• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Lembar Kerja Tutorial Faktor Risiko Kesehatan Gigi Mulut

N/A
N/A
ANAK AGUNG SISKA

Academic year: 2024

Membagikan " Laporan Lembar Kerja Tutorial Faktor Risiko Kesehatan Gigi Mulut"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN LEMBAR KERJA TUTORIAL

MODUL FAKTOR RESIKO KESEHATAN GIGI MULUT

DOSEN PEMBIMBING TUTOR : Rizka Wahyuni, MDSc

DISUSUN OLEH:

TUTOR 2

Ketua : Anak Agung siska (230111030022) Sekretaris : Given Q.G.Gumenggilung (230111030024)

Notulen : Najhwa Putri Permadi (230111030027) Anggota :

Enriko Clyf G. Maramis (230111030023) Indah Maria Palamba (230111030025)

Khayla A. N. Syafri (230111030026) Natania Mieko Awaloei (230111030029)

Maria K.T. Rewang (230111030030) Gloria K. Imanuela Rogi (230111030031)

Helena P. Golda Wenas (230111030028)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER GIGI FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SAM RATULANGI TAHUN 2024

(2)

SKENARIO KASUS MODUL FAKTOR RISIKO 2024

Kesehatan gigi mulut masyarakat kabupaten Bintang masih menjadi PR yang terus dicarikan jalan keluar oleh pemerintah daerah, terlebih khusus Dinas Kesehatan Kab. Bintang. 59,2%

masyarakat bermasalah dengan kesehatan gigi dan mulutnya, dengan prevalensi karies dan penyakit periodontal yang masih mendominasi, yakni rata-rata sebesar 79,1% dan 74,3%.

Data perilaku menyikat gigi menunjukkan masih 3,2% yang memiliki perilaku menyikat gigi yang baik dan benar. Hasil survei kesehatan gigi pada anak SD usia 10-12 tahun di Kabupaten Bintang menunjukkan indeks DMF-T 7,5 dan OHI-S 3,2. Kondisi ini memprihatinkan padahal sudah sejak kurang lebih 5 tahun yang lalu pemerintah menargetkan 50% anak usia 5-6 tahun bebas karies dan tidak ada lagi anak usia 12 tahun dengan DMF-T

>3. Saat ini prevalensi karies anak usia 5-9 tahun 92%. Dalam rapat koordinasi dengan para kepala puskesmas, kepala dinas kesehatan Kabupaten Bintang menginstruksikan agar dicarikan upaya untuk mengatasi lebih berkembangnya kondisi ini.

DISKUSIKAN SKENARIO DI ATAS DENGAN METODE DISKUSI 7 JUMP : Diskusi dilakukan dengan metode seven jumps (tujuh langkah) yaitu:

Langkah 1 : Klarifikasi istilah / konsep

Langkah 2 : Menetapkan permasalahan/ problem dasar skenario dan pertanyaan untuk membantu menentukan masalah yang ada

Langkah 3 : Menganalisis masalah dengan menjawab pertanyaan Langkah 4 : Peta konsep

Langkah 5 : Merumuskan sasaran / tujuan belajar (Learning Objective)

Langkah 6 : Belajar mandiri (mengumpulkan informasi tambahan, baik dari perpustakaan, internet,Jurnal atau textbook terpercaya).

Langkah 7 : Kesimpulan

(3)

Langkah 1 : Klarifikasi istilah / konsep

Dalam Diskusi Tutorial Sesi 1 tidak terdapat istilah sulit.

Langkah 2 : Menetapkan permasalahan/ problem dasar skenario dan pertanyaan untuk membantu menentukan masalah yang ada

Rumusan Masalah:

Kesehatan gigi dan mulut di Kabupaten Bintang menunjukkan angka yang memprihatinkan, dengan 59,2% masyarakat mengalami masalah. Prevalensi karies mencapai 79,1% dan penyakit periodontal 74,3%. Hanya 3,2% masyarakat yang memiliki perilaku menyikat gigi yang baik dan benar. Hal ini menunjukkan adanya kebutuhan mendesak untuk meningkatkan kesadaran dan tindakan preventif terkait kesehatan gigi.

Pertanyaan :

1. Faktor apa saja yang dapat mempengaruhi rendahnya kesadaran masyarakat di Kab.

Bintang terhadap kesehatan gigi dan mulut?

2. Apa langkah konkret yang dapat dilakukan untuk meningkatkan perilaku menyikat gigi yang benar di kalangan masyarakat, terutama anak-anak?

3. Mengapa usaha pemerintah berdasarkan skenario yaitu untuk menargetkan 50% anak usia 5-6 tahun bebas karies belum bisa terlaksana dengan baik?

4. Apa saja faktor penyebab karies pada anak?

5. Sejauh mana pendidikan formal berkontribusi terhadap perilaku kesehatan gigi dan mulut di kalangan anak-anak?

6. Apakah perilaku menyikat gigi dengan benar saja sudah mampu mengurangi prevalensi masalah kesehatan gigi dan mulut pada kasus khususnya penyakit karies dan periodontal yang terjadi atau diperlukan alternatif lain?

7. Strategi atau program unggulan apa saja yang mungkin bisa di Lakukan sebagai bentuk kerja sama antara pemerintah dan Dinas Kesehatan Kab. Bintang dalam mengurangi angka prevalensi karies, penyakit periodontal, serta menjaga oral hygienemasyarakat dan perilaku menyikat gigi yang baik dan benar?

8. Apakah dari tingginya prevalensi karies dan penyakit periodontal di Kab. Bintang memiliki dampak dalam jangka panjang terhadap kualitas hidup, dan bagaimana hal ini dapat mengganggu aspek kesehatan sosial dan ekonomi di daerah tersebut?

9. Mengapa usaha pemerintah belum terlaksana dengan baik?

(4)

Langkah 3 : Menganalisis masalah dengan menjawab pertanyaan

1. Faktor apa saja yang dapat mempengaruhi rendahnya kesadaran masyarakat di Kab. Bintang terhadap kesehatan gigi dan mulut?

Jawab: Faktor yang mempengaruhi rendahnya kesadaran masyarakat di Kabupaten Bintang terhadap kesehatan gigi dan mulut meliputi kurangnya pengetahuan tentang pentingnya perawatan gigi, akses terbatas ke layanan kesehatan gigi, serta budaya yang kurang mendukung kebiasaan menjaga kesehatan mulut. Banyak masyarakat yang tidak menyadari dampak jangka panjang dari masalah kesehatan gigi, seperti karies dan penyakit periodontal, sehingga mereka cenderung mengabaikan perawatan gigi. Selain itu, rendahnya frekuensi penyuluhan kesehatan gigi dan kurangnya keterlibatan masyarakat dalam program-program kesehatan juga berkontribusi pada rendahnya kesadaran ini.

2. Apa langkah konkret yang dapat dilakukan untuk meningkatkan perilaku menyikat gigi yang benar di kalangan masyarakat, terutama anak-anak?

Jawab: Untuk meningkatkan perilaku menyikat gigi yang benar di kalangan masyarakat, terutama anak-anak, langkah konkret yang dapat dilakukan antara lain adalah mengadakan program edukasi dan penyuluhan tentang cara menyikat gigi yang baik dan pentingnya menjaga kesehatan mulut. Kegiatan ini bisa dilakukan melalui sekolah-sekolah dengan melibatkan guru dan orang tua. Selain itu, menyediakan akses mudah terhadap alat kebersihan gigi seperti sikat gigi dan pasta gigi di lingkungan sekolah dan rumah juga penting. Program praktik langsung menyikat gigi di sekolah dapat membantu anak-anak menginternalisasi kebiasaan baik ini.

3. Mengapa usaha pemerintah berdasarkan skenario yaitu untuk menargetkan 50% anak usia 5-6 tahun bebas karies belum bisa terlaksana dengan baik?

Jawab: Target pemerintah untuk mencapai 50% anak usia 5-6 tahun bebas karies belum terlaksana dengan baik di Kabupaten Bintang karena beberapa faktor yang saling berkaitan, yaitu:

● Kebiasaan Menyikat Gigi yang Buruk

(5)

Hanya 3,2% masyarakat memiliki perilaku menyikat gigi yang benar. Kebiasaan ini menunjukkan rendahnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya menjaga kebersihan gigi dan mulut. Hal ini menjadi salah satu penyebab utama prevalensi karies yang tinggi.

● Kurangnya Edukasi Kesehatan Gigi

Upaya edukasi yang dilakukan mungkin belum efektif atau belum menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Edukasi yang kurang menekankan pentingnya menyikat gigi dengan benar, terutama setelah makan dan sebelum tidur, dapat menyebabkan kebiasaan buruk terus berlangsung.

● Keterbatasan Akses ke Pelayanan Kesehatan

Kabupaten Bintang mungkin menghadapi kesulitan dalam segi geografis, infrastruktur, atau distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata. Hal ini membuat masyarakat, terutama di wilayah terpencil, sulit mendapatkan layanan pencegahan dan perawatan kesehatan gigi secara rutin.

● Kebiasaan Makanan yang Tidak Mendukung

Pola konsumsi makanan dengan kandungan gula tinggi atau kurangnya asupan makanan yang mendukung kesehatan gigi (seperti buah dan sayuran) dapat meningkatkan risiko karies, terutama pada anak-anak.

● Kurangnya Intervensi Pencegahan Secara Terstruktur

Meskipun pemerintah telah menetapkan target, mungkin belum ada strategi preventif yang kuat dan berkesinambungan, seperti program pemberian flouride atau sealant gigi untuk anak-anak.

4. Apa saja faktor penyebab karies pada anak?

Jawab:

● Gemar mengkonsumsi makanan & minuman manis (Contoh : permen dan minuman kemasan)

(6)

● Malas menyikat gigi

● Memiliki kebiasaan minum susu hingga tidur, hal ini dapat menyebabkan paparan asam pada gigi anak

● Kurangnya edukasi dari tenaga profesional seperti dokter gigi, karena anak-anak cenderung takut mengunjungi dokter gigi.

5. Sejauh mana pendidikan formal berkontribusi terhadap perilaku kesehatan gigi dan mulut di kalangan anak-anak?

Jawab: Pendidikan formal berkontribusi besar terhadap perilaku kesehatan gigi dan mulut di kalangan anak-anak dengan memberikan pengetahuan dasar tentang pentingnya menjaga kebersihan mulut. Melalui kurikulum yang mencakup pendidikan kesehatan, anak-anak dapat belajar cara menyikat gigi dengan benar dan memahami konsekuensi dari kebiasaan buruk terhadap kesehatan mulut mereka. Kegiatan praktik langsung di sekolah juga memperkuat pembelajaran ini, tetapi perlu dukungan dari orang tua untuk memastikan bahwa pengetahuan tersebut diterapkan di rumah.

6. Apakah perilaku menyikat gigi dengan benar saja sudah mampu mengurangi prevalensi masalah kesehatan gigi dan mulut pada kasus khususnya penyakit karies dan periodontal yang terjadi atau diperlukan alternatif lain?

Jawab: Perilaku menyikat gigi dengan benar sangat penting dalam mengurangi prevalensi masalah kesehatan gigi dan mulut, namun hal ini saja mungkin tidak cukup tanpa pendekatan komprehensif lainnya. Selain mengajarkan teknik menyikat gigi yang benar, diperlukan juga program diet sehat, pemeriksaan rutin oleh profesional kesehatan gigi, serta kampanye kesadaran masyarakat untuk mendukung perilaku sehat secara keseluruhan. Integrasi berbagai strategi ini akan lebih efektif dalam menurunkan angka kasus karies dan penyakit periodontal.

7. Sejauh mana pendidikan formal berkontribusi terhadap perilaku kesehatan gigi dan mulut di kalangan anak-anak?

Jawab: Pendidikan formal memainkan peran penting dalam membentuk perilaku kesehatan gigi dan mulut di kalangan anak-anak. Melalui kurikulum yang mencakup

(7)

materi tentang kebersihan mulut, anak-anak belajar tentang pentingnya menyikat gigi secara teratur dan cara melakukannya dengan benar. Sekolah juga menjadi tempat untuk kampanye kesadaran kesehatan, di mana anak-anak dapat mendapatkan informasi langsung dari tenaga medis. Selain itu, pendidikan ini membantu orang tua memahami cara mendukung kebiasaan baik anak-anak mereka, sehingga menciptakan lingkungan yang kondusif untuk menjaga kesehatan gigi. Dengan demikian, pendidikan formal tidak hanya memberikan pengetahuan, tetapi juga membentuk kebiasaan positif yang dapat mengurangi risiko masalah gigi di masa depan.

8. Apakah dari tingginya prevalensi karies dan penyakit periodontal di Kab.

Bintang memiliki dampak dalam jangka panjang terhadap kualitas hidup, dan bagaimana hal ini dapat mengganggu aspek kesehatan sosial dan ekonomi di daerah tersebut?

Jawab: Tingginya prevalensi karies dan penyakit periodontal di Kabupaten Bintang memiliki dampak jangka panjang terhadap kualitas hidup masyarakat. Masalah kesehatan mulut dapat menyebabkan rasa sakit yang berkepanjangan, mengganggu kemampuan makan dan berbicara, serta menurunkan kepercayaan diri individu. Dari segi sosial ekonomi, masalah ini dapat mengakibatkan biaya perawatan medis yang tinggi dan mengurangi produktivitas kerja masyarakat akibat ketidaknyamanan atau sakit. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk mengambil langkah-langkah efektif dalam menangani masalah ini agar tidak berdampak lebih luas pada aspek kehidupan masyarakat.

9. Mengapa usaha pemerintah belum terlaksana dengan baik?

Jawab: Usaha pemerintah dalam meningkatkan kesehatan gigi dan mulut belum terlaksana dengan baik karena berbagai tantangan seperti kurangnya sumber daya manusia terlatih di bidang kesehatan gigi, minimnya anggaran untuk program-program pencegahan, serta kurangnya partisipasi aktif dari masyarakat dalam mengikuti program-program yang ada. Selain itu, adanya kesenjangan informasi antara pemerintah daerah dengan masyarakat mengenai pentingnya perawatan kesehatan mulut juga menjadi kendala utama dalam mencapai target-target yang telah ditetapkan.

(8)

Langkah 4 : Peta konsep

Langkah 5 : Merumuskan sasaran atau tujuan belajar (Learning Objective)

1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan faktor determinan kesehatan gigi dan mulut

2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pengertian faktor resiko kesehatan gigi dan mulut

3. Mahasiswa mampu menjelaskan cara pengukuran faktor resiko gigi dan mulut

4. Mahasiswa mampu mengetahui faktor resiko karies, periodontal, kanker dan penyakit mulut lainnya

5. Mahasiswa mampu mengetahui dan menjelaskan upaya promotif dan preventif kesehatan gigi dan mulut.

(9)

Langkah 6 : Belajar mandiri (mengumpulkan informasi tambahan, baik dari perpustakaan, internet, Jurnal atau textbook yang terpercaya)

1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan faktor determinan kesehatan gigi dan mulut.

Faktor determinan kesehatan gigi dan mulut adalah berbagai elemen yang mempengaruhi kondisi kesehatan gigi dan mulut seseorang. Adapun penjelasan mengenai faktor-faktor tersebut:

1. Faktor Biologis

Ini termasuk faktor genetik yang dapat mempengaruhi struktur gigi dan rahang, serta predisposisi terhadap penyakit gigi tertentu. Misalnya, beberapa individu mungkin memiliki enamel gigi yang lebih lemah atau lebih rentan terhadap karies akibat faktor genetik. Selain itu, kondisi kesehatan umum, seperti diabetes, dapat mempengaruhi kesehatan gigi dan mulut. Diabetes yang tidak terkontrol dapat meningkatkan risiko penyakit gusi, sementara infeksi gigi dapat mempengaruhi kontrol gula darah.

2. Perilaku Individu

Kebiasaan sehari-hari sangat berpengaruh terhadap kesehatan gigi dan mulut.

Kebiasaan menyikat gigi yang tidak teratur atau teknik menyikat yang salah dapat menyebabkan penumpukan plak dan karies. Selain itu, pola makan juga berperan penting; konsumsi makanan dan minuman yang tinggi gula dan asam dapat merusak enamel gigi dan menyebabkan kerusakan gigi. Penggunaan produk perawatan gigi, seperti pasta gigi yang mengandung fluoride, juga dapat membantu mencegah kerusakan gigi.

3. Faktor Lingkungan

Lingkungan fisik dan sosial memiliki dampak signifikan terhadap kesehatan gigi dan mulut. Akses terhadap pelayanan kesehatan gigi yang berkualitas sangat penting. Di daerah dengan fasilitas kesehatan yang terbatas, masyarakat mungkin kesulitan untuk mendapatkan perawatan gigi yang diperlukan.

Pendidikan kesehatan juga menjadi faktor kunci, individu yang memiliki

(10)

pengetahuan lebih baik tentang pentingnya perawatan gigi cenderung lebih proaktif dalam menjaga kesehatan gigi dan mulut mereka. Selain itu, faktor ekonomi, seperti pendapatan dan status sosial, dapat mempengaruhi kemampuan seseorang untuk mengakses perawatan gigi yang diperlukan.

4. Sistem Kesehatan

Ketersediaan dan aksesibilitas sistem kesehatan yang baik sangat penting untuk mendukung kesehatan gigi dan mulut. Negara dengan sistem kesehatan yang kuat dan terjangkau cenderung memiliki tingkat kesehatan gigi yang lebih baik. Program pencegahan, seperti penyuluhan kesehatan gigi di sekolah dan masyarakat, serta kampanye untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan mulut, juga berkontribusi pada peningkatan kesehatan gigi secara keseluruhan.

5. Faktor Psikososial

Stres dan kesehatan mental juga dapat mempengaruhi kesehatan gigi dan mulut. Stres dapat menyebabkan kebiasaan buruk seperti menggigit kuku atau bruxism (menggertakkan gigi), yang dapat merusak gigi. Selain itu, individu dengan masalah kesehatan mental mungkin lebih cenderung mengabaikan perawatan gigi mereka.

Teori blum

Konsep hidup sehat H.L.Blum sampai saat ini masih relevan untuk diterapkan.

Kondisi sehat secara holistik bukan saja kondisi sehat secara fisik melainkan juga spiritual dan sosial dalam bermasyarakat. Untuk menciptakan kondisi sehat seperti ini diperlukan suatu keharmonisan dalam menjaga kesehatan tubuh. H. L. Blum menjelaskan ada 4 faktor utama yang mempengaruhi derajat kesehatan gigi dan mulut masyarakat. Keeempat faktor tersebut merupakan faktor determinan timbulnya masalah kesehatan.

Keempat faktor tersebut terdiri dari faktor perilaku/gaya hidup (life style), faktor lingkungan (sosial, ekonomi, politik, budaya), faktor pelayanan kesehatan (jenis cakupan dan kualitasnya), dan faktor genetik (keturunan). Keempat faktor tersebut

(11)

saling berinteraksi yang mempengaruhi kesehatan perorangan dan derajat kesadaran masyarakat. Diantara faktor tersebut faktor perilaku manusia merupakan faktor determinan yang paling besar dan paling sukar ditanggulangi, disusul dengan faktor lingkungan. Hal ini disebabkan karena faktor perilaku yang lebih dominan dibandingkan dengan faktor lingkungan karena lingkungan hidup manusia juga sangat dipengaruhi oleh perilaku masyarakat.

Referensi :

World Health Organization. (2022). Oral health. Retrieved from WHO website.

Petersen, P. E., & Ogawa, H. (2016). The global burden of oral diseases and risks to oral health. Bulletin of the World Health Organization, 94(9), 661-669.

doi:10.2471/BLT.16.170082.

Locker, D. (2007). The burden of oral disorders in a population. Community Dentistry and Oral Epidemiology, 35(5), 345-353. doi:10.1111/j.1600-0528.2007.00357.x.

2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pengertian faktor resiko kesehatan gigi dan mulut.

Faktor risiko adalah faktor-faktor atau keadaan-keadaan yang mempengaruhi perkembangan suatu penyakit atau status kesehatan tertentu. Faktor tersebut dapat diidentifikasi dan dievaluasi dengan berbagai cara. Berdasarkan hasil RISKESDAS tahun 2018, didapati angka yang tinggi pada prevalensi karies dan penyakit periodontal, sehingga dilakukan identifikasi dan evaluasi dari faktor resiko. Evaluasi faktor resiko kesehatan gigi dan mulut merupakan kegiatan yang dilakukan dengan membandingkan faktor resiko mana yang paling banyak menjadi penyebab penyakit gigi dan mulut. Faktor resiko yang didapat meliputi penyakit sistemik, pengetahuan gaya hidup, pola diet, sosio-kultur.

Dalam mengidentifikasi faktor resiko kesehatan gigi dan mulut, dokter dan kader kesehatan menganalisis hasil survei mengenai permasalah kesehatan gigi dan mulut oleh Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 meliputi angka prevalensi karies dan penyakit periodontal di Indonesia. Riskesdas adalah suatu penelitian dibidang kesehatan berbasis komunitas yang dapat menggambarkan perkembangan status kesehatan masyarakat, faktor resiko, dan upaya pembangunan kesehatan. Tujuan dilakukannya survei terhadap faktor resiko penyakit gigi dan mulut di masyarakat yaitu untuk dapat

(12)

mengetahui apa saja faktor yang mempengaruhi penyakit gigi dan mulut serta merencanakan tindakan selanjutnya untuk menanggulangi atau membentuk strategi sebagai bentuk upaya untuk mengurangi angka prevalensi penyakit gigi dan mulut di suatu daerah tertentu.

Referensi: Adrin, Fania & Arsanti, Meilan. (2023). Faktor Resiko Penyakit Gigi dan Mulut.

3. Mahasiswa mampu menjelaskan cara pengukuran faktor resiko gigi dan mulut.

Pemeriksaan Klinis oleh Profesional Kesehatan Gigi - untuk melihat kondisi gigi, gusi, dan struktur mulut lainnya. Pemeriksaan ini meliputi deteksi tanda-tanda masalah seperti kerusakan gigi, penyakit gusi, plak, dan karang gigi. Indeks Plak Silness digunakan untuk mengukur jumlah plak pada gigi dan menentukan tingkat kebersihan mulut.

Anamnesis (Riwayat Medis dan Kebiasaan) - dokter gigi mengumpulkan informasi tentang kebiasaan pasien, seperti frekuensi menyikat gigi, konsumsi makanan atau minuman manis, kebiasaan merokok, serta riwayat medis pasien. Selain itu, dokter juga menanyakan adanya penyakit sistemik yang dapat mempengaruhi kesehatan gigi dan mulut, seperti diabetes atau gangguan hormonal. Dan jika mengkonsumsi obat karena beberapa obat dapat menyebabkan xerostomia atau perubahan dalam komposisi air liur dapat meningkatkan risiko pembentukan plak dan masalah gigi lainnya.

Penilaian Kesehatan Gusi - Indeks Penyakit Gusi (Gingival Index) digunakan untuk mengukur tingkat peradangan gusi.

Pengukuran Kebersihan Gigi - Indeks Kebersihan Gigi (Oral Hygiene Index) digunakan untuk menilai kebersihan mulut berdasarkan jumlah plak dan karang gigi yang ditemukan.

Pemeriksaan Radiografis (X-ray) - Pemeriksaan dengan sinar-X digunakan untuk mendeteksi kerusakan gigi yang tidak terlihat dengan pemeriksaan klinis langsung, seperti kerusakan pada akar gigi atau infeksi di bawah gusi.

(13)

Dalam mengidentifikasi faktor resiko dari karies dan penyakit periodontal dapat dilakukan dengan cara berikut.

1. Metode CRA (Caries Risk Assessment).

CRA ini merupakan suatu proses pengumpulan data terkait dengan berbagai macam faktor resiko dan indikator untuk memperbaiki aktivitas karies dalam waktu tertentu, dimana metode ini bertujuan untuk memberikan perawatan preventif maupun restoratif secara lebih spesifik kepada pasien sehingga memberikan informasi kepada pasien yang dapat membantu dalam menurunkan faktor resiko karies dari waktu ke waktu.

2. Metode CAMBRA (Caries management by risk assessment)

CAMBRA ini merupakan salah satu pendekatan untuk mencegah atau merawat penyebab karies gigi pada tahap paling awal sebelum gigi berlubang.

Dimana penilaian faktor risiko karies dengan menggunakan metode ini ada 2 tahap:

● Tahap pertama melakukan pemeriksaan klinis pada individu yang memiliki karies meliputi indikator, faktor resiko dan faktor pencegah

● Tahap kedua dokter ataupun petugas kesehatan menentukan level risiko karies pasien, misal masuknya ke level apa (low, moderate, high, or extreme) berdasarkan adanya indikator penyakit karies dan keseimbangan antara patologis dan faktor pencegah.

3. Metode Kariogram

Kariogram ini merupakan cara baru yang menggambarkan interaksi berbagai faktor yang berhubungan dengan proses karies. Dimana tujuan dari metode cariogram ini untuk menunjukan grafik resiko, yang dinyatakan sebagai kesempatan untuk menghindari karies baru dalam waktu dekat dan juga tujuan cariogram ini untuk mendorong langkah langkah pencegahan karies sebelum karies baru berkembang.

Metode cariogram ini dengan cara penggunaannya di komputer jadi semacam aplikasi yang nantinya akan kita masukan data data yang diperoleh untuk mendapatkan hasilnya. (Bird, 2012)

Dalam mengevaluasi faktor resiko penyakit gigi dan mulut dapat dilakukan dengan cara berikut.

Epidemiologi Analitik Studi yang menganalisis determinan penyakit yang terjadi dalam kelompok masyarakat.

(14)

Tujuan:

● Menentukan faktor resiko/pencegah/kausa/determinan penyakit

● Menentukan faktor yg mempengaruhi prognosis kasus

● Menentukan efektivitas intervensi untuk mengendalikan/mencegah dan mengendalikan penyakit pada populasi. Ada beberapa studi yang digunakan dalam epidemiologi analitik

● Studi Potong-Lintang (Cross-sectional study) Dimana mempelajari hubungan penyakit dan paparan dengan cara mengamati status paparan dan penyakit serentak pada individu dari populasi tungga pada saat satu periode.

● Dalam studi ini variabel sebab (resiko) dan akibat (kasus) yang terjadi pada objek penelitian diukur dalam waktu yang bersamaan.

● Studi Kasus Kontrol Dimana mempelajari hubungan antara paparan (faktor penelitian) dan penyakit, dengan cara membandingkan kelompok kasus dan kelompok kontrol

● Studi Kohort Dimana mempelajari hubungan antara paparan dan penyakit dengan membandingkan kelompok terpapar dan kelompok tidak terpapar yang diamati dalam jangka waktu tertentu

Epidemiologi Deskriptif Penggambaran pola distribusi penyakit dan determinan penyakit berdasarkan populasi Tujuan:

● Memberikan informasi tentang distribusi penyakit, besarnya beban penyakit, dan trend penyakit pada populasi

● Memberi pengetahuan tentang epidemiologi Deskriptif→ evaluasi semua keadaan yg berada di sekitar seseorang yg dapat mempengaruhi sebuah kejadian kesehatan Ada beberapa studi yang digunakan dalam epidemiologi deskriptif

● Studi Kasus

Bentuk pengamatan terhadap suatu populasi yang besar yang dilakukan dalam kurun waktu tertentu, bisa dilakukan untuk mengamati beberapa variabel sekaligus. Hasil pengamatan ini berupa gambaran karakteristik objek pengamatan atau penelitian secara menyeluruh.

● Survey Bentuk pengamatan yang dilakukan secara terencana dan terorganisir untuk mengumpulkan informasi dari suatu populasi yang di fokuskan pada keadaan tertentu. Survei umumnya dilakukan pada sebagian anggota populasi yang menjadi sampel mewakili populasi secara keseluruhan

(15)

4. Periodontal Chart

Periodontal chart dapat membantu mencatat kondisi periodontal serta temuan lainnya terkait penyakit periodontal yang dapat mempermudah operator dalam memeriksa dan merekam kondisi pasien. Periodontal chart juga dapat digunakan untuk mengevaluasi hasil perawatan dengan membandingkan hasil catatan pada setiap kunjungan perawatan (Yanti, dkk, 2019).

5. Irene’s Donut

Irene’s Donuts merupakan sebuah program yang dibuat berdasarkan penelitian Irene Adyatmaka yang melibatkan 2.800 murid TK dan orang tuanya. Irene’s Donuts merupakan aplikasi simulator karies yang terdiri 20 buah pertanyaan yang ditujukan kepada orang tua tentang pengetahuan, sikap dan praktik dari orang tua itu.

Simulator risiko karies selanjutnya yaitu Irene’s Donuts yang adalah suatu program interaktif dalam bentuk program komputer atau versi manual. Untuk program komputer Irene’s Donuts menggunakan aplikasi simulator karies yang terdiri 20 buah pertanyaan yang ditujukan kepada orang tua tentang pengetahuan, sikap dan praktik dari orang tua itu. Dengan mengisi faktor-faktor risiko terkait dengan perilaku anak, kondisi kesehatan gigi anak, kondisi/lingkungan ibu dan anak, pengetahuan, sikap dan praktik ibu (orang tua anak), maka program akan menampilkan gambaran besar risiko anak terhadap kemungkinan karies.

Program ini dimaksud untuk menyadarkan orang tua atau anak tentang faktor risiko sehingga memberikan pemahaman tentang faktor-faktor risiko karies sejak dini, memberikan pemahaman tentang cara mencegah karies, memberikan gambar visual besar risiko karies serta memberdayakan orang tua anak (masyarakat sekolah) dalam pemeliharaan kesehatan gigi anak. Program ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kerusakan gigi pada anak yang mungkin muncul dikarenakan perilaku anak dan perilaku orang tua dari anak tersebut.

Referensi:

● Bennet, C. J., & Rich, S. H. (2002). Oral health and disease: Assessment and preventive measures. Journal of Dental Research, 81(12), 818-824.

(16)

● Chaffee, B. W., & Weston, P. R. (2015). Oral hygiene and its relationship to periodontal disease. American Journal of Public Health, 105(10), 2125-2130.

● Kowalski, C. J., & Behnke, L. (2018). Periodontal risk assessment and the role of the dentist in managing oral health. Journal of the American Dental Association, 149(11), 943-952.

● Bebe, A.Z. 2018. Faktor Risiko Kejadian Karies Gigi Pada Orang Dewasa Usia 20-39 Tahun Di Kelurahan Dadapsari, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 6(1): 365-374

● Bird, D.L., Robinson, D.S., 2012. Modern Dental Assisting, 10Ed. ST. Louis:

Elsevier Saunders

● Muntu LFJ, Wowor VNS, Khoman JA. Pengaruh penggunaan metode Irene’s Donut terhadap penurunan skor risiko karies pada anak. e-GiGi. 2021;9(1).

6. Traffic Light Matrix

1. TLM (Traffic Light Matrix)

Traffic Light- Matrix (TL-M) merupakan salah satu tabel model pemeriksaan faktor risiko karies. Fungsi utamanya adalah sebagai peringatan kepada klinisi tentang adanya lingkungan yang kondusif bagi karies, sehingga adanya satu atau lebih faktor risiko ini dapat dipertimbangkan dalam menentukan diagnosis dan rencana perawatan.

Variabel- variabel yang digunakan dalam penilaian resiko karies gigi di Traffic Light Matrix (TL-M) terdiri dari saliva, plak, diet, penggunaan fluoride, dan faktor lain yang semua itu tidak terlepas dari peran aktif pasien.

Model Traffic Light Matrix (TLM) memiliki 19 kriteria yang terdapat dalam 5 kategori. Kategori tersebut yaitu saliva, biofilm oral, diet, fluor, dan faktor modifikasi. Warna merah menunjukkan bahwa pasien memiliki risiko karies yang tinggi, warna kuning menunjukkan pasien memiliki risiko karies sedang dan warna hijau menunjukkan bahwa risiko karies rendah

(17)

a. Kategori saliva

Pengukuran saliva Pemeriksaan dilakukan dengan 2 tahapan yaitu stimulasi dan tidak distimulasi. Pengukuran yang dilakukan adalah berupa pengukuran hidrasi saliva, viskositas, serta laju aliran saliva

Kemampuan kelenjar ludah minor memproduksi saliva (hydration) Cara pemeriksaan:

• Pasien duduk tegak

• Bibir bawah pasien ditarik ke arah luar dan dikeringkan dengan kasa

• Waktu yang dibutuhkan saliva untuk keluar dari duktus kelenjar saliva minor dicatat

• Petunjuk interpretasi hasil tes hidrasi pada pemeriksaan saliva dengan menggunakan Saliva Check Buffer Kit

Waktu yang dibutuhkan bagi titik titik saliva untuk muncul mengindikasikan keadaan kelenjar saliva minor:

Merah : jika produksi saliva > 60 detik.

- Merah : Dehidrasi parah, Kerusakan kelenjar saliva karena radioterapi atau karena proses patologis ,Ketidakseimbangan hormonal, Efek samping obat . Kuning : jika produksi saliva 30-60 detik.

- Kuning : Dehidrasi ,Efek samping obat Hijau : jika produksi saliva < 30 detik.

- Hijau: Normal

Pengukuran viskositas saliva Cara kerja: - - Pasien duduk tegak

- Pasien diminta untuk berhenti menelan saliva selama 30 detik - Kepala pasien dimiringkan ke depan

(18)

- Pasien diminta untuk membuka mulut dan keadaan saliva dicatat - Pasien diminta untuk menyentuhkan ujung lidah ke daerah palatum - Keadaan mukosa dan saliva pada dasar mulut dicatat

- Web test dilakukan dan hasil dicatat

Saliva yang telah dikumpulkan pada gelas kumur lalu di miringkan untuk melihat aliran saliva. Adapun penilaian untuk konsistensi saliva normal, yaitu :

● Merah: konsistensi lengket berbusa, berwarna putih, kental

● Kuning: konsistensi saliva putih, berbusa, sedikit kental, jika dialirkan pergerakannya sedikit

● Hijau: konsistensi saliva bening tidak berbusa dan cair

Pengukuran laju aliran saliva Stimulasi : Mengunyah malam (wax) Non Stimulasi :mengumpulkan saliva di dalam mulut selama 5menit lalu diludahkan ke dalam gelas aqua dan kemudian saliva diambil menggunakan spuit injection Komposisi air liur yang dirangsang tergantung pada laju aliran dan itu merupakan produksi gabungan dari kedua kelenjar mayor dan minor. Rata -rata laju alir adalah 1.6 ml/menit.

Adapun penilaian untuk aliran saliva stimulated, yaitu :

• Merah : setelah 5 menit < 3,5ml

• Kuning : setelah 5 menit 3,5 – 5ml

• Hijau : setelah 5 menit > 5ml

Melakukan pengukuran pH saliva Cara kerja: - Pasien diminta untuk meludah ke dalam kontainer plastik - Strip pH dicelupkan ke dalam saliva yang telah terkumpul - Setelah 10 detik, pH diukur berdasarkan aturan pabrik pH unstimulated saliva merupakan indikator umum keadaan asam rongga mulut.

Umumnya, pH kritis hidroksi apatit adalah 5,5, sehingga semakin dekat pH unstimulated dengan pH kritis, maka semakin besar resiko demineralisasi. Adapun penilaian untuk pH saliva, yaitu :

(19)

• Merah : pH < 5,8

• Kuning : pH 5,8 – 6,8

• Hijau : pH > 6,8 Kapasitas buffer saliva Cara kerja:

- Sampel yang digunakan adalah saliva yang dikumpulkan pada tes kuantitas saliva

- Masing-masing strip test ditetesi oleh saliva

- Kelebihan saliva dibuang dengan memiringkan strip sebesar 90 derajat untuk memastikan volume konstan

Setelah 5 menit, warna pada strip test dibandingkan dengan panduan dari pabrik Masing-masing warna memiliki skor berdasarkan instruksi pabrik. Seluruh skor dijumlahkan dan diinterpretasikan sesuai:

Kategori plak

Pada ketegori pemeriksaan plak ada 3 komponen yang diperiksa yaitu : 1) Pengukuran pH plak

2) Pemeriksaan aktivitas/kematangan plak 3) Jumlah bakteri S. Mutans

Pengukuran pH plak

pH plak diukur dengan cara mengambil plak menggunakan dental floss lalu celupkan plak pada pH plak indikator selama 5 menit kemudian dicocokkan dengan indikator warna plak pada pH plak indikator. Adapun penilaian untuk pengukuran pH plak, yaitu :

• Merah : kurang dari 5,5

• Kuning : antara 6,9 dan 5,5

(20)

• Hijau : di atas 7

Pemeriksaan aktivitas/kematangan plak

Pemeriksaan plak dilakukan dengan mengaplikasikan Triplaque Idgel pada permukaan gigi. Pasien diinstruksikan untuk berkumur satu kali dan dilihat perubahan warna yang terjadi. Adapun penilaian aktifitas/kematangan plak sebagai berikut :

• Hijau : Plak dengan warna merah muda (pink) menandakan plak masih muda, dan tidak terlalu bersifat asam

• Kuning : Plak warna biru tua menandakan bahwa plak sudah agak lama

• Merah : Plak dengan warna biru muda memiliki tingkat keasaman yang tinggi serta plak sudah matang.

Melakukan wawancara dengan subjek terkait diet Konsumsi makanan yang bersifat manis dan asam dalam sehari seperti permen, minuman bersoda, dan lainnya. Jumlah gula yang dikonsumsi setiap hari. Adapun penilaian untuk diet, yaitu :

• Merah : gula > 2, asam > 3

• Kuning : gula > 1, asam > 2

• Hijau : gula tidak, asam < 2

Melakukan wawancara dengan subjek terkait penggunaan fluoride Seperti penggunaan pasta gigi dan perawatan fluor secara rutin di dokter gigi. Adapun penilaian untuk fluor, yaitu :

• Merah : pasta gigi dan air minum tidak mengandung fluor

• Kuning : pasta gigi atau air minum mengandung fluor

• Hijau : pasta gigi dan air minum mengandung fluoride

Melakukan wawancara dengan subjek terkait faktor lain yang mampu mempengaruhi terjadinya karies gigi

• Pertanyaan-pertanyaan yang biasanya diajukan berkaitan dengan faktor modifikasi adalah :

(21)

1. Konsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan laju aliran saliva 2. Penyakit yang dapat mengakibatkan mulut kering

3. Pasien menggunakan protesa lepasan (termasuk alat ortodontik) 4. Kerjasama pasien buruk

5. Pasien memiliki karies aktif baru-baru ini.

Adapun penilaian untuk faktor modifikasi, yaitu :

• Merah : YA untuk salah satu pertanyaan di atas.

• Kuning : tidak diterapkan.

• Hijau : TIDAK untuk semua pertanyaan di atas.

- Setelah data terkumpul, data tiap variabel disesuaikan dengan tingkat resikonya pervariabel pada bagian kesimpulan. Kemudian menentukan tingkatan resiko karies gigi pada tiap individu berdasarkan pada yang paling beresiko atau yang paling parah kondisinya dan dengan begitu didapatkan sebuah kesimpulan mengenai resiko karies gigi seseorang.

- Rekomendasi untuk pasien dengan tingkat karies tinggi :

• Peningkatan teknik menggosok gigi untuk kebersihan mulut

• Meningkatkan pH

• Peningkatan asupan kalsium dan fosfat

• Penggunaan flouride

• Penggunaan bahan antibakteri

• Menurunkan frekuensi konsumsi karbohidrat terfermentasi

- Rekomendasi untuk pengguna ortodontik cekat dengan resiko tingkat karies tinggi :

- Menjaga oral hygiene

(22)

- Berkumur dengan Chlorhexidine - Penggunaan fluoride

- Penggunaan CPP-ACP Casein Phosphopeptides Amorphous Calcium Phosphate (CPP-ACP)

4. Mahasiswa mampu mengetahui faktor resiko karies, periodontal, kanker dan penyakit mulut lainnya.

Faktor resiko karies pada anak anak

Karies gigi adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri kariogenik, seperti Streptococcus mutans, yang memfermentasi karbohidrat menjadi asam. Asam tersebut merusak struktur gigi, yang berujung pada pembentukan lubang pada gigi. Jika tidak segera ditangani, karies dapat menyebabkan rasa sakit, infeksi, dan komplikasi serius lainnya, bahkan berisiko mengancam jiwa.

Ada beberapa faktor risiko penyebab karies pada anak-anak, diantaranya yaitu : 1. Pemberian susu kepada anak-anak

Hubungan antara pemberian susu menggunakan botol sebelum tidur dengan karies gigi pada anak prasekolah dan anak-anak yang rutin diberikan susu menggunakan botol sebelum tidur mempertinggi risiko sebesar 1,6 kali terjadinya karies gigi daripada anak-anak yang tidak rutin diberikan susu menggunakan botol sebelum tidur. Sebuah tinjauan menyimpulkan bahwa pemberian susu botol sebelum tidur merupakan faktor risiko kejadian Early Childhood Caries (ECC) yang signifikan. Hal ini berkaitan dengan laktosa dan sukrosa dalam sisa susu yang tergenang dalam mulut sepanjang malam akan mengalami proses hidrolisis oleh bakteri plak menjadi asam. Konsumsi susu formula saat sebelum tidur tanpa arahan anak menyikat gigi sebelum tidur atau sesudah minum susu maka sisa dari susu tersebut lengket di permukaan gigi dan menyebabkan karies.

Hal ini juga berlaku pada pemberian ASI dimana bayi yang menyusui sepanjang malam akan mengalami peningkatan risiko karies. Melekatnya puting susu ibu sepanjang malam hari di mulut bayi akan menyebabkan ASI stagnasi lama pada permukaan gigi.

Stagnasi lama yang diikuti oleh penurunan aliran saliva dan berkurangnya aktivitas penelanan

(23)

memungkinkan bakteri-bakteri melakukan fermentasi terhadap laktosa. Sehubungan dengan penurunan aliran saliva yang berfungsi sebagai buffer maka akan banyak asam yang terbentuk yang nantinya dapat menyebabkan demineralisasi pada email yang merupakan proses awal terjadinya karies.

2. Konsumsi makanan kariogenik

Anak prasekolah dan anak-anak yang selalu dan sering mengkonsumsi makanan kariogenik seperti permen, coklat, dan makanan manis lainnya mempertinggi risiko sebesar 37,8 kali terjadinya karies gigi daripada anak-anak yang jarang serta tidak pernah mengkonsumsi makanan kariogenik seperti permen, coklat, dan makanan

manis lainnya. Sukrosa merupakan makanan kariogenik utama dan paling umum digunakan.

Sukrosa mengubah makanan non kariogenik dan antikariogenik menjadi kariogenik.

Beberapa jenis gula lain yang terlibat dalam kariogenesis adalah glukosa dan fruktosa yang diperoleh dari madu dan buah-buahan.

Konsumsi makanan yang mengandung banyak karbohidrat juga menjadi faktor risiko, dimana asam akan diproduksi oleh beberapa bakteri penyebab karies di rongga mulut, sehingga terjadi demineralisasi yang berlangsung selama 20-30 menit setelah makan. Di antara periode makan, saliva akan menetralisir asam dan membantu remineralisasi. Namun, enamel gigi tidak akan mempunyai kesempatan untuk melakukan remineralisasi dengan sempurna apabila makanan dan minuman berkarbonat terlalu sering dikonsumsi, sehingga terjadi karies.

3. Jumlah bakteri dan saliva pada rongga mulut anak

Bayi yang memiliki jumlah Streptococcus mutans yang banyak, maka pada usia 2-3 tahun, risiko karies akan lebih tinggi pada gigi susunya. Walaupun lactobacillus bukan merupakan penyebab utama karies, tetapi pada orang yang mengonsumsi karbohidrat yang banyak, bakteri ini ditemukan meningkat.

Selain itu, Pada anak-anak umumnya aliran saliva akan terus meningkat sampai anak tersebut berusia 10 tahun, namun hanya terjadi peningkatan yang sedikit setelah dewasa. Hal ini dapat meningkatkan Aktivitas karies secara signifikan pada individu yang fungsi salivanya berkurang. Selain itu, pH dari saliva juga mempengaruhi dimana anak-anak dengan pH saliva asam akan mempunyai risiko 6,2 kali lebih besar untuk menderita karies daripada anak-anak dengan pH saliva basa.

(24)

Saliva berfungsi sebagai buffer alami yang membantu menetralisir asam di mulut dan mengurangi potensi kerusakan pada enamel. Pada anak-anak yang memiliki penurunan aliran saliva atau yang kurang menjaga kebersihan mulut, bakteri seperti Streptococcus mutans dapat berkembang biak lebih cepat dan memicu karies.

4. Perilaku menyikat gigi anak serta peran orang tua

Anak-anak yang baru memulai menyikat gigi diatas usia 2 tahun mempertinggi risiko terjadinya karies gigi sebesar 1,64 kali daripada anak yang menyikat gigi di usia 1-2 tahun.

Padahal, masa pertumbuhan gigi susu adalah masa dimana anak-anak menyukai makanan manis seperti permen, sehingga pada masa ini karies gigi dapat terjadi. Anak usia prasekolah juga mengalami perkembangan motorik halus memungkinkan anak mampu menggunakan sikat gigi dua kali sehari.

Menurut penelitian terdahulu, menyebutkan bahwa sikat gigi harus menjadi bagian proses belajar anak, sebagaimana anak dibiasakan untuk mandi, berpakaian bersih dan mencuci tangan sebelum makan. Hal ini yang menyebabkan perlunya orang tua mengajarkan pembersihan rongga mulut khususnya sikat gigi sejak anak berusia dini. Penyikatan gigi sendiri dilakukan saat gigi pertama tumbuh di rongga mulut anak, akan tetapi membiasakan anak dibersihkan rongga mulutnya sudah dilakukan sejak anak lahir.

Dimana ada beberapa tahapan yang dapat membantu anak terbiasa untuk membersihkan rongga mulut adalah pembersihan gusi sebelum ada tanda-tanda gigi tumbuh, pembersihan bukging (gusi yang menonjol) sebagai tanda akan munculnya gigi dan pembersihan setelah gigi tumbuh di rongga mulut. Tahapan ini penting agar anak terbiasa untuk dibersihkan rongga mulutnya dan mengurangi sensitivitas anak (seperti mudah muntah) atas hadirnya sikat gigi di dalam mulut. Hal ini nantinya akan membantu terjaganya kesehatan gigi dan mulut pada usia lanjut, karena semakin bertambahnya umur, maka prevalensi karies semakin meningkat. Dan Gigi yang paling akhir erupsi cenderung lebih rentan terhadap karies.

Frekuensi menyikat gigi juga menjadi faktor risiko terjadinya karies, dimana anak-anak yang jarang menyikat gigi akan memiliki kemungkinan 6,5 kali lebih besar terkena karies dibandingkan anak yang menyikat gigi lebih sering.

Pasta gigi yang digunakan juga menjadi hal penting, dimana pasta yang digunakan harus mengandung fluoride. Karena fluoride dapat menghambat demineralisasi, meningkatkan remineralisasi dengan cara mempercepat pertumbuhan kristal fluorapatit pada kristal sub-permukaan yang sebagian mengalami demineralisasi pada lesi karies dan menghambat bateri plak.

(25)

5. Kunjungan ke dokter gigi secara berkala

Pada anak prasekolah dan anak-anak yang tidak pernah berkunjung ke dokter gigi atau fasilitas pelayanan kesehatan gigi mempertinggi risiko sebesar 11 kali lebih besar terjadinya karies gigi daripada anak-anak yang berkunjung ke dokter gigi. Saat ini, sebagian besar anak-anak usia 5 tahun masih banyak yang belum melakukan pemeriksaan pertamanya ke dokter gigi. Orang tua seharusnya mendorong dan membawa anak mereka untuk check up kesehatan gigi segera mungkin setelah anak memiliki gigi, yaitu pada usia 6 bulan. Hal ini dimaksudkan agar anak terbiasa dengan perawatan gigi dan memungkinkan seorang dokter lebih cepat mengidentifikasi karies pada gigi.

6. Plak pada rongga mulut anak

Plak gigi merupakan faktor risiko utama dalam terjadinya karies gigi. Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dengan indeks plak gigi yang tinggi memiliki risiko 3,3 kali lebih besar untuk mengalami karies gigi yang parah dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki indeks plak rendah. Akumulasi plak menciptakan lingkungan yang ideal bagi bakteri kariogenik untuk berkembang biak, yang kemudian menghasilkan asam sebagai produk sampingan dari metabolisme makanan, terutama gula.

Faktor resiko penyakit periodontal

Penyakit periodontal merupakan salah satu penyakit gigi dan mulut yang banyak dijumpai di masyarakat khususnya di Indonesia. Penyakit periodontal yang banyak dijumpai adalah peradangan gusi atau gingivitis dan periodontitis. (Carranza 2006, 2012). Penyakit periodontal berbeda dengan karies gigi, pada penyakit periodontal ini sifatnya lebih kronis dan tidak menimbulkan rasa sakit hebat. Bahkan pada kondisi dini, tidak ada keluhan rasa sakit. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri plak yang diawali dengan gingivitis atau peradangan gusi. Faktor risiko secara biologis terkait dengan terjadinya penyakit, tetapi tidak selalu menyiratkan sebab dan akibat, yaitu hanya karena pasien memiliki faktor risiko tidak berarti bahwa mereka pasti akan mengembangkan penyakit tersebut. Sama halnya, tidak adanya faktor risiko tidak berarti bahwa penyakit tidak akan berkembang. Bukti dalam literatur menunjukkan hubungan langsung dan signifikan antara beberapa faktor risiko dan penyakit periodontal.

1. Umur

(26)

Seiring bertambahnya usia, risiko mereka untuk mengembangkan penyakit periodontal meningkat. Lebih dari setengah populasi orang dewasa menderita gingivitis, bentuk penyakit periodontal yang tidak terlalu parah di sekitar tiga hingga empat gigi, dan hampir 30% memiliki penyakit periodontal yang signifikan. Dalam sebuah penelitian terhadap orang berusia di atas 70 tahun, 86% memiliki setidaknya periodontitis sedang atau bentuk penyakit periodontal yang parah, dan lebih dari seperempat dari 86% ini telah kehilangan gigi mereka. Studi ini juga menunjukkan bahwa penyakit ini menyumbang sebagian besar pencabutan gigi pada pasien yang berusia di atas 35 tahun.

2. Penggunaan tembakau

Banyak data telah menetapkan hubungan antara jumlah dan durasi merokok dan tingkat keparahan patologi periodontal. Mekanisme lokal dan sistemik memediasi dampak negatif penggunaan tembakau pada kesehatan mulut. Panas dari asap dapat meningkatkan kehilangan perlekatan, dan peningkatan endapan kalkulus yang sering dihasilkan dari merokok dapat meningkatkan retensi plak. Nikotin dapat mengurangi sintesis kolagen dan sekresi protein serta menghambat pembentukan tulang. Temuan ini mengakibatkan gangguan penyembuhan luka serta peningkatan kerentanan terhadap penyakit periodontal, yang dapat membatasi keberhasilan intervensi pengobatan. Merokok juga menghambat fungsi imunologis dan berdampak negatif pada kadar imunoglobulin, yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap patogen mikroba yang khas dan tidak biasa.

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa nikotin yang ditemukan dalam produk tembakau memicu kelebihan produksi sitokin dalam tubuh karena penurunan kadar oksigen.

Sitokin adalah bahan kimia pensinyalan yang terlibat dalam proses peradangan periodontal.

Ketika nikotin bergabung dengan bakteri mulut, seperti P. gingivalis, itu menghasilkan tingkat sitokin yang lebih tinggi, yang menyebabkan kerusakan jaringan pendukung gigi.

Studi menunjukkan bahwa perokok 11 kali lebih mungkin daripada non-perokok untuk menampung bakteri yang menyebabkan penyakit periodontal dan empat kali lebih mungkin memiliki periodontitis lanjut. Dalam sebuah penelitian, lebih dari 40% perokok telah kehilangan gigi mereka pada akhir hidup mereka. Risiko penyakit periodontal meningkat dengan jumlah rokok yang dihisap per hari

3. Diabetes Mellitus

Diabetes telah dikaitkan dengan sejumlah komplikasi mulut, termasuk gingivitis dan periodontitis, karies gigi, disfungsi kelenjar ludah dan xerostomia, sindrom mulut terbakar

(27)

dan peningkatan kerentanan terhadap infeksi mulut. Yang menjadi perhatian khusus adalah pasien dengan diabetes yang berisiko tinggi terkena periodontitis. Pada pasien ini, respons inang mungkin terganggu, penyembuhan luka tertunda dan aktivitas kolagen olitik dapat ditingkatkan. Akibatnya, periodontitis mungkin menjadi masalah khusus pada pasien diabetes, terutama pada mereka yang memiliki penyakit yang tidak terkontrol. Diabetes juga dapat berkontribusi pada patogenesis periodontitis melalui kompromi vaskuler terkait, defisit dalam kekebalan yang dimediasi sel dan adanya kandungan glukosa yang tinggi dalam darah, yang meningkatkan pertumbuhan bakteri. Selain itu, karakteristik peradangan aktif periodontitis menghasilkan senyawa yang dapat meningkatkan resistensi insulin. Oleh karena itu, pengendalian penyakit periodontal dapat membantu pasien meningkatkan kontrol metabolisme. Obesitas, yang umum terjadi pada diabetes tipe 2, juga dapat menyebabkan seseorang rentan terhadap penyakit periodontal.

4. Stress

Sebuah studi baru-baru ini menunjukkan bahwa orang di bawah tekanan fisik atau psikologis rentan terhadap peningkatan kadar plak biofilm dan peningkatan radang gusi.

Tampaknya juga bahwa tingkat stres keuangan yang tinggi dan kemampuan koping yang buruk meningkatkan kemungkinan terkena penyakit periodontal dua kali lipat. Selain itu, kemungkinan penyakit sistemik yang terkait dengan penyakit periodontal seperti diabetes, penyakit kardiovaskular, persalinan prematur dan osteoporosis dapat berbagi stres psikososial sebagai faktor risiko umum. Stres memiliki efek pada respon imun dan kerentanan terhadap infeksi. Sel inang (host), T limfosit dan makrofag merupakan sel-sel yang penting dalam pengaturan proses imun-inflamasi. Respon psikologis terhadap pemicu stres dapat mengubah sistem imun melalui sistem neural dan endokrin. Oleh karena itu faktor ini dapat menyebabkan infeksi pada jaringan periodontal menjadi lebih parah.

5. Penyakit kardiovaskular

Penyakit kardiovaskular mempengaruhi orang dewasa, dan ada bukti yang menghubungkan periodontitis dan penyakit kardiovaskular. Protein C-reaktif adalah penanda sistemik untuk peradangan. Kadar plasma penanda ini memprediksi infark miokard dan stroke di masa depan. Pasien dengan periodontitis telah menunjukkan peningkatan kadar protein C-reaktif. Beberapa peneliti telah menyarankan bahwa beban inflamasi kronis periodontitis dapat berkontribusi pada penyakit kardiovaskular.

(28)

6. Kebersihan mulut yang buruk

Kurangnya kebersihan mulut mendorong penumpukan bakteri dan pembentukan plak biofilm, dan juga dapat meningkatkan spesies bakteri patogen tertentu yang terkait dengan bentuk penyakit periodontal yang lebih parah.

Faktor resiko kanker mulut

Kanker rongga mulut merupakan salah satu kanker terbanyak yang terjadi di dunia dan tercatat menempati urutan keenam pada kategori kanker yang paling sering terjadi serta kanker yang paling banyak menyebabkan kematian. Kanker rongga mulut merupakan suatu pertumbuhan sel kanker pada rongga mulut yang meliputi bibir dan mukosa bibir, lidah, palatum, gingiva, dasar mulut, dan mukosa pipi.

Kanker mulut dapat tumbuh dan berkembang di setiap lokasi rongga mulut maupun area faring. Hampir semua kanker mulut (90%) berasal dari sel epitel yang menutup permukaan mulut, lidah, dan bibir. Kanker ini sering disebut karsinoma sel skuamosa. Sel kanker mulut dapat menyebar atau bermetastasis melalui dua jalur, yaitu jalur sistem limfatik (limfogen) dan sistem pembuluh darah (hematogen).

Apabila kanker masih berdiameter cm dapat diobati dengan mudah, namun kebanyakan kanker ini belum terdiagnosis sampai kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening di leher dan rahang. Oleh karena itu, apabila kanker ini terlambat ditemukan maka 25%

penyakit kanker mulut bersifat fatal.

Berikut adalah faktor resiko penyebab kanker mulut : 1. Merokok

Mengisap rokok, cerutu, rokok pipa (cangklong), atau mengunyah tembakau dapat meningkatkan untuk terkena kanker mulut antara 50 - 85%. Selain pada orang yang aktif merokok, risiko terkena kanker mulut ini juga bisa dialami oleh perokok pasif. Dalam asap rokok mengandung lebih dari 7000 jenis bahan kimia yang mana setidaknya terdapat 250 jenis zat berbahaya, dengan lebih dari 69 jenis merupakan zat pemicu kanker. Sebagian besar kandungan zat tersebut berasal dari bahan utama rokok, yaitu tembakau.

Tembakau sendiri merupakan salah satu penyebab paling umum masalah gusi pada orang dewasa, sedangkan kebiasaan merokok dapat menyebabkan masalah gusi berkembang menjadi penyakit yang lebih serius. Tidak hanya dalam bentuk rokok, mengunyah tembakau secara langsung dan membiarkannya di mulut dalam waktu lama juga dapat meningkatkan

(29)

risiko kanker mulut. Di dalam tembakau terkandung senyawa tobacco specific nitrosamines (TSNAs), dikenal sebagai karsinogen yang memiliki peran besar dalam munculnya keganasan pada kanker rongga mulut. Paparan yang kronis dari karsinogen pada tembakau di mukosa dalam rongga mulut menyebabkan perubahan genetik pada sel epitel. Akumulasi perubahan genetic menuntun kepada ketidakstabilan gen, pengembangan lesi pra keganasan, dan pada akhirnya menjadi kanker ganas yang invasif.

Kanker mulut akibat rokok perlu diwaspadai ketika muncul sejumlah gejala, seperti:

rasa nyeri di mulut, sariawan yang tidak kunjung sembuh, bercak merah atau putih di mulut atau tenggorokan, gangguan berbicara, kesulitan menelan, penurunan berat badan tanpa alasan yang jelas, benjolan di leher atau mulut, penebalan bibir, kesulitan menggerakkan rahang, kehilangan gigi tanpa alasan yang jelas, perdarahan atau mati rasa yang tidak biasa di mulut.

2. Sering Mengonsumsi Minuman Beralkohol

Orang yang sering minum alkohol dapat mengalami peningkatan risiko untuk terkena kanker mulut dan kanker tenggorokan hingga enam kali lipat jika dibandingkan orang yang menjalani gaya hidup sehat.

Ethanol dengan air dan gula merupakan bahan Utama dari minuman-minuman yang mengandung alkohol. Dalam minuman-minuman beralkohol juga dapat mengandung karsinogen tertentu, seperti N-nitrosodiethylamine dan polycyclic aromatic hydrocarbons.

Ethanol itu sendiri tidak memberikan efek langsung sebagai karsinogen, melainkan oksidasinya menjadi acetaldehyde (sebuah karsinogen) oleh enzim alcohol dehydrogenase (ADH). Peningkatan risiko kanker rongga mulut pada dosis konsumsi alkohol yang rendah memiliki risiko relatif (RR) hanya sebesar 1,29 untuk 10g alkohol per hari. RR ini pun akan meningkat mengikuti peningkatan jumlah asupan alkoholnya, sehingga diperkirakan RR 3,24 untuk 50g per hari, RR 8,61 untuk 100g per hari dan RR 13,01 untuk 125g alkohol per hari.

Merokok meningkatkan beban acetaldehyde yang disebabkan oleh konsumsi alkohol dan alkohol sendiri menambah aktivasi dari pro-karsinogen yang terdapat pada tembakau.

Peminum alkohol dan perokok berat memiliki risiko kanker rongga mulut 38 kali lebih tinggi daripada orang yang tidak minum minuman beralkohol dan merokok.

3. Sering Terpapar Sinar Matahari

Paparan sinar matahari atau radiasi sinar ultraviolet (UV) yang berlebihan diduga bisa menjadi penyebab kanker mulut di daerah bibir. Paparan sinar matahari dengan intensitas dan

(30)

frekuensi yang tinggi dapat memicu timbulnya perubahan sel pada rongga mulut yang dapat mengarah pada terbentuknya kanker mulut .

Pada sinar matahari tersebut juga terdapat radiasi dari sinar ultraviolet. Sinar ultraviolet dapat menembus lapisan kulit luar dan masuk ke dalam lapisan kulit yang lebih dalam lagi, sehingga dapat menyebabkan kerusakan DNA pada sel-sel kulit dan bibir.

Kerusakan DNA yang terlalu parah dapat menyebabkan perubahan sifat sel dan proses apoptosis menjadi terganggu, salah satunya adalah kegagalan aktivasi caspase 3 yang merupakan kunci utama dari dari apoptosis. Kegagalan apoptosis menyebabkan sel berubah sifat dan menjadi kanker. Resiko ini dapat diperkecil dengan menggunakan bahan yang mengandung tabir surya, topi, atau masker yang menutupi daerah bibir dan mulut.

4. TerinfeksiHuman Papiloma Virus(HPV)

HPV jenis tertentu, terutama Virus HPV tipe 16, dapat menyebabkan pertumbuhan jaringan yang tidak normal di dalam mulut. Human Papiloma Virus tipe risiko tinggi diketahui dapat berperan dalam karsinogenesis kanker rongga mulut. Faktor risiko nonseksual maupun seksual dapat meningkatkan prevalensi HPV risiko tinggi di rongga mulut. Masih menjadi pertanyaan apakah merokok merupakan salah satu faktor risiko yang dapat meningkatkan prevalensi HPV risiko tinggi, karena beberapa studi memperlihatkan hasil yang belum konklusif. Prevalensi DNA HPV 18 pada subjek perokok adalah 1,08% dan tidak ada DNA HPV yang ditemukan pada subjek bukan perokok. Riwayat pembedahan mulut, seks di usia dini dan memiliki banyak pasangan seksual merupakan beberapa faktor risiko yang ditemukan dan berhubungan dengan kebiasaan merokok.

5. Kurang Menjaga Kebersihan Mulut

Kesehatan gigi dan mulut yang kurang terjaga turut berperan dalam menyebabkan terjadinya kanker mulut. Hal ini diduga berkaitan dengan luka dan peradangan kronis pada mulut akibat kurang terjaganya kebersihan mulut, sehingga sel-sel di dalam rongga mulut mengalami kerusakan.

Malas menyikat gigi, jarang melakukan pemeriksaan ke dokter gigi, menggunakan gigi palsu, serta riwayat penyakit radang gusi juga bisa menjadi pemicu kanker mulut.

Disarankan untuk melakukan pemeriksaan gigi secara teratur sebagai alat skrining untuk deteksi dini kanker kepala dan leher. Dalam menjaga kesehatan gigi dan mulut, perlu memperhatikan : penyikatan atau brushing, pembersihan dengan benang atau flossing, dan kumur atau rinsing.

(31)

6. Memiliki Pola Makan yang Kurang Baik

Ada penelitian yang mengungkapkan bahwa pola makan yang tidak sehat, seperti jarang mengkonsumsi buah dan sayur, diduga dapat meningkatkan risiko terkena kanker mulut. Risiko ini dapat dikurangi dengan menerapkan pola makan sehat bergizi seimbang. 47 Selain alkohol, beberapa jenis makanan yang dapat meningkatkan risiko kanker mulut, seperti :

a. Buah Pinang/Menyirih

Buah ini memiliki efek karsinogenik yang artinya dapat meningkatkan risiko kanker mulut pada penggunanya. Risiko ini akan semakin besar jika buah pinang dikonsumsi bersama dengan tembakau. Walaupun kebiasaan menyirih dewasa ini sudah mulai ditinggalkan, namun mengunyah sirih merupakan faktor penyebab yang paling penting dalam fibrosis submukosa oral. Kebiasaan mengunyah sirih akan memproduksi spesies oksigen reaktif (Reactive Oxygen Species/ROS), yang memberikan efek kerusakan berlipat ganda pada mukosa oral. ROS dapat terlibat pada proses inisiasi tumor, dengan cara meningkatkan genotoksisitas dan mutasi gen.

b. Makanan dengan Pemanis Buatan

Sebaiknya hindari mengkonsumsi makanan dengan tambahan pemanis buatan atau gula. Membatasi pengkonsumsian makanan dengan pemanis buatan atau gula membuat sel kanker tidak dapat berkembang dengan cepat.

c. Makanan yang Dibakar

Mengolah daging dengan cara dibakar atau dimasak terlalu lama dapat memicu produksi karsinogen yang meningkatkan risiko penyakit kanker. Konsumsi air putih yang cukup merupakan salah satu cara menjaga kesehatan mulut, selain memperbanyak konsumsi buah dan sayur dan meningkatkan imunitas tubuh.

7. Menderita Penyakit Tertentu

Beberapa kondisi, seperti leukoplakia, erythroplakia (munculnya bercak merah di dalam rongga mulut), dan tumor kelenjar air liur, diduga dapat meningkatkan risiko kanker mulut. Selain itu, infeksi HIV/AIDS dan Virus Epstein-Barr (EBV) juga dapat menyebabkan sel-sel di dalam mulut mengalami perubahan sifat menjadi sel ganas.

Infeksi Herpes Virus, dan penyakit mutasi genetik bawaan tertentu, seperti anemia Fanconi, atau diskeratosis kongenital, juga meningkatkan risiko kanker rongga mulut.

(32)

Faktor resiko pada penyakit mulut lainnya.

1. Herpes Simpleks Virus (HSV) adalah infeksi virus yang terjadi pada sudut bibir atau mulut. HSV ditularkan melalui kontak personal erat. Infeksi terjadi melalui inokulasi virus ke permukaan mukosa yang rentan (misalnya orofaring, serviks, konjungtiva) atau melalui pori-pori kulit. HSV-1 ditularkan terutama melalui kontak dengan saliva terinfeksi. Berikut merupakan faktor resiko dari penyakit HSV, khususnya HSV-1:

a. HSV-1 dapat menular melalui kontak langsung sederhana dari penderita herpes ke orang yang sehat. Contohnya adalah lewat berciuman (termasuk saat mencium bayi), berbagi pakai peralatan makan atau lipstik dan kosmetik.

HSV-1 dapat ditularkan melalui lesi kulit yang umum terlihat, dibandingkan dengan HSV-2 yang biasanya ditularkan melalui kontak genital (Bernstein et al., 2012; Salameh et al., 2012).

b. Imun yang lemah. Sistem imun yang lemah membuat tubuh kurang mampu mencegah virus masuk dan pada orang yang sudah pernah terkena, imun yang lemah dapat membuat celah untuk virus dapat aktif kembali. Seperti pada pasien dengan kondisi immunocompromised seperti pasien kanker, HIV, penerima transplantasi organ, infeksi oleh HSV-1 dapat berakibat fatal, karena memiliki resiko lebih tinggi untuk terkena HSV-1

c. Lingkungan dan sosial-ekonomi, gender, usia. Pada daerah dengan kondisi sosial-ekonomi yang rendah, ditemukan bahwa infeksi terjadi sejak usia balita, dimana sekitar satu per lima anak sudah terdeteksi memiliki antibodi terhadap HSV-1 (Bernstein et al., 2012). Pada negara berkembang, frekuensi infeksi HSV-1, diperoleh lebih banyak pada usia dewasa (Sukik et al., 2019).

Prevalensi infeksi HSV-1 juga dipengaruhi oleh jenis kelamin, dimana infeksi lebih banyak terjadi pada perempuan (Whitley et al., 1998; Durukan et al., 2019). Prevalensi HSV-1 pada anak balita di US: 18%; Afrika: 35%

d. Trauma dan Stress. HSV sendiri memiliki kemampuan biologis berupa neurovirulensi (kemampuan menginvasi dan bereplikasi dalam sistem saraf), latensi (kemampuan membentuk dan mempertahankan infeksi laten pada sel saraf ganglia proksimal sampai ke lokasi infeksi. Infeksi orofasial paling sering melibatkan ganglia trigeminal), dan reaktivasi (kemampuan HSV laten untuk aktif kembali dan bereplikasi di daerah yang dipersarafi oleh ganglia

(33)

tempat pembentukan infeksi latennya). Stres juga dapat menyebabkan masalah kulit seperti pecah-pecah atau luka kecil pada mukosa, yang menjadi pintu masuk virus HSV. Oleh karena itu, stimulus seperti demam, trauma, stres emosional, sinar matahari, menstruasi dapat memicu reaktivasi HSV.

2. Glossitis merupakan penyakit radang pada lidah dimana keadaannya di dalam mulut biasanya ditunjukkan dengan adanya pembengkakan di lidah, jika kasusnya lebih parah mampu memicu penyumbatan pernafasan pada saat lidah membengkak yang sangat parah (Lita, 2016).

Faktor resiko Glossitis adalah sebagai berikut :

a. Nutrisi yang kurang bagus: anemia defisiensi zat besi dapat menyebabkan lidah menjadi bengkak, nyeri, dan pucat karena vitamin B12, zat besi, atau asam folat, sering dikaitkan dengan glositis atrofi atau lidah halus (lidah tanpa papila)

b. Kebiasaan buruk seperti merokok dan mengkonsumsi alkohol dapat meningkatkan risiko dan peradangan pada lidah

c. Kondisi psikologis yang kurang baik seperti stress, gelisah, depresi, trauma:

Trauma fisik pada lidah, seperti luka akibat gigi tajam, kawat gigi, atau tindakan dental, dapat memicu glositis. Kebiasaan menggigit lidah atau konsumsi makanan panas juga menjadi faktor.

3. Xerostomia merupakan kondisi dimana mulut menjadi kering karena penurunan obyektif dalam laju aliran air liur.

Banyak faktor yang dikaitkan dengan xerostomia. Faktor risiko paling umum adalah:

a. Obat-obatan (lebih dari 400 obat berhubungan dengan xerostomia sebagai efek samping); Penggunaan obat-obatan dan usia secara mandiri meningkatkan kemungkinan terjadinya xerostomia sebesar 1,24 kali untuk setiap 10 tahun usia (Penurunan fungsi kelenjar saliva seiring bertambahnya usia).. Penulis yang sama juga melaporkan prevalensi xerostomia hampir empat kali lebih besar pada pasien yang memakai obat (28%), dibandingkan dengan mereka yang tidak memakai obat apapun (7,5%). Telah dilaporkan bahwa tidak hanya jenis obat, tetapi juga jumlah obat yang diminum (polifarmasi, atau penggunaan beberapa obat secara bersamaan) meningkatkan kemungkinan terjadinya xerostomia, yang merupakan ciri umum pada pasien usia lanjut.

(34)

b. Kondisi psikologis, seperti stres dan kecemasan. Stres psikologis merangsang sistem saraf simpatik, yang memicu respons "fight or flight." Respons ini mengurangi aktivitas sistem saraf parasimpatik yang bertanggung jawab atas produksi air liur. Maka, kelenjar air liur menghasilkan lebih sedikit air liur, menyebabkan mulut kering

c. Gangguan kelenjar ludah, seperti sindrom Sjögren yang merupakan penyakit autoimun yang menyerang kelenjar eksokrin, termasuk kelenjar saliva.

Peradangan ini merusak struktur dan fungsi kelenjar air liur, sehingga produksi air liur menurun secara signifikan

d. Radioterapi kepala dan leher. Radioterapi pada area kepala dan leher dapat merusak kelenjar saliva, menyebabkan penurunan produksi air liur.

Kemoterapi dapat memengaruhi produksi saliva sementara melalui efek toksik pada sel kelenjar.

4. Oral Candidiasis merupakan penyakit pada rongga mulut berupa lesi merah dan lesi putih yang disebabkan oleh jamur jenis Kandida sp, dimana Kandida albikan merupakan jenis jamur yang menjadi penyebab. Candida albicans adalah salah satu komponen dari mikroflora oral dan sekitar 30-50% . Terdapat lima tipe spesies kandida yang terdapat di kavitas oral, diantaranya adalah:

1. Candida albicans 2. Candida tropicalis 3. Candida krusei 4. Candida parapsilosis 5. Candida guilliermondi

Dari Kelima tipe tersebut, Candida Albicans adalah yang paling sering terdapat pada kavitas oral. Candida albicans merupakan Jamur yang menyebabkan infeksi opurtunistik pada manusia. Salah satu kemampuan yangdari Candida Albicans adalah kemampuan untuk tumbuh dalam Dua cara, reproduksi dengan tunas, membentuk tunas elipsoid, dan bentuk hifa, yang dapat meningkatkan miselabaru atau bentuk seperti jamur.

(35)

b. Faktor Risiko Penyakit Kandidiasis Oral 1. Faktor sistemik

Penggunaan obat-obatan seperti antibiotik spektrum luas dapat mempengaruhi flora lokal oral sehingga menciptakan lingkungan yang sesuai untuk Jamur Kandida berproliferasi. Penghentian obat-obatan ini akan mengurangi dari infeksi jamur kandida.

2. Kondisi kebersihan mulut yang buruk

kebersihan mulut yang buruk dapat menjadi faktor resiko munculnya kandidiasis oral.

karena dapat mengakibatkan terjadinya penumpukan sisa makanan yang merupakan predisposisi terbentuknya plak, sehingga meningkat prevalensi mikroorganisme Kandida albikan dan menyebabkan terjadinya kandidiasis.

3. Sedang menjalani perawatan kanker (Kemoterapi) 4. Sistem imun yang lemah

5. Xerostomia

Fungsi kelenjar saliva yang terganggu dapat menjadi prediposisi dari kandidiasis lisan. Sekresi ludah menyebabkan lemahnya danmenbersihkan berbagai organisme dari mukosa. Pada Saliva terdapat berbagai Protein-Protein antimikrobial seperti laktoferin, sialoperoksidase, lisosim, dan Antibodi antikandida yang spesifik.

c. Tatalaksana Penyakit kandidiasis oral

Penatalaksanaan Klinis kandidiasis oral yang diberikan adalah antifungal dan antiseptik.

5. Penyakit sariawan atau stomatitis aftosa adalah peradangan yang terjadi pada jaringan lunak di dalam mulut, yang ditandai dengan munculnya lesi atau luka kecil yang nyeri. Sariawan bisa disebabkan oleh berbagai faktor, dan faktor-faktor risiko ini dapat bervariasi berdasarkan individu. Berikut adalah penjelasan tentang faktor risiko yang dapat mempengaruhi seseorang untuk mengalami sariawan:

a. Faktor Genetik

(36)

- Riwayat Keluarga : Ada bukti bahwa faktor genetik dapat berperan dalam kecenderungan seseorang untuk mengembangkan sariawan. Jika ada anggota keluarga yang sering mengalami sariawan, kemungkinan seseorang untuk mengalaminya juga bisa meningkat.

- Predisposisi Genetik : Beberapa penelitian menunjukkan bahwa individu dengan kecenderungan genetik terhadap gangguan autoimun atau peradangan mungkin lebih rentan terhadap sariawan.

b. Faktor Perilaku dan Kebiasaan

- Stres : Stres emosional atau fisik sering kali diidentifikasi sebagai pemicu sariawan. Stres dapat memengaruhi sistem kekebalan tubuh, yang bisa mengarah pada peradangan di mulut.

- Trauma Fisik pada Mulut : Cedera pada jaringan mulut, seperti gigitan pada pipi, penggunaan sikat gigi yang terlalu keras, atau makanan yang kasar bisa memicu terjadinya sariawan. Penggunaan gigi palsu yang tidak pas atau pemakaian kawat gigi juga dapat menyebabkan trauma pada mulut.

- Kebiasaan Merokok : Meskipun merokok sering dikaitkan dengan penurunan risiko sariawan karena sifatnya yang dapat mengurangi kontak langsung antara mulut dengan faktor eksternal, merokok dapat memperburuk kondisi pada beberapa individu yang sudah rentan terhadap penyakit ini.

c. Faktor Kekebalan Tubuh

- Gangguan Autoimun : Individu dengan penyakit autoimun, seperti penyakit celiac, lupus eritematosus sistemik, atau HIV/AIDS, memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami sariawan. Pada gangguan autoimun, sistem kekebalan tubuh menyerang jaringan tubuh sendiri, termasuk mukosa mulut.

- Infeksi Virus dan Bakteri : Infeksi tertentu, seperti infeksi herpes simplex, dapat menyebabkan luka pada mulut yang mirip dengan sariawan. Meskipun herpes simplex biasanya lebih dikenal dengan gejala luka dingin, infeksi ini bisa meningkatkan kemungkinan sariawan.

d. Faktor Nutrisi

- Kekurangan Vitamin dan Mineral : Kekurangan beberapa vitamin dan mineral dapat meningkatkan risiko sariawan. Kekurangan vitamin B12, asam folat, zat

(37)

besi, atau vitamin C telah dikaitkan dengan sariawan. Vitamin ini berperan dalam proses regenerasi sel dan pemeliharaan jaringan mukosa mulut.

- Alergi terhadap Makanan : Beberapa orang mengalami sariawan setelah mengkonsumsi makanan tertentu, seperti coklat, kacang, atau makanan pedas.

Ini dapat menunjukkan adanya reaksi alergi atau intoleransi makanan yang mempengaruhi mukosa mulut.

e. Faktor Hormon

- Perubahan Hormon : Sariawan lebih sering terjadi pada wanita, terutama selama masa menstruasi atau kehamilan. Fluktuasi kadar hormon, terutama peningkatan estrogen dan progesteron, dapat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dan menyebabkan luka di mulut.

- Kondisi Reproduksi : Wanita yang mengonsumsi pil KB atau sedang hamil cenderung lebih rentan terhadap sariawan, kemungkinan karena pengaruh hormon yang memengaruhi kerentanannya terhadap peradangan.

f. Faktor Lingkungan dan Paparan Kimia

- Paparan Alergen atau Iritan : Beberapa bahan kimia dalam pasta gigi (seperti natrium lauril sulfat) atau obat kumur yang mengandung alkohol dapat menyebabkan iritasi pada mulut dan meningkatkan kemungkinan sariawan.

- Cuaca Ekstrem : Perubahan suhu ekstrem, baik panas maupun dingin, serta paparan sinar matahari yang berlebihan dapat meningkatkan risiko seseorang untuk terkena sariawan, meskipun ini lebih jarang.

g. Faktor Psikososial

- Stres Emosional : Stres sering dianggap sebagai pemicu atau faktor yang memperburuk sariawan. Hal ini mungkin karena stres berhubungan dengan penurunan sistem kekebalan tubuh, yang membuat tubuh lebih rentan terhadap peradangan.

Referensi:

(38)

- Eddy, F. N., & Mutiara, H. (2015). Peranan ibu dalam pemeliharaan kesehatan gigi anak dengan status karies anak usia sekolah dasar. Majority, 4(8), 1–6. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

- Milingou M, Konstantinidou E. Oral mucosal lesions and environmental factors: A study on the etiology of recurrent aphthous stomatitis. J Oral Maxillofac Res.

2011;2(3):e16.

- Putri, A. F., & Adnani, H. (2023).Analisis faktor risiko karies gigi anak prasekolah di taman kanak-kanak [Analysis of risk factors for dental caries in kindergarten children]. Health Sciences and Pharmacy Journal, 7(3), 138–145.

https://doi.org/10.32504/hspj.v7i3.908

- Utami, S. (2018). Faktor-faktor yang berhubungan dengan status karies gigi anak usia prasekolah Kabupaten Sleman tahun 2015 [Factors associated with dental caries status among preschool children in Sleman District 2015]. Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan,18(2), 67-70. https://doi.org/10.18196/mm.180218

- Koshi E, Rajesh S, Koshi P, Arunima PR. Penilaian risiko penyakit periodontal. J Periodontol Soc India. 2012 Juli; 16(3):324-8. doi: 10.4103/0972-124X.100905.

PMID: 23162323; PMCID: PMC3498698.

- Larasati, Ratih. Pengaruh Stres pada Kesehatan Jaringan Periodontal. E-jurnal Keperawatan Gigi Poltekkes Surabaya.

- Adityawan F, Dentawan F, Pritama AS. Kanker Mulut. Yogyakarta: UGM PRESS;

2023.

- Nurprilinda M. Faktor Risiko Kanker Rongga Mulut. 2024.

- Reamy BV, Derby R, Bunt CW. Common tongue conditions in primary care.Am Fam Physician. 2010;81(5):627-634

- Irianti, M. I., Fitriana, W., Arifianti, A. E., & Rahmasari, R. (2024). Herpes Simplex Virus Tipe 1: Prevalensi, Infeksi dan Penemuan Obat Baru. Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat.

- Eppy. (2024). Infeksi Virus Herpes Simpleks dan Komplikasinya. Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, RSUP Persahabatan, Jakarta, Indonesia.

- Jensen SB, Pedersen AM, Vissink A, et al. A systematic review of salivary gland hypofunction and xerostomia induced by cancer therapies.Support Care Cancer.

2010;18(8):1039-1060.

(39)

- Niklander, S., Veas, L., Barrera, C., et al. Risk factors, hyposalivation and impact of xerostomia on oral health-related quality of life.Community Dental Health.

2016;31(14);1807-3107.

5. Mahasiswa mampu mengetahui dan menjelaskan upaya promotif dan preventif kesehatan gigi dan mulut.

Upaya Promotif

Edukasi masyarakat merupakan pondasi utama dalam promosi kesehatan gigi dan mulut. Sosialisasi edukatif yang dilakukan di sekolah-sekolah, pusat kesehatan masyarakat, maupun melalui platform digital seperti media sosial sangat efektif dalam meningkatkan kesadaran orang-orang tentang pentingnya menjaga kesehatan gigi dan mulut. Informasi dasar seperti cara menyikat gigi yang tepat, pentingnya flossing, serta efek neg

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan Penelitian : Mengetahui pengaruh penyuluhan kesehatan gigi dan mulut dengan media Power Point terhadap tingkat pengetahuan kesehatan gigi dan mulut pada

masalah penelitian ” Adakah Pengaruh Penyuluhan Kesehatan Gigi Dan Mulut Terhadap Kebersihan gigi dan mulut pada siswa di Kelas IV SDN Gadungan V Kecamatan Puncu Kabupaten

Kesehatan gigi dan mulut merupakan kondisi sehat yang ditemukan pada jaringan keras serta jaringan lunak gigi beserta unsur - unsur yang berkaitan dalam rongga mulut sehingga

Penelitian ini dilakukan pada Oktober–Juni 2015.Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor sistem pelayanan kesehatan gigi dan mulut sangat berpengaruh sebesar 38%, faktor usia

Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa pengetahuan siswa tentang cara menjaga kesehatan gigi dan mulut sesudah diberi pendidikan kesehatan gigi dan mulut lebih baik,

Orang tua yang memiliki pengetahuan rendah tentang kesehatan gigi dan mulut merupakan faktor predisposisi dari sikap dan perilaku yang tidak mendukung kesehatan gigi dan mulut anak.6

Bagan 2.1 Kerangka Teori Penyuluhan Tentang Kesehatan Gigi dan Mulut Makanan yang menyehatkan dan merusak gigi Sikat gigi: Macam-macam bulu sikat gigi, cara pemeliharaan

Tujuan Dilakukannya Identifikasi Faktor Resiko Penyakit Gigi dan Mulut Identifikasi faktor resiko gigi dan mulut di masyarakat dilakukan untuk mengumpulkan,menganalisis serta