Sukatemin, M.Kep
Management of Nursing
PATIENT SAFETY IN CRITICAL CARE
Panduan Bagi Mahasiswa, Dosen dan Praktisi
1
KATALOG DALAM TERBITAN (KDT) Management of Nursing
PATIENT SAFETY IN CRITICAL CARE Panduan Bagi Mahasiswa, Dosen dan Praktisi
Copyright, Sukatemin, M.Kep. 2022 Editor : Syaifoel Hardy, M.N..
Layout: Link Med Pro
Penerbit dan Pemasaran BILDUNG.
Alamat: Jl. Raya Pleret KM 2 Banguntapan Bantul Yogyakarta 55791 E-mail: [email protected]
Websitr: www.penerbitbildung.com 254 Halaman, 15 x 21 cm
Cetakan Pertama 2022 ISBN : 978-623-6336-13-7
Hak cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan bentuk dan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
2
Buku ini saya persembahkan untuk:
Istriku Nyarini Ade In Matriani dan anak- anak kami Asmanda Nur Agung, Nada Afiva
Ramadhani, dan Muhammad Zamzam Al- Nabirei, serta teman sejawat yang tidak bisa
saya sebut namanya yang peduli dengan
keselamatan pasien
3
ALI BIN ABI TALIB, R.A.
"Knowledge is better than wealth. Knowledge takes care of you and you protect wealth. Knowledge is punishment and property
is condemned. Wealth is less when spent, but knowledge increases when spent."
“Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum dan harta terhukum. Harta itu kurang
apabila dibelanjakan, tapi ilmu bertambah bila dibelanjakan.”
4 UCAPAN TERIMA KASIH
1. Direktur Poltekkes Kemenkes Jayapura, yang selalu memberikan dorongan, dukungan dan semangat untuk memajukan institusi, profesi dan karir kami.
2. Direktur RSUD Nabire yang tidak henti-hentinya memberikan motivasi dalam mengabdi bagi negeri juga profesi ini.
3. Bapak Syaifoel Hardy sebagai inspiratory, motivator sekaligus pembimbing dan pendamping selama proses penyusunan hingga penerbitan buku ini.
4. Teman-teman sejawat yang tidak bisa saya sebutkan namanya satu per satu, serta 5. Istri, anak-anakku yang selalu mendukung setiap langkah kakiku.
5
TESTIMONI
6 Dr. Isak JH Tukayo, M.Sc.
Lektor Kepala Poltekkes Kemenkes Jayapura
Pengurus DPP-PPNI, Koordinator Wilayah Papua dan Papua Barat Ketua DPW PPNI P
Ketua PPNI DPW Papua
Ketua Regional AIPViKi Papua dan Papua Barat
Pertama-tama saya sampaikan ucapan selamat atas terbitnya buku ini yang merupakan sumbangsih sangat berharga bagi dunia pendidikan keperawatan sekaligus profesi.
Kedua, bagi saya, buku ini memberikan hawa baru bagi dunia literasi keperawatan di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan hadirnya nuansa spesialisasi yang ditawarkan tergolong fresh di dalam buku. Selama ini yang banyak dikupas dalam buku-buku Patient Safety hanya secara umum dan cenderung mengarah ke aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
Ketiga, buku ini memberikan contoh-contoh konkrit berupa kasus-kasus yang ada di unit Critical Care. Dan yang terakhir, bagusnya lagi, buku ini memberikan contoh soal-soal di Uji Kompetensi yang selama ini belum banyak dibahas.
Terima kasih kepada Bapak Sukatemin, M.Kep yang telah menyumbangkan buah pikiran luar biasa sehingga lahir karya yang sangat bermanfaat bagi profesi mulia. Saya pribadi merekomendasikan karya ini untuk mahasiswa khususnya, juga bagi dosen Keperawatan Medikal Bedah juga praktisi keperawatan.
Jayapura, 24 Juni 2024 Isak JH Tukayo
7 Syaifoel Hardy, MN
Manajer Indonesian Nursing Trainers, Malang Nursing Trainer, Writer, Speaker and Researcher
Salah satu keprihatinan terbesar kita terhadap profesi keperawatan di Indonesia antaranya adalah minimnya penulis handal yang memberikan novelty bagi profesi. Selama ini topik-topik yang banyak dalam buku keperawatan adalah klasik sehingga terkesan dunia literasi keperawatan mandeg. Hadirnya buku ini menurut saya telah memberikan wawasan baru bagi profesi khususnya terkait patient safety di mana yang topic yang diangkat fokus pada Critical Care.
Saya merekomnedasikan teman-teman untuk membacanya, mengingat buku ini sarat dengan pesan positif bagi patient safety in nursing yang jarang diungkap terkait critical care.
Selamat buat Bapak Sukatemin, M.Kep yang telah bekerja keras menuangkan buah fikiran dalam karya monumental ini.
Malang, 24 Juni 2024 Syaifoel Hardy
8 Erna Rochmawati, SKp.,MNSc.,M.Med.Ed.,PhD
Ketua Program Studi Magister KeperawataN Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Patient safety merupakan komponen penting dalam pelayanan kesehatan dan menjadi tanggung jawab bagi semua yang terlibat termasuk perawat. Budaya patient safety harus dikenalkan dari tahap pendidikan. Buku ini menjadi salah satu sarana untuk mengetahui dan memahami lebih lanjut tentang patient safety khususnya dalam konteks perawatan kritis. Penulis menginformasikan patient safety dari basic knowledge sampai ke aplikasi dalam konteks perawatan kritis. Buku ini sangat bermanfaat dan menambah kekayaan Pustaka di bidang keperawatan.
Yogyakarta, 17 Juni 2022 Erna Rochmawati
9 KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim...
Dengan menyebut Nama Allah, Tuhan Yang Maha Esa
Alhamdulillah kami panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya, serta petunjukNya kepada kita semua. Salawat dan salam kami haturkan kepada junjungan kita, Baginda Rasulullah Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga dan sahabat-sahabat beliau SAW, sehingga kita bisa menyelesaikan buku ini.
Buku yang berjudul Management of Nursing Patient Safety In Critical Care terbagi dalam tujuh bab. Buku tentang patient safety telah banyak ditulis. Bedanya, buku ini mengupas fokus pada unit Critical Care. Oleh sebab itu materi yang dibahas di dalamnya sebatas pada manajemen keperawatan critical care seperti kasus-kasus yang ada di Instalasi Gawat Darurat (IGD), Kamar Opererasi serta Intensive Care Unit (ICU). Sedangkan materi penunjangnya bersifat umum di antaranya peran perawat di unit critical care, konsep patient safety serta prosedur-prosedur umum patient safety hingga pencatatan dan pelaporan insiden. Satu lagi, buku ini juga menghadirkan soal- soal Uji Kompetensi yang sangat bermanfaat bagi mahasiswa. Meski demikian buku ini juga layak dibaca oleh perawat cirtical care juga dosen-dosen dengan konsentrasi medical bedah.
Tidak berlebihan kiranya jika penulis bisa katakan karya seperti ini masih langka.
Membaca buku ini tidak ubahnya memberikan nuansa baru bagi dunia keperawatan patient safety khususnya di unit critical care. Hadirnya buku ini juga diharapkan bisa menyegarkan kembali makna patient safety dalam dunia keperawatan khususnya di rumah sakit yang lebih luas, seluas dinamika perkembangan ilmu keperawatan itu sendiri.
Bagaimanapun sebagai penulis kami menyadari masih banyak kekurangan yang perlu dibenahi dalam buku ini. Terima kasih kami sampaikan yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah banyak membantu hingga terbitnya buku ini. Dukungan, kritik dan saran selalu kami hargai dan terima demi kesempurnaan buku ini di masa mendatang.
Wassalam, Nabire, 1 Juli 2022 Sukatemin, M.Kep
10 DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
UCAPAN TERIMA KASIH TESTIMONI
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR BAB 1. PENDAHULUAN
A. Latar belakang B. Tujuan
C. Trend dan Isu Patient safety
D. Upaya-upaya Patient Safety di Unit Critical Care
BAB 2. KONSEP DASAR MANAJEMEN PATIENT SAFETY A. Paradigma pelayanan Kesehatan
B. Falsafah Pelayanan Kesehatan C. Peran perawat
D. Etik dan hukum
BAB 3. STANDAR DAN SASARAN PATIENT SAFETY A. Global Safety Plan (Perencanaan Keselamatan) B. Sasaran
C. Implementasi Patient Safety
BAB 4. MANAJEMEN DASAR PATIENT SAFETY DI CRITICAL CARE A. Identifikasi Pasien
B. Budaya Patient Safety di Unit C. Isu Patient Safety di Critical Care
D. Infection Control di Critical Care (Pengendalian Infeksi) E. Isolasi Pasien
F. Keamanan Obat G. Pasien Jatuh H. Transfusi Darah
I. Pencegahan Luka Tekan (Dekubitus)
BAB 5. MANAJEMEN RISIKO PATIENT SAFETY A. Patient Safety di Unit Gawat Darurat
B. Patient Safety di Kamar Operasi
11 C. Patient Safety di ICU
D. Kejadian-Kejadian Yang Tidak Diinginkan BAB 6. PENCATATAN DAN PELAPORAN INSIDEN
A. Pengertian dan Tujuan B. Alur Pencatan
C. Pelaporan Insiden
BAB 7. MONITORING DAN EVALUASI PATIENT SAFETY A. Mekanisme monitoring dan Evaluasi
B. Instrumen Monitoring dan Evaluasi PENUTUP
GLOSARIUM
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
A. Soal-soal Uji Kompetensi
B. PERMENKES tentang Patient Safety TENTANG PENULIS
12 DAFTAR GAMBAR
Gambar 1: Patient Safety membutuhkan kerjasama Gambar 2: Sasaran Patient Safety
Gambar 3: Alur Budaya Keselamatan (Safety Culture) Gambar 4: Universal Precaution
Gambar 5: Alat Pelindung Diri (APD) Gambar 6: Injeksi yang aman
Gambar 7: Gaun Isolasi
Gambar 8: Alur Skrining Pasien Jatun Gambar 9: Risiko Lokasi Fisik Dekubitus
13
BAB 1
PENDAHULUAN
14 BAB 1. PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Patient safety merupakan salah satu unsur paling penting dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan khususnya di Rumah Sakit (RS) (Putri et al., 2018). Patient safety adalah bentuk implementasi kompetensi tenaga kesehatan. Dari sisi keperawatan terwujudnya patient safety, merupakan bentuk realisasi ketersediaan sarana dan prasarana layanan serta sistem manajeman dan administrasi dalam siklus pelayanan keperawatan terhadap pasien di berbagai fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes). Ini semua karena patient safety adalah bagian dari kebutuhan dasar manusia (Tutiany et al., 2017).
Keselamatan pasien ini sangat penting dalam pelayanan kesehatan, yang bisa dikatakan bahwa keselamatan merupakan tanggung jawab penyedia pelayanan kesehatan.
Di RS, patient safety dijadikan prioritas dalam pelayanan dan menjadi tuntutan kebutuhan dalam pelayanan kesehatan. Sayangnya saat ini patient safety ini masih belum membudaya dalam pelayanan kesehatan. Ini terbukti dengan masih banyaknya kasus seperti malpraktik, kecelakaan, insiden, diskriminasi,dan lainnya (Napirah et al., 2019). Sebagai fasyankes RS memiliki peranan penting dalam mewujudkan derajat kesehatan masyarakat secara optimal.
Manajemen rumah sakit beserta seluruh jajaran stafnya dituntut mampu mengelola kegiatannya dengan mengutamakan pada tanggung jawab para professional di bidang kesehatan, khususnya tenaga medis dan tenaga keperawatan dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Perawat yang melakukan kelalaian misalnya dapat disebut melakukan malpraktik. Malpraktik yang dilakukan oleh perawat dapat berupa malpraktik di bidang keperawatan atau medis yang didelegasikan (Mulyana, 2013). Di sinilah terlihat betapa pentingnya peranan patient safety bagi tenaga kesehatan secara umum dan perawat khususnya di pusat-pusat layanan kesehatan. Kepentingan tersebut terlihat dengan maraknya sistem akreditasi selama sepuluh tahun terakhir (Pinontoan et al., 2020).
Dalam sistem akreditasi yang baru, terdapat empat kelompok, yaitu Standar Pelayanan yang berfokus pada Pasien, Standar Manajemen Rumah Sakit; Sasaran Patient safety Rumah Sakit dan Sasaran MDGs (Millenium Development Goals) (Pinontoan et al., 2020).
Dengan dimasukkannya prinsip-prinsip Patient safety ke dalam Sistem Akreditasi RS yang baru, diharapkan semua tujuan dari Program Patient safety di RS, beserta seluruh unsur yang termasuk di dalamnya, dapat diterapkan di seluruh RS di Indonesia, mengingat akreditasi telah diwajibkan bagi rumah sakit sesuai amanah Undang-undang Nomor 44/2009 tentang Rumah Sakit (SNARS, 2018).
15 B. Tujuan
Tujuan utama pengembangan program patient safety di pusat-pusat layanan kesehatan adalah adalah terciptanya budaya patient safety, meningkatnya akuntabilitas fasyankes terhadap pasien dan masyarakat, menurunnya kejadian tidak diharapkan (KTD), serta terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan kejadian tidak diharapkan.
C. Trend dan Isu Patient safety
Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) patient safety merupakan suatu komponen paling mendasar dalam perawatan kesehatan. Inilah yang menempatkan patient safety sebagai bagian yang membutuhkan perhatian, khususnya keselamatan pasien di RS sebagai fasyankes terbesar (BPPSDM, 2016). Perihal tersebut diungkap untuk pertama kalinya oleh Institute of Medicine (IOM) pada tahun 2000 yang didasari pada laporan berjudul To Err Is Human: Building a Safer Health System. Laporan tersebut menyatakan bahwa Amerika Serikat mengalami 98.000 kasus kematian akibat kesalahan medis yang dapat dicegah (S.
citra Budi et al., 2017). James (2013) dalam penelitiannya menyatakan bahwa diperkirakan lebih dari 40.000 kasus kematian per tahun disebabkan oleh cedera yang sebenarnya bisa dicegah. Hasil penelitian yang dilakukan di beberapa rumah sakit terakreditasi Joint Commision International (JCI) dalam Buhari (2018), ditemukan 52 insiden pada 11 rumah sakit di 5 negara. Kasus tertinggi berada di Hongkong dengan total 31% kasus, disusul Australia 25% kasus, India 23% kasus, Amerika 12% kasus, dan Kanada 10% kasus, 4 di Brazil terdapat sekitar 7.6% kasus. Insiden keselamatan pasien yang terjadi di Indonesia berdasarkan hasil laporan Daud (2020) diketahui bahwa terdapat 7.465 kasus pada tahun 2019, yang terdiri dari 171 kematian, 80 cedera berat, 372 cedera sedang, 1183 cedera ringan, dan 5659 tidak ada cedera.
Tingginya angka Insiden Keselamatan Pasien (IKP) di beberapa negara menjadikan identifikasi risiko merupakan suatu hal yang sangat penting. Menurut Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (2015) salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi risiko yaitu melalui pengembangan sistem pelaporan dan analisis (Putri et al., 2018). Hal tersebut dilakukan sebagai sarana dalam memantau upaya pencegahan terjadinya error, sehingga dapat dilakukan investigasi lebih lanjut. Selain itu, dengan adanya pelaporan keselamatan pasien, dapat menekan kesalahan yang sama terulang kembali (Larasati &
Inge Dhamanti, 2021). Tanpa adanya pelaporan terhadap insiden keselamatan pasien, menyebabkan lebih banyak beban yang diterima oleh individu, keluarga, maupun masyarakat secara sosial dan ekonomi akibat kematian dan ketidakmampuan mencegah insiden.
16 Rendahnya pelaporan insiden patient safety yang masih terjadi di RS, membuat banyak peneliti tertarik untuk mengetahui faktor yang menghambat atau mempengaruhi pelaporan insiden tersebut. Dengan mengetahui faktor-faktor penghambat atau penyebab rendahnya pelaporan insiden, diharapkan dapat membantu meningkatkan angka keselamatan pasien, mengurangi terjadinya kesalahan dan memberikan gambaran kepada pemangku kepentingan/jabatan dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan terkait patient safety.
Hasil review terhadap berbagai literatur di dunia menunjukkan bahwa RS memiliki berbagai faktor yang dapat menghambat atau mempengaruhi pelaporan masalah patient safety serta berbagai insidennya. Hambatan yang paling sering dijumpai adalah hambatan yang berasal dari individu tenaga kesehatan. Kemudian disusul hambatan yang berasal dari lembaga atau organisasi. Ada juga hambatan yang berasal dari faktor pemerintah (Habibah
& Dhamanti, 2021; Larasati & Inge Dhamanti, 2021). Hasil penelitian yang dilakukan Mauti & Githae (2019) di Entebe dan Kisubi Hospital, Uganda, Afrika Timur, menunjukkan bahwa undang-undang tidak melindungi petugas kesehatan yang melaporkan kesalahan medis.
Latar belakang di atas membuktikan bahwa faktor-faktor terbesar yang berpengaruh implementasi patient safety di fasyankes terbagi dalam 3 kategori yaitu faktor individu, faktor organisasi, dan faktor pemerintah. Faktor individu bisa berkaitan dengan unsur internal misalnya ketakutan akan hukuman dan intimidasi, tingkat pendidikan, minimnya pengetahuan staf dalam melaporkan insiden, kecenderungan staf dalam menghindari konflik, kelupaan karena beban kerja yang terlalu tinggi, serta anggapan bahwa pelaporan insiden teman sejawat itu berada di luar tanggung jawab individu. Sementara faktor organisasi bisa berupa rendahnya umpan balik yang positif terhadap insiden, belum dibudayakannya patient safety atau tidak pernah dilakukannya penyelidikan penyebab masalah patient safety. Di samping itu berkaitan dengan sistem pelaporan yang terlalu rumit dan kurang adanya dukungan manajer, kurang diberikannya sosialisasi, dan minimnya pelatihan patient safety terhadap staf, serta adanya anggapa bahwa adanya staf tidak kompeten yang menangani keselamatan pasien. Faktor berikutnya bisa dari pemegang kebijakan di pemerintahan yang berkaitan dengan tidak adanya undang-undang yang melindungi petugas kesehatan yang jelas tentang patient safety dan perlindungan terhadap pelaku tindakan/prosedur medis atau keperawatan.
Komponen-komponen yang disebut merupakan gambaran trend yang hingga saat ini masih berlangsung di banyak negara yang perlu mendapatkan perhatian serius bagi profesi keperawatan.
17 D. Upaya-upaya Patient Safety di Unit Critical Care
Saat ini unit perawatan intensif (ICU) sangat rentan terhadap kesalahan medis karena pasien memerlukan pemantauan terus menerus. Program patient safety yang mendorong peningkatan untuk pasien perawatan kritis dapat dikategorikan ke dalam 4 domain umum:
(1) memastikan kepatuhan terhadap peraturan keselamatan pasien; (2) menanggapi kejadian buruk dengan melakukan analisis akar penyebab dan menerapkan tindakan korektif yang ditargetkan; (3) menerapkan strategi pengurangan risiko berbasis bukti yang tidak diwajibkan oleh peraturan, tetapi dianggap sebagai praktik terbaik; dan (4) menerapkan strategi untuk memenuhi dan melampaui metrik keselamatan pasien yang dilaporkan kepada publik atau dikaitkan dengan program bayar-untuk-kinerja (SNARS, 2018).
Kedua, meningkatnya upaya kualitas pelayanan dalam bentuk akreditasi, fasyankes berusaha mencegah kesalahan prosedur pelayanan terhadap pasien dengan berbagai upaya misalnya penyediaan standard operating procedures (SOP) yang jelas, pemberian pelatihan yang berkelanjutkan, memperluas budaya keselamatan dan lain-lain. Tidak terkecuali dalam hal memberikan obat dan produk darah, saat mengumpulkan spesimen laboratorium dan melakukan tes pencitraan, serta saat melakukan prosedur perawatan. Meskipun demikian, di tengah upaya berbenah tersebut sebagian besar efek samping tidak pernah dilaporkan, oleh karena itu tidak dapat ditangani. Ketika terjadi insiden yang serius pada pasien perawatan kritis (di critical care unit), penyelidikan sistematis dari kejadian tersebut, yang disebut analisis akar penyebab, mestinya harus diselesaikan oleh tim interdisipliner yang memiliki keahlian di bidang yang terlibat dalam kejadian tersebut.
Ketiga, menurut konsep Just Culture, fokus utama dari investigasi kejadian buruk harus pada potensi kegagalan sistem yang menyebabkan kesalahan, bukan hanya menyalahkan penyedia yang terlibat dalam kesalahan (Tlili et al., 2022). Pelatihan tim merupakan pendekatan yang mapan untuk mencegah kesalahan dalam industri berisiko tinggi seperti militer dan industri penerbangan, dan sekarang diterapkan pada industri medis. Upaya patient safety seperti ini patut digalakkan. Simulasi juga merupakan strategi baru yang mulai banyak dilakukan pada event-event seminar dan workshop terkait patient safety yang menjanjikan peningkatkan keselamatan pasien. Mirip dengan simulator penerbangan yang digunakan oleh industri penerbangan, simulator perawatan kesehatan memungkinkan penyedia untuk mempelajari prosedur atau protokol menggunakan manekin berteknologi tinggi daripada pasien hidup .
Keempat yang tidak kalah pentingnya adalah persoalan remunerasi yang patut diperhatikan sebagai pendekatan baru untuk mendorong perbaikan dalam perawatan medis dengan menggunakan insentif keuangan untuk menghargai rumah sakit yang berkinerja baik pada langkah-langkah keamanan dan kualitas yang telah ditetapkan sebelumnya. Tenaga
18 kesehatan, khususnya keperawatan di unit critical care di rumah sakit-rumah sakit internasional memperoleh insentif yang lebih baik.
Pada intinya upaya-upaya yang terkait patient safety di critical care mengedepankan mereka yang ingin memimpin dalam patient safety kini terinovasi dengan pendekatan baru untuk mencegah kesalahan, dan mempelajari pendekatan ini menggunakan metodologi penelitian yang ketat.
Gambar 1: Patient Safety membutuhkan kerjasama Sumber: RSUD Cilacap
19
BAB 2
KONSEP DASAR MANAJEMEN
PATIENT SAFETY
20 BAB 2
KONSEP DASAR MANAJEMEN PATIENT SAFETY A. Paradigma pelayanan Kesehatan
Konsep dasar adalah sebuah pemikiran awal yang mana akan dijadikan pedoman dan dikembangkan dalam pembentukan pengetahuan. Konsep dasar diperlukan karena digunakan sebagai pemikiran awal agar dikembangkan menjadi suatu invoasi di berbagai bidang ilmiah atau di kehidupan secara umum. Pelayanan kesehatan di era ini mengalami perubahan sesuai dengan pengaruh situasi global, kemajuan pesat di bidang informasi dan teknologi, serta tingginya mobilitas penduduk dunia (WHO, 2020). Perubahan ini berpengaruh besar terhadap pelayanan kesehatan yang juga terdampak dengan menghadapi berbagai tantangan, yaitu:
- Pola penyakit yang berubah,
- Perubahan proporsi populasi dan demografi,
- Disparitas pelayanan kesehatan dan tuntutan masyarakat (Pinzon & Merry, 2017).
Perubahan ini digunakan sebagai salah satu konsep dasar dalam pengembagan layanan kesehatan. Di Indonesia perubahan sistem pelayanan kesehatan dimulai sejak tahun 2014 dengan diberlakukannya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang berandil besar dalam perubahan pola pemberian pelayanan kesehatan yang cukup bermakna. Situasi global dan nasional tersebut membuat para penyedia layanan kesehatan tidak dapat lagi menggunakan pendekatan lama dalam memenuhi kebutuhan masyarakat (Wiseman et al., 2018).
Petugas kesehatan secara umum saat ini harus mampu beradaptasi dengan perubahan teknologi kesehatan yang cepat, digitalisasi pelayanan kesehatan dalam bentuk rekam medik elektronik, mampu berkolaborasi dan bekerja dalam satu tim baik local maupun regional, dan tetap menunjukkan rasa belas kasih (compassion) dalam melayani pasien sehari-hari. Mereka dituntut untuk mampu mengubah paradigma pelayanan dari fee for services menjadi prospective payment system di era JKN. Perawat misalnya harus terbiasa pula dengan perubahan pola rujukan dan rujuk balik di era JKN (Wiseman et al., 2018).
Pada pelayanan di RS perubahan paradigma pelayanan kesehatan akan memberi ruang yang luas bagi RS rujukan untuk benar-benar fokus pada pelayanan kasus spesialistik dan mengembangkan pusat-pusat pelayanan unggulan dalam bentuk center of excellence dan one stop services (Suprapto & Malik, 2019). Unit-unit unggulan tersebut tidak hanya mumpuni dalam bidang pelayanan, namun juga unggul dalam bidang penelitian dan inovasi tatalaksana penyakit. Perubahan situasi yang signifikan itulah yang seharusnya ditangkap oleh lembaga-lembaga pendidikan kesehatan termasuk kampus-kampus keperawatan di mana mereka dituntut mampu mewarnai kurikulum dan aktivitas akademiknya. Fakultas keperawatan saat ini misalnya, tidak hanya diharapkan mampu untuk menghasilkan lulusan dengan nilai akademik dan keterampilan klinis tinggi, namun juga harus siap dan mampu beradaptasi dengan perubahan paradigma dan tantangan dalam pelayanan kesehatan baik
21 lokal maupun global (Tukayo et al., 2021).
Akan halnya hak mendapatkan layanan kesehatan, sebagai sebuah paradigma baru di Indonesia, saat ini setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan akses pelayanan kesehatan yang berkualitas, aman, dan juga terjangkau (Widjajarta, 2011). Oleh karenanya Pemerintah tengah berupaya untuk melakukan pembenahan dengan meningkatkan akses pelayanan kesehatan masyarakat melalui pengadakan program Jaminan Kesehatan Nasional yang sudah diselenggarakan sejak Januari 2014. Akibat peningkatan akses pelayanan kesehatan ini terjadi peningkatan kunjungan pasien di fasilitas kesehatan, termasuk di rumah sakit (Wardani, 2017). Hal ini menyebabkan pelayanan kurang optimal, ditunjukkan dengan ketidakpuasan pasien di era Jaminan Kesehatan Nasional. Padahal, pelayanan kesehatan yang telah diberikan di era Jaminan Kesehatan Nasional dituntut untuk tetap berkualitas.
Banyak penelitian terdahulu yang menggambarkan bagaimana konsep pelayanan kesehatan yang berkualitas (Hermes et al., 2020; Orhan & Serin, 2019; Widayati et al., 2015). Konsep tersebut meliputi infrastruktur, kualitas personel, proses pelayanan klinis, proses administrasi, keamanan, kepercayaan terhadap pelayanan kesehatan, serta akses. Kepuasan timbul akibat kesesuaian antara pelayanan yang disajikan dan harapan pasien. Saat ini, pelayanan kesehatan yang berkualitas merupakan pelayanan yang mengacu pada preferensi, ekspektasi, dan juga kebutuhan pasien (Vera Wilis Sedayu & Mar’atus, 2020). Pandangan pasien mengenai apa yang penting bagi mereka tentang pelayanan kesehatan merupakan aspek yang penting dalam pelayanan kesehatan, termasuk komponen patient safety dalam pelayanan. Ekspektasi pasien terhadap poin tersebut merupakan harapan pasien atas pelayanan kesehatan yang diterimanya. Dengan mengukur ekspektasi pasien pada patient safety, pelayanan yang diberikan dapat memenuhi harapan pasien. Maka dari itu, perlu dilakukan suatu eksplorasi mengenai ekspektasi pasien pelayanan kesehatan yang berkualitas pada aspek patient safety ini (Widayati et al., 2015).
B. Falsafah Pelayanan Kesehatan
Kementerian Kesehatan melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2016 tentang SPM Bidang Kesehatan yang memuat 12 jenis pelayanan dasar yang harus dilakukan Pemerintah Kabupaten/Kota, yaitu: 1) Pelayanan kesehatan ibu hamil sesuai standar pelayanan antenatal; 2) Pelayanan kesehatan ibu bersalin; 3) Pelayanan kesehatan bayi baru lahir; 4) Pelayanan Kesehatan Balita; 5) Pelayanan kesehatan pada usia pendidikan dasar; 6) Pelayanan kesehatan pada usia produktif; 7) Pelayanan kesehatan pada usia lanjut; 8) Pelayanan kesehatan penderita hipertensi; 9) Pelayanan Kesehatan Penderita Diabetes Mellitus; 10) Pelayanan Kesehatan Orang dengan Gangguan Jiwa Berat; 11) Pelayanan Kesehatan Orang dengan Tuberkulosis (TB); dan 12) Pelayanan Kesehatan Orang dengan Risiko Terinfeksi HIV (Kemenkes, 2019).
Menurut UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Kesehatan adalah satu dari
22 enam urusan concurrent (bersama) yang bersifat wajib dan terkait dengan pelayanan dasar.
Enam urusan tersebut adalah:
(1) Pendidikan;
(2) Kesehatan;
(3) Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang;
(4) Perumahan Rakyat dan Kawasan Pemukiman;
(5) Ketentraman dan ketertiban Umum serta Perlindungan Masyarakat; dan (6) Sosial.
Lantaran kondisi kemampuan sumber daya Pemerintah Daerah di seluruh Indonesia tidak sama dalam melaksanakan keenam urusan tersebut, maka pelaksanaan urusan tersebut diatur dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM) guna memastikan ketersediaan layanan tersebut bagi seluruh warga negara. SPM sekurangnya mempunyai dua fungsi yaitu
a. Memfasilitasi Pemerintah Daerah untuk melakukan pelayanan publik yang tepat bagi masyarakat; dan
b. Sebagai instrumen bagi masyarakat dalam melakukan kontrol terhadap kinerja pemerintah di bidang pelayanan publik. Inilah dasar falsafah pelayanan kesehatan, yakni terciptanya pemerataan pelayanan kesehatan bukan hanya tersentra pada pusat, akan tetapi menjangkau ke daerah-daerah terpencil (Suprapto & Malik, 2019).
SPM adalah ketentuan mengenai jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan pemerintahan wajib yang berhak diperoleh setiap warga negara secara minimal. SPM dengan konsep baru ini mengalami perubahan yang cukup mendasar dari konsep SPM sebelumnya (Handayani et al., 2019). Bila pada SPM yang lalu pencapaian target-target SPM lebih merupakan kinerja program, pada SPM ini pencapaian target-target tersebut lebih diarahkan kepada kinerja Pemerintah Daerah. Pencapaian target SPM, bersama-sama dengan program prioritas lain menjadi indikator apakah kinerja Kepala Daerah dinilai baik atau tidak yang telah diatur dalam UU 23 Tahun 2014 maka ada konsekuensi tertentu atas tercapai/tidaknya indikator-indikator ini (Aan, 2014).
Berbeda dengan SPM Bidang Kesehatan sebelumnya, di mana pada SPM Bidang Kesehatan sebelumnya terdapat 18 Indikator SPM Bidang Kesehatan yang sebagian besar dari 18 Indikator tersebut merupakan indikator terkait Kesehatan Ibu dan Anak. Pada SPM Bidang Kesehatan yang baru, 12 Indikator SPM Bidang Kesehatan tersebut telah mencerminkan life cycle dengan mengkedepankan continuum of care (Ministry of Health, 2020). Penanganan Kesehatan dari semua tahapan kehidupan mulai dari dalam kandungan hingga usia lanjut dijamin untuk mendapatkan pelayanan minimal bidang kesehatan.
Prinsip Dasar SPM Bidang Kesehatan:
1) Kesehatan merupakan kebutuhan dasar bagi setiap manusia;
2) Pemenuhan kebutuhan dasar dapat dipenuhi sendiri oleh warga negara, atau oleh
23 pemerintah daerah;
3) Merupakan pelayanan dasar yang menjadi kewenangan daerah;
4) Merupakan kewajiban bagi pemerintah daerah untuk menjamin setiap warga negara memperoleh kebutuhan dasarnya; serta
5) berlaku secara nasional (Peraturan Kemenkes No. 4 Th 2019 Tentang Standar Teknis Pemenuhan Mutu Pelayanan Dasar Pada Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan, 2019).
Konsep SPM yang baru ini mengalami perubahan yang cukup mendasar dari konsep SPM sebelumnya. Pada SPM yang lalu pencapaian target-target SPM lebih merupakan kinerja program kesehatan maka pada SPM ini pencapaian target-target tersebut lebih diarahkan kepada kewenangan Pemerintah Daerah.
UU 23 Tahun 2014 merupakan bagian dari implementasi falsafah pelayanan kesehatan dengan mengamanatkan pada Pemerintah Daerah untuk benar-benar memprioritaskan belanja daerah untuk mendanai urusan pemerintahan wajib yang terkait pelayanan dasar yang ditetapkan dengan SPM (pasal 298). Konsep SPM berubah dari Kinerja Program Kementerian menjadi Kinerja Pemerintah Daerah yang memiliki konsekuensi reward dan punishment, sehingga Pemerintah Daerah diharapkan untuk memastikan tersedianya sumber daya (sarana, prasarana, alat, tenaga dan uang/biaya) yang cukup agar proses penerapan SPM berjalan adekuat. SPM merupakan hal minimal yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah untuk rakyatnya, maka target SPM harus 100%
setiap tahunnya.
C. Peran perawat
Salah satu masalah umum yang terjadi dalam pemberian pelayanan di bidang kesehatan adalah masalah yang berkaitan dengan keselamatan pasien utamanya dalam koridor keperawatan sebagai profesi terbesar di sektor pelayanan kesehatan (Kjellstrom et al., 2016). Patient Safety atau keselamatan pasien adalah suatu sistem yang membuat asuhan pasien di rumah sakit menjadi lebih aman dan nyaman (Larasati & Inge Dhamanti, 2021).
Keselamatan pasien merupakan tanggung jawab semua pihak yang berkaitan dengan pemberi pelayanan kesehatan. Patient safety menjadi prioritas utama dalam layanan kesehatan dan merupakan langkah kritis pertama untuk memperbaiki kualitas pelayanan serta berkaitan dengan mutu dan citra rumah sakit (Widayati et al., 2015).
Perawat sebagai ujung tombak pemberi pelayanan kesehatan merupakan hal yang penting untuk dikaji dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
Kinerja yang baik merupakan jembatan dalam menjawab kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan terhadap pasien baik yang sakit maupun yang sehat (Wirentanus, 2019).
Perawat harus sadar akan perannya sehingga dapat secara aktif ikut berpartisipasi untuk mewujudkan keselamatan pasien. Hal ini juga tidak akan mencapai optimal jika hanya dengan kerja keras dari perawat saja, namun didukung dengan sarana prasarana,
24 manajemen rumah sakit dan tenaga kesehatan lainnya. Joint Comission International (JCI) membagi beberapa sasaran keselamatan pasien yaitu komponen identifikasi pasien, komponen penggunaan komunikasi efektif, komponen pemakaian obat dengan kewaspadaan tinggi, komponen ketepatan lokasi operasi, prosedur dan pasien yang akan dibedah, komponen mengurangi resiko terinfeksi, komponen menilai resiko pasien jatuh (International, 2012).
Selama tiga dekade terakhir, perkembangan jumlah lemabaga pendidikan keperawatan di Indonesia sangat pesat (Hardy et al., 2021). Pesatnya peningkatan instusi pendidikan ini menyusul bertambahnya kebutuhan pelayanan kesehatan menuntut perawat saat ini memiliki pengetahuan dan keterampilan di berbagai bidang. Perawat memiliki peran yang lebih luas dengan penekanan pada peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit, juga memandang klien secara komprehensif. Peran dan wewenang perawat dalam menjalankan tugasnya berdasarkan ketentuan undang-undang nomor 38 tahun 2014 tentang keperawatan.
Adapun kewenangan perawat, berdasarkan pasal 30 ayat (1) undang-undang nomor 38 tahun 2014 bahwa perawat menjalankan tugas sebagai pemberi asuhan keperawatan di bidang upaya kesehatan perorangan, perawat berwenang
a) melakukan pengkajian keperawatan secara holistik.
b) menetapkan diagnosis keperawatan.
c) merencanakan tindakan keperawatan. melaksanakan tindakan keperawatan.
e) mengevaluasi hasil tindakan keperawatan dan seterusnya yang berdasarkan kenyataan masih belum terimplementasi dengan baik (Kemenkes, 2014a).
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 647/MENKES/SK/IV/2000 tentang ketentuan umum, pada Pasal 1 ayat 1 menyatakan: “perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Dengan demikian perawat memiliki peran dan fungsi dalam melaksanakan profesinya yang secara aktif dalam mendidik dan melatih pasien dalam kemandirian dalam hidup sehat. Dalam Surat Keputusan Menteri Negara Perdagangan Aparatur Negara Nomor 94/MENPAN/1986, tanggal 4 November 1986 menyatakan bahwa “tenaga perawat adalah pegawai negeri sipil yang berijazah perawatan yang diberi tugas secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan pelayanan kesehatan kepada masyarakat pada unit pelayanan kesehatan (rumah sakit, puskesmas dan unit pelayanan kesehatan lainnya).
Peran Perawat sebagai Pelaksana Keselamatan pasien Perawat sebagai tenaga kesehatan yang profesional dan merupakan tenaga kesehatan terbesar yang ada di rumah sakit mempunyai peranan yang sangat penting dalam mewujudkan keselamatan pasien (Abdul Rahman et al., 2015). Perawat berperan dalam melindungi, melakukan promosi dan mencegah terjadinya sakit dan injury, mengurangi penderitaan melalui diagnosa dan pengobatan, serta melindungi dalam perawatan individu, keluarga, komunitas dan populasi Keselamatan pasien di rumah sakit sangat erat hubungannya dengan profesionalisme tenaga
25 medis yang terkait, seperti dokter, perawat, bidan, radiologist, dsb (Huang et al., 2020).
Profesionalisme di sini dapat ditunjukkan dengan 3 hal yang penting yaitu knowledge, skill, dan attitude para tenaga medis tersebut. Perawat yang mengemban beban kerja terlalu tinggi dilaporkan misalnya lebih sering melakukan kesalahan dan mengalami kejadian di mana pasien bisa jatuh pada saat mereka berdinas (Kustriyani & Mariyati, 2020). Ada kemungkinan beban kerja yang berat telah mengubah perilaku perawat dari yang sebelumnya berperilaku aman menjadi perilaku tidak aman. Hal tersebut dapat mempengaruhi keselamatan pasien. Sehingga perilaku tidak aman tadi dapat menyebabkan perawat tersebut melakukan kesalahan
Perawat mempunyai peranan yang sangat penting dalam mewujudkan Patient safety di rumah sakit yaitu (Larasati & Inge Dhamanti, 2021):
- sebagai pemberi pelayanan keperawatan, perawat harus mematuhi semua standar pelayanan dan SOP yang telah dibuat dan ditetapkan oleh rumah sakit serta tidak luput pula dalam menerpkan prinsip-prinsip etik dalam pemberian pelayanan keperawatan,
- memberikan pendidikan kepada pasien dan keluarga tentang asuhan yang diberikan, menerapkan kerjasama tim kesehatan yang handal dalam melakukan penyelesaian masalah terhadap kejadian yang tidak diharapkan, melakukan pendokumentasian dengan benar dari semua asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien dan keluarga
- serta komunikasi efektif yang merupakan hal yang sangat berperan terhadap keberhasilan suatau pelayanan yang diberikan kepada pasien dan keluarganya.
Peran perawat dalam memberikan keselamatan pasien di rumah sakit (patient safety) dapat dilakukan dengan cara berikut :
- Perawat dapat melakukan hal yang berkaitan dalam 7 Standar Keselamatan Pasien (mengacu pada “Hospital Patient Safety Standards” yang dikeluarkan oleh Joint Commision on Accreditation of Health Organizations, Illinois, USA, tahun 2002) ,yaitu:
1. Perawat memberikan edukasi kepada pasien dan keluarganya agarmendapatkan informasi tentang rencana dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya KTD (Kejadian Tidak Diharapkan).
2. Perawat memberikan pengarahan, perencanaan pelayanan kesehatan pada pasien dan keluarga mengenai keselamatan pasien.
3. Menjaga keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan.
4. Menggunaan metode-metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien.
5. Menerapkan peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien 6. Menerima pendidikan tentang keselamatan pasien
7. Menjaga komunikasi sebagai kunci bagi perawat untuk mencapai keselamatan
26 pasien.
8. Dan setiap setiap perawat mempunyai tanggung jawab melakukan : Assesment (Pengkajian) : Status kesehatan pasien saat ini dan masa lalu serta potensi resiko (keselamatan pasien). Diagnosa : menetapkan diagnosa/ masalah keperawatan.
Planning : Rencana asuhan keperawatan. Implementation : Pelaksanaan asuhan sesuai rencana Evaluation : evaluasi terhadap respon pasien dan outcome
D. Etik dan hukum
Dalam penerapan program keselamatan pasien terdapat beberapa aspek yang mempengaruhi berjalannya program penerapan keselamatan pasien. Aspek-aspek tersebut antara lain: iklim organisasi, tingkat pengetahuan, komunikasi, etika dan hukum. Budaya keselamatan pasien akan tercipta apabila tenaga kesehatan memiliki pemimpin yang bersedia bekerja sama demi terlaksananya patient safety dengan menerapkan etika dan hukum sebagai acuanya. Dalam bahasa Inggris etika disebut sebagai ‘Ethics’ yaitu segala tindakan yang harus dilakukan oleh manusia sesuai dengan moral pada umumnya. Etika menjadi pedoman bagi seseorang atau kelompok untuk perilaku dan perbuatan. Sedangkan hukum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah. Hukum juga dapat diartikan sebagai undang-undang, peraturan, dan sebagainya guna mengatur pergaulan hidup masyarakat.
Etika sangatlah penting karena akan menyangkut tentang prosedur dalam melaksanakan asuhan keperawatan atau melaksanakan tugas dalam melayani kesehatan dengan penekanan padan patient safety (Husnah, 2019). Dalam pelayanan kesehatan perawat harus sesuai dengan kode etik dan hukum kesehatan. Hal ini untuk menghindari atau mengurangi praduga terjadinya malpraktik. Saat ini terjadi penurunan kualitas pelayanan kesehatan yang bisa berakibat pada terjadinya penurunan upaya keselamatan dalam keperawatan hampir di semua negara. Oleh karena itu dalam melaksanakan program patient safety pihak manajemen rumah sakit harus melakukan planning yang baik untuk menyusun program patient safety. Karena meskipun perencanaan sudah dilaksanakan dengan liaik namun output dari program tersebut bisa saja kurang maksimal.
Undang – Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang RumahSakit Upaya kesehatan diselenggarakan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), Pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif), dan berkesinambungan. Upaya kesehatan ini bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi pasien khususnya dan masyarakat pada umumnya. Ketentuan tersebut terdapat pada Undang - Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Konten undang-undang tersebut sebagian besar berkaitan erat dengan pelayanan kesehatan serta tanggung jawab tenaga kesehatan terhadap rumah sakit.
Tanggung jawab tenaga kesehatan terhadap rumah sakit antara lain (Kemenkes, 2014b):
1. Mendedikasikan keahlian yang dimiliki sepenuhnya untuk pelayanan.
27 2. Melakukan pelayanan terhadap pasien dengan penuh tanggung jawab dan sesuai SOP
(Standar Operasional Prosedur).
3. Patuh terhadap peraturan yang berlaku di rumah sakit.
4. Menjaga rahasia medis pasien dalam nama baik Rumah Sakit.
Dalam hal ini, rumah sakit harus dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi seluruh tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan di rumah sakit melalui pembentukan berbagai perangkat aturan di rumah sakit yang mencakup: peraturan internal staf medis, standar prosedur operasional dan berbagai pedoman pelayanan kesehatan serta melalui penyediaan SDM (Sumber Daya Manusia) yang memiliki kompetensi dalam bidang medicolegal.
Perlindungan hukum bisa berarti perlindungan yang diberikan terhadap hukum agar tidak ditafsirkan berbeda dan tidak dicederai oleh aparat penegak hukum dan juga bisa berarti perlindungan yang diberikan oleh hukum terhadap sesuatu, termasuk pada pasien-pasien di setiap unit pelayanan kesehatan (Basuki, 2017). Hakikatnya setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari hukum.Dengan demikian hampir seluruh hubungan hukum harus mendapat perlindungan dari hukum. Perlindungan hukum dalam pelayanan kesehatan dan bagi rakyat terdiri dari: perlindungan hukum represif dan preventif (Syahrial, 2020). Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.
Perlindungan hukum preventif adalah perlindungan hukum yang bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sehingga upaya yang dilakukan lebih di fokuskan untuk meminimalis terjadinya masalah yang sekaligus untuk menghindari munculnya akibat dari suatu masalah.
Dalam implementasinya bentuk perlindungan preventif ini adalah dengan dibentuknya peraturan - peraturan perundang - undangan yang bersifat regulatif. Undang - Undang No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 4 setiap orang berhak atas kesehatan. Pasal lima (1) Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan. (2) Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. (3) Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggungjawab 39 menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya. Pasal 6 Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan. Pasal 7 Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggungjawab.
Pasal 8 Setiap orang yang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan Adapun bentuk perlindungan hukum terhadap pemberi pelayanan ditegaskan dalam: 1. Undang – Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan 40 UU kesehatan No. 36/2009 berfungsi sebagai
“payung hukum” mengacu pada tanggung jawab pemerintah pusat dan kemudian menentukan apa yang diharapkan pemerintah pusat dari pemerintah daerah. Ketentuan yang langsung
28 berkaitan dengan perlindungan terhadap tenaga kesehatan terdapat dalam Pasal 23 ayat (3) yang berbunyi “Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan wajib memiliki izin dari pemerintah”.Dalam pasal 23 di atas menjelaskan tenaga kesehatan dalam melakukan pelayanan kesehatan serta tugasnya, tenaga kesehatan harus memiliki izin praktik berupa SIK (Surat Izin Kerja) atau SIP (Surat Izin Praktik) dari pemerintah.
Intinya, penyelenggaraan upaya kesehatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan harus bertanggung jawab, memiliki etik dan moral yang tinggi, keahlian, dan kewenangan yang secara terus menerus harus ditingkatkan mutunya melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, sertifikasi, registrasi, perizinan, serta pembinaan, pengawasan, dan pemantauan agar penyelenggaraan upaya kesehatan memenuhi rasa keadilan dan perikemanusiaan serta sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan. Semua upaya ini dilakukan dengan mengedepankan etika dan hukum.
29
BAB 3
STANDAR DAN SASARAN PATIENT
SAFETY
30 BAB 3
STANDAR DAN SASARAN PATIENT SAFETY
Pelayanan kesehatan terdiri atas tiga bentuk yaitu primary health care (pelayaan kesehatan tingkat pertama), secondary health care (pelayanan kesehatan tingkat kedua), dan tertiary health care (pelayanan kesehatan tingkat ketiga) (Mahendradhata et al., 2012). Pelayanan kesehatan dasar dilakukan di puskesmas dan pelayanan kesehatan rujukan dilakukan di rumah sakit. Rumah sakit merupakan lembaga pelayanan kesehatan yang melaksanakan pelayanan kesehatan perorangan dengan cara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat. Pelayanan kesehatan paripurna diartikan sebagai bentuk pelayanan kesehatan yang terdiri dari promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif (Yusuf, 2012).
Pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu di rumah sakit adalah harapan dan tujuan pasien, petugas kesehatan dan pengelola rumah sakit. Semua bentuk pelayanan kesehatan tersebut tidak pernah lepas dari adanya risiko dan bahaya (Widiasih et al., 2021). Maka dari itu patient safety sangat penting dan perlu mendapatkan perhatian serius dari semua pihak (World Health Organization Regional Office for Europe, 2016). Baik pemegang kebijakan, pemilik fasyankes, petugas kesehatan hingga masyarakat sebagai pengguna dan juga stake holder lainnya.
Peran patient safety tampak jelas pada masa pandemi Covid-19 lalu, di mana pelayanan kesehatan dilaksanakan berdasarkan tujuan meningkatkan keselamatan pasien dan tenaga kesehatan yang ada (Victor Tseng, 2021). Pada masa pandemi covid-19 pelayanan kesehatan terutama pelayanan keselamatan pasien jauh berbeda dibandingkan pada masa sebelumnya. Rumah sakit sangat membutuhkan persiapan untuk prosedur tindakan kesehatan yang aman, dan perlu pengawasan yang ketat terkait dengan protokol kesehatan yang sesuai dengan standar.
Keselamatan pasien menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2017 tentang Keselamatan Pasien, harus dilaksanakan di semua fasilitas kesehatan (Habibah & Dhamanti, 2021). Ada banyak hal yang dimuat di dalamnya terkait standar dan sasaran keselamatan pasien. Di antaranya dari sisi keperawatan sebagai profesi kesehatan terbesar. Dalam Undang-Undang Keperawatan No. 38 Tahun 2014 Pasal 37 (b) disebutkan bahwa seorang perawat pada saat memberikan asuhan kepada pasien harus secara profesional sesuai dengan ketentuan yang ada seperti standar prosedur operasional, standar pelayanan keperawatan dan kode etik (Kemenkes, 2014a).
Pada intinya standard dan sasaran patient safety ini harus mengacu kepada standar internasional, atau nasional, merujuk pula pada undang-undang, peraturan menteri, hingga kebijakan pemerintah daerah. Semuanya demi kualitas pelayanan dan keselamatan kita bersama.
31 A. Global Safety Plan (Perencanaan Keselamatan) Menurut WHO
Kesehatan merupakan aspek penting dari hak asasi manusia (HAM). Semua manusia di muka bumi ini mempunyai hak kesehatan yang salah satunya adalah mendapatkan pelayanan kesehatan (Etheredge & Fabian, 2017). Kesehatan merupakan suatu kondisi di mana sejahtera secara fisik, jiwa, mental dan spiritual, yang perlu dilakukan perlindungan kepada setiap orang (World Health Organization, 2021). Pemerintah bertugas dan bertanggug jawab dalam upaya penyelenggaraan kesehatan yang menyeluruh kepada seluruh masyarakat.
Saat ini, kerugian pasien karena perawatan yang tidak aman adalah masalah besar, di samping tantangan kesehatan masyarakat global yang semakin meningkat serta beberapa faktor penyebab utama kematian dan kecacatan di seluruh dunia (Guerin & Sleet, 2020).
Risiko berbahaya pasien tersebut dapat dihindari di antaranya yang menyangkut patient safety. Insiden keselamatan pasien dapat menyebabkan kematian dan kecacatan, serta penderitaan bagi korban dan keluarganya (S. C. Budi et al., 2019). Untuk itu membutuhkan biaya keuangan dan ekonomi yang tinggi. Hanya saja, kendalanya sering terjadi penurunan kepercayaan dan kepercayaan publik terhadap sistem kesehatan ketika insiden tersebut dipublikasikan. Petugas kesehatan yang terlibat dalam insiden yang melibatkan kematian atau cedera pada pasien juga dapat menderita seumur hidup karena kerugian psikologis dan perasaan bersalah yang mendalam (S. citra Budi et al., 2017).
Manfaat memiliki strategi dan koordinasi pendekatan untuk keselamatan pasien antara lain adalah dengan menangani masalah umum penyebab kerusakan dan pendekatan untuk mencegahnya, yang telah diakui oleh pembuat kebijakan dan politik serta pemimpin kesehatan di seluruh dunia (Habibah & Dhamanti, 2021). Advokasi global dalam beberapa tahun terakhir telah memuncak yang diadopsi oleh Seventy-second World Health Assembly (pada 2019) dengan resolusi WHA72.6 pada "Global action on patient safety". Resolusi tersebut mendesak negara-negara anggota – dan, di mana organisasi integrasi ekonomi regional yang berlaku –untuk mengakui keselamatan pasien sebagai prioritas kesehatan dalam kesehatan kebijakan dan program sektoral untuk mencapai universal cakupan kesehatan (World Health Organization, 2021).
Majelis Kesehatan Dunia juga meminta Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk merumuskan rencana aksi keselamatan pasien global dan semua yang relevan dengan pemangku kepentingan. The Seventy-fourth World Health Assembly (tahun 2021) menyetujui Keputusan WHA74 (13) untuk mengadopsi Global Patient Safety Action Plan 2021–2030 dan meminta Direktur Jenderal untuk melaporkan kembali kemajuan dalam implementasi Global Patient Safety Action Plan (Rencana Aksi Keselamatan Pasien Global) 2021–2030 ke Majelis Kesehatan Dunia ke-76 di 2023) dan selanjutnya setiap dua tahun sampai 2031 (World Health Organization, 2021).
Seberapa besar masalah keperawatan yang tidak aman?
32 Patient safety adalah: “Kerangka kegiatan terorganisir yang menciptakan budaya, proses, prosedur, perilaku, teknologi dan lingkungan dalam keperawatan kesehatan yang menurunkan risiko secara konsisten dan berkelanjutan, mengurangi terjadinya bahaya yang dapat dihindari, membuat kemungkinan kesalahan lebih kecil serta mengurangi dampak bahaya ketika itu benar-benar terjadi” (Habeahan, 2018). Setiap tahun, banyak pasien terluka atau meninggal karena perawatan kesehatan yang tidak aman, menciptakan beban yang tinggi kematian dan kecacatan di seluruh dunia, terutama di negara dengan ekonomi rendah dan negara-negara berpenghasilan menengah (Butar, 2020). Rata-rata, diperkirakan satu dari 10 pasien mengalami efek samping sementara menerima perawatan rumah sakit, di negara-negara maju (Jha et al., 2013). Bukti menunjukkan bahwa 134 juta jiwa dirugikan karena keperawatan yang tidak aman terjadi di rumah sakit di negara berpenghasilan menengah, yang berkontribusi sekitar 2,6 juta kematian setiap tahun (World Health Organization, 2021). Menurut perkiraan baru-baru ini, biaya sosial dari kerugian pasien dapat bernilai US$ 1 triliun hingga 2 triliun per tahun.
Rencana aksi global menyediakan kerangka kerja melalui tujuh tujuan strategis dan selanjutnya dijelaskan melalui 35 strategi. Setiap strategi telah dioperasionalkan lebih lanjut menjadi tindakan yang disarankan bagi empat kelompok atau kategori kunci mitra yaitu:
pemerintah, fasilitas dan layanan kesehatan, memangku kepentingan dan Sekretariat WHO.
Tujuh tujuan strategis (Strategy Objectives atau SO) dari Pasien Global Rencana Aksi Keselamatan 2021–2030 adalah sebagai berikut.
- SO1: Jadikan nol bahaya yang dapat dihindari bagi pasien sebagai keadaan pikiran dan aturan keterlibatan dalam perencanaan dan pemberian keperawatan kesehatan di mana-mana.
- SO2: Membangun sistem kesehatan dengan keandalan organisas yang tinggi guna melindungi pasien setiap hari dari penyakit.
- SO3: Menjamin keamanan setiap proses klinis.
- SO4: Melibatkan dan memberdayakan pasien dan keluarga untuk membantu dan mendukung perjalanan menuju kesehatan yang lebih aman peduli.
- SO5: Menginspirasi, mendidik, melatih dan melindungi setiap kesehatan pekerja untuk berkontribusi pada desain dan pengiriman dari sistem perawatan yang aman.
- SO6: Memastikan aliran informasi yang konstan dan pengetahuan untuk mendorong mitigasi risiko, pengurangan dalam tingkat kerusakan dan perbaikan yang dapat dihindari dalam keselamatan perawatan.
- SO7: Mengembangkan dan mempertahankan multisektoral dan sinergi multinasional, kemitraan dan solidaritas untuk meningkatkan keselamatan dan kualitas pasien perawatan (World Health Organization, 2021).
B. Sasaran
Pusat layanan kesehatan termasuk rumah sakit adalah layanan jasa yang memiliki peran sangat penting bagi kehidupan masyarakat. Fasyankes adalah tempat yang sangat kompleks
33 yang terdapat berbagai macam obat, tes dan prosedur, banyak alat dengan teknologinya, berbagai jenis tenaga profesi dan non profesi yang siap memberikan pelayanan pasien selama 24 jam. Berbagai macam pelayanan tersebut apabila tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan risiko yang berakibat terhadap keselamatan pasien. Keselamatan pasien menjadi isu terkini dalam pelayanan kesehatan yang didasarkan atas makin meningkatnya kejadian yang tidak diharapkan (KTD) atau adverse event (Jha et al., 2013).
Adverse event adalah suatu peristiwa yang dapat menyebabkan hal yang tak terduga atau tidak diinginkan sehingga membahayakan keselamatan pengguna alat kesehatan termasuk pasien atau orang lain (Shojania & Van De Mheen, 2020). Klasifikasi adverse event antara lain berupa:
- kejadian nyaris cedera (KNC), - kejadian tidak cedera (KTC) dan
- sentinel (kematian atau cedera). Contoh dari KTD seperti medication error, flebitis, dekubitus, infeksi daerah operasi, dan pasien jatuh dengan cidera.
Gambar 2: Sasaran Patient Safety Sumber: Nanopdf..com
34 WHO (World Health Organitation) tahun 2004 mengumpulkan angka-angka penelitian rumah sakit di berbagai negara yaitu Amerika, Inggris, Denmark dan Australia dan ditemukan kejadian tidak diharapkan (KTD) dengan rentang 3,2% –16,6% dan angkanya semakin meningkat (Putri et al., 2018). Data tersebut menjadi pemicu di berbagai negara agar melakukan penelitian serta pengembangan sistem keselamatan pasien. Seluruh tindakan medis terhadap pasien pasti memiliki resiko, tentunya seluruh tenaga medis dirumah sakit tidak menginginkan terjadinya hal yang tidak diinginkan untuk terjadi dirumah sakit. Keselamatan pasien harus sangat diperhatikan oleh tenaga medis setiap penanganan yang dilakukan terhadap pasien.
Oleh sebab itu tenaga kesehatan harus memahami apa saja yang harus diperhatikan untuk keselamatan pasien agar dapat diaplikasikan saat menangani pasien. Patient safety adalah proses yang dijalankan oleh organisasi yang bertujuan membuat layanan kepada pasien menjadi lebih aman. Proses tersebut mencakup:
- pengkajian risiko,
- identifikasi dan pengelolaan risiko pasien,
- pelaporan dan analisis insiden, dan kemampuan belajar dari suatu keadaan atau kejadian,
- menindak lanjuti suatu kejadian, dan menerapkan solusi yang tepat untuk mengurangi risiko tersebut terjadi kembali (Neri et al., 2018).
Untuk meningkatkan keselamatan pasien perawat harus memahami 6 sasaran penting keselamatan pasien, 6 sasaran keselamatan pasien tersebut sebagai berikut :
1) Ketepatan identifikasi pasien
Ketepatan identitas pasien merupakan sasaran pertama yang harus diperhatikan pasien untuk mengurangi terjadinya kejadian yang tidak diinginkan selama dirawat.
Perawat harus memperhatikan apakah identitas pasien sudah benar. Untuk memastikan ketepatan identitas pasien, perawat harus mengsingkronkan data yang dimiliki dengan gelang identitas yng digunakan oleh pasien. Di samping itu perawat bisa menanyakan langsung kepada pasien/keluarganya mengenai nama pasien, umur pasien dan tempat serta tanggal lahir pasien. Ketepatan identitas pasien wajib diperhatikan untuk menghindari kesalahan dalam pemberian asuhan keperawatan maupun pemberian terapi atau prosedur keperawatan (SNARS, 2018).
2) Peningkatan komunikasi yang efektif
Komunikasi sangat penting bagi kelangsungan proses keperawatan. Sebelum perawat menangani pasien, perawat harus mengumpulkan data-data yang dimiliki oleh pasien yang tentunya didapat dari pasien itu sendiri. Jika perawat tidak memiliki komunikasi efektif, perawat tidak bisa memperoleh data objektif pasien.
35 Jika perawat tidak dapat membina hubungan saling percaya terhadap pasien maka pasien pun enggan untuk memberikan masalah nya kepada perawat. Selain itu bila perawat tidak dapat berkomunikasi efektif, perawat tidak bisa mendapat informasi penting. Komunikasi efektif juga dibutuhkan sebagai sarana komunikasi antara perawat dengan tenaga kesehatan lain mengenai sesuatu yang berhubungan dengan pasien. Misalnya data yang perawat dapat dari pasien A adalah B, namun karena perawat tidak dapat mengkomunikasikan dengan benar melalui kolaborasi bersama tenaga medis yang lain, misalnya dokter, farmasi dan ahli gizi, ini dapat berbahaya kepada keselamatan pasien (SNARS, 2018).
3) Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai.
Obat adalah zat kimia yang berbahaya. Obat digunakan untuk membantu proses pemulihan kondisi pasien, membantu mengurangi rasa sakit, pembengkakan, infeksi, lebam dan lain-lain. Maka dari itu perawat harus mengawasi dan mewaspadai pemberian obat. Salah satu cara untuk meningkatkan keselamatan pasien adalah dengan memperhatikan proses pemberian obat. Ada 30 prinsip pemberian obat yang harus diperhatikan perawat dalam memberikan obat. Prinsip ini sudah sangat berkembang yang awalnya hanya 7 prinsip benar pemberian obat berkembang menjadi 30 prinsip benar pemberian obat. Pengembangan prinsip ini bukan untuk menambah beban kerja perawat, akan tetapi merupakan salah satu cara untuk mengurangi kecelakaan yang diakibatkan oleh kesalahan pemberian obat.
Meningkatkan keamanan obat merupakan cara untuk menghindari kesalahan- kesalahan dalam pemberian obat, apabila pasien salah menerima obat maka akan berakibat fatal untuk kesehatan pasien. Umumnya pemberian obat kepada pasien dilakukan oleh bagian farmasi atau apoteker namun tak jarang ini menjadi tugas perawat diakibatkan oleh minimnya tenaga kesehatan di bidang tersebut (SNARS, 2018).
4) Kepastian tepat lokasi, tepat prosedur dan tepat operasi.
Kepastian tepat lokasi, tepat prosedur dan tepat operasi merupakan sasaran keselamatan pasien agar tidak terjadi kesalahan yang tentunya akan meningkatkan angka kecelakaan. Kepastian lokasi, prosedur dan tepat operasi merupakan hal penting yang harus diperhatikan perawat pertama kali. Misalnya perawat harus mengetahui mana bagian yang harus dioperasi. Jangan sampai terjadi kesalahan yang seharusnya dioperasi bagian perut sebelah perut kanan, karena kurangnya perhatian perawat mengetahui lokasi yang akan dioperasi malah terjadi pembedahan diperut sebelah kiri. Di samping itu memperhatikan lokasi operasi bukan hanya diperhatikan oleh perawat, akan tetapi juga oleh tenaga kesehatan lainnya. Kedua, ketepatan prosedur juga sangat penting. Jangan sampai perawat lalai memahami prosedur yang akan dilakukan, yang bisa berakibat buruk pada pasien misalnya pra
36 atau pasca operasi (SNARS, 2018).
5) Pengurangan resiko infeksi terkait pelayanan kesehatan.
Fasyankes adalah tempat berkumpulnya sarang penyakit dan tempat pasien berharap pulih, sehat dan bisa beraktivitas sebagaimana semula. Sasaran pengurangan resiko infeksi, infeksi sangat mudah terjadi, mulai dari kelalaian perawat dalam memperhatikan alat-alat yang digunakan hingga menjaga kebersihan diri sebelum menangani pasien. Maka dari itu perawat harus memahami bagaimana cara untuk mencegah pasien terinfeksi akibat pelayanan kesehatan. Satu cara terbaik adalah memastikan setiap alat kesehatan yang digunakan selalu dalam keadaan bersih dan steril. Yang lebih penting lagi adalah menjaga kebersihan diri serta menggunakan alat pelindung diri sebelum, saat dan setelah melakukan interaksi dengan pasien.
Infeksi nosokomial merupakan contoh nyata akibat keteledoran petugas kesehatan yang bisa berakibat fatal (SNARS, 2018).
6) Pengurangan resiko pasien jatuh
Sasaran patient safety berikutnya yang harus diketahui perawat adalah resiko jatuh.
Pasien bisa jatuh, dari tempat tidur, trolley, di kamar mandi atau pada saat berjalan.
Segala kemungkinan buruk ini harus dipahami oleh perawat. Perawat harus memastikan mampu mengidentifikasi segala kemungkinan risiko keselamatan pasien selama dirawat. Ketika merawat harus memastikan bahwa pasien tidak terjatuh karena hal ini akan mempengaruhi kondisi fisik dari pasien. Di sinilah pentingnya langkah-langkah pencegahan konkrit agar pasien tidak jauh. Perawat bukan hanya dituntut mampu memberikan pendidikan kesehatan dan keselamatan terhadap pada pasien, tetapi juga pada keluarga pasien. Mereka perlu mengetahui strategi bagaimana agar bisa menjaga pasien, memperhatikan keadaan pasien dan selalu mendampingi pasien dengan segala aktivitasnya. Di samping perawat dituntut memiliki pengetahuan dan keterampilan menggunakan segala alat dan instrument yang ada kaitanya dengan patien safety (SNARS, 2018).
C. Implementasi Patient Safety
WHO telah menguraikan 13 event atau insiden yang dapat mengancam patient safety yang salah satunya adalah organisasi (World Health Organization Regional Office for Europe, 2016). Tidak lain karena leader dalam organisasi belum tentu memiliki komitmen penuh terhadap semua bentuk usaha guna meminimalisasikan resiko pasien mengalami insiden atau kejadian yang dapat mengancam keselamatannya. Disebutkan bahwa dengan 13 klarifikasi WHO tersebut insiden yang dapat mengancam keselamatan pasien yaitu, infrastruktur. Inilah poin terpenting dalam implementasi patient safety, yaitu penerapan patient safety dalam infrastruktur di manapun termasuk fasyankes. Namun demikian ada beberapa faktor lain yang perlu diperhitungkan dalam
37 implementasi patent safety ini. Di antaranya komunikasi, pengetahuan, keterampilan, kebijakan dan regulasi (Rivai et al., 2016).
Dalam sebuah studi di Canada menyatakan bahwa, angka terbesar terancamnya keselamatan pasien di pelayanan kesehatan primer adalah karena kurangnya komunikasi antara petugas kesehatan dengan pasien, dan lemahnya kemampuan, keterampilan, dan pengetahuan yang dimiliki oleh perawat (World Health Organization, 2021). Di Australia sebagai contoh lain disebutkan bahwa peraturan Pemerintah Australia mengenai implementasi keselamatan pasien pada pelayanan kesehatan primer, didapatkan dari hasil umpan balik pasien terhadap layanan kesehatan yang didapatkan. Keselamatan pasien telah menjadi isu global yang sangat penting dilakukan oleh setiap rumah sakit, dan seharusnya menjadi prioritas utama untuk dilaksanakan dengan mutu dan reputasi rumah sakit (Neri et al., 2018). Masalah utama dalam upaya implementasi sistem keselamatan pasien di sini adalah terjadinya insiden keselamatan pasien (IKP) dalam pelayanan kesehatan di RS. IKP ini bisa mencakup kejadian tidak diharapkan (KTD), kejadian nyaris cedera (KNC) kondisi potensi cidera (KPC) dan kejadian sentinel (sentinel ecent) dalam proses asuhan pelayanan medis maupun asuhan pelayanan keperawatan dari yang ringan sampai yang berat (Faluzi et al., 2018).
Upaya meminimalkan IKP harus disesuaikan dengan standar Joint Commission Internal (JCI) yang mencangkup enam aspek sebagaimana telah dijelaskan di atas, yaitu:
- melakukan identifikasi pasien secara tepat, - meningkatkan komunikasi yang efektif,
- meningkatkan keamanan obat yang membutuhkan perhatian,
- mengurangi resiko salah operasi, salah pasien dan tindakan operasi, mengurangi resiko infeksi akibat perawatan kesehatan dan
- mengurangi resiko pasien cidera karena jatuh
- obat merupakan sediaan atau paduan bahan-bahan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologii dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi (Yahya, 2008).
Pasient safety di RS adalah suatu sistem di mana membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi:
- asesmen resiko,
- identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan resiko pasien,
- pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insien dan tindak lanjutnya serta - implementasi solusi untk meminimaliskan timbulnya resiko (Napirah et al., 2019).
Sistem tersebut diharapkan dapat mencegah terjadinya cidera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan.