• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH PENGERTIAN KORUPSI DAN SEJARAH KORUPSI

N/A
N/A
Polsek Kumpeh ilir

Academic year: 2023

Membagikan "MAKALAH PENGERTIAN KORUPSI DAN SEJARAH KORUPSI"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

PENGERTIAN KORUPSI DAN SEJARAH KORUPSI

Dosen Pengampu : Rudik Nur Rohmat, S.H

Dibuat Oleh Kelompok 1:

1. Thony Gunawan 2. Muhammad Andri 3. Agus suprianto 4. Adhe Lesmana 5. Reni Maryani. RP 6. Meli Rahma.F

PRODI HUKUM EKONOMI SYARI’AH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MAMBAUL ULUM JAMBI

TAHUN AKADEMIK 2020/2021

(2)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah swt yang telah memberikan kesempatan dan kesehatan sehingga penulisan Makalah mengenai “Pengertian dan Sejarah Korupsi di Indonesia” dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk menjadi tugas pada mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Selain untuk menjadi tugas pada mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan, makalah ini juga bertujuan untuk memberikan pemahaman buat masyarakat (umumnya) dan mahasiswa (khususnya) tentang apa itu korupsi.

Dalam penulisan makalah ini bahkan tidak jarang penulis menemukan kesulitan- kesulitan. Akan tetapi, berkat motivasi dan dukungan dari berbagai pihak, kesulitan-kesulitan itu akhirnya dapat diatasi. Maka dari itu, melalui kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih sebanyak-banyaknya kepada berbagai pihak yang telah membantu kami, antara lain:

1. Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkah dan karunia-Nya.

2. Ayah dan ibu tercinta yang banyak memberikan dorongan dan bantuan, baik secara moral maupun spiritual.

3. Dan semua pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Selain itu, penulis juga menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan. Penulis selaku manusia tak lepas dari salah dan lupa.

Maka dari itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari rekan-rekan pembaca yang sifatnya membangun, guna menunjang kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya.

Harapan penulis, semoga makalah yang telah disusun ini dapat bermanfaat bagi para mahasiswa dan masyarakat.

Penulis

(3)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL... i

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI... iv

BAB 1 PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah... 1

1.3 Tujuan Penelitian... 1

1.4 Manfaat Penelitian... 2

BAB 2 PEMBAHASAN... 3

2.1 Pengertian Korupsi... 3

2.2 Sejarah Korupsi di Indonesia... 6

BAB 3 PENUTUP... 18

3.1 Kesimpulan... 18

3.2 Saran... 18

DAFTAR PUSTAKA... 19

(4)

BAB. I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dewasa ini, sudah tidak asing lagi ditelinga kita dengan kata korupsi. Di media- media, baik media cetak, media elektronik, dan media-media lainnya sangat sering mengabarkan kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh para pejabat baik didalam negeri maupun luar negeri. Bahkan di Indonesia sendiri telah dibentuk suatu badan atau lembaga yang bertugas khusus untuk mengungkap dan menguak masalah korupsi yang telah mengakar di bumi pertiwi kita bumi nusantara. Namun, dengan hampir setiap hari kita mendengar atau membaca tulisan mengenai korupsi, apakah kita sudah tahu apa itu korupsi dan seperti apa sebenarnya sejarah timbulnya korupsi di Indonesia ini ?. Pada makalah ini akan dibahas pengertian korupsi dan sejarah korupsi di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalahnya yaitu : a. Apa itu korupsi ?

b. Bagaimana sejarah korupsi di Indonesia ? 1.3 Tujuan

Tujuan pembuatan makalah mata kuliah pendidikan Pancasila bagi yang membacanya diharap kan untuk :

a. Mengetahui pengertian korupsi

b. Mengetahui sejarah korupsi di Indonesia 1.4 Manfaat

Adapun manfaat dari pembuatan makalah ini bagi pembacanya diharapkan : a. Mampu memahami pengertian korupsi

b. Mampu lebih memahami sejarah korupsi di Indonesia

(5)

BAB. II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Korupsi

2.1.1 Pengertian Korupsi Secara Umum

Korupsi berasal dari bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Menurut Transparency International korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi.

2.1.2 Pengertian Korupsi Menurut Para Ahli

a. Menurut “Kamus Besar Bahasa Indonesia” korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau orang lain.

b. Menurut corruption is the abuse of trust in the interest of private gain, korupsi adalah penyelahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi

c. Menurut “Bank Dunia” korupsi adalah suatu tindakan penyalahgunaan jabatan publik untuk mendapatkan ke untungan pribadi.

d. Menurut Black’s Law Dictionary korupsi adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.

e. Menurut Syeh Hussein Alatas pakar sosiologi korupsi dalam Damanhuri (2010) topologi korupsi ada 7, yaitu :

1. Korupsi transaktif yaitu korupsi yang menunjukan adanya kesepakatan tibal balik antara pihak yang memberi dan menerima demi keuntungan bersama dimana kedua pihak sama- sama aktif menjalankan tindak korupsi.

2. Korupsi ekstortif yaitu korupsi yang menyertakan bentuk-bentuk koersi tertentu dimana pihak pemberi dipaksa untuk menyuap agar tidak membahayakan diri, kepentingan, orang- orangnya atau hal-hal lain yang dihargainya

3. Korupsi investif yaitu korupsi yang melibatkan suatu penawaran barang atau jasa tanpa adanya pertalian langsung dengan keuntungan tertentu yang diperoleh pemberi, selain keuntungan yang di harapkan akan di peroleh di masa datang.

(6)

4. Korupsi nepotistik yaitu korupsi berupa pemberian perlakukan khusus pada teman atau yang mempunyai kedekatan hubungan dalam rangka menduduki jabatan publik. Dengan kata lain mengutamakan kedekatan hubungan dan bertentangan dengan norma dan aturan yang berlaku.

5. Korupsi autigenik yaitu korupsi yang dilakukan individu karena mempunyai kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari pengetahuan dan pemahamannya atas sesuatu yang hanya diketahui sendiri.

6. Korupsi suportif yaitu korupsi yang menicu penciptaan suasana yang kondusif untuk melindungi atau mempertahankan keberadaan tindak korupsi.

7. Korupsi defensif yaitu tindak korupsi yang terpaksa di lakukan dalam rangka mempertahankan diri dari pemerasan.

f. Menurut Gibbons (1999) menyebutkan ada sembilan bentuk korupsi: patronase politik atau menggunakan sumberdaya publik sebagai pendukung dalam pemilihan; mempekerjakan pegawai pemerintah yang mendukung pandangan politik penguasa atau kontrak alokasi pegawai berdasarkan kriteria partisan; membeli suara (money politic); pork-barreling atau menjanjikan pekerjaan umum kepada pemilih tetapi calon tahu bahwa pemilih tersebut tidak mampu menjalankan pekerjaan; penyuapan atau warga negara yang membayar pejabat untuk mendukung kepentingan mereka; graft atau sogok-menyogok, ketika seorang pejabat menunjukkan bahwa dia harus dihargai agar sesuai dengan tindakan publik; nepotisme atau menyewa atau mengalokasikan kontrak berdasarkan kekerabatan atau persahabatan;

mendorong pejabat publik lain atau perantara untuk melakukan tindakan korupsi; dan kampanye uang atau menerima dana dari kelompok yang berkompromi dalam pemilihan.

g. Menurut Ilmu Politik

Dalam ilmu politik, korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan jabatan dan administrasi, ekonomi atau politik, baik yang disebabkan oleh diri sendiri maupun orang lain, yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan pribadi, sehingga meninmbulkan kerugian bagi masyarakat umum, perusahaan, atau pribadi lainnya.

h. Menurut Ahli Ekonomi

Para ahli ekonomi menggunakan definisi yang lebih konkret. Korupsi didefinisikan sebagai pertukaran yang menguntungkan (antara prestasi dan kontraprestasi, imbalan materi atau nonmateri), yang terjadi secara diam-diam dan sukarela, yang melanggar norma-norma yang berlaku, dan setidaknya merupakan penyalahgunaan jabatan atau wewenang yang dimiliki salah satu pihak yang terlibat dalam bidang umum dan swasta.

i. Menurut Haryatmoko

Korupsi adalah upaya campur tangan menggunakan kemampuan yang didapat dari posisinya untuk menyalahgunakan informasi, keputusan, pengaruh, uang atau kekayaan demi kepentingan keuntungan dirinya.

(7)

j. Menurut Brooks

Menurut Brooks, korupsi adalah dengan sengaja melakukan kesalahan atau melalaikan tugas yang diketahui sebagai kewajiban, atau tanpa keuntungan yang sedikit banyak bersifat pribadi. 1

2.1.3 Pengertian Korupsi Menurut Undang-undang

a. Korupsi menurut Pasal 2 Undang-Udang No. 31 Tahun 1999 “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonoman negara…”

b. Korupsi menurut Pasal 3 Undang-Udang No. 31 Tahun 1999 “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”2

2.2 Sejarah Korupsi di Indonesia

Korupsi di Indonesia sudah ‘membudaya’ sejak dulu, sebelum dan sesudah kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh panggang dari api.

Sejarawan di Indonesia umumnya kurang tertarik memfokuskan kajiannya pada sejarah ekonomi, khususnya seputar korupsi yang berkaitan dengan kekuasaan yang dilakukan oleh para bangsawan kerajaan, kesultanan, pegawai Belanda (Amtenaren dan Binenland Bestuur) maupun pemerintah Hindia Belanda sendiri. Sejarawan lebih tertarik pada pengkajian sejarah politik dan sosial, padahal dampak yang ditimbulkan dari aspek sejarah ekonomi itu, khususnya dalam “budaya korupsi” yang sudah mendarah daging mampu mempengaruhi bahkan merubah peta perpolitikan, baik dalam skala lokal yaitu lingkup kerajaan yang bersangkutan maupun skala besar yaitu sistem dan pola pemerintahan di Nusantara ini. Sistem dan pola itu dengan kuat mengajarkan “perilaku curang, culas, uncivilian, amoral, oportunis dan lain-lain” dan banyak menimbulkan tragediyang teramat dahsyat.3

2.2.1 Era Sebelum Indonesia Merdeka

Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh “budaya-tradisi korupsi”

yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Kita dapat menyirnak bagaimana tradisi korupsi berjalin berkelin dan dengan perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari (sampai tujuh keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan:

Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan seterusnya), Majapahit

1 Axel,D, Christos,K, Steve ,M., 2004.Corruption Around the World: Evidence from a Structural Model.

2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

3 Budiyanto., 2006. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Erlangga

(8)

(pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan lain-lain), Demak (Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten (Sultan Haji merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap Belanda dan seterusnya sampai terjadfnya beberapa kali peralihan kekuasaan di Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan diIndonesia.

Umumnya para Sejarawan Indonesia belum mengkaji sebab ekonomi mengapa mereka saling berebut kekuasaan. Secara politik memang telah lebih luas dibahas, namun motif ekonomi – memperkaya pribadi dan keluarga diantara kaum bangsawan – belum nampak di permukaan “Wajah Sejarah Indonesia”.

Sebenarnya kehancuran kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya, Majapahit dan Mataram) adalah karena perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya. Sriwijaya diketahui berakhir karena tidak adanya pengganti atau penerus kerajaan sepeninggal Bala-putra Dewa.

Majapahit diketahui hancur karena adanya perang saudara (perang paregreg) sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Sedangkan Mataram lemah dan semakin tidak punya gigi karena dipecah belah dan dipreteli gigi taringnya oleh Belanda.

Pada tahun 1755 dengan Perjanjian Giyanti, VOC rnemecah Mataram menjadi dua kekuasaan yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Kemudian tahun 1757/1758 VOC memecah Kasunanan Surakarta menjadi dua daerah kekuasaan yaitu Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran. Baru pada beberapa tahun kemudian Kasultanan Yogyakarta juga dibagi dua menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman.

Benar bahwa penyebab pecah dan lemahnya Mataram lebih dikenal karena faktor intervensi dari luar, yaitu campur tangan VOC di lingkungan Kerajaan Mataram. Namun apakah sudah adayang meneliti bahwa penyebab utama mudahnya bangsa asing (Belanda) mampu menjajahIndonesia sekitar 350 tahun (versi Sejarah Nasional?), lebih karena perilaku elit bangsawan yang korup, lebih suka memperkaya pribadi dan keluarga, kurang mengutamakan aspek pendidikan moral, kurang

memperhatikan “character building”, mengabaikan hukum apalagi demokrasi Terlebih lagi sebagianbesar penduduk di Nusantara tergolong miskin, mudah dihasut provokasi atau mudah termakan isu dan yang lebih parah mudah diadu domba4.

Belanda memahami betul akar “budaya korup” yang tumbuh subur pada bangsa Indonesia, maka melalui politik “Devide et Impera” mereka dengan mudah menaklukkan Nusantara! Namun, bagaimanapun juga Sejarah Nusantara dengan adanya intervensi dan penetrasi Barat, rupanya tidak jauh lebih parah dan penuh tindak kecurangan, perebutan kekuasaanyang tiada berakhir, serta “berintegrasi’ seperti sekarang. Gelaja korupsi dan penyimpangan kekusaan pada waktu itu masih didominasi oleh kalangan bangsawan,sultan dan raja, sedangkan rakyat kecil nyaris “belum mengenal” atau belum memahaminya.

4 Transparency International (2008), Transparency International 2008 orruption Perceptions Index – Immediate Release.

(9)

Perilaku “korup” bukan hanya didominasi oleh masyarakat Nusantara saja, rupanya orang-orang Portugis, Spanyol dan Belanda pun gemar “mengkorup” harta-harta Korpsnya, institusi atau pemerintahannya. Kita pun tahu kalau penyebab hancur dan runtuhnya VOC juga karena korupsi. Lebihdari 200 orang pengumpul Liverantie dan Contingenten di Batavia kedapatan korup dan dipulangkan ke negeri Belanda. Lebih dari ratusan bahkan kalau diperkirakan termasuk yang belum diketahui oleh pimpinan Belanda hampir mencapai ribuan orang Belanda juga gemar korup.

Dalam buku History of Java karya Thomas Stanford Raffles (Gubernur Jenderal Inggris yang memerintah Pulau Jawa tahun 1811-1816), terbit pertama tahun 1816 mendapat sambutan yang “luar biasa” baik di kalangan bangsawan lokal atau pribumi Jawa maupun bangsa Barat. Buku tersebut sangat luas memaparkan aspek budaya meliputi situasi geografi, nama-nama daerah, pelabuhan, gunung, sungai, danau, iklim, kandungan mineral, flora dan fauna, karakter dan komposisi penduduk, pengaruh budaya asing dan lain-lain.

Hal menarik dalam buku itu adalah pembahasan seputar karakter penduduk Jawa.

Penduduk Jawa digambarkan sangat “nrimo” atau pasrah terhadap keadaan. Namun, di pihak lain, mempunyai keinginan untuk lebih dihargai oleh orang lain. Tidak terus terang, suka menyembunyikan persoalan, dan termasuk mengambil sesuatu keuntungan atau kesempatan di kala orang lain tidak mengetahui.

Hal rnenarik lainnya adalah adanya bangsawan yang gemar menumpuk harta, memelihara sanak (abdi dalem) yang pada umumnya abdi dalem lebih suka mendapat atau mencari perhatian majikannya. Akibatnya, abdi dalem lebih suka mencari muka atau berperilaku oportunis. Dalam kalangan elit kerajaan, raja lebih suka disanjung, dihorrnati, dihargai dan tidak suka menerima kritik dan saran. Kritik dan saranyang disarnpaikan di muka umum lebih dipandang sebagai tantangan atau perlawanan terhadap kekuasaannya.

Oleh karena itu budaya kekuasaan di Nusantara (khususnya Jawa) cenderung otoriter. Daiam aspekekonomi, raja dan lingkaran kaum bangsawan mendominasi sumber-sumber ekonomi di masyarakat. Rakyat umumnya “dibiarkan” miskin, tertindas, tunduk dan harus menuruti apa kata, kemauan atau kehendak “penguasa”.

Budaya yang sangat tertutup dan penuh “keculasan” itu turut menyuburkan “budaya korupsi” di Nusantara. Tidak jarang abdi dalem juga melakukan “korup” dalam mengambil

“upeti” (pajak)dari rakyat yang akan diserahkan kepada Demang (Lurah) selanjutnya oleh Demang akan diserahkan kepada Turnenggung. Abdidalem di Katemenggungan setingkat kabupaten atau propinsi juga mengkorup (walaupun sedikit) hartayang akan diserahkan kepada Raja atau Sultan.

Alasan mereka dapat mengkorup, karena satuan hitung belum ada yang standar, di samping rincian barang-barang yang pantas dikenai pajak juga masih kabur. Sebagai contoh, upeti dikenakan untuk hasil-hasil pertanian seperti Kelapa, Padi, dn Kopi. Namun ukuran dan standar upeti di beberapa daerah juga berbeda-beda baik satuan barang, volume dan beratnya, apalagi harganya. Beberapa alasan itulahyang mendorong atau menye-babkan para pengumpul pajak cenderung berperilaku “memaksa” rakyat kecil, di pihak lain menambah

“beban” kewajiban rakyat terhadap jenis atau volume komoditiyang harus diserahkan.

(10)

Kebiasaan mengambil “upeti” dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja Jawa ditiru oleh Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 – 1942) minus Zaman Inggris (1811 – 1816), Akibat kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda. Sebut saja misalnya perlawanan Diponegoro (1825 -1830), Imam Bonjol (1821 – 1837), Aceh (1873 – 1904) dan lain-lain. Namun,yang lebih menyedihkan lagi yaitu penindasan atas penduduk pribumi (rakyat Indonesia yang terjajah) juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Sebut saja misalnya kasus penyelewengan pada pelaksanaan Sistem

“Cuituur Stelsel (CS)” yang secara harfiah berarti Sistem Pembudayaan. Walaupun tujuan utama sistem itu adalah membudayakan tanaman produktif di masyarakat agar hasilnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberi kontribusi ke kas Belanda, namun kenyataannya justru sangat memprihatinkan.

Isi peraturan (teori atau bunyi hukumnya) dalam CS sebenarnya sangat “manusiawi”

dan sangat “beradab”, namun pelaksanaan atau praktiknyalah yang sangat tidak manusiawi, mirip Dwang Stelsel (DS), yang artinya “Sistem Pemaksaan”. Itu sebabnya mengapa sebagian besar pengajar, guru atau dosen sejarah di Indonesia mengganti sebutan CS menjadi DS. mengganti ungkapan “Sistem Pembudayaan” menjadi “Tanam Paksa”.

Seperti apakah bentuk-bentuk pelanggaran CS tersebut? Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Penduduk diwajibkan menanam 1/5 dari tanah miliknya dengan tanaman yang laku dijual di pasar internasional (Kopi, Tembakau, Cengkeh, Kina, Tebu dan boleh juga Padi, bukan seperti sebelumnya yang lebih suka ditanam penduduk yaitu pete, jengkol, sayur-sayuran, padi dan lain-lain). Namun praktiknya ada yang dipaksa oleh “Belanda Item” (orang Indonesia yang bekerja untuk Belanda) menjdi 2/5, 4/5 dan ada yang seluruh lahan ditanami dengan tanaman kesukaan Belanda.

2. Tanah yang ditanami tersebut (1/5) tidak dipungut pajak, namun dalam praktiknya penduduk tetap diwajibkan membayar (meskipun yang sering meng-korup belum tentu Belanda)

3. Penduduk yang tidak rnempunyai tanah diwajibkan bekerja di perkebunan atau perusahaan Belanda selama umur padi (3,5 bulan). Namun, praktiknya ada yang sampai 1 tahun, 5 tahun, 10

tahun dan bahkan ada yang sampai mati. Jika ada yang tertangkap karena berani melarikan diri maka akan mendapat hukuman cambuk (poenali sanksi).

4. Jika panen gagal akibat bencana alam (banjir, tanah longsor, gempa bumi) maka segala kerugian akan ditanggung pemerintah. Namun praktik di lapangan, penduduk tetap menanggung beban itu yang diperhitungkan pada tahun berikutnya.

5. Jika terjadi kelebihan hasil produksi (over product) dan melebihi kuota, maka kelebihannya akan dikembalikan kepada penduduk. Namun praktiknya dimakan oleh

“Belanda Item” atau para pengumpul.

(11)

6. Pelaksanaan CS akan diawasi langsung oleh Belanda. Namun pelaksanaannya justru lebih banyak dilakukan oleh “Belanda Item” yang karakternya kadang-kadang jauh lebih kejam, bengis dan tidak mengenal kornpromi.

2.2.2 Era Pasca Kemerdekaan

Bagaimana sejarah “budaya korupsi” khususnya bisa dijelaskan? Sebenarnya “Budaya korupsi” yang sudah mendarah daging sejak awal sejarah Indonesia dimulai seperti telah diuraikan di muka, rupanya kambuh lagi di Era Pasca Kemerdekaan Indonesia, baik di Era Orde Lama maupun di Era Orde Baru.

Titik tekan dalam persoalan korupsi sebenarnya adalah masyarakat masih belum melihat kesungguhan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi. Ibarat penyakit, sebenarnya sudah ditemukan penyebabnya, namun obat mujarab untuk penyembuhan belum bisa ditemukan.

Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi – Paran dan Operasi Budhi – namun ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Paran, singkatan dari Panitia Retooling Aparatur Negara dibentuk berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.

Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan mengisi formulir yang disediakan – istilah sekarang : daftar kekayaan pejabat negara. Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden.

Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di balik Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah sedang memanas sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan kembali kepada pemerintah (Kabinet Juanda).

Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan.

Lembaga ini di kemudian hah dikenal dengan istilah “Operasi Budhi”. Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan.

Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari atasan.

Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan untuk kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi

(12)

dihentikan. Menurut Soebandrio dalam suatu pertemuan di Bogor, “prestise Presiden harus ditegakkan di atas semua kepentingan yang lain”.

Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumurnkan pembubaran Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.

2.2.3 Era Orde Lama

Dasar Hukum: KUHP (awal), UU 24 tahun 1960

Pemberitaan dugaan korupsi Ruslan Abdulgani menyebabkan koran tersebut kemudian di bredel. Kasus 14 Agustus 1956 ini adalah peristiwa kegagalan pemberantasan korupsi yang pertama di Indonesia, dimana atas intervensi PM Ali Sastroamidjoyo,Ruslan Abdulgani sang menteri luar negeri, gagal ditangkap oleh Polisi Militer. Sebelumnya Lie Hok Thay mengaku memberikan satu setengah juta rupiah kepada Ruslan Abdulgani, yang diperoleh dari ongkos cetak kartu suara pemilu.Syamsudin Sutan Makmur, dan Direktur Percetakan Negara,Pieter de Queljoe berhasil ditangkap.

Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar justru kemudian dipenjara tahun 1961 karena dianggap sebagai lawan politik Sukarno

Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan asing di Indonesia tahun 1958 dipandang sebagai titik awal berkembangnya korupsi di Indonesia. Upaya Jenderal AH Nasution mencegah kekacauan dengan menempatkan perusahaan-perusahaan hasil nasionalisasi di bawah Penguasa Darurat Militer justru melahirkan korupsi di tubuh TNI.

Jenderal Nasution sempat memimpin tim pemberantasan korupsi pada masa ini, namun kurang berhasil.

Pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini dilakukan oleh beberapa institusi:

1. Tim Tastipikor (Tindak Pidana Korupsi) 2. Komisi Pemberantasan Korupsi

3. Kepolisian 4. Kejaksaan 5. BPKP

6. Lembaga non-pemerintah: Media massa Organisasi massa 2.2.4 Era Orde Baru

Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967, Pj Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi

(13)

sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.

Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya “macan ompong”

karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.

Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) derigan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang ditiup angin tanpa bekas sama sekali.

2.2.5 Era Reformasi

Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya “korupsi” lebih banyak dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit “Virus Korupsi” yang sangat ganas. Di era pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan melakukan koreksi total terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan DUD 1945 secara murni dan konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-lama rnenjadi Orde Lama juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan secara murni, kecuali secara “konkesuen” alias “kelamaan”.

Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman, Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).

Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung,

(14)

TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya.

pemberantasan KKN.

Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian masyarakat tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi. Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan bahkan di tempat-tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden, melahirkan kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan proses tawar-menawar tingkat tinggi.

Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan konglomerat Sofyan Wanandi dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung Marzuki Darusman. Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate. Gus Dur lengser, Mega pun menggantikannya melalui apa yang disebut sebagai kompromi politik. Laksamana Sukardi sebagai Menneg BUMN tak luput dari pembicaraan di masyarakat karena kebijaksanaannya menjual aset-aset negara.

Di masa pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan kasat mata wibawa hukum semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa mudahnya konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke luar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas MSAA kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit pemerintahan tidak serius dalam upaya memberantas korupsi, Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi perlindungan kepada para pengusaha besar yang nota bene memberi andil bagi kebangkrutan perekonomian nasional. Pemerintah semakin lama semakin kehilangan wibawa. Belakangan kasus-kasus korupsi merebak pula di sejumlah DPRD era Reformasi.5

5 Komisi Pemberantasan Korupsi (2008), Survei Persepsi Masyarakat Terhadap KPK dan Korupsi Tahun 2008.

(15)

BAB. III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kesimpulannya bahwa korupsi adalah segala tindakan yang menyelewengkan suatu jabatan atau amanah atau kekuasaan demi mendapatkan suatu keuntungan bagi diri si pelaku.

Dan sejarah korupsi di Indonesia sangatlah panjang, mulai dari zaman sebelum kemerdekaan yaitu pendudukan belanda di Indonesia, lalu zaman setelah kemerdekaan yaitu mulai dari era orde lama, era orde baru, hingga era reformasi sekarang ini budaya korupsi belum bisa hilang dan terus mengakar di bumi pertiwi ini

3.2 Saran

Bagi mahasiswa, agar mempunyai semangat yang lebih untuk mempelajari tentang arti korupsi dan sejarah korupsi di Indonesia. Lebih lanjut, diharapkan makalah ini bisa dijadikan referensi bagi mahasiswa dalam mempelajari tentang arti korupsi.

(16)

DAFTAR PUSTAKA

 Axel,D, Christos,K, Steve ,M., 2004.Corruption Around the World: Evidence from a Structural Model.

 Budiyanto., 2006. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Erlangga

 Komisi Pemberantasan Korupsi (2008), Survei Persepsi Masyarakat Terhadap KPK dan Korupsi Tahun 2008.

 Transparency International (2008), Transparency International 2008 orruption Perceptions Index – Immediate Release.

 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Referensi

Dokumen terkait

Seperti penilitian yang dilakukan oleh Pasi, Livia Nita Karina, and Budi Sudaryanto 2021, dengan judul Analisi pengaruh online customer review dan kualitas pelayanan terhadap keputusan