• Tidak ada hasil yang ditemukan

penelitian 18 item pwb

N/A
N/A
Shifa Fauziah Rifiani

Academic year: 2024

Membagikan "penelitian 18 item pwb"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)

Oleh:

Nur Soffa

NIM: 11150700000157

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1440 H/ 2019 M

(2)

ii

(3)

iii

(4)

iv

(5)

v C) Nur Soffa

D) Pengaruh Gratitude, Koping Religius, dan Dukungan Sosial terhadap Kesejahteraan Psikologis Penderita Diabetes Mellitus Tipe Dua

E) xiii + 81 halaman + 36 lampiran

F) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh gratitude, koping religius, dukungan sosial, dan jenis kelamin terhadap kesejahteraan psikologis penderita diabetes mellitus tipe dua. Partisipan penelitian adalah penderita diabetes mellitus tipe dua di Jabodetabek. Penelitian ini melibatkan 208 partisipan (87 pria dan 122 wanita). Kuisioner yang digunakan dalam penelitian ini adalah adaptasi dari Psychological Well Being Scale (PWBS), The Gratitude Questionnaire-6 (GQ-6), The Brief RCOPE, dan Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS). Analisis Faktor Konfirmatori (CFA) digunakan untuk menguji validitas setiap item kuesioner. Sedangkan uji statistik dengan menggunakan analisis regresi berganda digunakan untuk melihat pengaruh dari variabel independen terhadap variabel dependen.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dari gratitude, koping religius, dukungan sosial, dan jenis kelamin terhadap kesejahteraan psikologis penderita diabetes mellitus tipe dua.

Secara rinci, dimensi seperti gratitude, koping religius positif, dan koping religius negatif memberi pengaruh signifikan bagi kesejahteraan psikologis. Sementara dimensi lain seperti dukungan keluarga, dukungan teman, dukungan signifikan lainnya, dan jenis kelamin tidak memberikan dampak signifikan terhadap kesejahteraan psikologis. Saran untuk penelitian selanjutnya adalah membuat penelitian menggunakan variabel moderator atau mediator antara variabel independen dengan kesejahteraan psikologis. Saran berikutnya adalah membuat penelitian menggunakan faktor-faktor internal atau eksternal lainnya dari kesejahteraan psikologis, misalnya tipe kepribadian, harga diri, dan budaya.

G) Bahan Bacaan: 57 ; Buku: 10 + Jurnal 38 + Artikel 4 + Skripsi 3 + Tesis 2

(6)

vi C) Nur Soffa

D) The Influence of Gratitude, Religious Coping, and Social Support on Psychological Well-Being of Type Two Diabetes Mellitus Patients

E) xiii + 81 pages + 36 attachments

F) This study aims to determine the impact of gratitude, religious coping, social support, and gender on psychological well-being of type two diabetes mellitus patients. Research partisipants are people with type two diabetes in Jabodetabek. The study involved 208 partisipants (87 men and 122 women). The Questionnaire methodes used in this study was the adaptation of Psychological Well Being Scale (PWBS), The Gratitude Questionnaire-6 (GQ-6), The Brief RCOPE, and Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS). Confirmatory Factor Analysis (CFA) was used to test the validity of each item questionnaire. Multiple regression analysis is used to see the impact of the independent variable to dependent variable.

The results of this study show that there are significant impact of gratitude, religious coping, social support, and gender on psychological well-being of type two diabetes mellitus patients. In detail, dimensions such as gratitude, positive religious coping, and negative religious coping give significant impact to psychological well being. While other dimensions such as family support, friend support, significant other support, and gender don’t give significant impact to psychological well being. The suggestion for subsequent research is to use moderator or mediator variables between independent variable to psychological well being.

Another suggestion is to make research using other internal or external factors of psychological well being, such as personality type, self-esteem, and culture.

G) Reading Materials: 57 ; Books: 10 + Journals 38+ Articles 4 + Skripsi 3 + Theses 2

(7)

vii

SWT, karena berkat rahmat dan izin-Nya, peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul "Pengaruh Gratitude, Koping Religius, dan Dukungan Sosial terhadap Kesejahteraan Psikologis Penderita Diabetes Mellitus Tipe Dua". Dalam proses penyusunan skripsi ini banyak sekali pihak yang terlibat dan membantu penulis. Oleh karena itu izinkan penulis menghaturkan terima kasih tak terhingga kepada:

1. Ibu Dr. Zahrotun Nihayah, M.Si., selaku dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta wakil dekan dan jajarannya.

2. Ibu Dr. Yunita Faela Nisa, Psi selaku dosen pembimbing yang selalu sabar membimbing dengan memberikan motivasi, arahan, kritik, dan saran yang membangun sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Bambang Suryadi, Ph.D selaku dosen pembimbing akademik yang selalu memberikan dukungan, motivasi, kritik, dan saran selama proses perkuliahan baik dalam bidang akademik maupun non akademik.

4. Seluruh Dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu yang luar biasa kepada penulis. Serta staf Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu membantu dan mempermudah penulis selama perkuliahan.

5. Kedua orang tua penulis Bapak H.Malik Abdul Kohar (ayah) dan Ibu Hj.Leni Subardini (Ibu) yang selalu memberikan dukungan moril dan

(8)

viii

6. Keluarga Bapak Ir.Risuul Saidi & Ibu Enen Siti Halimah yang selalu memberikan dukungan dan membantu penulis saat proses perkuliahan dan penelitian. Serta keluarga besar Almarhum H.Atjep Sudjai dan Almarhum H.Endang Fakieh yang selalu memberikan doa dan dukungan kepada penulis.

7. Persatuan Diabetes Indonesia (Persadia) dan PT.Rumah Perawatan Indonesia (Rumah perawatan luka diabetes) yang telah membantu dan mengizinkan penulis untuk melakukan penelitian terhadap anggota dan pasiennya.

8. Sahabat-sahabat penulis Fara Fauziah, Dewi Nuriatul, Dewi Farwah, Sinndy Fitriani, Devy Syafa, Suha Yumna, Ulvi Safira, Naufalia, Karisha, Khalfia, Dwi Nur Hasanah, Ardhia Nabilla, Santi, Itsna, Safina, Deisya, dan Isma yang selalu memberikan support kepada penulis.

9. Kak Aidah, Kak Hanina, Kak Ibnu, Kak Vero, Kak Tiara, Cahaya Asyifa, Fauzizah, dan Anisa Hasbiya yang telah berkenan untuk berdiskusi dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi.

10. Teman-teman Psikologi UIN Jakarta angkatan 2015 atas kebersamaannya.

Semoga Allah memberikan balasan pahala atas segala kebaikan yang telah diberikan. Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis menerima kritik dan saran yang membangun

(9)

ix

Penulis

(10)

x

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ...iii

ABSTRAK... iv

ABSTRACT...v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ...xiii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah...1

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah...9

1.2.1 Pembatasan masalah...9

1.2.2 Perumusan masalah...11

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian...12

1.3.1 Tujuan penelitian ...12

1.3.2 Manfaat penelitian...13

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Kesejahteraan Psikologis...14

2.1.1 Definisi kesejahteraan psikologis...14

2.1.2 Dimensi kesejahteraan psikologis...16

2.1.3 Pengukuran kesejahteraan psikologis...18

2.1.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis ... 20

2.2 Gratitude ... 25

2.2.1 Definisi gratitude... 25

2.2.2 Dimensi gratitude... 26

2.2.3 Pengukuran gratitude... 27

2.3 Koping Religius...28

2.3.1 Definisi koping religius... 28

2.3.2 Dimensi koping religius... ... 29

2.3.3 Pengukuran koping religius...32

2.4 Dukungan Sosial...32

2.4.1 Definisi dukungan sosial...32

2.4.2 Dimensi dukungan sosial... 34

2.4.3 Pengukuran dukungan sosial...36

(11)

xi

3.3 Instrumen Pengumpulan Data... 45

3.4 Uji Validitas Konstruk... 50

3.4.1 Uji validitas konstruk kesejahteraan psikologis...52

3.4.2 Uji validitas konstruk gratitude... 53

3.4.3 Uji valididas konstruk koping religius...53

3.4.4 Uji validitas konstruk dukungan sosial...55

3.5 Teknik Analisis Data ...57

3.6 Prosedur Penelitian...60

BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian... 62

4.2 Hasil Analisis Deskriptif... 63

4.3 Kategorisasi Skor Variabel Penelitian... 64

4.4 Hasil Uji Hipotesis... 65

4.4.1 Analisis regresi variabel penelitian... 65

4.4.2 Pengujian proporsi varians masing-masing IV... 71

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 5.1 Kesimpulan... 73

5.2 Diskusi... 73

5.3 Saran... 77

5.3.1 Saran teoritis... 77

5.3.1 Saran praktis... 78

DAFTAR PUSTAKA... 80

LAMPIRAN... 85

(12)

xii

Tabel 3.4 Blue Print Skala Dukungan Sosial...46

Tabel 3.5 Muatan Faktor Item Konstruk Kesejahteraan Psikologis...49

Tabel 3.6 Muatan Faktor Item Kontruk Gratitude...50

Tabel 3.7 Muatan Faktor Item Dimensi Koping Religius Positif...51

Tabel 3.8 Muatan Faktor Item Dimensi Koping Religius Negatif...52

Tabel 3.9 Muatan Faktor Item Dimensi Dukungan Keluarga...53

Tabel 3.10 Muatan Faktor Item Dimensi Dukungan Teman...53

Tabel 3.11 Muatan Faktor Item Dimensi Dukungan Significant Other...54

Tabel 4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian...58

Tabel 4.2 Statistik Deskriptif...59

Tabel 4.3 Norma Kategorisasi Skor Variabel Penelitian...60

Tabel 4.4 Persentase Kategori Skor Tiap Variabel...61

Tabel 4.5 R Square...62

Tabel 4.6 ANOVA...63

Tabel 4.7 Koefisien Regresi ...64

Tabel 4.8 Proporsi Varians Masing-masing IV...67

(13)

xiii

(14)

xiv

Lampiran 4 Format Kuesioner Daring...100 Lampiran 5 Syntax dan Path Diagram...101 Lampiran 6 Hasil Analisis Regresi Berganda...108

(15)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Penelitian terkait kesejahteraan psikologis sudah banyak dilakukan (Felton &

Revenson, 1984; Petersen & Roy, 1985; Hassmen, et al., 2000; Eiser, et al., 2001;

Karsel, et al., 2004; Wood, et al., 2008; Gholamzadeh, et al., 2014; Berzadipour, Sadeghi, & Sepahmansour, 2016; Akbar, 2018). Sudah lebih dari 20 tahun yang lalu kajian mengenai kesejahteraan psikologis bertumpu pada konsep dari positive functioning (Ryff, 1989), yaitu konsep pencapaian kebahagiaan yang terdiri dari afek positif dan negatif. Lalu Ryff mengembangkan teori kesejahteraan psikologis dengan tidak hanya menekankan pada konsep pencapaian kebahagiaan saja, namun juga menemukan indikator lain dari positive fungtioning (Ryan & Deci, 2001). Indikator tersebut diantaranya penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, penguasaan lingkungan, kemandirian, pertumbuhan pribadi, dan tujuan hidup (Ryff,1989). Penelitian yang dilakukan oleh Ryff (1989) merupakan salah satu penelitian yang populer yang digunakan sebagai acuan atau pedoman para peneliti yang meneliti kesejahteraan psikologis saat ini.

Kesejahteraan psikologis sangat penting untuk manusia, terutama orang- orang yang memiliki banyak tekanan dalam hidupnya. Contohnya seperti para penderita penyakit kronis. Penyakit kronis merupakan jenis penyakit degeneratif yang berkembang atau bertahan dalam jangka waktu yang sangat lama, disebabkan oleh faktor genetik, fisiologis, lingkungan, dan perilaku (WHO, 2018).

(16)

Orang yang menderita penyakit kronis cenderung memiliki tingkat kecemasan yang tinggi dan cenderung mengembangkan perasaan hopelessness dan helplessness karena berbagai macam pengobatan tidak dapat membantunya sembuh dari penyakit kronis (Sarafino, 2011). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya (Karyono et al, 2009; Anggraeni & Ika, 2012;

Wahyuningsih & Surjaningrum, 2012; Zahara, 2015), menunjukkan bahwa penyakit kronis berpengaruh terhadap kesejahteraan psikologis penderitanya sehingga menimbulkan penurunan tingkat kesejahteraan psikologis.

Saat ini telah terjadi peningkatan trend penderita penyakit kronis di Indonesia. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan melihat hasil riset kesehatan dasar yang telah dilakukan oleh Kementrian Kesehatan RI pada tahun 2013 dan 2018. Hasilnya terdapat kenaikan prevalensi pada penyakit kronis diantaranya prevalensi kanker naik dari 1,4% menjadi 1,8%; prevalensi stroke naik dari 7%

menjadi 10,9%; dan penyakit ginjal kronik naik dari 2% menjadi 3,8%; diabetes melitus naik dari 6,9% menjadi 8,5%; dan hipertensi naik dari 25,8% menjadi 34,1%.

Dari data tersebut peneliti sangat tertarik dengan penderita diabetes mellitus. Meskipun kenaikan prevalensi diabetes mellitus dari data Riskesdas 2013 ke 2018 hanya 1,6 %. Namun jumlah penderita diabetes sebenarnya meningkat pesat yaitu menjadi 49.442 orang, dan menjadikan diabetes menjadi ranking ke 2 penyakit yang paling banyak diderita oleh orang Indonesia di tahun 2018 setelah hipertensi. Informasi terbaru yang dirilis oleh Kementrian Kesehatan

(17)

RI juga menunjukan satu dari delapan orang di Jakarta merupakan penderita DM (Riskesdas, 2018).

Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit kronis. Diabetes mellitus adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan peningkatan kadar gula darah akibat gangguan pada sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Secara umum, penyakit ini dibagi atas dua tipe, yaitu tipe satu dengan kerusakan sel beta pankreas akibat faktor autoimun, genetik atau idiopatik dan tipe dua yang umumnya timbul akibat resistensi insulin terkait perubahan gaya hidup (Riskesdas, 2013).

Penyakit diabetes mellitus telah menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat global. Menurut International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2012, jumlah penderitanya semakin bertambah di seluruh belahan dunia. Menurut estimasi IDF (2012), lebih dari 371 juta orang di seluruh dunia mengalami diabetes mellitus, 4,8 juta orang meninggal akibat penyakit metabolik ini dan 471 miliar dolar Amerika dikeluarkan untuk pengobatannya.

Anggraeni & Ika (2012) menyatakan bahwa penderita diabetes mellitus mengalami peningkatan gangguan psikologis, terutama bagi penderita yang telah mengalami komplikasi. Karena penderita diabetes mellitus tipe dua memiliki tantangan hidup yang berat terkait penyakit yang dideritanya yang seringkali menimbulkan stress, sehingga mempengaruhi kesejahteraan psikologis mereka.

Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti kesejahteraan psikologis penderita diabetes mellitus tipe dua.

(18)

Kesejahteraan psikologis adalah kemampuan individu dalam penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, pertumbuhan pribadi, tujuan hidup, penguasaan lingkungan, dan kemandirian (Ryff, 1989; Ryff &Keyes, 1995). Ryff (2002) menambahkan kesejahteraan psikologis merupakan salah satu hal yang terpenting yang harus dimiliki, karena dapat membantu mengurangi tingkat depresi dalam diri.

Faktor yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis diantaranya usia, jenis kelamin, sosial ekonomi, dan budaya (Ryff, 1994). Selain itu terdapat faktor lain seperti dukungan sosial (Dessiningrum, 2010; Davis, et al., 2017), gratitude (Wood, et al., 2009; Nuraini, 2016; Akbar, 2018; Behzadipour, 2018), dan kepribadian (Nuraini, 2016). Faktor-faktor tersebut dapat membantu seseorang untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis yang dimilikinya.

Ryff dan Keyes (1995) mengemukakan bahwa perbedaan usia mempengaruhi perbedaan dalam dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis.

Dalam penelitiannya, Ryff dan Keyes (1995) menemukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dimensi penguasaan lingkungan, dimensi otonomi, dimensi hubungan positif dengan orang lain dan tidak adanya perbedaan yang signifikan dalam dimensi penerimaan diri selama usia dewasa muda hingga dewasa akhir. Selain itu Ryff dan Keyes (1995) juga menemukan bahwa dibandingkan pria, wanita memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi hubungan yang positif dengan orang lain dan dimensi pertumbuhan pribadi.

(19)

Menurut Davis et al (dalam Tirumalesh, 2017), individu-individu yang mendapatkan dukungan sosial memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi. Dukungan sosial yang diberikan kepada individu akan memberi mereka semangat dan motivasi untuk terus hidup karena mereka merasa dihadiri, didukung, dan dihargai (Sarafino, 2007). Sarafino juga menuliskan bahwa dukungan sosial berasal dari pasangan, keluarga, teman, atau organisasi sosial yang diikuti oleh individu.

Dukungan sosial melibatkan berbagai jenis transaksi hubungan antar individu dan sifat transaksi tersebut dilakukan dalam berbagai macam cara (Zimet et al, 1988). Taylor (2011) mengemukakan bahwa dukungan sosial adalah informasi yang diterima dari orang lain bahwa individu tersebut dicintai, diperhatikan, dihargai dan bernilai serta merupakan bagian dari jaringan komunikasi dan saling dibutuhkan yang di dapat dari orang tua, suami atau orang yang dicintai, keluarga, teman, dan kelompok atau komunitas.

Penelitian yang dilakukan oleh Desiningrum (2010) ingin melihat pengaruh dukungan sosial terhadap kesejahteraan psikologis lansia di semarang, dengan melibatkan 80 orang subyek. Hasilnya dukungan sosial yang dominan dirasakan oleh lansia di Semarang Selatan adalah dukungan emosional, sebesar 69,4%. Dukungan emosional berkontribusi 57,9% untuk kesejahteraan psikologis.

Dukungan penuh penghargaan dari keluarga memberikan kontribusi setinggi 54,8% terhadap kesejahteraan psikologis. Secara umum, kesejahteraan psikologis lansia di Semarang Selatan relatif tinggi dan sumber dukungan sosial mayoritas berasal dari keluarga. Berdasarkan empat dimensi dukungan sosial, dukungan dari

(20)

keluarga, dukungan emosional dan dukungan penuh penghargaan memberikan kontribusi lebih tinggi dari pada dukungan instrumental dan informatif.

Hal lainnya yang dapat membantu meningkatkan kesejahteraan psikologis adalah gratitude. Gratitude merupakan suatu kecenderungan secara umum untuk menyadari dan merespon dengan rasa terima kasih terhadap peran orang lain dalam pengalaman positif dan dampak yang dirasakan seseorang (McCullough, Emmons, & Tsung, 2002).

Orang yang memiliki gratitude lebih sering merasakan rasa syukur, memiliki sifat yang lebih positif (McCullough, Emmons, & Tsung, 2002), memiliki pandangan yang lebih positif tentang lingkungan sosial mereka, menggunakan strategi mengatasi masalah yang produktif, tidur yang lebih baik, dan terus-menerus fokus pada hal positif di lingkungan mereka (Wood et al., 2009). Hal tersebut dapat membantu meningkatkan kesejahteraan psikologis seseorang.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Wood, Joseph dan Maltby (2009) menunjukkan bahwa gratitude menjadi penting untuk kesejahteraan psikologis. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Debby (dalam Ratnayanti &

Wahyuningrum 2016) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara gratitude dan kesejahteraan psikologis pada mahasiswa UKSW yang kuliah sambil bekerja penuh waktu. Penelitian lainnya yang dilakukan Fitria (dalam Ratnayanti & Wahyuningrum 2016) menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara gratitude dan kesejahteraan

(21)

psikologis pada mahasiswa yang juga ditemukan bahwa gratitude memberikan sumbangan sebesar 28,73% untuk kesejahteraan psikologis pada mahasiswa. Oleh karena itu orang yang memiliki gratitude akan merasa terpenuhi atas segala apa yang telah didapatkannya serta akan memandang segala sesuatu yang terjadi dengan pandangan yang positif.

Faktor lainnya yang memengaruhi kesejahteraan psikologis adalah koping religius (Gholamzadeh et al, 2014). Dalam penelitian yang telah dilakukan Gholamzadeh et al (2014) mengkorelasikan koping religius dan kesejahteraan psikologis pada caregiver penyakit stroke di Iran, dengan sampel yang digunakan pada penelitian tersebut sebanyak 96 orang anak perempuan. Hasilnya terdapat korelasi positif yang signifikan terhadap semua dimensi dari kesejahteraan psikologis.

Koping religius menurut Pargament (1999) merupakan koping stress dengan menggunakan metode dan pola religius seperti berdoa dan beribadah untuk menghilangkan stres. Dalam hal ini terdapat berbagai macam metode coping yang disediakan oleh agama untuk membantu seseorang menghadapi stres yang sedang dihadapi. Agama memiliki peran penting dalam mengelola stress, karena agama dapat memberikan bimbingan, dukungan, dan harapan (Pargament, et al., 1988).

Pasien dengan diabetes mellitus tipe dua akan mengalami proses transisi dari kondisi sehat ke kondisi sakit. Hal tersebut dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis penderitanya. Menurut Tristiana et al (2016) sejak awal

(22)

mengetahui terdiagnosa penyakit ini, pasien akan mengalami respon kehilangan melalui lima tahap yaitu menyangkal, marah, menawar, depresi, dan menerima.

Penerimaan penderita diabetes terhadap penyakitnya, erat kaitannya dengan gratitude. Maka gratitude sangat penting untuk penderita diabetes, agar dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis mereka.

Diabetes merupakan salah satu sumber penyebab stress bagi para penderitanya. Karena penyakit ini melibatkan perubahan gaya hidup, diet, pemeriksaan medis yang sering, obat-obatan dan komplikasi yang serius. Semua komponen tersebut dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis pasien dengan diabetes (Tirumalesh & Chandraiah, 2017). Oleh karena itu penderita diabetes membutuhkan metode koping religius agar dapat membantu mengurangi stres yang dimiliki dan meningkatkan kesejahteraan psikologis mereka agar dapat terhindar dari komplikasi.

Dukungan sosial dari orang-orang terdekat sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis penderita diabetes. Dukungan sosial merupakan hubungan interpersonal dalam mengambil informasi, perhatian emosional, evaluasi, dan bantuan instrumental melalui interaksi dengan lingkungan. Hubungan ini memiliki manfaat emosional atau efek perilaku pada seseorang, untuk membantu dia mengatasi masalah-masalahnya (House, 1988 dalam Desiningrum, 2010).

Aspek psikologis merupakan salah satu hal yang penting untuk diperhatikan oleh penderita diabetes karena kepercayaan akan kesehatan,

(23)

pengetahuan, dan perilaku pada pasien diabetes mellitus akan mempengaruhi pasien DM dalam mengontrol penyakitnya (Milley, 1999 dalam Tristiana et al., 2006). Salah satu aspek tersebut adalah kesejahteraan psikologis. Kesejahteraan psikologis sangat penting diteliti karena memiliki korelasi yang positif dengan kondisi kesehatan fisik seseorang (Temane & Wissing, 2006) dan dapat membantu mempercepat proses pengobatan.

Meskipun kesejahteraan psikologis telah diteliti pada penelitian sebelumnya (Tristiana, et al., 2016; Sujana, et al., 2015; Akbar, 2018; Karsel, et al., 2004), namun penelitian-penelitian tersebut hanya menggunakan metode kualitatif dan eksperimen, selain itu subjek penelitian hanya berfokus di wilayah Yogyakarta dan Jawa Timur. Sementara pada penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan subjek penelitian yang digunakan adalah penderita diabetes mellitus tipe dua di Jabodetabek. Jabodetabek dipilih karena pertumbuhan penderita diabetes mellitus tipe dua di wilayah tersebut pesat. Oleh karena itu, penelitian akan menguji pengaruh gratitude, koping religius, dukungan sosial dan jenis kelamin terhadap kesejahteraan psikologis penderita diabetes mellitus tipe dua.

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.2.1 Pembatasan Masalah

Diketahui terdapat beberapa faktor internal dan eksternal dari kesejahteraan psikologis. Namun pada penelitian ini faktor internal hanya dibatasi pada gratitude dan koping religius, karena saat penderita diabetes memiliki gratitude

(24)

dan koping religius yang baik, maka akan membuat para penderita diabetes mellitus tipe dua menerima penyakitnya dan meningkatkan kesejahteraan psikologisnya. Sementara faktor eksternal hanya dibatasi pada dukungan sosial dan jenis kelamin. Maka penelitian ini dibatasi pada gratitude, koping religius, dukungan sosial, dan jenis kelamin terhadap kesejahteraan psikologis penderita diabetes mellitus tipe dua. Adapun pembatasannya adalah sebagai berikut:

a. Kesejahteraan psikologis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan individu untuk memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri dan orang lain dengan segala kekurangan dan kelebihan, dapat membuat keputusan sendiri dan mengatur tingkah lakunya sendiri, dapat menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhannya, memiliki tujuan hidup dan membuat hidup menjadi lebih bermakna, serta berusaha mengeksplorasi dan mengembangkan dirinya (Ryff, 1989).

b. Gratitude yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengakuan seseorang tentang adanya peran dari pihak lain atas pengalaman positif yang diterima dan dialami oleh individu tersebut serta mendorong individu untuk mengungkapkan rasa terima kasih (McCullough, Emmons, & Tsung, 2002).

c. Koping religius yang dimaksud dalam penelitian ini adalah merupakan salah satu bentuk coping terhadap stress dengan menggunakan metode dan pola religious, seperti berdoa dan beribadah untuk menghilangkan stress (Pargament, 1999).

(25)

d. Dukungan sosial yang dimaksud dalam penelitian ini adalah berbagai macam jenis transaksi hubungan antar individu dan sifat transaksi tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara untuk dapat memberikan kepedulian, kenyamanan, atau penerimaan bantuan dari olang lain atau kelompok. Dukungan sosial bersumber dari keluarga, teman, dan orang terdekat lainnya (significant other) (Zimet et al, 1988).

e. Penelitian ini dilakukan pada penderita diabetes mellitus tipe dua yang tinggal di Jabodetabek.

1.2.2 Perumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah "apakah gratitude, koping religius, dukungan sosial dan jenis kelamin secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap kesejahteraan psikologis penderita diabetes mellitus tipe dua?"

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka peneliti merumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Apakah gratitude berpengaruh secara signifikan terhadap kesejahteraan psikologis penderita diabetes mellitus tipe dua?

2. Apakah koping religius positif berpengaruh secara signifikan terhadap kesejahteraan psikologis penderita diabetes mellitus tipe dua?

3. Apakah koping religius negatif berpengaruh secara signifikan terhadap kesejahteraan psikologis penderita diabetes mellitus tipe dua?

4. Apakah dukungan keluarga berpengaruh secara signifikan terhadap kesejahteraan psikologis penderita diabetes mellitus tipe dua?

(26)

5. Apakah dukungan teman berpengaruh secara signifikan terhadap kesejahteraan psikologis penderita diabetes mellitus tipe dua?

6. Apakah dukungan significant other berpengaruh secara signifikan terhadap kesejahteraan psikologis penderita diabetes mellitus tipe dua?

7. Apakah jenis kelamin berpengaruh secara signifikan terhadap kesejahteraan psikologis penderita diabetes mellitus tipe dua?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan paparan masalah di atas, secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh gratitude, koping religius, dukungan sosial dan jenis kelamin terhadap kesejahteraan psikologis penderita diabetes mellitus tipe dua di Jabodetabek. Secara khusus penelitian ini juga bertujuan untuk:

1. Mengetahui pengaruh gratitude terhadap kesejahteraan psikologis penderita diabetes mellitus tipe dua.

2. Mengetahui pengaruh koping religius positif terhadap kesejahteraan psikologis penderita diabetes mellitus tipe dua.

3. Mengetahui pengaruh koping religius negatif terhadap kesejahteraan psikologis penderita diabetes mellitus tipe dua.

4. Mengetahui pengaruh dukungan keluarga terhadap kesejahteraan psikologis penderita diabetes mellitus tipe dua.

5. Mengetahui pengaruh dukungan teman terhadap kesejahteraan psikologis penderita diabetes mellitus tipe dua.

6. Mengetahui pengaruh dukungan significant other terhadap kesejahteraan psikologis penderita diabetes mellitus tipe dua.

(27)

7. Mengetahui pengaruh jenis kelamin terhadap kesejahteraan psikologis penderita diabetes mellitus tipe dua.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis

Sebagai sumbangan karya ilmiah bagi perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam kajian psikologi. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar atau bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya dimasa yang akan datang.

1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis berupa informasi kepada semua pihak terutama penderita diabetes mellitus tipe dua, keluarga, dan tenaga medis agar dapat membantu penderita diabetes mellitus tipe dua meningkatkan kesejahteraan psikologis untuk mengurangi resiko komplikasi dari diabetes.

(28)

BAB 2

LANDASAN TEORI 2.1 Kesejaahteraan Psikologis

2.1.1 Definisi kesejahteraan psikologis

Terdapat banyak definisi mengenai kesejahteraan psikologis. Namun sebelum membahas terkait definisi, terdapat beberapa variabel psikologi yang memiliki kemiripan dengan kesejahteraan psikologis seperti kesejahteraan subjektif dan juga kebahagiaan. Menurut Ryan dan Deci (2001), kesejahteraan psikologis dan kesejahteraan subjektif sama-sama berakar dari kesejahteraan (well-being), namun yang menjadi pembeda salah satunya adalah filosofi yang melandasi keduanya.

Kesejahteraan subjektif bersifat hedonic yang menekankan pada kesenangan dan kebahagiaan saja, sedangkan kesejahteraan psikologis bersifat eudamonik yang menekankan pada kebermaknaan dalam hidup.

Menurut Ryff (1989), kesejahteraan psikologis merupakan realisasi dari pencapaian penuh potensi individu dimana individu dapat menerima segala kekurangan dan kelebihan dirinya, mandiri, mampu membina hubungan yang positif dengan orang lain, dapat menguasai lingkungannya dalam arti lain mampu memodifikasi lingkungan agar sesuai dengan keinginannya, memiliki tujuan hidup, serta terus mengembangkan dirinya. Ryff (1989) mengatakan bahwa kesejahteraan psikologis merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif. Ryff (1989) juga merumuskan konsepsi

(29)

kesejahteraan psikologis yang merupakan integrasi dari teori-teori perkembangan manusia, teori psikologi klinis, dan konsepsi mengenai kesehatan mental.

Kesejahteraan psikologis adalah tingkat kemampuan individu dalam menerima diri apa adanya, membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain, mandiri terhadap tekanan sosial, mengontrol lingkungan eksternal, memiliki arti dalam hidup, serta merealisasikan potensi dirinya secara kontinyu (Ryff & Keyes, 1995). Ryff dan Singer (2001) mengatakan bahwa kesejahteraan psikologis tidak hanya sekedar memaksimalkan pengaruh positif dan menghindarkan pengaruh negatif, akan tetapi juga memuaskan kebutuhan instrinsik seseorang terhadap keadaan atau aktivitas yang dijalani. Hal tersebut senada dengan definisi menurut Ryff, Wood, Joseph, dan Maltby (2009) kesejahteraan psikologis ditujukan untuk mengukur kebermaknaan dalam hidup, aktivitas yang membangun, dan perkembangan individu.

Menurut Huppert (2009), kesejahteraan psikologis adalah bagaimana kehidupan itu sendiri berjalan dengan baik serta gabungan dari perasaan yang positif dan berfungsi dengan baik.

Dari definisi yang telah dipaparkan oleh para ahli mengenai kesejahteraan psikologis, dapat diketahui bahwa kesejahteraan psikologis merupakan kemampuan individu untuk memiliki persepsi yang positif terhadap dirinya serta dapat memiliki makna dan tujuan hidup. Pada penelitian ini peneliti menggunakan definisi dari Ryff (1989). Definisi tersebut dipilih karena paling sesuai dengan tujuan dari penelitian.

(30)

2.1.2 Dimensi kesejahteraan psikologis

Menurut Bradburn (1969) terdapat dua dimensi dari kesejahteraan psikologis, yaitu positive affect dan negative affect.

Menurut Ryff (1989), terdapat beberapa dimensi dalam kesejahteraan psikologis, diantaranya:

a. Self acceptance (Penerimaan diri)

Seseorang yang kesejahteraan psikologis nya tinggi memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek positif dan negatif dalam dirinya, dan perasaan positif tentang kehidupan masa lalu. Penerimaan diri ini tidak mengacu pada hal seperti cinta diri, narsisme, atau harga diri yang rendah, melainkan untuk membangun anggapan diri yang meliputi aspek-aspek positif dan negatif (Ryff &

Singer, 2008). Peneriman diri ini dikonstrukkan dengan penilaian diri secara jujur; seseorang menyadari keterbatasan dalam dirinya, namun memiliki cinta untuk menerima dirinya apa adanya.

b. Positive relation with other (Hubungan positif dengan orang lain)

Banyak teori sebelumnya yang menekankan pentingnya hubungan interpersonal yang hangat dan saling mempercayai dengan orang lain.

Termasuk ketabahan dan kesenangan yang berasal dari hubungan yang dekat dengan orang lain, dari keintiman dan cinta (Ryff & Singer, 2008).

Kemampuan untuk mencintai dipandang sebagai komponen utama kesehatan mental. kesejahteraan psikologis seseorang itu tinggi jika mampu bersikap hangat dan percaya dalam berhubungan dengan orang

(31)

lain, memiliki empati, afeksi, dan keintiman yang kuat, memahami pemberian dan penerimaan dalam suatu hubungan.

c. Autonomy (Kemandirian)

Merupakan kemampuan individu dalam mengambil keputusan sendiri dan mandiri, mampu melawan tekanan sosial untuk berpikir dan bersikap dengan cara yang benar, berperilaku sesuai dengan standar nilai individu itu sendiri dan mengevaluasi diri sendiri dengan standar personal.

Hal tersebut juga mengacu pada kemampuan untuk sendiri jika memang harus sendiri dan untuk hidup mandiri (Ryff & Singer, 2008).

d. Environmental mastery (Penguasaan lingkungan)

Mampu mengatur lingkungannya, mampu menyusun kontrol yang baik terhadap aktivitas eksternal di luar dirinya, menggunakan secara efektif kesempatan dalam lingkungan, mampu memilih dan menciptakan konteks yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai individu itu sendiri.

e. Purpose In Life (Tujuan Hidup)

Kesehatan mental didefiniskan mencakup kepercayaankepercayaan yang memberikan individu suatu perasaan bahwa hidup ini memiliki tujuan dan makna. Individu yang berfungsi secara positif memiliki tujuan, misi, dan arah yang membuatnya merasa hidup ini memiliki makna.

f. Personal Growth (Pertumbuhan Pribadi)

Dimensi ini menyangkut kemampuan seseorang untuk menyadari potensi dan bakatnya sendiri dan mengembangkan kebermanfaatan dirinya. Fungsi psikologis yang optimal dari seseorang tidak hanya

(32)

sekedar membutuhkan pencapaian karakteristik yang dibutuhkan, tetapi juga terus mengembangkan potensi yang dimiliki, untuk tumbuh dan berkembang sebagai manusia seutuhnya. Kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri dan menyadari potensi seseorang adalah pusat perspektif klinis pada personal growth (Ryff & Singer, 2008).

Menurut Hurlock (1994 dalam Sarah, 2018) terdapat tiga dimensi dari kesejahteraan psikologis diantaranya:

1. Acceptance (Sikap penerimaan).

2. Affection (Kasih sayang).

3. Achievement (Prestasi).

Pada penelitian ini, peneliti memilih untuk menggunakan dimensi yang dikemukakan oleh Ryff (1989). Dimensi tersebut dipilih karena sesuai dengan teori yang digunakan pada penelitian ini.

2.1.3 Pengukuran kesejahteraan psikologis

Terdapat beberapa alat ukur yang dapat digunakan untuk mengukur kesejahteraan psikologis. Berikut alat ukur yang dapat digunakan dan telah digunakan pada penelitian sebelumnya, diantaranya:

1. Affect ballace scale (Bradburn, 1969), terdiri dari 10 item. Mengukur dua dimensi yaitu dimensi positive affect terdiri dari 5 item dan dimensi negative affect terdiri dari 5 item.

2. Well-being Questionnaire (Bradley, 1994), terdiri dari 22 item. Mengukur empat dimensi yaitu depression terdiri dari 6 item, anxiety terdiri dari 6 item, energy terdiri dari 4 item, dan positive well-being terdiri dari 6 item.

(33)

3. The WHO (Ten) Well-being Index (Bech et al, 1996), terdiri dari 28 item.

Mengukur empat dimensi yaitu depression terdiri dari 6 item, anxiety terdiri dari 6 item, energy terdiri dari 4 item, dan positive well-being terdiri dari 10 item.

4. Psychological Well-being Scale (Ryff, 1989), terdiri dari 42 item.

Mengukur enam dimensi yaitu autonomy terdiri dari 7 item, environmental mastery terdiri dari 7 item, personal growth terdiri dari 7 item, positive relation with other terdiri dari 7 item, purpose in life terdiri dari 7 item, dan self acceptance terdiri dari 7 item.

5. Psychological Well-being Scale (Ryff & Keyes, 1995), terdiri dari 18 item.

Mengukur enam dimensi yaitu autonomy terdiri dari 3 item, environmental mastery terdiri dari 3 item, personal growth terdiri dari 3 item, positive relation with other terdiri dari 3 item, purpose in life terdiri dari 3 item, dan self acceptance terdiri dari 3 item.

Pada penelitian ini kesejahteraan psikologis diukur menggunakan skala kesejahteraan psikologis yang di buat oleh Ryff dan Keyes (1995). Karena alat ukur tersebut sangat sesuai dengan teori yang digunakan pada penelitian ini dan agar dapat mempermudah responden dalam mengisi kuesioner. Mengingat responden pada penelitian ini adalah para penderita diabetes mellitus tipe dua.

Koefisien reliabilitas dari psychological well being scale cukup tinggi, 0,85 untuk self acceptance; 0,83 untuk positive relation with other; 0,88 untuk autonomy; 0,81 untuk environmental mastery; 0,82 untuk purpose in life; dan 0,81 untuk personal growth (Ryff & Keyes, 1989).

(34)

2.1.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis

Secara umum terdapat faktor internal dan eksternal yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis penderita diabetes mellitus tipe dua. Faktor internal diantaranya sebagai berikut:

a. Gratitude

McCullough, Emmons, Tsung (2002) menyatakan gratitude adalah suatu kecenderungan secara umum untuk menyadari dan merespon dengan rasa terima kasih terhadap peran orang lain dalam pengalaman positif dan dampak yang dirasakan seseorang. Berdasarkan penelitian, gratitude secara signifikan berkaitan dengan dimensi-dimensi dari kesejahteraan psikologis (Wood, Joseph & Maltby, 2009).

b. Koping Religius

Koping religius juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis. Pada penelitian yang telah dilakukan oleh Gholamzadeh et al (2014), menunjukan bahwa terdapat pengaruh positif yang signifikan koping religius positif terhadap kesejahteraan psikologis. Selain itu terdapat pula pengaruh negatif yang signifikan koping religius negatif terhadap kesejahteraan psikologis.

c. Self-esteem

Ryff (1989) dalam hasil penelitiannya juga menyebutkan bahwa self- esteem berpengaruh secara negatif terhadap tingkatan depresi dan berpengaruh secara positif terhadap kesejahteraan psikologis.

(35)

d. Evaluasi terhadap Pengalaman Hidup

Ryff (1989) menemukakan bahwa pengalaman hidup tertentu dapat mempengaruhi kondisi kesejahteraan psikologis seorang individu.

Pengalaman-pengalaman tersebut mencakup berbagai bidang kehidupan dalam berbagai periode kehidupan. Evaluasi individu terhadap pengalaman hidupnya memiliki pengaruh yang penting terhadap kesejahteraan psikologis (Ryff, 1995). Pernyataan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Ryff dan Essex (1992) mengenai pengaruh interpretasi dan evaluasi individu pada pengalaman hidupnya terhadap kesehatan mental. Interpretasi dan evaluasi pengalaman hidup diukur dengan mekanisme evaluasi diri oleh Rosenberg (dalam Ryff & Essex, 1992) dan dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis digunakan sebagai indikator kesehatan mental individu.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mekanisme evaluasi diri berpengaruh pada kesejahteraan psikologis individu, terutama dalam dimensi penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan hubungan yang positif dengan orang lain. Mekanisme evaluasi diri yang dikemukakan oleh Rosenberg (Ryff & Essex, 1992) adalah sebagai berikut: mekanisme perbandingan sosial (social comparison), mekanisme perwujudan penghargaan (reflected appraisal), mekanisme persepsi diri terhadap tingkah laku (behavioral self perceptions), mekanisme pemusatan psikologis (psychological centrality).

(36)

Sementara faktor ekternal yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis penderita diabetes mellitus tipe dua diantaranya:

a. Faktor Demografis

Beberapa faktor demografis yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis antara lain adalah sebagai berikut:

1) Usia

Ryff dan Keyes (1995) mengemukakan bahwa perbedaan usia mempengaruhi perbedaan dalam dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis. Dalam penelitiannya, Ryff dan Keyes (1995) menemukan bahwa dimensi penguasaan lingkungan dan dimensi otonomi mengalami peningkatan seiring bertambahnya usia, terutama dari dewasa muda hingga dewasa madya. Dimensi hubungan positif dengan orang lain juga mengalami peningkatan seiring bertambahnya usia. Sebaliknya, dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi memperlihatkan penurunan seiring bertambahnya usia, penurunan ini terutama terjadi pada dewasa madya hingga dewasa akhir. Dari penelitian tersebut menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan dalam dimensi penerimaan diri selama usia dewasa muda hingga dewasa akhir.

(37)

2) Jenis Kelamin

Penelitian Ryff & Keyes (1995) menemukan bahwa dibandingkan pria, wanita memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi hubungan yang positif dengan orang lain dan dimensi pertumbuhan pribadi.

3) Status Sosial Ekonomi

Perbedaan kelas sosial juga mempengaruhi kondisi kesejahteraan psikologis seorang individu. Data yang diperoleh dari Wisconsin Longitudinal Study memperlihatkan gradasi sosial dalam kondisi wellbeing pada dewasa madya. Data tersebut memperlihatkan bahwa pendidikan tinggi dan status pekerjaan meningkatkan kesejahteraan psikologis, terutama pada dimensi penerimaan diri dan dimensi tujuan hidup (Ryff, 1994). Mereka yang menempati kelas sosial yang tinggi memiliki perasaan yang lebih positif terhadap diri sendiri dan masa lalu mereka, serta lebih memiliki rasa keterarahan dalam hidup dibandingkan dengan mereka yang berada di kelas sosial yang lebih rendah.

4) Budaya

Penelitian mengenai kesejahteraan psikologis yang dilakukan di Amerika dan Korea Selatan menunjukkan bahwa responden di Korea Selatan memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain dan skor yang rendah pada dimensi penerimaan diri. hal ini dapat disebabkan oleh orientasi budaya yang lebih bersifat kolektif dan saling ketergantungan. Sebaliknya, responden Amerika memiliki skor

(38)

yang tinggi dalam dimensi pertumbuhan pribadi (untuk responden wanita) dan dimensi tujuan hidup (untuk responden pria), serta memiliki skor yang rendah dalam dimensi otonomi, baik pria maupun wanita (Ryff, 1994).

b. Dukungan Sosial

Salah satu dimensi dalam kesejahteraan psikologis adalah mampu memiliki hubungan positif dengan orang lain (Ryff & Keyes, 1995). Maka seseorang harus bisa memiliki hubungan yang baik dengan teman, kerabat atau orang lain yang mereka percayai agar dapat saling memberikan dukungan satu sama lain. Penelitian yang dilakukan oleh Berkman, Davis, Morris & Graus (dalam Wells, 2010) menemukan bahwa isolasi sosial, kesepian dan kehilangan dukungan sosial berhubungan dengan peningkatan resiko penyakit atau berkurangnya harapan hidup. Menurut Davis et al (dalam Tirumalesh, 2017), individu-individu yang mendapatkan dukungan sosial memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis yang diteliti pada penelitian kali ini terdiri dari faktor internal dan eksternal. Untuk faktor internal gratitude dan koping religius dipilih untuk diteliti lebih lanjut. Sementara faktor eksternal yang dipilih adalah dukungan sosial dan jenis kelamin. Faktor- faktor tersebut dipilih karena berdasarkan penelitian sebelumnya faktor tersebut memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kesejahteraan psikologis.

(39)

2.2 Gratitude

2.2.1 Definisi gratitude

Dalam bahasa psikologi gratitude bisa diartikan sebagai rasa syukur, diambil dari bahasa Latin gratia, yang berarti kelembutan, kebaikan hati, atau berterima kasih.

Semua kata yang terbentuk dari bahasa Latin ini berhubungan dengan kebaikan, kedermawanan, pemberian, keindahan dari memberi dan menerima, atau mendapatkan sesuatu tanpa tujuan apapun (Emmons & McCullough, 2003).

Menurut Wood, Joseph, & Maltby (2009) gratitude adalah sebagai bentuk ciri pribadi yang berpikir positif, mempresentasikan hidup menjadi lebih positif.

Emmons (2002) mengutarakan bahwa gratitude sering diartikan sebagai rekognisi positif ketika menerima sesuatu yang menguntungkan, atau nilai tambah yang berhubungan dengan judgment atau penilaian bahwa ada pihak lain yang bertanggung jawab akan nilai tambah tersebut.

Menurut McCullough, Emmons, dan Tsung (2002) gratitude merupakan sebuah bentuk emosi atau perasaan, yang kemudian berkembang menjadi suatu sikap, sifat moral yang baik, kebiasaan, sifat kepribadian, dan akhirnya akan mempengaruhi reaksi seseorang terhadap sesuatu atau situasi. Emmons juga menambahkan bahwa gratitude itu membahagiakan, membuat perasaan nyaman, dan bahkan dapat memacu motivasi. Gratitude merupakan suatu kecenderungan secara umum untuk menyadari dan merespon dengan rasa terima kasih terhadap peran orang lain dalam pengalaman positif dan dampak yang dirasakan seseorang (McCullough, Emmons, & Tsung, 2002)

(40)

Berdasarkan definisi gratitude oleh para ahli, dapat diketahui bahwa gratitude merupakan kecenderungan untuk mengungkapkan rasa terima kasih sebagai respon dari penerimaan emosi positif lalu berkembang menjadi sikap dan perilaku yang dapat mempengaruhi reaksi seseorang dalam menghadapi sesuatu atau situasi dalam hidupnya.

Dari definisi yang telah dipaparkan oleh para ahli mengenai gratitude peneliti menggunakan definisi dari McCullough, Emmons, dan Tsung (2002).

Definisi tersebut dipilih karena paling sesuai dengan tujuan dari penelitian

2.2.2 Dimensi gratitude

Menurut McCullough, Emmons, dan Tsung (2002) mengungkapkan dimensi gratitude terdiri dari tiga hal, yaitu:

a. Intensity

Seseorang yang bersyukur ketika mengalami peristiwa positif diharapkan dapat merasa bersyukur lebih intens.

b. Frequency

Seseorang yang memiliki kecenderungan bersyukur akan merasakan banyak perasaan syukur setiap harinya dan syukur bisa menimbulkan dan mendukung tindakan serta kebaikan yang sederhana.

c. Density

Seseorang yang bersyukur diharapkan dapat menuliskan lebih banyak nama-nama orang yang dianggap telah membuatnya bersyukur, termasuk orang tua, teman, keluarga, dan yang lainnya.

(41)

Menurut Watkins, et al (2003) terdapat tiga dimensi dari gratitude, diantaranya adalah sense of abundance, simple appreciation, dan appreciation of other.

Pada penelitian ini, peneliti memilih untuk menggunakan dimensi yang dikemukakan oleh McCullough, Emmons, Tsung (2002). Dimensi tersebut dipilih karena sesuai dengan teori yang digunakan pada penelitian ini.

2.2.3 Pengukuran gratitude

Terdapat beberapa alat ukur yang dapat digunakan untuk mengukur gratitude.

Berikut alat ukur yang dapat digunakan dan telah digunakan pada penelitian sebelumnya, diantaranya:

1. Gratitude Questionnaire (GC-6) (McCullough, Emmons, & Tsung, 2002), terdiri dari 6 item. Mengukur tiga facets diantaranya intensity terdiri dari 2 item, frequency terdiri dari 2 item, dan density terdiri dari 2 item.

2. Gratitude Resessment and Appreciation Test (GRAT) (Watkins et al, 2003), terdiri dari 40 item. Mengukur tiga dimensi diantaranya sense of abundance, simple appreciation, dan appreciation of other.

Pada penelitian ini gratitude diukur menggunakan skala The Gratitude Questionnaire-6 (GQ-6) yang dikembangkan oleh McCullough, Emmons, Tsung (2002). Koefisien reliabilitas dari gratitude cukup tinggi, 0,87 (McCullough, Emmons, & Tsang, 2002). Skala ini dipilih karena paling sesuai dengan teori yang digunakan. Jumlah item yang sedikit menjadi pertimbangan peneliti agar dapat

(42)

memudahkan responden mengisi kuesioner mengingat mayoritas responden berada pada usia dewasa madya dan menderita diabetes mellitus tipe dua.

2.3 Koping Religius

2.3.1 Definisi koping religius

Menurut Wong-McDonald dan Gorsuch (2004) koping religius adalah suatu cara individu menggunakan keyakinannya dalam mengelola stress dan masalah- masalah dalam kehidupan. Pargament (dalam Pargament, Olsen, Reilly, Falgoat, Ensing & Haitsma, 1992) memiliki pandangan koping religius yang lebih dinamis dan situasional, juga mengembangkan religious coping model transaksional Lazarus dan Folkman.

Menurut Pargament (2000) religious dapat menjadi bagian utama dari konstruksi coping, sebagai bagian proses coping transaksional, dan memiliki dua arah peran. Yaitu dapat menyumbang proses coping dan kegiatan coping dalam menghadapi peristiwa kehidupan, serta dapat menjadi hasil coping yang dibentuk oleh elemen-elemen lain.

Koping religius menurut Pargament (1999) merupakan coping stress dengan menggunakan metode dan pola religious seperti berdoa dan beribadah untuk menghilangkan stres. Dalam hal ini terdapat berbagai macam metode coping yang disediakan oleh agama untuk membantu seseorang menghadapi stres yang sedang dihadapi.

(43)

Agama memiliki peran penting dalam mengelola stress, karena agama dapat memberikan bimbingan, dukungan, dan harapan (Pargament, et al., 1988).

Melalu berdoa, ritual dan keyakinan agama dapat membantu seseorang dalam coping saat mengalami stres kehidupan, karena adanya pengharapan dan kenyamanan (Rammohan, Rao, & Subbakrishna, 2002).

Bedasarkan pemaparan terkait definisi koping religius oleh para ahli.

Dapat diketahui bahwa koping religius merupakan cara seseorang untuk menghadapi stress (coping) dengan menggunakan metode religius.

Pada penelitian ini definisi koping religius yang dipilih adalah menurut Pargament (1999). Definisi tersebut dipilih karena paling sesuai dengan tujuan dari penelitian.

2.3.2 Dimensi koping religius

Menurut Pargament et al (2001), koping religius memiliki aspek positif dan aspek negatif.

1. Koping religius positif merupakan gambaran sebuah hubungan yang kuat dengan Tuhan, kepercayaan bahwa sebuah makna yang lebih besar akan ditemukan dan rasa akan keterhubungan secara spiritualitas dengan orang lain (Pargament, et al., 1998). Aspek koping religius positif meliputi:

a. Benevolent religious reappraisal merupakan gambaran ulang sebuah stressor melalui agama secara baik dan menguntungkan.

b. Collaborative religious coping adalah mencari kontrol melalui hubungan kerjasama dengan Tuhan dalam pemecahan masalah.

(44)

c. Seeking spiritual support adalah mencari kenyamanan dan keamanan melalui cinta dan kasih sayang Tuhan.

d. Religious purification adalah mencari pembersihan spiritual melalui Agama.

e. Spiritual connection adalah mencari rasa keterhubungan dengan kekuatan transenden.

f. Seeking support from clergy or members: Mencari kenyamanan dan keamanan melalui cinta dan kasih sayang saudara seiman dan pemuka agama.

g. Religious helping adalah usaha untuk meningkatkan dukungan spiritual dan kenyamanan pada sesama.

h. Religious forgiving adalah mencari pertolongan agama dengan membiarkan pergi kemarahan, rasa sakit, dan ketakutan yang berkaitan dengan sakit hati.

2. Koping religius negatif

Merupakan koping religius yang menggambarkan ekspresi hubungan yang kurang kuat dengan Tuhan, pandangan yang tidak menyenangkan tentang dunia, perjuangan untuk mencari makna hidup yang bersifat maladaptif (Pargament, et al., 1998). Aspek koping religius negatif diantaranya:

a. Punishing God reappraisal adalah gambaran stressor sebagai hukuman dari Tuhan.

(45)

b. Demonic reappraisal merupakan gambaran stressor sebagai sebuah tindakan yg dilakukan oleh roh jahat.

c. Reappraisal of God's power merupakan gambaran kekuasaan Tuhan dalam mempengaruhi stres.

d. Self-directing religious coping merupakan langkah pencarian kontrol melalui inisiatif individu dibandingkan meminta bantuan pada Tuhan.

e. Spiritual discontent merupakan pencarian kontrol melalui inisiatif individu dibandingkan meminta bantuan Tuhan.

f. Interpersonal religious discontent merupakan ekspresi kecemasan dan ketidakpuasan terhadap pemuka agama atau pun saudara seiman.

Menurut Pargament et al (2005) koping religius memiliki lima fungsi utama, diantaranya:

1. Meaning yaitu sebagai pencarian makna dari sebuah kejadian.

2. Control yaitu sebagai pencarian kekuasaan dan kontrol sebuah kejadian.

3. Comfort yaitu sebagai pencarian kenyamanan dan kedekatan kepada tuhan.

4. Intimacy yaitu sebagai pencarian keintiman dengan orang lain dan kedekatan dengan Tuhan.

5. Life transformation yaitu sebagai sebagai pencarian pencapaian transformasi.

Pada penelitian ini, dimensi koping religius menggunakan dimensi yang dikemukakan oleh Pargament et al (2001). Dimensi tersebut dipilih karena paling sesuai dengan definisi yang digunakan dalam penelitian ini.

(46)

2.3.3 Pengukuran koping religius

Terdapat beberapa alat ukur yang dapat digunakan untuk mengukur koping religius. Berikut alat ukur yang dapat digunakan dan telah digunakan pada penelitian sebelumnya, diantaranya:

1. RCOPE (Pargament, 2000), terdiri dari 105 item. Mengukur lima dimensi diantaranya meaning terdiri dari 20 item, comfort terdiri dari 30 item, intimacy terdiri dari 15 item, control terdiri dari 25 item, dan life transformation terdiri dari 15 item.

2. The Brief RCOPE (Pargament, Feuille, dan Burdzy, 2011), terdiri dari 14 item. Mengukur dua dimensi diantaranya positive religious coping terdiri dari 7 item dan negative religious coping terdiri dari 7 item.

Pada penelitian ini koping religius diukur menggunakan skala The Brief RCOPE yang dibuat oleh Pargament, Feuille, dan Burdzy (2011). Koefisien reliabilitas dari positive religious coping adalah 0.94 dan negative religious coping adalah 0.81 (Pargament, Feuille, & Burdzy, 2011). Skala tersebut dipilih karena paling sesuai dengan teori yang digunakan pada penelitian ini. Jumlah item yang sedikit menjadi pertimbangan penliti agar dapat memudahkan responden mengisi kuesioner mengingat mayoritas responden berada pada usia dewasa madya dan menderita diabetes mellitus tipe dua.

2.4 Dukungan Sosial

2.4.1 Definisi dukungan sosial

Sarason, et al (1983) mengatakan bahwa dukungan sosial adalah kondisi, ketersediaan, perawatan dari orang-orang yang menghargai dan mencintai kita.

(47)

Sarason menyatakan bahwa dukungan mencakup dua hal. Pertama, jumlah dukungan sosial yang tersedia seperti yang dirasakan oleh individu kepada sejumlah orang yang dapat dia andalkan ketika dia membutuhkan bantuan (pendekatan kuantitatif). Kedua, tingkat kepuasan tentang dukungan sosial yang diambil dari persepsi individu bahwa kebutuhannya telah terpenuhi (pendekatan kualitatif).

Dukungan sosial yang didapat dari keluarga akan memberikan dampak terhadap hilangnya stress dan mungkin membantunya menyesuaikan diri.

Dukungan sosial mengacu pada kenyamanan, kepedulian, harga diri, atau bantuan yang tersedia bagi seseorang dari orang atau kelompok lain (Uchino, 2004 dalam Sarafino, 2007).

Dukungan sosial melibatkan berbagai jenis transaksi hubungan antar individu dan sifat transaksi tersebut dilakukan dalam berbagai macam cara (Zimet, et al., 1988). Sementara, menurut Taylor (2011) dukungan sosial adalah informasi yang diterima dari orang lain bahwa individu tersebut dicintai, diperhatikan, dihargai dan bernilai serta merupakan bagian dari jaringan komunikasi dan saling dibutuhkan yang di dapat dari orang tua, suami atau orang yang dicintai, keluarga, teman, dan kelompok atau komunitas.

Dukungan dapat datang dari banyak sumber diantaranya pasangan atau kekasih, keluarga, teman, dokter, atau organisasi komunitas seseorang. Orang- orang dengan dukungan sosial percaya bahwa mereka dicintai, dihargai, dan menjadi bagian dari jejaring sosial, seperti keluarga atau organisasi komunitas,

(48)

yang dapat membantu pada saat dibutuhkan (Sarafino, 2007). Jadi, dukungan sosial mengacu pada tindakan yang benar-benar dilakukan oleh orang lain, atau dukungan yang diterima.

Berdasarkan pemaparan definisi oleh para ahli. Dukungan sosial merupakan dukungan yang diberikan oleh orang lain, dalam hal ini keluarga, teman dan significant other yang dapat membuat seseorang merasa dicintai, diperhatikan dan dihargai serta bernilai.

Peneliti menggunakan pengertian social support yang dirumuskan oleh Zimet, et al (1988). Karena definisi tersebut paling sesuai dengan tujuan penelitian.

2.4.2 Dimensi dukungan sosial

Sarafino (2007) mengungkapkan terdapat empat dimensi dari dukungan sosial diantanya sebagai berikut:

a. Emotional or esteem support

Merupakan dukungan berupa empati, perhatian positif, dan dorongan terhadap orang tersebut. Hal ini memberikan kenyamanan dan kepastian dengan rasa memiliki dan dicintai di saat-saat stres, seperti dukungan yang akan diberikan oleh keluarga.

b. Tangible or instrumental

Merupakan dukungan dengan melibatkan bantuan langsung, seperti ketika orang memberi atau meminjamkan uang orang atau membantu dengan tugas-tugas

(49)

di saat-saat stres. Kerabat akan membantu orang tuanya mendapatkan pekerjaan dan mendirikan rumah baru.

c. Informational support

Dukungan ini meliputi pemberian saran, petunjuk, atau umpan balik tentang bagaimana orang tersebut melakukan. Misalnya, seseorang yang sakit mungkin mendapatkan informasi dari keluarga atau dokter tentang cara mengobati penyakitnya.

d. Companionship support

Dukungan ini mengacu pada ketersediaan orang lain untuk menghabiskan waktu bersama orang tersebut, sehingga memberikan perasaan keanggotaan dalam sekelompok orang yang saling berbagi minat dan kegiatan sosial.

Selain itu, Zimet, et al (1988) juga mengungkapkan terkait aspek dukungan sosial. Terdapat tiga aspek dalam dukungan sosial, diantaranya:

a. Dukungan keluarga (family)

Dukungan keluarga merupakan bantuan yang diberikan oleh keluarga terhadap individu seperti membantu dalam memcahkan permasalahan, membuat keputusan, serta memberikan dukungan emosional terhadap individu tersebut.

b. Dukungan teman-teman (friends)

Dukungan teman merupakan bantuan yang diberikan oleh teman terhadap individu seperti membantu dalam kegiatan sehari-hari, membantu memberikan saran untuk pemecahan masalah, serta saling berbagi suka dan duka.

(50)

c. Dukungan significant other

Dukungan significant other merupakan bantuan yang diberikan oleh orang yang berarti dalam hidup. Dukungan dapat berupa dukungan emosional seperti merasa nyaman, dihargai, dipercayai.

Pada penelitian ini dimensi dukungan sosial menggunakan dimensi yang dikemukakan oleh Zimet, et al (1988). Karena dimensi tersebut paling sesuai dengan definisi yang digunakan dalam penelitian ini.

2.4.3 Pengukuran dukungan sosial

Terdapat beberapa alat ukur yang dapat digunakan untuk mengukur dukungan sosial. Berikut alat ukur yang dapat digunakan dan telah digunakan pada penelitian sebelumnya, diantaranya:

1. Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS) (Zimet, et al., 1988), terdiri dari 12 item. Mengukur tiga dimensi yaitu dukungan keluarga, dukungan teman, dan dukungan significant other. Masing- masing dimensi memiliki 4 item.

2. Interpersonal Support Evaluation List (ISEL) (Dunkel et al, 1987), terdiri dari 40 item. Mengukur tiga dimesi diantaranya appraisal support, belonging support, dan tangible support.

3. Social Support Questionnaire (SSQ) (Sarason, Levine, Basham, 1983), terdiri dari 27 item. Mengukur dua aspek yaitu perception dan satisfaction dari dukungan sosial.

Pada penelitian ini dukungan sosial diukur menggunakan skala Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS) yang dibuat oleh

(51)

Zimet, et al (1988). Koefisien realibilitas pada alat ukur ini sebesar 0.88 (Zimmet, et al., 1988). Alat ukur ini dipilih karena sesuai dengan teori yang digunakan sebagai acuan pada penelitian ini.

2.5 Kerangka Berpikir

Kesejahteraan psikologis merupakan kemampuan individu untuk menerima diri dengan memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri maupun orang lain dengan segala kekurangan dan kelebihan yang dimiliki, dapat membuat keputusan sendiri dan mengatur tingkah lakunya sendiri, dapat menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhannya, memiliki tujuan hidup dan membuat hidup menjadi lebih bermakna, serta berusaha untuk mengembangkan potensi yang dimikinya.

Orang dengan penyakit kronis, salah satunya diabetes mellitus umumnya memilki kesejahteraan psikologis yang rendah. Karena akibat dari tekanan juga stres yang ditimbulkan oleh penyakit yang dideritanya. Tidak semua orang dengan penyakit diabetes mellitus dapat menerima bahwa dirinya mengidap penyakit tersebut, hal tersebut dapat memperparah kondisi pasien dan menimbulkan komplikasi karena tidak adanya perawatan atau pun kontrol terhadap gula darah dalam dirinya.

Kesejahteraan psikologis menuntut setiap individu untuk menerima kekurangan juga kelebihan dalam dirinya. Oleh karena itu, tingginya kesejahteraan psikologis para penderita diabetes mellitus dapat membantu mencegah resiko komplikasi yang akan di derita oleh penderita diabetes mellitus tersebut karena menurunnya tingkat stres atau tekanan yang dirasakan.

(52)

Gratitude merupakan elemen yang dapat berpengaruh terhadap kesejahteraan psikologis. Terutama untuk para penderita penyakit diabetes. Saat seorang memiliki gratitude yang baik, maka Ia dapat menerima dirinya serta kekurangan juga kelebihan yang dimilikinya. Sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis penderita diabetes. Gratitude juga memiliki korelasi positif dengan kesejahteraan psikologis. Semakin tinggi gratitude seseorang maka akan meningkat pula kesejahteraan psikologis yang dimilikinya.

Koping religius merupakan cara coping seseorang terhadap stres dengan menggunakan pendekatan religious. Setiap orang yang beragama pasti memiliki ritual ibadah yang mereka lakukan dan yakini. Hal tersebut merupakan salah satu contoh dari koping religius yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang. Individu dengan penyakit diabetes mellitus akan dihadapkan dengan resiko komplikasi hingga menuju kematian, yang menimbulkan stres juga tekanan yang tinggi terhadap dirinya. Sehingga sangat dibutuhkan koping religius untuk mengurangi tekanan atau stres yang dialami. Terdapat dua metode dalam koping religius diantaranya koping religius positif dan koping religius negatif. Terdapat korelasi yang positif antara kesejahteraan psikologis dan koping religius positif, diamana semakin tinggi skor koping religius positif maka semakin tinggi pula kesejahteraan psikologis seseorang. Namun untuk koping religius negatif terdapat korelasi negatif, dimana semakin rendah skor koping religius negatif maka semakin tinggi kesejahteraan psikologisnya.

Dukungan sosial yang diperoleh dari keluarga, teman, dan orang terdekat lainnya merupakan hal penting yang dapat mempengaruhi kesejahteraan

(53)

psikologis penderita diabetes. Karena setiap penderita yang menerima dukungan sosial dapat merasakan pengakuan dan merasa termotivasi untuk bangkit dan melawan penyakit yang dideritanya. Sehingga dapat menghindarkan dari resiko komplikasi karena Ia dapat mengontrol kondisi kesehatannya. Terdapat korelasi yang positif antara dukungan sosial dengan kesejahteraan psikologis, dimana semakin tinggi dukungan sosial yang diperoleh maka akan semakin tinggi pula kesejahteraan psikologis seseorang.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ryff (1989) terdapat perbedaan kesejahteraan psikologis antara perempuan dan laki-laki. Oleh karena itu peneliti berpikir bahwa terdapat pengaruh dari jenis kelamin terhadap kesejahteraan psikologis penderita diabetes.

Berdasarkan hal-hal tersebut peneliti berpendapat bahwa gratitude; koping religius positif dan koping religius negatif;dukungan sosial yang diperoleh dari keluarga, teman maupun significant others; serta jenis kelamin dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang.

(54)

Gambar 2.1 Kesejahteraan Psikologis

Jenis Kelamin

Dukungan Sosial Dukungan Keluarga

Dukungan Teman

Dukungan Significant other

Gratitude Koping Religius

Koping Religius Negatif Koping Religius

Positif

(55)

2.6 Hipotesis

Ber

Gambar

Gambar  2.1 Kesejahteraan Psikologis
Tabel 4.5  R Square

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan gaya belajar yang dipaparkan pada bab IV, maka dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat siswa kelas IPA cenderung

1 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan padaBab- bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa

BAB V PENUTUP Pada bab ini dipaparkan hasil kesimpulan dari penelitian klasifikasi penyakit diabetes dengan metode Logistic Regression dan saran-saran untuk pengembangan sistem yang

Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, diperoleh hasil bahwa terdapat pengaruh yang signifikan pembelajaran daring terhadap hasil belajar

103 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan dari hasil penelitian yang dilakukan maka dapat diambil suatu kesimpulan dalam penelitian ini sebagai berikut : 1 Hasil

36 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Adapun kesimpulan hasil dari penelitian yang telah dilakukan terhadap jenis aspal pen 60/70 pada campuran AC-WC dengan melakukan

36 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Adapun kesimpulan hasil dari penelitian yang telah dilakukan terhadap jenis aspal pen 60/70 pada campuran AC-WC dengan melakukan

PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan dalam bab-bab sebelumnya, terdapat kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini yakni sebagai berikut: pertama,