• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengenalan Disease Tetanus dan Pencegahannya

N/A
N/A
Jawara Vesar

Academic year: 2024

Membagikan "Pengenalan Disease Tetanus dan Pencegahannya"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

ASUHAN KEPERAWATAN TETANUS

Disusun Oleh:

Izza Khilyatuz Zuhro (1440121023) Jawara Vesar P (1440121024)

PROGRAM STUDI D-3 KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN RUSTIDA

KRIKILAN BANYUWANGI 2023

(2)

1.1 Definisi

Tetanus merupakan salah satu penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi.

Penyakit ini ditandai oleh kekakuan otot dan spasme yang diakibatkan oleh pelepasan neurotoksin (tetanospasmin) oleh Clostridium tetani. Tetanus dapat terjadi pada orang yang belum diimunisasi, orang yang diimunisasi sebagian, atau telah diimunisasi lengkap tetapi tidak memperoleh imunitas yang cukup karena tidak melakukan booster secara berkala (Simanjuntak P 2013)

Tetanus adalah penyakit infeksi sporadic yang melibatkan sistem saraf disebabkan oleh eksotoksin, tetanospasmin yang diproduksi oleh Clostridium tetani. Karakteristik penyakit ini adalah peningkatan tonus dan spasme otot pada individu yang tidak memiliki kekebalan tubuh terhadap tetanus. Terkadang infeksi juga menyerang individu yang sudah memiliki imunitas tetapi gagal mempertahankan daya imun tubuh yang adekuat. Sehingga meskipun penyakit ini dapat dicegah dengan imunisasi, akan tetapi insidensinya di masyarakat masih cukup tinggi (Ahuja and Kamala 2015)

Tetanus merupakan penyakit sistem saraf yang disebabkan oleh tetanospasmin (neurotoksin yang diproduksi oleh bakteri Clostridium tetani). Neurotoksin tersebut kemudian akan menghambat neurotransmitter GABA (asam gamma-aminobutirat) dan glisin sehingga tidak terjadi hambatan aktivitas refleks otot. Penyakit ini ditandai dengan spasme tonik persisten disertai serangan yang jelas dan keras. Spasme otot ini dapat terjadi secara lokal (disekitar infeksi), sefalik (mengenai otot otot kranial), maupun secara generalisata (umum) yang mengenai otot otot kranial, anggota gerak dan batang tubuh. Spasme pada otot leher dan rahang menyebabkan kesulitan membuka mulut (penutupan rahang) yang biasa disebut dengan lockjaw atau trismus (Ashshiddiiq, Suropati, and Ifta 2015).

(3)

1.2 Etiologi

Etiologi atau penyebab dari penyakit tetanus adalah bakteri yang bernama Clostridium tetani, bakteri ini termasuk jenis bakteri gram positif, anaerob obligat (bakteri yang dapat hidup dalam lingkungan tanpa oksigen) yang menghasilkan spora yang mana spora tersebut mampu bertahan hidup sampai puluhan tahun di lingkungan yang sesuai, tahan terhadap desinfektan, tahan terhadap sinar matahri dan tahan terhadap proses pendidihan dibawah 20 menit. Spora Clostridium tetani hidup di saluran pencernaan hewan-hewan ternak seperti domba, anjing, kuda dan sapi (Bagian Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008). Spora bakteri ini dapat pula ditemui pada debu, benda-benda berkarat, dan permukaan tanah yang telah terkontaminasi tinja hewan dan manusia. Bakteri ini mampu menyebabkan infeksi melalui luka pada permukaan kulit manusia, terutama pada luka tusuk dan luka irisan yang dalam, luka bakar, gigitan hewan, penggunaan alat medis yang tidak steril, infeksi gigi-geligi, luka bekas tusukan pada proses pembuatan tato atau tindik, kecelakaan kendaraan bermotor dan juga pada luka yang disertai reaksi inflamasi akibat mikroorganisme Iain. Bakteri Clostridium tetani yang aktif dalam tubuh akan berkembang biak dan memproduksi toksin tetanus yang disebut tetanospasmin, yang mana kemudian memasuki sistem saraf melalui neuron-neuron motorik bagian bawah (Iower motor neurons) dan berjalan ke sumsum tulang belakang dan batang Otak (Agustiawan, dkk 2022).

1.3 Manifestasi Klinis

Klasifikasi Ablett untuk derajat manifestasi klinis Tetanus (Simanjuntak P 2013) :

 Grade I (ringan)

Trismus ringan, spastisitas general, tidak ada distress pernapasan, tidak ada spasme dan disfagia.

 Grade II (sedang)

Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan hingga sedang dengan durasi pendek, takipnea ≥ 30 kali/menit, disfagia ringan.

 Grade III A (berat)

Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan yang memanjang, distres pernapasan dengan takipnea ≥ 40 kali/menit,apneic spell, disfagia berat, takikardia

≥ 120 kali/menit.

(4)

 Grade III B (sangat berat) Medula

Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi otonom berat yang melibatkan sistem kardiovaskuler. Hipertensi berat dan takikardia bergantian dengan hipotensi relatif dan bradikardia, salah satunya dapat menjadi persisten.

1.4 Klasifikasi

Tetanus dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis (Agustiawan, dkk 2022) yaitu:

a. Tetanus neonatorum

Tetanus neonatorum terjadi pada bayi baru lahir yang mana sangat beresiko terkena apabila bayi tersebut dilahirkan dengan instrumen persalinan yang tidak terjaga kesterilannya (terkontaminasi spora bakteri). Tetanus neonatorum dapat menyerang otak, saraf otonom, saraf spinal, dan neuromuscular junction bayi. Tetanus neonatorum umumnya timbul sebagai akibat pemotongan dan perawatan umbilical cord (tali pusar) yang tidak steril dan juga bisa disebabkan oleh karena ibu yang tidak mendapat imunisasi Tetanus Toksoid.

b. Tetanus pada anak/dewasa (sistemik)

Tetanus sistemik terjadi pada anak-anak, remaja dan orang dewasa.

Kebanyakan kasus tetanus sistemik timbul sebagai akibat Iuka pasca-trauma, ulserasi kulit yang bersifat kronis, abses gigi, Iuka bakar, otitis media supuratif kronis dan pasca-pembedahan daerah abdomen yang terkontaminasi bakteri Clostridium tetani.

(5)

1.5 Patofisiologi

Tetanus disebabkan oleh Clostridium Tetani, suatu basilus Gram-positif ng diketahui menyekresi dua toksin, tetanospamin dan tetanolisin, pada keadaan anaerob.Tetanospamin berperan menyebabkan sindrom klinis pada tetanus.Tetanospamin merupakan polipeptida dua rantai, rantai pendeknya bekerja di prasinaps untuk mencegah pelepasan neurotransmitter setelah rantai panjangnya mempermudah masuknya molekul-molekul neurotransmitter kedalam sel.

Tetanospamin memecah sinaptobrevin, yang merupakan suatu protein yang diperlukan untuk pelepasan neurotransmitter.Periode inkubasi sekitar 1-60 hari. Pemulihan akibat tetanus terjadi sebagai akibat dekstruksi toksin dan pertumbuhan kembali terminal akson. Bentuk spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif bila lingkungannya memungkinkan untuk perubahan bentuk tersebut dan mengeluarkan eksotoksin.

Kuman tetanusnya sendiri tetap tinggal didaerah luka, tidak ada penyebaran kuman.

Kuman ini membentuk dua macam eksotoksin yang dihasilkan, yaitu tetanolisin dan tetanospamin (Ashshiddiiq, Suropati, dan Ifta 2019).

Tetanolisin dalam percobaan dapat menghancurkan sel darah merah, tetapi tidak menimbulkan tetanus secara langsung, melainkan menambah optimal kondisi local untuk berkembangnya bakteri.Tetanospamin terdiri dari protein yang bersifat toksik terhadap sel saraf.Toksin ini diabsorbsi oleh end organ saraf diujung saraf motorik dan diteruskan melalui saraf sampai ke sel ganglion dan susunan saraf pusat.Bila telah mencapai susunan sel saraf pusat dan terikat pada sel saraf, toksin tersebut tidak dapat dinetralkan lagi. Saraf yang terpotong atau berdegenerasi, lambat menyerap toksin, sedangkan saraf sensorik sama sekali tidak menyerap (Ashshiddiiq, Suropati, dan Ifta 2019).

(6)

1.6 Web Of Caution (WOC)

Bowel

Otot mastkatorius

Post de entry kuman bakteri

Infeksi

Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh dan berpoliferasi

Eksotoksin Tetanus

Neurotoksin Saraf perifer

Kejang spontan, kejang abdomen dan retensi urin

Risiko Defisit Nutrisi Risiko Perfusi

Serebral Tidak Efektif

Intake nutrisi tidak adekuat

Melalui sinap dan masuk SSP Release

tetanospasmin Pola Napas

Tidak Efektif

Sulit menelan Kesadara

n menurun

Sesak napas Menyebar

ke otot2 sekitar Tetanospasmin beredar

melalui aliran darah dan limpa dan masuk

ke intrakranial

Hipoksia berat Trismus

Sulit bernapas

Melalui luka (otot dibawah/sekita

r luka) Pengangkutan

toksin melewati saraf

motorik Luka terbuka

Suplai O2 menurun Otot pernapasan dan laring

Bladder Bone

Brain Blood

Breathing

Luka predisposisi (luka tusuk dan kotor serta belum terimunisasi, luka karena lalu lintas , luka bakar, luka tembak,

tusuk gigi, perawatan luka/tali pusat yang tidak baik

(7)

Nyeri Akut

Menghambat pelepasan asetikolin Masuk dan menyebar ke sistem saraf pusat

Medula spinaslis

Gangguan Eliminasi Urin Perubahan eliminasi urin

Otot punggung kaku

Opistotonus Spasme otot

Gangguan Mobilitas Fisik

(8)

1.7 Komplikasi

Pada saluran nafas, dapat terjadi asfiksia, aspirasi pneumonia, atelektasis akibat obstruksi oeh sekret, pneumothorks dan mediastinal emfisema yang biasanya terjadi akibat dilakukannya trakeostomi. Komplikasi pada sistem kardiovaskuer berupa takikardi, hipertensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan miokardium. Pada otot, dapat terjadi perdarahan dalam otot. Fraktur kolumna vetebralis dapat terjadi ketika kejang berangsung hebat dan terus menerus.

Beberapa penelitian juga melaporkan munculnya miositis ossifikans sirkumskripta. Laserasi lidah, dekbitus, dan demam tinggi juga dapat terjadi (Ashshiddiiq, Suropati, and Ifta 2015)

1.8 Pemeriksaan Penunjang

a. EKG : interval CT memanjang karena segmen ST. bentuk takikardia ventrikuler (torsaderse pointer)

b. Pada tetanus kadar serum 5-6 mg/al atau 1,2-1,5 mmol/L atau lebih rendah kadar fosfat dalam serum meningkat

c. Sinar X tulang tampak peningkatan denitas foto rontgen pada jarringan subkutan atau basas ganglia otak menunjukkan klasifikasi

1.9 Penatalaksanaan a. Non Farmakologi

1) Merawat dan memebersihkan luka sebaik-baiknya.

2) Diet TKTP pemberian tergantung kemampuan menelan bila trismus makanan diberi pada sonde parenteral.

3) Isolasi pada ruang yang tenang bebas dari rangsangan luar.

4) Menjaga jalan nafas agar tetap efisien 5) Mengatur cairan dan elektrolit.

b. Farmakologi

1) Antitoksin Antitoksin 20.000 iu/1.m/5 hari. Pemberian baru dilaksanakan setelah dipastikan tidak ada reaksi hipersensitivitas

2) Anti kejang/Antikonvulsan

a) Fenobarbital (luminal) 3 x 100 mg/1.M. untuk anak diberikan mula- mula 60- 100 mg/1.M lalu dilanjutkan 6 x 30 mg hari (max. 200 mg/hari).

b) Klorpromasin 3 x 25 mg/1.M/hari untuk anak-anak mula-mula 4-6 mg/kg BB.

(9)

c) Diazepam 0,5-1,0 mg/kg BB/1.M/4 jam, dll 3) Antibiotik Penizilin prokain 1, juta 1.u/hari atau tetrasiflin 1 gr/hari/1.V Dapat memusnakan tetani tetapi tidak mempengaruhi proses neurologiknya

1.10 Konsep Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian

1) Anamnesa

Anamnesa pada tetanus meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik, dan pengkajian psikososial (pada anak perlu dikaji dampak hospitalisasi).

2) Keluhan utama

Sering menjadi alasan klien atau orang tua membawa anaknya untuk meminta pertolongan kesehatan adalah panas badan tinggi, kejang, dan penurunan tingkat kesadaran (Arif, Muttaqin, 2014).

b. Riwayat Kesehatan

1) Riwayat Kesehatan Sekarang

Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui untuk mengetahui predisposisi penyebab sumber luka. Tanyakan dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh, atau bertambah buruk. Keluhan kejang perlu mendapat perhatian untuk dilakukan pengkajian lebih mendalam, bagaimana sifat timbulnya kejang, stimulus apa yang sering menimbulkan kejang, dan tindakan apa yang telah diberikan dalam upaya menurunkan keluhan kejang tersebut.

Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan dengan toksin tetanus yang mengiflamasi jaringan Otak. Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargik, tidak responsif, dan koma.

2) Riwayat Kesehatan Dahulu

Penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan atau menjadi predisposisi keluhan saat ini meliputi klien mengalami tubuh terluka dan luka tusuk yang dalam misalnya tertusuk paku, kaca, terkena kaleng, atau luka yang kotor; karena terjatuh di tempat yang kotor dan terluka atau kecelakaan dan timbul luka yang tertutup debu/kotoran luka bakar dan patah tulang terbuka. Adakah porte d'entree lainnya seperti luka

(10)

yang ringan kemudian menjadi bernanah dan gigi berlubang dikorek dengan benda yang kotor

c. Pemeriksaan Fisik 1) Kesadaran umum

Kesadaran klien biasaanya composmentis, pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien tetanus mengalami penurunan pada tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa.

2) Tekanan darah : biasanya tekanan darah pada pasien tetanus biasanya normal 3) Nadi : penurunan denyut nadi terjadi berhubungan dengan perfusi

jaringan di otak

4) RR: frekuensi pernafasan pada pasien tetanus meningkat karena berhubungan dengan peningkatan laju metabolism umum

5) Suhu : pada pasien tetanus biasanya peningkatan suhu tubuh lebih dari normal (38-40  C)

6) Pemeriksaan body sistem

 B1 (Breating)

Inspeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan yang sering didapatkan pada klien tetanus yang disertai adanya ketidakefektifan bersihan jalan napas. Palpasi toraks didapatkan taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang menurun.

 B2 (Blood)

Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan (syok hipovolemik) yang sering terjadi pada klien tetanus. Tekanan darah biasanya normal, peningkatan denyut jantung, adanya anemis karena hancurnya eritrosit.

 B3 (Brain)

Pengkajian Tingkat Kesadaran. Kesadaran klien biasanya compos mentis. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien tetanus mengalami penurunan pada tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa. Jika klien sudah mengalami koma maka penilaian

(11)

GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk pemantauan pemberian asuhan.

Pengkajian Fungsi Serebral. Status mental: observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien. Pada klien tetanus tahap lanjut biasanya status mental klien mengalami perubahan.

 B4 (Bladder)

Penurunan volume urine output berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal. Adanya retensi urine karena kejang umum. Pada klien yang sering kejang sebaiknya urine dikeluarkan dengan menggunakan kateter.

 B5 (Bowel)

Mual sampai muntah disebabkan peningkatan produksi asam Iambung. Pemenuhan nutrisi pada klien tetanus menurun karena anoreksia dan adanya kejang, kaku dinding perut (perut papan) merupakan tanda khas pada tetanus. Adanya spasme Otot menyebabkan kesulitan BAB.

 B6 (Bone)

Adanya kejang umum sehingga mengganggu mobilitas klien dan menurunkan aktivitas sehari-hari. Perlu dikaji apabila klien mengalami patah tulang terbuka yang memungkinkan port de entrée kuman klostridium tetani, sehingga memerlukan perawatan luka yang optimal. Adanya kejang memberikan risiko pada fraktur vetebra pada bayi, ketegangan, dan spasme Otot pada abdomen (Arif, Muttaqin, 2014).

(12)

2. Diagnosa Keperawatan

a. Pola Napas Tidak Efektif berhubungan dengan gangguan neurologis (mis.

EEG positif, cedera kepala, gangguan kejang) ditandai dengan dispnea, pola napas abnormal

b. Nyeri Akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis (mis. inflamasi) ditandai dengan mengeluh nyeri, gelisah, frekuensi nadi meningkat dan tekanan darah meningkat

c. Gangguan Eliminasi Urin berhubungan dengan penurunan kapasitas kandung kemih ditandai dengan berkemih tidak tuntas

d. Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot ditandai dengan mengeluh sulit menggerakkan ektermitas, kekuatan otot menurun, sendi kaku , nyeri saat bergerak dan gerakan terbatas

e. Risiko Defisit Nutrisi dibuktikan dengan ketidakmampuan menelan makanan f. Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif dibuktikan dengan efek samping

tindakan (mis. tindakan operasi)

(13)

3. Intervensi Keperawatan No. Diagnosa

Keperawatan

Tujuan (SLKI) Intervensi (SIKI)

1. Pola Napas Tidak Efektif berhubungan dengan gangguan neurologis (mis. EEG positif, cedera kepala, gangguan kejang) ditandai dengan dispnea, pola napas abnormal

Pola Napas (L.01004) Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan pola napas membaik dengan kriteria hasil :

1. Dispnea menurun (5) 2. Penggunaan otot bantu

napas menurun (5) 3. Frekuensi napas

membaik (5)

4. Kedalaman napas membaik (5)

Manajemen Jalan Napas (1.01012)

Observasi :

1. Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman ,usaha napas)

2. Monitor bunyi napas

tambahan (mis.

gurgling, ronchi kering) Terapeutik :

3. Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head tilt dan chin lift

4. Posisikan semi fowler atau fowler

5. Berikan oksigenasi, jika perlu

Edukasi:

6. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak terkontaindikasi

Kolaborasi:

7. Kolaborasi pemberian bronkodilator,

ekspektoran dan

mukolitik

2. Nyeri Akut

berhubungan dengan

agen pencedera

fisiologis (mis.

Tingkat nyeri ( L.08066) Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan

selama 3x24 jam

Manajemen Nyeri (1.08238) Observasi :

1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,

(14)

inflamasi) ditandai dengan mengeluh nyeri, gelisah,

frekuensi nadi

meningkat dan tekanan darah meningkat

diharapkan tingkat nyeri menurun dengan kriteria hasil :

1. Keluhan nyeri

menurun (5)

2. Meringis menurun (5) 3. Gelisah menurun (5) 4. Frekuensi nadi

membaik (5)

frekuensi, kualitas, intensitas nyeri

2. Identifikasi skala nyeri 3. Identifikasi faktor yang

memperberat dan

memperingan nyeri Terapeutik:

4. Berikan teknik

nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis. aromaterapi) 5. Kontrol lingkungan

yang memperberat rasa nyeri (mis. kebisingan) Edukasi :

6. Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri

7. Jelaskan strategi meredakan nyeri

8. Ajarkan teknik

nonfarmakologi untuk mengurangi rasa nyeri Kolaborasi :

9. Kolaborasi pemberian analgetik

3. Gangguan Eliminasi Urin berhubungan dengan penurunan kapasitas kandung kemih ditandai dengan berkemih tidak tuntas

Eliminasi Urin ( L.04034) Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan eliminasi urin membaik dengan kriteria hasil :

Manajemen Eliminasi Urin (1.04152)

Observasi :

1. Identifikasi 9tanda dan gejala retensi atau inkontinensia urin

2. Identifikasi faktor yang

(15)

1. Sensasi berkemih meningkat (5)

2. Berkemih tidak tuntas menurun (5)

3. Frekuensi BAK

membaik (5)

menyebabkan retensi atau inkontinensia urin 3. Monitor eliminasi urin

(mis. frekuensi, konsistensi, aroma, volume dan warna) Terapeutik :

4. Ambil sampel urin tengah atau kultur Edukasi :

5. Ajarkan tanda dan gejala infeksi saluran kemih 6. Ajarkan mengenali

tanda berkemih dan waktu yang tepat untuk berkemih

7. Anjurkan minum yang cukup, jika tidak ada kontraindikasi

Kolaborasi :

8. Kolaborasi pemberian obat supositoria uretra, jika perlu

4. Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot ditandai dengan mengeluh sulit menggerakkan

ektermitas, kekuatan otot menurun, sendi kaku , nyeri saat bergerak dan gerakan

Mobilitas Fisik ( L.05042) Selama dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan mobilitas fisik meningkat dengan kriteria hasil :

1. Pergerakan ekstremitas meningkat (5)

2. Kekuatan otot

Dukungan Mobilisasi (1.05173)

Observasi :

1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya

2. Identifikasi toleransi

fisik melakukan

pergerakan

3. Monitor kondisi umum

(16)

terbatas meningkat (5)

3. Rentang gerak (ROM) meningkat (5)

4. Nyeri menurun (5) 5. Kaku sendi menurun

(5)

6. Gerakan terbatas menurun (5)

sebelum melakukan mobilisasi

Terapeutik :

4. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu (mis. pagar tempat tidur)

5. Fasilitasi melakukan pergerakan

6. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meniingkatkan

pergerakan Edukasi :

7. Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi 8. Anjurkan melakukan

mobilisasi dini

9. Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan (mis. duduk ditempat tidur, duduk disisi tempat tidur, pindah dari tempat tidur ke kursi )

5. Risiko Defisit Nutrisi dibuktikan dengan ketidakmampuan mencerna makanan

Status Nutrisi ( L.03030) Selama dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan status nutrisi membaik dengan kriteria hasil :

1. Porsi makan yang

Manajemen Nutrisi

(1.03119) Observasi:

1. Identifikasi status nutrisi 2. Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrien

3. Monitor asupan

makanan

(17)

dihabisakn meningkat (5)

2. Berat badan membaik (5)

3. Indeks Massa Tubuh (IMT) membaik (5) 4. Frekuensi makan

membaik (5)

5. Nafsu makan membaik (5)

Terapeutik :

4. Berikan makanan tinggi seratuntuk mencegah konstipasi

5. Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein Edukasi:

6. Anjurkan posisi duduk 7. Ajarkan diet yang di

programkan Kolaborasi :

8. Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (mis. pereda nyeri)

9. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis nutrien yang dibutuhkan 6. Risiko Perfusi Serebral

Tidak Efektif

dibuktikan dengan efek samping tindakan (mis.

Tindakan Operasi)

Perfusi Serebral (L.02014) Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan perfusi serebral meningkat dengan kriteria hasil :

1. Tingkat kesadaran meningkat (5)

2. Nilai rata-rata tekanan darah membaik (5) 3. Kesadaran membaik

(5)

Pemantauan Tekanan Intrakranial (1.06198) Observasi :

1. Identifikasi penyebab

peningkatan TIK (mis. lesi menempati eruang, gangguan metabolisme, edema serebral,

peningkatan tekanan vena, obstruksi aliran cairan serebrospinal,

(18)

hipertensi intrakranial idiapotik)

2. Monitor peningkatan TD

3. Monitor penurunan tingkat kesadaran 4. Monitor tekanan

perfusi serebral Terapeutik :

5. Pertahankan posisi kepala dan leher netral

6. Atur interval pemantauan sesuai kondisi pasien

7. Dokumentasikan hasil pemantauan Edukasi:

8. Jelaskan tujuan dan prosedur

pemantauan

9. Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

(19)

5. Implementasi Keperawatan

Implementasi merupakan tindakan yang sudah direncanakan dalam rencana keperawatan. Tindakan keperawatan mencakup tindakan mandiri (independen) dan tindakan kolaborasi.

6. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi merupakan tahap akhir dalam proses keperawatan untuk dapat menentukan keberhasilan dalam asuhan keperawatan. Evaluasi pada dasarnya adalah membandingkan ststus keadaan kesehatan dengan tujuan atau kriteria hasil yang telah ditetapkan.

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Ahuja, G. K., and G. Kamala. 2015. “Cephalic Tetanus.” Neurology India 26(1): 10–13.

Agustiawan, dkk. 2022. EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR. Sumatra Barat : PT.GLOBAL EKSEKUTIF TEKNOLOGI.

Arif, Muttaqin.2014.Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem Persyarafan.

Jakarta : Salemba Medika

Ashshiddiiq, Zaid Ziyaadatulhuda, Andreas Sentot Suropati, and Rusnaindah Ifta. 2015. “LAPORAN KASUS : TETANUS Case Report : Tetanus.” : 18–34.

Simanjuntak P. 2013. “Penatalaksanaan Tetanus Pada Pasien Anak.” Medula 1(4): 85–93.

https://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/medula/article/download/134/132.

Wicaksana, Arif, and Tahar Rachman. 2018. “LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN ‘TETANUS’ Disusun.” Angewandte Chemie International Edition, 6(11), 951–952. 3(1): 10–27.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan pemberian imunisasi adalah untuk memberikan perlindungan jangka panjang terhadap penyakit difteri dan tetanus dengan imunisasi Difteri Tetanus Toxoid (DT)

Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan Isbagio dkk 25 terhadap antibodi difteri dan tetanus satu tahun setelah mendapat imunisasi DT pada 58 anak usia 5–6 tahun

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap ibu hamil trimester III dengan pemberian imunisasi tetanus toksoid di Wilayah Kerja

Penelitian ini termasuk kompetensi bidan dalam melaksanakan pelayanan kebidanan pada ibu hamil tentang hubungan tingkat pengetahuan tentang imunisasi tetanus toksoid dengan

Tetanus merupakan penyakit infeksi akut yang menunjukkan diri dengan gangguan neuromuscular akut berupa trismus, kekakuan dan kejang otot disebabkan oleh eksotoksin spesifik dari

Angka kejadian penyakit tetanus sudah mulai berkurang di Negara maju, namun berbeda dengan yang terjadi di negara berkembang seperti Indonesia, insiden dan angka kematian akibat

Mortalitas penyakit tetanus masih tinggi; mortalitas tetanus neonatorum adalah sekitar10–60%, 9 sedangkan di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM Jakarta didapatkan angka 80% untuk

hesentase 163 ibu-ibu yang masih memiliki kekebalan terhadap tetanus, beserta titer anti- toksinnya, setelah imunisasi dengan toksoid serap tetanus*, (retrospektif), dari