• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makna Religi Gondang Batak Toba dan Implikasinya pada Keagamaan dan Adat

N/A
N/A
Lince Silalahi

Academic year: 2025

Membagikan "Makna Religi Gondang Batak Toba dan Implikasinya pada Keagamaan dan Adat"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Gondang Batak Toba: Makna Religi dan Implikasinya pada Keagamaan dan Adat

Gondang Batak Toba: Religious Meaning and Its Implication on Religion and Customs

Edison R. L. Tinambunan

ABSTRACT

Gondang Batak Toba is one of the popular traditions of the Bataks that bestows high artistic and cul- tural values for music because it has religious meaning iimportant for religious and customary life.

This paper aims to find out the religious meaning of gondang implemented in religious and traditional life. This research used a qualitative approach with phenomenological methods. Field data was ob- tained through interviews with key informants of Gondang Batak Toba from an important traditional city on Samosir Island. The results have shown that the GondangBatak Toba is a religious ritual that can be implemented on religion to support worship and on custom in social life to establish and strengthen civilization. This social meaning is obtained from the religious value of gondang that is ex- pressed in wisdom. These findings contribute to the advancement of social and religious life on Samosir Island.

Keywords: Custom; Religion; Batak Toba; Gondang Batak Toba

ABSTRAK

Gondang Batak Toba adalah salah satu tradisi yang populer dari Batak yang menganugerahkan nilai seni budaya musik yang tinggi karena memiliki makna religi yang penting untuk kehidupan agama dan adat. Tulisan ini bertujuan untuk menemukan makna religi gondang yang diimplementasikan di dalam keagamaan dan kehidupan adat. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode fenomenologi. Data lapangan diperoleh melalui wawancara dari informan kunci gondang Batak Toba dari kota adat penting di Pulau Samosir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gondang Batak Toba adalah suatu ritual yang bersifat religi yang bisa diimplementasikan pada keagamaan untuk mendukung peribadatan dan pada adat di dalam kehidupan sosial untuk menjalin dan mempererat peradaban. Makna sosial ini diperoleh dari nilai religi gondang yang diungkapkan dalam kearifan. Temuan ini berkontribusi pemajuan kehidupan sosial dan beragama di Pulau Samosir.

Kata Kunci : Adat; Agama; Batak Toba; Gondang Batak Toba

PENDAHULUAN

Salah satu unsur tradisi Batak Toba yang tetap digunakan saat ini adalah gondang. Setiap perayaan suku ini, terlebih ritual tradisi seperti pernikahan, umumnya selalu menggunakan gondang. Bahkan di dalam ritual keagamaan pun gondang sudah mulai disertakan, walau tidak semua keagamaan menggunakannya dengan alasan teologis. Penggunaan gondang di dalam keagamaan dan tradisi, menunjukkan bahwa gondang memiliki peran penting di dalam Batak Toba. Suku Batak terdiri dari enam rumpun yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Dairi atau Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola dan Batak Mandailing. Setiap Batak tersebut memiliki gondang yang masih berhubungan satu dengan lainnya di samping karakter masing-masing.

Asal usul gondang Batak Toba masih belum diketahui secara persis, akan tetapi fenomena gondang tidak bisa dipisahkan dari hidup suku Batak Toba, baik perayaan adat maupun keagamaan. Purba dalam tulisannya membuat suatu biografi gondang yang dispesifikasikan dengan sabangunan karena memiliki perangkat musik gondang yang lengkap, yang dimulai dari akhir abad XIX (Purba, 2004), (Purba, 2005). Tulisan ini memberikan perjalanan gondang sabangunan sampai dengan saat ini yang mulai meredup karena integrasi alat musik modern. Bahkan dalam tulisan Purba yang lain menunjukan bahwa saat ini gondang sabangunan hanya bertahan beberapa grup saja di Samosir (Purba, Mauly, Takari, Muhammad, Fadlin, 2018).

Tulisan Purba yang sarat dengan informasi gondang, menyingkapkan sejarah

STFT Widya Sasana, Malang

[email protected] Artikel Disubmit Artikel Direvisi Artikel Disetujui

: 02 September 2022 : 31 Oktober 2022 : 12 Desember 2022

(2)

gondang secara luas. Hal yang perlu disadari dan didukung oleh pendapat Purba adalah gondang berkaitan erat dengan tradisi Batak dan suatu ekspresi eksistensinya.

Gondang lahir bukan suatu kreasi, tetapi suatu manifestasi yang hendak dilakonkan di dalam hidup yang dilaksanakan secara turun-temurun. Oleh sebab itu gondang juga lahir bersamaan dengan suku Batak yang dimeteraikan oleh tradisi yang kemudian dijaga keberlangsungannya oleh adat.

Gondang bukan berupa gendang atau tambur meskipun salah satu perangkat alat musiknya adalah gendang. Harahap yang membahas gondang kepercayaan Parmalim di Hutatinggi, Balige, Sumatra Utara, memberikan arti gondang yang lebih luas. Ia memberikan tujuh arti gondang, walau sebenarnya dalam tulisan tertulis hanya enam dengan penggunaan nomor yang ganda, yaitu perangkat alat musik, ensambel, repertoar musik, komposisi suatu lagu, ritmis lagu, suatu upacara dan yang terakhir adalah bagian dari kelompok tertentu di dalam suatu perayaan yang mengisinya dengan tortor (Harahap, 2012). Penulis lainnya biasanya memberikan pengertian gondang kurang dari unsur yang dikatakan Harahap. Purba, misalnya, melihat bahwa gondang dalam pengertian suatu ritmis atau tempo lagu tidak dianggap sebagai bagian arti gondang (Purba, Rekson Benyamin, Sukmayadi, 2021).

Sementara itu Simarmata mengidentikkan gondang dengan musik (Simarmata, Lam Jogi, Pradoko, 2020). Kemudian Silitonga melihat gondang sebagai peralatan musik yang bisa digunakan dalam perayaan gerejani (Silitonga, 2017).

Pemahaman tentang gondang sebagai instrumen dapat diperoleh dari gondang sabangunan yang memiliki perangkat: satu set taganing yang terdiri dari lima gendang dengan nama (mulai dari yang kecil yang ditempatkan sisi paling kiri penabuh) tingting, paidua (urutan kedua), painonga (di tengah), paidua odap (urutan kedua odap) dan odap (gendang paling besar yang biasa disebut juga dengan bas yang ditempatkan di sisi paling kanan). Kadang gendang bas lebih besar ditambahkan lagi yang disebut dengan (gordang). Perlengkapan lainnya adalah dua sarune besar dan kecil, lalu diikuti dengan empat gong dengan nama oloan, ihutan, panggora dan doal dan alat musik terakhir adalah esek yang terbuat dari belek atau lebih simpel dari tutup minuman yang terbuat dari kaleng yang berfungsi untuk membantu pengaturan ritme (Limbong, 2013). Saat ini, induk gondang adalah gondang sabangunan yang masih tetap mempertahankan identitas. Perlengkapan gondang yang sama juga digunakan kepercayaan Parmalim. Pemain perlengkapan gondang adalah sebagai berikut, seorang penabuh taganing, seorang untuk bas gendang gordang (kalau taganing tanpa gordang, penabuh hanya seorang), seorang untuk sarune baik yang kecil maupun besar yang disesuaikan jenis perayaan, tiga orang untuk gong (satu orang membunyikan gong oloan dan ihutan secara bergantian, satu orang untuk panggora dan satu orang lagi memainkan doal) dan seorang untuk hesek (Simorangkir, 2018).

Grup gondang yang inovatif berkembang pesat saat ini. Group ini tidak saja berkembang di tanah Batak (Simarmata, Lam Jogi, Pradoko, 2020), tetapi juga di tanah rantau (Lubis, May Sari, Wadiyo, 2016). Grup ini membentuk gondang hybrid yaitu mengombinasikan alat musik modern dengan alat musik gondang. Yang umum digunakan adalah taganing, kadang juga sarune, sementara itu alat musik modern adalah keyboard, seruling bambu, kecapi bahkan ada juga grup menggunakan saxophone (Pasaribu, Vita, Christomy, 2021). Grup gondang Batak Toba ini biasanya mendapat pasar di dalam berbagai acara, baik itu adat maupun keagamaan dibandingkan dengan gondang sabangunan. Alasannya lebih praktis, ekonomis, dan inovatif, yakni bisa mengaplikasikan lagu-lagu yang sedang populer dibandingkan dengan gondang sabangunan yang jenis lagunya sudah terstruktur dan terbatas.

Tulisan ini mengeksplorasi nilai ritual religi gondang yang belum pernah diteliti sebelumnya dan inilah kekhasan dari artikel ini. Tujuan tulisan ini menjadikan gondang Batak Toba untuk mendapatkan nilai-nilai hidup sehingga gondang patut dihargai dalam hubungannya dengan keagamaan dan tradisi. Untuk mencapai tujuan itu, permasalahan yang muncul adalah, apa sesungguhnya gondang Batak Toba itu?

Apa makna religi gondang Batak Toba? Apa hubungan gondang dengan keagamaan?

Mengapa Batak Toba menjadikan gondang sebagai unsur esensial di dalam adat?

(3)

KERANGKA TEORI

Pengertian gondang memiliki kerumitan yang cukup tinggi, karena kerancuan distingsi gondang sebagai alat musik dan jenis gondang. Gondang Parmalim (aliran kepercayaan Batak Toba) sebenarnya menjadi arahan referensi penting karena menggunakan keutuhan instrumen dan memaknai gondang sebagai bagian keagamaan.

Bahkan Harahap mengidentikkan identitas gondang Parmalim dengan simbol keagamaan yang diungkapkan dengan sebutan doa (Harahap, 2012). Sementara itu, tulisan Purba mengenai gondang sabangunan mengidentifikasikan gondang Batak Toba yang mendekati keasliannya berdasarkan historisitas (Purba, 2005). Oleh sebab itu, gondang sabangunan juga menjadi rujukan di luar Parmalim, karena tetap mempertahankan orisinalitasnya. Di samping itu, jenis gondang yang biasanya dikembangkan oleh sekolah atau orang muda dikenal dengan nama gondang naposo (kaum muda) yang pada dasarnya mengikuti tahapan dan jenis gondang (Nugrahaningsih, 2019). Sekiranya ada gondang lain pada dasarnya selalu memegang tahapan yang umum digunakan (Pandiangan, Robert Paulus, Ginting, 2021). Oleh sebab itu gondang pada dasarnya adalah suatu ritual.

Gondang sebagai ritual, harus mengikuti tata perayaan yang telah dimeteraikan.

Kekhasan ritual gondang adalah cara fungsionaris (partisipan yang datang ke gondang) yang sudah mengetahui posisinya. Gondang adalah bukan ritual musiman, seperti musim penyemaian, atau menanam padi atau panen seperti dijelaskan oleh Saharudin di Sasak- Lombok (Saharudin, 2021), sehingga menjadikannya bagian dari hidup yang artinya bukan bersifat mitos antara pencipta dengan alam yang dijelaskan oleh Juhani (Juhani &

Firmanto, 2021). Gondang adalah bukan juga suatu mantra yang bertujuan untuk menghubungkan yang ilahi dan dunia yang salah satu bentuk mantra itu adalah ucapan syukur, (Syafrita & Murdiono, 2020). Gondang juga memiliki kata-kata yang dipandu oleh penatua adat yang berfungsi sebagai pengantar setiap tahapan ritual yang bukan suatu mantra. Gondang sebagai ritual sebenarnya mengungkapkan kekuatan supernatural yang biasa dikenal dengan mistis. Kekuatan selalu dihubungkan dengan manusia, alam dan yang ilahi (Wardhani, Arditama, Noe, & Narimo, 2021) dan inilah yang juga ditunjukkan oleh gondang. Salah satu dimensi kemanusiaan mistis adalah kekerabatan terhadap pemilik supernatural dan terhadap sesama manusia (Dandirwalu, 2021). Dari studi terdahulu ini, kebaruan dalam tulisan ini adalah pembahasan gondang Batak Toba sebagai ritual yang akan menggali makna religi yang kemudian diimplementasikan di dalam keagamaan dan kehidupan adat.

Gondang dalam konteks ini berada dalam ranah kearifan lokal yang merupakan suatu ritual yang memiliki makna religi yang implementasinya terarah pada dimensi keagamaan dan adat. Harahap membahas gondang kepercayaan Parmalim yang memiliki detail yang lebih rumit, karena berhubungan dengan kepercayaan tersebut (Harahap, 2012). Walaupun demikian, alur tahapan ritual tetap digunakan dan setiap tahapan (ada enam tahap) memiliki makna religi tersendiri yang selalu diimplementasikan setiap perayaan gondang. Makna religi ritual gondang ini kemudian diamini oleh informan Ompu Marlundu Sijabat pimpinan kepercayaan Parmalim di Tomok-Tuktuk, Samosir sebagai salah satu informan kunci.

Implikasi religi gondang mengarah pada dua dimensi, keagamaan dan adat.

Gondang sebagai instrumen kebudayaan menjadi salah satu sarana di dalam peribadatan dengan ketentuan yang jelas. Silitonga dalam tulisannya menunjukkan arahan itu, dengan demikian penggunaan instrumen ini bukan suatu berhala, tetapi membatu dalam peribadatan (Silitonga, 2017). Di samping itu, inkulturasi yang menggunakan simbol atau tanda Batak Toba menjadi terbuka lebih luas seperti yang dituliskan oleh Sinaga (Sinaga, 2009). Sementara itu, dimensi adat tampak di dalam tutur Batak Toba yang dikenal dengan dalihan natolu. Nilai-nilai religi di dalam gondang, diimplementasikan pada keutamaan di dalam kearifan (kebijaksanaan) melalui adat. Oleh sebab itu, setiap orang yang ambil bagian di dalam gondang, pertama adalah ambil bagian di dalam perayaan adat; kedua adalah pengamalan kearifan untuk hidup melalui perayaan gondang yang diperoleh dari makna religi yang diemban untuk mendapatkan tuah. Mungkin pemikiran ini dianggap berlebihan atau progresif atau di luar pemikiran pada umumnya, akan tetapi penelitian ini berusaha untuk membuktikannya.

(4)

METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi.

Metodologi yang dikembangkan oleh Russel ini berkarakter filsafat dan cocok untuk penelitian gondang Batak Toba. Penelitian ini berusaha untuk mengamati fenomena yang sedang dialami manusia, menemukan pendasaran fenomena tersebut dan implikasinya di dalam kehidupan (Husserl, 1817). Salah satu hal yang perlu diketahui dari metodologi ini adalah memfilter nilai-nilai kearifan dari fenomena yang sedang dihadapi untuk kehidupan. Dalam konteks ini, fenomena gondang Batak Toba dengan metodologi ini, berusaha untuk menemukan nilai religi dan implikasinya untuk hidup. Inilah alasan metodologi fenomenologi ini menjadi aplikatif di dalam penelitian tentang gondang Batak Toba di dalam implikasinya dengan keagamaan dan adat.

Pengumpulan data dilaksanakan dengan cara wawancara dari tiga tokoh presentatif yang kompeten di bidangnya. Pertama, wawancara dengan pimpinan kepercayaan Parmalim di komunitas Tomok, Samosir yang bernama Ompu Marlundu Sijabat yang dilaksanakan pada 28 April 2022. Alasan pemilihan tokoh ini adalah bahwa kepercayaan Parmalim menggunakan gondang di setiap perayaan keagamaan. Kedua, wawancara dengan tokoh adat, yang bernama Sabam Gultom di Onanrunggu, Samosir yang dilaksanakan pada 31 Maret 2022. Ia adalah tokoh adat di kota tersebut. Wawancara ketiga adalah dengan tokoh adat yang bernama Anggiat Harianja dari Tomok-Tuktuk, Samosir yang dilaksanakan pada 28 Maret 2022. Ia adalah salah satu tokoh adat di kota turis tersebut. Alasan pemilihan Samosir sebagai tempat penelitian adalah karena daerah ini asal Batak Toba yang tetap menjaga keautentikan adat dan menggunakan gondang di setiap perayaan adat. Karena penelitian ini bersifat kualitatif deskriptif, oleh sebab itu hasil wawancara ini adalah presentatif fakta keadaan yang sekarang sedang berlangsung dengan konfrontasi teori dari berbagai penelitian sehubungan dengan tema. Dengan demikian, fakta lapangan dan hasil penelitian kualitatif akan saling mendukung untuk tujuan penelitian mengenai gondang Batak Toba ini.

HASIL DAN PEMBAHASAN Gondang Sebagai Ritual

Gondang sebagai suatu ritual religi memiliki ritus untuk mencapai puncak yang tidak terpisahkan dengan tortor (Purba, Mauly, Takari, Muhammad, Fadlin, 2018). Ritual gondang terdiri dari enam bagian, yang sesungguhnya bagian yang satu berkaitan dengan bagian yang lain yang tidak bisa dipisahkan. Tahap pertama dilanjutkan bagian kedua dan selanjutnya sampai dengan yang terakhir yang membuahkan nilai religi. Sebagai suatu ritual pembagian ini sangat dibutuhkan untuk menentukan sikap mereka yang mengambil bagian di dalam gondang yang dimulai dari tahap pertama sampai dengan tahap terakhir. Setiap tahap memiliki nilai spiritual tersendiri dan ditutup dengan tahap terakhir sebagai pemenuhan dari ritual tersebut, sementara itu tulisan Harahap menyebutnya dengan pengertian gondang (Harahap, 2012).

Bagian pertama dari ritual gondang adalah joujou (kadang juga disebut dengan alu-alu) yang bisa diterjemahkan dengan seruan. Ritual gondang dibuka dengan joujou yang berbentuk panggilan kepada Mulajadi Nabolon (Pencipta Segala Sesuatu). Dalam kepercayaan Batak yang tetap dipertahankan Parmalim, Mulajadi Nabolon adalah asal dan tujuan segala ciptaan yang ada di dunia. Sifatnya adalah transenden. Kemudian yang sifat transenden ini dianugerahkan kepada orang-orang tertentu yang unggul di dalam hidup religi sehingga memiliki kekuatan adikodrati atau supernatural, dengan demikian yang transenden itu menjadi imanen di dalam orang tertentu yang tampak di dalam hidup karismatik dan bijaksana. Dengan demikian kebijaksanaan itu adalah suatu tanda imanensi dari yang transenden (Sinaga, 1981). Di dalam kepercayaan Batak, orang-orang karismatik itu adalah Batara Guru, Soripada dan Mangala Bulan, lalu diikuti oleh Boru Deak Parujar, Naga Padoha Aji, Raja Uti (Angerler, 2016). Dalam Parmalim daftar orang yang memiliki adikodrati lebih banyak, seperti Sisingamangaraja XII (Harahap, 2012). Bagian pertama menjadi indikator yang menunjukkan bahwa gondang adalah suatu ritual.

Pujian dan pemuliaan ditujukan pada penguasa jagat semesta dan orang-orang yang

(5)

memiliki hidup bijaksana yang menjadi contoh di dalam hidup yang memiliki sahala (karisma yang ilahi) karena dianggap bisa membantu manusia yang masih hidup di dunia ini untuk mendekatkan diri kepada Mulajadi Nabolon. Mengikuti pengertian gondang Harahap, bagian pertama sampai dengan keenam diartikan sebagai ensambel. Isi setiap ensambel adalah repertoar seperti seruan kepada Mulajadi Nabolon, Batara Guru dan tokoh karismatik lainnya. Urutan ritual joujou bersifat gradasi karismatik, oleh sebab itu pertama-tama ditujukan kepada Mulajadi Nabolon dan kemudian diikuti kepada tokoh penting di dalam hidup yang karismatik lainnya.

Mereka yang transenden itu dimohonkan kehadirannya di dalam ritual gondang yang dilaksanakan.

Tahap ritual kedua, gondang mulamula (pembuka). Setelah imanensi dari yang transenden di dalam perayaan gondang, kehadirannya perlu dipresentasikan, dengan maksud agar perayaan yang dilaksanakan bersifat religi yang menganugerahkan nilai- nilai spiritual dan kebijaksanaan. Maksud lainnya agar perayaan gondang berjalan baik dan lancar. Maksud tersebut mencakup dimensi perayaan ataupun makna perayaan untuk kehidupan mereka yang melaksanakan ritual dan berpartisipasi. Jenis gondang pada bagian ini sering disebut dengan tujuh gondang. Biasanya hanya penabuh gondang dan pemain sarune yang mengetahui masing-masing bentuk ketujuh gondang tersebut.

Oleh sebab itu, pelaksana perayaan gondang (protokol atau raja adat) menyerahkan kepada mereka untuk memainkan, agar tidak menyalahi ritual. Sifat tahap mulamula adalah sukacita karena kehadiran Mulajadi Nabolon dan tokoh karismatik lainnya.

Urutan ketiga, gondang sombasomba yang artinya penghormatan atau penyembahan. Setelah mempresentasikan imanensi yang transenden, semua yang partisipan di dalam gondang diajak untuk menghormati atau menyembah Mulajadi Nabolon dan orang-orang karismatik yang patut dihormati karena sumber dan pelaksana kebenaran, kekuatan, kekudusan dan kebijaksanaan. Cara penyembahan dengan tangan terkatup di depan dada dan tidak melewati telinga apalagi kepala karena dianggap suatu sikap tidak hormat terhadap yang disembah, atau sikap kesombongan. Cara penyembahan dengan mengikuti ritme gondang yang dikumandangkan dengan menggerakkan tangan ditundukkan dan ditegakkan (biasa disebut dengan tortor) (Simangunsong, 2013). Posisi badan bisa menunduk sebagai sikap hormat dan bisa juga setengah jongkok dengan arti yang sama, bisa berdiri bergerak ke kiri atau ke kanan, maju atau mundur satu atau dua langkah. Yang paling utama dalam gondang sombasomba ini adalah tangan tidak dibuka, selalu terkatup untuk menunjukkan kesakralan dalam penghormatan. Jumlah jenis gondang yang ditampilkan banyak tergantung pada pemimpin ritual atau raja adat.

Tahap keempat, gondang liat (melingkar). Kehadiran Mulajadi Nabolon bersama dengan orang karismatik secara spiritual menunjukkan bentuk perayaan yang sedang dilaksanakan, perayaan adat-keagamaan, atau perayaan lain. Para peserta gondang bisa dibagi di dalam kelompok yang biasanya diatur oleh protokol atau tokoh adat. Dalam pesta perkawinan misalnya, pihak keluarga pengantin perempuan yang disebut dengan hulahula beserta rombongan berkeliling sebanyak tiga kali sebagai lambang kesempurnaan. Pemandunya dari keluarga pengantin laki-laki, biasanya saudari kandung atau perempuan yang semarga dengan pengantin laki-laki, dengan sikap mempersilahkan untuk mengikuti dengan posisi menghadap hulahula sambil manortor secara mundur. Masih dalam adat seputar pernikahan, teman-teman pengantin perempuan ataupun laki-laki melaksanakan gondang sebagai rasa suka cita dan perpisahan, atau pesta mengakhiri masa lajang. Pada jenis gondang ini, bisa jadi ada pemuda tertarik pada pemudi yang lain atau sebaliknya, dan kesempatan untuk mendekati secara terang-terangan yang disebut dengan marhusip (berbisik). Teman- teman mereka yang melihat gelagat seperti ini berusaha mendukungnya dengan menempatkan mereka berdua di tengah. Tahap ritual ini adalah bebas (dibandingkan dengan sebelumnya joujou, mulamula dan sombasomba), karena bersifat sukacita.

Sementara itu, jenis gondang klasik yang dikumandangkan adalah Arang Arang Dari, atau Sibunga Jambu, atau yang sedang populer saat ini kalau gondang dalam bentuk hybrid. Sementara itu jenis tortor, setelah berkeliling tiga kali, bisa lebih bebas dengan sambil jalan ke sana kemari, atau cari pasangan manortor, bisa setengah jongkok, bisa jual mahal waktu didekati orang tertentu untuk menjadikan suasana lebih meriah dan

(6)

sukacita. Bagian ritual ini akan lebih meriah dan berkesan dengan bantuan protokol atau raja adat yang kreatif dan juga tergantung dari acara yang sedang dilangsungkan.

Bagian ini ditunggu-tunggu banyak orang (dalam perayaan pesta kawin misalnya) karena kesempatan untuk bersukacita dan kegembiraan bersama dengan yang berpesta dalam semangat makna religi.

Tahap ritual kelima, gondang olopolop (sukacita, tetapi terjemahan ini tidak terlalu akurat, karena tergantung dari konteks). Bagian ini banyak tergantung dari perayaan yang sedang dilaksanakan, seperti pesta pernikahan, kematian atau perayaan lain. Dalam konteks perayaan pernikahan dan kematian memiliki kemiripan, dalam arti yang banyak berperan adalah pihak keluarga istri dan keluarga suami. Keluarga istri yang disebut dengan hulahula menjadi orang yang dipertuan oleh keluarga suami yang akan berurusan dengan pelaksanaan adat. Dalam perayaan lain seperti keagamaan misalnya, tidak berurusan dengan hulahula, tetapi pada tingkat undangan yang hadir, seperti pejabat agama atau pemerintah setempat dan tamu lainnya yang dihormati. Dalam ritual ini, perayaan adat menjadi pilihan, karena mengungkapkan bentuk ritual yang sedang dibahas di dalam tulisan ini. Hulahula adalah orang yang “dipertuan” baik itu dalam pesta pernikahan maupun di dalam adat kematian. Alasannya merekalah meng- anugerahkan putri untuk ditambahkan ke dalam keluarga suami. Dalam konteks ini, hulahula menganugerahkan pasupasu (berkat atau anugerah) kepada keluarga suami. Di dalam kepercayaan Batak Toba, Mulajadi Nabolon adalah pemberi anugerah utama, tetapi juga bisa melalui orang karismatik seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya; dan di dalam kehidupan tradisi, hulahula adalah juga sebagai yang memberi anugerah. Di dalam tradisi Batak, di samping hulahula yang disebut dengan wifegiver (penganugerah istri) sehingga disebut dengan pemberi pasupasu (anugerah atau berkat), juga termasuk leluhur dan alam (Schefold, 2001). Di dalam konteks ini, banyak menganggap bahwa hulahula adalah Mulajadi Nabolon yang tampak atau imanen (Lumbantobing, 1956).

Oleh sebab itu setiap Batak Toba dengan sendirinya memiliki sikap hormat kepada hulahula atau sikap mempertuan. Sebagai ungkapan syukur atas berkat itu, dari pihak keluarga suami memberikan suatu tanda yang biasanya di dalam bentuk bekal di dalam perjalanan karena mereka datang dari tempat tinggal mereka yang bisa jadi jauh dan juga sebagai bekal hidup yang saat ini untuk lebih efisien, diberikan dalam bentuk uang yang selalu ditortorkan. Sikap lain di dalam bagian ini adalah pertemuan sesama keluarga suami atau semarga yang ditandai dengan mempererat persaudaraan atau saling bermaafan jika sebelumnya ada perselisihan atau kesalahpahaman. Bisa juga kelompok lain ambil bagian di dalam ritual ini yang tergantung dari situasi pesta dan kebijakan protokol atau raja adat. Jenis ritual pada bagian ini tergantung dari permintaan peserta pesta dan juga protokol. Saat ini banyak mengisi ritual ini dengan lagu-lagu populer, dalam hal ini jenis gondang hybrid tidak akan memiliki kesulitan untuk memainkannya.

Tahap yang terakhir, gondang stiotio yang artinya pencerahan. Dalam konteks ritual ini maknanya adalah pengharapan yang pada bagian akhir selalu ditutup dengan kata horas sebanyak tiga kali sebagai lambang suatu pemenuhan maksud. Ritual gondang yang telah dimulai sejak joujou ditutup dengan pengharapan. Makna religi yang telah diterima melalui perayaan ini diharapkan selalu bertahan di dalam hidup meskipun ritual gondang telah berakhir. Dengan kata lain, meskipun perayaan gondang selesai tetapi tetap berlanjut di dalam hidup orang yang dipestakan dan yang memestakan atau yang mengambil bagian di dalam gondang tersebut. Makna ini dimanifestasikan di dalam kehidupan sehari-hari dengan selalu menempatkan diri pada tutur dan peradaban. Ritual gondang ini adalah sarana untuk mendapatkan nilai-nilai religi dalam bentuk spiritual dan kebajikan untuk diteruskan di dalam perjalanan hidup yang kemudian akan diperbarui kembali setiap kali mengikuti ritual gondang di dalam berbagai perayaan.

Makna Religi

Memperhatikan struktur perayaan gondang yang terdiri dari enam tahap, juga pengamatan di berbagai acara disandingkan dengan berbagai tulisan, baik perayaan adat maupun keagamaan, hal paling menonjol mengenai gondang adalah perayaan yang dikemas dengan ritual religi. Pada awal perayaan mengajak peserta gondang untuk mengatasnamakan perayaan ini pada penguasa semesta. Semua acara gondang yang diiringi dengan peralatannya, lalu ritual dirangkai dengan tahapan, jenis

(7)

gondang, adalah ekspresi makna religi yang terkandung di dalam gondang. Akhir ritual gondang ini dikembalikan kepada sang penguasa jagat. Harapannya, orang yang mengambil bagian di dalam gondang memperoleh kehidupan spiritual penuh kearifan, permohonan, dan pengharapan yang baik.

Representasi gondang sebagai ritual berarti menampilkan makna religi yang terkandung di dalam perayaannya. Mulai dari joujou sampai dengan sitiotio dengan jelas mengandung nilai spiritual yang kaya. Ritual gondang seluruhnya atas perlindungan Mulajadi Nabolon, pencipta segala sesuatu yang sering diidentikkan dengan kepercayaan. Perspektif kesadaran yang lebih terbuka, atau dari dimensi humanisme, manusia termasuk juga ciptaan lain, berasal dari pencipta. Kesadaran inilah yang ditekankan oleh gondang dan orang yang mengambil bagian di dalam ritual. Peserta gondang disadarkan bahwa dirinya berasal dari penciptanya dan kembali kepadanya. Makna religi yang lebih konkret adalah untuk memperoleh kearifan seperti yang telah dicontohkan tokoh-tokoh yang arif di dalam Batak Toba (Batara Guru, raja Uti dan lainnya). Mereka memiliki cara kehidupan unggul di dalam kearifan dan memberikan makna hidup yang baik. Orang seperti mereka sangat dibutuhkan sebagai bentuk hidup yang nyata. Hal ini bukan suatu pemujaan berhala atau roh, tetapi kearifan yang telah dimiliki tokoh-tokoh tersebut dihadirkan kembali untuk mengembalikan pada cara hidup yang benar. Kriteria tokoh adalah kebijakan hidup yang pasti mengarah pada suatu cara hidup yang menjadi soko guru.

Unsur lain yang penting dari dimensi makna ini, dalam setiap perayaan tradisi Batak, termasuk gondang selalu mengandung makna religi yang mendasari tradisi.

Dari makna ini orang menghidupi nilainya yang disampaikan di dalam berbagai kearifan bahkan di dalam nilai spiritual (Simon, 1993). Makna religi ini mempertahankan tradisi untuk menjamin keberlangsungannya sehingga orang tidak sembarangan bisa mengubahnya, karena yang dihadapi adalah nilai religi di dalam tradisi. Orang yang memiliki tradisi akan menjaganya, bahkan menjadi suatu kekurangan kalau melalaikannya. Atau dengan kata lain, tradisi itu seakan menjadi suatu kewajiban di dalam hidup. Contoh konkret, bagi orang Batak kalau menikah belum diadatkan yang biasanya dengan gondang, menjadi suatu ketidaksempurnaan di dalam keluarga dan bahkan bisa dianggap suatu kekurangan karena hidup di luar adat dan tradisi. Alasannya, di dalam adat tersebut nilai religilah yang hendak diharapkan untuk keluarga dan keturunannya. Bisa dikatakan, nilai religi gondang menjadikan dirinya penting bukan hanya karena nilai tradisi yang dari segi seni tinggi atau dari tradisi bermutu, tetapi yang paling mendasari adalah nilai spiritual yang sangat bermanfaat untuk kehidupan.

Implikasi Gondang dengan Keagamaan

Saat ini di dalam Kristen, kehadiran gondang di dalam liturgi, hanya sebatas instrumen musik, bukan sebagai ritual gondang. Fungsinya, sebagaimana dalam musik lainnya, adalah untuk mengiringi nyanyian atau puji-pujian di dalam ritual gerejani (Tambunan, 2013). Itupun tidak semua Kristen menerimanya. Alasan Kristen yang menolak pengintegrasian gondang di dalam ritual adalah pemikiran teologis, karena dianggap sebagai penyembahan berhala. Oleh sebab itu gondang sebagai alat musik pun dianggap sebagai penyimpangan teologis. Sikap mengintegrasikan gondang di dalam liturgi baik itu dari dimensi teologis mana pun sebagai instrumen musik justru memberikan suatu warna ritual yang sesuai dengan tradisi yang bisa membantu jemaat pada perayaan yang lebih spiritual. Alasannya, pertemuan makna religi di dalam gondang bisa mendukung di dalam liturgi di dalam nyanyian (puji- pujian), doa dan teologi (bandingkan Tambunan, 2013). Cara yang umum pengintegrasian gondang di dalam keagamaan adalah hanya dengan penggunaan instrumen musik, (Silitonga, 2017) yang banyak tergantung liturgi yang dirayakan.

Instrumen gondang ini biasanya dikombinasikan dengan jenis musik gerejani lainnya seperti organ, piano dan lainnya untuk mengiringi nyanyian atau pujian. Oleh sebab itu komposisi nyanyian disesuaikan dengan gondang yang sifatnya selalu ritmis.

Dalam hal ini pemikiran orang yang kompeten dibutuhkan untuk aspek yang harus ditinggalkan dan digunakan dari gondang untuk memaknai nilai religi sehingga bisa dianalogikan dengan nilai liturgi keagamaan, dengan tetap memperhatikan norma-

(8)

norma dan aspek integrasi yang jelas dari kedua belah pihak (gondang–liturgi keagamaan). Dengan cara ini pertemuan keduanya memberikan nilai lebih di dalam liturgi keagamaan untuk mengarahkan umat pada penghayatan iman yang lebih, karena sesuai dengan konteks budaya.

Kristiani telah menggunakan instrumen musik beberapa waktu sejak keberadaannya. Instrumen yang digunakan umumnya tidak diciptakan sendiri, tetapi menggunakan instrumen musik masyarakat seperti tambur, kecapi, harpa dan lainnya (Tinambunan, 2016). Pada abad pertengahan, harmonium dan orgel pipa dibuat untuk instrumen gerejani. Dalam perkembangan muncul orgel elektris untuk menggantikan orgel pipa yang pembuatannya rumit dan mahal. Bahkan piano dan alat musik lainnya, seperti gitar atau keyboard misalnya, juga sudah digunakan sebagai alat musik gerejani yang notabene, intensi pembuatannya adalah bukan untuk ritual, tetapi instrumen populer. Dalam konteks ini, gondang sebagai alat musik berada pada posisi ini, bahkan memiliki nilai lebih, karena memiliki makan religi.

Harus diakui, ada jenis gondang dianggap tidak cocok di dalam keagamaan, seperti gondang salem misalnya yang bertujuan untuk memanggil roh. Tetapi hal ini adalah jenis gondang, bukan gondang sebagai instrumen. Sebagai instrumen musik, gondang adalah sama dengan instrumen lainnya, tinggal kemampuan menemukan makna dan tujuan penggunaannya. Banyak instrumen musik digunakan baik itu untuk tujuan religi maupun profan.

Hidup keagamaan setiap agama tidak bisa dipisahkan dengan tradisi, justru agama itu hidup di tengah maraknya tradisi di dunia ini, termasuk di Indonesia. Oleh sebab itu salah satu sikap yang perlu dikembangkan adalah interaksi antara hidup keagamaan dengan tradisi. Melalui tradisi, satu agama saling memperkaya agama lainnya dan juga budaya satu dengan lainnya, dan antara agama dengan budayanya dan sebaliknya, tentu dengan kriteria yang jelas (Firmansyah, 2021). Dalam konteks ini agama tidak bertentangan dengan gondang dan sebaliknya, tetapi justru melahirkan suatu dimensi baru yang di kedua belah pihak, asalkan dengan kejelasan integrasinya. Sehubungan dengan itu, gondang adalah fenomena sosial yang telah memperkaya Batak Toba. Ritual gondang yang telah ditampilkan sebelumnya memberikan dimensi spiritual dan kearifan yang bisa menjadi titik temu dengan keagamaan. Kesatuan ritual gondang, mulai awal (joujou) sampai dengan akhir (sitiotio) menunjukkan nilai itu. Memang yang dituju di dalam gondang adalah Mulajadi Nabolon sebagai asal dan tujuan segala ciptaan. Sebagai awal dan akhir adalah analog dengan iman keagamaan, bukan disamakan. Konteks ini disebut dengan interaksi dalam arti bahwa ada dimensi integrasi gondang dengan keagamaan dan sekaligus juga ada aksi yang membedakan satu dengan lainnya. Asal dan tujuan hidup ciptaan dan termasuk manusia di dalam gondang dan keagamaan adalah analog yang menjadi supremasi. Keduanya berjalan beriringan yang saling berdi- mensi baru untuk lebih mengenal dirinya. Sementara aksi adalah baik itu gondang maupun keagamaan tetap mempertahankan identitasnya, tidak mencari siapa yang menang dan kalah dan tidak melebur satu dengan lainnya. Pengetahuan dimensi analogi dan kekhasan masing-masing akhirnya menjadi suatu cara untuk lebih mengenal gondang secara lebih baik maupun keagamaan. Dengan alasan inilah penatua adat dalam perayaan adat, untuk menyapa Mulajadi Nabolon sering ditambahkan dengan kata Debata (Tuhan).

Dimensi lain dari ritual gondang sehubungan dengan keagamaan adalah semua aspek yang ada di dalam gondang, yaitu instrumen musik, ritual, jenis gondang di setiap tahap merupakan suatu kesatuan yang berhubungan yang melahirkan makna religi yang dimanifestasikan di dalam nilai spiritual dalam bentuk kearifan. Dua sikap yang dapat dilahirkan dari hubungan ini adalah, pertama, inkulturasi yang dilihat dari posisi keagamaan. Agama melihat dimensi religi dan spiritual dari gondang yang bisa dianalogikan di dalam liturginya dengan landasan teologis yang tepat dengan tetap melihat dimensi interaksi yang telah diterangkan sebelumnya. Inkulturasi ini menjadi roh baru di dalam perayaan liturgi yang sesuai dengan kebudayaan agar bisa lebih masuk di dalam penghayatan (Sinaga, 2009). Sikap lain yang dilihat dari posisi gondang adalah kearifan lokal yang saat ini banyak dibicarakan di Indonesia, walaupun hal ini bukan bersikap ikut arus. Artinya, di satu sisi gondang adalah tradisi

(9)

yang memberikan nilai seni dan budaya, di sisi lain memberikan unsur kearifan dan spiritual. Dalam konteks ini bisa dimengerti bahwa setelah perayaan gondang kepuas- an spiritual dan kebijakan terpenuhi.

Implikasi Gondang dengan Adat

Pembahasan di bagian ini adalah pengembangan dari implikasi gondang dengan keagamaan dalam konteks hubungan saling melengkapi satu dengan lainnya.

Pembahasan ini merujuk pada dua tokoh adat Anggiat Harianja dari Tomok dan Sabam Gultom dari Onanrunggu, penggiat adat di kotanya masing-masing, dan berdasar setiap acara adat yang diikuti penulis, seperti pernikahan (Sagala, 2020) atau kematian saurmatua (Simorangkir, 2018). Misalnya dalam hal kematian, orang yang meninggal telah mencapai umur panjang atau anaknya semuanya berkeluarga, arti yang lebih penting adalah yang meninggal telah dianugerahi oleh pencipta rahmat umur panjang dan kebijakan hidup. Kematian di satu sisi adalah kesedihan karena berpisah secara fisik, tetapi di sisi lain menjadi suatu sukacita karena anugerah yang telah diterimanya. Setiap perayaan gondang pasti selalu dimulai dengan seruan (joujou) dan diakhiri dengan pengharapan (sitiotio). Artinya, ritual gondang tetap menjadi ritual di dalam urusan adat dan keberlangsungan perayaan adat diserahkan kepada penguasa dengan permohonan kehadirannya di dalam perayaan gondang tersebut.

Dalam gondang perayaan adat, tutur Batak Toba menjadi kunci. Di banyak tulisan, penulis lebih suka menggunakan tutur dibandingkan dengan falsafah Batak Toba. Bertutur dalam Batak Toba digambarkan dengan dalihan natolu (tiga tungku).

Ketiga dalihan (tungku) memersonifikasi hulahula (keluarga dari istri termasuk juga yang semarga dan serumpun yang biasanya dipertuan oleh keluarga suami, karena pemberi anugerah yaitu istri), dongantubu atau dongan sabutuha (keluarga suami termasuk juga yang semarga dan serumpun) dan boru (anak perempuan dari keluarga termasuk juga semarga dan serumpun, oleh sebab itu anak perempuan selalu memiliki tambahan kata boru sebelum marganya untuk menunjukkan identitas putri dari marga tertentu, sementara itu laki-laki langsung menyebutkan marganya) (Nugrahaningsih, 2019). Dasar dalihan natolu adalah imanensi Mulajadi Nabolon di dalam tiga pribadi yang unggul di dalam hidup Batara Guru, Soripada dan Mangala Bulan (Lumbantobing, 1956). Hidup spiritual mereka dihadirkan di dalam bertutur di dalam Batak Toba yang pengajarannya diperoleh di dalam gondang. Ketiganya (hulahula, dongantubu dan boru) adalah bukan suatu gradasi atau kasta, tetapi lebih pada peran atau fungsionaris masing-masing di dalam ritual gondang yang ketiganya tidak terpisahkan, dalam arti salah satu dari ketiganya tidak bisa berkurang.

Walaupun di dalam praktik kelihatannya hulahula mendapat posisi lebih tinggi dari dongantubu dan boru (lebih rendah dari keduanya) (Sihombing, 2016), tetapi ketiganya memiliki makna dan nilai masing-masing untuk ritual gondang.

Fungsionaris ini bukan permanen, di perayaan adat lain bisa jadi keluarga menjadi hulahula karena putrinya menikah dengan orang lain (atau menjadi wife giver). Atau pada perayaan adat lain, ia menikahkan anaknya dengan putri orang lain, sehingga ia bukan lagi menjadi hulahula tetapi paranak (yang memiliki anak yang mempersunting putri orang lain). Demikian juga dengan boru, dengan kehadiran suami dan membuahkan keturunan dan menikahkan mereka, secara otomatis mereka bisa menjadi hulahula atau paranak yang tergantung dari yang dinikahkan, anak perempuan atau laki-laki. Dalam konteks inilah tutur Batak Toba dimaknai dan selalu difungsikan di dalam gondang dalam perayaan adat.

Impak dalihan natolu dari makna ritual gondang adalah sikap sopan santun terhadap satu dengan lainnya di dalam berbicara dan bersikap terhadap orang yang sedang dihadapi apakah hulahula atau dongantubu atau boru. Dalam upacara adat, tiga tutur ini mengambil peran masing-masing di dalam proses adat tersebut, sehingga perayaan dinyatakan syah atau dimeteraikan oleh adat. Dimensi lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa dari konteks dalihan natolu, adat Batak Toba kelihatannya memiliki ruang lingkup yang sempit. Akan tetapi dalam upacara gondang di dalam perayaan adat apapun itu, selalu memberikan ritual yang ditujukan kepada teman-teman, marga atau rumpun marga lain di luar dalihan natolu,

(10)

termasuk juga mereka yang berasal dari luar Batak itu sendiri. Alasannya dua, pertama, mereka ini berpotensi menjadi bagian dari dalihan natolu bagi yang merayakan adat dengan berbagai cara di kemudian hari, seperti pernikahan dari anggota dalihan natolu kepada anggota keluarga mereka (Harianja, Rufer Firma, Sudrajat, 2021). Kedua, sehubungan dengan makna religi yang telah dibahas sebelumnya. Mulajadi Nabolon adalah pencipta segala sesuatu, termasuk manusia.

Dimensi genealogi ini menjadikan manusia sebagai keluarga, yaitu masuk di dalam keluarga lingkup yang lebih besar. Di dalam gondang, makna ini juga ditekankan, sehingga setiap orang yang hadir di dalam pesta adat memiliki tuturnya masing- masing yang didasarkan pada nilai religi gondang tersebut. Dengan kata lain, setiap orang yang hadir di dalam gondang sehubungan dengan upacara adat, juga memperoleh dimensi spiritual yang tidak hanya diaplikasikan di dalam perayaan gondang itu saja, tetapi terlebih di dalam lingkungan sosial. Tutur ini membuka ruang lingkup kekeluargaan yang lebih luas, bukan saja berdasarkan hubungan darah, marga, tetapi terhadap setiap orang yang tidak terikat pada golongan, ras, agama, suku, bahkan negara. Oleh sebab itu pada dasarnya setiap Batak memiliki tutur kepada setiap orang dan menaruh respek kepadanya sesuai dengan fungsionaris di dalam tutur tersebut yang tidak ubahnya dengan ritual gondang. Ikatan ini tetap diimplementasikan di dalam kehidupan sosial seakan menjadikannya sebagai ikatan yang didasarkan pada religi dan kebijakan yang menurut Golliher sebagai ikatan moral (Golliher, 1999).

PENUTUP

Gondang Batak Toba dikenal sebagai musik tradisional Batak yang memberikan nilai seni yang tinggi. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa gondang adalah suatu ritual yang memiliki tahapan mulai dari joujou (seruan) sampai dengan sitiotio (pengharapan). Sebagai ritual, gondang adalah satu kesatuan yang setiap tahap memiliki makna dan fungsi sampai pada tahapan terakhir. Setiap orang yang datang pada perayaan itu, memiliki peran masing-masing demi terwujudnya ritual tersebut.

Sebagai ritual, gondang memiliki makna religi sebagai dasar yang memberikan nilai yang diambil maknanya. Makna religi ini berfungsi sebagai penjamin keberlangsungan gondang sebagai suatu tradisi. Gondang memang selalu dihubungkan dengan kepercayaan Batak Toba yang tampak jelas di dalam setiap ritual, akan tetapi bukan berarti suatu bentuk berhala, tetapi sebagai ritual yang didasarkan pada religi, selalu memberikan pengajaran kearifan (kebijaksanaan) dan nilai spiritual yang dibutuhkan di dalam kehidupan sosial dan peradaban.

Hubungan gondang dengan keagamaan dapat diperoleh melalui analogi, baik gondang maupun keagamaan bermuara pada kearifan (kebijaksanaan) dan spiritual.

Di dalam dua dimensi ini, gondang bisa berintegrasi di dalam keagamaan dengan tetap memperhatikan identitas masing-masing, karena keduanya memiliki pendasaran dan tujuan berbeda. Dalam interaksi ini keagamaan bisa menggunakan gondang sesuai dengan kapasitasnya sebagai instrumen di dalam ritual dengan tetap memegang kriteria yang jelas untuk penghayatan iman, bukan mengaburkan ajaran.

Dalam pertemuan ini gondang bertindak sebagai pendukung di dalam keagamaan yang sesuai dengan konteks kebudayaan.

Sementara itu, hubungan gondang dengan adat adalah untuk menjadikan gondang sebagai sarana spiritual adat, sehingga adat bukan sekadar perayaan kewajiban pemenuhan adat tetapi suatu kebutuhan untuk memperolah nilai spiritual dan kearifan (kebijaksanaan) di dalam hidup bertutur terhadap semua orang yang sangat dibutuhkan di dalam kehidupan Batak Toba. Dimensi lain yang diperoleh dari gondang adalah sebagai sarana sosial yang mempererat satu dengan yang lainnya, mereka yang mengambil bagian di dalam perayaannya yang sesuai dengan fungsi yang diemban, bahkan terhadap bukan orang Batak sekalipun.

Penelitian ini memiliki keterbatasan, karena data informan yang diambil semua berasal dari Samosir. Penelitian yang lebih luas bisa diperoleh, kalau informan juga disertakan dari luar Samosir, untuk mengetahui dimensi disrupsi gondang dari

(11)

autentisitasnya. Gondang sebenarnya juga tidak bisa dipisahkan dengan tortor, yang mestinya harus disertakan dalam penelitian ini. Tetapi tortor tidak disertakan di dalam pembahasan ini, untuk menjaga fokus pembahasan dan keterbatasan panjang penelitian. Untuk melengkapi keutuhan makna religi Gondang Batak Toba perlu di- lakukan kajian mengenai tortor.

DAFTAR PUSTAKA

Angerler, J. (2016). Images of God in Toba Batak storytelling. Wacana, 17(2), 303.

https://doi.org/10.17510/wacana.v17i2.444

Dandirwalu, R. (2021). Tradisi Pemanggilan Totem di Negeri Hutumuri: Kajian An- tropologi Fungsionalisme dan Teologi Kontekstual. Religious, 5(3), 399–410.

https://doi.org/https://doi.org/10.15575/rjsalb.v5i3.13463

Firmansyah, F. (2021). Kelas Bersama dalam Mewujudkan Nilai-nilai Moderasi Pen- didikan Islam Melalui Budaya Sekolah Multikultral. Turatsuna: Jurnal Keis- laman Dan Pendidikan, 3 (2), 291–310. Retrieved from http://

riset.unisma.ac.id/index.php/TRSN/article/view/12834

Golliher, J. (1999). Ethical, Moral adn Religious Concerns. In D. A. Posey (Ed.), Cul- tural and Spiritual Values of Biodiversity (Martyn Bra). Guildford, UK:

Phønix Trykkeriet.

Harahap, I. (2012). Gondang di Komunitas Parmalim Batak Toba: Teks, Konteks, dan Aspek Performatif. Antropologi Indonesia, 33(1), 63–74. https://doi.org/

https://doi/org/10.7454/ai.v33i1.2127

Harianja, Rufer Firma, Sudrajat, A. (2021). The Local Wisdom of Batak Toba through the Philosophy of Dalihan Na Tolu in a Kinship Environment. BirLE-Journal, 4(2), 759–765. https://doi.org/https://doi.org/10.33258/birle.v4i2.1838 Husserl, E. (1817). The idea of phenomenology (G. N. William P. Alston, Ed.). Michi-

gan: Martinus Nijhoff - The Hague. Retrieved from https://

babel.hathitrust.org/cgi/pt?

id=mdp.49015002052539&view=1up&seq=13&skin=2021

Juhani, S., & Firmanto, A. D. (2021). Dimensi Eko-Eskatologis dalam Mitos Pencip- taan pada Masyarakat Manggarai Nusa Tenggara Timur. Jurnal SMART (Studi Masyarakat, Religi, Dan Tradisi), 7(2), 254–264. https://doi.org/10.18784/

smart.v7i2.1380

Limbong, R. (2013). Analisis Taganing Dalam Tradisi Musik Gondang Sabangunan Batak Toba (Institut Seni Indonesia). Institut Seni Indonesia. Retrieved from http://digilib.isi.ac.id/9703/

Lubis, May Sari, Wadiyo, W. (2016). Musik Gondang Batak Horas Rapolo dalam Pros- es Penggunaanya untuk Berkesenian pada Upacara Adat Pernikahan Batak Toba di kota Semarang. Catharsis, 5(1), 26–33. Retrieved from https://

journal.unnes.ac.id/sju/index.php/catharsis/article/view/13113

Lumbantobing, P. (1956). The Structure of the Toba-Batak Belief in the High God.

Amsterdam: Jacob van Campen.

Nugrahaningsih, R. H. D. (2019). Tortor Function in Gondang Naposo Batak Toba community. Journal of Education and Practice, 10(2), 161–163. https://

doi.org/10.7176/JEP/10-2-19

Pandiangan, Robert Paulus, Ginting, P. P. (2021). The Form and Meaning of Gondang Si Boru Nauli Basa in Batak Toba Traditional Ceremony. Lakhomi Journal : Scientific Journal of Culture, 2(3), 133–141. https://doi.org/https://

doi.org/10.33258/lakhomi.v2i3.508

Pasaribu, Vita, Christomy, T. (2021). Gondang Hybridization and Identity Politics of Toba Batak Society. Advances in Social Science, Education and Humanities Research: Proceedings of the International University Symposium on Hu- manities and Arts 2020 (INUSHARTS 2020), 593, 313–319. https://doi.org/

https://doi.org/10.2991/assehr.k.211110.046

(12)

Purba, Mauly, Takari, Muhammad, Fadlin, F. (2018). The Tradition of Gondang Sabangunan and Custom Ceremony of the Toba Batak People in Samosir Dis- trict: Challenge, Hope and Opportunity. Proceedings of the International Con- ference of Science, Technology, Engineering, Environmental and Ramifica- tion Researches - ICOSTEERR, 1437–1443. Retrieved from https://

www.scitepress.org/Link.aspx?doi=10.5220/0010081614371443

Purba, Rekson Benyamin, Sukmayadi, Y. (2021). Identification of Gondang Batak To- ba Learning Needs in Toba District. Advances in Social Science, Education and Humanities Research: Proceedings of the 3rd International Conference on Arts and Design Education (ICADE 2020), 519, 309–313. Retrieved from https://www.atlantis-press.com/proceedings/icade-20/125952201

Purba, M. (2004). Dokumentasi dan Publikasi Musik Gondang Sabangunan: Sebuah Retrospeksi. Medan. Retrieved from https://repository.usu.ac.id/bitstream/

handle/123456789/1672/etnomusikologi-mauly2.pdf?

sequence=2&isAllowed=y

Purba, M. (2005). Review of Research into the Gondang Sabangunan Musical Genere in Batak Toba Society of North Sumatra. Etnomusikologi, 1(1), 38–64. Re- trieved from https://repository.usu.ac.id/handle/123456789/15245?show=full Sagala, J. (2020). Kontribusi Gondang Uning-uningan Arangarang Dairi Pada Upacara Adat Perkawinan Batak Toba di Dairi Kecamatan Tigalingga (Universitas Negeri Medan). Universitas Negeri Medan. Retrieved from http://digilib.unimed.ac.id/22343/

Saharudin, S. (2021). Ritual Domestikasi Padi Lokal dalam Budaya Sasak-Lombok.

Jurnal SMART (Studi Masyarakat, Religi, Dan Tradisi), 7(01), 85–102.

https://doi.org/10.18784/smart.v7i01.1098

Schefold, R. (2001). Three sources of ritual blessings in traditional Indonesian socie- ties. Bijdragen Tot de Taal, Land En Volkenkunde, 157(2), 359–381. Re- trieved from https://brill.com/view/journals/bki/157/2/article-p359_5.xml?

language=en

Sihombing, A. A. (2016). Mengenal Budaya Batak Toba Melalui Falsafah “Dalihan Na Tolu” (Perspektif Kohesi dan Kerukunan) - Introductory of Batak Toba Culture with Philosophy of Dalihan Na Tolu (Cohesion Perspective and Harmony).

Jurnal Lektur Keagamaan, 16(2), 347–371. https://doi.org/https://

doi.org/10.31291/jlk.v16i2.553

Silitonga, P. H. D. (2017). Ansambel Musik Batak Toba Sebagai Pengiring dalam Peribadatan di Gereja. Jurnal Seni Dan Budaya, 1(2), 70–77. https://doi.org/

https://doi.org/10.24114/gondang.v1i2.8565

Simangunsong, E. (2013). PERUBAHAN DAN KESINAMBUNGAN TRADISI GON- DANG DAN TORTOR DALAM PESTA ADAT PERKAWINAN PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI MEDAN. Visi, 21(2), 1412–1424. Retrieved from http://akademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/

VISI_Vol.21_No.2_2013_PDF/10_Emmi_Simangunsong.pdf

Simarmata, Lam Jogi, Pradoko, A. M. S. (2020). The Local Wisdom Values of Gon- dang Music in the Batak Toba Traditional Marriage Ceremony of Pematang Siantar. Advances in Social Science, Education and Humanities Research: 3rd International Conference on Arts and Arts Education (ICAAE 2019), 444, 83 –87. Retrieved from https://www.atlantis-press.com/proceedings/icaae- 19/125941655

Simon, A. (1993). Gondang, Gods and Ancestors. Religious Implications of Batak Cer- emonial Music. JSTOR, 25, 81–88. https://doi.org/https://

doi.org/10.2307/768686

Simorangkir, A. P. (2018). Gondang Sabangunan in a Death Ceremony of Saur Matua in the Batak Toba Society. International Journal of English Literature and Social Sciences (IJELS), 3(6), 1160–1163. https://doi.org/10.22161/

ijels.3.6.31

(13)

Sinaga, A. B. (1981). The Toba-Batak High God, Transcendence and Immanence (Anthropos). West Germany.

Sinaga, A. B. (2009). Inculturation Experimental Theology Among the Toba-Bataks of North Sumatra: Incarnation-Pascal Approach. Logos, 7(1), 53–82.

Syafrita, I., & Murdiono, M. (2020). Upacara Adat Gawai Dalam Membentuk Nilai- Nilai Solidaritas Pada Masyarakat Suku Dayak Kalimantan Barat. Jurnal An- tropologi: Isu-Isu Sosial Budaya, 22(2), 151–159. https://doi.org/10.25077/

jantro.v22.n2.p151-159.2020

Tambunan, J. (2013). Musik Gondang Batak Toba Sebagai Musik Gerejawi Dalam Perwujudan Liturgi Ibadah Gereja HKBP (Unimed Medan). Unimed Medan.

Retrieved from http://repository.upi.edu/2780/

Tinambunan, E. R. L. (2016). Musik Lurturgi Gerejani Purba. Liturgi Sumber Dan Puncak Kehidupan, 27(1), 37–38.

Wardhani, N. W., Arditama, E., Noe, W., & Narimo, S. (2021). Merawat Mistisisme di Surakarta. Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya, 23(1), 93–100.

https://doi.org/10.25077/jantro.v23.n1.p93-100.2021

Referensi

Dokumen terkait

Hukum adat Batak Toba, khususnya perkawinan sangat memperhatikan prinsip dasar yaitu dalihan na tolu (artinya tungku nan tiga), yang merupakan suatu ungkapan yang menyatakan

Namun tidak hanya perubahan pada tempat pelaksanaan adat yang berubah namun penggunaan wisma/gedung sebagai sarana ruang pelaksanaan ritual Adat Perkawinan Batak Toba juga

Permasalahan yang akan dijabarkan dalam penelitian ini yaitu penerapan prinsip Dalihan Natolu dalam hukum adat Batak Toba, karena dalam hukum adat Batak Toba sendiri

Simbol yang dimaksud dalam upacara perkawinan adat Batak Toba.. ialah pada saat

Berdasarkan hasil penelitian mengenai makna penyajian musik gondang pada prosesi kematian masyarakat Batak Toba di Kecamatan Dolok Masihul Kabupaten Serdang Bedagai, dapat

Berdasarkan hasil penelitian mengenai makna penyajian musik gondang pada prosesi kematian masyarakat Batak Toba di Kecamatan Dolok Masihul Kabupaten Serdang Bedagai, dapat

Secara keseluruhan rumah adat batak toba suah baik dalam merespon iklim di sekitarnya yaitu iklim tropis lembab.Adanya kolong atau kontruksi panggung akan mendukung rumah

Tinjauan Pustaka Jurnal Musik Tiup dan Upacara Adat: Kasus Pengayaan Identitas Kebudayaan Musikal pada Masyarakat Batak Toba di Kota Medan dalam Jurnal Panggung Vol... Tinjauan