Konsitusi Negara Indonesia
Dosen Pengampu: Putri Utami Rhamadan, M.pd
Kelompok 2:
Ma’rifah Hikmatul Husna (22180016) Nabila sabrina (22200030) Wildan Riscky Candra (22200058)
Andi Herlin (22200066)
Muhammad Hasyimi Al-Habsyi (22180029)
Latar belakang
Pemahaman tentang negara hukum telah berkembang cukup lama yakni sejak pertama kali dikemukakan oleh Plato pada tahun 429 SM. Untuk itu kekuasaan harus dipegang oleh orang yang mengetahui kebaikan, yaitu seorang filosof (the philosopher king). Namun dalam bukunya “The Statesmen dan ”The Law”, Plato menyatakan bahwa yang dapat diwujudkan adalah bentuk paling baik kedua (the second best) yang menempatkan supremasi hukum Pemerintahan yang mampu mencegah kemerosotan kekuasaan seseorang adalah pemerintahan oleh hukum. Istilah negara hukum atau negara berdasar atas hukum dalam konstitusi Indonesia dapat dijumpai dalam penjelasan Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. Dalam memahami konsep negara hukum Indonesia, pembahasan tidak terlepas dari konsep atau pemikiran negara hukum yang telah berkembang sebelum terbentuknya negara Republik Indonesia.
Indonesia merupakan negara yang lahhir pada abad ke-20, mengambil konsep bernegara hukum sesuai prinsip konstitusionalisme. Hal ini dapat dilihat dari kesepakatan bangsa Indonesia tersendiri sejak UUD 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia yang ditetapkan. Kesepakatan ini yang perkembangannya menjadi cita-cita Bersama yang biasa juga disebut sebagai falsafah kenegaraan.
Konsep negara hukum pada dasarnya dapat dikelompokan ke dalam tiga konsep, yakni konsep rechtsstaat yang berkembang di negara-negara eropa kontinental, konsep rule of law yang berkembang dan diterapkan di negara- negara Anglo-Saxon dan socialist legality
Negara yang menganut sistem demokrasi tidak akan terlepas dari hukum.
Keserasian hubungan supra struktur politik dan infara struktur politik akan terjalin jika ada koridor atau aturan-aturan baku yang disepakati dan dijalankan bersama. Disinilah peran hukum sebagai acuan yang akan membawa demokrasi terwujud dengan meminimalisir berbagai pelanggaran- pelanggaran baik yang dilakukan oleh pemerintah ataupun masyarakat. Jika pelanggaran itu terjadi maka sudah jelas yang menjadi rujukan dari penanganan dan penindakan dari pelanggaran tersebut yakni hukum yang mengaturnya. Karena hukum itu sendiri pada prinsipnya berfungsi untuk menciptakan ketertiban masyarakat. Hukum perlu ditegakan sehingga ketertiban masyarakat ini dapat terwujud. Akan tetapi dalam peroses penegakan hukum tersendiri banyak faktor yang mempengaruhi. Faktor- faktor tersebut, yaitu:
1. Materi hukum: dalam hal ini apakah Undang-undang sudah baik dan mencerminkan rasa keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum 2. Sarana-prasarana: hal ini juga sangat mendukung lancarnya proses
penegakan hukum
3. Aparat penegak hukumn: sebagai tombak penegakan hukum
4. Budaya hukum: hal ini juga factor penentu suksesnya penegakan hukum yang sangat erat kaitanya dengan budaya di Masyarakat yang ada.
Rumusan masalah:
a. Apa pengertian dan fungsi konstitusi dalam sistem hukum Indonesia?
b. Bagaimana sejarah perkembangan konstitusi di Indonesia?
c. Apa prinsip-prinsip dasar yang termuat dalam UUD 1945?
d. dinamika dan tantangan implementasi konstitusi dewasa ini?
Metode penelitian
Pendekatan yuridis normatif dan historis-konseptual.
PEMBAHASAN
Konsep Dasar Konstitusi
Konstitusi merupakan instrumen fundamental dalam pembentukan dan pengaturan sistem ketatanegaraan suatu negara. Keberadaan konstitusi tidak hanya menjadi simbol eksistensi suatu negara sebagai entitas hukum, tetapi juga menjadi alat yang mewujudkan tatanan pemerintahan yang adil, teratur, dan demokratis. Dalam perspektif negara hukum (rechtsstaat), konstitusi menjadi jaminan utama bahwa kekuasaan tidak dijalankan secara sewenang- wenang, melainkan berdasarkan norma-norma hukum yang bersumber dari kehendak rakyat dan prinsip-prinsip demokrasi.
Secara umum, konstitusi dapat diartikan sebagai hukum dasar yang menjadi landasan penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan bernegara. Ia berisi ketentuan mengenai struktur dan organisasi negara, pembagian kekuasaan antar lembaga negara, hak dan kewajiban warga negara, serta prinsip-prinsip dasar kehidupan ketatanegaraan.
Menurut C.F. Strong, konstitusi adalah kumpulan prinsip- prinsip dasar yang menjadi dasar pembentukan suatu negara dan mengatur kekuasaan-kekuasaan pemerintahan, hak-hak rakyat, serta hubungan antara lembaga-lembaga negara (Strong, 1963). K.C. Wheare mengemukakan bahwa konstitusi adalah keseluruhan aturan yang menetapkan dan mengatur tugas-tugas dari lembaga negara serta hubungan antara lembaga tersebut (Wheare, 1966). Sementara itu, Jimly Asshiddiqie menyebutkan bahwa konstitusi merupakan norma hukum tertinggi yang menentukan struktur, proses, dan batas kekuasaan dalam penyelenggaraan negara, baik yang bersifat tertulis maupun tidak tertulis (Asshiddiqie, 2006).
Dalam konteks Indonesia, konstitusi termuat dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang telah mengalami beberapa kali perubahan (amandemen) untuk menyesuaikan dengan dinamika demokrasi dan tuntutan reformasi.
Secara substansial, konstitusi memiliki beberapa fungsi utama yang berkaitan erat dengan keberlangsungan suatu negara. Fungsi pertama adalah sebagai kerangka hukum
dasar (basic legal framework) yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan pembagian kekuasaan.
Hal ini penting untuk menjamin bahwa semua organ negara bekerja sesuai tugas dan kewenangannya.
Kedua, konstitusi berfungsi sebagai alat legitimasi kekuasaan. Pemerintahan yang dibentuk di luar ketentuan konstitusi dianggap tidak sah atau inkonstitusional. Dalam sistem demokrasi modern, legalitas pemerintahan harus bersumber dari hukum yang tertinggi, yaitu konstitusi.
Ketiga, konstitusi menjadi jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan sipil. Dalam konstitusi Indonesia, misalnya, Pasal 28A sampai 28J mengatur berbagai hak konstitusional warga negara yang wajib dijamin oleh negara.
Dengan demikian, konstitusi juga menjadi alat perlindungan hukum terhadap potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa.
Keempat, konstitusi juga memiliki fungsi sebagai alat untuk menstabilkan kehidupan politik dan pemerintahan. Dengan menetapkan aturan-aturan yang jelas dan mengikat, konstitusi membantu menghindari konflik antar lembaga negara maupun antara negara dan rakyat.
Tujuan dari konstitusi pada dasarnya adalah menciptakan suatu tatanan negara yang demokratis, berkeadilan, serta menjamin adanya pembatasan kekuasaan guna menghindari praktik otoritarianisme. Konstitusi juga bertujuan mengatur bagaimana kekuasaan dibentuk dan dijalankan secara legal dan akuntabel.
Konstitusi dapat dibedakan menjadi dua bentuk utama, yaitu tertulis dan tidak tertulis. Konstitusi tertulis merupakan dokumen resmi yang dirumuskan secara sistematis dan disahkan melalui mekanisme hukum tertentu. Contohnya adalah UUD 1945 yang berlaku di Indonesia. Keuntungan dari konstitusi tertulis adalah kepastian hukum, karena semua pihak dapat merujuk langsung kepada dokumen tersebut.
Sementara itu, konstitusi tidak tertulis merupakan kumpulan kebiasaan, konvensi, dan praktik ketatanegaraan yang telah berlangsung lama dan diterima secara luas sebagai norma konstitusional, meskipun tidak dikodifikasi dalam satu dokumen formal. Negara seperti Inggris adalah contoh dari negara yang menganut sistem konstitusi tidak tertulis.
Meskipun berbeda dalam bentuk, kedua jenis konstitusi ini memiliki kekuatan hukum yang sama selama diakui dan diterapkan dalam praktik ketatanegaraan. Bahkan dalam banyak sistem hukum modern, konstitusi tertulis dan tidak tertulis seringkali saling melengkapi.
Salah satu gagasan penting dalam memahami posisi konstitusi dalam sistem hukum adalah teori hierarki norma hukum yang dikembangkan oleh Hans Kelsen melalui konsep Stufenbau des Rechts atau teori bangunan berjenjang hukum. Dalam teori ini, Kelsen menyatakan bahwa sistem hukum tersusun secara bertingkat dan berlapis, di mana norma yang lebih rendah harus tunduk pada norma yang lebih tinggi. Di puncak hierarki tersebut terdapat norma dasar atau Grundnorm, yaitu konstitusi.
Konstitusi sebagai norma tertinggi menjadi dasar bagi pembentukan norma hukum lain, seperti undang-undang, peraturan pemerintah, dan seterusnya. Oleh karena itu, setiap peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan konstitusi harus dinyatakan tidak sah. Di Indonesia, prinsip ini diwujudkan melalui kewenangan Mahkamah Konstitusi, yang dapat menguji undang-undang terhadap UUD 1945.
Konsep supremasi konstitusi juga sejalan dengan prinsip constitutional supremacy dalam teori negara modern.
Konstitusi menjadi alat pembatas kekuasaan (limitation of power), serta landasan bagi sistem check and balances antar lembaga negara. Dengan kata lain, supremasi konstitusi adalah jaminan bahwa seluruh penyelenggara negara wajib tunduk dan patuh terhadap aturan hukum tertinggi dalam negara tersebut.
Memahami konsep dasar konstitusi merupakan langkah awal dalam memahami keseluruhan sistem hukum dan ketatanegaraan. Konstitusi tidak hanya menjadi dasar formal bagi lahirnya peraturan perundang-undangan, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai dasar yang dianut oleh suatu bangsa, seperti keadilan, demokrasi, dan supremasi hukum.
Sebagai mahasiswa hukum, pemahaman ini penting untuk membentuk perspektif kritis dan konstruktif terhadap dinamika ketatanegaraan dan perkembangan sistem hukum di Indonesia.
Sejarah Perkembangan Konstitusi di Indonesia
Konstitusi merupakan hukum dasar yang menjadi fondasi dalam penyelenggaraan pemerintahan suatu negara. Dalam konteks Indonesia, konstitusi tidak hanya menjadi landasan yuridis, tetapi juga simbol perjuangan politik bangsa dalam menjaga kemerdekaan dan mewujudkan cita-cita nasional.
Sejak proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 hingga saat ini, Indonesia telah mengalami beberapa fase perubahan konstitusi yang mencerminkan dinamika politik, sosial, dan hukum yang berkembang.
Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan sehari setelah proklamasi kemerdekaan, yakni pada 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). UUD 1945 memiliki struktur yang sederhana dan isi yang relatif singkat, hanya terdiri dari 37 pasal, Pembukaan, Penjelasan, dan Aturan Peralihan. Hal ini mencerminkan kondisi darurat saat itu, karena bangsa Indonesia belum memiliki pengalaman dalam penyusunan konstitusi secara sistematis dan lengkap.
Karakteristik utama UUD 1945 sebelum amandemen adalah sifatnya yang fleksibel dan memberikan kewenangan besar kepada presiden. Dalam sistem pemerintahan presidensial yang dianut, presiden memiliki posisi dominan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, tanpa adanya mekanisme check and balance yang memadai. Akibatnya, dalam praktiknya, sistem ketatanegaraan cenderung berjalan secara sentralistik dan membuka ruang bagi munculnya kekuasaan yang otoriter.
Pada masa Orde Lama dan Orde Baru, UUD 1945 sering digunakan sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan presiden yang absolut. Ini diperparah oleh minimnya partisipasi rakyat dalam proses politik, lemahnya lembaga perwakilan, dan tidak adanya lembaga peradilan konstitusi yang independen. Dalam konteks inilah kemudian muncul kritik bahwa UUD 1945 sebelum amandemen kurang menjamin demokrasi, hak asasi manusia, dan supremasi hukum.
Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada Desember 1949, Indonesia sempat berbentuk negara federal berdasarkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949. Konstitusi ini lahir dari hasil perjanjian KMB (Konferensi Meja Bundar), yang meskipun secara formal bertujuan mengakhiri konflik dengan Belanda, pada
kenyataannya lebih mencerminkan kompromi politik antara Indonesia dan Belanda.
Konstitusi RIS bersifat lebih liberal dibandingkan UUD 1945.
Ia mengatur pembagian kekuasaan yang lebih seimbang antara lembaga negara dan mengadopsi sistem pemerintahan parlementer. Namun, bentuk negara federal menimbulkan berbagai penolakan karena dianggap tidak sesuai dengan semangat nasionalisme dan keinginan kuat untuk bersatu. Akibatnya, dalam waktu singkat, sistem federal ini ditinggalkan dan Indonesia kembali menjadi negara kesatuan dengan diberlakukannya UUDS 1950.
UUDS 1950 menggantikan Konstitusi RIS dan berlaku sejak 17 Agustus 1950. Konstitusi ini bersifat sementara karena disusun untuk menjadi dasar hukum negara sembari menunggu hasil kerja Konstituante yang bertugas menyusun konstitusi permanen. Sistem pemerintahan yang dianut tetap parlementer, namun kondisi politik pada masa ini sangat tidak stabil. Seringnya pergantian kabinet (lebih dari tujuh kali dalam sembilan tahun) menunjukkan lemahnya sistem koalisi di parlemen dan belum matangnya sistem demokrasi. Akibatnya, pembangunan nasional terhambat dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah menurun .
Kegagalan Konstituante dalam merumuskan UUD baru menyebabkan kebuntuan politik. Dalam kondisi inilah, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan pembubaran Konstituante, tidak berlakunya UUDS 1950, dan berlakunya kembali UUD 1945.
Keputusan ini secara yuridis diperdebatkan karena tidak memiliki dasar hukum dalam konstitusi yang berlaku saat itu, namun secara politis didukung oleh banyak pihak termasuk TNI dan Mahkamah Agung.
Kembalinya UUD 1945 membawa Indonesia masuk ke era
Demokrasi Terpimpin. Presiden Soekarno
mengkonsentrasikan kekuasaan di tangannya dengan dukungan militer dan lembaga-lembaga negara yang dikendalikan. Lembaga legislatif tidak lagi dipilih melalui pemilu, melainkan ditunjuk oleh presiden. Sistem ini berjalan sampai Soekarno jatuh dan digantikan oleh Soeharto pada tahun 1966. Pemerintahan Orde Baru melanjutkan penggunaan UUD 1945 tanpa perubahan, dan
bahkan memperkuat posisi presiden selama lebih dari tiga dekade.
Runtuhnya Orde Baru pada 1998 menjadi momen penting dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Gerakan reformasi menuntut perubahan mendasar dalam sistem pemerintahan dan kehidupan berbangsa. Salah satu tuntutan utama adalah dilakukannya amandemen UUD 1945 untuk menyesuaikan dengan prinsip-prinsip demokrasi, negara hukum, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Amandemen UUD 1945 dilakukan dalam empat tahap melalui Sidang Tahunan MPR antara 1999 hingga 2002.
Perubahan yang dilakukan tidak merombak struktur dasar UUD 1945, tetapi mengubah substansi dan memperluas muatan konstitusi secara signifikan.
Beberapa hasil penting dari amandemen ini adalah:
Dihapusnya GBHN dan digantikan peranannya oleh presiden sebagai kepala pemerintahan hasil pemilu langsung.
Dibentuknya Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial sebagai lembaga penegak konstitusi dan pengawas etika hakim.
Pemilihan umum yang lebih demokratis, termasuk pemilihan langsung presiden dan wakil presiden.
Pemisahan kekuasaan yang lebih tegas antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Penguatan jaminan HAM dan penambahan Bab XA tentang hak asasi manusia.
Pembentukan DPD sebagai representasi daerah di tingkat nasional.
Dengan amandemen ini, Indonedsia bertransformasi dari sistem politik yang otoriter menjadi negara demokrasi konstitusional. UUD 1945 hasil amandemen kini berisi 199 pasal dan mencerminkan semangat reformasi, keadilan sosial, dan demokrasi.
Struktur dan Kedudukan Konstitusi
Konstitusi, dalam konteks hukum dan ketatanegaraan merupakan hukum tertinggi dalam sebuah negara yang memuat aturan dasar tentang pembentukan dan penyelenggaraan negara, hak asasi manusia, dan hubungan
antara warga negara dengan negara. Konstitusi memiliki kedudukan tertinggi dalam hierarki peraturan perundang-undangan, di atas undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan lainnya.
Kedudukan konstitusi dalam hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia (UU No. 12 Tahun 2011). Konstitusi, dalam konteks Hans Kelsen, dikenal sebagai Grundnorm, yang berarti norma dasar atau dasar hukum tertinggi dalam suatu sistem hukum. Grundnorm ini menjadi sumber validitas atau keabsahan bagi seluruh norma hukum yang ada di bawahnya, termasuk undang-undang, peraturan pemerintah, dan sebagainya.
Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 sebagai konstitusi memiliki hubungan yang erat. Pancasila merupakan ruh atau dasar ideologi yang menginspirasi dan mendasari seluruh isi UUD 1945, khususnya Pembukaan. UUD 1945 kemudian memberikan bentuk atau wujud konkret dari Pancasila dalam bentuk aturan hukum yang mengikat dan mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum, sedangkan UUD 1945 adalah dasar hukum tertinggi.
Prinsip-Prinsip Dasar dalam Konstitusi Indonesia
Sebagaimana diketahui bahwa secara umum, lazimnya konsep negara hukum selalu merujuk pada dua aliran utama, yaitu negara hukum dalam arti rechtsstaat dan negara hukum dalam arti the rule of law. Namun dalam UUD 1945 setelah perubahan, penegasan konsep negara hukum bagi Indonesia tidak dibarengi dengan penjelasan lanjutan terkait dengan paham negara hukum yang dianut. Hal demikian pada prinsipnya mengakibatkan paham negara hukum yang dianut Indonesia menjadi kurang mengandung kejelasan serta kepastian. Belum lagi ditambah dengan apa yang dikemukakan bahwa pembangunan hukum pasca reformasi terkesan tambal sulam.
Penerapan prinsip negara hukum di Indonesia dapat dikatakan dijalankan tanpa berpatokan secara langsung pada prinsip rechtsstaat atau rule of law.
Janpatar Simamora mengemukakan bahwa terwujudnya negara hukum sebagaimana yang dicitacitakan dalam UUD 1945 akan dapat direalisasikan bila seluruh proses penyelenggaraan pemerintahan atau negara benar-benar didasarkan pada kaidah-kaidah yang tertuang dalam konstitusi itu sendiri.
Negara hukum Indonesia memiliki ciri-ciri tersendiri yang barangkali berbeda dengan negara hukum yang diterapkan di berbagai negara. Hanya saja, untuk prinsip umumnya, seperti adanya upaya perlindungan terhadap hak asasi manusia, adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan, adanya pelaksanaan kedaulatan rakyat, adanya penyelenggaraan pemerintahan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan adanya peradilan administrasi negara masih tetap digunakan sebagai dasar dalam mewujudkan negara hukum di Indonesia.
Berdasarkan pelaksanaannya kemudiannya, sejumlah unsur penting tersebut diwujudkan dengan baik. Terkait dengan perlindungan hak asasi manusia, UUD 1945 setelah perubahan cukup mengakomodir masalah hak asasi manusia secara lengkap. Bahkan dapat dikatakan jauh lebih lengkap dari pengaturan yang terdapat dalam konstitusi yang pernah berlaku sebelumnya.
Demikian juga halnya dengan pemisahan atau pembagian kekuasaan, dilakukan melalui sejumlah lembaga negara yang diatur dalam UUD.
Presiden menjalankan kekuasaan eksekutif, DPR dan DPD menjalankan kekuasaan legislatif serta adanya MA dan MK sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman atau kekuasaan yudikatif. Keberadaan lembaga-lembaga negara tersebut diatur secara jelas dan tegas untuk menjalankan kekuasaan negara secara terpisah. Namun demikian dalam pelaksanaannya, kendati disebut terpisah, masing-masing lembaga negara saling melakukan pengawasan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki demi terciptanya fungsi kontrol terhadap sesama lembaga negara.
Terkait dengan unsur berikutnya, yaitu pelaksanaan kedaulatan rakyat, unsur tersebut juga diterapkan secara langsung di Indonesia. Dilakukannya proses pemilihan secara langsung terhadap presiden dan wakil presiden serta para kepala daerah cukup menunjukkan bahwa Indonesia sangat menunjung tinggi pelaksanaan kedaulatan rakyat. Berdasarkan sistem demokrasi yang dijalankan di Indonesia, rakyat merupakan pemegang kedaulatan tertinggi.
Bahkan dilihat dari model pelaksanaan demokrasi secara langsung di Indonesia, dapat dikatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang paling demokratis dalam menjalankan dan merealisasikan kedaulatan rakyat.
Penegakan Konstitusi
Fungsi dan peran utama Mahkama Konstitusi adalah menjaga konstitusi guna tegaknya prinsip konstitusionalitas hukum. Demikian halnya yang melandasi negara-negara yang mengakomodir pembentukan MK9 dalam sistem ketatanegaraannya. Dalam rangka menjaga konstitusi, fungsi pengujian undang-undang itu tidak dapat lagi dihindari penerapannya dalam ketatanegaraan Indonesia sebab UUD 1945 menegaskan bahwa anutan sistem bukan lagi supremasi parlemen melainkan supremasi konstitusi. Bahkan, ini juga terjadi di negara-negara lain yang sebelumnya menganut sistem supremasi parlemen dan kemudian berubah menjadi negara demokrasi. MK dibentuk dengan fungsi untuk menjamin tidak akan ada lagi produk hukum yang keluar dari koridor konstitusi sehingga hak-hak konstitusional warga terjaga dan konstitusi itu sendiri terkawal konstitusionalitasnya.
Untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi, mekanisme yang disepakati adalah judicial review10 yang menjadi kewenangan MK. Jika suatu undang-undang atau salah satu bagian daripadanya dinyatakan terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk
hukum itu akan dibatalkan MK. Sehingga semua produk hukum harus mengacu dan tak boleh bertentangan dengan konstitusi. Melalui kewenangan judicial review ini, MK menjalankan fungsinya mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari koridor konstitusi.
Fungsi lanjutan selain judicial review, yaitu:
(1) memutus sengketa antarlembaga negara, (2) memutus pembubaran partai politik, dan (3) memutus sengketa hasil pemilu.
Fungsi lanjutan semacam itu memungkinkan tersedianya mekanisme untuk memutuskan berbagai persengketaan (antar lembaga negara) yang tidak dapat diselesaikan melalui proses peradilan biasa, seperti sengketa hasil pemilu, dan tuntutan pembubaran sesuatu partai politik. Perkara-perkara semacam itu erat dengan hak dan kebebasan para warga negara dalam dinamika sistem politik demokratis yang dijamin oleh UUD. Karena itu, fungsi-fungsi penyelesaian atas hasil pemilihan umum dan pembubaran partai politik dikaitkan dengan kewenangan MK
Fungsi dan peran MK di Indonesia telah dilembagakan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa MK mempunyai empat kewenangan konstitusional (conctitutionally entrusted powers) dan satu kewajiban konstitusional (constitusional obligation). Ketentuan itu dipertegas dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Empat kewenangan MK adalah:
1. Menguji undang-undang terhadap UUD 1945
2. Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
3. Memutus pembubaran partai politik.
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
Sementara, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24 C ayat (2) UUD 1945 yang ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2003, kewajiban MK adalah memberi keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Isu Aktual dan Tantangan Implementasi Konstitusi
Di kalangan masyarakat Indonesia, meskipun UUD 1945 telah diamandemen selama empat kali melalui satu tahapan politik yang menguras energi politik bangsa, dan dalam banyak hal menghasilkan sejumlah perubahan besar, namun sejauh ini dalam prakteknya menimbulkan implikasi yang kontraproduktif dengan pengembangan dan penguatan demokrasi, serta peningkatan kesejahteraan rakyat. Alih-alih penerapan konstitusi hasil
amandemen keempat berjalan baik, realitas yang terjadi dalam kehidupan kenegaraan kita justru menunjukkan kualitas demokrasi kita yang merosot, yang ditandai dengan munculnya beberapa masalah seperti: Kerancuan atau ketidakpastian dalam hubungan antara lembaga negara, dominasi ekonomi pasar bebas, maraknya politik transaksional dan politik berbiaya tinggi, lemahnya penegakan hukum, lunturnya budaya civic, serta marjinalisasi kehidupan rakyat bawah yang semakin kentara.
Karena itu, wajar jika dalam beberapa tahun belakangan muncul desakan kuat dari sebagian kalangan untuk melakukan amandemen kelima UUD 1945.
Terlepas dari berbagai kepentingan politik yang muncul di balik wacana amandemen tersebut, namun yang jelas konstitusi hasil amandemen belum dapat memenuhi harapan maksimal masyarakat. Nampak bahwa kritik-kritik dan perdebatan yang muncul mencerminkan bahwa UUD 1945 hasil amandemen mulai dari yang pertama sampai dengan keempat belum mampu memberikan rumusan yang memadai bagi adanya suatu konstitusi yang secara visioner menjawab tantangan di masa mendatang.
Meskipun belakangan, untuk sementara waktu, wacana dan perdebatan untuk mengamandemen UUD 1945 nyaris terhenti, mengingat konsentrasi masyarakat menghadapi pemilu 2014, namun tidak dapat dipungkiri pada akhirnya wacana itu akan berlanjut kembali dalam beberapa tahun ke depan.
Untuk memahami lebih dalam bagaimana substansi wacana dan titik krusial perdebatan tersebut, serta bagaimana implikasnya terhadap praktekpraktek kehidupan negara, maka artikel ini berusaha menguraikannya.
Menurut sebagian kalangan perubahan keempat UUD 1945 sejak tahun 1999- 2002 masih menyisakan banyak persoalan penting yang belum tuntas, sehingga berimplikasi pada penyelenggaraan kekuasaan negara yang tidak konsisten. Persoalan-persoalan yang muncul tersebut menyangkut antara lain:
Pada tingkat legislatif, hubungan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terwujud dengan baik, seimbang dan tepat.
Di samping itu juga hubungan antara lembaga-lembaga negara yang ada, seperti Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi perlu diperkuat, sehingga tidak saling mencampuri atau mengganggu satu sama lain yang menimbulkan konflik kelembagaan.
Dewasa ini, pelaksanaan sistem perwakilan dua kamar atau bikameral terlihat pincang, di mana kewenangan DPR terlalu besar, sementara DPD amat terbatas. Akibatnya institusi DPR agak sewenang-wewenang dan cenderung koruptif karena tidak ada kekuatan penyeimbang. Konstitusi memang mengatur lembaga perwakilan yang disebut Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) terdiri dari dua kamar, yakni DPR dan DPD. Namun kewenangan yang dimiliki DPR lebih besar dibandingkan kewenangan DPR yang justru merupakan representasi masyarakat daerah.
Pada satu sisi DPR memiliki kewenangan dalam: Menetapkan anggaran pemerintah dan mengesahkan undangundang (UU); mengajukan usulan hak menyatakan pendapat kepada MPR; memiliki hak untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan sejumlah pejabat serta komisioner negara.
Sementara pada lain pihak DPD tidak memiliki hak dalam menetapkan anggaran dan hak menyatakan pendapat. DPD hanya memiliki hak mengusulkan rancangan undang-undang yang menyangkut pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan daerah, serta belakangan melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi, memperoleh hak dalam pembahasan rancangan undangundang tetapi tidak memiliki hak untuk mengesahkan menjadi Undang-Undang. Dengan kewenangan yang seimbang, DPR dan DPD diharapkan bisa saling mengawasi sehingga kesewenangwenangan dan praktek koruptif DPR bisa diminimalisasi.
Menurut pengamat politik M. Qodari, permasalahan yang dihadapi DPD bukanlah Pasal 22C dan 22D UUD 1945 yang mengatur tentang DPD. Pasal yang seharusnya diamandemen adalah Pasal 20 UUD 1945 yang mengatur kewenangan DPR untuk menyusun Undang-Undang. Pasal itu menyebutkan, setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
Sementara pada tingkat eksekutif, perlu penguatan sistem presidensial, di mana mesti ada keseimbangan peran antara eksekutif dengan legislatif, di mana sejumlah kewenangan yang selama ini berada di tangan presiden, yang dikurangi dalam empat kali amandemen perlu ditinjau lagi. Dalam naskah konstitusi hasil amandemen itu, meskipun wewenang presiden cukup luas tetapi tetap dalam bayang-bayang parlemen karena hampir di dalam setiap kebijakannya memerlukan persetujuan DPR (UUD 1945 Pasal 7-16). Mulai dari masalah pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden, pengangkatan para pejabat negara, sampai dengan pembentukan Dewan Pertimbangan Presiden.
Salah satu kewenangan utama parlemen yang jelas-jelas ditunjukkan untuk mengimbangi kewenangan presiden adalah dalam Pasal 19-22B UUD 1945, di mana fungsi utama DPR bukan hanya pengawasan dan penganggaran saja, tetapi juga pengajuan rancangan undang-undang atau legislasi. Secara politis, teramat kuatnya kedudukan parlemen tersebut, sepertimana dikemukakan Jimly Asshiddiqie, menjadikan tatanan kenegaraan kita lebih cenderung legislative heavy
Ketimpangan wewenang itu, pada tahap tertentu, dapat berakibat mengganggu, bahkan memunculkan konflik antar lembaga eksekutif dan legislatif sebagaimana sering kita saksikan. Padahal, idealnya hubungan antara legislatif-eksekutif bersifat seimbang sesuai dengan fungsinya masing- masing. Konflik itu wujud, karena arogansi wewenang dan adanya kepentingan politik sesaat. Semangat kontrol DPR yang berlebihan atau tidak proporsional untuk tujuan-tujuan politik, seringkali mengkandaskan berbagai kebijakan eksekutif, sehingga pihak eksekutif seringkali “tersandera” oleh
legislatif. Berkali-kali ketegangan antara pihak legislatif dan eksekutif muncul ke permukaan, dan menimbulkan krisis politik.
Penataan sistem kepartaian perlu dilakukan, dalam arti penyederhanaan jumlah partai politik yang ada. Jumlah dan kedudukan partai-partai sepatutnya mencerminkan aliran-aliran politik utama yang hidup dalam masyarakat, sehingga tidak semua kelompok secara bebas mendirikan partai politik sesuai dengan selera. Pada sistem kepartaian yang bersifat multipartai yang kita anut sesungguhnya bertentangan dengan konsep pemerintahan presidensiil murni. Sistem multipartai sejajar dengan sistem pemerintahan parlementer. Dalam prakteknya pemerintahan disusun mengikuti model koalisi tetapi dalam parlemen partai-partai anggota koalisi pemerintah seringkali justru bertengkar satu sama lain. Koalisi “setengah hati” inilah yang menyebabkan pemerintahan tidak efektif. Penguatan sistem presidensial diharapkan akan membawa dampak ikutan pada kinerja legislasi, yakni fungsi legislasi DPR. Selama ini, rendahnya tingkat produktifitas DPR disebabkan karena tidak tegasnya aturan dalam konstitusi.
Dalam sistem presidensiil pembuatan undang-undang atau legislasi cukup dilakukan oleh legislatif, sementara eksekutif hanya menjalankannya.
Kendati demikian, presiden tidak berarti pasif sama sekali, tetapi diberi peluang untuk menyetujui atau menolak undang-undang tersebut dengan mekanisme hak veto. Fakta yang terdapat dalam konstitusi amandemen memperlihatkan penggabungan kekuasaan antara kedua lembaga ini. Hal tersebut misalnya, tampak pada Pasal 20 ayat (2) yang berbunyi, “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama”. Karena itu setiap pembuatan undang- undang di DPR pasti melibatkan presiden, yang dalam hal ini diwakili menteri-menteri terkait. Keadaan ini membawa implikasi pada lemahnya produktifitas legislatif karena prosesnya cukup berbelit, serta menimbulkan pemborosan uang negara. Pada segi lain ini juga berakibat pada munculnya praktek kolusi dan korupsi di antara kedua belah pihak. Dengan penguatan sistem presidensial maka berbagai kerancuan dan ketidakjelasan dalam sistem pemerintahan yang ada sekarang bisa diatasi.
Penutup Kesimpulan
berdasarkan pada uraian tersebut, cukup terlihat dengan jelas bahwa penerapan prinsip negara hukum di Indonesia tidak merujuk secara langsung terhadap dua aliran negara hukum, yaitu rechtsstaat maupun rule of law, namun dijalankan berdasarkan prinsip negara hukum dengan ciri tersendiri melalui elaborasi prinsip negara hukum pada umumnya, yaitu adanya perlindungan hak asasi manusia, adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan, adanya pelaksanaan kedaulatan rakyat, adanya penyelenggaraan pemerintahan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan adanya peradilan administrasi negara. Dalam rangka memaksimalkan penerapan prinsip negara hukum Indonesia, maka kiranya dalam setiap pelaksanaannya dapat dijalankan secara konsisten. Melalui konsistensi penerapan prinsip negara hukum bagi Indonesia, akan dapat terwujud tujuan negara hukum yang dikehendaki bangsa Indonesia itu sendiri.
Negara hukum bukan hanya urgen dalam tataran konsep, namun sangat urgen dalam tataran praktik. Oleh sebab itu, konsistensi penerapannnya menjadi sangat dibutuhkan dan bahkan merupakan suatu keharusan agar membawa manfaat besar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Konstitusi adalah pilar utama sistem hukum dan demokrasi Indonesia.
Saran
Perlu penguatan pendidikan konstitusi, peran aktif masyarakat dalam kontrol konstitusional, dan evaluasi berkala terhadap efektivitas konstitusi dalam merespons perkembangan zaman.
Daftar pustaka
Asshiddiqie, J. (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Konstitusi Press.
Bernard LTanya. dkk. Teori Hukum; Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi. (Yogyakarta: Genta Publishing 2010), h.104.
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 22.
Kelsen, H. (1970). Pure Theory of Law. Berkeley:
University of California Press.
Lubis, T. M. (2005). In Search of Human Rights. Jakarta:
LP3ES.
Mahfud MD. (2009). Politik Hukum di Indonesia. Jakarta:
Rajawali Pers.
Notohamidjojo, O. (1970). Ilmu Negara. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Strong, C. F. (1963). Modern Political Constitutions: An Introduction to the Comparative Study of Their History and Existing Form. London: Sidgwick &
Jackson.
Wahyudi, J. (2007). Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Yogyakarta: FH UII Press.
Wheare, K. C. (1966). Modern Constitutions. Oxford:
Oxford University Press.
Dekrit Presiden RI, 5 Juli 1959.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.