MAKALAH
KITAB KITAB HADIST UTAMA
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Hadist
Diusun Oleh:
Azwar Hamid :4122019
Rizki Ananda Harahap :4122027 Shilfia Nuraziah :4122003 Tia Putriana :4122015 Fatimah Azzahrah :4122012
Dosen Pengampu:
Ade Istikomah M.Ag
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH UIN SJECH M.DJAMIL DJAMBEK BUKITTINGGI
T.A 2022 M/1444 H
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbeda dengan al-Qur`an yang keseluruhannya diriwayatkan dengan mutawâtir (qath`iyat al-tsubût), mayoritas Hadits merupakan khabar ahad yang hanya menghasilkan hal yang bersifat dugaan (zhanniyat al-tsubût). Oleh karena itu, usaha untuk menjaga Hadits para ulamâ‟ membuat karya dalam bidang Hadits yang sangat kaya, bahkan terkadang satu ulamâ‟ memiliki puluhan karya di bidang ini. Ditambah pula metode dan sistematika penyusunan yang digunakan bermacam-macam dan berbeda antara satu dengan yang lain. Dengan karya yang demikian banyak, tentu tidak mudah untuk mengkaji dan mengenal seluruhnya, apalagi dilakukan oleh orang yang tidak secara khusus mendalami ilmu-ilmu agama.
Padahal, Hadits adalah sumber hukum dari ajaran Islam, sehingga pembahas kajian-kajian keIslaman pasti membutuhkan Hadits sebagai argumentasi. Faktor banyaknya karya di bidang Hadits ini seringkali membuat pengkaji keilmuan Islam kurang tepat dalam mereferensi kepada Hadits, terutama dalam karya ilmiah, baik skripsi maupun tesis, yang merupakan tugas akhir bagi calon sarjana ilmu-ilmu keislaman. Bahkan, tampaknya sebagian lainnya lebih memilih tidak mencantumkan Hadits-Hadits yang seharusnya dicantumkan dalam kajiannya demi menghindari kesalahan-kesalahan yang mungkin dilakukannya. Oleh karena itu, perlu terdapat kajian mengenai ragam dan karakteristik kitab-kitab Hadits untuk memudahkan melacak maupun mereferensi pada setiap Hadits yang dinukil.
2 B. Rumusan Masalah
1. Apa saja kitab-kitab hadist utama yang di gunakan?
2. Siapa saja ulama-ulama yang menulis kitab-kitab hadist tersebut?
3. Biografi dari ulama-ulama penulis kitab-kitab hadist?
4. Apa perbandingan dan keutamaan di antra kitab-kitab hadist?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mendeskripsikan tentang kitab-kitab hadist utama.
2. Untuk mendeskripsikan siapa saja ulama yang menulis kitab-kitab tersebut.
3. Untuk mendeskripsikan biografi ulama-ulama penulis kitab-kitab hadist.
4. Untuk mendeskripsikan perbandingan dan keutamaannya.
3 BAB II PEMBAHASAN
A. Kitab Shahihain
Kitab shahih milik keduanya merupakan kitab yang disepakati oleh ahlussunnah sebagai kitab yang paling shahih setelah Al-Qur'an. Di dalam Shahih Al-Bukhari terdapat lebih dari 7.000 hadits termasuk yang diulang di dalam 97 jilid buku. Sedangkan di dalam Shahih Muslim jumlahnya sekitar 7500 hadits termasuk pengulangan dalam 57 jilid.
Kedua kitab tersebut belumlah merangkum semua hadits shahih yang ada. Al-Bukhari berkata: “Aku tidak memasukkan dalam kitabku, yakni Al- Jami’ (Shahih Bukhari), kecuali yang shahih-shahih saja. Ada hadits-hadits shahih yang lain tidak aku masukkan karena terlalu panjang.”, Imam Muslim berkata: “Tidak semua hadits shahih kucantumkan di situ, aku hanya mencantumkan hadits-hadits yang telah disepakati (keshahihannya).” Masih banyak hadits shahih yang belum tercantum dalam Shahihain, ada riwayat dari Al Bukhari yang menyebutkan: “Hadits-hadits shahih yang kutinggalkan masih banyak.” Dia juga berkata: “Aku menghafal 100.000 hadits shahih, dan 200.000 hadits (lainnya) yang tidak shahih.”
1. Biografi singkat Imam Bukhari
Nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad ibn Isma‟il ibn Ibrahim al-Mughirah al-Bukhari, dilahirkan di Bukhara pada hari Jum‟at, 13 Syawal 194 H./816 M. (w. 256 H). Ayahnya merupakan seorang berilmu dan sangat wara‟, ia meninggal saat usia Bukhari masih kecil. Pada waktu kecil Bukhari sudah nampak kecerdasannya dan kekuatan hafalannya, ia mulai menghafal hadist kitab Ibnu Mubarak sejak berumur 10 tahun, ia sangat kritis dan mengetahui pendapat-pendapat ahlu ra‟yi yang kemudian menjadi dasar pemikirannya.
Pada tahun 210 H. Bukhari menunaikan ibadah haji ke Baitullah, ia menetap di Mekkah dalam beberapa waktu untuk belajar hadist kepada
4
Abdul Aziz, ketika di kota ini ia menulis kitab Tarih al-Kabir. Bukhari kemudian melanjutkan perlawatannya ke Syam, ia berguru atau mendengar hadist dari Abdullah ibn Utsman, pergi ke Mesir. mendengar Hadist dari Sa‟id ibn Katsir, dan di Basrah ia mendengar Hadist dari Abu Ashim al- Nabil dan di Baghdad mendengar Hadist dari Suraij ibn Nu‟man dan Ahmad ibn hambal. Imam Bukhari kemudian menetap di Khurasan.
Selama pengembaraannya ia mendengar Hadist dari 1080 orang yang pernah dijumpai dan dicatatnya, dan yang tercatat sebagai guru yang tercantum dalam Jami‟ Sahih nya terdapat 289 orang, mereka semua memiliki ahli Hadist dan pendirian iman, selain yang tersebut guru-guru yang besar lainnya adalah Ali ibn al-Madini, Muhammad ibn Basyar al- Hafiz, Yahya ibn Ma‟in, Ibn Rahawaih. Dari pengembaraan mempelajari semua Hadist yang didengarnya dihafalnya, ia hafal 200.000 lebih dan Ibn Salah ia hafal lebih dari 400.000 Hadist.
a. Sistematika dan metode penulisan b. Kritik terhadap kitab
2. Biografi singkat Imam Muslim a. Sistematika dan metode penulisan b. Kritik terhadap Kitab
B. Kitab Al-Sunan
1. Biografi singkat Abu Daud
Nama lengkap Abu Dawud adalah Sulaiman ibn alAsh‟as ibn Ishaq ibn Basyir ibn Shidad ibn Amr al-Azdi alSijistani. Ia lahir di Sajistan suatu kota di Bashrah 202 H. Sejak kecil, Abu Dawud sudah mencintai ilmu dan para ulama‟ guna menimba ilmunya. Sebelum usia dewasa, ia telah
5
mempersiapkan dirinya untuk mengadakan perlawatan ke berbagai negeri, seperti Khurasan, Irak, Hijaz, Sham dan Mesir untuk waktu yang cukup lama. Dalam perjalanannya itu ia bertemu dengan sejumlah ulama‟, dan dari mereka ia meriwayatkan hadis. Sewaktu berada di Baghdad ia mengajarkan hadis dan fiqih kepada para penduduk di Baghdad dan kitab Sunan Abu Dawud sendiri sebagai pegangan. Selanjutnya atas permintaan gubernur di Bashrah, yang berharap kota tersebut menjadi kiblat bagi ulama‟ dan pelajar hadis, maka menetaplah Abu Dawud di kota tersebut. Ulama‟ yang menjadi guru Imam Abu Dawud banyak jumlahnya.
Di antara guru-gurunya yang paling terkemuka adalah Ahmad ibn Hambal, Abdullah ibn Raja‟, Abu alWalid al-Tayalisi, dan lain-lain.
Sebagian gurunya ada pula yang menjadi guru Imam al-Bukhari dan Muslim, seperti Ahmad ibn Hambal, Usman ibn Abi Talhah dan Qutaibah ibn Sa‟id. Diantara ulama‟ yang mengambil hadis-hadisnya antara lain puteranya sendiri Abdullah, al-Nasa‟i, al-Tirmidhi, Abu Awanah, Ali Ibn Abd al-Samad, dan Ahmad ibn Muhammad ibn Harun. Abu Dawud mewariskan banyak keterangan dalam bidang hadis yang berisi masalah hukum. Di antara karyakaryanya, antara lain: Kitab al-Sunan, kitab al- Marasil, kitab al-Qadar, al-Nasikh wa al-Mansukh, Fada‟il al-„Amal, kitab al-Zuhd, Dala‟il al-Nubuwah, Ibtida‟, al-Wahyu dan Ahbar al-Khawarij.
Diantara karya-karya tersebut yang paling bernilai tinggi dan masih tetap beredar adalah kitab al-Sunan, yang kemudian terkenal dengan nama
“Sunan Abu Dawud”.
a. Sistematika dan metode penulisan
Abu Dawud dalam sunannya tidak hanya mencantumkan hadis- hadis sahih semata sebagaimana yang dilakukan al-Bukhari dan Muslim, tetapi ia memasukkan hadis sahih, hasan dan da‟if yang tidak terlalu lemah dan hadis yang tidak disepakati oleh para ulama untuk ditinggalkan. Hadis-hadis sangat lemah diterangkan kelemahannya. Cara yang diterima Abu Dawud dalam menulis kitabnya, dapat diketahui dari
6
suratnya yang ia kirimkan kepada penduduk Makkah atas pertanyaan yang diajukan mengenai kitab sunannya. Inti dari surat tersebut adalah :
Abu Dawud mendengar dan menulis hadis 500.000 dan diseleksi menjadi 4.800 hadis.
1) Ia menghimpun hadis-hadis sahih, semi sahih dan tidak mencantumkan hadis yang disepakati ulama‟ untuk ditinggalkan.
2) Hadis yang lemah diberi penjelasan atas kelemahannya dan hadis yang tidak diberi penjelasan bernilai sahih. Abu Dawud membagi kitab Sunannya menjadi beberapa kitab, dan tiap-tiap kitab dibagi menjadi beberapa bab. Ia memulai menulis dengan judul kitab Taharah yang berisi 159 bab.
b. Kritik terhadap kitab
Banyak penilaian ulama‟ yang ditujukan kepada Sunan Abu Dawud seperti yang dikutip oleh Muhammad Muhammad Abu Shuhbah :
1) Al-Hafiz Abu Sulaiman mengatakan, bahwa kitab Sunan Abu Dawud merupakan kitab yang baik mengenai fiqih dan semua orang menerimanya dengan baik.
2) Imam Abu Hamid al-Ghazali berkata bahwa Sunan Abu Dawud sudah cukup bagi para mujtahid untuk mengetahui hadis hukum.
3) Ibn al-Qayyim al-Jauziyah berkata bahwa kitab Sunan Abu Dawud memiliki kedudukan tinggi dalam dunia Islam, sehingga menjadi rujukan masalah hukum Islam bagi umat Islam, sehingga umat Islam tersebut puas atas putusan dari kitab tersebut.
4) Menurut Muhammad Musthafa Azami bahwa Sunan Abu Dawud merupakan salah satu dari kitab pokok yang dipegangi oleh para ulama‟ serta merupakan kitab terlengkap dalam bidang hadis-hadis hukum. Maka cukuplah kitab tersebut dibuat pegangan oleh para mujtahid.
7
Di samping keunggulan yang dimiliki, Sunan Abu Dawud, juga memiliki kelemahan, kelemahan itu terletak pada keunggulannya itu sendiri, yaitu ketika ia membatasi diri pada hadis-hadis hukum, maka kitab itu menjadi kitab yang tidak lengkap. Artinya sejumlah hadis-hadis selain bidang hukum tidak termasuk dalam kitab ini. Jadi pengakuan ulama terhadapnya sebagai kitab standart bagi mujtahid, ini hanya berlaku dalam bidang hukum dan tidak pada lainnya. Kritik hadis tersebut tidak mempengaruhi ribuan hadis yang terdapat pada Sunan Abu Dawud, sebab hadis-hadis yang dikritik itu hanya sedikit sekali.
2. Biografi singkat Al-Tirmizi
Imam al-Hafiz Abu Isa Ibn Saurah ibn Musa ibn alDhahak al-Sulami al-Tirmidhi. Al-Sulami adalah nisbah kepada Bani Sulaim, sebuah kabilah dari suku Gailan. alTirmidhi adalah nisbah kepada Tirmiz, sebuah kota kuno yang terletak di pinggiran sungai Jihun utara Iran. Ia dilahirkan di kota Tirmiz pada bulan Dhulhijjah tahun 209 H. (824 M)177 dan meninggal pada tahun 279 H.178 Imam Tirmidhi mencari hadis sejak masih kecil. Ia pergi pertama kali ke Bukhara, kemudian Hijaz, Irak, Khurasan dan sebagainya.
Di tempat-tempat itu ia selalu mencatat hadis yang didengar dari para ulama‟ yang ditemuinya. Mereka itu antara lain adalah Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Qutaibah ibn Sa‟id, Ishak ibn Musa, Mahmud ibn Ghailan, Sa‟id ibn Abdurrahman, Muhammad ibn Bashar, Ali ibn Hajar, Ahmad ibn Mani‟, dan Muhammad ibn al-Musanna.179 Imam Tirmidhi dikenal orang sebagai orang yang luas hafalannya, banyak telaahnya, ahli hadis dan ilmu hadis. kedalaman ilmunya di bidang ilmu hadis, tergambar, terutama dalam kitabnya al-jami‟ al-Tirmidhi. Tidak sedikit murid-murid Imam Tirmidhi, diantaranya ialah Makhul ibn Fadl, Muhammad ibn Mahmud Anbar, Hammad ibn Shakir, Abdulllah ibn Muhammad alNasfiyyun, al-Haisham ibn Kulain al-Shashi, Ahmad ibn Yusuf al-Nasafi, dan Abdul Abbas Muhammad ibn Mahbubi yang ikut meriwayatkan kitab al-Jami‟ dari
8
padanya.181 Sebagai seorang ilmuwan ia telah berkarya, dan karyanya yang dicatat oleh sejarah adalah sebagai berikut :
a. Kitab al-Jami‟, terkenal dengan sebutan Sunan alTirmidhi.
b. Kitab al-„Ilal, kitab ini terdapat pada akhir kitab alJami‟
c. Kitab al-Tarih
d. Kitab al-Shama‟il al-Nabawiyah e. Kitab al-Zuhd
f. Kitab al-Asma‟ wa al-Kuna
Di antara kitab-kitab tersebut yang paling besar dan terkenal serta beredar luas adalah al-Jami‟.
a. Sistematika dan metode penulisan
Karya paling besar dari Abu Isa adalah kitab al-Jami‟ yang termasuk salah satu al-Kutub al-Sittah. Kitab ini merupakan salah satu ensiklopedia hadis, dan dikenal juga namanya dengan Sunan al-Tirmidhi.
Al-Tirmidhi tidak memuat hadis di dalam kitab al-Jami‟ kecuali telah diamalkan oleh fuqaha yaitu hadis yang sudah dipakai berhujjah oleh yang berhujjah dan telah diamalkan oleh orang yang mengamalkan.
Untuk itu al-Tirmidhi menempuh caranya yang khas, yang tidak ditemukan pada kitab al-Kutub al-Sittah lainnya. Menurut Ahmad Muhammad Shakir kekhasan Sunan Tirmidhi adalah sebagai berikut : 1) Mencantumkan riwayat dari sahabat lain tentang masalah yang
dibahas dalam hadis pokok, baik isinya semakna atau dengan makna lain bahkan yang bertentangan sama sekali, atau keterkaitannya hanya isyarat meskipun sangat samar.
2) Menyebutkan pendapat kalangan fuqaha‟ pada setiap masalah fiqih dan argumentasi mereka, serta menyebutkan beberapa hadis yang berbeda dalam masalah tersebut. Cara ini dinilai penting karena membawa pencapaian tujuan „ulum al-hadith yaitu memilih yang sahih untuk kepentingan berhujjah dan beramal.
9
3) Memperhatikan ta‟lil hadis. ia menyebutkan tingkat kesahihan dan keda‟ifan serta menguraikan pendapatnya tentang ta‟lil dan rijal al- Hadith dengan rinci.
Di samping caranya yang khas, Imam Tirmidhi juga menggunakan istilah yang khas dalam menilai hadis. Istilah yang banyak menimbulkan perbedaan penafsiran di kalangan ulama‟ hadis adalah istilah “hasan sahih”. Berikut ini pengertian yang diberikan ulama‟ terhadap istilah tersebut :
1) Istilah “hasan” yang dimaksud dalam kata “hasan sahih” itu adalah hasan dalam pengertian lughawi. Artinya hadis itu isinya baik sekali disamping sanadnya yang sahih. Alasannya bahwa sekarang al- Tirmidhi memakai istilah hasan untuk hadis yang jelas da‟if bahkan maudu‟. Pendapat ini mengandung masalah, karena dipakai dalam pengertian istilah, tidak ada tradisi ahli hadis untuk memakai istilah hasan dalam arti lughawi.
2) Istilah “hasan sahih” menunjukkan adanya dua jalur atau lebih untuk satu matn hadis. jadi maksudnya sebagai sanad berderajat hasan dan sebagian lainnya sahih. Namun pendapat ini dianggap lemah sebab di antara hadis yang dinilai “hasan sahih” oleh alTirmidhi terdapat hadis gharib, misalnya dengan menyebutkan “la na‟rifuhu illa min haza al- wajhi” atau dengan tegas dikatakan “hadisun hasanun gharibun”, dan sebagainya.
3) Istilah “hasan sahih” dipakai untuk hadis hasan yang meningkat menjadi sahih, dengan menyebutkan dua sifatnya sekaligus yaitu sifat dunya dan sifat ulya. Jadi sebenarnya hadis yang dimaksud adalah hadis sahih.
4) Istilah “hasan sahih” dipakai karena keraguan pihak penilai yakni Imam al-Tirmidhi tentang derajat hadis itu. Jadi penyebut gabungan istilah itu merupakan derajat antara hasan dan sahih.
10
5) Istilah “hasan sahih” dipakai untuk menunjuk perbedaan penilaian ahli hadis. Artinya untuk hadis itu ada yang menilai hasan dan ada yang menilai sahih. Imam Tirmidhi membagi kitab Sunannya menjadi beberapa kitab, dan tiap-tiap kitab dibagi menjadi beberapa bab.
b. Kritik terhadap Kitab
Kitab Sunan al-Tirmidhi mengandung hadis-hadis yang telah tercantum dalam kitab Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim, hanya agaknya al- Tirmidhi lebih sistematis. Disamping itu kekhususannya terlihat pada adanya dua bab yang tidak ditemukan pada kitab al-Bukhari dan Muslim yaitu bab al-Manaqib dan bab tafsir al-Qur'an. Muhammad Ajjaj al- Khatib menilai kitab ini sebagai kitab hadis yang banyak manfaat dan memiliki kekhususan yang tidak dipunyai oleh kitab-kitab lainnya.
Manfaatnya terutama bagi ulama hadis yang meneliti kesahihan hadis, hasan dan da‟if-nya, begitu pula untuk mengungkapkan „illat hadis, istimbat hukum dan mengetahui ke-siqah-an rawi yang tertinggal.
Sedangkan kekhususannya nampak pada sistematiknya, serta penerapan istilah-istilah Úlum alHadith yang masih bersifat teoritis sebelumnya, yaitu penggunaan istilah baru “sahih hasan” dan “sahih gharib”. Subhi al- Salih memberikan penilaian terhadap kitab ini dengan mengemukakan bahwa siapa yang ingin meluaskan cakrawala pandangan di bidang hadis, semestinya ia menelaah Jami‟ al-Tirmidhi.
3. Biografi singkat Al-Nasa‟i
Ia bernama Abu Abd al-Rahman Ahmad ibn Syu‟aib ibn Ali ibn Sinan ibn Bahr ibn Dinar al-Khurasani al-Nasa‟i, namun ia lebih terkenal dengan julukan “al-Nasa‟i” lahir pada tahun 215 H, di Nasa. Ia tumbuh dan berkembang di Nasa dan di madrasah tempat kelahirannya ia menghafal al- Qur'an dan belajar berbagai disiplin ilmu agama. Setelah meningkat remaja ia senang mengadakan perlawatan ke berbagai daerah seperti Hijaz, Irak,
11
Mesir, Syam, untuk mendapatkan Hadist. Kepada ulama-ulama setempat ia mempelajari Hadist. Sehingga ia menjadi ulama yang terkemuka dalam bidang Hadist dan mempunyai sanad yang Ali(sedikit sanadnya) dari sisi kekuatan periwayatan Hadist.
Diantara guru-guru yang dijumpainya adalah Qutaibah ibn Sa‟id, Ishaq ibn Ibrahim, Ahmad ibn Abduh, Umar ibn Ali, Hamid ibn Mas‟adah, Imran ibn Musa, Ali ibn Khasram, Haris ibn Miskin, Muhammad ibn Adb al-A‟la, Muhammad ibn Abdullah ibn Yazid, Ali ibn Hajar, Muhammad Ibn Salmah, Muhammad ibn Manshur, Ya‟qub ibn Ibrahim dan lainnya dari ulama Hadist Khurasan, Syam dan Mesir. Sedangkan murid-muridnya yang terkenal diantaranya Abu al-Qasim al-Thabarani, Abu Ali al-Husain ibn Ali al-Hafiz al-Niyamuzi al- Thabarani. Ahmad ibn Umair al-Jusha, Muhammad ibn Ja‟far ibn Qalas, Abu al- Qasim ibn Abi al-Uqb, Abu al- Maimun ibn Rasyid, Abu al-Hasan ibn al-Khazlam, Abu Sa‟id al-A‟rabi, Abu Ja‟far al- Thahawi, dan lain-lainnya.
a. Sistematika dan metode penulisan
Sunan al-Nasa‟i terbagi dua, pertama Sunan al-Kubra, kedua Sunan al-Shughra, sunan yang pertama ini merupakan Hadist yang pertama sekali ditulis dan dihimpun oleh al-Nasa‟i, manakala ia selesai menyusun menjadi sebuah kitab.
Ia lalu menghadiahkannya kepada Amir al-Ramalah, namun Amir mempertanyakan keberadaaan kitab tersebut:
حيحص اهيف ام ّلكأ
(Apakahisi kitab ini Sahih seluruhnya), ia menjawab: اهبراقي امز نسحلاو حيحصلا اهيف (ada yang Sahih ada yang hasan dan ada yang mendekati keduanya), kemudian Amir memerintahkan untuk menyeleksi yang Sahih-Sahih saja, maka dihimpunlah al-Sunan al-Shughra yang ia namai al-Mujtaba min al- Sunan, kitab ini disusun menurut sistematika fiqh sebagaimana kitab- kitab sunan yang lain. Kitab inilah yang sampai sekarang dapat kita
12
saksikan dan apabila para Muhaddits meriwayatkannya dari Imam al- Nasa‟i, maka mereka merujuk terhadap kitab ini.
Jumlah Hadist yang terdapat dalam kitab Sunan al-Shughra tersebut sebanyak 5.761 buah Hadist dan sedikit sekali Hadist yang dha‟if dan perawi yang cacat. Sehingga urutan dalam masalah ini ketiga setelah Bukhari dan Muslim. Al-Nasa‟i sangat jeli dalam menyusun kitab al- Shughra, oleh karena itu sebagian ulama menempatkan derajatnya di bawah Sahih Bukhari dan Muslim, hal ini karena sedikitnya Hadist dha‟if yang ada di dalamnya. Oleh karena itu Hadist-Hadist sunan shughra yang dikritik oleh Abul Faraj ibn al-Jauzi sebagai Hadist maudhu‟ sedikit sekali, sebanyak sepuluh Hadist. Itupun digugat oleh Imam al-Suyuti. Memang dalam al-sunan al-shughra terdapat Hadist Sahih, hasan dan dha‟if, hanya saja yang dha‟if sedikit sekali jumlahnya.
Oleh karena itu merupakan hal yang keliru apabila memberikan pernyataan bahwa, al-sunan al-shughra Sahih semua, karena pernyataan ini tidak didukung oleh penelitian yang mendalam.
b. Kritik terhadap Kitab
Beberapa komentar berkenaan dengan ketelitian dalam periwayatannya, Daruquthni menyatakan:
ملعلا اذبى ركذي نم لك ىلع مدقم ىئاسنلا نمحرلا دبع وبأ –
ثيدلحا ملع –
لىا نم باتك ىمسي ناكو , هرصع
و حيحصلا"
"
“Abd al-Rahman al-Nasa’i adalah ulama ahli Hadist terkemuka pada masanya, kitab Hadist yang ia susun dinamai “al-Sahih}”,”
selanjutnya Abu “Ali al-Naisaburi” juga berkomentar:
لوقي ٌاكو , ىئاسانا ًٍٍحرنا دبع وبأ ةعفادي لبا ثيدنحا فى وايلاا اثُدح ىئاسانه :
جادنحا ٍب ىهسي طرش ٍي دشأ لاخرنا فى طرش.
“Yang meriwayatkan Hadist kepada kami adalah seorang Imam Hadist yang kredibilitasnya diakui, ia Abd al-Rahman al-Nasa’i, syarat yang
13
dipakainya tentang para perawi lebih ketat dibanding Muslim ibn al- Hajaj.”
Ia seorang penulisyg produktif, sehingga karya-karyanya tidak terbatas pada satu disiplin ilmu an sich, melainkan dari berbagai disiplin ilmu agama. Namun diantara karya-karyanya yang paling menonjol adalah di bidang Hadist. Diantara karya-karyanya yang banyak dikenal diantaranya:
1) Al-Sunan al-Kubra.
2) Al-Sunan al-Shughra, yang lebih dikenal dengan al-mujtaba.
3) Al- Khasha‟is.
4) Fadha‟il al-Sahabah.
5) Al-manasik, dan lain-lainnya.
Diantara karya-karyanya yang paling terkenal adalah al-Sunan, yang akan penulis perkenalkan dalam pembahasan selanjutnya. Ia meninggal dunia pada bulan Sya‟ban tahun 303 H. dalam usia berkisar 98-99 tahun, sedangkan tempat dimana ia meninggal terdapat dua versi, pertama, ia meninggal di Ramalah, salah satu kota di Palestina dan pendapat yang kedua menyatakan, ia meninggal di Mekkah dan dikubur diantara bukit Shafa dan Marwah.
Menurut Faruq Hamadah, ada beberapa catatan penting yang membedakan antara al-Sunan al-Kubra dengan al-Sunan al-Shughra, diantaranya adalah: Pertama, dalam kitab al-Kubra terdapat beberapa pokok bahasan yang tidak didapatkan dalam al-Shughra, seperti, kitab al- Sair, al-Manaqib, al-Nu‟ut, al-Ihib, al-Faraidh, al-Walimah, al-Ta‟bir, Fadhail al-Qur'an, dan seterusnya. Sedangkan dalam al-Shughra hanya terdapat pokok bahasan Iman dan Syar‟ah. Kedua, dalam beberapa pokok bahasan yang terdapat dalam al-Kubra muncul kitab-kitab yang spesifik pembahasannya, seperti kitab Fadh‟il al-Qur'an dalam al-Burhan karya Imam al-Zarkasyi (w. 794 H.). Ketiga, bab-bab dalam al-Kubra lebih
14
banyak dibanding al-Shughra, sebanyak 64 bab. Oleh karena itu dalam kedua sunan tersebut terdapat kelebihan dan kekurangannya.
4. Biografi singkat Ibn Majah
Ibn Majah adalah seorang ahli Hadist kenamaan yang dikenal dengan sebutan al-Hafiz al-Kabir (penghafal Hadist yang agung). Ia lahir pada tahun 816 M. / 209 H. di Qazwaini dan wafat pada tanggal 22 Ramadhan 273 H. sejak kecil ia terkenal sebagai seorang yang sangat cinta ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang Hadist. Banyak ia melakukan perlawatan untuk mempelajari dan mendalami Hadist dan ilmu-ilmu yang terkait dengannya, seperti ke Irak, Syiria, Hijaz, dan Mesir. Di negeri-negeri yang disinggahinya ia banyak belajar dengan ahli-ahli Hadist kenamaan, seperti Abu Bakar ibn Syaibah, Muhammad Ibn Abdillah ibn Namir, Ahmad ibn al-Azhar dan lain-lain.
Ia adalah seorang penulis yang kreatif, sehingga karyanya tidak terbatas dalam bidang Hadist saja, namun dalam bidang ilmu keislaman yang lain, seperti bidang tafsir, ia mengarang Tafsir al-Qur‟an al-Karim yang telah mendapatkan pujian dari ahli tafsir terkenal, Ibn al-Katsir dan tercatat sebagai kitab tafsir al-Qur‟an yang ditulis secara tersendiri, yang sebelumnya tafsir merupakan bagian dari Hadist. Dalam bidang sejarah ia menyusun kitab Tarikh, yang menceritakan sejarah pada masa sahabat sehingga pertengahan abad ketiga hijriyah. Namun yang paling dikenal adalah kitab al-Sunan.
a. Sistematika dan metode penulisan
Abu al-Fadhl Muhammad ibn Thahir al-Maqdisi ( 448-507 H.) adalah orang yang mengangkat kedudukan Sunan Ibn Majah sebagai kelompok Hadist standar dalam kitabnya yang berjudul athraf al-Kutub al-Sittah, yang menempatkannya pada urutan yang ke-enam, pertimbangannya adalah dalam Sunan Ibn Majah banyak “zawaid”
15
(tambahan) atas kitab al-Kutub al-Khamsah, kemudian diikuti oleh para ulama Hadist sesudahnya. Walaupun demikian sebagain ulama banyak yang merasakan keberatan atas masuknya Sunan Ibn Majah sebagai kelompok Hadist standar urutan yang ke-enam, hal ini didasarkan pada banyaknya Hadist dha‟if yang termuat dlam sunan tersebut.
Salah satu contoh Hadist yang membuktikan, bahwa Ibn Majah seorang periwayat yang siqat, seperti Hadist di bawah ini:
“Hisyam Ibn Amr telah memberitakan kepada kami, (katanya) Malamah Ibn Ulay telah memberitakan kepada kami, (katanya) Ibn Juraiy telah memberitakan kepada kami, (berita itu) dari Humay al-Thawil dan Anas Ibn Malik katanya: Nabi tidak menjenguk orang yang sakit, kecuali sesudah tiga hari. (Hadist riwayat Ibn Majah dari Anas Ibn Malik.”
Sanad Hadist riwayat Ibn Majah digambarkan oleh M. Syuhudi Isma‟il, sebagai berikut:
Keterangan dari yang tersebut di atas, Ibn Majah menerima riwayat Hadist dari banyak periwayat, diantaranya Hisyam Ibn Amr. Tidak ada seorang ulama pun yang mencela pribadi Ibn Majah dalam periwayatan Hadist. Dengan demikian, kata-kata “Haddatsana” yang dikemukan oleh Ibn Majah tatkala menyandarkan riwayat Hadistnya kepada Hisyam Ibn Amr dapat dipercaya. Tegasnya Ibn Majah telah menerima Hadist
16
tersebut dari Hisyam dengan cara al-sama‟, ini berarti antara Ibn Majah dan Hisyam bersambung sanadnya.
b. Kritik terhadap kitab
Keberadaan Ibn Majah sebagai perawi telah mendapatkan pengakuan dari ulama-ulama Hadist pada masanya maupun pada masa berikutnya.
Sebagaimana al-Khalili81 berkomentar tentangnya:
ظفحو ةفرعم ول , وب جتحم , ويلع قفتم يبرك وقث وجام نبا
Ibn Katsir juga berkomentar dalam kitabnya Bidayah:
, ةروهشلدا ننسلا باتك بحاص )وجام نبا( ديزي نب دمحم ىلع ةلاد ىىو
هترجو وملعو ولمع , عورفلاو لوصلأا فى ةنسلل وعابتاو , وعلاطاو
“Muhammad Ibn Yazid adalah penyusun kitab sunan yang ternama, ini merupakan indikasi dari amal dan ilmunya, kedalaman pengetahuan dan keluasan pandangannya, serta loyalitasnya terhadap Sunnah baik dalam masalah usul dan furu’.”
Namun kesimpulan dari ulama Hadist tentang lemahnya Sunan Ibn Majah ditolak oleh al-Hafiz Syihab al-Din al-Busyairi (w. 840 H.) dalam kitabnya Mishbah al-Zujajahfi Zawaid Ibn Majah dan al-Hafiz Jalal al- Din al- Suyuti (w. 911 H.) dalam kitabnya Mishbah al-Zujajah ala Sunan Ibn Majah, mereka menyatakan, walaupun didapati beberapa Hadist dha‟if di dalamnya, tetapi karena prosentasenya yang sangat sedikit disbanding banyaknya Hadist Sahih yang termuat di dalamnya , tidaklah mengurangi nilai dari Sunan tersebut. Jumlah Hadist yang terdapat dalam Sunan Ibn Majah sebanyak 4.341 Hadist, dari seluruh jumlah Hadist tersebut 3.002 telah disebutkan dalam al- Kutub al-Khamsah, maka zawaidnya (Hadist tambahan) atas kitab standar yang lima tersebut, sebanyak 1.339 Hadist, sedangkan keterangan dari zawaid tersebut:
1) 348 Hadist para perawinya siqat dan sanadnya Sahih.
17
2) 199 Hadist, hasan sanadnya (
دااسلأا ٍسح
).3) 613 Hadist lemah sanadnya (
دااسلأا فيعض
).4) 99 Hadist munkar atau makdzub (
بوذكي وأ ركاي
).Dari 3.002 Hadist yang telah diriwayatkan oleh penyusun al-Kutub al-Khamsah, Ibn Majah dalam meriwayatkannya mengambil Thuruq (Jalan) yang lain, bukan jalan yang ditempuh oleh periwayat dari al- Kutub al-Khamsah tadi. Dengan demikian antara yang satu dengan yang lainnya saling menguatkan.
Dan suatu keistimewaan bagi Sunan Ibn Majah dengan adanya tambahan 428 Hadist yang siqat para rawinya dan Sahih sanadnya dan 199 hadis hasan isnadnya. Sebenarnya penyusun Hadist yang lain seperti, al-Tarmidzi, Abu Dawud, juga meriwayatkan Hadist-Hadist dha‟if (lemah), namun mereka memberikan catatan dan komentar, akan tetapi lain halnya Ibn Majah, ia memilih sikap diam, sehingga tidak memberikan komentar ataupun catatan atas Hadist-Hadist yang disusunnya, bahkan Hadist dustapun ia tidak memberikan catatan apapun.
5. Biografi singkat Al-Darimiy
Ad-Darimi ialah salah satu Imam Ahli Hadis Sunni, Nama lengkapnya Abdullah bin Abdurrahman bin al Fadhl bin Bahram bin Abdush Shamad. Ad Darimi adalah nisbah kepada Darim bin Malik dari kalangan at-Tamimi. Dan dengan nisbah ini dia terkenal. Karena dulu ada kebiasaan dari para ulama untuk menggunakan nama seseorang yang dihormati untuk mendapatkan berkah darinya. Ia dilahirkan pada tahun 181 H di Samarkand, dekat Irak dan wafat setelah Ashar pada 8 Dzulhijjah tahun 255 H, namun dimakamkan keesokan harinya bertepatan dengan hari Arafah ( 9 Dzulhijjah ). Ulama ini wafat dalam usia 75 tahun. Sejak kecil,
18
Imam al-Darimi dikenal dengan anak yang rajin dan cerdas. Dia mempelajari ilmu keislaman yang berkembang saat itu. Dia belajar kepada siapa saja yang dipandang berilmu, termasuk kepada orang yang lebih muda usianya. Imam Al-Darimi tidak memiliki rasa malu untuk mendapatkan ilmu. Awal mulanya, Imam al-Darimi belajar kepada para Ulama di Samarkand, tanah kelahirannya.
Setelah ilmu dari Samarkand dirasanya cukup, Imam Al-Darimi memutuskan untuk belajar ke luar kota Samarkand. Imam al-Darimi pernah melakukan perjalanan ke Irak. Di negeri 1001 Malam ini, tokoh ini belajar di Kufah, Wasith dan Basrah. Selanjutnya ia pergi ke Syam ( Suriah ) dengan belajar di Damaskus, Hims dan Shuwar. Berikutnya menuju ke tanah suci Mekkah dan Madinah. Setelah merasa puas memperoleh Ilmu Mushannif Sunan Al-Darimi ini kembali ke kota kelahirannya Samarkand. Ulama yang pernah menularkan Ilmunya kepada beliau antara lain Yazid bi Harun, Ya'la bin Ubaid, ja'far bin Aun, Basyar bin Umar al Zahrani, Abu Ali Ubaidulloh bin Abdul Majid al Hanafi, Abu Bakar abdul Kadir, Muhammad bin Bakar Al Barsani, Wahab bin Amir, Ahmad ishaq al Hadrami,dan Abu Ashim. Sebagai Ulama Besar, Imam Al Darimi memiliki banyak murid yang berguru kepadanya. Diantara mereka adalah Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam Al Tirmidzi, Abu Humaid, Roja' bin Marja, Muhammad bin Basyar, Muhammad bin Yahya, Abu Zur'ah, Abu Hatim, Shalih bin Muhammad Jazrah, dan Ja'far bin Ahmad bin Faris.
a. Sistematika dan metode penulisan b. Kritik terhadap Kitab
Imam ad Darimi, sorrang
C. Kitab Muwatha’
Kitab al-Muwaththa' karya Imam Malik ini adalah kitab yang berisikan hadis-hadis Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam, atsar-atsar (perkataan) para
19
sahabat, fatawa-fatawa para tabi'in. Dia memilahnya dari seratus ribu hadis yang pernah dia riwayatkan. Menurut riwayat Yahyah bin Yahyah al-Andalusi hadis yang ada di dalamnya mencapai 853 hadis. Akan tetapi Imm Abu Bakar al-Abhari berkata: "Jumlah hadis Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam, atsar sahabat dan fatawa tabi'in yang ada dalam kitab al-Muwaththa' adalah 1720 hadis, yang bersanad sebanyak 600, mursal 222, mauquf 613 dan fatawa tabi'in 285." Jumlah hadis dalam kitab al-Muwaththa' Imam Malik ini terkadang berbeda-beda dikarenakan perbedaan orang yang meriwayatkan dari Imam Malik, dimana Imam Malik selalu membersihkan dan memperbaiki kitab al- Muwaththa' nya ini, karena dia tetap menulis dan memperbaikinya selama 40 (empat puluh) tahun.
1. Biografi singkat Imam Malik
Muwaththa‟ Imam Malik adalah karya Imam Malik. Al-Muwaththa‟
adalah kitab Hadist tertua yang disusun pada pertengahan abad ke-2 Hijriyah, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Al-Manshur. Pada masa Imam Malik kecenderungan untuk mengkodifikasikan Hadist semakin kuat. Sejarah membuktikan bahwa pengkodifikasian Hadist secara resmi telah dipikirkan dan dimulai pelaksanaanya pada masa Umar ibn Abdul Aziz, seperti sudah disebutkan di atas. Tetapi sampai Umar wafat, upaya yang dilakukannya belum mendatangkan hasil yang sempurna. Penyusunan al-Muwaththa‟ menghabiskan waktu 40 tahun. Menurut catatan sejarah penyusunan kitab tersebut adalah atas permintaan Khalifah al- Manshur.
Kemudian kitab tersebut dipersembahkan untuk umat dan karena itu disebut al-Muwaththa‟.
Menurut riwayat yang lain disebutkan bahwa setelah menyelesaikan penulisan, Imam Malik memperlihatkan karyanya kepada 70 guru Madinah untuk memperoleh kesaksian, dan kitab tersebut disetujui oleh mereka.
Karena itu, kitab tersebut dinamakan al-Muwaththa‟. Dilihat dari segi sanadnya, Hadist yang terkumpul dalam al-Muwaththa‟ tidak semuanya musnad; ada yang mursal, mu‟dlal dan munqathi‟.
20
Menurut beberapa kitab al-Muwaththa‟ berisi 600 Hadist musnad, 222 Hadist mursal, 613 Hadist mauquf, 285 perkataan tabi‟in. Ia juga berisi 61 Hadist yang tanpa menyebutkan sanadnya secara jelas, hanya disebutkan
“telah sampai kepadaku” dan “dari orang terpercaya‟. Inilah yang disebut dengan balaghat. Untuk menyebutkan sebahagian contoh Hadist yang tidak menyebutkan sanadnya secara jelas ialah Hadist nomor 2029 yang terhimpun dalam bab Jami‟ tentang masalah isti‟dzan (meminta izin kepada pemilik rumah) dan Hadist tentang jariyah pemberian orang tua yang sudah digaulinya. Hadistnya berbunyi sebagai berikut:
م انثدح : لاق , بعصم وبأ انبرخأ دبع نبا يركب نع و هدنع ةقثلا نع , كلا
ىسوم بىأ نع ىردلخا ديعس بىأ نع , ديعس نب رسب نع , حبشلأا نب للىا لاق ونأ ىرعشلأا : , ثلثُ ناذئتسلإا :ملسو ويلع للىا ىلص للىا لوسر لاق عجراقلاا و كل نذأ نإف
باطلخا نب رمع نأ وغلب ونأ كلام انثدح : لاق , بعصم وبأ انبرخأ ونبلا بىو
اهتفشك دق نىإف اهستم لا ول لاقف ةيراج .
Pada kedua Hadist di atas nampak bahwa Imam Malik tidak menyebutkan sanad secara jelas. Ia hanya mempergunakan kata
داع ةقثنا ٍع
(dari orang yang terpercaya menurutnya) pada Hadist pertama danّغ أ به
(telah sampai kepadanya).
c. Sistematika dan metode penulisan
Metode yang dipergunakan dalam menyusun kitab al-Muwaththa‟
untuk meminjam istilah dalam ilmu tafsir ialah metode tematik. Dia
21
menyebutkan dan mengelompokkan Hadist dalam satu tema tanpa mempertimbangkan siapa perawinya: misalnya tema sopan santun, tafsir, ilmu pengetahuan dan wahyu. Sistematika penyusunan sesuai dengan kelaziman dalam kitab fiqh. Maksudnya kitab itu diawali dengan bab taharah, salat, zakat, puasa dan seterusnya. Setiap bab mencakup beberapa sub bab dan setiap sub bab memuat beberapa masalah yang memiliki kesamaan, seperti salat jum‟at dan salat safar. Dengan sistematika seperti itu, maka pemanfaatan Hadist-Hadist yang ada di dalamnya terasa lebih mudah, terutama bagi orang yang ingin mengetahui lebih lanjut tentang masalah-masalah tertentu. Katakanlah masalah salat, puasa, zakat, dan lain-lain.
d. Kritik terhadap kitab
Menyoal posisi al-Muwaththa‟ sebagai deretan kitab referensi hadis, para ulama berselisih pandang. Terdapat pendapat yang menyatakan nilai al-Muwaththa‟ berada di atas level kitab Shahih Bukhari dan Muslim. Pendapat ini diutarakan oleh Abu Bakar Ibn al- Arabi. Menurut dia, al-Muwaththa‟ adalah kitab dasar hadis pertama yang disusul kemudian kitab Shahih Bukhari. Dalam perspektif Ibnu al- Arabi, kedua kitab dasar itu menjadi landasan dalam penulisan kitab hadis selanjutnya. Seperti Shahih Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan lainnya. Pendapat ini nyaris diperkuat oleh imam Syafii yang mengatakan tak ada kitab apa pun setelah Alquran yang lebih akurat dari Al-Muwaththa‟ karangan Malik. Pendapat ini menurut Jalaluddin as- Suyuthi tidak seratus persen salah. Sebab, memang pernyataan as-Syafii tersebut ada sebelum kitab-kitab hadis sekaliber Shahih Bukhari muncul.Sementara itu, menurut ad-Dahlawi, al-Muwaththa‟ berada dalam satu level dan sejajar dengan dua kitab Shahih, yaitu Bukhari dan Muslim, sekalipun dalam al-Muwaththa‟ terdapat hadis-hadis mursal ataupun maukuf.
22
Pendapat ini diperkuat oleh Ahmad Syakir. Menurut dia, kendati al-Muwaththa‟ memuat hadis-hadis mursal, tetapi keberadaannya tetap tak mengurangi nilai dan kualitas karya Imam Malik tersebut.
Sebagaimana kitab hadis lainnya yang tak luput dari hadis-hadis mursal ataupun maukuf. Apalagi, kitab al-Muwaththa‟ sendiri secara jelas tak hanya memuat riwayat orang lain, tetapi juga pendapat pribadi sang penulis. Oleh karena itu, jelas al-Hafidz Shalah ad-Din al-Alai, status perawi yang dinukil oleh Imam Malik dalam kitab al-Muwaththa‟ cukup beragam. Jika dijumlah, rawi rijal (kuat hafalan) yang dirujuk dan disebutkan secara jelas oleh Imam Malik dalam kitab ini sebanyak 95 periwayat laki-laki.
Sedangkan jumlah sahabat yang menjadi perawi utama (rawi al- a‟la) berjumlah 85 sahabat. Terdapat juga para shahabiyah para ahli hadis dari kalangan sahabat perempuan. Meski tak sebanyak perawi laki-laki, jumlahnya relatif banyak. Tak kurang dari 23 sahabat perempuan.
Sedangkan perawi dari kalangan tabiin berjumlah 48 laki-laki.
Keseluruhannya berasal dari Madinah, kecuali sejumlah perawi, seperti Abu Zubair, Hamid ath-Thawil, „Atha‟ bin Abdullah, Abdul Karim, dan Ibrahim bin Abi Ablah. Secara berurutan, kelima nama tersebut berasal dari Makkah, Bashrah, Khurasan, Jazirah, dan Damaskus.
D. Kitab Al-Musnad
Musnad Ahmad atau ringkasnya dikenali sebagai al-Musnad adalah salah satu kitab hadis Nabi yang terkenal dan terluas, dan kedudukannya menempati
23
posisi yang diutamakan di kalangan Ahlus Sunnah sebagai induk rujukan di kalangan mereka. Perhitungan ahli-ahli hadits menyebutkan ada lebih kurang 40 ribu hadits dengan rincian sebanyak 10 ribunya diulang-ulang, ditulis berurutan sesuai nama para Sahabat Nabi Muhammad yang meriwayatkan hadisnya, yang dalam pengurutannya ia jadikan tiap periwayatan sahabat memiliki satu tempat, dan jumlah sahabat yang diriwayatkan di sini terhitung sebanyak 904 orang.
1. Biografi singkat Imam Ahmad Ibn Hanbal
Musnad Ahmad ialah karya Imam Hambali. Jika menyimak latar belakang sejarahnya, maka al-Musnad merupakan hasil keseriusan dan ketertarikan Imam hambali terhadap Hadist. Untuk mendapatkan Hadist, ia mengadakan rihlah ilmiah ke berbagai negeri, seperti: Mekkah al- Mukarramah, Madinah, Syam, dan Kufah. Di sana ia mendalami ilmu Hadist. Al-Musnad merupakan kumpulan Hadist-Hadist yang diterimanya dan ditulisnya lengkap dengan sanad-sanadnya. Menurut riwayat, Imam Ahmad memulai menghimpun al-Musnad sejalan dengan pengembaraannya dalam rangka mendapatkan Hadist. Diduga dia memulainya pada tahun 180 H. Dengan kata lain Imam Ahmad memulai pengembaraannya pada usia 16 tahun. Imam Ahmad mengumpulkan Hadist dari para perawi yang terpercaya; bertemu dan meriwayatkan Hadist tersebut dari mereka.
Dia termasuk orang yang bersungguh-sungguh dalam upaya mendapatkan Hadist, walaupun dia harus mengembara dan menjumpai tantangan berat, seperti dibuktikan dalam pengembaraannya itu. Karena itu, ia dikenal sebagai seorang yang sangat teguh memegang Hadist dalam menentukan suatu hukum dari pada pemahaman pemikiran semata-mata.
Namun demikian, ia sangat berhati-hati untuk menerima Hadist. Di dalam kitab al-Thabaqat al-Kubra al-Musammat bi lawaqikhal-Anwar fi Thabaqat al-Akhyar hasil karya al-Sya‟rani diriwayatkan “jika kepadanya datang satu Hadist, maka ia tidak menceriterakan (meriwayatkan) Hadist itu, kecuali ada
24
Hadist lain yang senada dengan Hadist itu”. Kitab al-Musnad merupakan kumpulan Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad . Ia merupakan hasil rangkuman Hadist-Hadist yang diriwayatkan dari orang-orang terpercaya. Ia memuat sebanyak 40.000 Hadist sebagai hasil seleksi dari 700.000 Hadist yang dikuasainya. Dari jumlah 40.000 Hadist ada yang diulang-ulang sekitar 10.000 Hadist.
a. Sistematika dan metode penulisan
Adapun sitematika penulisan kitab al-Musnad adalah berdasarkan nama-nama sahabat. Setiap sahabat disebutkan Hadistnya, sehingga Hadist- Hadist yang dikumpulkannya jumlahnya mencapai sekitar 30.000 Hadist hasil seleksinya dari jumlah 750.000 Hadist yang diterimanya.
Penulisan dimulai dengan sahabat yang al-Mubasysyarun bi al-Jannah.
Untuk menyebutkan sebagian contohnya ialah Hadist yang diriwayatkannya dari Abu Bakar dikumpulkan menjadi satu bab, walaupun Hadist-Hadist tersebut mengandung tema yang berlainan, dan disebut dengan musnad Abu Bakar. Demikian Hadist yang diriwayatkannya dari Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan Ali ibn Abi Thalib, dan sahabat-sahabat lainnya serta para Tabi‟in. Kitab al-Musnad ini dicetak dalam enam jilid. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa asas metode penulisannya adalah kesatuan sahabat.
b. Kritik terhadap kitab
Syekh Ahmad al-Bana yang terkenal dengan nama al-Sa‟ali mengatakan setelah melakukan penelitian terhadap kitab Musnad Ahmad, maka nampak olehku bahwa kitab tersebut terbagi menjadi 6 (enam) bagian.
Pertama: bagian yang diriwayatkan oleh Abu Abd Al-Rahman, Abdullah ibn Ahmad , dari ayahnya secara sima‟i (melalui pendengaran).
Bagian inilah yang disebut dengan Musnad Imam Ahmad dan merupakan bagian terbanyak; yaitu ¾ dari kitab. Kedua: bagian yang didengar
25
Abdullah dari ayahnya dan dari orang lain, yang jumlahnya sangat sedikit. Ketiga: bagian yang diriwayatkan bukan dari ayahnya. Bagian ini, menurut ahl al-Muhaddisin, disebut zawa‟id (tambahan) dari Abdullah. Bagian ini merupakan bagian yang paling banyak setelah bagian pertama. Keempat: bagian yang dibacakan Abdullah di hadapan ayahnya dan bukan didengar dari ayahnya. Bagian ini jumlahnya sangat sedikit. Kelima: bagian yang tidak dibacakan dan didengar dari ayahnya, tetapi didapat dari catatan tangan ayahnya. Keenam: bagain yang diriwayatkan oleh Abu Bakar al-Qathi‟i bukan dari Abdullah dan ayahnya. Bagian ini jumlahnya sangat sedikit. Semua bagian tersebut adalah bagian dari Musnad Ahmad, kecuali bagian ketiga dan keenam karena masing-masing merupakan tambahan Abdullah dan Abu Bakar.
26 BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa, amtsal adalah perumpamaan yang berbentuk abstrak menuju pengertian yang konkrit untuk mencapai tujuan dan mengambil hikmah dari perumpamaan tersebut baik berupa ungkapan, gambaran, maupun gerak. Amtsal dalam Al-Quran ada 2 macam: 1) Amtsal yang tegas (musharrahah), 2) Amtsal yang tersembunyi (kaminah).
Amtsal dalam Al-Qur‟an memiliki banyak faedah di antaranya:
Pengungkapan pengertian abstrak dengan bentuk konkret yang dapat ditangkap indera itu mendorong akal manusia dapat mengerti ajaran-ajaran Al-Qur'an, matsal Qur'an dapat mengumpulkan makna indah yang menarik dalam ungkapan yang singkat padat, mendorong orang giat beramal melakukan hal- hal yang dijadikan perumpamaan yang menarik dalam Al-Qur'an, menghindarkan orang dari perbuatan tercela yang dijadikan perumpamaan dalam Al-Qur'an, memuji orang yang diberi matsal, amtsal lebih kuat dalam memberikan peringatan dan lebih dapat memuaskan hati, dibuatnya amtsal dalam Al-Qur‟an adalah agar manusia mau melakukan kajian terhadap kandungan Al-Qur‟an.
Dalam dunia pendidikan (Islam) amtsal yang ditampilkan Al-Qur‟an sering digunakan sebagai salah satu metode pendekatan yang efektif dalam proses belajar mengajar. Metode pendekatan ini digunakan untuk memperjelas
27
sasaran utama maksud dan tujuan pembicara dalam menyampaikan materi pendidikan. Amtsal Al-Qur‟an selain berisikan nasihat, peringatan dan menjelaskan konsep konsep abstrak dengan makna-makna yang kongkrit, yang dalam dunia pendidikan ia merupakan jembatan berfikir dari yang abstrak ke alam ide yang bersifat kongkrit yang pada akhirnya diharapkan dapat ditransformasikan kepada anak didik.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad. 2013. “Fungsi Perumpamaan dalam Al-Qur‟an”. Jurnal Tarbawiyah. Vol. 10 No. 2. 2013.21-31.
Al-Qattan, Manna‟ Khalil. 2012. Mabahits fi Ulumil Qur‟an. [diterjemahkan oleh Mudzakir, Studi Ilmu-ilmu Al-Quran]. Surabaya: CV. Ramsa Putra, Halim Jaya.
Arifin. 1991. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Angkasa. Hasbi Ash-
Shiddieqy, Tengku Muhammad. 2009. Ilmu-Ilmu Al-Quran („Ulum Al-Qur‟an).
Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. Ichwan, Nor. 2002. Memahami Bahasa Al- Qur‟an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Jalal, Abdul. 1998. Ulumul Quran.
Surabaya: Dunia Ilmu.
Kauma, Fuad. 2004. Tamsil Al-Qur‟an. Yogyakarta: Mitra Pustaka. Muhaimin.
1993. Pemikiran Pendidikan Islam Bandung: Triganda Karya.
Munfaridah, Dian Ayu. Thesis: Kajian Ayat-ayat Metafora Sebagai Metodologi Pendidikan Agama Islam. Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya. 2010.
Supiana dan Karman. 2002. Ulumul Quran. Bandung: Pustaka Islamika. Syihab, Umar. 1990. Al Qur‟an dan Rekayasa Sosial. Jakarta: Pustaka Kartini
Ulwan, Abdullah Nasih. 2006. Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam. Bandung:
PT. Asy- Syifa.