LAPORAN PRAKTIKUM ELEKTROMAGNETIK CONDUCTIVITY METER DEPTH (CMD)
Oleh:
SAFINA FITRINOVA
115200030 KELOMPOK 5
LABORATORIUM GEOFISIKA EKSPLORASI JURUSAN TEKNIS GEOFISIKA
FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL UNIVERSITAS PEMBANGUNAN
NASIONAL”VETERAN”
YOGYAKARTA
2023
HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN PRAKTIKUM ELEKTROMAGNETIK
CONDUCTIVITY DEPTH POINT (CMD)
Laporan ini disusun sebagai syarat mengikuti acara Praktikum Elektromagnetik selanjutnya, tahun ajaran 2022/2023, jurusan Teknik Geofisika, Fakultas Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Yogyakarta.
Disusun oleh:
SAFINA FITRINOVA 115.200.030 KELOMPOK 5
Yogyakarta, 03 September 2023
Disahkan oleh:
Asisten Elektomagnetik
(Andre)
LABORATORIUM GEOFISIKA EKSPLORASI JURUSAN TEKNIS GEOFISIKA
FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL UNIVERSITAS PEMBANGUNAN
NASIONAL”VETERAN”
YOGYAKARTA 2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa penulis panjatkan, karena berkat rahmat serta bimbingan-Nya penulis berhasil menyelesaikan Laporan Prakti kum Elektromagnetik mengenai “Conductivity Meter Depth (CMD)” selayaknya k etentuan penyusunan laporan yang baik dan benar serta tepat waktu. Semoga lapora n ini memberikan informasi yang berguna bagi pembaca serta bermanfaat untuk pen gembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Saya ucapkan banyak terima kasih asisten praktikum Elektromagnetik yang telah meluangkan waktunya untuk membagi ilmunya dan memberi arahan dalam m enyelesaikan laporan ini. Selain itu, terima kasih juga kepada teman-teman yang tel ah membantu sekaligus memberi dukungan dalam penyelesain laporan ini.
Saya meminta maaf apabila dalam penyususnan laporan ini memiliki banya k kesalahan ataupun kekurangan. Maka dari itu saya harapkan dari pembaca dapat memberikan saran dan kritik atas laporan ini, agar kedepannya dapat bermanfaat da n menjadi bahan pembelajaran.
Yogyakarta, 03 September 2023
Safina Fitrinova
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...i
HALAMAN PENGESAHAN...ii
KATA PENGANTAR...iii
DAFTAR ISI...iv
DAFTAR GAMBAR...vi
DAFTAR TABEL...vii
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG...viii
BAB I. PENDAHULUAN...1
1.1. Latar Belakang...1
1.2. Maksud dan tujuan...2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA...3
2.1. Geologi Regional...3
2.2. Geologi Lokal...3
2.3. Penelitian Terdahulu………....4
BAB III. DASAR TEORI...6
3.1. Pengertian dan Prinsip Dasar Metode CMD...6
3.2. Perambatan Metode Elektromagnetik...7
3.3. Konduktivitas... 7
3.4. Inphase...8
3.5. Moving Average ... BAB IV. METODOLOGI...10
4.2. Diagram Alir Pengolahan Data...11
4.3. Penjelasan Diagram Alir Pengolahan Data...12
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN...
5.1. Tabel perhitungan Data Lintasan 5...
5.2. Grafik Analisis Lintasan 5...
5.2.1. Grafik Konduktivitas vs Inphase Low Penetration Lintasan 5...
5.2.2. Grafik MA Konduktivitas vs Ma Inphase Low Penetration Lintasan 5...
5.2.3. Grafik Konduktivitas vs Inphase Hight Penetretion Lintasan 5...
5.2.4. Grafik MA konduktivitas vs MA Inphase High Penetration Lintasan 5. . 5.3. Pembahasan Peta...
5.3.1. Peta MA konduktivitas Low Penetration...
5.3.2. Peta MA konduktivitas High Penetration...
5.3.3. Peta MA Inphase Low Penetration...
5.3.4. Peta MA Inphase High Penetration...
BAB VI PENUTUP
6.1. Kesimpulan...
6.2. Saran ...
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
LAMPIRAN A. GRAFIK KHFILT AUSTRALIA SEMUA LINTASAN LAMPIRAN B. GRAFIK KHFILT JEPANG SEMUA LINTASAN LEMBAR KONSULTASI
LEMBAR PENILAIAN
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
BAB I
PENDAHULUAN
1.1...Latar Belakang Kepulauan Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama, yaitu lempeng Indo-Australia di bagian Selatan, lempeng Eurasia di bagian Utara, dan lempeng Pasifik di bagian Timur (Ibrahim, 2005). Peta tektonik kepulauan Indonesia dan sekitarnya dapat dilihat pada Gambar 1. Wilayah yang rawan dan sering terjadi gempa bumi umumnya memiliki kesamaan letak geografis dengan zona tumbukan lempeng. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan salah satu wilayah yang dekat dengan zona tumbukan lempeng. DIY juga merupakan bagian dari jalur gempa bumi yang terbentang dari Pulau Sumatra, Jawa, Bali hingga Nusa Tenggara. Salah satu metode geofisika yang cocok untuk mengetahui bawah permukaan bumi yaitu Conductivity Multi Depth (CMD) dapat memberikan hasil yang lebih efektif. Metode CMD tersebut menggunakan gelombang elektromagnetik (EM).
Dengan menggunakan gelombang EM, metode CMD memiliki konsep dan aplikasi yang sama dengan metode elektromagnetik yang lainnya, seperti Gradiometer (Chin, D. C et al., 1999). Metode ini juga dikenal dengan Electrical Conductivity Object Locator (ECOL) yang menggunakan peta konduktivitas listrik untuk membedakan benda asing yang tertimbun di bawah permukaan tanah, dimana benda asing tersebut memiliki konduktivitas berbeda dengan konduktivitas tanah/material bumi yang disekelilingnya. Metode elektromagnetik merupakan salah satu metode dalam eksplorasi geofisika yang umumnya digunakan untuk pencarian bahan-bahan yang memiliki sifat konduktivitas yang lebih tinggi. Dalam pengukurannya metode elektromagnetik sangat praktis baik dari segi waktu maupun biaya.
Dalam kegiatan penelitian dilakukan pengukuran nilai konduktivitas bawah permukaan. Besarnya nilai konduktivitas bawah permukaan dapat menjadi petunjuk adanya pipa besi di Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan melakukan akuisisi data sehingga menghasilkan output Peta MA Konduktivitas Low Penetration, Peta MA Konduktivitas High
Penetration, Peta MA Inphase Low Penetration, dan Peta MA Inphase High Penetration menggunakan metode Conductivity Meter Depth (CMD) diharapkan dapat mengidentifikasi kondisi bawah permukaan yang mengandung nilai konduktivitas dan dapat dimanfaatkan untuk industri besi dan baja, industri pengecoran, dan industri lainnya.
1.2. Maksud dan Tujuan
Maksud dari penelitian Metode Elektromagnetik Conductivity Meter Depth ini adalah untuk mengetahui pengolahan data metode elektromagnetik menggunakan metode CMD serta untuk mengetahui respon dari struktur bawah permukaan yang mengandung pipa besi
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan grafik konduktivitas Low Vs Inphase Low, grafik konduktivitas High Vs Inphase High, grafik MA Konduktivitas Low Vs MA Inphase Low, grafik MA Konduktivitas High Vs MA Inphase High yang dibuat menggunakan Microsoft Excel serta Peta MA Konduktivitas Low Penetration, Peta MA Konduktivitas High Penetration, Peta MA Inphase Low Penetration, dan Peta MA Inphase High Penetration yang dibuat menggunakan Software Surfer. Dari peta ini, akan dilakukan interpretasi untuk mengidentifikasi dugaan adanya konduktivitas yang beragam untuk mendeteksi adanya pipa besi.
BAB II DASAR TEORI
2.1. Geologi Regional
Geologi Daerah Penelitian Stratigrafi daerah Bantul dan sekitarnya tersusun oleh batuan tersier yang terdiri dari batuan sedimen klastik vulkanik, batuan gunung api, dan sedimen klastik karbonatan, serta endapan permukaan yang berumur Kuarter. Berdasarkan klasifikasi fisiografi di Jawa Tengah oleh Van Bemmelen (1949), Dataran Bantul berada di bagian Timur Pegunungan Kulon Progo.
Pegunungan ini dapat dideskripsikan sebagai suatu kubah yang besar dengan bentukan datar di bagian atasnya, bagian pinggir yang curam, serta bagian Utara yang sudah mengalami proses denudasional dan terkubur oleh endapan aluvial menjadi dataran.
Pegunungan Selatan terhampar barat - timur dan menempati bagian selatan Pulau Jawa. Pada umumnya pegunungan ini dibentuk oleh batuan sedimen klastika dan karbonat yang bercampur dengan batuan hasil kegiatan gunung api yang berumur Tersier. Secara setempat seperti di Karangsambung (Kebumen) dan Perbukitan Jiwo (Klaten), muncul batuan Pratersier.
Menurut Geologi Regional stratigrafi Pegunungan Selatan dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu :
1. Periode sebelum aktivitas intensif vulkanisme berlangsung, selanjutnya disebut periode pravulkanisme. Satuan batuan yang terbentuk pada periode pravulkanisme adalah batuan malihan yang ditindih tak selaras oleh Kelompok Jiwo.
2. Periode kegiatan vulkanisme berlangsung secara intensif, selanjutnya disebut periode vulkanisme, yang membentuk Kelompok Kebo-Butak yang secara berurutan ditindih selaras oleh Formasi Semilir dan Formasi Nglanggeran.
3. Periode setelah kegiatan vulkanisme berakhir ketika organisme karbonat tumbuh dengan subur; selanjutnya disebut periode pascavulkanisme atau periode karbonat. Satuan batuan yang terendapkan pada periode ini adalah Formasi Sambipitu, Formasi Oyo, Formasi Wonosari, Formasi Punung, dan Formasi Kepek.
Gambar 2.1 Stratigrafi daerah penelitian dan sekitarnya dari peneliti terdahulu (Surono, Litostratigrafi Pegunungan Selatan Bagian Timur Daerah Istimewa Yogyakarta Dan
Jawa Tengah)
Urutan stratigrafi penyusun Pegunungan Selatan bagian barat dari tua ke muda adalah sebagai berikut:
1. Formasi Wungkal-Gamping : Formasi ini terletak di Gunung Wungkal dan Gunung Gamping, di Perbukitan Jiwo. Satuan batuannya terdiri dari perselingan antara batupasir dan batulanau serta lensa batugamping. Pada bagian atas, satuan batuan ini berupa napal pasiran dan lensa batugamping.
Formasi ini tersebar di Perbukitan Jiwo, antara lain di G. Wungkal, Desa Sekarbolo, Jiwo Barat, menpunyai ketebalan sekitar 120 meter (Bronto dan Hartono, 2001).
2. Formasi Kebo-Butak : Formasi ini disusun pada bagian bawah berupa batupasir berlapis baik, batulanau, batulempung, serpih, tuf dan aglomerat, dengan ketebalan lebih dari 650 meter.Bagian atasnya berupa perselingan batupasir dan batulempung dengan sisipan tipis tuf asam. Setempat di bagian tengahnya dijumpai retas lempeng andesit-basal dan di bagian atasnya dijumpai breksi andesit.
3. Formasi Semilir : Formasi ini berlokasi tipe di Gunung Semilir, sebelah selatan Klaten. Dengan ketebalan lebih dari 460 meter.Litologi penyusunnya terdiri dari tuf, tuf lapili, lapili batuapung, breksi batuapung dan serpih. Komposisi tuf dan batuapung tersebut bervariasi dari andesit hingga dasit. Di bagian bawah satuan batuan ini, yaitu di S. Opak, Dusun Watuadeg, Desa Jogotirto, Kec.
Berbah, Kab. Sleman, terdapat andesit basal sebagai aliran lava bantal (Bronto dan Hartono, 2001).
4. Formasi Nglanggran : Pada formasi ini batuan penyusunnya terdiri dari breksi gunungapi, aglomerat, tuf dan aliran lava andesit-basal dan lava andesit. Breksi gunungapi dan aglomerat yang mendominasi formasi ini umumnya tidak berlapis. Kepingannya terdiri dari andesit dan sedikit basal, berukuran 2 – 50 cm. Di bagian tengah formasi ini, yaitu pada breksi gunungapi, ditemukan batugamping terumbu yang membentuk lensa atau berupa kepingan. Secara setempat, formasi ini disisipi oleh batupasir
5. Formasi Sambipitu : Lokasi tipe formasi ini terletak di Desa Sambipitu pada jalan raya Yogyakarta-Patuk-Wonosari dengan ketebalan mencapai 230 meter.
Batuan penyusun formasi ini di bagian bawah terdiri dari batupasir kasar, kemudian ke atas berangsur menjadi batupasir halus yang berselang-seling dengan serpih, batulanau dan batulempung. Pada bagian bawah kelompok batuan ini tidak mengandung bahan karbonat. Namun di bagian atasnya, terutama batupasir, mengandung bahan karbonat.
6. Formasi Oyo : Lokasi tipe formasi ini berada di Sungai Oyo. Batuan penyusunnya pada bagian bawah terdiri dari tuf dan napal tufan. Sedangkan ke atas secara berangsur dikuasai oleh batugamping berlapis dengan sisipan batulempung karbonatan. Batugamping berlapis tersebut umumnya kalkarenit, namun kadang-kadang dijumpai kalsirudit yang mengandung fragmen andesit membulat. Formasi Oyo tersebar luas di sepanjang K. Oyo. Ketebalan formasi ini lebih dari 140 meter.
7. Formasi Wonosari : Formasi ini tersingkap baik di daerah Wonosari dan sekitarnya, dengan ketebalan lebih dari 800 meter. Formasi ini didominasi oleh batuan karbonat yang terdiri dari batugamping berlapis dan batugamping terumbu. Sedangkan sebagai sisipan adalah napal. Sisipan tuf hanya terdapat di
bagian timur.
8. Formasi Kepek : Lokasi tipe dari formasi ini terletak di Desa Kepek, tersebar di hulu. Rambatan sebelah barat Wonosari yang membentuk sinklin. Batuan penyusunnya adalah napal dan batugamping berlapis. Tebal satuan ini lebih kurang 200 meter.
Gambar 2.2 Stratigrafi daerah penelitian (Surono, Litostratigrafi Pegunungan Selatan Bagian Timur Daerah Istimewa Yogyakarta Dan Jawa Tengah)
2.2. Geologi Lokal
Geologi lokal daerah kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta didominasi oleh struktur geologi Young Merapi Volcanic (Quartenary) bagian tengah dan Volcanic (Miocine dan oligo-micine) pada bagian timur. Struktur- struktur ini sudah berumur cukup tua (0,8-2,85 juta tahun yang lalu). Secara struktural Kabupaten Bantul diapit oleh bukit patahan, yaitu lereng barat Pegunungan Batur Agung (Batur Agung Ranges) pada bagian timur dan bagian Barat berupa bekas laguna. Wilayah yang berada pada apitan bukit patahan ini disebut dengan graben, maka wilayah Kabupaten Bantul dalam toponim geologi dan geomorfologi disebut Graben Bantul.
Graben ini terbentuk dari proses diatrofisme tektonisme yang dipengaruhi oleh aktivitas gunung merapi dan gunung api tua. Selain berada pada apitan bukit patahan, wilayah Kabupaten Bantul juga berada pada bentang lahan Fluvio-Marin yang memiliki banyak potensi dan masalah (pada wilayah Bantul Selatan). Hal ini terjadi karena wilayah Kabupaten Bantul juga merupakan wilayah transisi antara asal lahan fluvial (proses yang mengerjai air-sungai) dan asal lahan marin (proses yang mengerjai angin dan gelombang dari Samudra Hindia).
Selain berada pada apitan bukit patahan dan bentuk lahan dataran fluvio-marin, Kabupaten Bantul juga berada pada wilayah transisi yaitu dataran yang asal prosesnya dari aktivitas Vulkanis dan endapan sungai (Fluvio-Vulcan). Bentuklahan fluvial disebabkan oleh akibat aktivitas aliran sungai. Aktivitas aliran sungai tersebut berupa pengikisan, pengangkutan dan pengendapan (sedimentasi) sehingga membentuk bentangan dataran aluvial dan bentukan lain dengan struktur horisontal yang tersusun oleh material sedimen.
Bentukan-bentukan ini berhubungan dengan daerah- daerah penimbunan seperti lembah-lembah sungai besar dan
dataran aluvial. Bentukan-bentukan lain dalam skala kecil yang mungkin terjadi dapat berupa dataran banjir, tanggul alam, teras sungai dan kipas aluvial. Sungai-sungai yang terdapat pada satuan ini umumnya merupakan sungai yang telah mengalami gradasi dan berada dalam keadaan seimbang sehingga energinya hanya cukup untuk membawa dan memindahkan bebannya.
Sehingga, apabila terjadinya erosi dan pengendapan yang seimbang nantinya membentuk hamparan dataran yang luas di sepanjang tepian sungai. Di dataran fluvial ini juga terdapat adanya saluran yang berkelok-kelok (meanders). Pembentukan saluran ini merupakan akibat proses penimbunan pada bagian luar kelokan dan erosi, sementara untuk kecepatan aliran berkurang akibat menurunnya kemiringan lereng.
Akibat dari pengendapan yang cukup besar, maka membuat aliran ini sering kali tidak mampu untuk mengangkut material–
material dari daerah utara (gunung merapi), yang akhirnya arah aliran membelok begitu seterusnya membentuk kelokan-kelokan tertentu.
2.3. Penelitian Terdahulu
Judul : Investigasi Tangki Bawah Permukaan dengan Menggunakan Conductivity Multi Depth (CMD) di Perta Arun Gas (PAG) Lhokseumawe Penulis : Asrilah, dkk
Tahun : 2017
Investigasi keberadaan tank/bunker yang tertimbun telah dilakukan dibagian area PT Perta Arun Gas (PAG) Lhokseumawe dengan menggunakan metode Conductivity Multi Depth (CMD) yang dilengkapi dengan satuset alat CMD. Enam buah lintasan pengukuran yang memiliki panjang 66 m dan memiliki spasi diantaranya1 m telah didesain untuk mecakup area dugaan target. Hasil investigasi menunjukkan bahwa adanyakeberadaan tangki/bunker. Keberadaan tangki/bunker tersebut sebagai hasil interpretasi nilai-nilai konduktivitas listrik yang bervariasi
mulai dari 1210-1320 mS.m -1 atau setara dengan -227,26 sampai dengan -227,82 ppt.
Dari variasi nilai konduktivitas listrik, maka dapat disketsa dimensi dari tangki/bunker dimana tangki tersebut terdiri dari 3 bagian dengan ukuran yang berbeda. Bagian pertama memiliki diameter 1 m dan panjang 8 m. Bagian kedua memiliki diameter 2,8 m dan panjang 11 m, sedangkan bagian terakhir memiliki diameter 2,5 m dan panjannya 19 m, sehingga panjang keseluruhan tangki adalah 38 m. Kedalaman tangki tersebut dari bagian yang paling kecil ke besar secara berturut-turut adalah 1 m, 3 m dan4 m. Secara umum dapat dikatakan bahwa metode ini berhasil diaplikasikan untuk mendeteksi benda-bendalogam yang tertanam.
BAB III DASAR TEORI
3.1. Pengertian dan Prinsip Dasar CMD
CMD (Electromagnetic Conductivity Meter Depth) adalah suatu alat yang dapat mengukur secara cepat nilai konduktivitas benda memanfaatkan induksi elektromag netik dari aliran listrk yang dipancarkan ke bawah permukaan hingga kedalaman ± 6 meter dengan frekuensi 14.6 kHz. Proses kerja dari instrumen CMD (Electromagne tic Conductivity Meter Depth) ini yaitu dengan mengirim sinyal berupa gelombang elektromagnetik baik yang dibuat sendiri maupun yang berasal dari alam melalui su atu transmiter (Tx), material bawah permukaan bumi merespon gelombang elektro magnetik tadi dan menginduksi arus eddy. Gelombang S (sekunder) yaitu induksi m edan magnet terhadap arus eddy. Kemudian, di permukaan, gelombang S yang data ng ini di terima oleh reciever (Rx) secara langsung dari pemancar. Arus Eddy berba nding lurus dengan konduktivitas batuan. Sehingga dalam pengukuran arus eddy, se cara tidak langsung mendapatkan nilai konduktivitas batuan.
Gambar 3. 1. Sistem Induksi Elektromagnetik
3.2. Perambatan Medan Elektromagnetik
Penjalaran gelombang elektromagnetik bisa terjadi melalui dua cara yakni horiso ntal dipol dan vertikal dipol. Pada penelitian metode EM-Conductivity menggunaka
n CMD ini menjalarkan gelombang secara vertical dipole, berikut ilustrasi penjalara n gelombangnya.
Gambar 3. 2. Penjalaran Gelombang Elektromagnetik (Vertical Dipole)
Sedangkan persamaan untuk harga konduktivitas dapat diperoleh dari : Hs
Hp≅i ω μ0s2σ
4 (3.1)
Keterangan :
Hs = medan magnet sekunder pada koil penerima Hp = medan magnet primer pada koil penerima Ω = 2 π f
f = frekuensi (Hz)
μo = permeabilitas ruang hampa σ = konduktivitas (mS/m) s = intercoil spacing i =
√
−1Jadi persamaan untuk mendapatkan harga konduktivitas (σa) suatu medium yakni :
σa= 4
ω μ0s2
(
HpHs)
(3.2)3.3. Konduktivitas
Konduktivitas merupakan parameter utama yang terukur dari instrumen CM D, hal ini dikarenakan adanya proses induksi gelombang elektromagnetik di bawah permukaan bumi yang menginduksi material yang bersifat konduktif. Konduktivitas itu sendiri merupakan kemampuan material atau bahan yang terdapat di bawah perm ukaan untuk menghantarkan arus ataupun panas. Konduktivitas didefinisikan sebag ai kuantitas dalam mS/m.
3.4. Inphase
Parameter kedua yang diukur secara simultan dengan konduktivitas jelas adalah In Phase. Hal ini didefinisikan sebagai kuantitas relatif dalam ppt dari medan magnet p rimer dan terkait erat dengan kerentanan magnetik bahan diukur. Jadi peta InPhase dapat membantu membedakan struktur buatan dari geologi alam di peta konduktivit as terlihat jelas.
3.5. Moving Average
Moving Average dapat diartikan sebagai perubahan harga rata – rata dari suatu t ime frame tertentu. MA berfungsi mengkompensasi noise acak yang muncul selama pengukuran akibat aktivitas kelistrikan maupun ketidakhomogenan bawah permuka an.
Dalam pengolahan data CMD, data yang diperoleh dilapangan adalah data kond uktivitas serta data inphase. Data – data tersebut tak lepas dari gangguan atau noise, maka pengolahan data MA ini sangat diperlukan. Dalam pengolahan data EM terdapat langkah ini, yang sebenarnya disebut dengan filter moving average atau da pat diartikan sebagai rata – rata nilai anomali, yang kemudian dibagi dengan jumlah jendela yang digunakan. Hal ini digunakan untuk memisahkan data yang mengandu ng frekuensi yang tinggi dan rendah. Setelah dilakukannya tahap ini, diharapkan sin yal yang ada benar – benar menggambarkan anomali yang disebabkan oleh benda – benda konduktif dibawah permukaan.
MA Xn =X(n-1)+2Xn + X(n+1)/4 (3.3)
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1. Diagram Alir Pengolahan Data
Gambar 4.1. Diagram Alir Pengolahan Data
4.2. Pembahasan Diagram Alir Pengolahan Data
Dalam penelitian Metode Conductivity Meter Depth ini terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan yaitu antara lain:
1. Memulai penelitian dengan mengumpulkan dan membaca studi literatur terkait penelitian yang dilakukan.
2. Melakukan pengolahan data sekunder yang telah diperoleh melalui Microsoft excel, sehingga mendapatkan informasi berupa nilai Data Low dan High Konduktivitas dan Data Low dan High in Phase
3. Selanjutnya melakukan pengolahan untuk mencari nilai Low dan High MA Konduktivitas dan Data Low dan High MA in Phase dengan rumus (X(n-1) + 2 Xn
+ X(n+1) )/4
4. Selanjutnya, dari pengolahan data melalui Microsoft Excel menghasilkan grafik konduktivitas Low Vs Inphase Low, grafik konduktivitas High Vs Inphase High, grafik MA Konduktivitas Low Vs MA Inphase Low, grafik MA Konduktivitas Hi gh Vs MA Inphase High.
5. Setelah itu, mengolah dan menghimpun data X, Y, untuk di plot di google earth, sehingga menghasilkan daerah penelitian.
6. Membuat Peta MA Konduktivitas Low Penetration, Peta MA Konduktivitas High Penetration, Peta MA Inphase Low Penetration, dan Peta MA Inphase High Penetration yang dibuat menggunakan Software Surfer untuk mengetahui kondisi bawah permukaan daerah peelitian.
7. Membuat pembahasan dari grafik dan peta dengan melihat penelitian terdahulu dan studi literatur di daerah penelitian.
8. Setelah itu, membuat kesimpulan 9. Selesai
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Tabel perhitungan Data Lintasan 5
KEL 5
X Y
AZ TITIK N 100 E AZ LINTASAN N 10 E
JUM TITIK 35
SPACING 2 m
Low High Low High Low High Low High
LOW HIGH LOW HIGH 1 4.4 1 1.85 3.733333
4.4 1 1.85 3.733333 2 8.2 0.8 7.5 0.825 1.84 4.13 1.84 4.094167
8.2 0.8 1.84 4.13 3 9.2 0.7 7.225 0.775 1.83 4.383333 1.8325 4.344167
9.2 0.7 1.83 4.383333 4 2.3 0.9 6.6 2.225 1.83 4.48 5.1725 4.835833
2.3 0.9 1.83 4.48 5 12.6 6.4 10.85 5.225 15.2 6 12.0325 5.92
12.6 6.4 15.2 6 6 15.9 7.2 15.15 6.3 15.9 7.2 15.8 6.95
15.9 7.2 15.9 7.2 7 16.2 4.4 15.35 5.6 16.2 7.4 16.075 7.1
16.2 4.4 16.2 7.4 8 13.1 6.4 11.65 4.525 16 6.4 12.5025 5.4025
13.1 6.4 16 6.4 9 4.2 0.9 7.275 2.275 1.81 1.41 5.3575 3.385
4.2 0.9 1.81 1.41 10 7.6 0.9 5.65 0.9 1.81 4.32 1.8075 3.2575
7.6 0.9 1.81 4.32 11 3.2 0.9 5.7 0.9 1.8 2.98 2.245 3.335
3.2 0.9 1.8 2.98 12 8.8 0.9 6.1 0.9 3.57 3.06 3.12 3.46
8.8 0.9 3.57 3.06 13 3.6 0.9 4.8 0.9 3.54 4.74 3.54 3.5375
3.6 0.9 3.54 4.74 14 3.2 0.9 3.8 0.9 3.51 1.61 3.4975 2.3825
3.2 0.9 3.51 1.61 15 5.2 0.9 4.625 0.9 3.43 1.57 3.0075 2
5.2 0.9 3.43 1.57 16 4.9 0.9 6.2 0.9 1.66 3.25 2.08 2.835
4.9 0.9 1.66 3.25 17 9.8 0.9 8.475 0.9 1.57 3.27 1.5825 4.0975
9.8 0.9 1.57 3.27 18 9.4 0.9 9.525 0.9 1.53 6.6 1.525 4.965
9.4 0.9 1.53 6.6 19 9.5 0.9 7.85 0.425 1.47 3.39 1.4775 3.775
9.5 0.9 1.47 3.39 20 3 -1 4.8 -0.775 1.44 1.72 1.4375 2.145
3 -1 1.44 1.72 21 3.7 -2 3.55 -1.05 1.4 1.75 2.065 2.185
3.7 -2 1.4 1.75 22 3.8 0.8 3.475 0.125 4.02 3.52 2.8025 4.01
3.8 0.8 4.02 3.52 23 2.6 0.9 2.95 0.725 1.77 7.25 3.205 6.345
2.6 0.9 1.77 7.25 24 2.8 0.3 2.55 0.6 5.26 7.36 3.51 5.955
2.8 0.3 5.26 7.36 25 2 0.9 2.525 0.275 1.75 1.85 2.63 3.2275
2 0.9 1.75 1.85 26 3.3 -1 2.55 -0.775 1.76 1.85 1.7575 1.85
3.3 -1 1.76 1.85 27 1.6 -2 2.35 -1.05 1.76 1.85 1.76 1.85
1.6 -2 1.76 1.85 28 2.9 0.8 3.125 0.125 1.76 1.85 1.76 1.85
2.9 0.8 1.76 1.85 29 5.1 0.9 4.575 0.725 1.76 1.85 1.76 1.85
5.1 0.9 1.76 1.85 30 5.2 0.3 4.325 0.125 1.76 1.85 1.76 1.85
5.2 0.3 1.76 1.85 31 1.8 -1 2.65 -0.925 1.76 1.85 1.76 1.85
1.8 -1 1.76 1.85 32 1.8 -2 1.6 -1.775 1.76 1.85 1.76 1.85
1.8 -2 1.76 1.85 33 1 -2.1 1.45 -1.8 1.76 1.85 1.76 1.85
1 -2.1 1.76 1.85 34 2 -1 1.75 -0.8 1.76 1.85 1.76 1.85
2 -1 1.76 1.85 35 2 0.9 1.76 1.85
2 0.9 1.76 1.85
Inphase MA Inphase
KONDUK INPHASE Titik Pengukuran Konduktivitas MA Konduktivitas
5.2. Grafik Analisis Lintasan 5
5.2.1. Grafik Konduktivitas vs Inphase Low Penetration Lintasan 5
0 5 10 15 20 25 30 35 40
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18
LOW
LOW INPHASE LOW KONDUKTIVITAS
Gambar 5.1. Grafik Konduktivitas vs Inphase Low Penetration Lintasan 5 Grafik diatas menunjukkan nilai konduktivitas low dan inphase low yang ditangkap oleh receiver dari hasil adanya induksi gelombang elektromagnetik di bawah permukaan, nilai konduktivitas pada grafik diwakilkan oleh adanya trendline yang memiliki warna biru, sedangkan inphase low memiliki trendline berwarna oranye. untuk trendline konduktivitas memiliki nilai yang lebih fluktuatif dibandingkan dengan trendline dari inphase low, nilai lebih fluktuatif pada grafik ditunjukkan dengan adanya perselingan antara nilai ketinggian dan nilai rendahan.
Untuk nilai pada konduktivitas low memiliki nilai terendah yaitu 1 mS/m, dan nilai tertinggi yaitu sebesar 16 mS/m, sedangkan untuk grafik nilai inphase low menunjukkan data yang memiliki nilai konstan, dan mengalami beebrapa kenaikan dan penurunan, nilai inphase terkecil berada pada nilai 2 ppt, dan nilai tertingginya yaitu pada 16 ppt, dan nilai yang cenderung konstan berada pada kisaran 2 ppt.
Pada titik ke 5 hingga 8 nilai konduktivitas dan inphase yang ditandai dengan lingkaran, dibandingkan dengan nilai sekitarnya. Nilai konduktivitas yang tingi, merepresentasikan bahwa titik pengukuran tersebut telah melewati sebuah medium yang memiliki sifat penghantar listrik yang baik dibandingkan dengan sekitarnya.
Medium ini bisa jadi adalah logam atau sejenisnya yang sudahg terpendam di daerah penelitian. Sementara untuk nilai inphase adalah nilai yang mewakili sifat kemagnetan sebuah medium yang menandakan jika nilainya naik drastis dibandingkan sekitarnya, maka lintasan tersebut melewati sebuah medium yang
memiliki sifat kemagnetan yang tinggi. Teruntuk nilai konstan diinterpretasikan sebagai daerah tersebut memiliki litologi yang sama.
5.2.2. Grafik MA Konduktivitas vs Ma Inphase Low Penetration Lintasan 5
0 5 10 15 20 25 30 35 40
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18
LOW MA
LOW MA INPHASE LOW MA KONDUKTIVITAS
Gambar 5.2. Grafik MA Konduktivitas vs MA Inphase Low Penetration Lintasan 5 Gambar 5.2 adalah gambar model grafik untuk analisa nilai konduktivitas dan inphase yang sudah mengalami smoothing dengan cara moving average.
Perhitungan yang diguankan untuk mendapatkan nilai moving average adalah dengan memperhitungkan nilai sesudah titik dan setelah titik yang kemudian dibagi 4. Maka, hasil yang didapatkan menjadi lebih smooth karena data dikontrol oleh data sebelumnya.
Pada grafik MA konduktivitas low digambarkan oleh trendline berwarna biru, sedangkan untuk nilai inphase digambarkan dengan trendline berwarna oranye.
untuk nilai MA konduktivitas low pada data memiliki nilai yang fluktuatif dimana nilai tertinggi berada dengan nilai 2 mS/m, dan nilai terendah berada pada nilai 15 mS/m. nilai inphase menunjukkan nilai susepbilitas kemagnetan objek bawah permukaan, pada grafik tersebut nilai inphase tertinggi berada pada nilai 16 ppt dan memiliki konstan dengan nilai 2 ppt. nilai inphase rendah menunjukkan bahwa pada daerah penelitian terdapat kandungan air hujan yang terjadi sebelum pengukuran yang kemudian mempengaruhi nilai susepbilitas menjadi rendah.
5.2.3. Grafik Konduktivitas vs Inphase High Penetretion Lintasan 5
0 5 10 15 20 25 30 35 40
-4 -2 0 2 4 6 8
0 1 2 3 4 5 6 7 8
HIGH
HIGH KONDUKTIVITAS HIGH INPHASE
Gambar 5.3. Grafik Konduktivitas vs Inphase High Penetration Lintasan 5 Grafik diatas menunjukkan nilai konduktivitas low dan inphase low yang ditangkap oleh receiver dari hasil adanya induksi gelombang elektromagnetik di bawah permukaan, nilai konduktivitas pada grafik diwakilkan oleh adanya trendline yang memiliki warna biru, sedangkan inphase high memiliki trendline berwarna oranye. untuk trendline inphase memiliki nilai yang lebih fluktuatif dibandingkan dengan trendline dari konduktivitas high. nilai lebih fluktuatif pada grafik ditunjukkan dengan adanya perselingan antara nilai ketinggian dan nilai rendahan.
Untuk nilai pada konduktivitas high memiliki nilai terendah yaitu -2 mS/m, dan nilai tertinggi yaitu sebesar 7 mS/m, dan nilai rata – rata yaitu sebesar 0,9 mS/m sedangkan untuk grafik nilai inphase high menunjukkan data yang memiliki nilai konstan, dan mengalami beberapa kenaikan dan penurunan, nilai inphase terkecil berada pada nilai 1,4 ppt, dan nilai tertingginya yaitu pada 6,6 ppt, dan nilai yang cenderung konstan berada pada kisaran...
Pada titik ke 5 hingga 8 nilai konduktivitas dan inphase yang ditandai dengan lingkaran, dibandingkan dengan nilai sekitarnya. Nilai konduktivitas yang tingi, merepresentasikan bahwa titik pengukuran tersebut telah melewati sebuah medium yang memiliki sifat penghantar listrik yang baik dibandingkan dengan sekitarnya.
Medium ini bisa jadi adalah logam atau sejenisnya yang sudahg terpendam di daerah penelitian. Sementara untuk nilai inphase adalah nilai yang mewakili sifat kemagnetan sebuah medium yang menandakan jika nilainya naik drastis
dibandingkan sekitarnya, maka lintasan tersebut melewati sebuah medium yang memiliki sifat kemagnetan yang tinggi.
5.2.4. Grafik MA konduktivitas vs MA Inphase High Penetration Lintasan 5
0 5 10 15 20 25 30 35 40
-4 -2 0 2 4 6 8
MA HIGH
HIGH MA KONDUKTIVITAS HIGH MA INPHASE
Gambar 5.4 Grafik MA Konduktivitas vs MA Inphase High Penetration Lintasan 5 Gambar 5.2 adalah gambar model grafik untuk analisa nilai konduktivitas dan inphase yang sudah mengalami smoothing dengan cara moving average.
Perhitungan yang diguankan untuk mendapatkan nilai moving average adalah dengan memperhitungkan nilai sesudah titik dan setelah titik yang kemudian dibagi 4. Maka, hasil yang didapatkan menjadi lebih smooth karena data dikontrol oleh data sebelumnya.
Pada grafik MA konduktivitas high digambarkan oleh trendline berwarna biru, sedangkan untuk nilai inphase digambarkan dengan trendline berwarna oranye.
untuk nilai MA konduktivitas high pada data memiliki nilai yang fluktuatif dimana nilai tertinggi berada dengan nilai 4,5 mS/m, dan nilai terendah berada pada nilai -2 mS/m. nilai inphase menunjukkan nilai susepbilitas kemagnetan objek bawah permukaan, pada grafik tersebut nilai inphase tertinggi berada pada nilai 7 ppt dan memiliki konstan dengan nilai 2 ppt. nilai inphase rendah menunjukkan bahwa pada daerah penelitian terdapat kandungan air hujan yang terjadi sebelum pengukuran yang kemudian mempengaruhi nilai susepbilitas menjadi rendah.
5.3. Pembahasan Peta
5.3.1. Peta MA konduktivitas Low Penetration
Gambar 5.5. Peta MA Konduktivitas Low Penetration
Gambar diatas merupakan peta konduktivitas pada daerah penelitian yang datanya didapatkan berdasarkan penetrasi gelombang elektromagnetik dengan frekuensi rendah yang kemudia direkam oleh alat penerima atau receiver. Pada peta diatas menunjukkan nilai konduktivitas rendah hingga tinggi dengan nilai terendah yaitu sebesar -4 mS/m pada peta nilai rendah menjadi nilai dominan pada daerah penelitian dengan nilai kisaran yaitu sebesar -4 hingga 1 mS/m. adapun untuk nilai sedang berada pada sekitaran nilai tinggi yang tersebar pada daerah barat laut ke tenggara dan mayoritas berada pada daerah utara penelitian dengan nilai 4 – 8 mS/m untuk nilai tinggi berada pada daerah utara dan juga tersebar pada arah barat laut ke tenggara dimana nilai diwakilkan dengan skala warna jingga hingga merah dengan nilai 10 – 16 mS/m.
Bagian yang memanjang dengan nilai konduktivitas tinggi ini diinterpretasikan sebagai pipa dengan bahan material logam, yang tertanam di daerah warga. Sementara untuk bagian yang memiliki nilai konduktivitas yang rendah adalah bagian soil yang tidak mengandung mineral logam yang konduktif. Untuk lintasan kelompok 5 Lintasan ini melewati daerah dengan nilai konduktivitas tinggi selebihnya adalah daerah yang bernilai konduktivitas rendah. Untuk klosur bewarna hijau pada daerah atas/utara diinterpretasikan sebagai air tanah.
5.3.2. Peta MA konduktivitas High Penetration
Gambar 5.5. Peta MA Konduktivitas High Penetration
pada daerah penelitian yang datanya didapatkan berdasarkan penetrasi gelombang elektromagnetik dengan frekuensi rendah yang kemudia direkam oleh alat penerima atau receiver. Pada peta diatas menunjukkan nilai konduktivitas rendah hingga tinggi dengan nilai terendah yaitu sebesar -3.5 mS/m pada peta nilai rendah menjadi nilai dominan pada daerah penelitian dengan nilai kisaran yaitu sebesar -3.5 hingga – 0.5 mS/m adapun untuk nilai sedang berada pada sekitaran nilai tinggi yang tersebar pada daerah barat laut ke tenggara dan mayoritas berada pada daerah utara penelitian dengan nilai 0 – 3 mS/m untuk nilai tinggi berada pada daerah utara dan juga tersebar pada arah barat laut ke tenggara dimana nilai diwakilkan dengan skala warna jingga hingga merah dengan nilai 4 – 7.5 mS/m.
pada peta persebaran nilai MA Konduktivitas High Penetration ini tidak banyak mengalami letak persebaran nilai konduktifitas. Anomali berupa nilai konduktifitas yang membentuk panjang liniear tetap pada posisinya. pada daerah dengan nilai rendah ini diasumsikan terdiri dari batuan sedimen, sedangkan untuk daerah dengan nilai konduktivitas tinggi merupakan daerah dengan objek yang dicari yaitu pipa bawah permukaan yang memiliki inphase dan konduktivitas tinggi.
5.3.3. Peta MA Inphase Low Penetration
Gambar 5.6. Peta MA Inphase Low Penetration
Gambar diatas merupakan peta dari persebaran nilai inphase yang bernilai rendah, pada peta diatas nilai kontras sedikit lebih jelas. Dimana nilai tinggian berada di bagian utara dan pada daerah barat laut dan tersebar ke arah tenggara semakin jelas. Bahwasannya pada daerah ini nilai tinggian terpusatkan pada beberapa closure tertentu yang dapat diasumsikan sebagai pusat dari adanya anomali bawah permukaan pada daerah penelitian. Adapun pada daerah ini nilai rentang keseluruhan berada pada nilai 1 hingga 16 ppt sedangkan nilai rendah berada pada nilai rentang 1 sampai 6 ppt dimana kemudian nilai rendah pada peta diwakilkan dengan skala warna ungu hingga hijau tua, warna sedang diwakilkan dengan warna hijau tua hingga kuning, dan warna jingga hingga merah merupakan nilai tinggian.
Nilai konduktifitas yang naik, akan diikuti oleh nilai inphase yang tinggi, karena kedua sifat fisik batuan ini berbanding lurus pada suatu medium. Pada peta ini, nilai yang tinggi letak dan geometrinya yang sama dengan letak anomali nilai konduktivitas. Nilai inphase tinggi, diperlihatkan dengan bentuk linear dengan arah orientasi dari barat laut hingga selatan. Sementara untuk nilai yang rendah pada daerah barat dan timur peta dengan persebaran yang sangat luas. Nilai inphase yang tinggi membentuk linear panjang, mewakili anomali yang disebabkan oleh sifat kemagnetan medium yang tingggi, dalam hal ini dapat diinterpretasikan sebagai pipalogam yang tertimbun. Sedangkan untuk nilai inphase yang rendah, mewakili
litologi soil basha dan kering yang ada di permukaan dan penetrasinya tidak begitu dalam, satuan yang digunakan yaitu ppt (part per thousand).
5.3.4. Peta MA Inphase High Penetration
Gambar 5.7. Peta MA Inphase High Penetration
Gambar diatas merupakan peta dari persebaran nilai inphase yang bernilai rendah, pada peta diatas nilai kontras sedikit lebih jelas. Dimana nilai tinggian berada di bagian utara dan pada daerah barat laut dan tersebar ke arah tenggara semakin jelas. Bahwasannya pada daerah ini nilai tinggian terpusatkan pada beberapa closure tertentu yang dapat diasumsikan sebagai pusat dari adanya anomali bawah permukaan pada daerah penelitian. Adapun pada daerah ini nilai rentang keseluruhan berada pada nilai 0.5 hingga 7.5 ppt sedangkan nilai rendah berada pada nilai rentang 0.5 sampai 2.5 ppt dimana keudian nilai rendah pada peta diwakilkan dengan skala warna ungu hingga hijau tua, warna sedang diwakilkan dengan warna hijau tua hingga kuning, dan warna jingga hingga merah merupakan nilai tinggian.
Pada peta nilai inphase ini, masih menunjukkan bentuk geometri yang sama dengan bentuk yang di dapatkan pada peta sebelumnya yang mengggunakan penetrasi yang dangkal dan frekuensi yang tinggi. Bentuk geometri linear yang memanjang dari barat laut hingga ke selatan. Sift kemagnetan yang diukur ini, menunjukkan bahwa kandungan logam yang ada pada anomali tinggi ini adalah bahan logam yang padat. Sementara di daerah sekitarnya, memiliki nilai inphase
yang rendah menunjukkan daerah tersebut tidak memiliki kandungan minerla yang signifikan atau bisa dibilang litologi soil kering dan basah.
BAB VI PENUTUP
6.1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang dilaukan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa :
1. Pada grafik konduktivitas dan inphase ditunjukkan bahwasannya nilai susepbilitas dan nilai inphase pada daerah penelitian berbanding terbalik apabila terdapat air hujan
2. Pipa menerus pada daerah barat laut hingga tenggara dan diwakilkan dengan nilai susepbilitas dan konduktivitas yang tinggi
3. Pada peta konduktivitas low pebnetration menunjukkan nilai konduktivitas pada daerah penelitian berdasarkan respon medium terhadap arus listrik yang diinjeksikan dari gelombang elektromagnetik yang menunjukkan target pengukuran
4. Pada peta inphase high penetration menunjukkan nilai susepbilitas pada daerah penelitian
5. Pada peta inphase keberadaan mempengaruhi untuk nilai inphase low penetration, namun pada nilai peta inphase high penetration, pengaruh hujan sudah tidak terlihat, dan hanya menampilkan nilai anomali pipa bawah permukaan
6. Pada peta konduktivitas terjadi perbedaan nilai yang signifikan antara peta bagian selatan dan peta bagian utara, dimana pada bagian utara, memiliki kecenderungan lebih konduktif. Hal ini dikarenakan pada pengukuran lintasan ini terjadi hujan pada sebelum melakukan pengukuran, yang membuat nilai konduktivitas meninggi.
6.2 Saran
Adapun saran untuk penelitian selanjutnya yaitu CMD masih kurang efektif karena kedalamannya hanya 6 meter, jadi dibutuhkan metode yang lebih efektif seperti GPR.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, H.Z., Andreas, H., Meilano, I., Gamal, M., Gumilar, I., dan Abdullah, C.I., 2009. Deformasi Koseismik dan Pascaseismik Gempa Yogyakarta 2006 dari Hasil Survei GPS. Badan Geologi, Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 4, No. 4, h. 275-284.
Bosch, F. P & Muller. I. (2001). A New Possibility for High Resolution Mapping Of Karst Structures. Continous Gradient VLF Measurements. Technical Articles. Vol. 19. No 345-350.
Bronto, S. dan Hartono, H.G., (2001), Panduan Ekskursi Geologi Kuliah Lapangan 2, STTNAS: Yogyakarta.
Coppo, N. Schnegg, P & Defago, M. (2006). Mapping a Shallow Lage Cave Using a High Resolution Very Low Frequency Electromagnetic Method.
Proceedings of The 8th Conference on Limestone Hydrogeology. Neuchatel Switzerland.
Febria, A. (2009). Estimasi Aliran Sungai Bawah Tanah dengan Menggunakan Metode Geofisika VLF EM Mode Sudut Tilt di Daerah Dengok dan Ngrejok Wetan, Gunungkidul Yogyakarta. Tesis. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Gadjah Mada.
Holt, C.A. (1967). Electromagnetic Field and Waves. Departement Of Electrical Engineering Virginia Polytechnic Institute.
Husein, S. dan Srijono, 2009. Tinjauan Geomorfologi Pegunungan Selatan DIY/Jawa Tengah: Telaah Peran Faktor Endogenik dan Eksogenik Dalam Proses Pembentukan Pegunungan. in: Prosiding Workshop Geologi Pegunungan Selatan 2007, Badan Geologi, Bandung, h 19-29.
Kaikonen, P. (1979). Numerical VLF Modeling. Geophysical Prospecting. Vol 27.
No 815-834.
Karous, M,. & Hjelt, S.E. (1983). Linear Filtering Of VLF Dip-Angle Measurements. Geophysical Prospecting 31. 782-794.
Kusumayudha, S.B. (2005). Hidrogeologi Karst dan Geometri Fraktal di Daerah Gunungsewu. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Nabighian, M. (1991). Electromagnetic Methods In Applied Geophysics.
Oklahoma: Society Of Exploration Geophysics.
Sudarno, I., 1997. Kendali Tektonik Terhadap Pembentukan Struktur Pada Batuan Paleogen dan Neogen di Pegunungan Selatan, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Sekitarnya. Tesis Master: Bandung, Institut Teknologi Bandung.
Surono, B. Toha dan I. Sudarno, 1992, Peta geologi lembar Surakarta – Giritontro, Jawa, skala 1:100.000, Puslitbang Geologi, Bandung
Suyoto. 1997. Stratigrafi Sikuen Cekungan Depan Busur Neogen Jawa Selatan Berdasarkan Data di Daerah Pegunungan Selatan, Yogyakarta. Disertasi Doktor.
Jurusan Teknik Geologi ITB (tidak diterbitkan)
Telford. W.M,. Geldart. L.P,. & Sheriff. R.E,. (1990). Applied Geophysics. Second Edition. Cambridge: Cambridge University Press.
Tsuji, Yamamoto, K., Matsuoka, T., Yamada, Y., Onishi, K., Bahar, A., Meilano, I., dan Abidin, H.Z., 2009. Earthquake Fault of the 26 May 2006 Yogyakarta Earthquake Observed by SAR Interferometry. Earth Planets Space, 61, h.
e29-e32.
Untung, M., Ujang, K., dan Ruswadi, E., 1973. Penyelidikan Gaya Berat di Daerah YogyakartaWonosari, Jawa Tengah. Publikasi Teknik Seri Geofisika, No.
3, Direktorat Geologi Bandung.
Van Bemmelen, R.W., 1949. The Geology of Indonesia, Vol. 1A. Government Printing Office, The Hauge, Amsterdam.
Wibowo, Eko. Indriati Retno P, & Tim Asisten Laboraium. 2017. Modul Praktikum Elektromagnetik. Yogyakarta. Teknik Geofisika. UPN 'Veteran' Yogyakarta.