• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH FARMAKOLOGI OBAT SISTEM RESPIRASI

N/A
N/A
deniel juanda

Academic year: 2024

Membagikan "MAKALAH FARMAKOLOGI OBAT SISTEM RESPIRASI"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH FARMAKOLOGI OBAT SISTEM RESPIRASI Rinitis Alargi

OLEH:

 Daniel Juanda Pah (2208010001)

 Ni Wayan Ruci Radha Ningsih (2208010002)

 Maria Rysta Fridolin Lawi (2208010003)

 Dwi Faradila (2208010004)

 Tresna Eloisha Boimau (2208010005)

 Cindy Radja ( 2208010006)

 Nurul Inosiati Pella (2208010007)

 Theodora Pentakostin S.Lewerang(2208010008)

 Sandiny Pangestu Aji (2208010009)

 Suriana Desty Maltus(208010010)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN & KEDOKTERAN HEWAN BLOK RESPIRASI

UNIVERSITAS NUSA CENDANA 2022/2023

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas berkat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan Makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya.

Makalah ini membahas tentang farmakologi istem respirasi khususnya “Rinitis Alergi”

Kami berterima kasih kepada semua pihak yang mendukung penyusunan makalah ini. Kami berharap agar makalah ini mampu memberi sudut pandang yang baru bagi pembaca tentang topik yang kami diskusikan.

Dengan kerendahan hati, kami memohon maaf apabila ada kesalahan dalam penyusunan makalah ini. Kami terbuka terhadap kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Kupang, 18 Februari 2024

(3)

Kelompok 1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berdasarkan survey WHO penderita rinitis alergi berjumlah sekitar 400 juta

penduduk dunia. Studi ISAAC pada kelompok usia 13-14 tahun didapatkan prevalensi sebesa 1.4 -

39.7%. Rinitis alergi juga dikatakan sebagai masalah global yang selalu mengalami peningkatan dan

memerlukan perhatian khusus. Riwayat atopi keluarga, faktor gaya hidup dan keadaan lingkungan

merupakan faktor yang berkontribusi terhadap kejadian rinitis alergi.

1.2 Rumusan masalah

 Jelaskan Definisi Rinitis Alergi

(4)

 Jelaskan Anatomi dan Fisiologi organ terkait

 Jelaskan Patofisiologi

 Jelaskan Gejala Klinik

 Jelaskan Faktor Risiko

 Jelaskan Penatalaksanaan secara a). Non Farmakologi

b). Farmakologi

 Jelaskan Obat – Obatan yang digunakan:

 Indikasi

 Dosis

 Pemakaian

 Mekanisme Kerja

 Efek Samping

 Kontraindikasi

 Interaksi obat 1.3 Tujuan

Untuk menjelasakan dan mengetahui definisi,anatomi,

fisiologi,gejala klinik,faktor risiko , penatalaksanaan secara farmako an non farmakologi dan pemakaian obat obatan pada rinitis alergi.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi oleh alergen yang sama serta dilepaskan suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Menurut WHO

(5)

ARIA (Allergic Rhinitis and it’s Impact on Asthma), 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh Ig E. Rinitis ditemukan di semua ras manusia, pada anak-anak lebih sering terjadi terutama anak laki-laki. Memasuki usia dewasa, prevalensi laki-laki dan perempuan sama. Insidensi tertinggi terdapat pada anak-anak dan dewasa muda dengan rerata pada usia 8-11 tahun, sekitar 80% kasus rinitis alergi berkembang mulai dari usia 20 tahun.

Insidensi rinitis alergi pada anak-anak 40% dan menurun sejalan dengan usia sehingga pada usia tua rinitis alergi jarang ditemukan.

2.2 Anatomi dan fisiologi

Hidung merupakan salah satu organ terpenting berongga berisi udara yang berada di bagian anterior tengkorak, yang salah satu fungsinya sebagai alat pelindung tubuh terhadap lingkungan yang tidak

menguntungkan.Hidung terdiri atas dua bagian hidung luar dan hidung dalam (cavum nasi).

- Hidung luar

(6)

Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (tip), 4) ala nasi, 5) kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior).

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasal), prosesus frontalis os maksila, dan prosesus nasalis os frontal.

Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor, dan tepi anterior kartilago septum

- Hidung dalam

- Rongga hidung atau cavum nasi terletak dari nares anterior atau pintu masuk rongga hidung sampai lubang belakang atau disebut juga nares posterior (coana) yang menghubungkandengan

nasofaring. Rongga hidung dipisah oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga membentuk kavum nasi kanan dan kiri.

Kavum nasi dibatasi oleh 4 buah dinding yaitu medial, lateral, inferior, dan superior. Dinding medial ditandai oleh septum nasi yang dibentuk tulang dan tulang rawan. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Konka yang berukuran lebih kecil dan diatasnya disebut konka media, konka superior terletak diatas konka media dan berukuran lebih kecil, dan yang terkecil disebut konka suprema. Diantara konka-konka dan dinding lateral

hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Kompleks Ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi konka media dan lamina papirasea. KOM dibentuk oleh prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan resesus frontal. Fungsi KOM sebvagai tempat dreinase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmois anterior dan frontal.

(7)

Fisiologi

Berdasarkan beberapa teori, fungsi fisiologis hidung adalah : (Higler 1997; Soetjipto 2007; Dhingra 2014)

1. Sebagai jalan nafas

Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi concha media dan kemudian turun ke bawah ke arah

nasopharynx, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui choana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akibat gesekan pada lumen nasi, sebagian aliran udara kembali ke belakang membentuk pusaran di bawah concha media dan inferior yang memberikan ventilasi sinus melalui ostium.

2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)

Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk

mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara :

A. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini berjalan bersamaan denganfungsi pengaturan suhu. Udara inspirasi diatur

kelembabannya oleh palut lendir (mucous blanket). Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan udara inspirasi oleh palut lendir, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.

B. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena permukaan mukosa yang luas dan memiliki banyak vaskuler terutama di daerah concha media dan inferior serta bagian yang berdekatan

(8)

dengan septum nasi, sehingga mekanisme “radiator” dapat berlangsung secara optimal. Udara inspirasi dengan suhu rendah dapat ditingkatkan mendekati suhu tubuh normal (370), begitu pula sebaliknya.

3. Sebagai penyaring dan pelindung

Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu, virus dan bakteri yang dilakukan oleh :

● Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi

● Silia

● Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri pada palut lendir dan partikel-partikel besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasopharynx oleh gerakan silia.

● Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lysozime

4. Fungsi Fonetik

Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau.

Hidung juga membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir dan palatum molle. Pada pembentukan konsonan nasal (m,n,ng) dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran udara.

5. Refleks nasal

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh: iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas 6. Indra penghidu

Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfactorius pada atap rongga hidung, concha superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat

(9)

2.3 Patofisiologis

Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti tahap provokasi atau reaksi alergi.

Reaksi alergi dapat dibagi menjadi dua yaitu reaksi alergi fase cepat dan reaksi alergi fase lambat. Reaksi alergi fase cepat berlangsung sejak kontak dengan alergen hingga satu jam setelahnya sedangkan reaksi alergi fase lambat berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam setelah paparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit berperan sebagai sel penyaji atau Antigen Presenting Cell (APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen peptida pendek dan bergabung dengan molekul Human Leucocyte Antigen atau HLA kelas II membentuk komplek peptida Major Hystocompatibility Complex atau MHC kelas II yang kemudian dipresentasikan pada sel T-helper yaitu Th0.

Kemudian APC akan melepaskan sitokin seperti IL 1 yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. 8,9 Th2 akan menghasilkan sitokin seperti IL 3, IL 4, IL5danIL13.IL4danIL13diikatoleh reseptornya di permukaan sel limfosit B sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan memproduksi imunoglobulin E atau IgE. IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi. Pada proses ini dihasilkan sel mediator yang tersensitisasi.

Jika mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar oleh alergen yang sama maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi

(10)

degranulasi sel mastosit dan basofil. Mediator kimia yang sudah terbentuk atau disebut juga preformed mediator seperti histamin akan terlepas. Selain itu juga dikeluarkan newly formed mediator seperti prostaglandin D2, leukotrien D4, leukotrien C4, bradikinin, platelet activating factor dan berbagai sitokin seperti IL 3, IL4, IL5, IL6, Granulocyte Macrofage Colony Stimulating FactorI (GM-CSF). Reaksi ini disebut reaksi alergi fase cepat.

Histamin kemudian akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin- bersin; hipersekresi kelenjar mukosa dan sel goblet serta peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi rinore; vasodilatasi sinusoid sehingga menimbulkan hidung tersumbat; menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1).

Pada reaksi alergi fase cepat, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Gejala akan berlanjut dan mencapai puncak setelah 6- 8 jam. Reaksi ini disebut reaksi alergi fase lambat.

Reaksi alergi fase lambat ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5, GM- CSF dan ICAM 1 pada sekret hidung. Gejala hiperaktif dan hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), Eosinophilic Peroxidase (EPO).

2.4 Gejala Klinik

 Pasien datang dengan keluhan keluarnya ingus encer dari hidung (rinorea)

 hidung tersumbat

 rasa gatal pada hidung (trias alergi).

 Bersin merupakan gejala khas, biasanya terjadi berulang, terutama pada pagi hari.

 Bersin lebih dari lima

kali sudah dianggap patologik dan perlu dicurigai adanya rinitis ale rgi dan ini menandakanreaksi alergi fase cepat

 Gejala lain berupa mata gatal dan banyak air mata.

(11)

2.5 Faktor Risiko

 Adanya riwayat atopi.

 Lingkungan dengan kelembaban yang tinggi merupakan faktor risiko untuk untuk tumbuhnya jamur, sehingga dapat timbul gejala alergis.

 Terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprei tempat tidur, suhu yang tinggi.

2.6 Penatalaksanaan 2.6.1 Non Farmakologi

 Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen penyebab. Pada umumnya, pengendalian pajanan/menghindari faktor risiko penyebab cukup untuk mengatasi gejala (meskipun membutuhkan waktu yang cukup lama)

 Jaga kebersihan dengan larutan salin pencuci nasal.

(12)

 Pemeliharaan dan peningkatan kebugaran jasmani telah

diketahui berkhasiat dalam menurunkan gejala rhinitis Alergis

 Lakukan operatif dengan Tindakan konkotomi parsial(pemotongan sebagian konka inferior) konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipirkan bila konka inferior mengalami hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.

Inferior turbinoplasty

(13)

2.6.2 Farmakologi 1. Cetrizine

Cara konsumsi :

 Per-Oral

 Dengan atau tanpa makan

 Diminum kapan saja dalam sehari, disarankan untuk diminum pada waktu yang sama dalam sehari, agar menjaga kestabilan obat di dalam tubuh

2. Loratadine Cara konsumsi :

 Obat dapat diberikan secara oral

 Dengan atau tanpa makanan, meskipun rekomendasinya adalah minum obat oral saat perut kosong. Tablet yang dapat terdispersi ditempatkan di mulut dan dibiarkan larut. Pasien mungkin menelannya dengan atau tanpa air.

 Loratadine dapat diminum kapan saja dalam sehari, tetapi lebih baik diminum pada waktu yang sama setiap hari untuk menjaga kadar obat dalam tubuh tetap stabil.

 Phenylephrine nasal/spray Cara pemakaian :

 Sebelum menggunakan Phenylephrine nasal, bersihkan hidung dengan membersihkan lendir yang berlebihan.

Kemudian, masukkan ujung semprotan ke dalam lubang hidung dan semprotkan obat dengan lembut sambil menahan napas. Hindari menyemprotkan terlalu dalam atau terlalu kuat. Setelah menggunakan obat, bersihkan ujung semprotan dengan tisu bersih untuk mencegah kontaminasi.

3. Pseudoephedrine Cara konsumsi :

 Pseudoephedrine biasanya tersedia dalam bentuk tablet atau kapsul yang diminum melalui mulut. Telan tablet atau kapsul dengan segelas air, dan jangan mengunyah atau menghancurkan obat tersebut.

4. Budenosid

 Kocok botol obat dengan lembut sebelum digunakan.

 Kemudian, lepaskan penutup dan periksa ujung aplikator untuk memastikan tidak ada blokade.

 Kemudian, miringkan kepala sedikit ke depan dan sisipkan ujung aplikator ke dalam lubang hidung yang akan diobati.

(14)

 Tahan lubang hidung yang tidak diobati dengan jari, dan semprotkan dosis yang diresepkan oleh dokter ke dalam lubang hidung sambil bernapas lembut melalui hidung. Jangan semprotkan terlalu dalam.

 Bernapaslah lembut melalui hidung setelah menyemprotkan obat untuk mendistribusikannya dengan baik.

 Ulangi langkah-langkah di atas untuk lubang hidung lainnya jika diresepkan.

5. Mometasone

 Miringkan kepala sedikit ke depan.

 Sisipkan ujung aplikator ke dalam lubang hidung yang akan diobati.

 Tarik napas lembut melalui hidung.

 Tekan ujung botol untuk menyemprotkan dosis yang diresepkan oleh dokter ke dalam lubang hidung sambil bernapas lembut melalui hidung.

 Jangan menyemprotkan terlalu dalam. Pastikan semprotan masuk ke dalam hidung dan bukan ke tenggorokan.

 Bernapaslah lembut melalui hidung setelah menyemprotkan obat untuk mendistribusikannya dengan baik.

 Ulangi langkah-langkah di atas untuk lubang hidung lainnya jika diresepkan.

6. ipratopium Bromide

Cara pemakaian :

 Kocok inhaler secara lembut sebelum digunakan.

 Sisipkan inhaler ke dalam mulut dengan mulut yang terbuka dan bibir yang rapat di sekitar mulutpiece.

(15)

 Hirup secara dalam dan perlahan-lahan saat menekan inhaler untuk menyemprotkan dosis. Jangan menghirup terlalu cepat.

 Tahan napas selama 10 detik, atau sesuai anjuran dokter, kemudian hembuskan perlahan melalui mulut atau hidung.

 Jika Anda diresepkan untuk menggunakan lebih dari satu semprotan, ulangi langkah-langkah di atas sesuai dengan jumlah semprotan yang diresepkan.

2.7 Obat- obat yang digunakan

Golongan obat Nama Obat

(16)

Antihistamin 1. Cetrizine 2. Loratadine

Decongestan 1. Nasal = Phenyephrine

2. Sistemik = Pseudoephedrine

Kortikosteroid  Udesonid

 Mometasone

Antikolinergik 1. Iratopium bromide

7.1 Indikasi Obat

 cetrizine

Setirizin adalah obat yang berguna untuk mengatasi reaksi alergi.

Obat ini mampu meredakangejala alergi, seperti bersin, mata gat al dan berair, serta hidung dan tenggorokan gatal.

 Loratadine

Loratadin ameredakan gejala alergi, seperti pada rinitis alergi ya ng ditandai dengan bersin, pilek, tenggorokan gatal, dan mata ber air.

Obat ini juga mengurangi reaksi alergi pada kulit, yakni gatal, be ntol, dan kemerahan akibatbiduran atau urtikaria.

Namun, loratadine tidak mencegah reaksi alergi kulit lainnya. Fu ngsi loratadin adalahmenghalangi produksi histamin, yakni senya wa yang berperan terhadap timbulnya reaksi alergi.

 Phenylephrine adalah

agonis reseptor alfa-1 adrenergik yang banyak digunakan untuk

meredakan hidung tersumbat akibat

commoncold atau rhinitis alergi.Phenylephrine mengakibatkan v asokonstriksi yang membatasi jumlah cairan hidung, tenggoroka n, dan sinus, serta dapat mengurangi inflamasimukosa hidung.

Selain sediaan oral,phenylephrine juga tersedia dalam bentuk tet es mata. Sediaan ini umumnyadigunakan untuk melebarkan pupil sebelum pemeriksaan dan operasi mata, serta meredakanmata me rah akibat iritasi ringan.

(17)

Phenylephrine juga digunakan untuk menangani hipotensi yang d isebabkan oleh pemberian obatanestesi. Pemberian phenylephrin e intravena dapat meningkatkan tekanan darah sistolik dandiastol ik,meanarterialpressure, serta resistensi vaskular perifer. Meski d emikian, phenylephrine injeksi tidak ada di Indonesia.

 Pseudoephedrine

digunakan untuk meredakan hidung tersumbat sementara dan ny eri/tekanan sinusyang disebabkan oleh infeksi (seperti pilek, flu) atau penyakit pernapasan lainnya (seperti demam, alergi, bro nkitis).

 Budesonide

digunakan untuk mencegah kesulitan bernapas,

dada sesak, mengi, dan batuk yang disebabkanoleh asma.

Penyakit Crohn (penyakit peradangan kronis/jangka panjang yan g menyerang sistempencernaan sehingga dapat menimbulkan gej ala seperti nyeri, diare, penurunan berat badan, dandemam).

Menurunkan kadar protein dalam urin pada pasien dengan penya

kit nefropati imunoglobulin A primer

(penyakit ginjal yang ditandai dengan penumpukan zat antibodi ( imunoglobin A: berperan dalam sistem kekebalan tubuh)

di ginjal sehingga menyebabkan peradangan padaginjal).

 Mometasone furoate

diindikasikan untuk meringankan manifestasi inflamasi dan pruri tus pada dermatosis yang responsif terhadap kortikosteroid sepert i psoriasis dan dermatitis atopik.

Larutan inhalasi ipratropium bromida yang diberikan sendiri atau dengan bronkodilator lain, terutama beta adrenergik, diindikasika n sebagai bronkodilator untuk pengobatan pemeliharaanbronkosp asme yang berhubungan dengan penyakit paru obstruktif kronik, termasuk bronkitiskronis dan emfisema.

7.2 Dosis obat 1. Cetirizen

Dosis :

 Dewasa : 5-10 mg PO qDay, tergantung pada tingkat keparahan gejala; tidak melebihi 10 mg qDay

 Anak :

(18)

 ● <2 tahun: Keamanan dan kemanjuran belum ditetapkan

 ● 2-6 tahun: 2,5 mg (0,5 sendok teh) larutan oral PO qDay; dapat ditingkatkan menjadi 5 mg PO qDay atau 2,5 mg PO dua kali sehari; tidak boleh melebihi 5 mg qDay

 ● > 6 tahun: 5-10 mg PO qDay, tergantung pada tingkat keparahan gejala; tidak melebihi 10 mg qDay

 Interaksi Obat-obat

Tidak ada (dengan obat lain yang digunakan)

 Interaksi obat- mamin :

Alkohol dapat meningkatkan efek samping cetirizine pada sistem saraf seperti pusing, mengantuk, dan sulit

berkonsentrasi. Beberapa orang mungkin juga mengalami gangguan dalam berpikir dan menilai. Anda harus

menghindari atau membatasi penggunaan alkohol saat sedang menjalani pengobatan dengan cetirizine. Jangan menggunakan cetirizine melebihi dosis yang dianjurkan, dan hindari aktivitas yang memerlukan kewaspadaan mental seperti mengemudi atau mengoperasikan mesin berbahaya sampai Anda mengetahui pengaruh obat tersebut terhadap Anda.

 Interaksi obat-penyakit : ginjal/hati 2. Loratadine

Dosis :

 Dewasa : 10 mg PO qDay atau 5 mg dua kali sehari; tidak melebihi 10 mg qDay

 Anak :

● <2 tahun: Keamanan dan kemanjuran belum ditetapkan

● 2-6 tahun: 5 mg PO qDay

● >6 tahun: 10 mg PO qDay; tidak boleh melebihi 10 mg qDay

 Interaksi Obat-obat

 budesonide + loratadine

budesonide akan menurunkan tingkat atau efek loratadine dengan mempengaruhi metabolisme enzim CYP3A4 hati/usus. Gunakan dengan Hati- hati/Pantau.

 loratadine + budesonide

loratadine akan meningkatkan tingkat atau efek budesonide oleh transporter eflux P-glikoprotein (MDR1). Gunakan Perhatian/Pantau.

(19)

3. Phenylephrine Dosis :

 Dewasa : Berikan 2-3 semprotan atau 2-3 gtt q4hr larutan 0,25-0,1% larutan PRN; tidak lebih dari 3 hari

 Anak :

● <2 tahun Konsultasikan dengan dokter

● 2-6 tahun 1-3 gtt intranasal q2-4 jam larutan PRN 0,125%; tidak boleh lebih dari 3 hari

● 6-12 tahun 2-3 gtt intranasal q4 jam larutan 0,25%

larutan PRN; tidak lebih dari 3 hari

● > 12 tahun Berikan 1-2 semprotan atau 1-2 gtt

intranasal q4jam dari 0,25-0,1% larutan PRN; tidak boleh lebih dari 3 hari

 Interaksi obat-obat : tidak ada

4. Pseudoephedrine Dosis :

 Dewasa :

● Pelepasan segera: 60 mg PO q4-6 jam PRN

● Pelepasan diperpanjang: 120 mg PO q12 jam atau 240 mg PO q24 jam

 Anak :

● <2 tahun: Keamanan dan kemanjuran belum ditetapkan

● 2-6 tahun: 5-30 mg PO q4-6 jam PRN

● 6-12 tahun: 30 mg PO q4-6 jam, ATAU 4 mg/kg/hari dibagi q6 jam; tidak melebihi 120 mg/hari

● >12 tahun: 60 mg PO q6hr PRN (pelepasan segera); sebagai alternatif, 120 mg PO q12hr (pelepasan diperpanjang) atau 240 mg PO q24hr (pelepasan diperpanjang)

 Pertimbangan Dosis : Potensi dosis toksik <6 tahun:

11 mg/kg

(20)

 Interaksi obat-obat : tidak ada

5. Budesonid Dosis :

Dewasa : Diindikasikan untuk rinitis alergi musiman atau abadi Rx

Dosis awal: 1 semprotan/ lubang hidung qDay (64 mcg/hari) Tidak melebihi 4 semprotan/ lubang hidung qDay (256 mcg/hari)

Alergi Rhinocort (Obat Bebas)

<12 tahun: Keamanan dan kemanjuran belum ditetapkan 2 semprotan/ lubang hidung qDay (128 mcg/hari); setelah gejala alergi membaik, kurangi dosis menjadi 1 semprotan/

lubang hidung qDay (64 mcg/hari)

Anak : Diindikasikan untuk rinitis alergi musiman atau abadi Rx

<6 tahun: Keamanan dan kemanjuran belum ditetapkan Dosis awal: 1 semprotan/ lubang hidung qDay (64 mcg/hari) 6-11 tahun: Tidak boleh melebihi 2 semprotan/ lubang hidung qDay (128 mcg/hari)

≥12 tahun: Tidak melebihi 4 semprotan/ lubang hidung qDay (256 mcg/hari)

Alergi Rhinocort (Obat Bebas)

<6 tahun: Keamanan dan kemanjuran belum ditetapkan 6-12 tahun: 1 semprotan/hidung qDay (64 mcg/hari); jika gejala alergi tidak membaik, dapat ditingkatkan menjadi 2 semprotan/hidung qDay (128 mcg/hari)

≥12 tahun: 2 semprotan/hidung qDay (128 mcg/hari); jika gejala alergi membaik, kurangi dosis menjadi 1

semprotan/hidung qDay (64 mcg/hari) Interaksi Obat -obat :

budesonide + loratadine

budesonide akan menurunkan tingkat atau efek loratadine dengan mempengaruhi metabolisme enzim CYP3A4 hati/usus.

Gunakan dengan Hati-hati/Pantau.

loratadine + budesonide

loratadine akan meningkatkan tingkat atau efek budesonide oleh transporter eflux P-glikoprotein (MDR1). Gunakan Perhatian/Pantau.

(21)

6. Mometasone Dosis :

Dewasa : Diindikasikan untuk gejala rinitis alergi musiman 2 semprotan per lubang hidung TAWARAN

Anak : Diindikasikan untuk gejala rinitis alergi musiman pada pasien dewasa dan anak berusia ≥12 tahun

<12 tahun: Keamanan dan kemanjuran belum ditetapkan

≥12 tahun: 2 semprotan per lubang hidung TAWARAN Interaksi obat-obat : tidak ada

7. Ipratopium bromide (spray) Dosis :

Dewasa : Meredakan gejala rinorea (Pilek)

Semprotan hidung (0,06%): 2 semprotan (0,42 mcg/semprotan) per lubang hidung q6 jam; tidak boleh melebihi 672 mcg/hari Rhinitis Alergi Musiman

Semprotan hidung (0,06%): 2 semprotan (0,42 mcg/semprotan) per lubang hidung q6jam; tidak melebihi 672 mcg/hari

Anak : Pereda Gejala Rinorea (Pilek)

● <5 tahun: Keamanan & kemanjuran belum ditetapkan

● 5-12 tahun: 2 semprotan (0,06%) di setiap lubang hidung q8 jam

● >12 tahun: 2 semprotan (0,06%) di setiap lubang hidung q6-8 jam

Rinitis alergi/non alergi

● <6 tahun: Keamanan & kemanjuran belum ditetapkan

● >6 tahun: 2 semprotan (0,03%) per lubang hidung q8-12 jam

● Rhinitis Alergi Musiman

● <5 tahun: Keamanan & kemanjuran belum ditetapkan

● > 5 tahun: 2 semprotan (0,06%) per lubang hidung q6 jam Interaksi obat-obat :

Karena penyerapan sistemik ipratropium yang buruk, interaksi tidak mungkin terjadi pada dosis yang direkomendasikan secara teratur.

(22)

7.3 Pemakaian obat 1. Cetrizine

Cara konsumsi :

 Per-Oral

 Dengan atau tanpa makan

 Diminum kapan saja dalam sehari, disarankan untuk diminum pada waktu yang sama dalam sehari, agar menjaga kestabilan obat di dalam tubuh

2. Loratadine Cara konsumsi :

 Obat dapat diberikan secara oral

 Dengan atau tanpa makanan, meskipun rekomendasinya adalah minum obat oral saat perut kosong. Tablet yang dapat terdispersi ditempatkan di mulut dan dibiarkan larut. Pasien mungkin menelannya dengan atau tanpa air.

 Loratadine dapat diminum kapan saja dalam sehari, tetapi lebih baik diminum pada waktu yang sama setiap hari untuk menjaga kadar obat dalam tubuh tetap stabil.

 Phenylephrine nasal/spray Cara pemakaian :

 Sebelum menggunakan Phenylephrine nasal, bersihkan hidung dengan membersihkan lendir yang berlebihan.

Kemudian, masukkan ujung semprotan ke dalam lubang hidung dan semprotkan obat dengan lembut sambil menahan napas. Hindari menyemprotkan terlalu dalam atau terlalu kuat. Setelah menggunakan obat, bersihkan ujung semprotan dengan tisu bersih untuk mencegah kontaminasi.

3. Pseudoephedrine Cara konsumsi :

 Pseudoephedrine biasanya tersedia dalam bentuk tablet atau kapsul yang diminum melalui mulut. Telan tablet atau kapsul dengan segelas air, dan jangan mengunyah atau menghancurkan obat tersebut.

4. Budenosid

 Kocok botol obat dengan lembut sebelum digunakan.

 Kemudian, lepaskan penutup dan periksa ujung aplikator untuk memastikan tidak ada blokade.

(23)

 Kemudian, miringkan kepala sedikit ke depan dan sisipkan ujung aplikator ke dalam lubang hidung yang akan diobati.

 Tahan lubang hidung yang tidak diobati dengan jari, dan semprotkan dosis yang diresepkan oleh dokter ke dalam lubang hidung sambil bernapas lembut melalui hidung. Jangan semprotkan terlalu dalam.

 Bernapaslah lembut melalui hidung setelah menyemprotkan obat untuk mendistribusikannya dengan baik.

 Ulangi langkah-langkah di atas untuk lubang hidung lainnya jika diresepkan.

2.7.4 mekanisme kerja Obat Antihistamin :

Histamin (pembawa pesan kimia endogen) menginduksi peningkatan tingkat permeabilitas pembuluh darah, yang menyebabkan perpindahan cairan dari kapiler ke jaringan sekitarnya. Hasil keseluruhan dari hal ini adalah peningkatan pembengkakan dan pelebaran pembuluh darah.

Antihistamin menghentikan efek ini dengan bertindak sebagai

antagonis pada reseptor H-1. Manfaat klinisnya adalah pengurangan gejala alergi dan gejala terkait lainnya.

Antihistamin generasi pertama dengan mudah melewati sawar darah- otak ke sistem saraf pusat dan memusuhi reseptor H-1, sehingga menghasilkan profil efek terapeutik dan efek samping yang berbeda dibandingkan dengan antihistamin generasi kedua yang secara selektif berikatan dengan reseptor histamin perifer.

Durasi kerja farmakologi antihistamin generasi pertama adalah sekitar 4 sampai 6 jam. Sebaliknya, antihistamin generasi kedua bekerja selama 12 hingga 24 jam. Keduanya dimetabolisme oleh hati menggunakan sistem sitokrom P450.

Sel parietal di saluran pencernaan mengeluarkan asam klorida. Mereka menjalani regulasi oleh asetilkolin, gastrin, dan juga histamin. Histamin dilepaskan dari sel mirip enterokromafin (ECL). Ketika histamin

berikatan dengan reseptor H-2 pada sel parietal, siklik adenosin monofosfat (cAMP) meningkat, menginduksi protein kinase A.

Tindakan ini kemudian menyebabkan fosforilasi protein yang berperan dalam pengangkutan ion hidrogen. Jadi peningkatan histamin

menyebabkan peningkatan asam lambung, misalnya sekresi HCl.

Penggunaan antihistamin khusus untuk reseptor H-2 menghambat seluruh proses dan mengurangi sekresi asam lambung.

(24)

Sumber : Jurnal NCBI “Antihistamin” , 10 Juli 2023 oleh : Khashayar Farzam ; Sarah Sabir ; Maria C.O'Rourke .

Decongestan :

Mekanisme kerja dekongestan adalah aktivasi reseptor alfa-adrenergik postjunctional yang terdapat pada pembuluh darah prakapiler dan pascakapiler pada mukosa hidung. Aktivasi reseptor ini melalui pengikatan langsung agen simpatomimetik ke tempat pengikatan reseptor, atau dengan peningkatan pelepasan norepinefrin menghasilkan vasokonstriksi. Vasokonstriksi tersebut menurunkan aliran darah melalui mukosa hidung dan mengakibatkan penyusutan jaringan ini. Dekongestan dapat diberikan secara topikal, langsung pada mukosa hidung, atau secara oral. Pemberian topikal yang berkepanjangan dapat menyebabkan kemacetan kembali. Dekongestan oral dapat mempengaruhi sistem kardiovaskular, saluran kemih, saraf pusat, dan endokrin. Overdosis dapat menghasilkan peningkatan tekanan darah yang signifikan secara medis serta stimulasi sistem saraf pusat.

Sumber : Jurnal NCBI “ Farmakologi dekongestan alfa-adrenergik”DA Johnson dkk. Farmakoterapi . 1993 November-Desember .

Antikolinergik :

Obat antikolinergik adalah antagonis kompetitif neurotransmitter asetilkolin pada lokasi reseptor dalam sistem kolinergik. Sistem kolinergik menggunakan dua jenis reseptor, reseptor muskarinik berpasangan protein G yang terikat membran plasma, dan reseptor nikotinik saluran ion dengan gerbang ligan. Reseptor nikotinik ditemukan di dendrit postganglionik dan badan saraf sistem saraf otonom dan di pelat ujung motorik sambungan neuromuskular.

Reseptor muskarinik terdapat pada sel organ target sistem saraf parasimpatis dan kelenjar keringat pada sistem saraf simpatis.

Antagonisme sistem kolinergik mengurangi atau, dalam beberapa kasus, mencegah efek neurotransmisi kolinergik pada sistem saraf pusat dan jaringan perifer. Obat-obatan dengan aktivitas antikolinergik terutama mempengaruhi reseptor muskarinik.

Sumber : Jurnal NCBI “Obat Antikolinergik” 8 Mei 2023, Nuh Ghossein ; Michael Kang ; Anand D.Lakhkar .

Kortikosteroid :

(25)

Kortikosteroid menghasilkan efeknya melalui berbagai jalur. Secara umum, mereka menghasilkan efek anti-inflamasi dan imunosupresif, efek metabolisme protein dan karbohidrat, efek air dan elektrolit, efek sistem saraf pusat, dan efek sel darah. Mereka memiliki mekanisme aksi genomik dan nongenomik. Mekanisme aksi genom dimediasi melalui reseptor glukokortikoid, yang menghasilkan sebagian besar efek anti-inflamasi dan imunosupresif.

Reseptor glukokortikoid terletak intraseluler di dalam sitoplasma dan, setelah berikatan, bertranslokasi dengan cepat ke dalam nukleus, di mana reseptor tersebut mempengaruhi transkripsi gen dan

menyebabkan penghambatan ekspresi gen dan translasi untuk leukosit inflamasi dan sel struktural seperti epitel. Tindakan ini menyebabkan penurunan sitokin proinflamasi, kemokin, molekul adhesi sel, dan enzim lain yang terlibat dalam respons inflamasi. Mekanisme non- genomik terjadi lebih cepat dan dimediasi melalui interaksi antara reseptor glukokortikoid intraseluler atau reseptor glukokortikoid yang terikat membran. Dalam hitungan detik hingga menit setelah aktivasi reseptor, serangkaian efek terjadi, termasuk penghambatan fosfolipase A2, yang penting untuk memproduksi sitokin inflamasi, mengganggu pelepasan asam arakidonat, dan regulasi apoptosis pada

timosit. Kortikosteroid pada konsentrasi tinggi juga akan menghambat produksi sel B dan sel T.

sumber : Jurnal NCBI “Kortikosteroid” 1 Mei 2023, Alexander Hodgens ; Tariq Sharman

7.4 Efek samping 1. Antihistamine

 cetrizine = efek samping utamanya pada orang dewasa termasuk mengantuk, kelelahan, faringitis, pusing, dan mulut kering.

 loratadine = Efek samping yang dilaporkan : lelah, sakit kepala, somnolensi, mulut kering, gangguan pencernaan, nausea,

gastritis, dan gejala alergi yang menyerupai ruam.

 Pernah dilaporkan terjadinya alopesia, anafilaksis, fungsi hati abnormal dan takiaritmia supraventrikular

walaupun jarang.

2. Decongestan - Nasal

✓ phenylephrine = Efek samping dari phenylephrine terdiri dari mual, muntah, sakit kepala, dan kegelisahan pada pasien saat terjaga.

- sistemik

(26)

✓ Pseudoephedrine = efek samping adanya rasa sakit dan pusing, peningkatan denyut jantung dan agitasi berlebihan, insomnia dan halusinasi.

3. Kortikosteroid

- Budesonid = Efek samping yang

dapat ditimbulkan pada pemberian obat ini yaitu seperti disfonia (suara serak dan lemah), batuk, dan kandidiasis

orofaringeal.

- mometasone = Efek samping mometasone furoate misalnya iritasi kulit, rasa terbakar, atau kulit kering.

4. antikolinergik

- ipratopium Bromide Efek samping

Ipratropium dihirup

Reaksi merugikan yang paling umum:

Bronkitis,Mual,Kekeringan mulut,Kulit memerah,Dispnea,Gejala flu biasa,Pusing,Radang dlm selaput lendir,Dispepsia,Sakit

punggung,ISK,Takikardia,Aritmia Ipratorium Intranasal

Reaksi merugikan yang paling umum:

Infeksi saluran,pernapasan atas,Epistaksis,Faringitis,Sakit kepala,Xerostomia,Perubahan rasa,Mual,Iritasi hidung,Aritmia

7.5 Kontra indikasi a) Cetrizine :

 • Riwayat alergi cetirizine sebelumnya.

 • Penurunan fungsi ginjal yang berat.

b) Loratadine:

 • Riwayat hipersensitif atau alergi terhadap obat loratadine atau k omponensediaan obat

 • Bayi prematur, bayi baru lahir, atau anak yang berusia di bawa h 2 tahun

 • Asma akut atau penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) c) Phenylephrine:

 • Kontraindikasi penggunaan phenylephrine berupahipertensi ber at, takikardi ventricular (irama jantungberlebih),

dan hipertiroidisme berat (hormone tiroidberlebih) d) Pseudoephedrine:

 • Riwayat alergi pseudoephedrine sebelumnya.

 • Hipertensi berat atau penyakit arteri koroner.

(27)

 • Anak usia <12 tahun.

 • Sedang dalam pengobatan atau dalam 2 minggu terakhir mengo nsumsi obatantidepresan (MAOI).

e) Budesonid :

 • Riwayat alergi budesonide.

 • Budesonide tidak boleh digunakan untuk mengobati serangan a sma yang sedang kambuh/akut.

 • Sirosis hati (jaringan parut yang terjadi pada organ hati akibat kerusakan jangkapanjang).

f) Mometasone :

 • Hipersensitif terhadap Mometasone dan komponennya.

g) ipratopium Bromide :

 • Tidak boleh diberikan pada pasien yang hipersensitifterhadap i pratropium, atropin, atau turunannya.

2.7.6 Interaksi Obat

 Cetrizine

Interaksi Obat-obat

Tidak ada interaksi berbahaya dengan obat lain yang digunakan, namun tidak boleh digunakan bersama antihistamin lainnya.

Interaksi obat- mamin :

Alkohol dapat meningkatkan efek samping cetirizine pada sistem saraf seperti pusing, mengantuk, dan sulit berkonsentrasi.

Beberapa orang mungkin juga mengalami gangguan dalam berpikir dan menilai. Anda harus menghindari atau membatasi penggunaan alkohol saat sedang menjalani pengobatan dengan cetirizine. Jangan menggunakan cetirizine melebihi dosis yang dianjurkan, dan hindari aktivitas yang memerlukan kewaspadaan mental seperti mengemudi atau mengoperasikan mesin

berbahaya sampai Anda mengetahui pengaruh obat tersebut terhadap Anda.

Interaksi obat-penyakit lainnya : Penyakit ginjal/hati

 Loratadine

Interaksi Obat-obat

 budesonide + loratadine

budesonide akan menurunkan tingkat atau efek loratadine dengan mempengaruhi metabolisme enzim CYP3A4 hati/usus. Gunakan dengan Hati-hati/Pantau.

 loratadine + budesonide

(28)

loratadine akan meningkatkan tingkat atau efek budesonide oleh transporter eflux P-glikoprotein (MDR1). Gunakan Perhatian/Pantau.

 Interaksi obat-makanan minuman :

Jus Jeruk Bali : Secara teoritis, jus jeruk bali dapat

meningkatkan konsentrasi plasma loratadine seperti halnya obat lain yang merupakan substrat jalur enzimatik CYP450 3A4. Mekanisme yang diusulkan adalah penghambatan metabolisme lintas pertama yang dimediasi CYP450 3A4 di dinding usus oleh senyawa tertentu yang ada dalam jeruk bali.

Signifikansi klinis dari interaksi potensial ini tidak diketahui.

Interaksi yang dilaporkan dengan inhibitor CYP450 3A4 yang kuat seperti klaritromisin, eritromisin, dan ketokonazol telah menghasilkan peningkatan substansial pada area di bawah kurva konsentrasi-waktu plasma (AUC) loratadine dan metabolit aktifnya, descarboethoxyloratadine, tanpa perubahan terkait dalam profil keamanan obat secara keseluruhan.

 Interaksi obat-penyakit lainnya : Adanya masalah kesehatan lainnya mungkin mempengaruhi penggunaan obat ini.

Pastikan Anda memberi tahu dokter jika Anda memiliki masalah kesehatan lainnya, terutama:

● Kencing manis atau

● Penyakit jantung atau

● Tekanan darah tinggi atau

● Penyakit ginjal atau

● Penyakit hati atau

● Masalah tiroid atau

● Kesulitan buang air kecil yang disebabkan oleh pembesaran prostat—Gunakan dengan hati-hati, karena mungkin

memperburuk kondisi ini.

 Phenyleprin

 Interaksi obat-obat : tidak ada interaksi yang berbahaya dengan obat lain yang digunakan

 Interaksi obat- makanan dan minuman :

Kafein : Pemberian dua atau lebih agen simpatomimetik secara bersamaan dapat meningkatkan risiko efek samping seperti kegugupan, mudah tersinggung, dan peningkatan denyut jantung. Stimulan sistem saraf pusat (SSP), khususnya amfetamin, dapat meningkatkan respons adrenergik terhadap vasopresor dan agen simpatomimetik lainnya. Peningkatan tambahan pada tekanan darah dan detak jantung dapat terjadi karena peningkatan aktivitas simpatis perifer.

(29)

 Interaksi obat-penyakit lainnya :

● Penyakit Kardiovaskular

Agen simpatomimetik dapat menyebabkan efek buruk pada kardiovaskular, terutama bila digunakan dalam dosis tinggi dan/atau pada pasien yang rentan. Pada jaringan jantung, agen ini dapat menghasilkan efek kronotropik dan inotropik positif melalui stimulasi reseptor beta-1

adrenergik. Curah jantung, konsumsi oksigen, dan kerja jantung dapat meningkat. Pada pembuluh darah perifer, vasokonstriksi dapat terjadi melalui stimulasi reseptor adrenergik alfa-1. Palpitasi, takikardia, aritmia, hipertensi, refleks bradikardia, oklusi koroner, vaskulitis serebral, infark miokard, serangan jantung, dan kematian telah dilaporkan. Beberapa agen ini, terutama alkaloid ephedra (efedrin, ma huang, fenilpropanolamin), juga dapat

menyebabkan pasien mengalami stroke hemoragik dan iskemik. Terapi dengan agen simpatomimetik umumnya harus dihindari atau diberikan dengan hati-hati pada pasien dengan sensitivitas terhadap amina

simpatomimetik, hipertiroidisme, atau gangguan

kardiovaskular atau serebrovaskular yang mendasarinya.

Agen ini tidak boleh digunakan pada pasien dengan penyakit arteri koroner berat atau hipertensi berat/tidak terkontrol

● Diabetes

Agen simpatomimetik dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi glukosa darah. Efek ini biasanya bersifat sementara dan ringan tetapi mungkin signifikan jika dosisnya lebih tinggi dari yang biasanya direkomendasikan. Terapi dengan agen simpatomimetik harus

diberikan dengan hati-hati pada pasien diabetes melitus. Pemantauan lebih dekat terhadap konsentrasi glukosa darah mungkin tepat.

● Glaukoma

Agen simpatomimetik dapat menginduksi midriasis sementara melalui stimulasi reseptor adrenergik alfa-1. Pada pasien dengan sudut anatomi sempit atau glaukoma sudut sempit, pelebaran pupil dapat memicu serangan akut. Pada pasien dengan bentuk glaukoma lainnya, midriasis kadang-kadang dapat meningkatkan tekanan intraokular. Terapi dengan agen simpatomimetik harus diberikan dengan hati-hati pada pasien dengan atau memiliki kecenderungan terkena glaukoma, khususnya glaukoma sudut sempit.

● BPH

Agen simpatomimetik dapat menyebabkan atau memperburuk kesulitan buang air kecil pada pasien dengan pembesaran prostat akibat kontraksi

(30)

otot polos di leher kandung kemih melalui stimulasi reseptor

adrenergik alfa-1. Terapi dengan agen simpatomimetik harus diberikan secara hati-hati pada pasien dengan hipertrofi atau neoplasma prostat.

 Pseudoephrine

Interaksi obat-obat : tidak ada interaksi berbahaya dengan obat lain yang digunakan

Interaksi obat-makanan dan minuman :

Kafein : Pemberian dua atau lebih agen simpatomimetik secara bersamaan dapat meningkatkan risiko efek samping seperti kegugupan, mudah tersinggung, dan peningkatan denyut jantung. Stimulan sistem saraf pusat (SSP), khususnya amfetamin, dapat meningkatkan respons adrenergik terhadap vasopresor dan agen simpatomimetik lainnya. Peningkatan tambahan pada tekanan darah dan detak jantung dapat terjadi karena peningkatan aktivitas simpatis perifer.

Interaksi obat-penyakit lainnya :

● Penyakit Kardiovaskular

● Penyempitan Gastrointestinal

Terapi dengan formulasi pseudoefedrin extended-release harus diberikan dengan hati-hati pada pasien dengan

penyempitan atau obstruksi gastrointestinal parah yang sudah ada sebelumnya, baik patologis maupun iatrogenik.

● BPH

● Diabetes

● Glaukoma

● Fenilketonuria

 Budesonid

 Interaksi obat-makanan dan minuman : Jeruk/Jus Jeruk menghindari konsumsi rutin jeruk bali dan jus jeruk bali dalam jumlah besar saat mengonsumsi budesonide. Grapefruit dapat meningkatkan kadar budesonide dalam tubuh dan menyebabkan peningkatan efek samping.

Interaksi obat-penyakit lainnya :

● Gangguan Hati

Studi farmakokinetik formal menggunakan suspensi inhalasi budesonide belum dilakukan pada pasien dengan gangguan hati. Namun, karena budesonide sebagian besar dibersihkan melalui metabolisme hati, gangguan fungsi hati dapat

menyebabkan akumulasi budesonide dalam plasma. Pasien dengan penyakit hati harus diawasi secara ketat.

● Hiperadrenokotisisme

(31)

● Herpes Simpleks Okular

● Tokisisitas mata

Terapi dengan kortikosteroid inhalasi dan hidung jarang menghasilkan efek toksisitas terhadap mata tetapi tetap harus diberikan dengan hati-hati pada pasien dengan riwayat

katarak, glaukoma, atau peningkatan tekanan intraokular.

Meskipun efek buruk kortikosteroid dapat diminimalkan dengan pemberian lokal dibandingkan sistemik, namun risiko tersebut tidak sepenuhnya hilang.

● Osteoporosis

Terapi jangka panjang dengan kortikosteroid inhalasi dan hidung harus diberikan dengan hati-hati pada pasien dengan

osteoporosis.

 Mometasone

Interaksi obat-obat : tidak ada interaksi berbahaya dengan obat lain yang digunakan

Interaksi obat-makanan dan minuman :

Penggunaan alkohol atau tembaka dapat menyebabkan terjadinya interaksi.

Interaksi obat-penyakit lainnnya :

● Insufisiensi adrenal

Semprotan hidung mometason dapat menyebabkan insufisiensi adrenal . Itu berarti kelenjar adrenal tidak menghasilkan cukup hormon steroid. Gejala kondisi ini mungkin terjadi ketika berhenti menggunakan obat ini. Gejalanya bisa berupa kelemahan, kelelahan, dan tekanan darah rendah.

● Perforasi septum hidung

Penggunaan semprotan hidung mometason selama beberapa bulan dapat menyebabkan perforasi septum hidung. Artinya, bisa saja terjadi robekan atau lubang pada daging yang membelah lubang hidung.

● Masalah mata

Semprotan hidung mometason dapat menyebabkan glaukoma atau katarak . Hal ini terutama menjadi perhatian bagi orang yang menggunakan obat ini dalam jangka panjang. Ini dapat menimbulkan perubahan penglihatan, seperti penglihatan ganda atau kesulitan melihat pada sudut tertentu.

 Ipratopium bromide (spray )

 Interaksi obat-obat :

(32)

Karena penyerapan sistemik ipratropium yang buruk, interaksi tidak mungkin terjadi pada dosis yang direkomendasikan secara teratur.

 Interaksi obat-makanan dan minuman :

Beberapa bentuk sediaan mengandung soya lecithin. Jangan diberikan pada pasien yang alergi terhadap soya lecithin / kedelai / kacang. Betelnut kemungkinan dapat menurunkan efek

antikolinergik Ipratropium

 Interaksi obat-penyakit lainnnya :

● Penyakit kardiovaskular

Bronkodilator adrenergik dapat menstimulasi reseptor beta-1 dan beta-2 kardiovaskular, sehingga menimbulkan efek samping seperti takikardia, palpitasi, vasodilatasi perifer, perubahan tekanan darah, dan perubahan EKG (misalnya pendataran gelombang T; pemanjangan interval QT; ST depresi segmen).

Stimulasi langsung pada jaringan jantung dimediasi oleh reseptor beta-1 sehingga kecil kemungkinannya terjadi pada agen selektif beta-2 seperti albuterol. Namun, selektivitas beta-2 tidak mutlak dan dapat hilang dengan dosis yang lebih besar. Dosis tinggi agen ini telah dikaitkan dengan pengendapan atau perburukan angina, iskemia miokard, dan aritmia jantung. Terapi dengan bronkodilator adrenergik harus diberikan dengan hati-hati pada pasien dengan sensitivitas terhadap amina simpatomimetik, hipertiroidisme, dan/atau kelainan kardiovaskular yang mendasari seperti insufisiensi koroner, aritmia jantung, atau hipertensi. Dosis yang dianjurkan tidak boleh dilampau

● Diabetes

Bronkodilator adrenergik dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi glukosa darah. Efek ini biasanya bersifat sementara dan ringan, namun mungkin signifikan jika dosisnya lebih tinggi dari yang biasanya direkomendasikan. Albuterol IV dosis besar (tidak tersedia secara komersial di AS) dan terbutaline sulfat telah dilaporkan menyebabkan eksaserbasi diabetes mellitus dan ketoasidosis yang sudah ada sebelumnya. Terapi dengan

bronkodilator adrenergik harus diberikan dengan hati-hati pada pasien diabetes melitus. Pemantauan lebih dekat terhadap

konsentrasi glukosa darah mungkin tepat. Efek samping sistemik diminimalkan, namun tidak hilang, dengan pemberian agen ini melalui inhalasi oral.

● Hipokalemia

Bronkodilator adrenergik dapat menyebabkan penurunan konsentrasi kalium serum, terutama bila diberikan melalui

nebulisasi atau pemberian intravena. Meskipun efek ini biasanya

(33)

bersifat sementara dan tidak memerlukan suplementasi, hipokalemia yang signifikan secara klinis dapat terjadi pada beberapa pasien, yang berpotensi menyebabkan efek samping kardiovaskular. Relevansi observasi ini dengan aerosol/bubuk oral atau oral untuk terapi inhalasi tidak diketahui. Terapi dengan bronkodilator adrenergik harus diberikan dengan hati-hati pada pasien dengan atau cenderung mengalami hipokalemia.

● Kejang

Bronkodilator adrenergik dapat menyebabkan stimulasi SSP.

Terapi dengan bronkodilator adrenergik harus diberikan dengan hati-hati pada pasien dengan gangguan kejang. Efek samping sistemik diminimalkan, namun tidak hilang, dengan pemberian agen ini melalui inhalasi oral.

BAB 3 PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Rhinitis alergi merupakan penyakit inflamasi yang dimediasi IgE pada mukosa hidung, yang dipicu oleh adanya paparan alergen. Kondisi ini berdampak signifikan pada tidur, pekerjaan, dan kinerja sekolah

penderitanya. Kondisi rhinitis alergi ini sering dikaitkan dengan kondisi dermatitis atopi, alergi makanan, dan asma. Gejala utamanya termasuk rinorea, hidung tersumbat, dan bersin, meskipun gejala mata juga dapat terjadi. Berbagai pilihan terapi tersedia untuk penanganan rhinitis alergi. Algoritma pengobatan standar dimulai dengan edukasi untuk menghindari alergen, kemudian diikuti dengan pemberian agen

farmakologis. Untuk rhinitis alergi ringan hingga sedang, antihistamin generasi baru menjadi pengobatan lini pertama dan lebih disukai daripada antihistamin generasi lama, karena lebih aman dengan efek samping yang minimal. Kortikosteroid intranasal adalah perawatan andalan untuk rhinitis alergi sedang hingga berat karena terbukti aman dan efektif. Pada pasien yang tidak ada perbaikan setelah pemberian kortikosteroid intranasal, kombinasi antihistamin dan kortikosteroid harus dipertimbangkan. Jika dengan pemberian obat-obatan kombinasi

(34)

tidak ada perbaikan, satu-satunya pilihan adalah dengan allergic specific immunotherapy.

Daftar Pustaka

Passali D, Spinosi MC, Crisanti A, Bellussi LM. Mometasone furoate nasal spray: a systematic review. Multidiscip Respir Med. 2016 May 2;11:18. doi: 10.1186/s40248-016-0054-3. PMID: 27141307; PMCID:

PMC4852427.

Naqvi A, Gerriets V. Cetirizine. [Diperbarui 2023 30 Januari]. Di:

StatPearls [Internet]. Pulau Harta Karun (FL): Penerbitan StatPearls;

2024 Januari-. Tersedia dari: https://www-ncbi-nlm-nih- gov.translate.goog/books/NBK549776/?

_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=tc

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Panduan Praktis Klinis (PPK) Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) 2022: 748-749

Sumber : Jurnal NCBI “ Farmakologi dekongestan alfa-adrenergik”DA Johnson dkk. Farmakoterapi . 1993 November-Desember .

(35)

Sumber : Jurnal NCBI “Obat Antikolinergik” 8 Mei 2023, Nuh Ghossein ; Michael Kang ; Anand D.Lakhkar .

Buku panduan praktik klinis (PPK) bagi dokter di fasilitas pelayanan Kes ehatan Tingkat pertama(FKTP)

• Obat Cetirizine - Cara Kerja, Kontra Indikasi, Efek samping| AI Care (ai-care.id)

• Obat Loratadine - Cara Kerja, Kontra Indikasi, Efeksamping | AI Care (ai-care.id)

• Obat Phenylephrine - Cara Kerja, Kontra Indikasi, Efeksamping | AI Care (ai-care.id)

• Obat Pseudoephedrine - Cara Kerja, Kontra Indikasi, Efeksamping | AI Care (ai-care.id)

• Obat Budesonide - Cara Kerja, Kontra Indikasi, Efeksamping | AI Care (ai-care.id)

• Mometasone: Manfaat - Dosis dan Efek Samping - IDN Medis

Nazmiansyah, N. (2023). KORELASI DERAJAT DEVIASI DAN TIPE MORFOLOGI SEPTUM NASI MENGGUNAKAN CT SCAN DENGAN TINGKAT KEPARAHAN OBSTRUKSI NASAL (NOSE SCALE) (Doctoral dissertation, Universitas Hasanuddin).

Cetirizine. (2021). Retrieved 23 December 2021, from

https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/Cetirizine#section=Drug- and-Medication-Information

Drugs and Lactation Database [Internet]. Bethesda (MD): National Library of Medicine (US); 2006-. Phenylephrine. [Updated 2018 Oct 31]. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK501438/

Web MD. Pseudoephedrine ER – Uses, Side Effects, and More.

Webmd.com. Retrieved 18

February https://www.webmd.com/drugs/2/drug-4908-

821/pseudoephedrine-oral/pseudoephedrine-sustained-release- oral/details

MIMS Indonesia. Budesonide. Mims.com. Retrieved 30 March 2022, from https://www.mims.com/indonesia/drug/info/budesonide?

mtype=generi

Referensi

Dokumen terkait

Siklamat yang memiliki tingkat kemanisan yang tinggi dan enak rasanya tanpa rasa pahit walaupun tidak berbahaya dan digunakan secara luas dalam makanan dan

Kemungkinan lain terjadinya interaksi obat adalah akibat kebiasaan beberapa penderita untuk mengobati diri sendiri dengan obat-obatan yang dapat dibeli di toko-toko obat

di tempat bahan kimia berbahaya digunakan; menyimpan makanan, minuman, cangkir, dan peralatan makan dan minum lainnya di tempat bahan kimia ditangani atau

Sedangkan pada rawat jalan ditemukan 128 interaksi obat terdiri dari 47 kasus interaksi obat-obat dan 81 kasus interaksi obat-makanan dengan pola interaksi obat farmakokinetik

Berarti pemberian obat melalui saluran gastrointestinal (GI), Kerugian dari pemberian melalui jalur ini adalah absorpsinya lambat, tidak dapat diberikan pada pasien yang tidak

Berdasarkan tabel dan gambar hasil pernyataan tenaga kefarmasian memberikan informasi tentang interaksi obat dengan makanan atau minuman diketahui terdapat 4 atau

Sedangkan pada rawat jalan ditemukan 128 interaksi obat terdiri dari 47 kasus interaksi obat-obat dan 81 kasus interaksi obat-makanan dengan pola interaksi obat farmakokinetik 72%,

Interaksi farmakokinetik adalah interaksi yang dapat terjadi ketika obat mempengaruhi proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi ADME daripada obat lain, sehingga dampaknya