sendiri, baik itu dari suku yang sama maupun yang berbeda. Sistem ini hanya memberikan ketentuan larang pada pernikahan yang sedarah dekat, sekeluarga atau keturunan (nasab). Seperti saudara kandung, ibu kandung, bapak, anak kandung, kakek, nenek dan saudara kandung dari ibu atau bapak. Biasanya sistem ini ada di jawa, NTB, aceh dan lainnya.

D. Bentuk Perkawinan Adat

Terdapat bentuk-bentuk perkawinan adat yang beragam dan berbagai macam di berbagai daerah di Indonesia, bentuk perkawinan adat dapat di bagi beberapa yaitu bentuk perkawinan berdasarkan susunan kekerabatan, bentuk perkawinan anak-anak, bentuk perkawinan poligami, bentuk perkawinan ambil anak bentuk perkawian mengabdi, bentuk perkawinan sosorat (meneruskan), bentuk perkawinan leverat (mengganti).

Bentuk perkawinan ini di bagi menjadi 3 yaitu :8 1. Matrilineal

sifat kekeluargaan matrilineal yaitu (garis keturunan ibu) sifat perkawinan ini keturunan dan anak- anak nya mengikuti keluarga istri,pada hakikatnya suami tidak mempunyai kekuasaan terhadap keturunannya,di karenakan bentuk perkawinan ini istrinya yang mebiayai keluarganya dan anak-anak keturunannya.

2. Patrilineal

Yaitu (garis keturunan bapak) sifat perkawinan ini pihak laki-laki meberikan ‘uang jujur’kepada perempuan sebagai lambing diputuskannya hubungan keluargaan sang istri,setelah perkawinan si istri masuk dalam lingkingan keluarga suami begi pula dengan anak- anak dan keturunannnya.

3. Parental/bilateral

8 Ibid. 89

(13)

Yaitu (garis keturuanan bapak dan ibu) sifat perkawinan ini kelurga istri dan suami menjadi keluarga bersama dan begitu pula dengan anak-anak dan ketunannya.

1. Bentuk perkawinan anak

Bentuk perkawinan ini biasanya di laksanakan oleh calon yang belum dewasa atau masih anak-anak, biasanya perkawinan ini dilakukan sesuai ketentuan hukum islam,sedangkan upacara atau yang biasanya disebut pesta perkawinan dilaksanakan dengan hukum adat,tetapi upacara di tunda sampai si calon istri dan calon suami telah memenuhi syarat atau dapat melakukan hubungan suami istri setelah mereka dewasa.

2. Bentuk perkawinan poligami

Bentuk perkawinan ini adalah seorang laki-laki yang memiliki istri dari satu dalam waktu bersamaan ,dan ini sudah ada sejaki waktu kerajaan-kerajaan terdahulu ,yang dimana istri pertama di jadikan permaisuri dan istri ke dua sebagai pemaduan (selir) dan kedudukan istri pertama dan kedua berbeda-beda,istri pertama memiliki kedudukan tinngi di bandingkan dengan istri pemaduan nya (selir),para istri pemaduan dan keturunannya memiliki tempat tinngal terpisah dengan satu sama lain.

3. Bentuk perkawinan ambil anak

Biasanya perkawinan ini terjadi pada kekerabatan patrilineal,yang dimana si laki-laki tidak perlu membayar “uang jujur”9 yang bermaksud mengambil si laki-laki (menantunya )itu kedalam keluarganya agar menjadi penerus silsilah kakeknya,bentuk perkawinan ini biasanya terjadi di masyarakat semendo ,yang biasanya di sebut sebagai perkawinan semendo ambil anak.

4. Bentuk perkawinan mengabdi

9 Laksanto Utomo, Hukum Adat, 97.

(14)

Perkawinan ini biasanya terjadi karna seorang suami tidak dapat membayar uang perkawinan karna kontan yang cukup besar,sehingga pihak laki-laki harus mengabdi kepada keluarga smpai pembayaran uang perkawinan tersebut di anggap lunas.

5. Bentuk perkawinan sosorat (meneruskan)

Perkawinan seperti ini dikarenakan si suami (duda) atau di tinggal si istri meninggal dan si suami menikahi adik istrinya(ipar) untuk meneruskan perkawinannya dan sebagai ahli fungsi atas istri pertamanya atau kakaknya biasanya bentuk perkawinan ini tampa adanya “uang jujur”.

6. Bentuk perkawinan leverat (mengganti)

Perkawinan ini dilakukan karna si suami meninngal dan si istri di nikahi oleh adik nya si suami yang meninggal (ipar) sebagai bentuk mengganti perkawinan kakak nya yang meninggal dunia, perkawinan ini juga disebut perkawinan jujur, dan perkawinan ini dapat di temukan di Bengkulu dan palembang.

E. Putusnya perkawinan dan implikasinya dalam hukum adat

Percerairan jika dilihat dalam arti yang luas sebagai suatu tindakan memutus hubungan yang ada yang berupa hubungan perkawinan suami istri dengan adanya sebab-sebab permasalahan di dalamnya.10

Perceraian adalah perbuatan hukum antara suami istri yang mengakibatkan putusnya hubungan.dalam hukum adat dan hukum agama perceraian adalah perbuatan yang tercela,karna hukum adat sendiri mengharapakan sebuah perkawinan yang langgeng atau sampai seumur hidup menikah satu kali, perceraian dialakukan dengan cukup bukti bahwa suami istri tidak bisa hidup rukun kembali. Pasal 38 UU No. 1 tahun 1974

10 Jamaluddin, dan Nanda Amalia, : Hukum Perkawinan (Sulawesi: Unimal Press, 2016),

87

(15)

memuat tentang perkawinan bisa putus karena adanya kematian, perceraian dan dengan adanya putusan dari pengadilan.11

Pandangan hukum adat tentang perceraian. Perkawinan itu sebuah urusan atau kekerabatan yang memiliki fungsi sebagai suatu cara pertumbuhan secara tertib suatu masyarakat kerabat melalui golongan

“generasi”, hukum adat juga mengartikan sebuah perceraian dapat dilaksanakan secara musyawaroh baik-baik atau dengan kesepakatan bersama karena salah satunyanmandul atau tidak dapat memilikim keturunan atau karna percekcok an dalam perkawinannya yang mengakibatkan tidak dapat dirukunkannya kembali.

Sebuah perkawinan dapat perceraian itu ada beberapa sebab yaitu:

1. Perzinaan adalah salah satu sebab terjadinya perceraian,sebagaimana yang ditegaskan oleh serojo wigjodipoero,Ter Haar,Soerjono Soekamto,dan Djaren Saragih sebagai berikut:perceraian yang disebabkan istri berzianh sudah barang tentu membawa akibat-akibat yang merugikan istri.

2. Kemandulam istri

Perceraian juga bisa karna seorang istri mandul atau tidak dapat memberikan keturunan atau tidak punya anak, dan termasuk seorang istri mempunyai penyakit yang sukar untuk disembuhkan.

3. Suami meninggalkan istri terlalu lama

Seorang suami yang meninggalkan isrtri selama 2 tahun berturut tutrut tanpa adanya nafkah untuk istrinya itu juga bisa sebab adanya perceraian dalam perkawinan.

4. Istri tidak berlakuan tidak sopan

Apabila serang istri tidak bisa berlaku sopan itu juga bisa termasuk sebab terjadinya perceraian namun yang

11 Muhammad Syaifudin, Hukum Perceraian (Palembang: Sinar Gravika, 2012), 15

(16)

dimaksud disisni apabila istri terus menerus tidak berlaku sopan.

5. Perselingkuhan

Landasan yang diambil dalam melakukan persekingkuhan dengan mengedepankan hawa nafsu baik dilakukan oleh istri atau suami. Dirinya merasa tidak puas terhadap pasangannya yang mana orang tersebut tidak merasa cukup dengan apa yang ia miliki saat ini. Terkadang faktornya disebabkan pelayanan yang kurang.12

6. Terpidana penjara 5 tahun lebih

Ketika terjadinya hukuman pidana selama lima tahun antara suami istri, sehingga terjadilah sebab-sebab perceraian.

Pada dasarnya perceraian hukum adat dan perceraian sistem hukum Indonesia memiliki kesamaan dalam protes tata cara yaitu ke pengadilan. Menurut ketentuan pengaturan perceraian dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu dengan cerai talak dan cerai gugat.

Salah satu implikasi menurut hukum adat juga mengatur bahwa setelah terjadi perceraian seorang dapat menikah lagi ,namun menurut adat dan hukum islam seorang janda tersebut tidak dapat menuntut nafkah kepada mantan suami.

12 Ahmad, All About Selingkuh, 85.

(17)

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Perkawinan adat merupakan suatu prosesi sakral yang dilakukan untuk mengikat hubungan antara suami istri agar bisa menempuh hubungan yang serius sampai akhir hayatnya. Dalam melakukan perkawinan ini bukan hanya melibatkan kedua mempelai, akan tetapi para pihak keluarga, tetangga, bahkan leluhur ikut bercampur tangan dalam proses pernikahan.

Dalam makalah ini juga disebutkan pembagian asas-asas perkawinan adat yang terbagi menjadi lima. Begitu juga tentang sistem dalam perkawinan adat dibagi menjadi tiga bagian. bentuk-bentuk perkawinan adat yang beragam dan berbagai macam di berbagai daerah di Indonesia, bentuk perkawinan adat dapat di bagi beberapa yaitu bentuk perkawinan berdasarkan susunan kekerabatan, bentuk perkawinan anak- anak, bentuk perkawinan poligami, bentuk perkawinan ambil anak bentuk perkawian mengabdi, bentuk perkawinan sosorat (meneruskan), bentuk perkawinan leverat (mengganti).

Untuk melakukan perceraian perkawinan biasanya diliputi dengan berbagai sebab yang mengakibatkan runtuhnya kenyamanan dalam keluarga, sehingga banyaknya terjadi perceraian dalam masyarakat.

(18)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Abdul Aziz. All About Selingkuh: Problematika dan Jalan Keluarnya.

Bandung: Pustaka Hidayat, 2009.

Jamaluddin, dan Nanda Amalia. : Hukum Perkawinan. Sulawesi: Unimal Press, 2016.

Maulani, Defitri . “Akibat Hukum Putusnya Perkawinan Dalam Masyarakat Hukum Adat Suko Domo di Kenegrian Rumbio Kabupaten Kampar.” Skripsi, UI Riau, 2019.

Sekretariat Negara Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

Soekanto, Soerjono. Intisari Hukum Keluaga. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992.

Soetoto, Erwin Oman Hermansyah, dan Zulkifli Ismail, Melanie Pita Lestari: Buku Ajar Hukum Adat. Malang: Madza Media, 2021.

Syaifudin, Muhammad. Hukum Perceraian. Palembang: Sinar Gravika, 2012.

Tamam, Badrut. Pengantar Hukum Adat. Depok : Radja Pustaka, 2022.

Utomo, Laksanto. Hukum Adat. Jakarta: Rajawali Pers, 2016.

Warjiyati, Sri. Ilmu Hukum Adat. Sleman: Deepublish, 2020.

Yulia. Buku Ajar Hukum Adat. Sulawesi: Unimal Press, 2016.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan Penelitian ini adalah untuk menganalisis kedudukan perkawinan adat sasuku (sesuku) di Kecamatan Kuranji Kota Padang Sumatera Barat menurut Hukum Adat dan Hukum

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa akibat hukum dari perceraian atas perkawinan yang dilangsungkan menurut hukum adat Tionghoa apabila ditinjau dari harta perkawinan yang

Rumusan masalah penulisan skripsi ini meliputi 3 (tiga) hal, yakni: Pertama, Apa syarat-syarat pembatalan perkawinan menurut Hukum Adat Jawa dan Hukum Islam; Kedua, Apa

menyikapi hak anak atas identitas diri dalam perkawinan hukum adat

• Perkawinan menurut hukum adat tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri untuk maksud mendapatkan keturunan dan

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa akibat hukum dari perceraian atas perkawinan yang dilangsungkan menurut hukum adat Tionghoa apabila ditinjau dari harta perkawinan yang

Bahwa perkawinan dibawah umur masih terjadi jika dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan akan tetapi jika berdasarkan hukum

Sedangkan adat yang mengiringi perkawinan di Desa Tulung Kecamatan Sampung Kabupaten Ponorogo yang sesuai dengan hukum Islam atau dapat di kategorikan ke dalam ‘urf shahih adalah