• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH SEJARAH ISLAM ASIA TENGGARA KESULTANAN ACEH

N/A
N/A
Abdur Rahman Hakim

Academic year: 2024

Membagikan "MAKALAH SEJARAH ISLAM ASIA TENGGARA KESULTANAN ACEH"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH SEJARAH ISLAM ASIA TENGGARA KESULTANAN ACEH

DOSEN PENGAMPU :

Helmiati, Prof. Dr., Hj., M.Ag & Bilhakki Putra, S.Pd. I., M. Pd

KELAS : PMT 4A

DISUSUN OLEH KELOMPOK 4 ANGGOTA KELOMPOK :

DIAN SUCI OKTAFIAMI (12210524096) SILVANI RAHMAWATI (12210522576) TIARA AYU AN-NISA (12210522762)

PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

TAHUN 1445 H/2024 M

(2)

i

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya kepada kita sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Kesultanan Aceh ” dengan baik dan tepat waktu. Shalawat serta salam senantiasa penulis panjatkan kepada nabi besar Nabi Muhammad SAW.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Islam Asia Tenggara.

Selain itu, makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan juga penulis.

Kami ucapkan terimakasih kepada selaku dosen pengampuh mata kuliah yakni Ibu Helmiati, Prof. Dr., Hj., M.Ag dan bapak Bilhakki Putra., M.Pd sebagai dosen pengampu mata kuliah Sejarah Islam Asia Tenggara serta pihak-pihak yang telah membantu kami dalam penyelesaian makalah ini. Dengan segenap kerendahan hati, kami menyadari bahwa pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan dan menerima kritik serta saran yang membangun dari pembaca demi perbaikan dan penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat.

Pekanbaru, 29 Februari 2024

Pemakalah

(3)

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 1

C. Tujuan ... 1

BAB II PEMBAHASAN ... 2

A. Sejarah Kesultanan Aceh... 2

1. Masa Kesultanan Aceh ... 2

2. Kejayaan Ekonomi, Politik dan Agama ... 4

B. Pusat Study Islam di Asia Tenggara... 7

C. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara ... 8

D. Kaitan Kesultanan Aceh Pada Pendidikan Masa Sekarang ... 11

BAB III PENUTUP ... 13

A. Kesimpulan ... 13

B. Saran ... 14

DAFTAR PUSTAKA ... 15

(4)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebelum Islam datang ke Indonesia pada abad ke-13, wilayah Nusantara telah dihuni oleh kerajaan-kerajaan yang dipengaruhi oleh agama Hindu dan Buddha. Di tengah lalu lintas perdagangan internasional, Aceh menjadi salah satu daerah yang berperan penting. Masuknya Islam ke Indonesia, tepatnya di wilayah Aceh, terjadi melalui jalur perdagangan yang membawa ajaran Islam dari pedagang Gujarat, Arab, dan Persia.

kesultanan Aceh, yang terletak di ujung barat Indonesia, memiliki sejarah yang panjang dan berwarna dalam konteks peradaban Nusantara. Sebagai salah satu kerajaan Islam tertua di Indonesia, Aceh memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan agama Islam, politik, ekonomi, dan budaya di wilayah tersebut.

Aceh menjadi pusat studi keislaman yang signifikan di Asia Tenggara pada abad ke-17, di mana Ibukota kesultanan Aceh, Kuta Raja (Banda Aceh), menjadi tempat penting bagi kegiatan pendidikan, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan di kawasan tersebut. Di sana, terdapat beberapa masjid terkenal seperti Baiturrahim, Baitul Musyahadah, dan Jami' Baiturrahman yang menjadi pusat kegiatan pendidikan bagi pelajar dari berbagai negeri di Asia Tenggara.

Pada makalah ini, akan membahas mengenai sejarah kesultanan Aceh, peran Aceh sebagai pusat studi Islam di Asia Tenggara, serta jaringan ulama antara Timur Tengah dan Nusantara. Dengan menggali lebih dalam tentang aspek sejarah, keislaman, dan peran ulama dalam kesultanan Aceh

,

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah kesultanan Aceh?

2. Dimana pusat study Islam di Asia Tenggara pada abad ke- 17?

3. Bagaimana jaringan ulama Timur Tengah dan Nusantara abad ke-17 dan abad ke- 18?

4. Bagaimana Kaitan Kesultanan Aceh Pada Pendidikan Masa Sekarang?

C. Tujuan

1. Mengetahui sejarah kesultanan Aceh.

2. Mengetahui pusat study Islam di Asia Tenggara pada abad ke- 17.

3. Mengetahui jaringan ulama Timur Tengah dan Nusantara abad ke-17 dan abad ke- 18.

4. Mengetahuai Kaitan Kesultanan Aceh Pada Pendidikan Masa Sekarang

(5)

2

BAB II PEMBAHASAN

A. Sejarah Kesultanan Aceh

1. Masa Kekuasaan Kesultanan Aceh

Kerajaan Aceh berdiri pada tahun 1514. Sultan Ibrahim atau Ali Mugayat Syah adalah raja pertama kerajaan ini Pada tahun 1521 M kerajaan ini ditaklukkan oleh Portugis yang mendudukinya selama tiga tahun, kemudian tahun 1524 M dianekasi oleh raja Aceh, Ali Mughayatsyah.

Kerajaan Aceh terletak di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Aceh Besar. Di sini pula terletak ibu kotanya. Dan belum diketahui pasti kapan kerajaan ini berdiri. Anas Machmud berpendapat, kerajaan Aceh berdiri pada abad ke-15 M, di atas puing-puing kerajaan Lamuri, oleh Mujaffar Syah (1465-1497 M). Dialah yang membangun kota Aceh Darussalm. Puncak kejayaan Kerajaan Aceh terjadi pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda.

Pada saat itu wilayah kekuasaan Aceh sangat luas. Kerajaan. Aceh juga telah menjalin hubungan dengan para pemimpin Islam di kawasan Arab sehingga dikenal dengan sebutan Serambi Mekah. Puncak hubungan tersebut terjadi pada masa kekhalifahan Usmaniyah.1

Pada masa pemerintahannya, Ali Mughayat Syah meluaskan wilayah kekuasaannya ke daerah Pidie yang bekerja sama dengan Portugis, kemudian ke Pasai pada tahun 1524 M. 2Dengan kemenangannya terhadap dua kerajaan tersebut, ia dengan mudah dapat melebarkan sayap kekuasaannya ke Sumatera Timur. Keberhasilannya dalam menguasai beberapa wilayah dan menggabungkannya menjadi kesultanan Aceh Darussalam itulah menyebabkan ia dianggap sebagai pendiri kekuasaan Aceh sesungguhnya. Ali Mughayat Syah digantikan oleh anak sulungnya, Salah ad-Din (1528-1537). Ia menyerang Malaka pada tahun 1537, tetapi mengalami kegagalan. Salah ad-Din digantikan oleh saudaranya, Alauddin Ri'ayat Syah al-Kahhar (1537-1568). Pada masa pemerintahannya, ia berhasil menaklukkan Aru dan Johor, bahkan dengan bantuan persenjataan Dinasti Ottoman, ia menyerang Portugis di Malaka.

1 Anwar Sewang, “ Sejarah Peradaban Islam”, (Sulawesi selatan : Wineka Media, 2017), hal. 328-329.

2 Helmiati, “ Sejarah Islam Asia Tenggara”, ( Pekanbaru : Lembaga Penelitian dan Pembinaan Kepada Masyarakat UIN Suska Riau, 2014), hal. 38.

(6)

3

Alauddin Ri'ayat Syah digantikan oleh Sultan Ali Riayat Syah (1568-1573), kemudian Sultan Seri Alam, Sultan Muda (1604-1607), dan Sultan Iskandar Muda, gelar Mahkota Alam (1607-1636).

Dari kesultanan ini, Islam kemudian tersebar ke berbagai negeri-negeri Melayu lainnya. Pengaruh dan kekuasaan kesultanan Aceh Darussalam pada saat itu sangat dirasakan di kepulauan Sumatera dan semenanjung tanah Melayu, terutama ketika kesultanan itu di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608-1637). Seluruh serangan yang dilancarkan pihak Portugis dapat ditangkis oleh sultan-sultan Aceh.3 Mereka juga telah menanamkan pengaruh Islam. Islam pun berkembang dengan pesat dan mendapat dukungan dari penguasa di Haramayn (Mekah dan Madinah), dan memperoleh keabsahan dari sana.

Berbeda dengan daerah lainnya di Nusantara, dalam sejarah dan tradisi Aceh, pusat kekuasaan didirikan dan diyakini sebagai diberi dasar oleh Islam.

Dengan kata lain, Islamlah yang memberi dasar bagi adanya pusat kekuasaan itu; Islam berkembang seiring dengan berdirinya kerajaan itu. Ini berbeda dengan Malaka, Makasar dan kota-kota pantai lainnya, dimana proses islamisasi di pusat kerajaan terjadi ketika pedagang Islam yang menguasai kehidupan kota berhasil menarik "raja yang kafir" untuk masuk Islam. Jika di Jawa, pusat kekuasaan (kraton) dikalahkan oleh Islam dari pinggiran ( Majapahit dikalahkan oleh aliansi Demak- Kudus), maka Aceh tidak mengenal konfrontasi kekuasaan seperti itu. Kesultanan Aceh Darussalam didirikan atas dasar Islam; Islamlah yang menjadi dasar bagi adanya kekuasaan kesultanan itu. Dengan demikian penguasa kesultanan Aceh tidaklah terjerat oleh keharusan untuk melanjutkan sistem dan tradisi lama, melainkan mendapatkan kesempatan untuk merumuskan tradisi baru yang relatif terlepas dari keharusan doktrin dan kenyataan sosial yang ada sebelumnya. Demikinlah, sementara definisi kelslaman diperteguh, yang mencapai puncaknya di abad ke-17, pengaturan sistem kekuasaan yang relevanpun dirintis pula.4

3 Ibid, hal. 39

4 Ibid, hal. 40

(7)

4

2. Kejayaan Ekonomi, Politik, dan Agama

Kesultanan Aceh Darussalam menjadi kerajaan Islam terbesar di Nusantara dan kelima terbesar di dunia pada abad ke-15M. Pendapat senada juga dikemukakan oleh A.H. Johns bahwa Aceh adalah negara kota Islam terpenting di dunia Melayu antara abad ke-15 dan 17 di samping Malaka. Kemajuan kesultanan Aceh mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-17. Hal ini agaknya sangat terpengaruh oleh kemunduran kerajaan Malaka yang mengalami pendudukan orang-orang Portugis. Antara lain karena karena saudagar-saudagar Muslim yang sebelumnya berdagang dengan Malaka memindahkan kegiatan mereka ke Aceh, setelah Malaka dikuasai Portugis (1511 M). Ketika Malaka jatuh tahun 1511, daerah pengaruhnya di Sumatera mulai melepaskan diri. Di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah (1511- 1530), Aceh mulai melebarkan kekuasaannya ke daerah sekitarnya, bahkan kesultanan ini berhasil mengusir Portugis dari Pasai tahun 1524. Pada puncak kemegahannya, hegemoni politik kesultanan ini mencapai pesisir barat Minangkabau dan mencakup Pedir, Pasai, Perlak, Deli, Johor, Kedah, Pahang, dan lain-lain.

Dalam bentuk pemerintahan negara kota abad ke-17, Aceh bukan saja jauh lebih dikenal, tetapi menurut A.H. Johns, berdasarkan semua bukti yang ada- nampaknya Aceh sangat penting.5 Aceh menjadi pusat perkembangan sebuah kerajaan maritim yang perkasa yang sangat Islami dan mandiri dalam perdagangan. Kesultanan ini juga punya hubungan internasional yang luas jangkauannya. Sejauh menyangkut hubungan dengan Timur Tengah, tidak ada negara-negara lain di Nusantara yang mempunyai hubungan-hubungan politik dan diplomatik yang begitu intens dengan kerajaan-kerajaan Islam di Mughal, Persia dan Turki Usmani kecuali Aceh. Dengan jalinan persahabatan itu, Turki Usmani membantu Aceh tidak hanya di bidang militer tetapi juga di bidang politik yang diindikasikan melalui pengakuan terhadap Aceh sebagai bagian dari khilafah Islam. Oleh karena itu, posisi Aceh pada abad ke-16 diakui di dunia Islam secara internasional.

Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masa itu. Aceh dikenal memiliki sumber daya alam yang kaya. Selain dikenal sebagai penghasil

5 Ibid, hal. 41

(8)

5

kapur barus dan kemenyan, juga dikenal sebagai penghasil timah dan rempah- rempah seperti lada dan kopi. Aceh juga menempati letak strategis dengan posisinya sebagai pusat pelabuhan dagang dan jalur transportasi dengan negara- negara lain. Letak strategis pusat pemerintahan kesultanan Aceh Darussalam ditambah lagi oleh kekayaan sumber daya alamnya telah pula menghantarkannya menjadi negara kota yang makmur dan sejahtera.6

Dilihat dari aspek pengembangan agama Islam, peran Aceh tak dapat diabaikan. Seiring dengan kemajuan dan kemakmurannya dalam bidang ekonomi, politik dan budaya, maka perkembangan pemikiran keagamaan serta penyebaran dakwah Islam pun semakin meningkat. Kemajuan kerajaan Aceh dalam bidang agama ditandai dengan munculnya Aceh sebagai kiblat pengajaran Islam. Aceh ketika itu menjadi Center Ilmu Pengetahuan di Asia Tenggara yang melahirkan nama-nama para intelektual Muslim atau ulama- ulama terkenal seperti Hamzah Fansuri (w.1600), Syamsuddin al-Sumatrani (w.

1630), Nuruddin al- Raniri (w. 1657), dan Abdul Rauf al-Sinkili (w. 1660).

Sekitar abad ke-17/18 M, keempat tokoh tersebut telah mewarnai sejarah pemikiran keagamaan kesultanan Aceh. Dua nama terakhir, al-Raniri dan al- Sinkili, adalah dua dari tiga mata rantai utama dari jaringan ulama di wilayah Melayu Indonesia dengan Timur Tengah yang mempunyai peranan penting dalam menghadirkan pembaharuan-pembaharuan keagamaan, dan dalam membawa tradisi besar Islam ke wilayah Melayu Indonesia dengan menghalangi kecendrungan kuat pengaruh tradisi lokal ke dalam Islam.7

Selain itu, Aceh berperan pula sebagai pintu gerbang ke tanah suci bagi para penziarah dan pelajar jawi yang menuju ke Mekah, Madinah dan pusat-pusat pengetahuan di Mesir serta bagian-bagian lain dari kesultanan Turki, Sehingga tak heran bila Aceh dijuluki sebagai 'Serambi Mekah'. Peran ini membuat Aceh berhubungan erat dengan kota-kota pelabuhan Muslim yang lain di Nusantara.

Selain itu, Aceh juga berperan sebagai tempat pertemuan ulama dan intelektual Muslim dari berbagai Dunia Melayu dan Muslim dari Timur Tengah.

Singkatnya, kehidupan intelektual keagamaan berkembang sangat baik di kesultanan ini sehingga menjadikannya berfungsi sebagai center

6 Ibid, hal. 42

7 Ibid, hal. 43

(9)

6

intelektualisme Islam abad ke-17, sebagai pusat berkembangnya ajaran dan pemikiran Islam di Asia Tenggara. Sejauh menyangkut hukum, A.C. Milner menyebutkan secara implisit, bahwa syari'at menjadi sumber hukum kala itu.

Para pengunjung Eropa sering menyebutkan tentang penggunaan hukum Islam seperti hukum potong tangan, hukum cambuk, pelarangan riba, dan penghapusan siksaan kuno yang dipandang bertentangan dengan Islam seperti pencelupan ke dalam minyak panas, dan menjilat besi yang panas memerah bagi pelanggaran hukum. Dilihat dari pelaksanaan doktrin hukum Islam, serta pengaruh politik agama ini dalam sistem dan struktur kesultanan, dapat disimpulkan bahwa kesultanan Aceh Darussalam merupakan sebuah bentuk

"negara Islam" (Islamic State).8

Dalam sistem pemerintahan, terdapat jabatan Kadhi Malikul Adil yang harus dijabat oleh ahli hukum agama. Selain itu, kedudukan ulama walau tidak menjadi bagian dari struktur kekuasaan yang utama tetapi mempunyai peran yang dominan dalam menentukan kebijakan-kebijakan pemerintah karena perannya sebagai penasehat sultan.

Di masa sultan Iskandar Tsani, para ulama besar mulai meletakkan dasar bagi corak pengaturan sosial. Diantaranya adalah kemitraan antara pemegang otoritas politik dan pemegang otoritas spritual di seluruh tingkat pemerintahan.

Seorang sultan bukan saja harus didampingi oleh seorang Kadhi Malikul Adil, seorang pejabat negara dalam persoalan hukum, dan seorang ulama besar, sebagai penasehat rohani; tetapi pada pemerintahan tingkat gampong pun, seorang keucik (kepala desa) harus didampingi oleh imam Meunasah, di samping apa yang disebut Tuha peut (para tetua desa). Begitu juga pada tingkat mukim, (lurah), seorang imeum mukim didampingi, diawasi dan dikontrol oleh

"mini parlemen' yang dikenal dengan istilah tuha lapan. Jika di kampung, kepala desa dianggap ayah, sementara imam meunasah harus dianggap ibu, maka pada tingkat kesultanan dikenal aturan "adat bok poteu meureuhom; hukom bok Syiah Kuala" kekuasaan adat ada di tangan sultan, ketentuan hukum (keagamaan) ada di tangan Syiah Kuala. Namun demikan wewenang antara kedua wilayah ini tidaklah sama sekali terpisah. Sering sekali sebelum sultan

8 Ibid, hal. 44

(10)

7

atau uluebalang membuat putusan, ia harus terlebih dahulu bermusyawarah dengan para ulama dan orang-orang tua. Dengan demikian dapat dipertimbangkan apakah suatu putusan sah atau tidak menurut pandangan agama, sehingga pengaruh Islam sangat besar sekali pada adat istiadat Aceh.

Keduanya bahkan telah menyatu sedemikian rupa sehingga ada pepatah yang berbunyi "Hukom ngo Adat lagee Zat ngo sipheuet" (Hukum dengan adat seperti benda dengan zatnya, tidak terpisah).9

Dalam pengaturan seperti ini, semakin terlihat kedudukan strategis dan peranan penting yang dimainkan ulama dalam mewarnai pemerintahan ke arah yang lebih Islami. Di zaman ini terutama, ulama-ulama besar Aceh menghasilkan karya-karya besar yang mondial yang selanjutnya mempengaruhi pemikiran Islam di seluruh nusantara. Saat itu terdapat jumlah karya-karya keagamaan yang mencolok menurut standar Melayu yang dihasilkan di bawah pengawasannya, baik yang orisinal atau yang berbentuk terjemahan.10

B. Pusat Study Islam di Asia Tenggara

Kesultanan Aceh dikenal menjadi "pusat studi keislaman (center for Islamic studies)" di kawasan Asia Tenggara. Prestasi ini tentu tidak muncul dengan sendirinya, tetapi karena telah dicapai melalui berbagai bentuk kerja keras dari berbagai pihak yang dipadukan dengan tradisi pengetahuan dan keilmuan dibidang pembelajaran yang panjang serta berkesinambungan, maka pusat studi keislaman di Aceh dapat mencapai puncaknya pada abad ke-17 M.

Pada masa tersebut, Ibukota kesultanan Aceh Kuta Raja (Banda Aceh) merupakan salah satu kota yang menjadi pusat kegiatan pendidikan, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan di kawasan Asia Tenggara, Tiga tempat utama. di ibu kota kerajaan yang menjadi pusat kegiatan pendidikan, ialah Masjid Baiturrahim, Masjid Baitul Musyahadah, dan Masjid Jami’ Baiturrahman. Banyak para pelajar yang menuntut ilmu di tempat-tempat ini berasal dari berbagai negeri yang ada di Asia Tenggara. Di sisi lain kemajuan telah di peroleh oleh kesultanan Aceh dalam bidang ilmu pengetahuan dan keagamaan. Kesultanan Aceh juga terkenal sebagai daerah yang merupakan salah satu pusat perdagangan Muslim dan tempat berkumpulnya

9 Ibid, hal. 45

10 Ibid, hal. 46

(11)

8

para pemikir (kaum cendikiawan dan ulama-ulama).

Selain ketiga pusat di atas, ada bebarapa lembaga yang di dirikan oleh kesultanan Aceh untuk mengembangkan pengetahuan dan pendidikannya, diantara lembaga-lembaga kajian ilmiah yang dijadikan sebagai pusat studi tersebut ialah:

a. Balai Sertia Ulama (jawatan pendidikan)

b. Balai Jama'ah Himpunan Ulama, yang merupakan studi klub yang beranggotakan para ahli agama.

c. Balai Sertia Hukama (lembaga pengembangan ilmu pengetahuan).

Adapun dalam rangka mencerdaskan rakyatnya, kesultanan Aceh membangun beberapa sarana-sarana pendidikan untuk semua tingkatan pendidikan. Bentuk lembaga pendidikan yang terdapat di kesultanan Aceh, meliputi:

a. Meunasah (setingkat SD atau Madrasah Ibtidaiyah).

b. Rangkang (setingkat SMP atau Madrasah Tsanawiyah).

c. Dayah (Setingkat SMA atau Madrasah Aliyah).

d. Dayah Teungku Chik (setingkat Perguruan Tinggi) yang didirikan oleh para ulama yang mengajarkan tafsir, tasawuf dan lain sebagainya.

C. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara

Aceh dalam sejarahnya pernah menjadi center ilmu pengetahun di Asia Tenggara yang melahirkan nama-nama para intelektual Muslim atau ulama-ulama terkenal seperti Hamzah Fansuri (w.1600), Syamsuddin al-Sumatrani (w. 1630), Nuruddin al-Raniri (w. 1657), dan Abdul Rauf al-Sinkili (w. 1660).11

1. Hamzah Fansuri

adalah seorang sufi terkemuka, sastrawan besar, pengembara dan ahli agama. Dia dilahirkan di tanah Fansuri atau Barus, dan diperkirakan hidup antara pertengahan abad ke-16 dan 17M. Hamzah Fansuri mempelajari tasawuf setelah menjadi anggota tarekat Qadiriyah yang didirikan oleh Syekh Abdul Qadir Jailani dan di dalam tarekat ini pula ia dibai’at. Setelah mengembara ke berbagai pusat ilmu seperti Baghdad, Mekah, Madinah, dan Yerussalem, dia kembali ke tanah air serta mengembangkan ajaran tasawuf sendiri. Tasawuf

11 Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara”, ( Pekanbaru : Lembaga Penelitian dan Pembinaan Kepada

Masyarakat UIN Suska Riau, 2014), hal 46

(12)

9

yang dikembangkannya banyak dipengaruhi pemikiran Wujudiyah Ibnu Arabi.

Ada tiga risalah tasawuf karangan al-Fansuri yang dijumpai, yaitu Syarab al-

‘Asyiqin, (Minuman orang Birahi), Asrar al-Arifin (Rahasia ahli Ma’rifat) dan al-Muntahi. Selain itu juga dijumpai tidak kurang dari 32 ikatan-ikatan atau untaian syair yang digubahnya. Syair-syairnya dianggap sebagai ‘syair Melayu’

pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu. Begitu pula karyanya Syarb al- Asyiqin, oleh al-Attas dianggap sebagai risalah keilmuan pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu baru.

2. Syamsuddin al-Sumatrani

Tentang Syamsuddin al-Sumatrani, tidak banyak informasi yang didapat menyangkut kehidupannya. Yang jelas, ia juga memegang jabatan sebagai penasehat agama di kesultanan Aceh. Syamsudin termasuk dalam aliran pemikiran keagamaan yang sama dengan Hamzah, yaitu sama-sama pendukung faham wahdat al-wujud. Seperti Hamzah, Syamsudin adalah penulis produktif dan menguasai beberapa bahasa. Dia menulis dalam bahasa Melayu dan Arab, dan sebagian besar karya-karyanya berkaitan dengan kalam dan tasawuf.

Periode sebelum kedatangan ar-Raniri merupakan masa di mana Islam mistik, terutama dari aliran Wujudiyah berjaya, bukan hanya di Aceh tetapi juga di banyak bagian wilayah Nusantara. Yang berkembang saat itu adalah satu faham tasawuf yg bersifat pantheistik dan anti dunia yangterutama dikembangkan oleh Ibn Arabi (w.1240). Setelah kedatangan Nuruddin ar-Raniri, muncul gerakan- gerakan pembaharuan tasawuf yang hasilnya adalah munculnya suatu bentuk tasawuf yang diistilahkan dengan neo-sufisme, yaitu suatu bentuk tasawuf yang merekonsiliasi memadukan) dan mengharmoniskan antara syariat dan tasawuf.

3. Nuruddin al-Raniri

Azra mensinyalir bahwa Nuruddin ar-Ranirilah yang memprakarsai gerakan awal neo-sufisme di Nusantara. Neo sufisme adalah faham tasawuf yang merekonsiliasikan (mendamaikan) antara pengamalan syariat dan tasawuf.

Dengan posisinya sebagai Syekh al-Islam di Kesultanan Aceh, Ar-Raniri berhasil mendapatkan dukungan politik dari Iskandar Tsani dan ajarannya berhasil mendominasi wilayah kesultanan melalui metode debat yang selalu ia menangkan atas tokoh-tokoh pengikut dua sufi sebelumnya. Menurutnya Islam

(13)

10

di wilayah ini telah dikacaukan oleh kesalahfahaman atas doktrin sufi. Sesuai dengan inti neosufisme, ar-Raniri memberikan penekanan yang lebih kuat kepada ortodoksi (kemurnian) atau syariah di dalam pemikiran dan pengamalan tasawuf.

4. Abdul Rauf al-Sinkili

Ulama besar Aceh lainnya adalah Abdurrauf alSingkili. Al-Singkili hidup dalam enam periode kesultanan Aceh: Sultan Iskandar Muda, Iskandar Tsani, Sultanah Safiat al-din, Sultanah Nakiyat al-Din, Sultanah Zakiyat al-Din, dan Sultanah Kamala al-Din. Pada masa 4 Sultanah inilah alSingkili menjabat sebagai mufti, (syekh Islam). Posisi alSingkili sebagai seorang alim dan mufti dari sebuah kesultanan yang besar seperti Aceh, yang pernah belajar di Mekah dan Madinah, mempunyai hubungan dengan beberapa ulama dari berbagai negara, serta menjadi khalifah tarekat Syattariyah, telah membuatnya bukan hanya mempunyai legitimasi keagamaan yang otoritatif, tetapi juga legitimasi politik yang kuat. Al-Singkili menafsirkan kembali doktrin wujudiyah secara ortodoks (murni). Ia sependapat dengan gurunya yang menekankan pentingnya kesesuaian pengamalan tasawuf dan pengamalan syari’ah. Menurutnya, kesempurnaan bathin yang dicita-citakan seorang salik tidak akan tercapai bila ia meninggalkan ketentuan-ketentuan syari’ah seperti kewajiban shalat, puasa, haji, dan lain-lain.

Sebelum Islam datang ke Indonesia dalam abad XIII, maka telah terjelma kerajaan-kerajaan yang susunan pemerintahannya, corak masyarakatnya, alam pikirannya banyak di pengaruhi Hinduisme dan Budhisme. Kerajaankerajaan itu, terdapat di selat Malaka, di Sumatera Utara, di Kalimantan Utara dan Timur. Mereka memiliki susunan ekonomi yang tergantung pada perdagangan laut. Berkembangnya Islam ke Indonesia jika dipandang dari segi historis dan sosiologis sangat kompleks dan terdapat banyak masalah, terutama tentang sejarah perkembangan awal Islam. Ada perbedaan diantara para sejahrawan dalam meneliti masuknya Islam ke Indonesia.

Pendapat lama sepakat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad ke- 13 M dan pendapat baru menyatakan bahwa Islam masuk pertama kali ke Indonesia pada abad ke-7 M. Namun yang pasti, hampir semua ahli sejarah menyatakan bahwa

(14)

11

daerah Indonesia yang mula-mula dimasuki Islam adalah daerah Aceh.Masuknya Islam ke Indonesia tepatnya di daerah semenanjung Aceh bermuara dari perdagangan, namun seiring berjalannya waktu para pedagang yang bersal dari Gujarat, Arab, dan Persia juga menyebarkan ajaran Islam ke daerah lainnya. Adapun makalah ini nantinya akan menguraikan tentang latar belakang masuknya Islam ke Indonesia, daerah awal masuknya Islam ke Indonesia, kemudian dilanjutkan pada pembahasan masa berkembangnya Islam di Inonesia dan masa politik perkembangan Islam di Indonesia. Masuknya Islam ke Indoneisa agak unik jika dibandingkan dengan masuknya Islam ke negeri lain.Keunikannya terlihat pada proses masuknya Islam ke Indonesia yang relatif berbeda. Islam masuk ke Indonesia secara damai yang dibawa oleh pedagang dan muballigh. Proses masukknya Islam ke negeri lain pada umummnya terjadi lewat penakklukkan, seperti:Irak, Iran (Persia), Mesir, Afrika Utara, dan negeri- negeri lainnya.

D. Kaitan Kesultanan Aceh Pada Pendidikan Masa Sekarang

Pada masa revolusi fisik 1945-1949 di Aceh, lembaga pendidikan dayah memainkan peran penting dalam mendidik para santri. Mereka tinggal di pondok yang terbuat dari papan kayu atau bambu dan belajar bertingkat sesuai usia. Mulai dari meunasah-rneunasah hingga mempelajari kitab-kitab Islam klasik dalam bahasa Arab. Tujuan utamanya bukan cuma mengisi pikiran dengan pengetahuan, tapi juga meningkatkan moral, semangat, dan nilai-nilai spiritual. Dayah juga berhasil mencetak ulama berkualitas yang membantu menyebarkan keimanan di Aceh, terutama di pedesaan.

Metode pendidikan yang diterapkan di dayah fokus pada peningkatan moral, melatih, dan menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan. Para santri diajarkan untuk tidak hanya belajar demi kepentingan duniawi, tapi juga sebagai kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan. Mereka diajarkan untuk memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi dalam melestarikan dan menyebarkan pengetahuan Islam. Selain itu, dayah juga memberikan perhatian khusus pada santri yang cerdas dan memiliki potensi lebih, serta mengembangkan kepandaian berpidato dan berdebat. Meskipun pendidikan di dayah terbilang terbatas dalam cabang ilmu yang dipelajari, namun pendekatan pendidikan di sana tidak membatasi cara berfikir dan perhatian santri.

Tradisi pemberian ijazah di dayah juga berbeda dengan sistem modern, di mana

(15)

12

hubungan antara guru dan murid sangat kuat sehingga anjuran guru dianggap sebagai perintah yang harus ditaati.

Dalam perkembangannya, sistem pendidikan dayah di Aceh mengalami pergeseran bertahap, meskipun masih menganut faham Ahlussunnah wal jama'ah.

Di samping itu, pendidikan di Indonesia masih dianggap tertinggal dibandingkan dengan negara Barat karena keterbatasan sumber daya manusia. Oleh karena itu, keberadaan dayah di Aceh dapat menjadi pilihan untuk mengembangkan SDM yang tangguh menghadapi masa depan.12

12 https://acehprov.go.id/berita/kategori/jelajah/dayah-sejak-sultan-hingga-sekarang

(16)

13 BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Kerajaan Aceh berdiri pada tahun 1514. Sultan Ibrahim atau Ali Mugayat Syah adalah raja pertama kerajaan ini Pada tahun 1521 M kerajaan ini ditaklukkan oleh Portugis yang mendudukinya selama tiga tahun, kemudian tahun 1524 M dianekasi oleh raja Aceh, Ali Mughayatsyah. Kerajaan Aceh terletak di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Aceh Besar. Puncak kejayaan Kerajaan Aceh terjadi pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Berbeda dengan daerah lainnya di Nusantara, dalam sejarah dan tradisi Aceh, pusat kekuasaan didirikan dan diyakini sebagai diberi dasar oleh Islam. Dengan kata lain, Islamlah yang memberi dasar bagi adanya pusat kekuasaan itu; Islam berkembang seiring dengan berdirinya kerajaan itu.

Kesultanan Aceh Darussalam menjadi kerajaan Islam terbesar di Nusantara dan kelima terbesar di dunia pada abad ke-15M. Kemajuan kesultanan Aceh mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-17. Dari segi ekonomi, Aceh dikenal sebagai negeri yang amat kaya dan makmur. Mereka mempunyai SDA yang melimpah seperti kapur barus, kemenyan, sampai timah dan rempah-rempah seperti lada dan kopi. Dalam bidang agama, aceh juga menjadi ousat keilmuan yang luar biasa. Dimana terdapat ulama-ulama terkenal seperti Hamzag Fnsuri, Syamsuddin al-Sumatrani, Nuruddin al- Raniri, dan Abdul Rauf al-Sinkili yang membuat Aceh sebagai kiblat pengajaran Islam di Asia Tenggara. Peran ulama di Aceh menjadi pengaturan sosial dan pemerintahan. Mereka menjadi penentu kebijakan pemerintah. Dan pengaru islam begitu besar smpai hukum syariah menjadi sukmber hukum utama di Aceh.

Pada abad ke-17, Ibukota kesultanan Aceh, Kuta Raja (Banda Aceh), menjadi Pusat kegiatan pendidikan, kebudayaan, dan ilmi pengetahuan yang terkenal di kawasan tersebut. Masjid seperti Baiturrahim, Baitul Musyahadah, dan Jami' Baiturrahman menjadi tempat penting bagi para pelajar dari berbagai negeri di Asia Tenggara untuk menuntut ilmu. Kesultanan Aceh juga mendirikan berbagai lembaga seperti Balai Sertia Ulama, Balai Jama'ah Himpunan Ulama, dan Balai Sertia Hukama untuk mengembangkan pengetahuan dan pendidikan. Selain itu, mereka membangun sarana pendidikan mulai dari tingkat SD hingga setingkat perguruan tinggi, seperti Meunasah, Rangkang, Dayah, dan Dayah Teungku Chik yang diajarkan oleh para ulama terkemuka.

(17)

14

Kesultanan Aceh memainkan peran penting dalam jaringan ulama antara Timur Tengah dan Nusantara. Berbagai ulama terkenal seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, Nuruddin al-Raniri, dan Abdul Rauf al-Sinkili merupakan intelektual Muslim yang berperan besar dalam perkembangan pemikiran keagamaan di Aceh dan sekitarnya. Hamzah Fansuri, seorang sufi terkemuka, dan ulama lainnya seperti Syamsuddin al-Sumatrani, Nuruddin al-Raniri, dan Abdul Rauf al-Sinkili, masing- masing memberikan kontribusi yang signifikan dalam bidang tasawuf, kalam, dan pemikiran Islam. Mereka membawa ajaran Islam yang menggabungkan syariat dan tasawuf, serta memainkan peran penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan agama di wilayah tersebut. Aceh, sebagai pusat studi keislaman di Asia Tenggara, menjadi tempat berkumpulnya para intelektual Muslim dan ulama terkemuka dari berbagai belahan dunia. Melalui upaya keras dan kerja sama antara ulama-ulama tersebut, Aceh berhasil menjadikan Islam sebagai landasan utama dalam kehidupan sosial, politik, dan keagamaan di wilayah tersebut.

B. Saran

Demikian makalah ini kami buat, tentunya masih banyak kekurangan dan kesalahan. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca baik itu dari teman-teman atauapun dosen pembimbing mata kuliah Sejarah Islam Asia Tenggara yang sifatnya membangun bagi para pemakalah sebagai kesempurnaan makalah ini dan agar kedepannya kami bisa lebih baik lagi.

(18)

15

DAFTAR PUSTAKA

Helmiati, (2014), “ Sejarah Islam Asia Tenggara”, Pekanbaru : Lembaga Penelitian dan Pembinaan Kepada Masyarakat UIN Suska Riau.

Sewang, Anwar. (2017), “ Sejarah Peradaban Islam”, Sulawesi Selatan : Wineka Media.

https://acehprov.go.id/berita/kategori/jelajah/dayah-sejak-sultan-hingga-sekarang(diakses pada 4 maret)

Referensi

Dokumen terkait

Perpaduan Budaya Arsitektur Melayu, China, India, Timur – Tengah dan Spanyol pada Masjid Al – Osmani Medan labuhan ……….....

Sejarah kultural, baik dari segi agama bahasa dan budaya, minoritas muslim Muangthai yang tinggal di Thailand selatan, merupakan bagian dari bangsa Melayu, apalagi tempat

c) Di sumber lain dikatakan bahwa silsilah kerajaan Brunei didapatkan pada Batu Tarsilah yang menuliskan silsilah raja-raja Brunei yang dimulai dari Awang Alak Batatar, raja

dialek Andalusia dari Spanyol Castilian karena peranan yang dimainkan oleh Sevilla sebagai pintu gerbang ke wilayah-wilayah Spanyol di Amerika pada abad ke- 16 dan 17..

Pada abad enam belas, sebagian besar wilayah Afrika Utara (kecuali Maroko), sebagaimana beberapa pemerintahan bangsa Arab di Timur Tengah, jatuh ke tangan

Penyebaran Islam di wilayah Asia Tenggara ditandai dengan berdirinya kesultanan Islam di kawasan tersebut. Sejarah perkembangan kesultanan Islam di

Sebelum menjadi negara yang memperoleh status merdeka dari penjajahan Inggris dan Jepang. Myanmar merupakan sebuah wilayah yang memiliki sejarah panjang. Myanmar

Ide-ide cemerlang yang didasarkan pada prinsip-prinsip dan cita-cita agama ini kemudian menjadi dasar bagi Kesultanan Brunei Darussalam untuk melantik Syarif Ali sebagai Sultan Brunei,