BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah
Feminist Jurisprudence adalah aliran dalam hukum yang fokus pada peran gender dalam sistem hukum dan bagaimana hukum dapat menjadi instrumen untuk mencapai kesetaraan gender yang berkembang dalam tradisi hukum Amerika. Aliran ini dipandang sebagai aliran yang awalnya berada pada payung critical legal studies, namun kemudian aliran ini muncul dan berkembang justru sebagai respon kritis1. Teori ini menyoroti berbagai aspek hukum, termasuk undang-undang, kebijakan, dan praktik hukum, untuk mengidentifikasi ketidaksetaraan gender yang mungkin tersembunyi di dalamnya. Melalui analisis teori Feminist Jurisprudence, kita dapat lebih memahami bagaimana hukum mempengaruhi dan tercermin dalam isu-isu gender. Teori ini mengkaji peran gender dalam sistem hukum dan bagaimana hukum dapat menjadi alat untuk mencapai kesetaraan gender. Melalui analisis teori Feminist Jurisprudence, makalah ini akan menguraikan bagaimana hukum dapat mencerminkan dan memengaruhi dinamika gender dalam masyarakat. Dalam prosesnya, akan dibahas peran teori ini dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan mengatasi tidak setaranya gender.
Feminis dalam hukum mencoba secara fundamental menentang beberapa asumsi penting dalam teori hukum konvensional dan juga beberapa kebijakan konvensional dalam penelitian hukum kritis. Goldfarb menunjukkan “banyak pemikiran kaum feminis telah memperlihatkan patriarki sebagai suatu ideologi yang lebih mengancam terhadap kehidupan mereka daripada ideologi hukum, dan telah mengarahkan upayanya untuk mengurangi ideologi patriarki bahkan Melalui penggunaan ideologi hukum". Kaum feminis sangat dipengaruhi pula feminisme dalam filsafat, Siko analisis,
semiotik, sejarah, antropologi, postmodernisme, kritik sastra dan teori politik.
Ahli-ahli hukum feminis dengan sangat kritis mencoba melihat hukum pada dasarnya memiliki sejumlah keterbatasan untuk merealisasikan nilai-nilai sosial, bahwa hukum (baik pembentukan aturan maupun substansinya) sangat bersifat fallosentris (yaitu lebih memihak kepentingan laki-laki), sehingga hukum berjalan untuk status quo. Feminisme
1Dalam P.Goldfarb “ From the world of others; minority and feminist respond to critical legal
studies”, New England law review 26 page 683-710 1992; Barlett n r Kennedy feminist legal Theory reading in low and gender Oxford worthfew press, 1991.
dalam hukum juga menolak Bagaimana posisi wanita senantiasa di marjinalkan dalam perjanjian, pekerjaan, dan berbagai kehidupan sosial kaum feminis melihat bahwa sekalipun para wanita telah berusaha untuk memperbaiki masa depannya namun tetap saja hukum selalu dibayang-bayangi oleh ideologi yang lebih maskulin.
Dengan kata lain, pengakuan Upaya dialektika ini mengharuskan suatu pendekatan yang lebih komprehensif untuk memahami pengalaman konkrit wanita dan juga teori dalam hukum yang lebih komprehensif perlu diintegrasikan. Feminisme telah membuat banyak perbedaan dalam hukum banyak penjelasan penting mengenai fungsi hukum yang
Represif dan ideologi telah dan terus-menerus dilakukan perombakan. Feminisme hukum tidak hanya melakukan pencarian secara komprehensif untuk mengungkap institusi hukum yang represif dan struktur ideologi yang melegitimasikan, tetapi juga mencoba menawarkan pendekatan yang cukup kritis dalam agenda rekonstruksinya.
1.2 Permasalahan
Karya Tulis Ilmiah ini akan membahas mengenai korelasi antara gender dengan keberlakuan hukum, dengan fokus pada perspektif teori Feminist Jurisprudence yang mengkaji tentang peran gender dalam sistem hukum. Melalui analisis teori Feminist Jurisprudence, karya tulis ilmiah ini akan menguraikan bagaimana hukum dapat
mencerminkan dan memengaruhi dinamika gender dalam kehidupan sehari-hari. Dalam prosesnya, akan dibahas peran yang dapat dilakukan oleh teori ini dalam
memperjuangkan hak-hak perempuan dalam mengatasi ketidaksetaraan gender di berbagai bidang kehidupan terutama di bidang pekerjaan. Sedangkan topik yang akan diangkat dalam karya tulis ini ialah mengenai kasus buruh perempuan di perusahaan es krim yang memiliki nama dagang AICE.
Dengan penjelasan singkat tersebut dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut;
1. Bagaimana hukum dapat mencerminkan dan memengaruhi dinamika gender dalam kehidupan sehari-hari ?
2. Bagaimana kaitan kasus buruh AICE dengan Teori Feminist Jurisprudence ?
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Cara Hukum dapat Mencerminkan dan Memengaruhi Dinamika Gender dalam Kehidupan Sehari-hari
Pada dasarnya hukum merupakan seperangkat aturan yang dibuat dan ditegakkan oleh lembaga sosial atau pemerintah untuk mengatur perilaku masyarakat. Hukum juga dapat diartikan sebagai sistem peraturan yang di dalamnya terdapat norma-norma dan sanksi-sanksi yang bertujuan untuk mengendalikan perilaku manusia, menjaga
ketertiban dan keadilan, serta mencegah terjadinya kekacauan2. Hukum memiliki beberapa bidang, seperti hukum pidana, hukum perdata, hukum acara, hukum tata negara, hukum administrasi negara, hukum internasional, hukum adat, hukum islam, hukum umum, hukum agraria, hukum bisnis, dan juga hukum lingkungan yang dapat diartikan bahwa hukum diciptakan untuk setiap sisi atau bidang dalam kehidupan sehari-hari manusia. Keberadaan hukum bertujuan untuk melindungi setiap individu dari penyalahgunaan kekuasaan serta untuk menegakkan keadilan. Dengan adanya hukum di suatu negara, maka setiap orang di negara tersebut berhak mendapatkan keadilan dan pembelaan di depan hukum yang berlaku.
Sayangnya, kenyataan hukum dengan teorinya sangatlah berbeda jika dalam teorinya hukum dikatakan sebagai aturan yang universal bagi seluruh umat manusia, maka pada kenyataannya hukum tidaklah berjalan sesuai dengan klaimnya artinya di sini masih sering ditemui bahwa hukum masih tertanam pada ‘aturan’ lama yang lebih menguntungkan dan menghargai pihak laki-laki. Opini ini, dikuatkan dengan banyaknya kasus mengenai perempuan di Indonesia yang mengalami berbagai kejadian yang sebagian besar menjadi seorang korban dari kejahatan yang dilakukan oleh laki-laki. Banyaknya kasus yang terjadi pada para perempuan ini membuat masyarakat mempertanyakan kelayakan hukum yang ada saat ini karena jenis ancaman atau bahkan keputusan akhir di persidangan biasanya menghasilkan kekecewaan masyarakat karena ketidakadilan terhadap kaum perempuan. Contoh
2 Smadmin, “ Apa yang dimaksud dengan hukum”, 2019.
konkret kasus yang dirasa sangat merugikan kaum perempuan ialah kasus buruh perempuan hamil yang bekerja di perusahaan produsen es krim PT. Alpen Food Industry (AFI) atau Aice yang tetap dipaksa untuk bekerja hingga malam padahal pekerjanya dalam keadaan hamil. Hal lain yang dianggap merugikan ialah kuasa hukum perusahaan tersebut bersikeras bahwa tidak ada dalam operasionalnya yang melanggar ketentuan UU 13/2013 sebagai produk hukum yang lebih tinggi dari PerdaKab 4/2016, Padahal para buruhnya sendiri yang memberi kesaksian serta juga seorang buruh yang mengalami kecelakaan pada saat kerja juga mengakui bahwa apa yang dialaminya merupakan akibat dari jam kerja dan peraturan perusahaan tersebut yang tidak ramah untuk wanita hamil.
Dengan banyaknya kasus mengenai perempuan yang tidak mendapat keadilan dalam berbagai bidang kehidupannya menandakan terdapatnya ketidaksetaraan gender di Indonesia ini. Hukum yang berlaku dan tertulis dalam undang-undang dirasa kurang menjamin kesejahteraan para perempuan serta juga dalam praktiknya yang sering tidak sesuai dengan yang semestinya.
Kesetaraan gender yang diciptakan oleh hukum di Indonesia belum berjalan
semestinya karena pada kenyataannya masih banyak ditemui hal yang memberatkan pihak perempuan saja dalam kehidupan sehari-harinya. Jika berbicara mengenai gerakan feminisme Di Indonesia, isu feminisme dalam hukum masih belum terlalu berkembang sebagaimana halnya di negara-negara Barat, dan baru populer sekitar dasawarsa terakhir, pasca-reformasi politik Indonesia karena di Indonesia sendiri masih menjunjung tinggi ke patriarkian dalam pembahasan ini terutama pada para buruh perempuan. Stigma itu, menurut Suci Flambonita, staf pengajar di Fakultas Hukum, Universitas Sriwijaya, muncul dari budaya patriarki yang dilanggengkan.
Suci menjelaskan budaya patriarki ini termanifestasi dalam hubungan industrial yang timpang antara buruh dan pemberi kerja di mana buruh perempuan selalu berada pada posisi yang lemah.
2.2 Kaitan kasus buruh AICE dengan Teori Feminist Jurisprudence
Perlu dijelaskan lagi secara singkat bahwa, Teori Feminist Jurisprudence ini
merupakan teori yang lahir dari Gerakan feminisme yang muncul di Indonesia sejak era pasca-reformasi bukanlah hal yang baru di dunia hukum dan politik. Gerakan ini diilhami dari teori Feminist Jurisprudence yang muncul terlebih dahulu di Eropa, yang justru merupakan sintesis dari gerakan feminisme yang muncul secara bertahap dan memiliki karakter yang berbeda berdasarkan latar belakang bangsa. Pada sebagian besar bangsa- bangsa di dunia (khususnya di benua Eropa dan Amerika) dari abad ke- 18 hingga awal abad ke-20 terdapat ketidaksetaraan jender yang menghalangi kaum perempuan untuk berpartisipasi secara penuh dalam kehidupan sipil. Dasar
pembenar feminist jurisprudence ini walaupun secara objektif dapat dikatakan bahwa teori ini tidak bersifat netral dan universal (karena mengutamakan perspektif kaum perempuan) yaitu pada kenyataan bahwa konsep dan prinsip hukum itu sendiri tidak bersifat netral dan universal, karena dalam praktiknya, hukum melihat permasalahan dari perspektif kaum lelaki, sehingga teori ini muncul sebagai “jawaban” terhadap realitas penerapan hukum sebelumnya3. Bagi para feminis anggapan seperti ini sebenarnya malah melegitimasikan ketidak-setaraan gender, orientasi seksual,
etnisitas, ras dan kelas yang ada dalam masyarakat. Begitulah, pada akhir tahun 1960- an dan khususnya selama tahun 1970-an di Amerika dan Eropa para feminis telah mengkritik netralitas hukum. Sejak itu mereka berusaha membentuk teori hukum berperspektif feminis (feminist jurisprudence). Mereka menganggap hukum yang baik adalah hukum yang berpihak kepada perempuan (dan tentunya siapa saja) yang secara sosial dilemahkan untuk kemudian melawan penindasan tersebut4.
Berikut merupakan beberapa manfaat dari Teori Feminist Jurisprudence dalam kaitannya dengan kasus yang akan dibahas ini;
1. Peran Gender dalam Pembentukan Hukum: Teori Feminist Jurisprudence menunjukkan bahwa hukum sering kali tercermin dari pandangan gender yang dominan dalam masyarakat. Undang-undang dan regulasi dapat mencerminkan
3 anggia dyarini mohammad, “Implementasi Feminist Jurisprudence Dalam Peradilan Indonesia”, 2014.
4 Donny Danardono, “TEORI HUKUM FEMINIS: Menolak Netralitas Hukum, Merayakan Difference dan Anti- Esensialisme”, 2020.
stereotip gender dan norma-norma sosial yang memengaruhi pemberian hak dan kewajiban kepada individu berdasarkan jenis kelamin.
2. Diskriminasi Hukum terhadap Perempuan: Teori ini mengidentifikasi diskriminasi yang ada dalam hukum terhadap perempuan. Contoh-contoh mencakup
ketidaksetaraan dalam hak aset, hak keluarga, hak reproduksi, dan kesenjangan dalam upah.
3. Hukum sebagai Alat Perubahan Sosial: Feminist Jurisprudence juga menekankan potensi hukum sebagai alat untuk mengubah pandangan sosial terkait gender. Melalui litigasi, perubahan legislatif, dan advokasi hukum, teori ini berusaha untuk
menghilangkan hukum yang mendukung ketidaksetaraan gender dan mendorong perubahan positif.
4. Pentingnya Kesetaraan dalam Hukum: Teori ini menekankan pentingnya mencapai kesetaraan dalam sistem hukum, baik dalam konteks hak dan tanggung jawab hukum.
Ini mencakup pengakuan dan perlindungan hak-hak individu tanpa memandang jenis kelamin serta penegakan hukum yang adil dan setara.
Dalam Kasus ini, yang menjadi fokus utama ialah para buruh perempuan yang bekerja di PT. Alpen Food Industry (AFI) atau Aice yang terutama ialah para buruh yang sedang hamil. Salah satu buruh yang memberi kesaksian ialah Elitha Tri Novianty ia bersaksi bahwa sudah berusaha mengajukan pemindahan divisi kerja karena
penyakit endometriosisnya kambuh. Tapi apa daya, perusahaan justru mengancam akan menghentikannya dari pekerjaan. Elitha terdesak dan tidak punya pilihan lain selain terus bekerja.Akhirnya, dia pun mengalami pendarahan hebat akibat bobot pekerjaannya yang berlebihan. Elitha terpaksa melakukan operasi kuret pada Februari lalu, yang berarti jaringan dari dalam rahimnya diangkat. Sedangkan Elitha hanya satu dari banyak buruh perempuan yang hak-haknya terabaikan oleh Aice.
Hal tersebut merupakan kesaksian dari buruh yang bekerja di perusahaan itu, selain itu terdapat juga kesaksian lain dari Sarinah, Juru Bicara Federasi Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan (F-SEDAR), yang mewakili serikat buruh Aice, menyatakan bahwa sejak tahun 2019 hingga saat ini sudah terdapat 15 kasus keguguran dan enam kasus bayi yang dilahirkan dalam kondisi tak bernyawa dialami oleh buruh
perempuan Aice. Hal ini dibantah oleh kuasa hukum perusahaan itu namun, para buruh bersaksi bahwa untuk mendapatkan ijin sakit atau cuti untuk hamil besar sangat
lah sulit untuk didapatkan sehingga hal tersebut sudah melanggar ketentuan dari Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 yang di dalamnya sudah menjelaskan mengenai izin cuti untuk para buruh perempuan.
Tetapi, dalam kenyataannya dengan adanya pengaturan tersebut tidaklah membuat buruh perempuan menjadi terlindungi pasalnya untuk mendapatkan izin cuti tersebut banyak serangkaian syarat yang harus dipenuhi yang biasanya ketentuan ini banyak terdapat pada perusahaan-perusahaan besar syarat tersebut biasanya untuk
mendapatkan izin cuti harus terlebih dahulu bisa menunjukkan bukti pemeriksaan di Klinik tingkat 1 atau klinik perusahaan yang harus terikat dengan BPJS sehingga dengan adanya syarat-syarat ini tentu menyusahkan dan pada akhirnya para buruh perempuan yang hamil akan memilih tidak mengambil cutinya.
Kembali pada kasus buruh di perusahaan es krim tersebut, di kesaksian salah satu buruhnya juga dikatakan bahwa perusahaan tersebut memberikan pekerjaan yang tidak layak terhadap buruh perempuan karena memberikan jenis pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh para laki-laki pada jam atau shift kerja yang malam sehingga hal ini juga menjadi bahan pertimbangan kembali karena hal tersebut sudah diatur dalam Undang-undang.
Dengan adanya Teori Feminist Jurisprudence ini, menjadikan suatu kasus yang terjadi di depan mata menjadi bahan pertimbangan untuk menelusuri akarnya sehingga kesejahteraan kaum perempuan dapat terwujud tanpa adanya penindasan dan keadilan pun dapat tercapai. Sehingga teori ini juga untuk melihat kesejahteraan kaum
perempuan dari segi hukum. Jika melihat kasus ini yang hingga saat ini belum mencapai titik terangnya membuktikan bahwa di Indonesia hukumnya belum sepenuhnya memahami apa itu kesetaraan gender karena kasus tersebut sudah memakan banyak korban hingga banyak yang sudah memberi kesaksian namun, kenyataannya belum ada tindakan yang akan diputuskan dalam kasus ini. Padahal, kasus ini sudah jelas bahwa perusahaan PT. Alpen Food Industry (AFI) atau Aice melanggar banyak perundang-undangan yang melindungi kaum buruh terutama buruh perempuan. Hal ini juga membuktikan bahwa sistem hukum Indonesia tidak tegas dalam menegakkan hukumnya. Sehingga menjadi wajar apabila para buruh terutama buruh perempuan banyak melakukan aksi demo yang meminta keadilan dewasa ini.
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa Teori Feminist Jurisprudence membantu kita memahami korelasi yang kompleks antara gender dan keberlakuan hukum. Ini menyoroti tantangan dan peluang dalam mencapai kesetaraan gender melalui hukum.
Implementasi prinsip-prinsip ini dalam sistem hukum dapat membantu memastikan bahwa hukum mencerminkan nilai-nilai kesetaraan, menghapuskan diskriminasi gender, dan menjadi alat untuk mencapai masyarakat yang lebih adil dan setara. Teori ini juga mengajarkan dan menyadarkan bahwa kesetaraan gender sangat diabaikan oleh masyarakat sehingga kaum perempuan menjadi yang tertindas karena akibat pemikiran lama yang sangat menjunjung tinggi patriarki.
Kesadaran terhadap masalah ini harus semakin ditingkatkan kepada masyarakat Indonesia karena Perlindungan terhadap buruh perempuan akan semakin terancam dengan rencana pemerintah untuk mengesahkan Undang Undang Cipta Kerja. Banyak pihak mengecam aturan yang diharapkan pemerintah dapat menarik lebih banyak investor masuk ke Indonesia karena berpotensi merugikan hak tenaga kerja, khususnya perempuan.
Jika dalam UU Ketenagakerjaan Tahun 2003, pekerja perempuan yang tidak masuk kerja karena cuti haid tetap wajib dibayarkan upahnya, maka dalam draf Omnibus Law, hak ini tidak disebutkan secara eksplisit. Artinya sebagai masyarakat Indonesia harus melek hukum dan menyadari bahwa keadilan tidak sebatas putusan hukuman yang diberikan saja melainkan juga apakah dengan putusan tersebut sudah cukup untuk mencapai suatu keadilan dan kesejahteraan.Hukum di Indonesia yang masih belum menjalankan kesetaraan gender dengan sepenuhnya diharapkan tentunya dimasa kini agar semakin baik lagi dalam menindak kasus yang menyangkut suatu gender yang tertindas oleh aturan dan penyamarataan suatu peraturan.
Daftar pustaka:
Binus. Mei 2014. Implementasi Feminist Jurisprudence Dalam Peradilan Indonesia. Diakses pada 28 September 2023. Dari https://business-law.binus.ac.id/2014/05/27/implementasi- feminist-jurisprudence-dalam-peradilan-indonesia/.
Danardono, D. 2020. TEORI HUKUM FEMINIS: Menolak Netralitas Hukum, Merayakan Difference dan Anti-Esensialisme. Universitas Katolik Soegijapranata.
Rakhmat. DR H Muhammad. (2015). PENGANTAR FILSAFAT HUKUM. Bandung.
The conversation. 18 Maret 2020. Kasus Aice: dilema buruh perempuan di Indonesia dan pentingnya kesetaraan gender di lingkungan kerja. Diakses pada 28 Sepetember 2023. Dari https://theconversation.com/kasus-aice-dilema-buruh-perempuan-di-indonesia-dan-
pentingnya-kesetaraan-gender-di-lingkungan-kerja-133010.