BAHAN BACAAN
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bumi dan Bangunan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas :
1. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha.
2. Impor Barang Kena Pajak.
3. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha.
4. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
6. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak.
7. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak, dan 8. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
Berdasarkan undang-undang yang berlaku di Indonesia, Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) merupakan pajak yang dikenakan pada barang yang tergolong mewah yang dilakukan oleh produsen (pengusaha) untuk menghasilkan atau mengimpor barang tersebut dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
Subjek PPN dan PPnBM dan yang Dikecualikan A. Pengusaha
Dalam pasal 1 angka 14 UU PPN :
“Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.” Pengertian orang pribadi dirasa cukup jelas, sedangkan
pengertian badan dalam pasal 1 angka13 UU PPN adalah “sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.”
Untuk memperjelas ruang lingkup dari arti pengusaha maka perhatikan ilustrasi ini:
Dika seorang mahasiswa mendapatkan kiriman DVD Player dari saudaranya yang berada di Singapura. Berdasarkan pasal 1 ayat 9 Dika mengimpor DVD Player, tetapi berdasarkan pasal 1 ayat 14 Dika bukan seorang pengusaha di bidang impor karena kegiatan yang dilakukan tidak berhubungan dengan pekerjaan atau usahanya.
Arry, Seorang pengusaha di bidang jual beli barang elektronik. Ia mengimpor televisi secara berkala dari Cina. Berdasarkan uraian tersebut Arry bisa dikatakan seorang pengusaha karena ia melakukan impor berkaitan dengan pegerjaan atau kegiatan usahanya.
Dengan demikian, Pengusaha Kena Pajak bisa terdiri dari Orang Pribadi atau Badan.
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha\ Milik Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif
dan Bentuk Usaha Tetap.
B. Pengusaha Kena Pajak
Pengusaha Kena Pajak (disingkat PKP) adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak
berdasarkan Undang-undang ini. Demikian definisi PKP berdasarkan UU Nomor 42 Tahun 2009. Dengan kata lain PKP adalah Pengusaha yang usahanya adalah memperdagangkan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak. Apabila Pengusaha tersebut memperdagangkan atau melakukan penyerahan barang yang tidak kena pajak atau jasa yang tidak kena pajak, maka Pengusaha tersebut adalah bukan Pengusaha Kena Pajak.Yang dimaksud penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang ini adalah penyerahan Barang dan/atau Jasa sesuai pasal 4 UU PPN. Termasuk dalam kelompok PKP adalah pengusaha yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, dan huruf f UU PPN, serta bentuk kerjasama operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 143 tahun 2000. Lebih rinci lagi, penyerahan BKP dan/atau JKP dimaksud meliputi :
• penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
• penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha; dan
• ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak.
Pengertian PKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 15 UU PPN itu kemudian
disempurnakan lagi di dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 143 tahun 2000, yaitu termasuk di dalam pengertian PKP adalah Pengusaha yang sejak semula bermaksud mengadakan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP atau ekspor BKP.
Terdapat pengecualian untuk pengusaha kecil sesuai dengan pasal 3A ayat 1 UU PPN yang berbunyi “Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan huruf h, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah yang terutang.” Sehingga kepada pengusaha kecil diberikan kebebasan memilih untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak atau tidak. Jika memilih untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak,maka wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada pasal 3A ayat 1 UU PPN.
Pengusaha kecil adalah pengusaha yang memenuhi kriteria sesuai dengan yang diatur dalamKMK no.571/KMK.03/2003 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai.
C. Bukan Pengusaha Kena Pajak
Subjek PPN yang bukan PKP adalah orang atau badan yang mengimpor BKP,
memanfaatkan jasa atau BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean, dan yang melakukan kegiatan membangun sendiri. Pengusaha yang melakukan kegiatan usaha dimaksud dalam Pasal 4 huruf b (mengimpor Barang Kena Pajak), huruf d (memanfaatkan Barang Kena Pajak
tak berwujud), dan huruf e (memanfaatkan Jasa Kena Pajak) dalam UU PPN tidak berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak.
D. Pengusaha Kecil
Pengusaha kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto
dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah),
sebagaimana diatur dalam PMK NOMOR 197/PMK.03/2013.
Jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto adalah jumlah keseluruhan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh pengusaha
dalam rangka kegiatan usahanya. Bagi pengusaha orang pribadi yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan, pengertian tahun buku adalah tahun kalender. Pengusaha kecil tidak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tidak wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukannya. Namun, apabila pengusaha kecil memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak maka pengusaha kecil tersebut wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukannya.
Apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) maka Pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak, Kewajiban melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah bulan saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). Apabila diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan tidak dipenuhi pengusaha, Direktur Jenderal Pajak dapat mengukuhkan pengusaha sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan. Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau surat tagihan pajak untuk Masa Pajak sebelum pengusaha dikukuhkan secara jabatan sebagai Pengusaha Kena Pajak, terhitung sejak saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukannya. Dalam hal pengusaha telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya dalam satu tahun buku tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), Pengusaha Kena Pajak dapat mengajukan permohonan pencabutan pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
E. Joint Operation
Pasal 2 ayat 2 PP 143/2000 secara tersirat menetapkan bahwa bentuk usaha Joint Operation setelah 1 Januari 1995, perlakuan terhadap konsorsium, joint operation, dan joint venture ditegaskan dalam Surat Edaran nomor S-349/PJ.321/1990 dan nomor S- 263/PJ.42/1991 yang intinya bahwa pengusaha dengan bentuk usaha semacam itu termasuk PKP. Kutipannya :
a. Apabila dalam transaksi dengan pihak lain, secara nyata dilakukan atas nama JO, maka JO harus dikukuhkan sebagai PKP. Untuk itu JO harus mendaftarkan diri sebagai PKP.
b. Apabila seluruh transaksi dengan pihak lain tersebut secara nyata dilakukan masing –
masing anggota JO, maka yang dikukuhkan sebagai PKP hanyalah anggota JO tersebut saja.
c. Dalam hal JO menunjuk ‘leader’, maka apabila atas jasa yang diberikan oleh ‘leader’
kepada anggota diterima pembayaran, maka atas pembayaran itu terutang PPN.
d. Penyerahan JKP dari anggota JO atau konsorsium dalam kedudukannya sebagai subkontraktor kepada konsorsium, merupakan penyerahan kena pajak.
Objek Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM) dan yang dikecualikan
1) Objek Pajak Pertambahan Nilai PPN dikenakan atas:
a. Penyerahan BKP di dalam daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha.
Syarat-syaratnya adalah:
1. Barang berwujud yang diserahkan merupakan BKP
2. Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan BKP yang tidak berwujud
3. Penyerahan dilakukan di daerah Pabean
4. Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha b. Impor BKP
c. Penyerahan JKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha.
Syarat- syaratnya adalah sebagai berikut.
1. Jasa yang diserahkan merupakan JKP
2. Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean
3. Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaanya d. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dan dari luar Daerah Pabean di dalam daerah
Pabean
e. Pemanfaatan JKP dari luar daerah Pabean
f. Ekspor BKP berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak g. Ekspor BKP tidak Berwujud oleh pengusaha kena pajak
h. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidaka dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau pihak lain.
i. Penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semual tidak untuk diperjualbelikan oleh PKP, kecuali atas penyerahan aktiva yang pajak Masukanya tidak dapat dikreditkan.
2). Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM) Dengan pertimbangan bahwa:
a. Perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dan konsumen yang berpenghasilan tinggi
b. Perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas BKP yang tergolong mewah c. Perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional
d. Perlu untuk mengamankan penerimaan negara
Maka atas penyerahan BKP yang tergolong Mewah oleh produsen atau impor BKP yang tergolong mewah, disamping dikenakan Pajak Pertambhan Nilai (PPN) juga dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM).Batasan suatu termasuk BKP yang tergolong mewah adalah:
a. Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok b. Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentuu
c. Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat yang berpenghasilan tinggi
d. Barang tersebut untuk menunjukan status PPn BM dikenakan atas:
a. Penyerahan BKP yang tergolong barang mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang berpenghasilan BKP yang tergolong mewah tersebut di dalam daerah PAbean dalam kegiatan usaha atau pekerjaanya
b. Impor BKP yang tergolong mewah
PPn BM merupakan pungutan tambahan disamping PPN. PPn BM hanya dikenakan satu kali pada waktu penyerahan BKP yang tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor BKP yang tergolong mewah.
3). Jenis barang yang tidak dikenakan PPN adalah:
1. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, yaitu :
a. Minyak mentah (crude oil ).
b. Gas bumi.
c. Panas bumi.
d. Pasir dan kerikil.
e. Batubara sebelum diproses menjadi briket batubara.
f. Bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, dan
g. barang hasil pertambangan dan pengeboran lainnya yang diambil langsung dari sumbernya.
2. barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, yaitu:
a. Segala jenis beras dan gabah, seperti beras putih, beras merah, beras ketan hitam atau beras ketan putih dalam bentuk:
• Beras berkulit (padi atau gabah) selain untuk benih.
• Digiling.
• Beras setengah giling atau digiling seluruhnya, disosoh, dikilapkan maupun tidak.
• Beras pecah.
• Menir (groats) dari beras.
b. Segala jenis jagung, seperti jagung putih, jagung kuning, jagung kuning kemerahan atau popcorn (jagung brondong), dalam bentuk:
• Jagung yang telah dikupas maupun belum/jagung tongkol dan biji jagung/jagung pipilan.
• Munir (groats)/beras jagung, sepanjang masih dalam bentuk butiran.
c. Sagu, dalam bentuk:
• Empulur sagu.
• Tepung, tepung kasar dan bubuk dari sagu.
d. Segala jenis kedelai, seperti kedelai putih, kedelai hijau, kedelai kuning atau kedelai hitam dalam bentuk pecah atau utuh.
e. Garam baik yang berjodium maupun tidak berjodium termasuk:
• Garam meja.
• Garam dalam bentuk curah atau kemasan 50 Kg atau lebih, dengan kadar NaCL 94,7% (dry basis).
3. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya (tidak termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha katering atau usaha jasa boga).
4. Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.
4). Jenis jasa yang tidak dikenakan PPN adalah :
A. Jasa di bidang pelayanan kesehatan medik, meliputi : a. Jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi.
b. Jasa dokter hewan.
c. Jasa ahli kesehatan seperti akupuntur, ahli gigi, ahli gizi, dan fisioterapi.
d. Jasa kebidanan dan dukun bayi.
e. Jasa paramedis dan perawat, dan
f. Jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan sanatorium
B. Jasa di bidang pelayanan sosial, meliputi :
a. Jasa pelayanan Panti Asuhan dan Panti Jompo.
b. Jasa pemadam kebakaran kecuali yang bersifat komersial.
c. Jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan
d. Jasa Lembaga Rehabilitasi kecuali yang bersifat komersial e. Jasa pemakaman termasuk crematorium.
C. Jasa di bidang olah raga kecuali yang bersifat komersial; dan D. Jasa pelayanan sosial lainnya kecuali yang bersifat komersial.
E. Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko.
F. Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi.
G. Jasa di bidang keagamaan, meliputi : a. jasa pelayanan rumah ibadah.
b. jasa pemberian khotbah atau dakwah; dan c. jasa lainnya di bidang keagamaan.
H. Jasa di bidang pendidikan, meliputi:
a. Jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan, pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik dan pendidikan professional, da b. Jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah, seperti kursus-
kursus
I. Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan.
J. Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan.
K. Jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air.
L. Jasa di bidang tenaga kerja, meliputi:
a. Jasa tenaga kerja.
b. Jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang Pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut, dan
c. Jasa penyelenggaraan latihan bagi tenaga kerja M. Jasa di bidang perhotelan;
N. Jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum.
A. Tarif PPN dan PPnBM 1. Pajak Pertambahan Nilai
a. Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen).
b. Tarif Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor Barang Kena Pajak adalah 0% (nol persen).
c. Dengan Peraturan Pemerintah, tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi serendah-rendahnya 5% (lima persen) dan setinggi- tingginya 15% (lima belas persen).
2. Pajak Penjualan atas Barang Mewah
a. Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah adalah paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen).
b. Atas ekspor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah dikenakan pajak dengan tarif 0% (nol persen)
Pajak Bumi dan Bangunan Pengertian dan Dasar hukum PBB
PBB dikenakan terhadap objek pajak berupa tanah dan atau bangunan yang didasarkan pada azas kenikmatan dan manfaat, dan dibayar setiap tahun. PBB pengenaannya didasarkan padaUndang-undang No. 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.12 tahun 1994. Namun demikian dalam perkembangannya PBB sektor pedesaan dan perkotaan menjadi pajak daerah yang diatur dalam Undang-Undang No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) Pasal 77 sampai dengan Pasal 84 mulai tahun 2010.
Dalam bab I diatur tentang Ketentuan Umum yang memberikan penjelasaan tentang istilah- istilah teknis atau definisi-definisi PBB seperti pengertian :
1. Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. Pengertian ini berarti bukan hanya tanah permukaan bumi saja tetapi betul-betul tubuh bumi dari permukaan sampai dengan magma, hasil tambang, gas material yang lainnya.
2. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan.
Dalam pasal 77 ayat (2) Undang-Undang PDRD, disebutkan bahwa termasuk dalam pengertian bangunan adalah :
jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya dan lain-lain yang satu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut,
jalan TOL,
kolam renang,
pagar mewah,
tempat olah raga,
galangan kapal, dermaga,
taman mewah,
tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak, fasilitas lain yang memberikan manfaat.
Objek dan Subjek PBB
Objek PBB adalah bumi dan/atau bangunan, dimana pengertian bumi dan/atau bangunan adalah sebagai berikut :
Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia, dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. Bangunan, adalah kontruksi teknik yang di tanam atau di lekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan.
Tidak semua objek bumi dan bangunan akan dikenakan PBB, ada juga objek yang di kecualikan dari pengenaan PBB adalah apabila sebagai berikut :
digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksud-kan untuk memperoleh keuntungan,
digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu,
merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum di bebani suatu hak,
digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik,
digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
Objek pajak yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Jenis Objek Pajak
1. Objek Pajak Umum yaitu objek pajak yang memiliki kriteria konstruksi bangunan umum dengan luas tanah berdasarkan kriteria tertentu. Objek pajak umum sendiri dibedakan menjadi:
A. Objek pajak standar, kriteria untuk objek pajak ini adalah:
Luas tanah ≤ 10.000 m²
Jumlah lantai bangunan ≤ 4 lantai
Luas bangunan ≤ 1000 m²
B. Objek pajak non standar, kriterianya ialah:
Luas tanah ≥ 10.000 m²
Jumlah lantai bangunan ≥ 4 lantai
Luas bangunan ≥ 1000 m²
2. Objek Pajak Khusus yaitu objek pajak yang memiliki kriteria konstruksi bangunan khusus. Kriteria bangunan khusus ditinjau dari segi bentuk, material pembentuk dan keberadaannya yang memiliki arti khusus. Contoh objek pajak khusus adalah pelabuhan, Bandar udara, jalan tol, tempat wisata, dan lain-lain.
Proses awal sebelum objek pajak dikenakan PBB terlebih dahulu harus dilakukan proses pendataan, yaitu proses pengumpulan data objek yang nantinya akan digunakan untuk melakukan penilaian dan penetapan PBB. Pelaksanaan pendataan ini dilakukan dengan menggunakan sarana berupa Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) untuk objek berupa tanah dan Lampiran Surat Pemberitahuan Objek Pajak (LSPOP) jika ada bangunannya, sedangkan untuk data-data tambahan dilakukan dengan menggunakan Lembar Kerja Objek Khusus (LKOK) atau pun dengan lembar catatan lain yang menampung informasi tambahan sesuai keperluan penilaian masing-masing objek pajak.
Pada setiap objek yang telah di data akan di berikan penomoran yang bersifat unik dan permanen yang disebut dengan Nomor Objek Pajak (NOP), dimana nomor ini yang akan mengidentifikasi setiap objek pajak. Nomor ini bersifat unik, dimana setiap objek di berikan satu nomor yang berbeda dengan objek yang lainnya dan bahkan nomor objek ini tidak ada yang sama di seluh wilayah Indonesia.
Selain unik nomor ini juga bersifat permanen dimana nomor ini akan tetap selama objek tersebut tidak mengalami perubahan walaupun berubah nama subjek pajaknya, misalnya dalam kasus jual beli tanah antara A dan B, B sebagai pembeli tanah akan mempunyai Nomor Objek Pajak atas objek pajak yang sama dengan pada waktu dimiliki oleh A sebagai penjual tanah. Contoh pemberian NOP untuk objek pajak adalah sebagai berikut ini.
Misalnya sebidang tanah memiliki NOP sebagai berikut 31.73.050.001.004-0056.0,
Kode 31.73.050.001 adalah kode wilayah kelurahan Rawasari, kecamatan Cempaka Putih, Jakarta Pusat,
Kode 004 adalah kode blok 004 di kelurahan tersebut,
Kode 0056 adalah nomor urut 0056 di blok tersebut,
Tanda khusus 0, adalah penomoran objek tertentu untuk mempermudah identifikasi dan pengelompokan objek pajak, misalnya kode 9, untuk objek jenis strata title (penggunaan bersama misal rumah susun/ appartemen).
Subjek PBB adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. Melihat pengertian subjek pajak tersebut, tidak jarang ada objek pajak yang diakui oleh lebih dari satu orang subjek pajak, yang berarti ada satu objek pajak tetapi memiliki beberapa wajib pajak. Bagaimana kalau hal ini terjadi, apakah semua menjadi terhutang PBB?
Apabila terjadi statu kejadian dimana satu objek pajak dimiliki/dikuasai oleh beberapa subjek pajak atau satu objek pajak belum diketahui dengan jelas siapa Wajib Pajaknya, maka hal pertama yang perlu dilakukan adalah melihat perjanjian (agreement) antara para pihak yang berkepentingan terhadap objek pajak tersebut. Dalam perjanjian tersebut salah satu pasalnya biasanya membahas siapa yang akan melakukan kewajiban pembayaran pajak termasuk pajak Bumi dan Bangunan. Apabila dalam perjanjian tidak disebutkan atau memang terjadi lebih dari satu yang memanfaatkan objek pajak sehingga belum diketahui siapa yang menjadi wajib pajak Direktorat Jenderal Pajak dapat menetapkan subjek pajaknya (UU No 12 tahun 1994 Pasal 4 ayat 3).
Pertanyaan berikutnya yang muncul adalah, apakah setiap yang membayar PBB adalah pemilik atas objek pajak tersebut? Surat tanda pemberitahuan atau dikenal dengan sebutan SPPT (Surat Pembayaran Pajak Terhutang) atau bukti pelunasan bukanlah bukti pemilikan hak. Surat Tagihan Pajak atau bukti pembayaran PBB adalah semata mata untuk kepentingan perpajakan dan tidak ada kaitannya dengan status atau hak pemilikan atas tanah dan/atau bangunan.
Dasar Pengenaan PBB
Dasar Pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). NJOP ditetapkan setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun
sesuai perkembangan daerahnya. Penentuan NJOP ini dilakukan dengan melakukan penilai terhadap objek pajak baik yang dilakukan secara masal atau individual.
Istilah NJOP ini telah luas beredar di masyarakat bahwa NJOP sama dengan nilai transaksi atau dianggap sebagai harga dasar tanah, terutama apabila terjadi pembebasan tanah atau apabila masyarakat menawarkan tanahnya untuk di jual dengan berpedonan pada NJOP yang tercantum dalam SPPT PBB. Secara tegas Undang-Undang No 12 tahun 1994 menjelaskan yang dimaksud dengan NJOP mempunyai pengertian sebagai berikut:
“Harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau nilai jual objek pajak pengganti”.
Penentuan besarnya NJOP adalah proses penting mengingat NJOP ini yang akan menentukan besarnya pajak yang di bayar oleh masyarakat. Dalam Keputusan Direktur Jenderal No. 16/PJ.6/1998 tanggal 30 Desember 1998 dijelaskan bagaimana menentukan besarnya NJOP untuk setiap sektor PBB. Dalam Keputusan tersebut diatur sebagai berikut :
NJOP atas Sektor Pedesaan/Perkotaan
Sektor Pedesaan/Perkotaan adalah Obyek PBB yang meliputi kawasan pertanian, perumahan, perkantoran, pertokoan, industri serta obyek khusus perkotaan. Besarnya NJOP atas obyek pajak sektor pedesaan/ perkotaan ditentukan sebagai berikut:
1. Obyek Pajak berupa tanah adalah sebesar nilai konversi setiap Zona Nilai Tanah (ZNT) ke dalam klasifikasi, penggolongan dan ketentuan nilai jual permukaan bumi (tanah) sebagaimana diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 523/KMK.04/1998
2. Obyek Pajak berupa bangunan adalah sebesar nilai konversi biaya pembangunan baru setiap jenis bangunan setelah dikurangi penyusutan fisik berdasarkan metode penilaian ke dalam klasifikasi, penggolongan dan ketentuan nilai jual bangunan sebagaimana diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 523/KMK.04/1998.
NJOP atas Sektor Perkebunan
Sektor Perkebunan adalah Obyek PBB yang meliputi areal pengusahaan benih, penanaman baru, perluasan, perubahan jenis tanaman, keragaman jenis tanaman termasuk sarana penunjangnya. Besarnya NJOP atas obyek pajak sektor perkebunan ditentukan sebagai berikut:
1. Areal kebun adalah sebesar NJOP berupa tanah ditambah dengan Jumlah Investasi Tanaman Perkebunan sesuai dengan Standar Investasi menurut umur tanaman, 2. Areal emplasemen dan areal lainnya dalam kawasan perkebunan adalah sebesar
NJOP berupa tanah sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya,
3. Obyek Pajak berupa bangunan adalah sebesar nilai konversi biaya pembangunan baru setiap jenis bangunan setelah dikurangi penyusutan fisik berdasarkan metode penilaian ke dalam klasifikasi, penggolongan dan ketentuan nilai jual bangunan sebagaimana diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 523/KMK.04/1998.
NJOP atas Sektor Kehutanan
Sektor Kehutanan adalah Obyek PBB yang meliputi areal pengusahaan hutan dan budidaya hutan. Besarnya NJOP atas obyek pajak sektor kehutanan ditentukan sebagai berikut:
1. Areal hutan adalah sebesar NJOP berupa tanah ditambah dengan Jumlah Biaya Pembangunan Hutan Tanaman Industri menurut umur tanaman,
2. Areal emplasemen dan areal lainnya dalam kawasan hutan adalah sebesar NJOP berupa tanah sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya,
3. Obyek Pajak berupa bangunan adalah sebesar nilai konversi biaya pembangunan baru setiap jenis bangunan setelah dikurangi penyusutan fisik berdasarkan metode penilaian ke dalam klasifikasi, penggolongan dan ketentuan nilai jual bangunan sebagaimana diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 523/KMK.04/1998.
NJOP atas Sektor Pertambangan
Sektor Pertambangan adalah Obyek PBB yang meliputi areal usaha penambangan bahan-bahan galian dari semua golongan yaitu bahan galian strategis, bahan galian vital dan bahan galian lainnya.
NJOP atas Sektor Perikanan
Usaha Bidang Perikanan adalah semua usaha perorangan atau badan yang memiliki ijin usaha untuk menangkap atau membudidayakan sumber daya ikan, termasuk semua jenis ikan dan biota perairan lainnya serta kegiatan menyimpan, mendinginkan atau mengawetkan ikan untuk tujuan komersial. Besarnya NJOP atas obyek pajak usaha bidang perikanan laut ditentukan sebagai berikut:
1. Areal penangkapan ikan adalah 10 x hasil bersih ikan dalam satu tahun sebelum tahun pajak berjalan,
2. Areal pembudidayaan ikan adalah 8 x hasil bersih ikan dalam satu tahun sebelum tahun pajak berjalan,
3. Areal emplasemen dan areal lainnya adalah sebesar NJOP berupa tanah sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya,
4. Obyek Pajak berupa bangunan adalah sebesar nilai konversi biaya pembangunan baru setiap jenis bangunan setelah dikurangi penyusutan fisik berdasarkan metode penilaian ke dalam klasifikasi, penggolongan dan ketentuan nilai jual bangunan sebagaimana diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 523/KMK.04/1998.
Sedangkan besarnya NJOP atas obyek pajak usaha bidang perikanan laut ditentukan sebagai berikut:
1. Areal pembudidayaan ikan darat adalah sebesar NJOP berupa tanah di sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya ditambah standar biaya investasi tambak menurut jenisnya,
2. Areal emplasemen dan areal lainnya adalah sebesar NJOP berupa tanah di sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya,
3. Obyek Pajak berupa bangunan adalah sebesar nilai konversi baru setiap jenis bangunan setelah dikurangi penyusutan fisik berdasarkan metode penilaian ke dalam klasifikasi, penggolongan dan ketentuan nilai jual bangunan sebagaimana diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 523/KMK.04/1998.
NJOP atas Objek Pajak yang Bersifat Khusus
Obyek Pajak Khusus adalah obyek pajak yang memiliki jenis konstruksi khusus baik ditinjau dari segi bentuk, material pembentuk maupun keberadaanya memiliki arti khusus seperti: lapangan golf, pelabuhan laut, pelabuhan udara, jalan tol, pompa bensin, dan lain-lain. Besarnya NJOP atas obyek pajak yang bersifat khusus ditentukan sebagai berikut:
1. Areal tanah adalah sebesar NJOP berupa tanah di sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya,
2. Areal perairan untuk kepentingan pelabuhan, industri, lapangan golf serta tempat rekreasi adalah sebesar nilai jual yang ditentukan berdasarkan korelasi garis lurus ke samping dengan klasifikasi NJOP permukaan bumi berupa tanah sekitarnya,
3. Areal perairan untuk kepentingan PLTA adalah sebesar 10 x (10% dari Hasil bersih dalam satu tahun sebelum tahun pajak berjalan),
4. Obyek Pajak berupa bangunan adalah sebesar nilai konversi baru setiap jenis bangunan setelah dikurangi penyusutan fisik berdasarkan metode penilaian ke dalam klasifikasi, penggolongan dan ketentuan nilai jual bangunan sebagaimana diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 523/KMK.04/1998.
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)
Pelaksanaan perhitungan pengenaan pajak PBB ditentukan berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) setelah dikurangi dengan NJOP Tidak Kena Pajak sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan R I. Nomor : 201/KMK.04/2000tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Sebagai Dasar Penghitungan PBB.
Setiap wajib pajak diberikan 1 kali Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP). Apabila seorang Wajib Pajak mempunyai lebih dari 1 objek pajak, maka sesuai penjelasan UU PBB, yang diberikan NJOPTKP hanya salah satu objek pajak yang nilainya terbesar.
Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) sebagaimana dimaksud dalam keputusan ini ditetapkan setinggi-tingginya Rp 12.000.000,00 untuk setiap wajib pajak. Batasan setinggi-tingginya Rp 12.000.000,00 mengandung maksud bahwa apabila ada Daerah Tingkat II atau Kabupaten / Kota yang ingin menetapkan NJOP TKPnya disesuaikan dengan kondisi, lingkungan ekonominya, kurang dari Rp 12.000.000,00, misalnya Daerah Bekasi menetapkan Rp 8.000.000,00, Semarang Rp 6.000.000,00, dan sebagainya hal ini masih diperkenankan.
Penetapan besarnya NJOP TKP sebagaimana dimaksud dalam Peraturan tersebut di atas untuk setiap daerah Kabupaten / Kota, ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan pendapat Pemerintah Daerah setempat. Sedangkan berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 77 ayat (4) besarnya NJOPTKP ditentukan paling rendah adalah Rp. 10.000.000,00 dan penetapannya dilakukan oleh masing-masing Kepala Daerah.
Dasar Perhitungan PBB dan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP)
Dasar perhitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2002 tanggal 13 Mei 2002 Tentang Penetapan Besarnya Nilai Jual Kena Pajak Untuk Penghitungan PBB, maka besarnya Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) untuk perhitungan PBB ditentukan sebagai berikut:
1. Sebesar 40% dari NJOP untuk:
Objek Pajak Perkebunan,
Objek Pajak Kehutanan,
Objek Pajak Pertambangan,
Objek PBB lainnya apabila NJOP ≥ 1 milyar rupiah,
2. Sebesar 20% dari NJOP untuk objek PBB Lainnya apabila NJOP < 1 Milyar rupiah. Sedangkan berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 dalam perhitungan PBB tidak lagi mengenal besarnya NJKP.
Tarif PBB berdasarkan Undang-undang No. 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.12 tahun 1994 adalah tetap sebesar 0.5%, sedangkan menurut UU Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 80 ayat (1) dan (2) adalah paling tinggi 0.3% yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Perhitungan PBB berdasarkan Undang-undang No. 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.12 tahun 1994 adalah sebagai berikut:
Sedangkan perhitungan PBB menurut UU Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 81 adalah sebagai berikut:
NJOP dikelompokkan kedalam klas-klas yang disebut dengan klasifikasi NJOP baik untuk bumi maupun bangunan. Klasifikasi NJOP bumi terdiri dari 2(dua) kelompok yaitu kelompok A (50 klas) dengan klas tertinggi Rp. 3.100.000,- per m2dan klas terendah Rp.
140,- per m2 dan kelompok B (50 klas) dengan klas tertinggi sebesar Rp. 68.545.000,- per m2 dan klas terendah sebesar Rp. 3.375.000,- per m2.
Klasifikasi NJOP bangunan terdiri dari 2 (dua) kelompok yaitu kelompok A (20 klas) dengan klas tertinggi sebesar Rp. 1.200.000,- per m2 dan klas terendah sebesar Rp. 50.000,- per m2 dan kelompok B (20 klas) dengan klas tertinggi sebesar Rp. 15.250.000,- per m2 dan klas terendah sebesar Rp. 1.516.000,- per m2.
Dasar Penagihan PBB
Dasar penagihan PBB terdiri dari tiga macam yaitu:
1. Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT)
SPPT adalah surat yang digunakan oleh pemerintah untuk memberitahukan besarnya pajak yang terhutang kepada Wajib Pajak. Surat pemberitahuan ini diterbitkan berdasarkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP). Pajak yang terhutang harus dilunasi selambat-lambatnya 6 bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak.
2. Surat Tagihan Pajak (STP).
STP dapat diterbitkan karena memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut apabila:
Wajib Pajak terlambat membayar utang pajaknya seperti tercantum dalam SPPT, yaitu melampaui batas waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak.
Wajib Pajak terlambat membayar utang pajaknya seperti tercantum dalam skp, yaitu melampaui batas waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya surat keputusan oleh Wajib Pajak.
Wajib Pajak melunasi pajak yang terutang setelah lewat saat jatuh tempo pembayaran PBB, tetapi denda administrasi tidak dilunasi.
Saat jatuh tempo STP adalah satu bulan sejak diterimanya STP oleh Wajib Pajak.
Konsekuensi jika saat jatuh tempo STP terlampaui adalah adanya denda administrasi dalam STP. Besarnya denda administrasi karena Wajib Pajak terlambat membayar pajaknya, melampaui batas waktu jatuh tempo SPPT adalah sebesar 2% sebulan yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
3. Surat Ketetapan Pajak (skp).
SKP dapat diterbitkan karena memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut apabila:
Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) yang disampaikan melewati 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya SPOP oleh Wajib Pajak dan setelah ditegur secara tertulis ternyata tidak dikembalikan oleh Wajib Pajak sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran.
Berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lainnya ternyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak berdasarkan SPOP yang dikembalikan Wajib Pajak.
Pajak Yang terutang berdasarkan skp harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya SKP oleh Wajib Pajak. Jadi, bila seorang Wajib Pajak menerima SKP pada tanggal 1 Maret 2009, ia sudah harus melunasi PBB selambat-lambatnya tanggal 31 maret 2009. Tanggal 31 Maret 2009 ini disebut juga tanggal jatuh tempo SKP.
Jumlah pajak yang terutang dalam SKP yang penerbitannya disebabkan oleh pengembalian SPOP Lewat 30 (tiga puluh) hari setelah diterima Wajib Pajak adalah sebesar pokok pajak ditambah dengan denda administrasi 25% dihitung dari pokok pajak.
Sedangkan jumlah pajak yang terutang dalam SKP yang penerbitannya disebabkan oleh hasil pemeriksaan atau keterangan lainnya, adalah selisish pajak yang terutang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lainnya dengan pajak yang terutang berdasarkan SPOP ditambah denda administrasinya 25% dari selisih pajak yang terutang.