BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Infeksi Silang
1. Definisi Infeksi
Infeksi didefinisikan sebagai proses dimana seorang hospes yang rentan dimasuki oleh agen-agen pathogen (infeksius) yang tumbuh dan memperbanyak diri, menyebabkan sakit terhadap hospes. Penting artinya untuk membedakan antara kolonisasi dan infeksi. Kolonisasi merupakan suatu proses dimana benih mikroorganisme menjadi flora yang menetap/flora residen. Mikroorganisme bisa tumbuh dan berkembang biak tetapi tidak dapat meimbulkan penyakit. Infeksi terjadi Ketika mikroorganisme yang menetap tadi sukses mengivasi/menyerang bagian tubuh host/manusia yang system pertahanan tubuhnya tidak efektif dan pathogen menyebabkan kerusakan jaringan. Kolonisasi juga mengacu pada mikroorganisme yang tidak bereplikasi pada jaringan yang ditempatinya.
Sedangkan infeksi mengacu pada keadaan dimana mikroorganisme bereplikasi dan jaringan menjadi terganggu. Semua organisme multisel mengalami kolonisasi oleh organisme lain sampai dengan tahap tertentu, yang umumnya bersifat mutualisme atau komensalisme (Yunus, 2017).
Infeksi dapat dikategorikan sebagai infeksi local dan infeksi sistemik. Infeksi local yang meliputi infeksi spesifik dan terbatas pada bagian tubuh dimana mikroorganisme tinggal. Mempunyai manifestasi inflamasi, purulent, dysuria, atau dikenal dengan tanda-tanda peradangan
antara lain : tumor (bengkak), rubor (merah), color (panas), dolor (nyeri), function laesa (fungsi terganggu). Infeksi sistemik terjadi bila mikroorganisme menyebar ke bagian tubuh yang lain dan menimbulkan kerusakan (Yunus, 2017).
Infeksi silang atau Healthcare Associated Infections m(HAIs) adalah penularan infeksi yang terjadi karena adanya agen infeksi. HAIs merupakan masalah utama bagi keselamatan pasien dan petugas kesehatan atau Dental Healthcare Workers (DHCWs), sehingga pencegahannya harus menjadi prioritas utama bagi sistem dan organisasi perawatan kesehatan.
HAIs juga dapat terjadi di dalam praktik kedokteran gigi. Dokter gigi, mahasiswa kedokteran gigi, dan petugas kesehatan lainnya berisiko tertular infeksi selama prosedur perawatan. Klinik gigi merupakan lingkungan yang rentan terjadi infeksi silang. Prosedur perawatan gigi dapat menghasilkan aerosol yang berpotensi menimbulkan risiko terjadinya infeksi silang bagi dokter gigi, staf perawatan gigi, dan pasien (Jatiputri et al., 2023)
Selain itu, pengetahuan ini harus diperkuat ketika mahasiswa mulai bekerja di rumah sakit (co-assistant) karena memungkinkan mereka meningkatkan sikap dan praktik yang baik dalam pencegahan dan pengendalian infeksi. Pelayanan kesehatan yang prima dan optimal dapat diberikan apabila didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas yang dapat diwujudkan dengan pemberian pemahaman pada tenaga kesehatan, termasuk mahasiswa kedokteran mengenai Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) (Djawan et al., 2022).
Menurut (Jatiputri et al., 2023), Individu yang menunjukkan tanda dan gejala infeksi membutuhkan terapi antibiotic atau penanganan lain untuk melumpuhkan organisme penyebab infeksi. Secara umum infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme pathogen ini melibatkan 3 faktor yang saling berinteraksi yaitu :
a. Faktor penyebab penyakit, yang sering disebut agen
b. Faktor manusia yang sering disebut dengan penjamu (host) c. Faktor lingkungan
2. Penyebaran Penyakit Infeksi
Konsep klasik pengendalian infeksi adalah pemutusan mata rantai penyebaran penyakit infeksi. Jika satu mata rantai dieliminasi atau diputus penyebaran infeksi dapat dicegah atau dihentikan. Hanya sedikit tenaga Kesehatan yang dapat secara aktif melakukan pemutusan mata rantai agen- agen infeksius. Program control infeksi dibuat untuk mencegah atau untuk mengurangi penyebaran penyakit dari pasien ke tik Kesehatan gigi, tim Kesehatan gigi ke pasien, pasien sat uke pasien lainnya, ruang perawatan gigi ke komunitas lingkungannya termasuk keluarga tim kesehatan gigi (Yunus, 2017).
Ada sejumlah kemungkinan penyebaran mikroorganisme dari pasien ke tenaga kesehatan gigi. Kontak langsung (bersentuhan) dengan saliva atau darah pasien bisa menjadi jalan masuk mikroba melalui kulit yang tidak utuh, misalnya adanya luka potong, abrasi kulit atau dermatitis.
Percikan ludah maupun aerosol dari mulut pasien bisa menjadi droplet
infection melalui kulit yang tidak utuh, mukosa, mata, hidung, mulut, atau terinhalasi. Pada kontak tidak langsung terjadi transfer mikroorganisme dari sumber (missal mulut pasien) ke permukaan. Misalnya, terlukanya jaringan kulit atau tertusuknya jaringan dengan alat-alat tajam yang terkontaminasi (Yunus, 2017).
Mencegah penyakit infeksi dapat dilakukan dengan memanipulasi factor virulensi, patogenitas dan dosis kuman. Untuk memanipulasi factor virulensi yaitu dengan cara meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi antara lain melalui vaksinasi, namun belum semua penyakit ada vaksinasinya. Dengan demikian, satu-satunya factor yang dapat diatur secara efektif adalah factor dosis (jumlah) mikroba yang masuk.
Mengelola jumlah mikroba yang masuk inilah yang disebut upaya control infeksi (Djawan et al., 2022).
3. Rantai Infeksi
Proses terjadinya infeksi yang saling terkait antar berbagai factor yang mempengaruhi, yaitu agen infeksi, reservoir, portal of exit, cara penularan, portal of entry dan penjamu yang rentan (Yunus, 2017).
a. Agen infeksius
Mikroorganisme yang termasuk dalam agen infeksi antara lain bakteri, virus, jamur, dan parasite. Mikroorganisme di kulit bisa merupakan flora transient maupun residen. Organisme transien normalnya ada dan jumlahnya stabil, organisme ini bisa hidup dan berbiak di kulit.
Organisme transien melekat di kulit saat seseorang kontak dengan
objek atau orang lain dalam aktivitas normal. Organisme ini siap ditularkan, kecuali dihilangkan dengan cuci tangan. Organisme residen tidak dengan mudah dihilangkan dengan cuci tangan dengan sabun dan ditergen biasa kecuali bila gosokan dilakukan dengan seksama.
b. Reservoar (sumber mikroorganisme)
Adalah tempat dimana mikroorganisme pathogen bisa hidup baik berkembang biak atau tidak. Yang bisa berperan sebagai reservoir adalah manusia, binatang, makanan, air, serangga, dan benda lain.
Kebanyakan reservoir adalah tubuh manusia, misalnya di kulit, mukosa, cairan maupun drainase. Adanya mikroorganisme pathogen dalam tubuh tidak selalu menyebabkan penyakit pada hostnya sehingga reservoir yang didalamnya terdapat mikroorganisme pathogen bisa menyebabkan orang lain menjadi sakit (carier). Kuman akan hidup dan berkembang biak dalam reservoir jika karakteristik reservoarnya cocok dengan kuman. Karakteristik tersebut yaitu oksigen, air, suhu, pH, dan pencahayaan.
c. Portal of exit (jalan keluar)
Mikroorganisme yang hidup di dalam reservoir harus menemukan jalan keluar untuk masuk ke dalam host dan menyebabkan infeksi. Sebelum menimbulkan infeksi, mikroorganisme harus keluar terlebih dahulu dari reservoarnya. Jika reservoarnya manusia, kuman dapat keluar melalui saluran pernapasan, pencernaan, perkemihan, genitalia, kulit dan membrane mukosa yang rusak serta darah.
d. Transmission (cara penularan)
Kuman dapat menular atau berpindah ke orang lain dengan berbagai cara seperti kontak langsung dengan penderita melalui oral, kulit atau darahnya, kontak tidak langsung melalui jarum atau tampon bekas luka penderita, peralatan yang terkontaminasi, makanan yang diolah tidak tepat, melalui vector nyamuk atau lalat. Dalam garis besarnya mekanisme transmisi mikroba pathogen ke penjamu yang rentan melalui 2 cara :
1) Transmisi langsung
Penularan langsung oleh mikroba pathogen ke pintu masuk yang sesuai dari penjamu. Sebagai contoh adalah adanya sentuhan, gigitan, ciuman, atau adanya droplet nuclet saat bersin, batuk, berbicara, atau saat transfuse darah dengan darah yang terkontaminasi mikroba pathogen.
2) Transmisi tidak langsung
Penularan mikroba pathogen yang memerlukan adanya media perantara baik berupa barang/bahan, air, udara, makanan/minuman, maupun vector.
a) Vehicle borne
Sebagai media perantara penularan adalah barang/bahan yang terkontaminasi seperti peralatan makan, dan minum, instrument bedah/perawatan gigi, peralatan laboratorium, peralatan infus/transfusi.
b) Vector borne
Sebagai media perantara adalah vector (serangga) yang memindahkan mikroba pathogen ke penjamu.
c) Food borne
Makanan dan minuman adalah media perantara yang cukup efektif untuk menyebarnya mikroba pathogen ke penjamu, yaitu melalui pintu masuk (port of entree) saluran cerna.
d) Water borne
Tersedianya air bersih baik secara kuantitatif maupun kualitatif, terutama untuk kebutuhan Rumah Sakit atau poliklinik adalah mutlak. Kualitas air yang meliputi aspek fisik, kimiawi, dan bakteriologis diharapkan terbebas dari mikroba pathogen sehingga aman untuk dikonsumsi. Jika tidak sebagai media perantara air sangat mudah menyebarkan mikroba pathogen ke penjamu, melalui pintu masuk saluran cerna maupun pintu masuk lain.
e) Air borne
Udara sangat mutlak diperlukan oleh setiap orang, namun adanya udara yang terkontaminasi oleh mikroba pathogen sangat sulit untuk dideteksi. Mikroba pathogen dalam udara masuk ke dalam saluran pernafasan penjamu dalam bentuk droplet nuclei yang dikeluarkan oleh penderita saat batuk atau bersin, bicara atau bernafas melalui mulut atau hidung.
Sedangkan dust merupakan partikel yang dapat terbang bersama debu lantai/tanah. Penularan melalui udara ini mudah terjadi di dalam ruangan yang tertutup seperti di dalam gedung, ruangan/bangsal/ruang perawatan, atau dalam laboratorium klinik.
e. Port of entry (jalan masuk)
Sebelum seseorang terinfeksi, mikroorganisme harus masuk dalam tubuh. Kulit merupakan barrier pelindung tubuh terhadap masuknya kuman infeksius. Rusaknya kulit atau ketidakutuhan kulit dapat menjadi portal masuk.mikroba dapat masuk ke dalam tubuh dengan melalui rute atau jalan yang sama dengan portal keluar. Faktor-faktor yang menurunkan daya tahan tubuh memperbesar kesempatan pathogen masuk ke dalam tubuh.
f. Hospes yang rentan
Seseorang terkena infeksi bergantung pada kerentanan terhadap agen infeksius. Kerentanan bergantung pada derajat ketahanan tubuh individu terhadap pathogen. Meskipun seseorang secara konstan kontak dengan mikroorganisme dalam jumlah yang besar, infeksi tidak akan terjadi sampai individu rentan terhadap kekuatan dan jumlah mikroorganisme tersebut. Beberapa faktor yang mempengaruhi kerentanan tubuh terhadap kuman yaitu usia, keturunan, stress fisik dan emosional, status nutrisi, terapi medis, pemberian obat dan penyakit penyerta.
Dalam riwayat perjalanan penyakit, penjamu yang peka akan berinteraksi dengan mikroba pathogen secara alamiah akan melewati 3 tahap :
1) Tahap Rentan
Pada tahap ini penjamu masih dalam kondisi relative sehat, namun peka atau labil, disertai factor predisposisi yang mempermudah terkena penyakit seperti umur, keadaan fisik, perilaku/kebiasaan hidup, social ekonomi, dan lain-lain. Faktor-faktor predisposisi tersebut mempercepat masuknya agen penyebab penyakit (mikroba pathogen) untuk berinteraksi dengan penjamu.
2) Tahap Inkubasi
Setelah masuk ke tubuh penjamu, mikroba pathogen mulai bereaksi, namun tanda dan gejala penyakit belum tampak. Saat mulai masuknya mikroba pathogen ke tubuh penajmu hingga hingga saat munculnya tanda dan gejala penyakit disebut masa inkubasi. Masa inkubasi satu penyakit berbeda dengan penyakit lainnya. Ada yang beberapa jam dan ada pula yang bertahun-tahun.
Tabel 2.1 Masa Inkubasi Penyakit
No. Penyakit Masa Inkubasi
1. Tuberculosis 4 – 12 minggu
2. Kolera 3 – 6 hari
3. Konjungtivitis 1 – 3 hari
4. Difteri 2 – 5 hari
5. Disentri Amoeba 2 – 4 minggu
6. Tifus Abdominalis 1 – 2 minggu
7. Demam Berdarah Dengue 4 – 5 hari
8. Gonorhea 2 – 5 hari
9. Hepatitis Infeksiosa 2 – 6 minggu
10. Herpeszoster 1 – 2 minggu
11. Influenza 1 – 3 hari
12. Morbilli / Campak 10 – 14 hari
13. Morbus Hansen / Lepra 3 – 5 tahun 14. Parotitis Epidemika 12 – 25 hari
15. Poliomyelitis 7 – 12 hari
16. Pertussis/Batuk Rejan 7 – 20 hari
17. Sifilis 10 – 90 hari
18. Tetanus ± 7 hari
Sumber : (Yunus, 2017) 3) Tahap Klinis
Merupakan tahap terganggunya fungsi organ yang dapat memunculkan tanda dan gejala penyakit. Dalam perkembangannya penyakit akan berjalan secara bertahap. Pada tahap awal, tanda dan gejala penyakit masih ringan. Penderita masih mampu melakukan aktivitas sehari-hari dan masih dapat diatasi dengan berobat jalan.
Pada tahap bertambah parah, penderita tidak lagi mampu melakukan aktivitas sehari-hari.
4. Pencegahan Penyebaran Penyakit Infeksi
Cara penularan merupakan mata rantai yang paling rentan dari rantai infeksi dan yang termudah untuk diputuskan. Cara penularan juga merupakan mata rantai yang paling penting bagi penyedia perawatan kesehatan untuk dipahami. Mereka dapat memutus cara penularan dengan mempraktikkan strategi-strategi pengendalian infeksi (Yunus, 2017).
Masyarakat yang menerima pelayanan medis dan Kesehatan, baik di Rumah Sakit atau Klinik, dihadapkan pada resiko tertular infeksi kecuali kalua dilakukan kewaspadaan untuk mencegah terjadinya infeksi. Selain itu, petugas kesehatan yang melayani mereka dan staf pendukung seperti staf kebersihan, staf laboratoriun, dan staf lainnya semua dihadapkan pada resiko yang sama. Sebagian besar infeksi ini dapat dicegah dengan strategi-strategi yang sudah ada dan relative murah. Petugas pelayanan Kesehatan termasuk staf penunjang yang bekerja di fasilitas Kesehatan beresiko terpapar pada infeksi yang secara potensial membahayakan jiwa.
Misalnya, di Amerika Serikat lebih dari 80.000 luka karena tertusuk jarum suntik setiap tahun walaupun telah dilakukan Pendidikan berkelanjutan dan Upaya pencegahan kecelakaan tersebut (Yunus, 2017).
Upaya pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan setiap tindakan atau langkah yang dapat diambil untuk mencegah atau membatasi penyebaran infeksi. Salah satu upaya pencegahan dan pengendalian
infeksi yang dapat dilakukan untuk memutus rantai infeksi yaitu dengan pelaksanaan teknik aseptik yang tepat. Teknik aseptik adalah semua prosedur yang dilakukan untuk mencegah atau meminimalisir risiko infeksi oleh mikroorganisme patogen pada pasien maupun tenaga medis selama prosedur klinis (Nurulhuda et al., 2023).
Pencegahan infeksi pada umumnya bergantung pada penempatan pembatas antara orang yang rentan dan mikroorganisme. Pembatas pelindung adalah proses-proses fisikal, mekanikal, atau kimiawi yang dapat membantu mencegah penyebaran mikroorganisme infeksi dari orang ke orang, peralatan, instrument, dan permukaan lingkungan sekitar (Yunus, 2017)
B. Mencuci Tangan
1. Definisi Mencuci Tangan
Mencuci tangan adalah membersihkan tangan dari kotoran, mulai dari ujung jari hingga siku dan lengan atas dengan cara tertentu sesui kebutuhan. Mencuci tangan mencegah terjadinya infeksi silang melalui tangan dan menjaga kebersihan individual. Adapun variasi mencuci tangan adalah dengan mencuci tangan bersih dan mencuci tangan steril. Hand hygiene adalah aspek yang paling penting untuk mencegah transmisi mikrobakteri patogen dan mencegah infeksi nosokomial. Cuci tangan telah dianggap sebagai salah satu tindakan terpenting untuk mengurangi penularan mikroorganisme dan mencegah infeksi selama lebih dari 150
tahun. Pada tahun 2009, WHO merumuskan strategi penerapan 5 momen 6 langkah untuk petugas Kesehatan (Batubara, 2020).
Upaya intervensi untuk meningkatkan kepatuhan terhadap pelaksanaan kontrol infeksi banyak dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan. Penelitian mengungkapkan bahwa adanya dukungan administrasi dapat meningkatkan kepatuhan pelaksanaan cuci tangan.
Dukungan administrasi tersebut di antaranya berupa pelatihan, partisipasi dari komite PPI, penyediaan perlengkapan kebersihan tangan, serta umpan balik terhadap kinerja staf mampu meningkatkan kepatuhan cuci tangan dari 22% menjadi 61%. Strategi multimodal juga banyak digunakan untuk meningkatkan kepatuhan cuci tangan. Studi di West Virginia menunjukkan strategi multimodal WHO “My 5 Moments for Hand Hygiene” dapat meningkatkan kepatuhan cuci tangan dari 51,3% menjadi 98,6%. Selain itu strategi ini juga mampu meningkatkan kesadaran dan pengetahuan tentang pentingnya cuci tangan dalam mencegah penularan infeksi (Fitrina, 2020).
Hal- hal yang perlu di ingat saat mencuci tangan, yaitu bila jelas terlihat atau terkontaminasi oleh bahan yang mengandung protein, tangan harus dicuci dengan memakai deterjen dan air dialirkan. Bila tangan tidak jelas terlihat kotor atau terkontaminasi, harus digunakan antiseptik berbasis alkohol untuk dekontaminasi tangan rutin. Sebelum memulai kegiatan tangan dipastikan dalam keadaan kering (Nakoe et al., 2020).
2. Cara Penularan Infeksi Melalui Tangan
Penularan infeksi nosokomial dari satu pasien ke pasien lain melalui tangan petugas kasehatan membutuhkan lima langkah sekuensial :
a) Organisme yang hadir pada kulit pasien, atau berada pada benda yang mengelilingi pasien.
b) Organisme harus ditransfer ke tangan petugas kesehatan.
c) Organisme harus mampu bertahan selama paling sedikit beberapa menit di tangan petugas kesehatan.
d) Mencuci tangan atau tangan antisepsis oleh petugas kesehatan kurang memadai atau sama sekali dihilangkan, atau bahan yang digunakan untuk kebersihan tangan tidak tepat.
e) Sisi yang terkontaminasi atau tangan perawat harus bersentuhan langsung dengan pasien lain atau dengan benda yang akan bersentuhan langsung dengan pasien.
3. Cara Mencuci Tangan yang Benar
Langkah-langkah untuk mencuci tangan dengan menggunakan handrub yang benar adalah :
a) Ambil produk handrub secukupnya.
b) Gosokkan kedua telapak tangan
c) Gosokkan telapak tangan kiri diatas punggung tangan kanan dan sebaliknya.
d) Gosokkan kedua telapak tangan dengan jari saling menyilang.
e) Gosokkan ruas tangan dengan posisi jari saling mengunci.
f) Gosokkan ibu jari kanan secara melingkar di dalam telapak tangan kiri yang berada dalam posisi mengepal,dan sebaliknya.
g) Gosokkan ujung jari kiri pada telapak tangan kanan dan sebaliknya.
Menurut (Amaliyah et al., 2023), untuk membantu negara dan fasilitas pelayanan kesehatan untuk mencapai sistem mengubah dan mengadopsi handrubs berbasis alkohol sebagai standar emas untuk kebersihan tangan dalam perawatan kesehatan, WHO telah mengidentifikasi formulasi untuk persiapan lokal mereka. Logistik, ekonomi, keamanan, dan faktor budaya dan agama semuanya telah hati-hati dipertimbangkan oleh WHO sebelum merekomendasikan formulasi untuk digunakan seluruh dunia. Saat ini, handrubs berbasis alkohol merupakan sarana yang dikenal cepat dan efektif menonaktifkan beragam mikroorganisme berbahaya pada tangan. WHO merekomendasikan handrubs berbasis alkohol setelah berdasarkan factor : a. Berbasis bukti, intrinsik keuntungan cepat bertindak dan aktivitas
microbicidal spektrum luas dengan risiko yang minimal menghasilkan resistensi terhadap agen antimikroba.
b. Kesesuaian untuk digunakan di daerah dengan sumber daya terbatas atau kurangnya akses ke fasilitas lain untuk kebersihan tangan (termasuk air bersih, handuk, dll). Kapasitas untuk mempromosikan kepatuhan kebersihan tangan ditingkatkan dengan membuat proses lebih cepat dan lebih nyaman.
c. Manfaat ekonomi dengan mengurangi biaya tahunan untuk kebersihan tangan, mewakili sekitar 1% dari ekstra-biaya dihasilkan oleh HCAI.
d. Minimalisasi risiko dari efek samping karena peningkatan keamanan terkait dengan penerimaan yang lebih baik dan toleransi dari produk lain.
Kepatuhan petugas untuk prosedur kebersihan tangan telah direkomendasikan, dilaporkan dengan angka yang sangat variable, dengan berarti Tingkat dasar berkisar antara 5% sampai 89% yang merupakan rata-rata keseluruhan. Perlu ditunjukkan bahwa metode untuk menentukan kepatuhan (atau ketidakpatuhan) dan metode untuk melakukan pengamatan dilaporkan bervariasi dalam studi, dan banyak artikel tidak merinci informasi tentang metode dan kriteria yang digunakan. Sejumlah peneliti melaporkan peningkatan kepatuhan setelah melaksanakan berbagai intervensi, tetapi kebanyakan penelitian memiliki periode tindak lanjut singkat dan tidak menentukan apakah perbaikan itu dalam jangka waktu yang lama (Amaliyah et al., 2023).
Faktor yang dapat mempengaruhi kebersihan tangan termasuk faktor risiko untuk ketidakpatuhan yang diidentifikasi dalam studi epidemiologi dan alasan yang dilaporkan oleh petugas kesehatan karena kurangnya kepatuhan terhadap kebersihan tangan. Faktor risiko ketidakpatuhan terhadap kebersihan tangan telah ditentukan secara obyektif dalam beberapa studi observasional atau intervensi untuk meningkatkan kepatuhan.
Dalam analisis multivariat, ketidakpatuhan terendah adalah di antara perawat dibandingkan dengan petugas kesehatan lain dan selama akhir pekan. Ketidakpatuhan lebih tinggi di ICU dibandingkan dengan
penyakit dalam, selama prosedur yang membawa risiko tinggi intensitas kontaminasi bakteri, dan ketika perawatan pasien tinggi. Dengan kata lain, semakin tinggi permintaan untuk kebersihan tangan, maka tingkat kepatuhan rendah. Tingkat kepatuhan terendah (36%) ditemukan di ICU, dimana indikasi untuk kebersihan tangan yang biasanya lebih sering (rata-rata, 22 peluang per pasien-jam). Tingkat kepatuhan tertinggi (59%) diamati di pediatri, di mana intensitas rata-rata perawatan pasien lebih rendah dari tempat lain (rata-rata, delapan peluang per pasien-jam).
Hasil penelitian ini menyarankan bahwa kepatuhan penuh terhadap pedoman sebelumnya adalah tidak realistis dan bahwa akses mudah ke kebersihan tangan pada titik perawatan pasien, yaitu khususnya melalui alkohol handrubbing, bisa membantu meningkatkan kepatuhan, Berbagai penelitian lain telah mengkonfirmasi hubungan antara intensitas perawatan pasien dan kepatuhan terhadap kebersihan tangan.
C. Disinfeksi
1. Definisi Disinfeksi
Disinfeksi adalah proses pembuangan semua mikroorganisme pathogen pada objek yang tidak hidup dengan pengecualian pada endospora bakteri. Disinfeksi juga dikatakan suatu Tindakan yang dilakukan untuk membunuh kuman pathogen dan apatogen tetapi tidak dengan membunuh spora yang terdapat pada alat perawatan ataupun kedokteran (Yunus, 2017).
Disinfeksi dilakukan dengan menggunakan bahan disinfektan melalui cara mencuci, mengoles, merendam, dan menjemur dengan tujuan mencegah terjadinya infeksi, dan mengondisikan alat dalam keadaan siap pakai. Kriteria disinfeksi yang ideal adalah :
a. Bekerja dengan cepat untuk menginaktivasi mikroorganisme pada suhu kamar
b. Aktivitasnya tidak dipengaruhi oleh bahan organic, pH, temperature dan kelembaban
c. Tidak toksik pada hewan dan manusia d. Tidak bersifat korosif
e. Tidak berwarna dan meninggalkan noda f. Tidak berbau
g. Bersifat biodegradable / mudah diurai h. Larutan stabil
i. Mudah digunakan dan ekonomis j. Aktivitas berspektrum luas
Disinfektan didefinisikan sebagai bahan kimia yang digunakan untuk mencegah terjadinya infeksi atau pencemaran jasad renik seperti bakteri dan virus, juga untuk membunuh dan menurunkan jumlah mikroorganisme atau kuman penyakit lainnya. Sedangkan antiseptic didefinisikan sebagai bahan kimia yang dapat menghambat atau membunuh pertumbuhan jasad renik seperti bakteri, jamur, dan lain-lain pada jaringan hidup. Bahan disinfektan
dapat digunakan untuk proses desinfeksi tangan, lantai, ruangan, peralatan, dan pakaian (Mulyanti & Putri, 2021).
Walaupun kita sering menggunakan produk desinfektan, Sebagian besar konsumen tentunya belum mengenal jenis bahan kimia apa yang ada dalam produk tersebut. Padahal bahan kimia tertentu merupakan zat aktif dalam proses desinfeksi dan sangat menentukan efektivitas dan fungsi serta target mikroorganisme yang akan dimatikan (Yunus, 2017).
2. Disinfektan dan Antiseptik yang Digunakan di Kedokteran Gigi
Menurut (Mulyanti & Putri, 2012), disinfektan yang digunakan dalam kedokteran gigi yaitu :
a. Alcohol
Etil alcohol dan isopropyl alcohol sudah dipergunakan secara luas selama bertahun-tahun sebagai disinfektan permukaan dan antiseptic kulit. Etil alcohol dan isopropyl alcohol 70% dalam air digunakan untuk antiseptic kulit sebelum penyuntikan dan pencucian tangan pada waktu operasi. Mekanisme kerja dari alcohol adalah mendenaturasi protein dan melarutkan lipid secara efektif.
Alcohol yang dikombinasikan dengan golongan aldehid dapat digunakan untuk disinfeksi permukaan, tetapi badan yang berwenang di Amerika tidak menganjurkan hal ini karena alcohol dapat menguap dengan cepat. Penguapan yang berlangsung cepat dari permukaan lingkungan yang didisinfeksi dengan alcohol juga membatasi aktivitas alcohol terhadap bakteri yang diselubungi protein dan virus, yang
umum terdapat dalam cairan yang terpercik selama prosedur perawatan gigi.
Pada umumnya, alcohol mempunyai spektrum aktivitas microbial yang luas. Alcohol tidak efektif bila ada protein jaringan, seperti yang ditemukan di dalam saliva dan darah. Jadi, alcohol adalah bahan pembersih yang buruk bila ada bioburden.
Bakteri vegetatif dapat dimusnahkan pemajanan terhadap alcohol berkonsentrasi tinggi (optimal 70%), yang paling pathogen adalah Mycobacterium tuberculosis. Jika digunakan konsentrasi diatas 70%,
dehidrasi awal dari protein microbial akan memungkinkan komponen sel ini menghindar dari efek denaturasi yang merusak. Jadi, mikroorganisme terpajan mampu tetap hidup untuk waktu yang lebih lama. Etil alcohol relatif tidak toksik, tidak berwarna, hamper tidak berbau, tidak berasa, dan dapat dengan mudah menguap tanpa meninggalkan residu. Oleh karena itu, sampai saat ini alcohol masih digunakan karena murah, mudah di dapat, dan dapat larut dalam air.
D. Kerangka Konsep
Efektivitas Penerapan Cuci Tangan
Disinfeksi
Peningkatkan Kepatuhan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
Silang Mahasiswa Tingkat II Jurusan Kesehatan Gigi Poltekkes Kemenkes
Makassar
Keterangan :
= Variabel diteliti
= Variabel tidak diteliti