LAPORAN ANALISIS HIDROLOGI (TL-2204)
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hidrologi dan Hidrogeologi yang diampu oleh Dr. Mariana Marselina S., S.T, M.T.
Disusun Oleh
Fauziah Khoirunisa (15321037)
Silvia Aisha (15321042)
Branden (15321046)
Andreas Morin Manurung (15321049)
Ashabil Kahfi (15321097)
Asisten : Nabiela Kusdarningrum Kusuma (15320053)
PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah menganugerahkan rahmat, hidayat, serta karunia-Nya sehingga penyusunan laporan yang berjudul “ANALISIS HIDROLOGI” selesai pada waktunya. Adapun penyusunan laporan ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hidrologi dan Hidrogeologi TL-2204 sebagai tugas akhir semester empat pada perkuliahan di Institut Teknologi Bandung Jurusan Teknik Lingkungan.
Berbagai kendala penulis dapatkan saat menyusun laporan ini seperti kesulitan dalam perhitungan data, kurangnya referensi yang berkaitan, serta kesibukan tim penulis.
Namun, dengan bantuan dari berbagai pihak, tim penulis dapat menyelesaikan dengan tepat waktu. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Dr. Mariana Marselina S., S.T, M.T., selaku dosen pengampu mata kuliah Hidrologi dan Hidrogeologi TL-2204, yang telah menyampaikan materi, membimbing, dan memberikan arahan dalam menyelesaikan penulisan tugas ini.
2. Asisten Mata Kuliah Hidrologi dan Hidrogeologi Kelas-01, yang telah membimbing dan memberikan arahan dalam menyelesaikan penulisan tugas ini.
Penulis menyadari masih ada kekurangan dan kesalahan dalam karya tulis ilmiah ini.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan laporan ini dan laporan ke depannya. Penulis berharap laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Bandung, 9 Februari 2023
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...i
DAFTAR ISI...ii
DAFTAR TABEL...iv
DAFTAR GAMBAR...vi
BAB I... 1
I.1 Latar Belakang...1
I.2 Tujuan...2
I.3 Rumusan Masalah...2
I.4 Ruang Lingkup...3
I.5 Sistematika Penulisan Laporan...4
BAB II...5
II.1 Analisis Data Curah Hujan...5
II.2 Metode Menghitung Curah Hujan... 10 II.3 Uji Konsistensi... 11 II.4 Uji Homogenitas... 12 II.5 Curah Hujan Wilayah...13 II.6 Analisis Curah Hujan Harian Maksimum (CHHM)... 15 II.7 Uji Kecocokan...19
II.8 Analisis Intensitas Hujan...20 II.9 Pendekatan Matematis Intensitas Hujan dan Kurva IDF... 23 BAB III... 26 III.1 Diagram Alir... 26 III.2 Uraian...26 BAB IV...29
IV.1 Stasiun Margahayu...30 IV.2 Stasiun Lembang...30 IV.3 Stasiun Kayu Ambon... 31 IV.4 Stasiun Dago-Pakar Bengkok... 32 IV.5 Stasiun Cibiru...32 BAB V... 34 V.1 Melengkapi Data Hujan...34 V.2 Uji Konsistensi... 41 V.3 Uji Homogenitas...53 V.4 Curah Hujan Wilayah...69
V.5 Analisis Curah Hujan Harian Maksimum (CHHM)...74 V.6 Uji Kecocokan...77 V.7 Analisis Intensitas Hujan...85
VI.1 Kesimpulan...129 VI.2 Saran...130 DAFTAR PUSTAKA... 131
DAFTAR TABEL
Tabel II.8.1 Pedoman Pola Hujan Menurut Bell Tanimoto...22
Tabel III.1 Data Curah Hujan Awal... 27
Tabel V.1.1 Data Curah Hujan Awal... 34
Tabel V.1.2 Data Hasil Perhitungan Delta... 36
Tabel V.1.3 Data Hasil Perhitungan riRi...38
Tabel V.1.4 Data Hasil Perhitungan Curah Hujan yang Kosong... 40
Tabel V.2.1 Uji Konsistensi Stasiun Margahayu...41
Tabel V.2.2 Uji Konsistensi Stasiun Lembang...43
Tabel V.2.3 Uji Konsistensi Stasiun Kayu Ambon... 45
Tabel V.2.4 Uji Konsistensi Stasiun Dago Pakar... 48
Tabel V.2.5 Uji Konsistensi Stasiun Cibiru...51
Tabel V.3.1 Data Curah Hujan Stasiun Cibiru... 53
Tabel V.3.2 Data Curah Hujan Stasiun Dago Pakar - Bangkok...56
Tabel V.3.3 Hasil Perhitungan Uji Homogenitas Data Stasiun Dago Pakar... 58
Tabel V.3.4 Data Curah Hujan Stasiun Kayu Ambon...60
Tabel V.3.5 Data Curah Hujan Stasiun Lembang... 63
Tabel V.3.6 Hasil Perhitungan Uji Homogenitas Data Stasiun Lembang...65
Tabel V.3.7 Data Curah Hujan Stasiun Margahayu... 67
Tabel V.4.1 Data Curah Hujan Wilayah dengan Metode Aritmatik...70
Tabel V.4.2 Luas Wilayah dan Persentase Tiap Daerah...72
Tabel V.4.3 Metode Thiessen...73
Tabel V.5.1 Metode Gumbel... 75
Tabel V.5.2 Perhitungan Metode Log Pearson III...76
Tabel V.5.3 Metode Distribusi Normal... 77
Tabel V.6.1 Data CHHM Terurut... 77
Tabel V.6.2 Data Hasil Perhitungan Uji Chi Kuadrat 1... 80
Tabel V.6.3 Data Hasil Perhitungan Uji Chi Kuadrat 1 Metode Gumbel... 81
Tabel V.6.4 Data Hasil Perhitungan Uji Chi Kuadrat 1 Metode Log Pearson III...81
Tabel V.6.5 Data Hasil Perhitungan Uji Chi Kuadrat 1 Metode Distribusi Normal... 82
Tabel V.6.6 Data Hasil Perhitungan Uji Chi Kuadrat 2... 83
Tabel V.6.7 Data Hasil Perhitungan Uji Chi Kuadrat 2 Metode Gumbel... 84
Tabel V.6.8 Data Hasil Perhitungan Uji Chi Kuadrat 2 Metode Log Pearson III...84
Tabel V.6.9 Data Hasil Perhitungan Uji Chi Kuadrat 2 Metode Distribusi Normal... 85
Tabel V.7.1 Hasil Perhitungan Metode Van Breen...86
Tabel V.7.2 Hasil Perhitungan Metode Bell Tanimoto... 88
Tabel V.7.3 Hasil Perhitungan Metode Hasper dan Der Weduwen... 90
Tabel V.8.1.1 Hasil Perhitungan dengan Rumus Talbot untuk Metode Van Breen... 94 Tabel V.8.1.2 Hasil Perhitungan dengan Rumus Talbot untuk Metode Bell Tanimoto 97 Tabel V.8.1.3 Hasil Perhitungan dengan Rumus Talbot untuk Metode Hasper dan Der
Tabel V.8.2.1 Hasil Perhitungan dengan Rumus Sherman untuk Metode Van Breen 103 Tabel V.8.2.2 Hasil Perhitungan dengan Rumus Sharmen untuk Metode Bell
Tanimoto... 106 Tabel V.8.2.3 Hasil Perhitungan dengan Rumus Sharmen untuk Metode Hasper dan Der Weduwen...109 Tabel V.8.3.1 Hasil Perhitungan dengan Rumus Ishiguro untuk Metode Van Breen. 113 Tabel V.8.3.2 Hasil Perhitungan dengan Rumus Ishiguro untuk Metode Bell
Tanimoto... 116 Tabel V.8.3.3 Hasil Perhitungan dengan Rumus Ishiguro untuk Metode Hasper dan Der Weduwen...120 Tabel V.8.4.1 Hasil Perhitungan Standar Deviasi... 124 Tabel V.8.4.2 Hasil Intensitas Hujan Metode Van Breen dengan Pendekatan Rumus Talbot... 124 Tabel V.8.4.3 Hasil Intensitas Hujan Metode Bell Tanimoto dengan Pendekatan Rumus Talbot... 125 Tabel V.8.4.4 Hasil Intensitas Hujan Metode Hasper dan Der Weduwen dengan
Pendekatan Rumus Talbot...126
DAFTAR GAMBAR
Gambar I.1 Peta Analisis Curah Hujan 2022... 1
Gambar II.1.1 Siklus Hidrologi... 7
Gambar II.1.2 Penakar Hujan Observatorium... 9
Gambar II.1.3 Sensor ARG... 9
Gambar II.1.4 Data Logger dan Solar Panel ARG... 9
Gambar II.6.1 Tabel Nilai Reduced Mean...16
Gambar II.6.2 Tabel Nilai Reduced Standard Deviation...16
Gambar II.6.3 Tabel Nilai K berdasarkan G...18
Gambar II.6.4 Tabel Nilai Faktor Frekuensi...19
Gambar III.1 Diagram Alir Pembuatan Kurva IDF...26
Gambar IV.1 Peta DAS Cikapundung... 29
Gambar IV.2 Distribusi Curah Hujan Margahayu... 30
Gambar IV.3 Distribusi Curah Hujan Lembang... 30
Gambar IV.4 Distribusi Curah Hujan Kayu Ambon...31
Gambar IV.5 Distribusi Curah Hujan Dago-Pakar Bengkok...32
Gambar IV.6 Distribusi Curah Hujan Cibiru... 32
Gambar V.2.1 Grafik Uji Konsistensi Stasiun Margahayu...43
Gambar V.2.2 Grafik Uji Konsistensi Stasiun Lembang...45
Gambar V.2.3 Grafik Uji Konsistensi Stasiun Kayu Ambon... 47
Gambar V.2.4 Grafik Uji Konsistensi Stasiun Dago Pakar... 50
Gambar V.2.5 Grafik Uji Konsistensi Stasiun Cibiru...52
Gambar V.3.1 Hasil Plot Uji Homogenitas Data Stasiun Cibiru untuk 30 tahun... 55
Gambar V.3.2 Hasil Plot Uji Homogenitas Data Stasiun Dago Pakar untuk 30 tahun... 58
Gambar V.3.3 Hasil Plot Uji Homogenitas Stasiun Dago Pakar - Bangkok... 60
Gambar V.3.4 Hasil Plot Uji Homogenitas Data Stasiun Kayu Ambon untuk 30 tahun... 62
Gambar V.3.5 Hasil Plot Uji Homogenitas Data Stasiun Cibiru untuk 30 tahun... 65
Gambar V.3.6 Hasil Plot Uji Homogenitas Stasiun Lembang...66
Gambar V.3.7 Hasil Plot Uji Homogenitas Data Stasiun Margahayu untuk 30 tahun 69 Gambar V.4.1 Peta Wilayah DAS...72
Gambar V.6.1 Nilai Kritis untuk Distribusi Chi Kuadrat... 80
Gambar V.6.2 Nilai Variabel Reduksi Gauss...83
Gambar V.7.1 Tabel Pedoman Bell Tanimoto... 87
Gambar V.8.4.2 Kurva IDF Metode Bell Tanimoto dengan Pendekatan Rumus Talbot... 127
Gambar V.8.4.3 Kurva IDF Metode Hasper dan Der Weduwen dengan Pendekatan Rumus Talbot...127
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Indonesia termasuk ke dalam negara yang hanya mempunyai dua musim sepanjang tahun, yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Terletak di wilayah ekuatorial yang memungkinkan terjadinya penguapan dalam jumlah besar, sehingga tidak heran jika hujan tetap turun ketika musim kemarau berlangsung. Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah lautan yang lebih besar dibandingkan dengan daratan, sehingga tingkat curah hujan menjadi lebih tinggi. Letak geografis Indonesia sangat mempengaruhi pola curah hujan yang terjadi. Indonesia terletak pada 6° LS – 10° LU dan 95° BT – 141° BT. Dikutip dari bmkg.co.id, rata-rata curah hujan Indonesia setiap tahunnya lebih dari 2.000 – 3.0000 mm per tahun. Frekuensi hujan pada setiap daerah di Indonesia berbeda-beda tergantung pada beberapa faktor, seperti arah angin, bentuk dan arah lereng medan, jarak perjalanan angin di atas medan datar, serta letak geografis daerah.
Gambar I.1Peta Analisis Curah Hujan 2022 (Sumber: bmkg.co.id)
DAS merupakan suatu wilayah daratan yang dibatasi oleh punggung bukit atau batas-batas pemisah topografi yang berfungsi menerima, menyimpan, dan mengalirkan curah hujan yang jatuh ke sungai lalu akhirnya bermuara ke danau atau laut. Curah hujan yang tinggi akan membuat permukaan debit air sungai mengalami peningkatan
sehingga akan berpengaruh terhadap DAS. Curah hujan yang tinggi juga sangat berpengaruh dalam pengambilan dan pengolahan data hujan. Pengambilan data hujan tidak bisa dilakukan dengan sangat akurat pada setiap tempat karena konsistensi dari setiap tempat berbeda. Oleh karena itu diperlukan metode untuk mengantisipasi data yang kurang. Pada laporan ini akan dibahas pengolahan data curah hujan pada DAS Sungai Cikapundung. Terdapat 5 stasiun yang diamati pada DAS Cikapundung, yaitu stasiun Margahayu, stasiun Lembang, stasiun Kayu Ambon, stasiun Dago Pakar, dan stasiun Cibiru.
I.2 Tujuan
Tujuan dari tugas analisis hidrologi ini adalah sebagai berikut.
1. Melengkapi data curah hujan yang kosong pada beberapa tahun tertentu di tiap stasiun pengamatan yang digunakan, yaitu lima stasiun di DAS Cikapundung.
2. Menentukan konsistensi data curah hujan pada data sebelumnya dan dilakukan koreksi apabila terdapat data yang tidak konsisten.
3. Menentukan homogenitas data curah hujan di tiap pos pada data sebelumnya.
4. Menentukan nilai curah hujan wilayah dengan berbagai metode dan memilih metode yang paling efektif.
5. Menentukan curah hujan harian maksimum pada suatu periode ulang hujan tertentu melalui data nilai curah hujan maksimum dengan metode yang terpilih.
6. Menentukan kecocokan distribusi frekuensi sampel data terhadap fungsi distribusi peluang yang diperkirakan dapat mewakili distribusi frekuensi tersebut.
7. Menentukan analisis intensitas hujan untuk digunakan pada pendekatan matematis intensitas hujan.
8. Menentukan pendekatan matematis intensitas hujan dan metode yang paling representatif untuk digambarkan pada kurva IDF.
I.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut dan untuk mencapai tujuan yang telah disampaikan, dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut.
1. Bagaimana cara melengkapi data hujan yang kurang, khususnya pada lima stasiun pengamatan di DAS Cikapundung?
2. Bagaimana cara menentukan konsistensi data hujan di setiap stasiun pengamatan?
3. Bagaimana cara menentukan tingkat homogenitas data curah hujan?
4. Bagaimana cara menghitung nilai curah hujan wilayah?
5. Bagaimana memilih metode yang tepat untuk perhitungan nilai curah hujan wilayah?
6. Bagaimana cara menghitung nilai curah hujan harian maksimum pada suatu periode ulang hujan tertentu?
7. Bagaimana cara uji kecocokan distribusi frekuensi sampel data?
8. Bagaimana cara analisis intensitas hujan?
9. Bagaimana cara menentukan metode yang paling representatif dalam kurva IDF
10. Bagaimana cara menentukan hubungan lamanya waktu pengaliran dengan intensitas hujan yang direpresentasikan dengan kurva IDF
I.4 Ruang Lingkup
Objek dan ruang lingkup pada laporan ini memiliki fokus sebagai berikut.
1. Analisis data berdasarkan data mentah dari pihak yang berwenang dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya untuk digunakan.
2. Data curah hujan yang diperoleh merupakan data dari 5 stasiun pencatat hujan, yaitu Stasiun Cibiru, Stasiun Dago Pakar-Bangkok, Stasiun Kayu Ambon, Stasiun Margahayu, dan Stasiun Lembang, sejak tahun 1986 sampai dengan tahun 2015.
3. Analisis dilakukan dengan terlebih dahulu melengkapi data dan melakukan uji konsistensi dan uji homogenitas melalui kurva massa ganda.
4. Perhitungan curah hujan wilayah dilakukan dengan metode Aritmatik dan metode Poligon Thiessen.
5. Penentuan metode perhitungan curah hujan harian maksimum dilakukan melalui analisis statistik Chi-square terhadap hasil perhitungan curah hujan harian maksimum dengan metode Gumbell, Log Pearson III, dan distribusi normal.
6. Perhitungan analisis intensitas hujan dilakukan dengan metode Van Breen, Bell Tanimoto, serta Haspers dan Der Weduwen. Pada masing-masing metode dilakukan perhitungan koreksi melalui metode Talbot, Sherman, dan Ishiguro.
7. Output akhir olahan data berupa kurva IDF untuk mengetahui debit puncak pada DAS Cikapundung.
I.5 Sistematika Penulisan Laporan
Secara sistematis isi dari laporan ini membagi isi laporan menjadi 6 bab sebagai berikut.
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini akan berisi latar belakang, tujuan, rumusan masalah, ruang lingkup studi, dan sistematika penulisan laporan yang terkait dengan pembangunan sistem informasi ini.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan berisi penjelasan hidrologi secara umum, siklus hidrologi, konsep analisis hidrologi dan dasar-dasar teori yang digunakan sebagai pedoman dan acuan dalam pemecahan masalah.
BAB III METODOLOGI
Pada bab ini akan berisi langkah-langkah perhitungan yang dilakukan. selain itu. pada bab ini juga akan berisi penjelasan teknik mengenai metode-metode yang digunakan dalam penyusunan laporan.
BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI
Pada bab ini akan berisi paparan tentang gambaran minimum daerah aliran sungai (DAS) Cikapundung, seperti sistem sungai, kondisi tata guna lahan di DAS Cikapundung, dan tingkat pencemaran DAS Cikapundung.
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan berisi hasil dan pembahasan mengenai informasi hidrologi di lokasi penelitian, penyiapan data curah hujan dengan tes statistika yang mendukung, analisis curah hujan harian maksimum, analisis intensitas hujan, dan pembuatan kurva IDF.
BAB VI PENUTUP
Pada bab ini akan memberikan kesimpulan akhir yang telah diperoleh dari
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Analisis Data Curah Hujan 1. Pengertian Hujan
Hujan merupakan suatu peristiwa presipitasi, yaitu jatuhnya cairan dari atmosfer yang berwujud cair ke permukaan bumi. Hujan memerlukan keberadaan lapisan atmosfer yang tebal agar bisa menemui suhu di atas titik leleh es pada permukaan bumi. Di bumi hujan merupakan proses kondensasi, yaitu perubahan wujud benda ke wujud yang lebih padat. Uap air di atmosfer menjadi butiran-butiran air yang cukup berat untuk jatuh di daratan. Menjelang terjadinya hujan, dua proses yang mungkin terjadi secara bersamaan dapat mendorong udara semakin jenuh. Dua proses tersebut yaitu pendinginan udara ataupun penambahan uap-uap air ke udara.
Gas - gas yang diserap oleh air hujan di atmosfer, yaitu gas oksigen, gas nitrogen, dan karbon dioksida. Selain gas tersebut, hujan juga menyerap sejumlah asam nitrat, asam belerang, garam-garam, mikroorganisme, dan debu. Air hujan dapat turun dengan sangat lebat yang bisa mengikis dan menggores tanah sehingga terbentuk selokan. Hujan yang turun dengan lebat juga bisa menghanyutkan tanah berkubik-kubik yang daya angkutnya sama dengan sungai. Apabila diatas tanah tumbuh pepohonan dan semak belukar, maka tanah tidak akan hanyut oleh air hujan.
Begitupun sebaliknya, apabila tanah tidak terlindungi oleh pepohonan, maka tanah akan mudah hanyut oleh air hujan.
2. Pengertian Curah Hujan
Curah hujan adalah ketinggian air hujan yang jatuh pada tempat yang datar dengan asumsi tidak menguap, tidak meresap, dan tidak mengalir. Tingkat hujan yang diukur dalam satuan 1 mm adalah air hujan setinggi 1 mm yang jatuh atau tertampung pada tempat yang datar seluas 1 meter persegi dengan asumsi yang telah disebutkan sebelumnya. Data curah hujan penting untuk perencanaan teknik, terutama untuk perancangan sistem drainase seperti irigasi, bendungan, drainase perkotaan, pelabuhan, dermaga, dan struktur air lainnya.
Berdasarkan kepentingan tersebut, data rata-rata curah hujan di daerah tertentu terus dicatat dari waktu ke waktu untuk menilai jumlah perencanaan yang harus dilakukan. Pencatatan data tingkat curah hujan rata-rata tahunan dilakukan di berbagai titik di sepanjang stasiun pencatatan curah hujan untuk menentukan tingkat curah hujan yang turun di wilayah tertentu.
Menurut Tjasyono (1999), Indonesia secara umum dapat dibagi menjadi 3 pola iklim utama dengan melihat pola curah hujan selama setahun, yaitu sebagai berikut.
1. Curah Hujan Pola Monsunal (Wilayah A)
Curah hujan pola monsun dicirikan oleh tipe curah hujan yang bersifat unimodial (satu puncak musim hujan) dimana pada bulan Juni, Juli dan Agustus terjadi musim kering. Sedangkan untuk bulan Desember, Januari dan Februari merupakan bulan basah. Sisa enam bulan lainnya merupakan periode peralihan atau pancaroba (tiga bulan peralihan musim kemarau ke musim hujan dan tiga bulan peralihan musim hujan ke musim kemarau). Daerah dengan pola monsun (wilayah A) ini didominasi oleh Sumatera bagian Selatan, Kalimantan Tengah dan Selatan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan sebagian Papua.
2. Curah Hujan Pola Ekuatorial (Wilayah B)
Curah hujan pola ekuatorial dicirikan oleh tipe tingkat rata-rata hujan tahunan dengan bentuk bimodial (dua puncak hujan) yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober atau pada saat terjadi ekinoks. Daerah dengan pola ekuatorial (wilayah B) ini meliputi pulau Sumatra bagian tengah dan Utara serta pulau Kalimantan bagian Utara.
3. Curah Hujan Pola Lokal (Wilayah C)
Curah hujan pola lokal dicirikan oleh bentuk pola hujan unimodial (satu puncak hujan), tetapi bentuknya berlainan dengan tipe hujan monsun. Daerah dengan pola lokal (wilayah C) hanya meliputi daerah Maluku, Sulawesi dan sebagian Papua.
3. Proses Terjadinya Hujan
Fenomena hujan termasuk dalam bagian dari proses terbentuknya air di bumi.
Proses ini dapat dijelaskan melalui siklus hidrologi atau proses perubahan bentuk air
Gambar II.1.1Siklus Hidrologi (Sumber: npwa.org)
Siklus hidrologi melibatkan sirkulasi air yang berjalan terus-menerus di sistem bumi-atmosfer. Siklus hidrologi memiliki beberapa tahapan yaitu; proses penguapan, proses evapotranspirasi, proses hujan, proses aliran air, proses pengendapan air tanah, dan proses air tanah ke laut. Tahap pertama dalam siklus air adalah Evaporasi merupakan transfer air dari permukaan Bumi menuju atmosfer. Pada proses ini, air dalam wujud liquid ditransfer menjadi gas atau uap. Evaporasi terjadi ketika beberapa molekul pada massa air mendapatkan energi kinetik yang cukup untuk melontarkan dirinya dari permukaan Bumi. Transpirasi merupakan evaporasi air yang melewati pori-pori kecil atau stomata pada tanaman. Untuk tujuan yang praktikal, transpirasi dan evaporasi air, tanah, salju, es, vegetasi, dan permukaan lainnya digabung dan disebut sebagai evapotranspirasi, atau evaporasi total. Setelah melalui tahap penguapan yang terjadi dari berbagai sumber, selanjutnya adalah tahap kondensasi atau pengembunan. Tahap ini air yang telah menguap kemudian berubah menjadi partikel es. Partikel es yang dihasilkan sendiri sangat kecil dan terbentuk dikarenakan suhu dingin pada ketinggian atmosfer bagian atas. Partikel es sendiri kemudian berubah menjadi awan hingga semakin banyak jumlah partikel esnya, awan kemudian semakin berwarna hitam. Kemudian terjadi proses adveksi dimana terjadi proses
berpindahnya awan. Adveksi menjadikan awan-awan menyebar dan berpindah tempat.
Misalnya awan di wilayah lautan berpindah ke wilayah daratan. Awan yang telah terbentuk pada fase sebelumnya akan berpindah menuju lokasi lain karena pengaruh angin dan perbedaan tekanan udara. Presipitasi dapat terjadi karena adanya pendinginan dan penambahan uap air, sehingga air yang membentuk awan mencapai titik jenuh. Semakin banyak uap air yang terbentuk di atmosfer, maka tetesan air yang ada di awan akan semakin banyak dan semakin berat. Ketika awan tidak mampu menampung banyaknya air yang terbentuk, maka air tersebut akan dikeluarkan dalam bentuk hujan. Tahap run off dalam siklus air adalah peristiwa hujan yang jatuh ke permukaan bumi dan terjadi di wilayah dataran tinggi, misalnya hujan di daerah hulu sungai. Hal ini menyebabkan air mengalir ke daratan yang lebih rendah, sehingga proses run offdapat diartikan adalah proses bergeraknya air. Air mengalir menuju ke laut sebagai tujuan terakhir. Setelah mencapai lautan, maka akan terjadi evaporasi dan proses siklus air yang lainnya. Selanjutnya adalah tahap infiltrasi. Dalam tahap ini, menjadi faktor pada siklus hidrologi yang berperan penting saat mendistribusi air hujan.
4. Stasiun Pengamat Curah Hujan
Stasiun pengamatan curah hujan adalah stasiun pengamatan yang difungsikan untuk mengamati atau mencatat curah hujan baik secara manual maupun otomatis (mekanik/elektronik).
1. Stasiun pengamat curah hujan manual
Stasiun pengamatan curah hujan ini biasanya menggunakan penakar hujan observatorium yang merupakan penakar hujan non-recording sehingga harus diukur secara manual. Pembacaan alat penakar hujan ini biasanya dilakukan setiap pagi pada pukul 7.00 dengan menggunakan gelas ukur sesuai dengan permukaan corong. pembacaan pada setiap hari merupakan data ketinggian curah hujan hari sebelumnya. pembacaan harus dilakukan pada waktu yang sama agar data yang diamati betul-betul merupakan data ketinggian curah hujan selama 24 jam.
Gambar II.1.2Penakar Hujan Observatorium (Sumber : Siska Masrury, 2021)
2. Stasiun pengamat curah hujan otomatis
Stasiun pengamat curah hujan otomatis menggunakan pembacaan alat penakar hujan otomatis bekerja berdasarkan alat yang sudah disetting secara otomatis menangkar curah hujan setiap satu jam sekali, sehingga data yang tersaji sudah merupakan data yang sudah valid. Automatic Rain Gauge(ARG) atau Penakar Hujan Otomatis berfungsi sebagai penghitung jumlah curah hujan dalam satuan waktu tertentu secara otomatis dengan menggunakan baterai sebagai sumber tenaganya. Alat ini memudahkan BMKG dalam mendapatkan data hujan tanpa harus menempatkan stasiun pengamat di daerah – daerah tertentu. Komponen Automatic Rain Gauge (ARG) ada dua yaitu Sensor ARG yang berfungsi untuk menampung dan mengukur curah hujan, serta Logger ARG yang berfungsi untuk menghitung dan mencatat data curah hujan .
Gambar II.1.3Sensor ARG Gambar II.1.4Data Logger dan Solar Panel ARG (Sumber : Wijaya sutra, 2022) (Sumber :Wijaya sutra, 2022)
II.2 Metode Menghitung Curah Hujan 1. Metode Aljabar
Metode aljabar digunakan apabila perbedaan curah hujan antara stasiun pembanding dan stasiun yang kehilangan data kurang dari 10 persen (Moduto, 1998). Pada stasiun yang kehilangan data, data diperoleh dengan mengambil nilai rata-rata curah hujan stasiun pembanding yang datanya tidak kosong pada tahun yang sama. Secara matematis, perhitungan metode aljabar dapat dinyatakan dengan persamaan berikut.
𝑅𝑥= 1𝑛
𝑛=1 𝑛
∑ 𝑅𝑛
Keterangan:
: Curah hujan tahunan pada stasiun yang dicari (mm) 𝑅𝑥
: Curah hujan stasiun pembanding pada tahun yang sama dengan Rx (mm) 𝑅𝑛
n : Jumlah stasiun pembanding yang datanya tidak kosong pada tahun tinjauan 2. Metode Rasio Normal
Metode rasio normal digunakan apabila perbedaan curah hujan tahunan antara stasiun pembanding dan stasiun yang kehilangan data lebih dari 10 persen (Subarkah, 1980).
Secara matematis, perhitungan dilakukan menggunakan persamaan sebagai berikut.
𝑟𝑥= 𝑛1
𝑛=1 𝑛
∑ 𝑟𝑛𝑅×𝑅𝑥
𝑛
Keterangan:
: Curah hujan tahunan pada stasiun yang dicari (mm) 𝑟𝑥
: Curah hujan stasiun pembanding pada tahun yang sama dengan rx (mm) 𝑟𝑛
: Rata-rata curah hujan pada stasiun yang sedang dicari (mm) 𝑅𝑥
: Rata – rata curah hujan tahunan stasiun pembanding pada kurun waktu 𝑅𝑛
yang sama dengan stasiun yang dicari (mm)
n : Jumlah stasiun pembanding yang datanya tidak kosong pada tahun
II.3 Uji Konsistensi
Perlu dilakukan peninjauan lebih lanjut terhadap data hujan yang sudah didapat dan dilengkapi sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kekonsistenan terhadap data hujan tersebut. Uji konsistensi dilakukan dengan membandingkan nilai akumulasi hujan tahunan yang diperoleh pada stasiun tertentu terhadap nilai akumulasi hujan tahunan yang diperoleh pada kumpulan stasiun selain stasiun hujan yang ditinjau. Terdapat beberapa metode yang dilakukan untuk uji konsistensi, yaitu melakukan observasi langsung ke lapangan, pengecekan ke kantor pengolahan data, melakukan perbandingan data curah hujan dengan data untuk iklim yang sama, analisis kurva massa ganda, dan juga analisis statistik. Apabila hasil uji konsistensi yang didapatkan sudah konsisten, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi perubahan cuaca ataupun perubahan tata cara pengamatan pada saat pengukuran dan perekaman data hujan.
Salah satu metode dalam menguji tingkat konsistensi data curah hujan adalah dengan analisis kurva massa ganda. Uji konsistensi dengan metode tersebut menggunakan perbandingan antara curah hujan tahunan kumulatif dari suatu stasiun yang hendak diteliti dengan nilai curah hujan tahunan kumulatif dari beberapa stasiun lainnya yang bersesuaian. Pengecekan data curah hujan dimulai dari data terbaru hingga data terlama. Untuk menentukan uji konsistensi, akan dibuat grafik regresi linier dari data curah hujan yang sudah didapatkan. Curah hujan dikatakan konsisten apabila tidak ada titik yang menyimpang dari garis tersebut selama 5 tahun berturut-turut. Sebaliknya, data curah hujan dikatakan tidak konsisten apabila terdapat titik yang menyimpang selama 5 tahun berturut-turut. Apabila hal tersebut ditemukan, maka faktor koreksi dapat ditentukan dengan membandingkan gradien garis regresi pada grafik pertama dengan gradien garis regresi pada grafik yang baru. Sehingga persamaannya dapat dituliskan menjadi sebagai berikut.
𝑓
𝑘=
𝑡𝑎𝑛α0𝑡𝑎𝑛αDengan didapatkannya faktor koreksi tersebut, data hujan yang tidak konsisten dapat diperbaiki dengan mengalikan faktor koreksi dengan data hujan semula. Sehingga persamaannya dapat dituliskan menjadi sebagai berikut.
𝐻
𝑧= 𝑓
𝑘
× 𝐻
0
II.4 Uji Homogenitas
Keakuratan dan keandalan model yang diperoleh dalam kajian perubahan iklim sangat bergantung pada kualitas data yang digunakan. Faktor non-iklim, seperti perubahan lokasi stasiun, perubahan dalam instrumen, lingkungan, pergantian pengamat, perubahan tata guna lahan, rumus perhitungan, dan lain-lain akan mengakibatkan data menjadi tidak representatif (Laili & Sutikno, 2013). Akibatnya akan mempengaruhi analisis yang dilakukan, bahkan mungkin akan menimbulkan keraguan terhadap hasil kesimpulan yang akan diperoleh (Suhaila, dkk., 2008). Oleh karena itu, analisis kehomogenan runtun waktu bagi data curah hujan merupakan hal penting, sebelum analisis lanjutan dilakukan. Data yang memenuhi sifat homogen menunjukkan keandalan data tersebut. Suatu data runtun dikatakan homogen, jika dalam setiap sub kelompok data tidak terdapat perbedaan, baik dalam nilai rata-rata maupun nilai varians terhadap sub kelompok yang lain dalam kumpulan data tersebut (Soewarno 1995).
Uji homogenitas ini dilakukan pada kurva tes homogenitas dengan melakukan plotting data curah hujan terpilih. Apabila titik tersebut berada pada corong kurva, maka data tersebut bersifat homogen. Apabila tidak homogen, dapat dipilih sebagian dari data-data yang ada dan dihitung kembali kehomogenitasannya sedemikian rupa sehingga menjadi homogen. Langkah pengerjaan uji homogenitas adalah sebagai berikut.
1. Siapkan data curah hujan yang telah dikoreksi dengan uji konsistensi.
2. Hitung standar deviasi dengan rumus sebagai berikut.
𝑆 = Σ(𝑅𝑛−1𝑖−𝑅) Keterangan :
S = Standar deviasi
Ri = Curah hujan yang telah melewati uji konsistensi R = Rata-rata curah hujan
n = Jumlah data curah hujan
𝑅𝑇 = 𝑅 − 0, 78(𝑙𝑛(𝑙𝑛⎡ 𝑇𝑟−1𝑇𝑟 )) + 0, 45
⎣ ⎤
⎦σ
𝑅
Keterangan :
RT = Curah hujan tahunan
= Rata-rata curah hujan 𝑅
Tr = 10
σR = Standar Deviasi
4. Hitung TRdengan rumus sebagai berikut.
Keterangan :
TR = PUH untuk curah hujan tahunan rata-rata R10 = Curah hujan tahunan
= Rata-rata curah hujan 𝑅
= 2,33 𝑇𝑟
5. Gambarkan hasil perhitungan ke grafik kurva homogenitas, dengan TRsebagai sumbu x dan n sebagai sumbu y.
6. Lakukan pengamatan pada grafik. Apabila titik tersebut berada pada corong kurva, maka data tersebut bersifat homogen. Apabila tidak homogen, dapat dipilih sebagian dari data-data yang ada dan dihitung kembali kehomogenitasannya sedemikian rupa sehingga menjadi homogen.
II.5 Curah Hujan Wilayah
Data curah hujan yang diperoleh adalah data curah hujan yang terukur pada tiap stasiun pengamat. Stasiun-stasiun tersebut mewakili suatu wilayah dan ada bagian dari wilayah tersebut yang tidak memiliki stasiun pengamat, atau ada pula stasiun pengamat yang sebenarnya tidak masuk ke dalam wilayah pengamatan, namun datanya tetap dibutuhkan. Oleh karena itu, data dari tiap stasiun digunakan untuk
menentukan data curah hujan wilayah. Perlunya menghitung curah hujan wilayah adalah untuk penyusunan suatu rancangan pemanfaatan air dan rancangan pengendalian banjir (Sosrodarsono & Takeda, 1977). Metode yang digunakan dalam perhitungan curah hujan rata-rata wilayah daerah aliran sungai (DAS) ada tiga metode, yaitu metode rata-rata aritmatik (aljabar), metode poligon Thiessen dan metode Isohyet (Loebis, 1987).
1. Metode Rata-Rata Aritmatik
Metode ini terbilang sederhana. Hasil pengukuran di beberapa stasiun dalam waktu yang sama dirata-ratakan. Stasiun yang digunakan hanya stasiun yang berada dalam DAS saja.
𝑅 = 𝑅1+𝑅2𝑛+...+𝑅𝑛 Keterangan:
R : Curah hujan rata- rata wilayah Rn : Curah hujan pada stasiun n n : Jumlah stasiun penakar hujan 2. MetodePolygon Thiessen
Metode ini dilakukan dengan rata- rata tertimbang. Masing- masing stasiun mempunyai daerah pengaruh dengan luasan tersendiri.
𝑅 = 𝐴1𝑅𝐴1+𝐴2𝑅2+…+𝐴𝑛𝑅𝑛
1+𝐴2+…+𝐴𝑛
Keterangan:
R : Curah hujan rata- rata ( mm ) An : Luas daerah poligon n (km2 )
Rn : Curah hujan maksimum pada stasiun n (mm) 3. Metode Isohyet
Metode ini dilakukan kontur curah hujan dari data hujan yang ada di dalam DAS dan di sekitar wilayah. Isohyet adalah garis yang menghubungkan titik-titik dengan kedalaman hujan yang sama. Pada metode isohyet, diasumsikan hujan pada suatu daerah di antara dua garis isohyet merata dan sama dengan nilai rata-rata dari kedua garis isohyet tersebut. Metode ini paling teliti untuk menghitung kedalaman hujan rata-rata di suatu daerah dengan syarat stasiun hujan harus banyak dan tersebar merata. Metode ini
membutuhkan lebih banyak perhatian daripada dua metode sebelumnya.
(Triatmodjo, 2008).
II.6 Analisis Curah Hujan Harian Maksimum (CHHM)
Curah hujan harian maksimum (CHHM) adalah curah hujan harian tertinggi yang terekam pada suatu wilayah selama jangka waktu tertentu pada suatu stasiun tertentu. Nilai CHHM dapat digunakan untuk menganalisis besar potensi debit banjir pada suatu DAS. Perhitungan curah hujan rencana digunakan untuk meramal besarnya hujan dengan periode ulang tertentu. Berdasarkan curah hujan rencana tersebut kemudian dicari intensitas hujan yang digunakan untuk mencari debit banjir rencana.
Dalam ilmu statistik dikenal beberapa macam distribusi frekuensi dan empat jenis distribusi yang banyak digunakan dalam bidang hidrologi, yaitu distribusi normal, distribusi Log-Normal, distribusi Log-Pearson III, dan distribusi Gumbel. Sebelum menghitung curah hujan wilayah dengan distribusi yang ada dilakukan terlebih dahulu pengukuran dispersi untuk mendapatkan parameter-parameter yang digunakan dalam perhitungan curah hujan rencana. Sistem hidrologi terkadang dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa yang luar biasa, seperti hujan lebat, banjir, dan kekeringan.
Besaran peristiwa ekstrim berbanding terbalik dengan frekuensi kejadiannya, peristiwa yang sangat ekstrim kejadiannya sangat langka. Dalam melakukan analisis terhadap peristiwa ekstrim, digunakan data curah hujan harian maksimum atau CHHM setiap periode ulang tertentu (PUH). Analisis frekuensi peristiwa ekstrim tersebut memiliki tujuan agar prediksi curah hujan dapat mendekati kondisi aktual di lapangan atau stasiun pos hujan tertentu yang mewakili data curah hujan suatu wilayah. Terdapat 3 metode yang dapat digunakan untuk menganalisa frekuensi hujan, yaitu metode Gumbel, metode Log Pearson III, dan juga metode distribusi normal.
II.6.1 Metode Gumbel
Menurut Gumbel, curah hujan untuk PUH tertentu (Tr) dihitung berdasarkan persamaan berikut
Dengan S sebagai standar deviasi dan 𝑌𝑇𝑟sebagai reduksi variasi. Sedangkan, nilai 𝑆𝑛
(reduced standard deviation) dan 𝑌𝑛 (reduced mean) dapat diperoleh berdasarkan jumlah data (N) dari tabel berikut.
Gambar II.6.1Tabel NilaiReducedMean (Sumber : mtnugraha.wordpress.com, 2009)
Gambar II.6.2Tabel NilaiReduced Standard Deviation (Sumber : mtnugraha.wordpress.com, 2009) II.6.2 Metode Log Pearson III
Pada situasi tertentu, walaupun data yang diperkirakan mengikuti distribusi sudah dikonversi kedalam bentuk logaritmis, ternyata kedekatan antara data dan teori tidak
mengembangkan serangkaian fungsi probabilitas yang dapat dipakai untuk hampir semua distribusi probabilitas empiris. Tidak seperti konsep yang melatar belakangi pemakaian distribusi Log-Normal untuk banjir puncak, maka distribusi probabilitas ini hampir tidak berbasis teori. Distribusi ini masih tetap dipakai karena fleksibilitasnya.
Tiga parameter penting dalam Metode Log Pearson Tipe III, yaitu harga rata-rata (R), simpangan baku (S), dan koefisien kemencengan (G). Berikut merupakan tahapan dalam penggunaan metode Log Pearson III.
1. Ubah data ke dalam bentuk logaritmis 𝑅 = 𝐿𝑜𝑔 𝑅
2. Hitung harga rata-rata 𝐿𝑜𝑔 𝑅 = 𝑖=1
𝑛
∑ 𝐿𝑜𝑔 𝑅 𝑛
3. Hitung harga simpangan baku
𝑆 = 𝑖=1
𝑛
∑ (𝐿𝑜𝑔 𝑅𝑖−𝐿𝑜𝑔 𝑅)2 𝑛−1
⎡⎢
⎢⎢
⎣
⎤⎥
⎥⎥
⎦
0.5
4. Hitung koefisien kemencengan 𝐺 =
𝑁
𝑖=1 𝑛
∑ (𝐿𝑜𝑔 𝑅𝑖−𝐿𝑜𝑔 𝑅)3 (𝑛−1)(𝑛−2)3
5. Hitung logaritma hujan dengan periode ulang T dengan rumus 𝐿𝑜𝑔 𝑅
τ = 𝐿𝑜𝑔𝑅 + 𝐾𝑆
6. Hitung curah hujan dengan menghitung antilog dari𝐿𝑜𝑔 𝑅
τ
Nilai K dapat ditentukan menggunakan tabel berikut.
Gambar II.6.3Tabel Nilai K berdasarkan G (Sumber : mtnugraha.wordpress.com, 2009) II.6.3 Metode Distribusi Normal
Distribusi normal merupakan sebuah fungsi probabilitas yang menunjukkan distribusi atau penyebaran suatu variabel. Fungsi tersebut umumnya dibuktikan oleh sebuah grafik simetris yang disebut kurva lonceng (bell curve). Metode ini disebut juga distribusi Gauss. Dalam pemakaian praktis umumnya digunakan persamaan. Nilai CHHM untuk PUH tertentu dapat dihitung dengan rumus berikut.
𝐾𝑇 = 𝑋𝑇− 𝑋𝑆 Keterangan :
: Perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan periode ulang T 𝑋𝑇
: nilai rata-rata hitung variat 𝑋
S : standar deviasi nilai variat
: faktor frekuensi, merupakan fungsi dari peluang atau periode dan tipe model 𝐾𝑇
matematik distribusi peluang yang digunakan untuk analisis peluang.
Hubungan antara PUH dan𝐾𝑇dapat dituliskan pada tabel berikut.
Gambar II.6.4Tabel Nilai Faktor Frekuensi (Sumber : Suripin, 2004)
II.7 Uji Kecocokan
Uji kecocokan dilakukan untuk mengetahui jenis distribusi yang sesuai dengan data hujan. Terdapat dua pengujian yaitu dengan uji Chi Square dan uji Smirnov-Kolmogorov.
1. UjiChi Square
Uji ini dilakukan untuk menentukan apakah persamaan distribusi peluang yang dipilih dapat mewakili dari distribusi statistik sampel data yang
dianalisis. Pengujian dapat dilakukan dengan menggambarkan data pada kertas peluang dan menentukan apakah data tersebut merupakan garis lurus. Selain itu, dapat dilakukan dengan membandingkan kurva frekuensi dari data pengamatan terhadap kurva frekuensi teoritisnya (Soewarno, 1995).
𝑋2 =
𝑖=1 𝑁
∑ (𝑂𝑖 − 𝐸𝑖)
2
𝐸𝑖
Keterangan:
: nilaiChi Square 𝑋2
: jumlah nilai pengamatan pada sub kelompok ke-i 𝑂𝑖
: jumlah nilai teoritis pada sub kelompok ke-i 𝐸𝑖
N : jumlah data
Suatu distribusi akan dikatakan cocok jika nilai𝑋2hitung adalah𝑋2kritis.
2. Uji kecocokan Smirnov-Kolmogorov
Uji disebut juga uji kecocokan non parametrik (non parametric test) karena tidak menggunakan fungsi distribusi tertentu. Pengujian ini dilakukan dengan membandingkan probabilitas tiap data antara sebaran empiris dan sebaran teoritis (Limantara, 2010, p.64). Distribusi dianggap sesuai apabila
< . adalah simpangan maksimum dari data, sedangkan 𝐷𝑚𝑎𝑘𝑠 𝐷
𝑘𝑟𝑖𝑡𝑖𝑠 𝐷
𝑚𝑎𝑘𝑠
adalah simpangan yang diperoleh dari tabel dengan tingkat keyakinan 𝐷𝑘𝑟𝑖𝑡𝑖𝑠
tertentu.
II.8 Analisis Intensitas Hujan
Untuk menentukan debit banjir rencana (design flood), perlu diperoleh harga suatu intensitas curah hujan. Intensitas hujan adalah tinggi atau kedalaman hujan per satuan waktu. Besarnya intensitas hujan sangat bergantung pada periode ulang hujan serta durasi hujan. Semakin besar periode ulang hujan maka intensitas hujan juga akan semakin tinggi dan sebaliknya semakin pendek durasi hujan maka intensitas hujan akan semakin tinggi (Sudjarwadi, 1987) Intensitas hujan diperlukan untuk penentuan atau perkiraan debit banjir. Intensitas hujan yang tinggi akan membahayakan baik itu penyebab kelongsoran maupun banjir akibat luapan sungai. Pada analisis ini
dalam bentuk intensitas hujan. Pada analisis digunakan tiga metode yaitu, metode Van Breen, metode Bell Tanimoto, dan metode Hasper dan Der Weduwen.
II.8.1 Metode Van Breen
Dalam pengembangan kurva pola hujan Van Breen, besarnya intensitas hujan di kota lain di Indonesia dapat didekati dengan persamaan berikut (Moduto, 1998).
𝐼𝑇= 54𝑅𝑇 + 0.07𝑅𝑇
2
𝑡𝑐 + 0.3𝑅𝑇
Keterangan:
𝐼𝑇: intensitas curah hujan pada suatu periode ulang T tahun 𝑅𝑇: tinggi curah hujan pada periode ulang T tahun
𝑡𝑐 : durasi
II.8.2 Metode Bell Tanimoto
Dalam analisis frekuensi hujan dibutuhkan data curah hujan yang panjang setidaknya 20 tahun. Apabila data tersebut tidak tersedia namun diketahui data curah hujan selama 60 menit pada periode ulang 10 tahun maka data curah hujan dengan durasi 5-120 menit dapat ditentukan dengan rumus empiris yang telah disusun oleh Bell.
Rumus Bell dapat dinyatakan dalam persamaan berikut (Subarkah, 1980).
𝑅𝑇
60 = 𝑋𝑅𝑇
60
(𝑅1+𝑅2 2) 𝑅𝑇
𝑡= (0. 21 𝑙𝑛 𝑇 + 0. 51)(0. 54𝑡0.25− 0. 5)𝑅
𝑇 60
𝐼𝑇
𝑡 = 60𝑡 𝑅
𝑇 𝑡
Keterangan:
R : curah hujan
T : periode ulang hujan (2-100 tahun) t : durasi hujan (5-120 menit)
𝑅1: curah hujan pada distribusi jam ke 1 menurut Tanimoto 𝑅2: curah hujan pada distribusi jam 2 menurut Tanimoto I : intensitas hujan menurut Bell (mm/jam)
X : intensitas curah hujan menurut Bell Tanimoto, pembulatan ke atas dari CHHM
Tabel II.8.1Pedoman Pola Hujan Menurut Bell Tanimoto
Jam ke-
Intensitas Hujan
170 230 350 470
1 87 90 96 101
2 28 31 36 42
3 18 20 26 31
4 8 14 20 25
5 6 11 16 22
6 6 9 14 20
7 4 8 13 19
8 2 7 12 18
9 5 10 15
10 5 10 15
11 4 9 14
12 4 9 14
13 4 9 14
14 4 9 14
15 3 8 13
16 3 8 13
17 3 7 13
18 3 7 12
19 2 7 11
20 7 11
21 7 11
22 6 11
23 4 10
II.8.3 Metode Hasper dan Der Weduwen
Merupakan metode yang didasarkan pada penelitian oleh Hasper dan Der Weduwen di Indonesia. Penurunan rumus didasarkan pada curah hujan harian yang dikelompokkan dengan anggapan bahwa curah hujan mempunyai distribusi yang simetris dengan durasi hujan lebih kecil dari 1 jam dan durasi hujan dari 1 hingga 24 jam (Hendry, A., 2015). Rumus Hasper dan Der Weduwen dapat dinyatakan dalam persamaan berikut.
𝑅𝑖= 𝑅
𝑇(𝑅 1218𝑡 + 54
𝑇(1−𝑡) + 1272𝑡 )
Untuk menghitung nilai R perlu memperhatikan durasi/t (jam). Persamaan yang digunakan.
1 ≤𝑡≤ 24 →𝑅= 𝑡 + 3.1211300𝑡 ⎡100𝑅𝑇 atau 0 <𝑡< 1 →𝑅=
⎢⎣
⎤⎥
⎦
11300𝑡 𝑡 + 3.12
𝑅𝑖
⎡100
⎢⎣
⎤⎥
⎦ Intensitas hujan dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut.
𝐼 = 𝑅𝑡 Keterangan:
t : durasi hujan (menit)
𝑅𝑇: curah hujan harian maksimum terpilih
R,Ri: curah hujan menurut Hasper dan Der Weduwen I : intensitas hujan
II.9 Pendekatan Matematis Intensitas Hujan dan Kurva IDF
Kurva IDF (Intensity Duration Frequency) adalah kurva yang menyatakan hubungan antara intensitas hujan dengan durasinya. Untuk menggambar kurva IDF diperlukan data curah hujan dalam durasi waktu yang pendek, yaitu curah hujan dalam satuan menit. Kurva tersebut memiliki lamanya durasi hujan sebagai absis kurva dan intensitas curah hujan sebagai ordinat kurva. Analisis IDF dilakukan untuk memperkirakan debit puncak di daerah tangkapan kecil, seperti dalam perencanaan sistem drainase kota, gorong-gorong, dan jembatan berdasarkan data hujan di satu stasiun pencatat hujan otomatis (Triatmodjo, 2010, p.260).
Pendekatan matematis intensitas hujan menggunakan metode Talbot, Sherman, Ishiguro, dan Mononobe. Dari pendekatan tersebut dicari persamaan terbaik berdasarkan tipe umum. Menurut metode Talbot, Sherman dan Ishiguro, intensitas dirumuskan dalam bentuk persamaan-persamaan. Persamaan intensitas hujan metode Sherman paling baik digunakan untuk kawasan hulu DAS.
1. Metode Talbot
Metode Talbot banyak digunakan karena mudah diterapkan dan tetapan-tetapan a dan b ditentukan dengan harga-harga yang terukur.
Rumusnya adalah sebagai berikut.
, ,
𝐼 = 𝑡 + 𝑏𝑎 𝑎 = Σ(𝐼𝑡)Σ(𝐼
2)−Σ(𝐼2𝑡).Σ𝐼
𝑁Σ(𝐼2)−Σ𝐼Σ𝐼 𝑏 = Σ(𝐼)Σ(𝐼𝑡)−𝑁Σ(𝐼2𝑡) 𝑁Σ(𝐼2)−Σ𝐼Σ𝐼
Keterangan :
I : Intensitas hujan (mm/jam) t : Lamanya hujan
a, b : konstanta yang tergantung pada lamanya hujan yang terjadi di DAS N : banyak data
2. Metode Sherman
Metode Sherman mungkin cocok untuk jangka waktu curah hujan yang lamanya lebih dari 2 jam. Rumusnya adalah sebagai berikut.
, ,
𝐼 = 𝑎
𝑡𝑛 𝑎 = (Σ(𝑙𝑜𝑔𝐼)Σ(𝑙𝑜𝑔𝑡)2−Σ(𝑙𝑜𝑔𝑡𝑙𝑜𝑔𝐼).Σ(𝑙𝑜𝑔𝑡)
𝑁Σ(𝑙𝑜𝑔𝑡)2−Σ𝑙𝑜𝑔𝑡Σ𝑙𝑜𝑔𝑡 )10 𝑛 = Σ(𝑙𝑜𝑔𝐼)Σ(𝑙𝑜𝑔𝑡)−𝑁Σ(𝑙𝑜𝑔𝐼𝑙𝑜𝑔𝑡) 𝑁Σ(𝑙𝑜𝑔𝑡)2−Σ𝑙𝑜𝑔𝑡Σ𝑙𝑜𝑔𝑡
Keterangan :
I : Intensitas hujan (mm/jam) t : Lamanya hujan
a, n : konstanta yang tergantung pada lamanya hujan yang terjadi di DAS N : banyak data
3. Metode Ishiguro
Metode Ishiguro ini dikemukakan oleh Dr. Ishiguro tahun 1953. Adapun rumusnya adalah sebagai berikut.
, ,
𝐼 = 𝑎
𝑡+𝑏
𝑎 = Σ(𝐼 𝑡)Σ(𝐼
2)−Σ(𝐼2 𝑡)Σ(𝐼)
𝑁Σ(𝐼2)−Σ𝐼Σ𝐼 𝑏 = Σ(𝐼 𝑡)Σ(𝐼
2)−𝑁Σ(𝐼2 𝑡) 𝑁Σ(𝐼2)−Σ𝐼Σ𝐼
Keterangan :
I : Intensitas hujan (mm/jam) t : Lamanya hujan
a, n : konstanta yang tergantung pada lamanya hujan yang terjadi di DAS N : banyak data
4. Metode Mononobe
Metode Mononobe digunakan apabila data hujan jangka pendek tidak tersedia, yang ada hanya data hujan harian. Intensitas hujan dihitung dengan rumus sebagai berikut.
𝐼 = 𝑅2424 (24𝑡 )2/3 Keterangan :
I : Intensitas hujan (mm/jam) t : Lamanya hujan (jam)
: Curah hujan maksimum harian (mm) 𝑅24
BAB III METODOLOGI
III.1 Diagram Alir
Diagram alir pembuatan kurva IDF adalah sebagai berikut.
Gambar III.1Diagram Alir Pembuatan Kurva IDF
III.2 Uraian
Dalam penulisan laporan tugas Hidrologi dan Hidrogeologi, dilakukan beberapa metodologi yang meliputi pengumpulan data, penyusunan, serta penganalisisan dan
lokasi tinjau terlebih dahulu. Data dapat dikumpulkan secara langsung maupun secara tidak langsung. Dalam pelaksanaan dan penyusunan laporan mata kuliah Hidrologi dan Hidrogeologi ini menggunakan data sekunder, artinya sumber data penelitian yang diperoleh melalui media perantara atau secara tidak langsung yang berupa buku, catatan, bukti yang telah ada, atau arsip baik yang dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan secara umum. Data yang diperoleh berupa curah hujan pada setiap pos tiap tahunnya sebagai berikut.
Tabel III.1Data Curah Hujan Awal
Tahun P1 P2 P3 P4 P5
1987 298 260 174 76
1988 552 304 441 321 511
1989 502 328 745 291 334
1990 262 188 146 162 195
1991 591 358 492 358
1992 437 173 368 299
1993 419 303 289 358 421
1994 568 322 371 228
1995 279 305 266
1996 343 262 201 200 183
1997 240 158
1998 319 222 277 236
1999 540 349 413 242 516
2000 327 198 139 169 229
2001 345 217 286 258 319
2002 974 363 591 395 549
2003 431 371 122 223 197
2004 252 99 356 308
2005 815 382 128 259
2006 785 446 282 249
2007 197 142 139
2008 378 233 271 180 311
2009 216 94 189 103 213
2010 532 320 661 383
2011 457 189 292 259
2012 129 129 137
2013 488 295 279 288 264
2014 176 169 303 151
Tahun P1 P2 P3 P4 P5
2015 366 225 268 246
2016 462 332 347 305 249
Setelah dilakukan pengumpulan data awal, data tersebut dapat disajikan dalam beberapa bentuk penyajian untuk memudahkan proses analisis dan pengolahan data.
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan metode dan pendekatan matematis yang telah dipelajari. Parameter dan metode yang digunakan pada proses analisis dan pengolahan data adalah sebagai berikut.
1. Melengkapi data curah hujan
Data hujan yang diperoleh oleh stasiun pengamatan tidak selamanya akurat dan lengkap, sehingga masih terdapat data curah hujan yang masih kosong.
Oleh karena itu, diperlukan pengisian data curah hujan pada data yang masih kosong. Pengisian data curah hujan tersebut dapat dilakukan dengan 2 metode, yaitu metode aljabar dan perbandingan normal.
2. Uji konsistensi
Untuk mengetahui tingkat konsistensi suatu data curah hujan, dilakukan uji konsistensi. Uji konsistensi dilakukan dengan membandingkan nilai akumulasi hujan tahunan pada pos yang bersangkutan dengan nilai akumulasi hujan rata-rata tahunan suatu kumpulan stasiun di sekitarnya.
3. Uji homogenitas
Uji homogenitas dilakukan pada kurva homogenitas dengan melakukan plot nilai N dan Tr pada grafik homogenitas. Apabila hasil plot terletak di luar corong (tidak homogen), maka data yang dipakai harus dikurangi dan dihitung kembali.
4. Analisis curah hujan wilayah
Penentuan curah hujan wilayah dapat dilakukan dengan menggunakan tiga macam metode yang berbeda, yaitu metode aritmatik, metode isohyet, dan metode poligon Thiessen.
5. Analisis frekuensi data curah hujan harian maksimum (CHHM)
Penentuan nilai curah hujan harian maksimum dapat dilakukan dengan menggunakan tiga macam metode yang berbeda, yaitu metode Gumbel, Log Pearson tipe III, dan juga distribusi no
BAB IV
GAMBARAN WILAYAH STUDI
Penelitian yang dilakukan pada laporan kali ini yaitu di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung. DAS Cikapundung terletak di hulu sungai Citarum dan mensuplai air pada sungai Citarum yang meliputi Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung, dan Kabupaten Bandung. DAS Cikapundung terdiri dari 5 stasiun pemantauan hujan yaitu di Margahayu, Lembang, Kayu Ambon, Dago-Pakar Bengkok, dan Cibiru.
Gambar IV.1Peta DAS Cikapundung (Sumber :researchgate.net)
IV.1 Stasiun Margahayu
Gambar IV.2Distribusi Curah Hujan Margahayu (Sumber :climate-data.org)
Wilayah pada stasiun Margahayu memiliki iklim tropis dengan curah hujan yang signifikan bahkan masih tinggi pada bulan terkering. Berdasarkan data grafik yang diperoleh, rata-rata temperatur di wilayah stasiun ini adalah 20.9oC atau 69.62 oF dengan curah hujan berkisar sekitar 3215 mm per tahun. Bulan terkering ada pada bulan Agustus dengan curah hujan rata-rata 73 mm dan presipitasi tertinggi terjadi pada bulan Januari dengan curah hujan rata-rata 517 mm.
IV.2 Stasiun Lembang
Gambar IV.3Distribusi Curah Hujan Lembang (Sumber :climate-data.org)
Wilayah pada stasiun Lembang memiliki iklim tropis dengan curah hujan yang signifikan bahkan masih tinggi pada bulan terkering. Berdasarkan data grafik yang diperoleh, rata-rata temperatur di wilayah stasiun ini adalah 21.1oC atau 69.98 oF dengan curah hujan berkisar sekitar 3265 mm per tahun. Bulan terkering ada pada bulan Agustus dengan curah hujan rata-rata 70 mm dan presipitasi tertinggi terjadi pada bulan Januari dengan curah hujan rata-rata 471 mm.
IV.3 Stasiun Kayu Ambon
Gambar IV.4Distribusi Curah Hujan Kayu Ambon (Sumber :climate-data.org)
Wilayah pada stasiun Kayu Ambon memiliki iklim tropis dengan curah hujan yang signifikan bahkan masih tinggi pada bulan terkering. Berdasarkan data grafik yang diperoleh, rata-rata temperatur di wilayah stasiun ini adalah 20.1oC atau 68.18 oF dengan curah hujan berkisar sekitar 3119 mm per tahun. Bulan terkering ada pada bulan Agustus dengan curah hujan rata-rata 63 mm dan presipitasi tertinggi terjadi pada bulan Januari dengan curah hujan rata-rata 437 mm.
IV.4 Stasiun Dago-Pakar Bengkok
Gambar IV.5 Distribusi Curah Hujan Dago-Pakar Bengkok (Sumber :climate-data.org)
Wilayah pada stasiun Dago-Pakar Bengkok memiliki iklim tropis dengan curah hujan yang signifikan bahkan masih tinggi pada bulan terkering. Berdasarkan data grafik yang diperoleh, rata-rata temperatur di wilayah stasiun ini adalah 22.4oC atau 72.3oF dengan curah hujan berkisar sekitar 3710 mm per tahun. Bulan terkering ada pada bulan Agustus dengan curah hujan rata-rata 118 mm dan presipitasi tertinggi terjadi pada bulan November dengan curah hujan rata-rata 496 mm.
IV.5 Stasiun Cibiru
Gambar IV.6Distribusi Curah Hujan Cibiru (Sumber :climate-data.org)
Wilayah pada stasiun Cibiru memiliki iklim tropis dengan curah hujan yang signifikan bahkan masih tinggi pada bulan terkering. Berdasarkan data grafik yang diperoleh, rata-rata temperatur di wilayah stasiun ini adalah 21.8oC atau 71.24oF dengan curah hujan berkisar sekitar 3277 mm per tahun. Bulan terkering ada pada bulan Agustus dengan curah hujan rata-rata 72 mm dan presipitasi tertinggi terjadi pada bulan Desember dengan curah hujan rata-rata 456 mm.
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
V.1 Melengkapi Data Hujan
Data hujan yang didapatkan dari stasiun hujan umumnya tidak lengkap dikarenakan beberapa hal seperti kesalahan alat dan manusia. Sebelum melakukan analisis pada hujan, data hujan harus dilengkapi terlebih dahulu. Ada dua metode untuk melengkapi data hujan ini yaitu metode aljabar dan metode perbandingan normal. Metode aljabar digunakan jika perbedaan curah hujan tahunan normal antara stasiun pembanding dengan stasiun yang kehilangan data kurang dari 10% sedangkan metode rasio normal digunakan apabila perbedaan curah hujan antara stasiun pembanding dengan stasiun yang kehilangan data lebih dari 10%.
Tabel V.1.1Data Curah Hujan Awal
Tahun P1 P2 P3 P4 P5
1987 298 260 174 76
1988 552 304 441 321 511
1989 502 328 745 291 334
1990 262 188 146 162 195
1991 591 358 492 358
1992 437 173 368 299
1993 419 303 289 358 421
1994 568 322 371 228
1995 279 305 266
1996 343 262 201 200 183
1997 240 158
1998 319 222 277 236
1999 540 349 413 242 516
2000 327 198 139 169 229
2001 345 217 286 258 319
2002 974 363 591 395 549
2003 431 371 122 223 197
2004 252 99 356 308
2005 815 382 128 259
2006 785 446 282 249
2007 197 142 139
Tahun P1 P2 P3 P4 P5
2009 216 94 189 103 213
2010 532 320 661 383
2011 457 189 292 259
2012 129 129 137
2013 488 295 279 288 264
2014 176 169 303 151
2015 366 225 268 246
2016 462 332 347 305 249
1. Metode Aljabar
Metode aljabar digunakan jika perbedaan curah hujan tahunan normal antara stasiun pembanding dengan stasiun yang kehilangan data kurang dari 10%. Rumus yang digunakan pada metode aljabar adalah sebagai berikut.
𝑅𝑥 = 1𝑛
𝑛 = 1 𝑛
∑ 𝑅𝑛
Keterangan :
: Harga rata-rata tinggi curah hujan pada stasiun pengukur yang salah satu curah 𝑅𝑥
hujannya sedang dicari
: Jumlah stasiun pembanding 𝑛
: Nilai rata-rata curah hujan selama pengamatan tiap stasiun 𝑅𝑛
2. Metode Rasio Normal
Metode rasio normal digunakan apabila perbedaan curah hujan antara stasiun pembanding dengan stasiun yang kehilangan data lebih dari 10%. Rumus yang digunakan pada metode aljabar adalah sebagai berikut.
𝑟𝑥 = 1𝑛
𝑛 = 1 𝑛
∑
𝑟𝑛× 𝑅
𝑥
𝑅𝑛
Keterangan :
: Tinggi curah hujan yang dicari 𝑟𝑥
: Tinggi curah hujan pada tahun yang sama dengan pada setiap stasiun
𝑟𝑛 𝑟
𝑥
pembanding
: Harga rata-rata tinggi curah hujan pada stasiun pengukur yang salah satu curah 𝑅𝑥
hujannya sedang dicari
: Jumlah stasiun pembanding 𝑛
: Nilai rata-rata curah hujan selama pengamatan tiap stasiun 𝑅𝑛
Untuk menentukan metode mana yang akan digunakan, dilakukan terlebih dahulu perhitungan delta (Δ) dengan persamaan sebagai berikut.
∆ = 𝑅𝑆 × 100%
Nilai S (standar deviasi) dan nilai R (rata-rata curah hujan dari n jumlah stasiun pengamat) juga dapat diperoleh melalui persamaan sebagai berikut.
𝑆 = Σ(𝑅𝑖 −𝑅)
2
𝑛−1
𝑅 = Σ𝑅𝑖𝑛 Keterangan :
: Jumlah stasiun hujan 𝑛
: Rata-rata curah hujan dari n jumlah stasiun pengamat.
𝑅
: Rata-rata curah hujan maksimum dalam suatu stasiun.
𝑅𝑖
: Persen perbedaan curah hujan antara stasiun pembanding dan stasiun yang
∆
kehilangan data.
Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan, diperoleh hasil perhitungan sebagai berikut.
Tabel V.1.2Data Hasil Perhitungan Delta
N 27 25 25 26 26
Ri 445,6395 267,0785 316,7551 254,1392 276,5889
Ξ Ri 1560,20
n 5
R 312,04
Ri-R 133,5993 -44,9618 4,7149 -57,9011 -35,4513
Ξ(Ri-R)^2 24501,8843
S 78,2654
Δ 25,0818
Keterangan :
: Jumlah data yang tidak kosong 𝑁
: Rata-rata curah hujan maksimum dalam suatu stasiun 𝑅𝑖
Ξ𝑅𝑖: Jumlah rata-rata curah hujan maksimum di setiap stasiun uji : Jumlah stasiun hujan
𝑛 : 𝑅 Ξ 𝑅𝑖𝑛
= Standar deviasi 𝑆
: Persen perbedaan curah hujan antara stasiun pembanding dan stasiun yang
∆
kehilangan data.
Sebagai contoh perhitungan untuk mencari nilai delta ( ) seperti tabel diatas,∆ diambil data dari stasiun P1 dimana nilai 𝑁 nya adalah jumlah data yang tidak kosong yaitu berjumlah 27 dengan cara rumus excel COUNT(seluruh data di stasiun (P1). Selanjutnya nilai 𝑅𝑖 dapat dihitung dengan mencari nilai rata-rata hujan maksimum pada stasiun P1 yang diperoleh dengan rumus excel AVERAGE(seluruh data di stasiun P1) sehingga diperoleh nilai 𝑅𝑖 pada stasiun P1 sebesar 445,6395. Lakukan langkah diatas untuk stasiun lainnya. Untuk mencari Ξ , jumlahkan seluruh nilai (rata-rata curah hujan maksimum di setiap stasiun
𝑅𝑖 𝑅𝑖
uji) sehingga diperoleh nilai Ξ 𝑅𝑖 sebesar 1560,20. Untuk nilai n adalah jumlah stasiun hujan yang sedang kita uji yaitu 5 stasiun. Kemudian untuk mencari nilai𝑅 digunakan rumus sebagai berikut.
= 𝑅 Ξ 𝑅𝑖𝑛
= = 312,04
𝑅 1560,205
Melalui perhitungan dengan rumus diperoleh nilai 𝑅 sebesar 312,04. Selanjutnya untuk mencari nilai standar deviasi diperlukan nilai Ξ(Ri-R)2yang diperoleh dengan mencari nilai (Ri-R)2 pada masing-masing stasiun kemudian dijumlahkan. Sebagai contohnya, pada stasiun P1 diperoleh nilai Ri-R dengan cara mengurangi nilai Ri dengan nilai R yang telah diperoleh pada perhitungan sebelumnya sehingga diperoleh nilai sebesar 133,5993. Hasil ini kemudian dikuadratkan sehingga
mendapatkan nilai (Ri-R)2 sebesar 17848,7650. Lakukan langkah ini untuk stasiun-stasiun lainnya. Setelah sudah diperoleh nilai (Ri-R)2 pada setiap stasiun hujannya, dapat diperoleh nilai Ξ(Ri-R)2 dengan cara menjumlahkan nilai (Ri-R)2 untuk setiap stasiunnya sehingga diperoleh nilai Ξ(Ri-R)2 sebesar 24501,8843.
Kemudian standar deviasi dapat diperoleh dengan rumus sebagai berikut.
𝑆 = Σ(𝑅𝑖 −𝑅)
2
𝑛−1
= 78,2654 𝑆 = 24501,88435−1
Melalui rumus di atas, diperoleh nilai standar deviasinya adalah 78,2654. Untuk mencari nilai delta ( ), dapat digunakan rumus sebagai berikut.∆
=
∆ (𝑅𝑆) × 100%
= = 25,0818%
∆ (78,2654312,04 ) × 100%
Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan, diperoleh nilai delta ( ) sebesar∆ 25,08182586% yang berada diatas 10%, maka metode yang digunakan seharusnya adalah metode rasio normal. Melalui metode ini, dapat diperoleh data nilai 𝑅𝑖𝑟𝑖 . Melalui data nilai 𝑅𝑖𝑟𝑖 ini, maka dapat diperoleh data curah hujan yang kosong sebagai berikut.
Tabel V.1.3Data Hasil Perhitungan 𝑅𝑖𝑟𝑖
Tahun P1 P2 P3 P4 P5 n Ξri/Ri
1987 0.670 0.820 0.684 0.276 4 2.449
1988 1.239 1.138 1.391 1.264 1.849 5 6.881
1989 1.126 1.228 2.351 1.146 1.209 5 7.061
1990 0.588 0.704 0.461 0.637 0.705 5 3.096
1991 1.325 1.340 1.553 1.409 4 5.627
1992 0.981 0.648 1.162 1.178 4 3.969
1993 0.940 1.134 0.912 1.407 1.522 5 5.916
Tahun P1 P2 P3 P4 P5 n Ξri/Ri
1994 1.275 1.206 1.458 0.824 4 4.763
1995 1.045 1.201 0.963 3 3.209
1996 0.770 0.981 0.635 0.786 0.660 5 3.831
1997 0.899 0.621 2 1.520
1998 0.716 0.831 0.874 0.929 4 3.350
1999 1.211 1.307 1.304 0.952 1.866 5 6.639
2000 0.735 0.743 0.439 0.665 0.827 5 3.408
2001 0.774 0.812 0.903 1.016 1.153 5 4.658
2002 2.185 1.359 1.865 1.555 1.984 5 8.947
2003 0.967 1.390 0.385 0.878 0.712 5 4.332
2004 0.566 0.313 1.400 1.113 4 3.392
2005 1.828 1.432 0.505 0.936 4 4.701
2006 1.762 1.408 1.110 0.900 4 5.179
2007 0.443 0.559 0.503 3 1.504
2008 0.849 0.872 0.857 0.710 1.125 5 4.414
2009 0.485 0.352 0.598 0.406 0.769 5 2.610
2010 1.194 1.198 2.085 1.385 4 5.863
2011 1.025 0.708 0.922 0.937 4 3.592
2012 0.483 0.407 0.494 3 1.384
2013 1.095 1.105 0.881 1.133 0.953 5 5.166
2014 0.395 0.534 1.192 0.545 4 2.665
2015 0.821 0.842 0.846 0.889 4 3.398
2016 1.036 1.243 1.095 1.201 0.902 5 5.477
Tabel V.1.4Data Hasil Perhitungan Curah Hujan yang Kosong
Tahun P1 P2 P3 P4 P5
1987 298 164 260 174 76
1988 552 304 441 321 511
1989 502 328 745 291 334
1990 262 188 146 162 195
1991 591 358 492 358 389
1992 437 173 368 299 274
1993 419 303 289 358 421
1994 568 322 377 371 228
1995 477 279 339 305 266
1996 343 262 201 200 183
1997 339 240 241 158 210
1998 319 222 277 236 232
1999 540 349 413 242 516
2000 327 198 139 169 229
2001 345 217 286 258 319
2002 974 363 591 395 549
2003 431 371 122 223 197
2004 252 226 99 356 308
2005 815 382 372 128 259
2006 785 346 446 282 249
2007 197 134 159 142 139
2008 378 233 271 180 311
2009 216 94 189 103 213
2010 532 320 661 372 383
2011 457 189 292 228 259
2012 206 129 129 117 137
2013 488 295 279 288 264
2014 176 178 169 303 151
2015 366 225 268 216 246
V.2 Uji Konsistensi
Uji konsistensi dilakukan karena terdapat beberapa data yang tidak konsisten. Uji konsistensi dilakukan dengan membandingkan nilai akumulasi hujan tahunan di setiap stasiun hujan dengan nilai akumulasi hujan rata-rata tahunan stasiun lainnya yang berlokasi di sekitarnya. Sehingga dapat dilihat perhitungan uji konsistensi di setiap stasiun.
1. Stasiun Margahayu
Tabel V.2.1Uji Konsistensi Stasiun Margahayu Uji Konsistensi Stasiun Margahayu No
Urut Data
Tahu n
Stasiun Akumulasi tan α0 tan α k CHH
Utama Pembanding Utama Pembanding M
1 1987 298 168.315 13053.064 8242.310 1.6338 1.6338 1 298
2 1988 552 394.338 12754.632 8073.994 1.6338 1.6338 1 552
3 1989 502 424.607 12202.670 7679.656 1.6338 1.6338 1 502
4 1990 262 172.750 11700.670 7255.050 1.6338 1.6338 1 262
5 1991 591 399.281 11438.508 7082.300 1.6338 1.6338 1 591
6 1992 437 278.722 10847.977 6683.018 1.6338 1.6338 1 437
7 1993 419 342.650 10410.853 6404.296 1.6338 1.6338 1 419
8 1994 568 324.440 9991.853 6061.646 1.6338 1.6338 1 568
9 1995 477 297.357 9423.853 5737.206 1.6338 1.6338 1 477
10 1996 343 211.297 8947.192 5439.849 1.6338 1.6338 1 343
11 1997 339 212.151 8604.201 5228.552 1.6338 1.6338 1 339
12 1998 319 241.660 8265.619 5016.401 1.6338 1.6338 1 319
13 1999 540 379.993 7946.714 4774.741 1.6338 1.6338 1 540
14 2000 327 183.730 7407.123 4394.749 1.6338 1.6338 1 327
15 2001 345 270.025 7079.705 4211.018 1.6338 1.6338 1 345