Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sosialisasi warisan budaya Buleang Karua, tata cara pelaksanaannya dan nilai-nilai budaya lokal yang terkandung dalam budaya tersebut. Salah satu warisan budaya lokal yang masih dilestarikan oleh masyarakat Islam di Aralle adalah budaya bulleang karua yang masih bertahan hingga saat ini.
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini mengkaji budaya buleang karua di Kecamatan Aralle, sedangkan penelitian Multazam mengkaji tradisi Sayyang Pattu'du di Desa Lero Kecamatan Suppa Kabupaten Pinrang. Irwansyah dalam penelitian berjudul Pembudayaan Budaya Lokal dengan Budaya Islam Dalam Tradisi Mattoddoq Boyang di Desa Papalang Kecamatan Papalang Kabupaten Mamuju9.
Tinjauan Teoritis .1 Budaya Lokal .1 Budaya Lokal
Akulturasi
Kelompok Soekanto unsur kebudayaan asing yang mudah diterima antara lain kebudayaan material yang mempunyai kelebihan besar dan unsur kebudayaan yang mudah beradaptasi. Materi mengenai keadaan masyarakat penerima sebelum proses akulturasi dan individu yang membawa kebudayaan asing sebenarnya merupakan materi tentang sejarah masyarakat tersebut.28.
Akulturasi Islam dan Budaya Lokal
Islam tidak menerima budaya lokal jika budaya lokal tersebut tidak sesuai dengan nilai dan ajaran Islam (kepercayaan, syariah dan ibadah). Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa relevansi budaya lokal dengan nilai-nilai agama mempunyai hubungan timbal balik.
Enkulturasi
Nilai karakter, yaitu seperangkat kepribadian dan integritas sosial yang diinginkan, misalnya kejujuran, kesederhanaan, kesetiaan. Nilai-nilai keagamaan yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam agama misalnya kesucian, keagungan Tuhan, keesaan Tuhan, ibadah.40. lahir yaitu saat kesadaran diri seseorang mulai tumbuh dan berkembang. Sejak masa kanak-kanak, proses enkulturasi sudah dimulai dalam pikiran warga suatu masyarakat, pertama pada lingkungan keluarga, kemudian pada teman bermainnya. Mereka sering belajar hanya dengan meniru berbagai jenis tindakan berdasarkan perasaan dan nilai-nilai budaya. yang memotivasi mereka. Tindakan peniruan telah terinternalisasi dalam kepribadiannya.44.
Proses pewarisan budaya ini dapat dilakukan melalui proses pembelajaran, baik formal maupun informal. Pada kenyataannya pewarisan budaya dapat bersifat ketergantungan dan dapat bersifat horizontal.45 Pewarisan budaya yang dilakukan oleh manusia tidak selalu terjadi secara vertikal atau kepada anak cucunya, namun dapat pula bersifat horizontal, yaitu manusia dapat belajar. budaya. dari manusia lain. Warisan varises adalah pewarisan budaya dari generasi lama ke generasi baru atau dari orang tua ke anak atau cucunya.
Dari segi warisan yaitu pelestarian budaya lokal masyarakat Aralle khususnya dalam praktik budaya buleang karua yang diwariskan secara turun temurun dengan cara tradisional, baik melalui variabel, maupun diwariskan dari generasi ke generasi. generasi atau secara horizontal dalam masyarakat.
Tinjauan Konseptual .1 Akulturasi .1 Akulturasi
Relevansi Nilai-Nilai Budaya Lokal Terhadap Nilai Islam
Harmanto dan Winaro lebih lanjut membahas mengenai persoalan nilai dalam kehidupan manusia, bahwa nilai adalah sesuatu yang baik yang diperjuangkan oleh manusia. Nilai merupakan sesuatu yang penting bagi manusia sebagai subjek, baik atau buruk, sebagai suatu abstraksi, persepsi atau niat dari berbagai pengalaman dengan seleksi perilaku yang ketat. Keterikatan terhadap nilai-nilai tersebut tidak hanya sebatas pada wilayah nilai-nilai kemanusiaan saja, namun merambah pada nilai-nilai ketuhanan sebagai pusat nilai yaitu keimanan kepada Allah SWT, dan keimanan mewarnai setiap aspek kehidupan atau mempengaruhi nilai-nilai Islam. . 52.
Nilai-nilai Islam merupakan kumpulan prinsip-prinsip kehidupan yang saling berkaitan dan tidak terpisahkan yang mengajarkan manusia tentang bagaimana seharusnya menjalani kehidupan di dunia ini. Nilai-nilai tersebut harus mampu ditransformasikan ke dalam kehidupan manusia.Dalam Islam terdapat dimensi tauhid, syariah dan akhlak. Perjumpaan nilai budaya lokal dengan Islam terjadi dalam proses akulturasi, namun perlu ditegaskan bahwa akulturasi harus dimaknai sebagai proses Islamisasi.
Artinya masuknya Islam ke suatu daerah tidak serta merta menghapus seluruh nilai dan budaya masyarakatnya, namun justru mengislamkan daerah tersebut.
Budaya Bulleang Karua
Dalam konteks ini, akulturasi dapat berarti; a) Islam menghilangkan (melarang) beberapa bentuk kebudayaan lokal yang jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai fundamental Islam; b) Islam menggantikan muatan dan nilai budaya lokal dengan nilai-nilai Islam dengan tetap mempertahankan wadah atau wujud formalnya.54. Selain itu, pemanfaatan bambu bagi masyarakat Aralle mempunyai tujuan dan filosofi tersendiri sebagai nilai-nilai luhur budaya lokal yang masih dipertahankan dalam masyarakat Aralle. Bambu melambangkan kekuatan, kebersamaan dan kekeluargaan, karena bambu biasanya hidup berkelompok dan saling menguatkan.
Bambu sangat penting dalam pelaksanaan budaya buleang karua karena selain digunakan pada peti jenazah, bambu juga digunakan untuk membuat la’lang atau payung serta penutup jenazah atau dalam bahasa Arla disebut salokko’. Bambu yang digunakan untuk peti mati pertama berjumlah delapan buah, masing-masing berukuran 6 meter. Penggunaan delapan batang bambu ini sesuai dengan nama tanaman ini yaitu buleamg karua (delapan peti mati).
Ukuran bambu umumnya 6 meter, namun jika diharapkan banyak orang yang membawa peti tersebut, ukurannya bisa lebih panjang tergantung jumlah orang yang akan membawanya.
Bagan Kerangka Pikir
Selain itu, untuk lebih memahami permasalahan dalam penelitian ini, penulis mengacu pada teori akulturasi dan teori enkulturasi yang dianggap relevan dengan penelitian ini. Teori akulturasi digunakan untuk melihat dan memahami relevansi nilai-nilai budaya lokal dengan nilai-nilai Islam yaitu Tauhid, Syariah dan Akhlak, dimana kedudukan agama Islam selama berabad-abad mempunyai nilai-nilai universal dan absolut. Teori enkulturasi kemudian digunakan untuk memahami proses sosialisasi warisan budaya buleang karua yang secara tradisional diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Dalam penelitian ini pembahasan akulturasi budaya bulleang karua dan Islam terfokus pada tiga permasalahan pokok yaitu sosialisasi warisan budaya bulleang karua, tata cara pelaksanaan budaya bulleang karua dan nilai-nilai keislaman yang terkandung dalam budaya bulleang karua. . setelah akulturasi budaya terjadi. Seperti biasa dalam penelitian yang selalu mempunyai metode atau teknik dalam melakukan penelitian, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dalam penelitian ini. Penelitian kualitatif adalah suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan tingkah laku orang yang diamati.55.
Metode kualitatif berupaya memahami fakta di balik realitas, yang dapat diamati atau dirasakan secara langsung.56 Penelitian kualitatif biasanya menekankan observasi partisipan, wawancara mendalam, dan dokumentasi.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Dalam meneliti data untuk keabsahan penelitian ini, peneliti menekankan pada wawancara mendalam terhadap informan yang dianggap mempunyai kemampuan pada subjek yang diteliti.
Fokus Penelitian
Mengenai pemilihan lokasi penelitian yaitu di kecamatan Aralle karena pelaksanaan budaya buleang karua banyak dilakukan di Aralle. Jumlah informan yang akan dijadikan informan dalam penelitian ini adalah empat orang, yang terdiri dari tokoh adat, pemerintah daerah, tokoh agama, tokoh masyarakat atau sesepuh yang mengatur pelaksanaan budaya buleang karua. Dalam penelitian ini data primer diperoleh langsung dari lapangan, baik berupa observasi maupun hasil wawancara.
Data sekunder merupakan bukti teoritis yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Data ini bersifat otentik yaitu data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh peneliti dari berbagai sumber data yang ada (peneliti sebagai pihak kedua). Data sekunder dapat diperoleh dari berbagai sumber Badan Pusat Statistik, buku, laporan dan sumber lainnya, jurnal.57 Dalam penelitian ini, data sekunder yang digunakan berupa tulisan-tulisan tentang kearifan lokal dan sejarah Pitu Ulunna Salu. , yang kini termasuk dalam wilayah Kabupaten Mamasa. Observasi yang dilakukan penulis dalam penelitian ini adalah dengan terjun langsung ke lapangan untuk mencari dan mencari informan serta mengamati dan terlibat langsung dalam pelaksanaan budaya buleang karua. Wawancara adalah suatu proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan, dimana dua orang atau lebih bertatap muka untuk mendengarkan langsung suatu informasi atau pernyataan.59 Ciri utama wawancara adalah adanya tatap muka langsung. -kontak tatap muka adalah antara pencari informasi (pewawancara) dan sumber informasi (yang diwawancara).60 Dalam penelitian ini, informan digambarkan sebagai:
Informan kunci adalah orang-orang yang dianggap lebih memahami praktik budaya buleang karua, seperti tokoh adat dan tokoh masyarakat keturunan raja yang memahami budaya tersebut.
Teknik Analisis Data
Budaya buleang karua merupakan salah satu ritual yang dilakukan masyarakat kecamatan Aralle kabupaten Mamasa sebagai upacara kematian untuk menghormati keturunan raja. Proses pembelajaran budaya sendiri yang dilakukan individu di lingkungan sosial khususnya masyarakat Aralle pada gilirannya memudahkan proses pewarisan budaya Bulleang Karua. Sampai saat ini budaya buleang karua masih diwariskan secara tradisional dan belum diajarkan secara modern.
Sebagaimana proses dakwah kemanusiaan di Pitu Ulunna Salu bermula dari Ulusa'dang, maka budaya buleang karua juga pasti berasal dari sana. Perubahan budaya buleang karua sebelum masuknya Islam terjadi seiring dengan perubahan zaman dan berkembangnya pengetahuan masyarakat. Bahkan, setelah Islam datang, penyembelihan babi dalam budaya buleang karua tidak hanya dihilangkan, namun digantikan dengan penyembelihan kambing dan ayam.
Hal lain yang dihilangkan dalam penerapan budaya buleang karua setelah Islam datang adalah prosesi pengangkutan peti mati.
Tata Cara Pelaksanaan Budaya Bulleang Karua
Tahap selanjutnya adalah tahap persiapan, yaitu persiapan peralatan yang digunakan dalam praktik budaya buleang karua. Persiapan yang dilakukan sebelum pementasan buleang karu adalah persiapan bambu untuk pembuatan peti jenazah. Praktek diallung sudah dilakukan jauh sebelum Islam dikenal di masyarakat Aralle, dimana budaya bulleang karua pada saat itu masih sangat menyimpang dari ajaran Islam.
Setelah dikeluarkan dari rumah, allungan akan segera dibawa ke buleang karua atau peti mati berukuran besar. Hal ini terjadi karena setelah Islam muncul serangkaian implementasi budaya buleang karua yang banyak disesuaikan dengan syariat Islam. Peti mati yang digunakan dalam budaya buleang karua ada dua buah, masing-masing terbuat dari bambu.
Penggunaan dua peti mati dalam budaya buleang karua saat ini dilakukan karena setelah Islam datang pelaksanaan diallung diganti dengan peti mati kecil dan salokko'.
Nilai-Nilai Islam Yang Terkandung dalam Budaya Bulleang karua di Kecamatan Aralle Setelah Terjadinya Akulturasi
Setiap rangkaian kegiatan dalam budaya Buleang Karua mempunyai nilai-nilai budaya lokal yang bertujuan untuk menerapkan budaya tersebut. Selain proses penghias jenazah, mereka juga bekerja sama dalam mempersiapkan alat dan perlengkapan pelaksanaan budaya buleang karua. Saat gendang dibunyikan, inilah saat hening dalam pertunjukan budaya buleang karua.
Selain itu, masyarakat Aralla juga meyakini bahwa hanya keturunan raja yang bisa mengamalkan budaya buleang karua. Proses pewarisan budaya Buleang Karua terus mengalami perubahan baik sebelum masuknya Islam maupun setelah Islamisasi. Penyelenggaraan budaya buleang karua pra Islam melalui beberapa tahapan prosesi seperti tahap perencanaan, tahap persiapan dan tahap pelaksanaan.
Sebelum Islam datang, mereka menganut budaya buleang karua karena percaya bahwa arwah orang yang sudah meninggal dapat memberikan kenyamanan dan keberkahan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagaimana sejarah awalnya budaya bulleang karua
Bagaimana proses pewarisan budaya bulleang karua
Siapa yang berperan penting dalam proses pewarisan budaya bulleang karua
Bagaimana proses Islamisasi di Aralle
Apa saja yang berubah dalam upacara budaya bulleang karua setelah Islamisasi
Bagaimana awal mula dari pelaksanaan budaya bulleang karua
Bagaimana fungsi dari bulleang karua
Apa tujuan dilaksanakannya budaya bulleang karua
Siapa saja yang terlibat dalam pelaksanaan bulleang karua
Bagaimana bentuk konstribusi masyarakat terhadap pelaksanaan budaya bulleang karu
Bagaimana proses pelaksanaan budaya bulleang karua
Apa saja tahapan-tahapan yang dilakukan sebelum upacara bulleang karua dilaksanakan
Seberapa penting budaya bulleang karua sehingga harus dilaksanakan
Mengapa dalam budaya bulleang karua harus menggunakan bambu
Bagaimana pandangan masyarakat terhadap pelaksanaan budaya bulleang karua
DOKUMENTASI