MAKALAH
APLIKASI MODEL ADDIE
DALAM PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
Mata kuliah :Pendidikan dan Pelatihan Dosen Pengampu :Ridwan, S.Kep,M.keb.,Ph.D
Disusun Oleh :
Chiara Dwi Yohani (11108113201006) Erwin Nadun (211108113201008) Fresi Novianda (211108113201010) Sunchin (211108113201033)
PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
KAPUAS RAYA SINTANG TAHUN 2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan yang maha esa atas segala rahmat-Nya sehingga makalah yang berjudul “Aplikasi Model Addie Dalam Pendidikan dan pelatihan” ini dapat tersusun sampai selesai. Pada kesempatan kali ini kami juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah memberi bimbingan serta turut membantu kelancaran pelaksanaan penyusunsn makalah ini.
Kami sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktikkan dalam kehidupan sehari- hari.
Kami sebagai penyusun menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI
A. Latar Belakang...1 B. Rumusan Masalah... 2 C. Tujuan...3 D.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Desain pembelajaran adalah praktik penyusunan media teknologi komunikasi dan isi untuk membantu agar dapat terjadi transfer pengetahuan secara efektif antara guru dan peserta didik. Model-model desain rencana pembelajaran adalah model PPSI, model Banathy, model Kemp, model Gerlach & Elly, model Dick
& Carrey, model ASSURE, model ADDIE, model Hanafin and Peck, dan model waterfall. Dalam model PPSI pengajaran dipandang sebagai suatu sistem.Sub-sistem dari pengajaran, diantaranya tujuan pembelajaran, bahan pelajaran, kegiatan pembelajaran, alat-alat dan sumber pembelajaran dan evaluasi.
Model kemp berorientasi pada perancangan pembelajaran yang menyeluruh. Sehingga guru sekolah dasar dan sekolah menengah, dosen perguruan tinggi, pelatih di bidang industri, serta ahli media yang akan bekerja sebagai perancang pembelajaran. Model Banathy bertitik tolak dari pendekatan sistem (sistem approach), yang mencakup keenam komponen (langkah) yang saling berinterelasi dan berinteraksi untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Model Gerlach & Elly menjadi suatu garis pedoman atau suatu peta perjalanan pembelajaran karena model ini memperlihatkan keseluruhan proses belajar mengajar yang baik, sekalipun tidak menggambarkan secara rinci setiap komponennya.
Desain pembelajaran dikenal beberapa model yang dikemukakan oleh para ahli.Secara umum, model desain pembelajaran dapat diklasifikasikan ke dalam model berorientasi kelas, model berorientasi sistem, model berorientasi produk, model prosedural dan model melingkar. Model berorientasi kelas biasanya ditujukan untuk mendesain pembelajaran level mikro (kelas) yang hanya dilakukan setiap dua jam pelajaran atau lebih. Contohnya adalah model ASSURE. Model berorientasi produk adalah model desain pembelajaran untuk menghasilkan suatu produk biasanya media pembelajaran misalnya, video pembelajaran, multimedia pembelajaran atau modul. Contoh modelnya adalah model Hannafin and Peck.
Model berorientasi system yaitu model desain pembelajaran untuk menghasilkan suatu system pembelajaran yang cakupannya luas seperti desain sistem suatu pelatihan kurikulum sekolah. Contohnya adalah model ADDIE. Selain itu ada pula yang biasa kita sebut sebagai model procedural dan model melingkar.Contohnya dari model procedural adalah model Dick And Carrey dan contoh model melingkar adalah model Kemp.
Adanya variasi model yang ada ini sebenarnya dapat menguntungkan kita. Beberapa keuntungan itu antara lain adalah kita dapat memilih dan menerapkan salah satu model desain pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik yang kita hadapi dilapangan selain itu juga, kita dapat mengembangkan dan membuat m odel turunan dari model-model yang telah ada. Selain itu kita juga dapat meneliti dan mengembangkan desain yang telah ada untuk dicoba dan diperbaiki.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam penulisan makalah ini dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah konsep model pembelajaran?
2. Apakah pengertian pembelajaran model ADDIE?
3. Bagaimana langkah-langkah model pembelajaran ADDIE?
4. Bagaimana kelebihan dan kekurangan dari model pembelajaran ADDIE?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui konsep dari model pembelajaran.
2. Untuk mengetahui pengertian pembelajaran ADDIE.
3. Untuk mengetahui langkah-langkah model pembelajaran ADDIE.
4. Untuk mengetahui kelebihan dan kekerungan dari model pembelajaran ADDIE
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Model ADDIE
Teori dasar pengembangan model ADDIE, merupakan proses umum yang biasa digunakan oleh para desainer pembelajaran dalam dunia pendidikan, ataupun pengembangan pelatihan/training. Ada lima fase desain pelatihan yang ditawarkan oleh model ini, yaitu Analysis, Design, Development, Implementation, and Evaluation yang jika disingkat dari huruf awalnya menjadi nama model tersebut, ADDIE. Model ini memberikan perangkat panduan yang dinamis serta fleksibel dalam membangun pelatihan yang efektif.
Desain pembelajaran adalah praktik penyusunan media teknologi komunikasi dan isi untuk membantu agar dapat terjadi transfer pengetahuan secara efektif antara guru dan peserta didik. Model-model desain rencana pembelajaran adalah model PPSI, model Banathy, model Kemp, model Gerlach & Elly, model Dick &
Carrey, model ASSURE, model ADDIE, model Hanafin & Peck, dan model Waterfall. Dalam model PPSI pengajaran dipandang sebagai suatu sistem. Subsistem dari pengajaran, di antaranya tujuan pembelajaran, bahan pelajaran, kegiatan pembelajaran, alat-alat, dan sumber pembelajaran dan evaluasi.
Model Kemp, berorientasi pada perancangan pembelajaran yang menyeluruh. Sehingga guru sekolah dasar dan sekolah menengah, dosen perguruan tinggi, pelatih di bidang industri, serta ahli media yang akan bekerja sebagai perancang pembelajaran. Model Banathy bertitik tolak dari pendekatan sistem/system approach, yang mencakup keenam komponen langkah, yang saling berinterelasi dan berinteraksi untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Model Gerlach & Elly menjadi suatu garis pedoman atau suatu peta perjalanan pembelajaran karena model ini memperlihatkan keseluruhan proses belajar- mengajar yang baik, sekalipun tidak menggambarkan secara rinci setiap komponennya. Desain pembelajaran dikenal beberapa model yang dikemukakan oleh para ahli. Secara umum, model desain pembelajaran dapat diklasifikasikan ke dalam model berorientasi kelas, model berorientasi sistem, model berorientasi produk, model prosedural, dan model melingkar.
Model pembelajaran berorientasi kelas biasanya ditujukan untuk mendesain pembelajaran level mikro/kelas yang hanya dilakukan setiap dua jam pelajaran atau lebih. Contohnya adalah model ASSURE.
Model berorientasi produk adalah model desain pembelajaran untuk menghasilkan suatu produk, biasanya media pembelajaran misalnya, video pembelajaran, multimedia pembelajaran atau modul. Contoh modelnya adalah model Hannafin & Peck. Model berorientasi sistem, yaitu model desain pembelajaran untuk menghasilkan suatu sistem pembelajaran yang cakupannya luas, seperti desain sistem suatu pelatihan kurikulum sekolah. Contohnya adalah model ADDIE.
Selain itu, ada pula yang biasa kita sebut sebagai model prosedural dan model melingkar. Contohnya dari model prosedural adalah model Dick & Carrey dan contoh model melingkar adalah model Kemp.
Adanya variasi model yang ada ini sebenarnya dapat menguntungkan kita. Beberapa keuntungan itu antara lain kita dapat memilih dan menerapkan salah satu model desain pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik yang kita hadapi di lapangan, kita juga dapat mengembangkan dan membuat model turunan dari model-model yang telah ada. Selain itu, kita dapat meneliti dan mengembangkan desain yang telah ada untuk dicoba dan diperbaiki.
ADDIE merupakan singkatan dari Analysis, Design, Development or Production, Implementation or Delivery and Evaluations. Model ini lebih rasional dan lebih lengkap daripada model 4D, model ini dapat digunakan untuk berbagai macam bentuk pengembangan produk, seperti model, strategi pembelajaran, metode pembelajaran, media, dan bahan ajar. Model ADDIE ini merupakan manifestasi dari lima aspek penting sasaran program pendidikan dan pelatihan. Kelima aspek ini dijadikan nama model tersebut, yaitu
1. Hasil atau dampak keseluruhan yang harus dicapai oleh peserta diklat, di mana hasil atau dampak ini bisa diidentifikasi dari pengukuran dan penilaian tentang apa yang dibutuhkan individu atau tempat kerja dalam rangka mencapai suatu level kinerja yang seharusnya. Dampak pelatihan itu adalah kemampuan menampilkan suatu pekerjaan yang kompleks.
2. Tujuan pembelajaran apa yang harus dicapai oleh peserta diklat dalam rangka mencapai semua dampak keseluruhan, dan strategi apa yang harus diterapkan oleh pelatih dan peserta diklat untuk mencapai tujuan dan dampak tersebut. Tujuan dan strategi tersebut diwujudkan ke dalam aktivitas atau program diklat. Tujuan pembelajaran sering diidentikkan dengan pengetahuan baru, keterampilan baru, dan kemampuan baru. Dalam satu dampak, bisa terdiri dari beberapa tujuan pembelajaran.
3. Sumber daya apa yang harus dikembangkan untuk mengembangkan dan menerapkan strategi pembelajaran. Sumber daya ini bisa berupa keahlian tertentu, fasilitas, dan teknologi.
4. Bagaimana strategi akan diterapkan oleh pelatih dan trainee. Strategi-strategi bisa meliputi suatu sesi orientasi, belajar mandiri, peer teaching, pembelajaran berbasis web, portofolio, tergantung situasi dan kondisi proses pembelajaran itu sendiri. 5. Bagaimana pencapaian tujuan dan dampak akan diukur atau dievaluasi selama atau setelah kegiatan diklat. Evaluasi ini bisa berupa kuesioner, survei, interview, atau studi kasus.
Model ADDIE, dalam mendesain sistem instruksional pelatihan menggunakan pendekatan sistem. Hal ini ditujukan agar proses pelatihan yang dijalankan berjalan secara komprehensif serta fokus pada kebutuhan lembaga dan individu. Model instruksional ADDIE merupakan proses instruksional yang umum digunakan secara tradisional oleh pengembang diklat. Ada 5 (lima) fase, yaitu Analysis, Design, Development, Implementation, and Evaluation yang merepresentasikan panduan perangkat pengembangan pelatihan dan kinerja yang dinamik. Bila digambarkan adalah sebagai berikut:
Gambar 2.1 Panduan Perangkat Pengembangan Pelatihan dan Kinerja yang Dinamik
Proses pelatihan yang dikembangkan melalui model ADDIE ini, tahapannya adalah sebagai berikut:
1. Analysis. Analisis kebutuhan lembaga dan individu, kemudian mengidentifikasi sasaran pelatihan, yang ketika dicapai akan membekali pelatihan dengan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka memenuhi kebutuhan lembaga dan individu/yang bersangkutan.
2. Design. Mendesain sistem pelatihan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Fase ini meliputi identifikasi tujuan pembelajaran, strategi dan kegiatan apa yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut, sumber daya apa yang dibutuhkan uang, persediaan, fasilitas, jumlah pertemuan atau tahapannya, dan lain-lain. Dalam mendesain tujuan pelatihan, ada tips untuk mengukur tujuan yang baik, yaitu dengan SMART, yang merupakan kepanjangan dari Spesifik, Measureable, Acceptable to you, Realistic to achieve, dan Timebound with deadline.
3. Development. Mengembangkan sumber dan materi pelatihan, mendesain web jika memanfaatkan e-learning, pengembangan media A-V, gambar, manual, dan lain-lain.
4. Implementation. Melaksanakan kegiatan pelatihan, menyelenggarakan pelatihan dengan cara menerapkan strategi dan memandu kegiatan, berbagi feedback program pelatihan dan metodenya, melakukan tes, memodifikasi desain training, dan material berdasarkan pada feedback yang ditemukan
5. Evaluation. Mengevaluasi adalah kegiatan mendapatkan feedback dari trainee dan pelatih serta supervisor trainee dalam rangka meningkatkan mutu pelatihan dan mengidentifikasi pencapaian tujuan pelatihan. Evaluasi dilakukan selama dan setelah kegiatan berlangsung, yang dievaluasi adalah desain program pelatihan, penggunaan sumber daya, dan hasil yang diperoleh oleh partisipan program pelatihan. Dalam melakukan evaluasi, ada 4 tahapan capaian hasil training yang bisa dievaluasi, mengacu pada tahapan evaluasi Kirkpatrick, yaitu:
a. Reaction – apa yang dirasakan trainee tentang training?
b. Learning – pengetahuan, fakta, atau apa pun yang diperoleh trainee?
c. Behaviors – keterampilan apa yang dikembangkan trainee, yaitu informasi baru apa yang digunakan trainee dalam pekerjaan?
Results or effectiveness (hasil yang terjadi), yaitu apakah trainee menerapkan keterampilan baru pada pekerjaan di lembaga dan jika iya, bagaimana hasil pekerjaannya tersebut. Pendidikan lanjutan bagaikan sebuah bintang yang sedang bersinar (rising star), dalam dua dekade terakhir pada abad ke-20, dua fenomena akan membuat pendidikan lanjutan sebagai sebuah strategi vital untuk meningkatkan produktivitas tempat kerja, pekerjaan, dan mobilitas yang berhubungan dengan pekerjaan. Pertama, adanya suatu kenyataan bahwa pergeseran atau perubahan yang besar dalam keahlian pekerjaan akan menghempaskan industri lama dan diganti dengan industri yang baru dengan keahliankeahlian yang baru pula, sehingga adaptasi dan pelatihan kembali bagi para pekerja sangat diperlukan. Kedua, perluasan teknologi tinggi dalam pekerjaan akan menjadi penting. Ada dua alasan yang sangat penting mengapa pendidikan lanjutan dianggap sebagai bintang yang sedang bersinar. Pertama, bahwa pengembangan keahlian-keahlian yang baru untuk menyesuaikan dengan pekerjaan yang disebabkan oleh pergeseran-pergeseran industri dan teknologi baru
harus dipenuhi melalui pelatihan-pelatihan untuk para pekerja yang sudah ada. Suatu hal yang sulit dilakukan tanpa adanya sebuah sistem pendidikan lanjutan yang komprehensif. Kedua, pendidikan berkelanjutan menjadi sebuah agenda politik dan pendidikan yang penting karena urgensinya untuk menghindari dari para pekerja yang tidak berkeahlian dan dibayar dengan upah rendah. Sehingga pelatihan-pelatihan dalam teknologi tinggi akan diperluas lebih cepat daripada yang tradisional.
B. Kelebihan Dan Kekurangan ADDIE
Kekurangan dan kelebihan Model Desain Pembelajaran ADDIE ini dijelaskan dalam Dyta (2015) sebagai berikut.
1. Kelebihan desain ADDIE
Model ini sederhana dan mudah dipelajari serta strukturnya yang sistematis. Seperti kita ketahui bahwa model ADDIE ini terdiri dari 5 komponen yang saling berkaitan dan terstruktur secara sistematis yang artinya dari tahapan yang pertama sampai tahapan yang kelima dalam pengaplikasiannya harus secara sistematik, tidak bisa diurutkan secara acak atau kita bisa memilih mana yang menurut kita ingin di dahulukan. Karena kelima tahap/ langkah ini sudah sangat sederhana jika dibandingkan dengan model desain yang lainnya. Sifatnya yang sederhana dan terstruktur dengan sistematis maka model desain ini akan mudah dipelajari oleh para pendidik.
2. Kekurangan model desain ADDIE
Kekurangan model desain ini adalah dalam tahap analisis memerlukan waktu yang lama.
Dalam tahap analisis ini pendesain/ pendidik diharapkan mampu menganalisis dua komponen dari siswa terlebih dahulu dengan membagi analisis menjadi dua yaitu analisis kinerja dan analisis kebutuhan. Dua komponen analisis ini yang nantinya akan mempengaruhi lamanya proses menganalisis siswa sebelum tahap pembelajaran dilaksanakan. Dua komponen ini merupakan hal yang penting karena akan mempengaruhi tahap mendesain pembelajaran yang sel anjutnya.
C. Sekilas tentang Beberapa Model Pembelajaran
Definisi desain sistem pembelajaran merupakan desain pembentukan keseluruhan, struktur kerangka atau outline, dan urutan atau sistematika kegiatan. Sehingga desain yang dibuat agar menjadi sebuah kegiatan yang efektif, efisien, dan menarik. Apabila pembelajaran itu menarik maka peserta didik tidak merasa bosan atau monoton, jadi kita dapat membuat pembelajaran itu menyenangkan buat peserta didik. Baik dari cara mengajar, menyampaikan, dan lain-lain. Preskripsi tentang desain pembelajaran juga untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu, dengan kondisi yang karakteristiknya mata ajar tertentu dan karakteristik pembelajaran tertentu. Pembelajaran model ADDIE merupakan pembelajaran yang efektif dan efisien serta prosesnya bersifat interaktif, di mana hasil evaluasi setiap fase dapat membawa pengembangan pembelajaran
ke fase sebelumnya. Hasil akhir dari suatu fase merupakan produk awal bagi fase berikutnya. Model ADDIE adalah jembatan antara peserta didik, materi, dan semua bentuk media, berbasis teknologi dan bukan teknologi. Model ini mengasumsikan bahwa cara pembelajaran tidak hanya menggunakan pertemuan kuliah, buku teks, tetapi juga memungkinkan untuk menggabungkan belajar di luar kelas dan teknologi ke dalam materi pelajaran. Artinya, model ini memastikan pengembangan instruksional dimaksudkan untuk membantu pendidik dalam pengembangan instruksi yang sistematis dan efektif. Beberapa model pembelajaran yang dapat dipelajari antara lain:
Model pembelajaran dalam penyelenggaraan diklat, umumnya melalui pendekatan andogogi, penerapan model pembelajaran, seharusnya dipersiapkan dengan baik, seperti bahan yang akan disampaikan dalam bentuk power point, maupun lembar kerja, kesemuanya ini tergantung dari penyelenggara diklat apa yang akan dilaksanakan. Jika diklat yang bersifat seluruh materi atau mata diklat sudah ditetapkan pemerintah, maka semua mata diklat harus disampaikan sesuai dengan capaian proses pembelajaran dalam kurun waktu yang telah ditetapkan. Beberapa jenis model pembelajaran dalam proses pembelajaran penyelenggaraan diklat, sebaiknya harus menyesuaikan kurikulum mata diklat yang akan dilakukan. Berikut beberapa jenis model pembelajaran yang bisa menjadi perbandingan dan diketahui penerapannya, sebagai berikut:
1. Model Pembelajaran Berbasis Langsung (Direct Instructions) Penerapan model pembelajaran yang secara langsung disampaikan kepada siswa dengan menggerakkan agar para siswa lebih aktif, maka melalui pendekatan active teaching, dengan sendirinya tentu pendidik sebagai pengajar harus lebih aktif dalam menguasai materi bahan ajarnya yang disampaikan kepada siswa. Model pembelajaran sebaiknya harus dirancang, baik secara sistematis maupun lebih aktual, yang dapat mengombinasikan dengan mengarah pada keterampilan siswa, baik secara langsung maupun dalam proses pembelajaran di kelas, dengan tema-tema yang konkret, dan secara akademis dapat dipertanggungjawabkan, dan siswa mampu menjadi pengamat dan pendengar yang menunjukkan ketekunan dan ketelitian dalam menyelesaikan masalah-masalah akademik di kelas.
2. Model Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) Konsep model pembelajaran kontekstual/contextual teaching and learning atau biasa disebut pembelajaran kontekstual merupakan konsep yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata, dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Pembelajaran kontekstual merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan untuk membantu siswa dalam memahami makna yang ada pada bahan ajar, menghubungkan pelajaran dalam konteks kehidupan sehari-harinya dengan konteks kehidupan pribadi, sosial, dan kultural.
Jenis-jenis model pembelajaran yang diuraikan di atas, tidak ada model pembelajaran yang paling baik, model pembelajaran memiliki kelebihan dan kekurangan. Pemilihan model pembelajaran harus disesuaikan dengan rumusan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan, analisis kebutuhan dan karakteristik peserta didik yang dihasilkan, dan jenis materi yang dapat diajarkan. Pada penelitian ini, menurut peneliti model pembelajaran yang cocok diterapkan pada pembelajaran membuat pola adalah model pembelajaran kooperatif
3. Model Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) Model pembelajaran cooperative learning, dapat diartikan sebagai belajar secara bersama, saling membantu untuk mendiskusikan masalah dengan kelompok belajar, sehingga masing-masing kelompok dapat menentukan keberhasilan dalam belajar bersama. Anggota kelompok secara individu dan berkelompok memiliki kemampuan dalam menentukan kelompok belajar dan aktivitas anggota dalam kelompok belajar, pembelajaran kooperatif dirancang untuk memberi motivasi kepada siswa agar mampu bekerja sama dengan kelompok lainnya dalam proses pembelajaran di kelas. Model pembelajaran kooperatif adalah salah satu model pembelajaran yang menempatkan siswa sebagai subjek pembelajaran (student oriented). Dengan suasana kelas yang demokratis, yang saling membelajarkan memberi kesempatan peluang lebih besar dalam memberdayakan potensi siswa secara maksimal. Menurut David W. Johnson (2010: 4), pembelajaran kooperatif: Merupakan proses belajar-mengajar yang melibatkan penggunaan kelompok-kelompok kecil yang memungkinkan siswa untuk bekerja bersama-sama di dalamnya guna memaksimalkan pembelajaran mereka sendiri dan pembelajaran satu dengan yang lain. Pembelajaran cooperative menekankan kerja sama antarpeserta didik dalam kelompok untuk mencapai tujuan pembelajarannya. Melalui belajar secara kelompok, peserta didik memperoleh kesempatan untuk saling berinteraksi dengan teman-temannya. Para siswa dibagi dalam kelompok-kelompok kecil dan diarahkan untuk mempelajari materi yang telah ditentukan. Selain itu, pembelajaran kooperatif untuk mempersiapkan siswa agar memiliki orientasi bekerja dalam kelompok. Siswa tidak hanya mempelajari materi, tetapi harus mempelajari keterampilan khusus yang disebut keterampilan kooperatif. Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran di mana sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang di tingkat kemampuan berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk memahami materi yang dipelajari, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran tersebut.
Menurut Hamid Hasan dalam Etin Soliatin, (2007: 4) kooperatif mengandung pengertian bekerja bersama dalam mencapai tujuan bersama. Dalam kegiatan kooperatif, siswa secara individual mencari hasil yang menguntungkan bagi seluruh anggota kelompoknya. Jadi, belajar kooperatif adalah pemanfaatan kelompok kecil dalam pengajaran yang memungkinkan siswa bekerja bersama untuk memaksimalkan belajar anggota lainnya dalam kelompok tersebut. Sehubungan dengan pengertian tersebut, pernyataan Slavin dalam Anita Lie (2008: 8) mengatakan bahwa cooperative learning adalah suatu model pembelajaran yang berarti siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari 4 sampai 6 orang, dengan struktur kelompoknya yang bersifat heterogen, model pembelajaran kooperatif biasa disebut dengan model pembelajaran gotong royong, yang mendasari model pembelajaran gotong royong dalam pendidikan adalah falsafah.
Pembelajaran kooperatif adalah rangkaian kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa berupa pemanfaatan kelompok kecil dalam pengajaran yang memungkinkan siswa bekerja bersama untuk memaksimalkan belajar anggota lainnya dalam kelompok tersebut melalui belajar secara kelompok, peserta didik memperoleh kesempatan untuk saling berinteraksi dengan teman-temannya. Berdasarkan uraian di atas model pembelajaran berkelompok sangat sesuai untuk pembelajaran praktik. Ada tiga pilihan model pembelajaran, yaitu kompetisi. Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai hasil belajar
berupa prestasi akademik, toleransi, menerima keragaman, dan pengembangan keterampilan sosial. Untuk mencapai hasil belajar itu model pembelajaran kooperatif menuntut kerja sama dan interdependensi peserta didik dalam struktur tugas, struktur tujuan, dan struktur reward-nya.
Struktur tugas berhubungan dengan bagaimana tugas yang diberikan dapat diorganisir dengan baik oleh peserta didik. Struktur tujuan dan reward mengacu pada kerja sama dalam kelompok atau kompetisi yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan yang diinginkan maupun reward. Menurut Rumini, dkk. (1995: 12) dalam pembelajaran kooperatif terdapat beberapa variasi model yang dapat diterapkan, yaitu di antaranya:
1. Student Team Achievement Division (STAD)
Student Team Achievement Division (STAD) pada dasarnya model pembelajaran ini menekankan pada adanya aktivitas dan interaksi siswa dalam proses pembelajaran, dapat memberi motivasi, bekerja sama dalam penguasaan materi yang diajarkan, sehingga prestasi yang diharapkan dapat tercapai dengan optimal. Ada beberapa tahapan dalam model pembelajaran STAD, di antaranya adalah penyajian materi, tugas kelompok, tes individu, menghitung skor pengembangan individu, pemberian penghargaan kepada kelompok yang berprestasi. Penerapan model pembelajaran Student Team Achievement Division (STAD), adalah siswa menunjukkan sikap yang positif terhadap pembelajaran kooperatif tipe STAD. Siswa berada dalam kelompok kecil dan menggunakan lembaran kerja untuk menguasai suatu materi pelajaran. Kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang mendapat model pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Team Achievement Division) lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.
Peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang mendapat model pembelajaran kooperatif tipe STAD lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.
Kualitas peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang mendapat model pembelajaran kooperatif tipe STAD.
2. Model Inquiry Learning
Model pembelajaran inkuiri biasanya lebih cocok digunakan pada pembelajaran matematika, tetapi mata pelajaran lain pun dapat menggunakan model tersebut asal sesuai dengan karakteristik KD atau materi pembelajarannya. Langkah-langkah dalam model inkuiri terdiri atas :
a. Observasi/mengamati berbagai fenomena alam. Kegiatan ini memberikan pengalaman belajar kepada peserta didik bagaimana mengamati berbagai fakta atau fenomena dalam mata pelajaran tertentu.
b. Mengajukan pertanyaan tentang fenomena yang dihadapi. Tahapan ini melatih peserta didik untuk mengeksplorasi fenomena melalui kegiatan menanya, baik terhadap guru, teman, atau melalui sumber yang lain.
c. Mengajukan dugaan atau kemungkinan jawaban. Pada tahapan ini peserta didik dapat mengasosiasi atau melakukan penalaran terhadap kemungkinan jawaban dari pertanyaan yang diajukan.
d. Mengumpulkan data yang terkait dengan dugaan atau pertanyaan yang diajukan, sehingga pada
kegiatan tersebut peserta didik dapat memprediksi dugaan atau yang paling tepat sebagai dasar untuk merumuskan suatu kesimpulan.
e. Merumuskan kesimpulan-kesimpulan berdasarkan data yang telah diolah atau dianalisis, sehingga peserta didik dapat mempresentasikan atau menyajikan hasil temuannya.
3. Model Discovery Learning
a. Stimulation, pada kegiatan ini guru memberikan stimulan, dapat berupa bacaan, atau gambar, atau situasi, sesuai dengan materi pembelajaran/topik/tema yang akan dibahas, sehingga peserta didik mendapat pengalaman belajar mengamati pengetahuan konseptual melalui kegiatan membaca, mengamati situasi, atau melihat gambar.
b. Problem statement, tahapan tersebut peserta didik diharuskan menemukan permasalahan yang dihadapi, sehingga pada kegiatan ini peserta didik diberikan pengalaman untuk menanya, mencari informasi, dan merumuskan masalah.
c. Data collecting, tahapan ini peserta didik diberikan pengalaman mencari dan mengumpulkan data/informasi yang dapat digunakan untuk menemukan solusi pemecahan masalah yang dihadapi. Kegiatan ini juga dapat melatih ketelitian, akurasi, dan kejujuran, serta membiasakan peserta didik untuk mencari atau merumuskan berbagai alternatif pemecahan masalah, jika satu alternatif mengalami kegagalan.
d. Data processing, mengolah data, melatih peserta didik untuk mencoba dan mengeksplorasi kemampuan pengetahuan konseptualnya untuk diaplikasikan pada kehidupan nyata, sehingga kegiatan ini juga akan melatih keterampilan berpikir logis dan aplikatif.
e. Verification, tahapan ini mengarahkan peserta didik untuk mengecek kebenaran atau keabsahan hasil pengolahan data, melalui berbagai kegiatan, antara lain bertanya kepada teman, berdiskusi, atau mencari sumber yang relevan, baik dari buku atau media, serta mengasosiasikannya sehingga menjadi suatu kesimpulan.
f. Generalization (menyimpulkan). Pada kegiatan ini peserta didik digiring untuk menggeneralisasikan hasil simpulannya pada suatu kejadian atau permasalahan yang serupa, sehingga kegiatan ini juga dapat melatih pengetahuan metakognisi peserta didik.
4. Model Jigsaw
Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw merupakan salah satu pembelajaran kooperatif yang mendorong siswa aktif dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran dengan jigsaw, yakni adanya kelompok asal dan kelompok ahli dalam kegiatan belajar-mengajar. Setiap siswa dari masing-masing kelompok yang memegang materi serupa berkumpul dalam satu kelompok baru, yakni kelompok ahli. Masing-masing kelompok ahli bertanggung jawab untuk sebuah materi atau pokok bahasan, setelah kelompok ahli selesai mempelajari satu topik materi keahliannya, masing- masing siswa kembali ke kelompok asal mereka untuk mengajarkan materi keahliannya kepada teman-temannya dalam satu kelompok diskusi.
Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok kecil yang bersifat heterogen. Bahan pelajaran dibagi- bagi dalam setiap anggota kelompok dan mereka mempelajari materi yang berkumpul untuk berdiskusi materi yang sama, berkumpul untuk berdiskusi dan kembali ke kelompok semula untuk mempelajari materi yang telah mereka kuasai kepada anggota kelompoknya. Teknik mengajar jigsaw dikembangkan pertama kalinya untuk menghadapi isu yang disebabkan perbedaan sekolah- sekolah di Amerika Serikat antara tahun 1964 dan 1974 oleh Elliot Aronson sebagai model cooperative learning. Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang mendorong siswa aktif dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran.
Dalam pembelajaran tipe jigsaw setiap siswa mempelajari sesuatu yang dikombinasi dengan materi yang telah dipelajari oleh siswa lain.
Menurut Trianto (2010: 75) model pembelajaran jigsaw tipe II sudah dikembangkan oleh Slavin. Ada perbedaan yang mendasar antara pembelajaran jigsaw I dan jigsaw II, kalau tipe I awalnya siswa hanya belajar konsep tertentu yang menjadi spesialisasinya, sementara konsepkonsep yang lain ia dapatkan melalui diskusi teman segrupnya. Pada tipe II ini setiap siswa memperoleh kesempatan belajar secara keseluruhan konsep (scan read) sebelum belajar spesialisasinya untuk menjadi exspert. Penelitian tindakan kelas yang dilakukan peneliti menggunakan model jigsaw I.
Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya yang lain. Dengan demikian, siswa saling tergantung satu dengan yang lain dan harus bekerja sama untuk mempelajari materi yang ditugaskan.
Menurut Agus Suprijono (2009: 89) pembelajaran jigsaw merupakan pembelajaran kooperatif di mana guru membagi kelas dalam kelompok-kelompok lebih kecil. Jumlah kelompok tergantung pada konsep yang terdapat pada topik yang dipelajari. Jika satu kelas ada 40 siswa, maka setiap kelompok beranggotakan 10 orang. Keempat kelompok itu disebut kelompok asal, setelah kelompok asal terbentuk guru membagikan materi tekstual kepada tiap-tiap kelompok. Berikutnya membentuk kelompok ahli, berikan kesempatan untuk berdiskusi setelah itu kembali pada kelompok asal dan menjelaskan hasil diskusi kepada kelompok masing-masing. Menurut Yuzar Isjoni (2010: 78) dalam pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, siswa belajar dengan kelompok kecil yang terdiri 4 sampai 6 orang, heterogen dan bekerja sama saling ketergantungan yang positif dan bertanggung jawab secara mandiri.
Pembelajaran ini dimulai dengan pembelajaran atau pokok bahasan, sehingga setiap anggota kelompok memegang materi dengan topik yang berbeda-beda. Tiap siswa dari masing-masing kelompok yang memegang materi selanjutnya berkumpul dalam satu kelompok baru yang dinamakan kelompok ahli. Masing-masing kelompok ahli bertanggung jawab untuk atau pokok bahasan. Setelah kelompok ahli selesai mempelajari satu topik materi keahliannya, masing-masing siswa kembali ke kelompok asal mereka untuk mengajarkan materi keahliannya kepada teman- teman dalam satu kelompok dalam bentuk diskusi.
Model pembelajaran jigsaw ini sendiri terbagi menjadi dua tipe, yaitu jigsaw tipe I atau sering
disebut jigsaw dan jigsaw tipe II. Model pembelajaran tipe jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif di mana siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4-6 siswa secara heterogen.
Pada pembelajaran jigsaw ini terdapat kelompok asal dan kelompok ahli. Kelompok asal yaitu kelompok induk siswa yang beranggotakan siswa dengan kemampuan, dan latar belakang yang beragam. Kelompok ahli yaitu kelompok siswa yang terdiri dari anggota kelompok asal yang berbeda dan ditugaskan untuk mempelajari dan mendalami topik tertentu dan menyampaikan tugas- tugas yang berhubungan dengan topiknya untuk kemudian dijelaskan kepada kelompok asal.
Teknik pembelajaran kooperatif tipe jigsaw adalah sebuah model pembelajaran yang akan memberikan beberapa keuntungan, yaitu dapat mencegah dan mengurangi masalah konflik yang diakibatkan oleh adanya perbedaan-perbedaan suku/ras/agama di antara para siswa, pembelajaran menjadi lebih baik, meningkatkan motivasi siswa, dan meningkatkan kenyamanan dalam proses pembelajaran. Model pembelajaran adalah bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru. Dengan kata lain, model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran. Bruce Joyce dan Marsha Weil (dalam Dedi Supriawan dan A. Benyamin Surasega, 1990) mengetengahkan 4 (empat) kelompok model pembelajaran, yaitu: (1) model interaksi sosial; (2) model pengolahan informasi; (3) model personal-humanistik; dan (4) model modifikasi tingkah laku. Elliot Aronson (2008) mengemukakan ada 10 langkah mudah dalam jigsaw, yaitu:
a. Membagi 5 atau 6 siswa menjadi satu kelompok jigsaw yang bersifat heterogen b. Menetapkan satu siswa dalam kelompok menjadi pemimpin.
c. Membagi pelajaran menjadi 5 atau 6 bagian.
d. Setiap siswa dalam kelompok mempelajari satu bagian pelajaran.
e. Memberi waktu pada siswa untuk membaca bagian materi pelajaran yang telah ditugaskan kepadanya.
f. Siswa dari kelompok jigsaw bergabung dalam kelompok ahli yang mempunyai materi yang sama, dan berdiskusi.
g. Kembali ke kelompok jigsaw.
h. Siswa mempresentasikan bagian yang dipelajari pada kelompoknya.
i. Kelompok jigsaw mempresentasikan hasil diskusi kelompok di depan kelas.
j. Di akhir kegiatan siswa diberikan soal untuk dikerjakan mengenai materi.
5. Model Team Game Tournament/TGT
Team Game Tournament (TGT) adalah tipe pembelajaran kooperatif yang menempatkan siswanya dalam kelompok-kelompok belajar dengan adanya permainan pada setiap meja turnamen.
Dalam permainan ini digunakan kartu yang berisi soal dan kunci jawabannya. Setiap siswa yang bersaing merupakan wakil dari kelompoknya, dan masingmasing ditempatkan ada meja turnamen.
Cara memainkannya dengan membagikan kartu-kartu soal, pemain mengambil kartu dan memberikannya kepada pembaca soal. Kemudian soal dikerjakan secara mandiri oleh pemain dan penantang hingga dapat menyelesaikan permainannya.
6. Model Group Investigation/GI
Group Investigation (GI), merupakan model pembelajaran kooperatif yang kompleks karena memadukan antara prinsip belajar kooperatif dengan pembelajaran yang berbasis konstruktivisme dan prinsip pembelajaran demokrasi. Keterlibatan siswa secara aktif dapat terlihat mulai dari tahap pertama sampai akhir pembelajaran memberi peluang siswa untuk lebih mempertajam gagasan.
Dalam pelajaran inilah kooperatif memainkan peranannya dalam memberi kebebasan kepada pembelajar untuk berpikir secara analitis, kritis, kreatif, reflektif, dan produktif
7. Model Rotating Trio Exchange
Model pembelajaran rotating trio exchange, jumlah siswa dalam kelas dibagi menjadi beberapa kelompok yang terdiri dari 3 orang. Pada setiap trio tersebut diberi pertanyaan untuk didiskusikan.
Setiap anggota trio diberi nomor, kemudian berpindah searah jarum jam dan berlawanan jarum jam.
Pada dasarnya penerapan model rotating setiap trio baru diberi pertanyaan baru untuk didiskusikan.
8. Model Group Resume
Model ini menjadikan interaksi antarsiswa lebih baik, dengan memberi penekanan bahwa mereka adalah kelompok yang bagus kemampuannya di kelas. Setiap kelompok membuat kesimpulan dan mempresentasikan data-data setiap siswa dalam kelompok. Model pembelajaran kooperatif sebenarnya bukan model pembelajaran yang baru ditemui oleh para pendidik atau guru, karena sudah banyak guru yang sering menugaskan para siswa untuk belajar kelompok. Roger dan David Johnson dalam Agus Suprijono (2009: 59) mengatakan bahwa tidak semua belajar kelompok bisa dianggap pembelajaran kooperatif. Untuk mencapai hasil yang maksimal, unsur-unsur dalam pembelajaran kooperatif harus diterapkan:
a. Saling Ketergantungan Positif/Positive Interdependence
Unsur ini menunjukkan bahwa dalam pembelajaran kooperatif ada dua pertanggungjawaban kelompok. Pertama, mempelajari bahan yang ditugaskan kepeda kelompoknya. Kedua, menjamin semua anggota kelompok secara individu mempelajari bahan yang ditugaskan tersebut. Menurut Agus Suprijono (2009: 59) beberapa cara membangun saling ketergantungan positif, yaitu:
1) menumbuhkan perasaan peserta didik bahwa dirinya terintegrasi dalam kelompok, pencapaian tujuan terjadi jika semua anggota kelompok mencapai tujuan. Peserta didik harus bekerja sama untuk dapat mencapai tujuan;
2) mengusahakan agar semua anggota kelompok mendapatkan penghargaan yang sama jika kelompok mereka berhasil mencapai tujuan;
3) mengatur sedemikian rupa sehingga setiap peserta didik dalam kelompok hanya mendapatkan sebagian dari keseluruhan tugas kelompok. Artinya, mereka belum dapat menyelesaikan tugas sebelum mereka menyatukan perolehan tugas mereka menjadi satu;
4) Setiap peserta didik ditugasi dengan tugas atau peran yang saling mendukung dan berhubungan, saling melengkapi, dan saling terikat dengan peserta didik lain dalam kelompok.
b. Tanggung Jawab Perseorangan (Personal Responsibility)
Tanggung jawab perseorangan atau tanggung jawab individual ini muncul jika dilakukan pengukuran terhadap keberhasilan kelompok. Tujuan pembelajaran kooperatif adalah membentuk semua anggota kelompok menjadi pribadi yang kuat. Tanggung jawab perseorangan adalah kunci untuk menjamin semua anggota yang diperkuat oleh kegiatan belajar bersama. Artinya, setelah mengikuti kelompok belajar bersama anggota kelompok harus dapat menyelesaikan tugas.
c. Interaksi Promotif (Face to Face Promotive Interaction)
Interaksi promotif sangat penting karena dapat menghasilkan saling ketergantungan positif.
Ciri-ciri interaksi promotif adalah saling membantu secara efektif dan efisien, saling memberi informasi dan sarana yang diperlukan, memproses informasi bersama secara lebih efektif dan efisien, saling mengingatkan, saling membantu dalam merumuskan dan mengembangkan argumentasi serta meningkatkan kemampuan terhadap masalah yang dihadapi, saling percaya, dan saling memotivasi untuk memperoleh keberhasilan bersama.
d. Komunikasi Antaranggota (Interpersonal Skill)
Unsur ini menghendaki agar para pembelajar dibekali dengan berbagai keterampilan berkomunikasi. Sebelum menugaskan siswa dalam kelompok, guru perlu mengajarkan cara-cara berkomunikasi karena setiap siswa mempunyai keahlian mendengarkan dan berbicara yang berbeda-beda. Keberhasilan suatu kelompok juga bergantung pada kesediaan para anggota untuk saling mendengarkan, dan kemampuan mengutarakan pendapat. Proses ini merupakan proses yang sangat bermanfaat dan perlu ditempuh untuk memperkaya pengalaman belajar dan pembinaan perkembangan mental dan emosional. Kegiatan peserta didik dalam pencapaian tujuan, peserta didik harus: saling mengenal dan memercayai, mampu berkomunikasi secara akurat dan tidak ambisius, saling menerima dan saling mendukung, dan mampu menyelesaikan konflik secara konstruktif.
e. Pemrosesan Kelompok (Group Processing)
Pemrosesan mengandung arti menilai, melalui pemrosesan kelompok dapat diidentifikasi urutan atau tahapan kegiatan kelompok. Siapa di antara anggota kelompok yang sangat membantu dan siapa yang tidak membantu. Tujuan dari pemrosesan kelompok adalah meningkatkan efektivitas anggota dalam memberi kontribusi terhadap kegiatan kolaboratif untuk mencapai tujuan kelompok.
f. Tabel Sintaks Pembelajaran Kooperatif
Ada beberapa tipe pembelajaran kooperatif. Dalam penelitian ini telah ditetapkan, yaitu menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw yang dapat diimplementasikan di kelas.
Berdasarkan Permendikbud Nomor 65 Tahun tentang Standar Proses, model pembelajaran yang diutamakan dalam implementasi Kurikulum 2013 adalah model pembelajaran inkuiri (inquiry based learning), model pembelajaran discovery (discovery learning), model pembelajaran berbasis projek (project based learning), dan model pembelajaran berbasis permasalahan (problem based learning). Untuk menentukan model pembelajaran yang dapat dilaksanakan dapat mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1) Kesesuaian model pembelajaran dengan kompetensi sikap pada KI-1 dan KI-2 serta kompetensi pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan KD-3 dan/atau KD-4.
2) Kesesuaian model pembelajaran dengan karakteristik KD-1 (jika ada) dan KD-2 yang dapat mengembangkan kompetensi sikap, dan kesesuaian materi pembelajaran dengan tuntutan KD-3 dan KD-4 untuk memgembangkan kompetensi pengetahuan dan keterampilan.
3) Penggunaan pendekatan saintifik yang mengembangkan pengalaman belajar peserta didik melalui kegiatan pengamatan, mengajukan pertanyaan, mengumpulkan berbagai informasi, berkomunikasi, dan kemampuan daya serap penalaran secara logika
9. Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)
Penggunaan model pembelajaran berbasis masalah awalnya dikembangkan dari Jerome Bruner, konsep ini disebut belajar penemuan/discovery learning. Pembelajarannya menekankan pada aktivitas siswa pada penyelidikan, penemuan, meliputi informasi, transformasi, dan adanya evaluasi. Pada tahap informasi, peserta didik memperoleh informasi mengenai materi yang dipelajari dan memberikan respons. Tahap transformasi peserta didik melakukan identifikasi, analisis, mengubah, mentransformasikan informasi yang diperoleh. Pada tahap evaluasi peserta didik menilai sendiri informasi yang telah ditransformasikan dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Model pembelajaran based learning, dirancang agar peserta didik/ siswa belajar melalui berbagai permasalahan nyata dalam kehidupan sehari-hari dikaitkan dengan pengetahuan yang telah atau dipelajarinya melalui langkah-langkah pembelajaran sebagai berikut:
1) mengorientasi peserta didik pada masalah. Tahap ini untuk memfokuskan peserta didik mengamati masalah yang menjadi objek pembelajaran;
2) mengorganisasikan kegiatan pembelajaran. Pengorganisasian pembelajaran salah satu kegiatan agar peserta didik menyampaikan berbagai pertanyaan terhadap masalah kajian;
3) membimbing penyelidikan mandiri dan kelompok. Pada tahap ini peserta didik melakukan percobaan untuk memperoleh data dalam rangka menjawab atau menyelesaikan masalah yang dikaji;
4) mengembangkan dan menyajikan hasil karya. Peserta didik mengasosiasi data yang ditemukan dari percobaan dengan berbagai data lain dari berbagai sumber;
5) analisis dan evaluasi proses pemecahan masalah. Setelah peserta didik mendapat jawaban terhadap masalah yang ada, selanjutnya dianalisis dan dievaluasi.
10. Model Project Based Learning
Model pembelajaran project based learning, didesain agar proses pembelajaran fokus pada masalah, yang diperlukan peserta didik dalam melakukan investigasi dan memahami pembelajaran melalui investigasi, membimbing peserta didik dalam sebuah proyek kolaboratif yang mengintegrasikan berbagai subjek materi dalam kurikulum, memberikan kesempatan kepada para peserta didik untuk menggali konten materi dengan menggunakan berbagai cara yang bermakna bagi dirinya, dan melakukan eksperimen secara kolaboratif. Tahapan model pembelajaran project based learning sebagai berikut:
1) Tenaga pendidik menyusun berbagai pertanyaan atau dalam bentuk penugasan proyek. Tahap ini sebagai langkah awal agar peserta didik mengamati lebih dalam terhadap pertanyaan yang muncul dari fenomena yang ada.
2) Mampu mendesain perencanaan proyek. Sebagai langkah nyata menjawab pertanyaan yang ada disusunlah suatu perencanaan proyek biasa melalui percobaan.
3) Menyusun jadwal sebagai langkah nyata dari sebuah proyek. Penjadwalan sangat penting agar proyek yang dikerjakan sesuai dengan waktu yang tersedia dan sesuai dengan target.
4) Memonitor kegiatan dan perkembangan proyek. Tenaga pengajar me-monitoring terhadap pelaksanaan dan perkembangan proyek. Peserta didik mengevaluasi proyek yang sedang dikerjakan.
5) Menguji hasil. Fakta dan data percobaan atau penelitian dihubungkan dengan berbagai data lain dari berbagai sumber.
6) Mengevaluasi kegiatan/pengalaman. Tahap ini dilakukan untuk mengevaluasi kegiatan sebagai acuan perbaikan untuk tugas proyek pada mata pelajaran yang bersangkutan atau mata pelajaran lain dengan tema yang sejenis.
Menurut The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), pendidikan lanjutan dapat didefinisikan sebagai sebuah strategi pendidikan yang komprehensif untuk setiap orang yang telah menyelesaikan pendidikan wajib belajar sekolah atau pendidikan dasar. Esensi karakteristiknya adalah di mana distribusi pendidikannya dilakukan pada total masa kehidupan individu dengan cara berulangulang, contohnya dengan adanya perselingan dengan aktivitas- aktivitas pekerjaan, waktu luang, dan pensiun.
Definisi dari pendidikan lanjutan ini mengandung dua elemen penting: pertama, pendidikan ini menawarkan sebuah strategi pendidikan alternatif dari konsentrasi konvensional pendidikan formal
pada usia muda. Itu dimaksudkan untuk memperluas pendidikan setelah selesai pendidikan dasar dari seluruh kehidupan individual. Dengan demikian, menerima prinsip pembelajaran seumur hidup; kedua, pendidikan lanjutan menawarkan sebuah kerangka kerja pembelajaran seumur hidup yang diorganisir menjadi perselingan dan interaksi efektif antara pendidikan sebagai sebuah situasi pembelajaran struktural, dengan aktivitas-aktivitas sosial lainnya ketika proses pembelajaran terjadi.
Definisi umum dari pendidikan lanjutan ini mengandung dua sifat: pertama, pendidikan itu mengacu pada pendidikan yang menawarkan fleksibilitas dalam struktur dan isinya; dan kedua, pendidikan itu mengacu pada pengalaman-pengalaman pendidikan yang akan diperoleh pada lingkaran kehidupan seseorang.
Sebuah sistem pendidikan lanjutan mungkin akan mengubah bentuk-bentuk tradisional dengan menyediakan kesempatankesempatan pendidikan dan pelatihan dalam lingkaran kehidupan.
Biasanya, individu-individu akan melakukan perselingan dalam periode kerja dan pendidikan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan personal maupun kebutuhan pekerjaannya. Sebuah sistem pendidikan alternatif dan kesempatan-kesempatan pelatihan dikonstruksikan dan ditawarkan dalam bentuk-bentuk, seperti: kerja magang, kursus-kursus tambahan, pelatihan kerja, perkuliahan di universitas, kursus-kursus penyesuaian, dan sekolah-sekolah teknik.
Pengalaman-pengalaman pendidikan dan pelatihan seharusnya disediakan di dalam maupun di luar tempat kerja, baik itu melalui televisi atau pemakaian komputer. Kesempatan-kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan pelatihan ini harus mempunyai fleksibilitas yang tinggi, dan harus dilakukan pada akhir minggu, malam hari ataupun pada jam-jam kerja yang reguler.
Singkatnya, sebuah pendekatan pendidikan lanjutan menawarkan dan menyediakan sebuah pendekatan yang sistematis dan berkenaan dengan pembiayaan, informasi, koordinasi, kesempatan pendidikan para pekerja, dan pengalaman-pengalaman pelatihan yang bersertifikat. Diutamakan pendidikan ini diperuntukkan untuk individu-individu, kelompok kecil, dan para pekerja yang relevan dengan kebutuhan dan permintaan.
D. Penyusunan Sistem Pendidikan Lanjutan
Sebenarnya sejak awal tahun 70-an di seluruh dunia sudah ada sebuah pergerakan untuk meningkatkan efisiensi, keadilan, dan fleksibilitas dalam pendidikan dengan perhatian yang lebih besar pada pembelajaran seumur hidup (Faure, 1973 dan Emmerij, 1974). Sebuah pertanyaan yang krusial muncul, yaitu mengapa pergerakan-pergerakan ini tidak disatukan bersama-sama ke dalam sebuah sistem pendidikan lanjutan.
Pertanyaan ini sebenarnya bisa dijawab dengan baik mengacu pada konsep-konsep dan gagasan-gagasan yang berbeda mengenai pendidikan lanjutan.
Meskipun istilah pendidikan lanjutan dan seumur hidup telah digunakan untuk menjadi acuan pendidikan dan pelatihan pada seluruh masa kehidupan, generalisasi dalam terminologi cenderung untuk dibubuhi perbedaan yang besar dalam mendasari pendekatan, baik itu mengenai sosial maupun pendidikan.
Ada sebuah pandangan bahwa pendidikan lanjutan dapat meningkatkan proses efisiensi produktif secara luas, hal ini berangkat dari sebuah asumsi bahwa kemampuan atau keahlian para pekerja cenderung untuk menjadi usang atau tidak terpakai di bawah kondisi perubahan teknologi yang sangat cepat.
Dalam hal ini para pekerja perlu untuk mempelajari keahlian baru atau menyegarkan kembali keahlian-
keahliannya untuk beradaptasi dengan teknologi generasi yang baru. Dilihat dari perspektif lain, pendidikan lanjutan ini juga dapat dipakai untuk menurunkan atau mengurangi jumlah angkatan kerja terdidik yang biasa terjadi di masyarakat. Freeman (1976), menyatakan bahwa banyak orang yang terlatih, tetapi dalam kariernya tidak mampu untuk mendapatkan pekerjaan-pekerjaan yang sesuai dengan keahlian yang mereka punyai.
Salah satu motif memperluas pendidikan lanjutan ini ialah untuk menempatkan bentuk-bentuk institusionalisasi yang tinggi dari persekolahan tradisional.
Salah satu hal yang telah dibahas sebelumnya bahwa persekolahan yang bersifat memerintah adalah sebuah pemaksaan dan bahkan pendidikan tinggi tradisional telah bersifat memerintah untuk orangorang yang mencari penempatan pekerjaan-pekerjaan yang lebih tinggi. Dengan membuat rute untuk pelatihan yang relevan dengan pekerjaan lebih fleksibel untuk permintaan dan pilihan individual, banyak persekolahan yang tidak perlu akan dihapus dan pemaksaan akan dikurangi. Dalam hal ini, Illich (1971) menyebutnya dengan istilah deschooling of society.
1. Kondisi Politik dan Moneter
Seperti telah kita ketahui sebelumnya bahwa ada sembilan motif yang berbeda dalam menyokong perluasan sistematis dari pendidikan lanjutan, yaitu di antaranya:
a. Meningkatkan efisiensi produktif.
b. Mengurangi pengangguran.
c. Mengurangi kekurangan pekerjaan.
d. Partisipasi pekerja.
e. Meningkatkan kualitas waktu luang.
f. Mengurangi ketidaksamaan atau ketidaksetaraan.
g. Meningkatkan partisipasi sosial.
h. Membantu institusi pendidikan.
i. Sistem pendidikan tanpa sekolah
Dalam kaitan ini, banyak para peneliti menyampaikan argumenargumen yang persuasif mengenai pendidikan lanjutan ini. Dukungan politik dan ekonomi untuk pendidikan lanjutan adalah sangat penting. meskipun pendekatan-pendekatan yang berbeda mungkin menjadi hambatan yang paling besar untuk diadopsi dan implementasinya. Tantangan-tantangan politik dapat dilihat lebih jelas jika melihat perbedaan versi dari pendidikan lanjutan ini dalam hubungannya dengan rasionalitas para pelanggan dan aplikasi dari prinsip-prinsipnya. Tantangan-tantangan ekonomi terjadi dengan tidak adanya dorongan atau sokongan kepada individu untuk melakukan pendidikan lanjutan. Untuk membuat pendidikan lanjutan secara kejuruan menjadi relevan bila sejumlah kondisi dipenuhi, yaitu di antaranya:
a. Kesempatan-kesempatan atau lowongan pekerjaan harus bisa diketahui oleh orang-orang yang telah menyelesaikan pendidikan menengahnya yang tidak melanjutkan pada pendidikan tinggi.
b. Jenjang karier dan pilihan-pilihan pelatihan harus disediakan sesuai dengan pekerjaan.
c. Penyelesaian program pendidikan pada sebuah basis berkelanjutan harus menyediakan kemajuan pekerjaan dan pendapatan yang sepadan dengan biaya program-program pelatihan itu dan penghargaan bagi mereka ketika memasuki dunia kerja.
2. Pembiayaan Pendidikan Lanjutan
Salah satu tujuan dari pendidikan lanjutan adalah untuk menciptakan mekanisme pendidikan alternatif dan mendorong bentuk-bentuk pekerjaan yang dapat memanfaatkan sumber-sumber yang sudah disediakan dengan cara baru yang sistematis. Sistem itu akan meningkatkan pendidikan, pelatihan, pekerjaan, dan produktivitas dengan membuat akses pada sebuah sistem pendidikan lanjutan yang komprehensif sebagai sebuah pilihan yang universal untuk individuindividu dan perusahaan- perusahaan. Dan akan memanfaatkan sumbersumber pendidikan lebih efektif daripada bentuk tradisional yang menempatkan secara urgensi pada pemenuhan pendidikan formal dan pelatihan seseorang sebelum mencari pekerjaan yang reguler. Ada tiga pendekatan pembiayaan pendidikan lanjutan berbeda yang ditampilkan dalam tulisan ini, yaitu:
a. Henry M. Levin dalam bukunya Individual Entitlements, menyatakan bahwa pembiayaan pendidikan lanjutan dapat dilakukan melalui voucher atau pemberian hak belajar yang dikeluarkan untuk individu-individu ketika prasyarat pendidikan dasar mereka telah dipenuhi. Pemberian hak belajar dapat digunakan untuk sebuah variasi pendidikan dan kesempatan-kesempatan pelatihan termasuk college dan universitas, program-program pelatihan pekerja, kursus-kursus penyesuaian, pekerjaan magang, dan sebagainya. Pemberian hak belajar dapat berupa pinjaman atau dana bantuan atau dengan komposisi antara kedua dependen itu berdasarkan latar belakang sumber- sumber pendapatan keluarga.
b. Gosta Rehn dalam bukunya Individual Drawing Rights, mengajukan sebuah pendekatan yang berbeda, dia menyatakan bahwa setiap orang akan mampu menggunakan dana jaminan sosialnya/
pesangon, untuk mengikuti pelatihan kembali atau mempersiapkan karier lainnya. Tujuan dari pendekatan ini mungkin untuk memaksimalkan kemampuan individual dalam mengalokasikan waktu mereka di antara kerja, belajar, dan waktu luang dalam kehidupannya.
c. Werner Clement dalam bukunya Intermediate Parafiscal Financing Schemes, mengemukakan sebuah pendekatan bahwa pembiayaan pendidikan lanjutan dibebankan kepada perkumpulan perdagangan, asosiasi pekerja, organisasi profesional, dan kelompok-kelompok sukarela lainnya.
Dalam hal ini pemerintah harus mampu memungut pajaknya untuk mendukung sebuah program pendidikan lanjutan yang ditujukan untuk kebutuhan-kebutuhan yang spesifik.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dalam makalah ini sebagai berikut:
1. Model pembelajaran biasanya ditujukan untuk mendesain pembelajaran dalam kelas (kelas).
2. Model pembelajaran ADDIE merupakan desain pembelajaran yang sifatnya lebih generik (Analysis-Design-Develop-Implement-Evaluate), hal ini sangat membantu dalam merancang program belajar mengajar dengan menggunakan berbagai jenis media.
3. Model ini menggunakan beberapa langkah, yaitu Analysis (analisa), design (disain/
perancangan), development (pengembangan), implementation (implementasi/ eksekusi) dan evaluation (evaluasi/ umpan baik).
4. Kelebihan model pembelajaran ADDIE adalah sederhana dan mudah dipelajari serta strukturnya yang sistematis, sedangkan kekurangannya adalah dalam tahap analisis memerlukan waktu yang lama.
B. Saran
Makalah yang membahas tentang Model Pembelajaran ADDIE ini dapat digunakan sebagai salah satu referensi dalam pengajaran maupun dalam pembelajaran, sehingga dapat membantu berlangsungnya belajar mengajar. Walaupun pembahasan yang kami buat belum memenuhi kriteria akan tetapi sedikitnya bisa membantu.
Dr. Iswan, M. (2021). MANAJEMEN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN. Depok: PT RajaGrafindo Persada.
DAFTAR PUSTAKA