• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian dan Ruang Lingkupnya

N/A
N/A
Luthfi mubarok2

Academic year: 2024

Membagikan " Pengertian dan Ruang Lingkupnya"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

Materi 1

HADITS DAN RUANG LINGKUPNYA

Pokok Bahasan A.

Pengertian Hadits

B. Sinonim Hadits dan Contoh-Contohnya 1. Sunnah

2. Khabar 3. Atsar

4. Persamaan dan Perbedaan Hadits dan Sinonimnya 5. Contoh-Contoh Hadits, Sunnah, Khabar dan Atsar C. Bentuk-Bentuk Hadits

D. Struktur Hadits

E. Model Periwayatan hadits

F. Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an G. Pengertian Hadits Tarbawi

PETA KONSEP

Pembahasan A. Pengertian Hadits

Hadits mempunyai beberapa sinonim/muradif menurut para pakar ilmu hadits, yaitu sunnah, khabar dan atsar. Masing-masing istilah ini akan dibicarakan pada pembahasan berikut. Pada bab ini terlebih dahulu akan dibahas pengertian hadits. Sunnah juga sering disebut oleh sebagian masyarakat, tetapi terkadang dimaksudkan makna berganda.

Secara etimologi, kata hadits berasal dari akar kata:

Secara Bahasa Secara Istilah

Sunnah Khabar Atsar

1.Hadits Qauly 2.Hadits Fi’ly 3.Hadits Taqriry 4.HaditsHammi Hadits Ahwaly 5

Perawi Sanad Matan Mukharrij Hadits

Pengertian Sinonim Bentuk Unsur

Model Periwayatan

Periwayatan Bil Lafzi

Periwayatan Bil Lafzi

(2)

ََ َثدَح َُ ُثدْحَي –

ًاث َُ ْودُح – ًََةثَادَح َو -

Hadits dari akar kata di atas memiliki beberapa makna, antara lain sebagai berikut;

1.

ُ دْيِدَجلا

“al-Jadid” (baru), dalam arti sesuatu yang ada setelah tidak ada atau sesuatu yang wujud setelah tidak ada, lawan dari kata

ُمْيِدَقلا

al-Qadim” (terdahulu). Misalnya:

ا ٌث ِداَح / ٌثْيِدَحُمَلَاعل

= alam baru. Alam maksudnya segala seuatu selain Allah, baru berarti diciptakan setelah tidak ada. Makna etimologi ini mempunyai konteks teologi bahwa segala kalam selain kalam Allah bersifat hadits (baru), sedangkan kalam Allah bersifat qadim (terdahulu).

2.

ي ِرَّطلا

“ath-Tharii” (lunak, lembut dan baru). Misalnya:

َُ َثدَحلا ُلُج َّرلا

“Pemuda laki- laki. Ibnu Faris mengatakan bahwa hadits dari kata ini karena berita atau kalam itu dating secara silih berganti bagaikan perkembangan usia yang silih berganti dari masa ke masa.

3.

ُرَبَخلا

“al-Khabar”, yang berarti warta berita yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada seseorang. Hadis selalu menggunakan ungkapan

, أ َاْنأ َب ََ ْن

) َان ْب َر ْخأ َو, ا َََنَّث د َح)

mengabarkan kepada kami, menceritakan kepada kami dan memberitahu kepada kami. Dari makna terakhir inilah diambil perkataan “hadits Rasulullah” yang jamaknya “ahadits”.1

Allah-pun, memakai kata hadits dengan arti khabar dalam firman-Nya:

َن ِيقِداَص ا ُوناَك ْنِإ ِهِلْثِم ٍثيِد ََِحب ا ُوْتَأيْلَف

Artinya:

“Maka hendaklah mereka mendatangkan suatu khabar yang sepertinya jika mereka orang benar”. (QS. Ath-Thur: 34).

Ketiga makna etimologis di atas lebih tepat dalam konteks istilah Ulmul Hadits, karena yang dimaksud hadits di sini adalah berita yang dating dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, sedangkan makna pertama dalam konteks teologis bukan konteks Ilmu Hadits. Menurut Abu al-Baqa’, hadits adalah kata benda (isim) dari kata

ُثْيِد ََّْْحتلا

at-Tahdits yang artinya

بْخلإا ُرَا

alIkhbar = pemberitaan, kemudian menjadi termin nama suatu perkataan, perbuatan, dan persetujuan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam.

Dari segi terminologi, banyak para ahli hadits (muhadditsin) memberikan definisi yang berbeda redaksi, tetapi maknanya sama, diantaranya Mahmud Ath-Thahan mendefinisikan;

ًل ََ ْوق َن اَك ٌءا َوَس َمَّلَس َو ِه ََْيلَع ُالله َّىلَص َِِي َّبنلا ِنَع َءاَج اَم ًا رْي ِر َْ َقت ََ ْوأ ًل ْعِف ََ ْوأ

Sesuatu yang dating dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam baik berupa perkataan atau perbuatan atau persetujuan.

Dalam beberapa buku para ulama berbeda dalam mengungkapkan datangnya hadits tersebut, di antaranya seperti makna di atas “Sesuatu yang datang”, namun ada juga yang menggunakan beberapa redaksi seperti:

1 Shubhi al-Shalih, Ulum al-Hadis wa Musthalahuh, (Beirut, Dar al-‘Ilm li alMalayin, 196

(3)

.... َىلإ َفْي َُ ِضأ اَم

: Sesuatu yang disandarkan kepada….

....

َىلِإ َدِن َُ ْسأ اَم

: Sesuatu yang disandarkan kepada….

. .. . ىلِإ َب َُ ِسن اَم

: Sesuatu yang dibangsakan kepada….

... . ْنَع َيِو ُر اَم

: Sesuatu yang diriwayatkan kepada….

Keempat redaksi di atas dimaksudkan sama maknanya, yaitu sesuatu yang datang atau sesuatu yang bersumberkan dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam atau disandarkan kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Berdasarkan definisi di atas, dapat dikatakan bahwa hadits merupakan sumber berita yang dating dari Nabi dalam segala bentuk baik berupa perkataan, perbuatan, maupun sikaop persetujuan. Definisi di atas memberikan kesimpulan, bahwa hadits mempunyai 3 komponen, yaitu sebagai berikut;

a. Hadits perkataan yang disebut dengan hadits qawli, misalnya sabda beliau,

ِرَّانلا ِىف ُل ُوتْقَمْلا َو َُِلتَاقْلَاف اَمِه ََْيفْي ََ ِسب ِناَمِلْسُمْلا َىَقتْلا َاذِإ

Artinya:

Apabila dua orang Islam yang bertengkar dengan pedangnya, maka orang yang membunuh dan yang terbunuh sama-sama berada di dalam neraka.” (Muttafaqun

‘alaih. HR. Bukhari no. 31 dan Muslim no. 2888).

b. Hadits perbuatan, disebut hadits fi’li, misalnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar kita mengikutinya dalam melakukan berbagai ibadah dan hendaknya ibadah itu dilakukan sesuai dengan cara yang beliau contohkan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

. يِل َُ َصأ ِين ْو َُُمت ََْيأ َر اَمَك ا ْول َص

“Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat. (HR. Al-Bukhari, no. 631)

Juga sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

. مُكَكِسَانَم ي ِنَع ا َُ ْوذُخ

“Ambillah dariku manasik (haji) mu.” (HR. Muslim, no. 1297)

c. Hadits persetujuan, disebut hadits taqriri, yaitu;

1) Membenarkan (tidak mengingkari) sesuatu yang diperbuat oleh seseorang sahabat (orang yang mengikuti syara’) dihadapan Nabi, atau diberitakan kepada beliau, lalu beliau tidak menyanggah, atau tidak menyalahkan serta menunjukkan bahwa beliau menyetujuinya.

Nabi membenarkan ijtihad para sahabat mengenai shalat Ashar di Bani Quraidah,bersabda Nabi;

َة َضْي َُ َرق َِْىَنب َِْىف ََِّْلإ ْمُك ُد َََحأ َّنَيِل َُ َصَيل

Artinya:

“Jangan seseorang kamu shalat, melainkan di Bani Quraidhah.” (HR.

AlBukhari dari Ibnu Umar).

Sebagian sahabat memahamkan lahirnya. Karena itu, mereka tidak mengerjakan shalat ‘Ashar sebelum mereka sampai di Bani Quraidhah. Sebagian yang lain

(4)

berpandapat bahwa yang dimaksud Nabi ialah bersegera pergi kesana. Karena itu mereka mengerjakan shalat ‘Ashar di waktunya, sebelum tiba di Bani Quraidhah.

(H.R. Al Bukhary dari Ibnu ‘Umar)

Kedua-dua perbuatan sahabat ini beritanya sampai kepada Nabi. Nabi berdiam diri tidak mengatakan apa-apa.

2) Menerangkan bahwa yang diperbuat oleh sahabat itu baik, serta menguatkannya pula.

Diriwayatkan oleh Al-Bukhary bahwa Abdullah Bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Orang-orang dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu’alaihi wasallam yang di antara mereka terdapat Sa’ad makan daging. Kemudian salah seorang isteri Nabi Shallallahu’alaihi wasallam memanggil mereka seraya berkata, ‘Itu daging dhab’

(kadal). Mereka pun berhenti makan. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

ي ِمَاعَط ْنِم َس ََْيلُهَّنِكل َو َِِهب َْ َسَأب َل :َلَاق ََ ْوأ ٌََللَح ََُّهِنَإف ،اوُمَعْطا ََِوأ ا ُولُك

Artinya:

“Makanlah, karena karena daging itu halal atau beliau bersabda: “tidak mengapa dimakan, akan tetapi daging hewan itu bukanlah makananku” (H.R. Al-Bukhary) Dalam riwayat lain, Nabi bersabda;

هُم ِر َحأ َل َو َُُهلُكآ َل

“Dhab, saya tidak memakannya dan saya juga tidak mengharamkannya.” [Hadits Riwayat Bukhari no.5536 dan Muslim no. 1943]

Untuk memudahkan pemahaman, berikut ini digambarkan denah komponen atau bagian-bagian dalam hadits;

Diantara ulama ada yang memasukkan pada definisi hadits sifat (washfi), sejarah (sirah), dan cita-cita (hammi) Rasul. Hadits sifat-sifat (washfi), baik sifat fisik (khalqiyah) maupun sifat peragai (khuluqiyah). Sifat fisik seperti bahwa Rasulullah (perawakannya) tidak terlalu tinggi, juga tidak pendek, tidak putih sekali (kulitnya) juga tidak kecoklatan. Beliau rambutnya tidak keriting pekat, juga tidak lurus menjurai, jika beliau berjalan, berjalan dengan tegak.

Sedangkan sifat peragai beliau, Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan akhlak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam semenjak kanak-kanak sebelum masa bi’tsah (pengangkatan sebagai nabi dan rasul). Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyembah berhala, tidak pula meminum khamer dan tidak pernah mengerjakan hal-hal yang

Komponen Hadits

Perkataan Nabi ( Qauli )

Persetujuan Nabi ( Taqriri ) Per buatan Nabi

( Fi’li )

(5)

buruk. Di tengah kaumnya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkenal dengan julukan alamîn (orang yang terpercaya).

Sejarah hidup beliau juga masuk ke dalam hadits, baik sebelum menjadi Rasul maupun setelahnya. Para ulama Syafi’iyah juga memasukkan bagian dari sunnah, apa yang dicitacitakan Rasulullah (sunnah hammiyah), sekalipun baru rencana dan belum dilakukakannya, karena beliau tidak merencanakan sesuatu, kecuali yang benar dan dicintai dalam agama, dituntut dalam syariat Islam, dan beliau diutus untuk menjelaskan syariat Islam.

Seperti citacita beliau untuk berpuasa pada tanggal 9 Muharram, rencana beliau perintah para sahabat mengambil kayu untuk membakar rumah orang-orang munafik yang tidak berjamaah shalat isya, dan lain-lain. sekalipun ini baru merupakan cita-cita, tetapi telah diucapkan ucapan beliau itu hadits qawli yang pasti benarnya dan alasan beliau belum mengamalkannya jelas, yaitu berpulang ke rahmat Allah.

B. Sinonim Hadits dan Contoh-Contohnya

Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa hadits mempunyai beberapa sinonim (muradif) atau nama lain, yakni diantaranya Sunnah, Khabar, dan Atsar.

1. Pengertian Sunnah

ُ َّةنس لا

Sunnah menurut bahasa banyak artinya, di antaranya:

a.

ُ َةع ََ َّبت ُملا ُة َرْيِس لا

as-siirah al-muttaba’ah )sesuatu perjalanan yang diikuti), baik dinilai perjalanan yang baik maupun perjalanan yang buruk. Atau dalam istilah

ا ًة َم ْوُمْذَم ََ ْوأ ْتَناَك ًََةد ْوُمْحَمُةَقْي ِرَّطل

Jalan yang dilalui, baik terpuji atau tercela.

b. Makna sunnah yang lain diartikan,

ُ ة َّر ََ ِمتْسُملا ََُةدَاعلا

al-‘Aadat al-mustamirrah”, berarti tradisi yang kontinu.

Pengertian Sunnah secara istilah, terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama, di antaranya sebagai berikut;

a. Menurut ulama muhadditsin (Ahli-ahli hadits), sunnah adalah

َََللا َّىلَص َِِي َّبنلا ِنَع ََ ِرث ُأ اَم ٍََةف ِص ََ ْوا ٍرْي ِر َْ َقت ََ ْوا ٍلْعِف ْو َا ٍل ََ ْوق ْنِم َمَّلَس َو ِه ََْيلَع َُ

Segala sesuatu yang dinukil dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam baik itu ucapan, perbuatan, persetujuan, sifat-sifatnya.

b. Menurut ulama Ushul Fiqh:

ًك

ََ ْوأ ٍلْعِف ََ ْوأ ٍل ََ ْوق ْنِم ِمْي ِرَكلا ِنآ َُ ْرقلا َْ ُريَغ َمَّلَس َو ِه ََْيلَع ُالله َّىلَص َِِي َّبنلا ِنَع ََ َردَص اَم ل ْنأ َُُحل َْ َصي ام ِم ٍرْي ِر ََْقت ٍي ِع َرَش ٍمْكُحِل ًلْي ََِلد َن ْوُكَي

“Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam selain Al- Qur’an, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir Nabi yang berhubungan dengan Hukum Syara”

c. Menurut Ulama Fiqh, adalah

(6)

ٍب ْوُج ُو َل َو ٍضا ََ ِرتْفا ِرْيَغ ْنِم َمَّلَس َو ِه ََْيلَع َُ َََللا َّىلَص َِِي َّبنلا ِنَع َت ََ َبث اَم

“Segala ketetapan dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang tidak bersifat fardu ataupun wajib”

2. Pengertian Khabar

Menurut bahasa, khabar diartikan

ُأ ََ َّبنلا

an-nba’, yaitu ‘kabar atau ‘berita’ yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain.

Sedang pengertian khabar menurut istilah, antara satu ulama dengan ulama yang lainnya berbeda pendapat. Menurut ulama ahli hadits sama artiya dengan hadits, keduanya dapat dipakai untuk sesuatu marfu’, mauquf, dan maqthu’, mencakup segala yang datang dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, sahabat dan tabi’in, baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapannya.

. ِه ِر ََْيغ ََ ْوأ َمَّلَس َو ِه ََْيلَع َُ َََّللا َّىلَص َِِي َّبنلا َىلِإ َفْي ِض ُأ اَم

Segala sesuatu yang disandarkan atau berasal dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam., atau dari yang selain Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Ulama lain mengatakan bahwa khabar adalah sesuatu yang datang selain dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, sedang yang datang dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam disebut hadits. Ada juga yang mengatakan bahwa hadits lebih umum dan lebih luas dari pada khabar, sehingga tiap hadits dapat dikatakan khabar tetapi tidak setiap khabar dapat dikatakan hadits. Terdapat sebagian ulama’ yang berpendirian bahwa hadits jelas berbeda dengan khabar.

Jika hadits hanya untuk sebutan bagi informasi yang bersumber dari Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, sedangkan khabar untuk sebutan bagi informasi yang bersumber dari selain Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam.

Ada juga yang mengatakan, khabar dan hadits, di mutlakkan kepada yang sampai nabi dari Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam saja, sedangkan yang diterima dari sahabat dinamakan atsar.

3. Pengertian Atsar

Dari segi bahasa, Atsar diartikan

ِئْيَّشلا ََُّةي ََ ِقب ََ ْوأ ََُّةي ََِقبلا

(peninggalan atau bekas sesuatu), maksudnyan peninggalan atau bekas Nabi Karen hadits itu peninggalan beliau. Atau diartikan

ُل َُ ْوقْنَملا

(yang dipindahkan dari Nabi).

Atsar menurut istilah ada dua pendapat; Pertama, atsar sinonim dengan hadits, Kedua, atsar adalah Segala sesuatu yang disandarkan dari sahabat (mauquf) dan tabi’in (maqthu’), baik perkataan maupun perbuatan. Sebagian ulama mendefenisikan;

َِِي َّبنلا ِرْيَغ ِنَع ءاَج اَم ْم ِهِن َُ ْود ْنِم ََ ْوأ َنْيِعِبَّاتلا ََ ْوأ ِةَباَحَّصلا َنِم َمَّلَس َو ِه ََْيلَع َُ َََّللا َّىلَص

Sesuatu yang datang dari selain Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan dari para sahabat, tabi’in dan atau orang-orang setelahnya.

4. Perbedaan dan Persamaan Hadits, Sunnah, Khabar dan Atsar

Dari keempat pengertian hadits, sunnah, khabar, dan atsar, terdapat kesamaan dan perbedaan makna menurut istilah masing-masing. Keempatnya memiliki kesamaan maksud, yaitu segala yang bersumber dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, baik berupa perkataan,

(7)

perbuatan, maupun taqrirnya. Dan hadits dapat juga disebut dengan sunnah, khabar dan atsar.

Oleh karena itu, hadits sahih dapat juga disebut dengan sunnah sahih, khabar sahih atau atsar sahih.

Para ulama juga membedakan antara hadits, sunnah, khabar dan atsar sebagai berikut:

a. Hadits dan sunnah: hadits terbatas pada perkataan, perbuatan, takrir yang bersumber pada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan sunnah segala yang bersumber dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam baik berupa perkataan, perbuatan, takrir, tabiat, budi pekerti atau perjalanan hidupnya, baik sebelum di angkat menjadi rasul maupun sesudahnya.

b. Hadits dan khabar: sebagian ulama hadits berpendapat bahwa khabar sebagai suatu yang berasal atau disandarkan kepada selain nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, hadits sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan pada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.

c. Hadits dan atsar: jumhur ulama berpendapat bahwa atsar sama artinya dengan khabar dan hadits. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa atsar sama dengan khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan pada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, sahabat dan tabiin.

5. Contoh-Contoh Hadits, Sunnah, Khabar dan Atsar a. Contoh Hadits

ى ََ َون اَم ٍءى ِرْما َُِل كِل اَم ََِّْنا َو ِت َّاِي نل ِاب ُل اَمْع ََْلا اَم ََِّْنا : ِالله ُل ْوُس َر َلَاق

.

{هيلع قفتم}

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, bahwasanya segala amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, karena itu pahala bagi semua amal seseorang itu sesuai dengan niatnya.” (H.R. Muttafaqun ‘Alaihi)

b. Contoh Sunnah

ىِدْعَب ْنِم َن َِْي يِدْهَمْلا َنْيِدِش ا َّرلا ِءَافَلُخْلا ََِّْةنُس َو َِْيَّتن َُ ِسب ْمُك ََْيلَع

{ىذمر تلاودو ادوبا هاور}.

“Berpegang teguhlah kamu dengan sunnahku dan sunnah Al-Khulafaur Rasyidin yang menunjukkan sesudahku.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmizi).

c. Contoh Khabar

Ali bin Abi Thalib radhyallahu ‘anhu berkata:

. ِةَّلَّصلا ِىف ِة َّرس لا َت ََْحت ِف َكْلا ُعْض َو ََِّْةنس لا َنِم

“Sebagian dari sunnah, adalah meletakkan tangan di bawah pusar sewaktu melakukan shalat.” (HR. Abu Daud 758, Al Baihaqi, 2/31)

d. Contoh Atsar

Perkataan tabi’in, Ubaidillah ibn Abdillah ibn Utbah ibn

Mas’ud:

َل ََ ْبق ًاع َْ ِست ، ِن ََْيديِعْلا َىلَع ، ََ ِربْنِمْلا َىلَع ُماَمِ ْلإا ََ ِر ب ََُكي ََْنأ ََِّْةنس لا َنِم

ا َََهدْعَب ًاعْبَس َو ، ََِةبْطُخْلا

Menurut sunah, hendaklah imam bertakbir pada hari raya Fitri dan hari raya Adha, sebanyak sembilan kali ketika duduk di atas mimbar sebelum berkhutbah dan tujuh kali sesudahnya.” (Riwayat Ibnu Abi Syaebah dalam Musnafnya, No. 5866)

(8)

Rangkuman Perbedaan Hadits dan Sinonimnya Hadis dan

Sinonimnya Sandaran Aspek dan

Spesifikasi Sifatnya

Hadis Nabi

Perkataan (qawli) Perbuatan (fi’li) Persetujuan (taqriri)

Lebih khusus dan sekalipun dilakukan

sekali Sunnah Nabi dan para

sahabat Perbuatan (fi’li) Menjadi tradisi Khabar Nabi dan selainnya Perkataan (qawli)

Perbuatan (fi’li) Lebih umum Atsar Sahabat dan tabi’in Perkataan (qawli)

Perbuatan (fi’li) Umum

C. Bentuk-Bentuk Hadits

Sesuai dengan definisi hadist di atas, maka bentuk-bentuk hadist dapat digolongkan sebagai berikut:

1. Hadist Qauli (Sunnah dalam bentuk ucapan)

Ialah segala ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ada hubungannya dengan tasyri’, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

ُهُك ََ ْرت ِء ْرَمْلا ِمَل َْ ِسإ ِنْسُح ْنِم ِه َِْين ََْعي َل اَم

“Di antara kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. At-Tirmidzi (no. 2317), Ibnu Majah (no. 3976), Ibnu Hibban (Ta’liiqatul Hisaan ‘ala Shahiih Ibni Hibban no. 229), hadits ini hasan)

2. Hadits Fi’li (Sunnah yang berupa perbuatan)

Ialah segala perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diberitakan oleh para Shahabatnya tentang wudhu’, shalat, haji, dan selainnya.

Contoh:

َيْحِل ُلِل ََُخي َناَك َمَّلَس َو ِهْيَلَع َُ َََّللا ىَّلَص َّيِبَّنلا َََّنأ :َنَّافَع ِنْب َناَمْثُع ْنَع ََُهت

“Dari ‘Utsman bin ‘Affan bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (apabila berwudhu’), beliau menyela-nyela jenggotnya” (HR. At-Tirmidzi (no. 31), Ibnu Majah (no.

430), Shahih Ibni Majah (no. 345), al-Hakim (I/149) dan al-Hakim berkata, “Sanadnya shahih.”

At-Tirmidzi berkata: “Hasan shahih.”) 3. Hadits Taqriri

Segala sesuatu yang telah mendapat legitimasi atau pengesahan dari Nabi, sehingga sesuatu yang sebelumnya bukan bagian dari syariat akhirnya menjadi syariat karena Taqrir dari Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam.

Contoh: Keutamaan Shalat Sunnah setelah berwudhu,

(9)

ٍل َمَع ىَج ََ ْرِأب ِيْنث ِدَح ! ََُلِلب َاي :ِحْبص لا ِةَلَص َدْنِع ٍََلِلبِل َمَّلَس َو ِه ََْيلَع َُ َََّللا َّىلَص ِي َّبنلا َلَاق ُتْعِمَس ِي ِنَإف ِمَلْسِ ْلإا ِيف ََُهتْلِمَع ى َج ََ ْرأ ًلَمَع ُتْلِمَع اَم :َلَاق ، ََِّْةنَجْلا ِيف َََّيَدي َن ََْيب َك ََْيلْعَن ََ َّفد

ا َم ِر ْوُهط لا َك ََِلذِب ُت ََّْْيلَص ََِّْلإ ٍراَهَن ََ ْوأ ٍل ََْيل ْنِم ٍةَعاَس ِيف ًار ْوُهُط ْرَّه َََطَتأ ْمَل ِي َنأ ْيِدْنِع . َيِل َُ َصأ ََْنأ يِل َبِتُك

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Bilal setelah selesai shalat Shubuh,

‘Wahai Bilal, kabarkanlah kepadaku sebaik-baik amalan yang telah engkau kerjakan dalam Islam, karena aku telah mendengar suara terompahmu di dekatku di Surga?’ Ia menjawab,

‘Sebaik-baik amal yang aku kerjakan ialah, bahwa setiap kali aku berwudhu’ siang atau malam mesti dengan wudhu’ itu aku shalat (sunnah) beberapa raka’at yang dapat aku laksanakan.” (HR. Al-Bukhari (no. 1149) dan Muslim (no. 2458), dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.) Contoh Hadit Keutamaan bertayammum

Kisah dua Shahabat yang melakukan safar, keduanya tidak menemukan air (untuk wudhu’) sedangkan waktu shalat sudah tiba, lalu keduanya bertayammum dan mengerjakan shalat, kemudian setelah selesai shalat mereka menemukan air sedang waktu shalat masih ada, maka salah seorang dari keduanya mengulangi wudhu’ dan shalatnya, kemudian keduanya mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kejadian itu. Lalu beliau bersabda kepada Shahabat yang tidak mengulangi shalatnya, “Engkau telah berbuat sesuai dengan Sunnah.” Dan kepada yang lain (Shahabat yang mengulangi shalatnya), beliau bersabda, “Engkau mendapatkan dua ganjaran.” (HR. Abi Dawud (no.

338-339), an-Nasa-i (I/213) dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu)

4. Hadist Hammi

Hadist hammi ialah hadist yang berupa keinginan atau hasrat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang belum terealisasikan, seperti berpuasa pada tanggal 9

‘Asyura. Seperti contoh:

ِمَاي َِ ِصب َان َر َََمأ َو َءا َر ْوُش اَع َم ََ ْوي ملسو هيلع الله ىلص ِي َّبنلا َماَص َنْي ِح ُل َُ ْوَقي ٍسَّابَع ْنِب ِالله ِدْبَع ْنَع ِه

:ملسو هيلع الله ىلص ِالله َل ْوُس َر َلَاَقف .ى َرا ََ َّصنلا َو َد ْوُهَيْلا ُهُمِظ َََعت َم ََ ْوي ََُّهِنإ ِالله َل ْوُس َر َاي : َُ ْولَاق َإف

َاِذ

.ِعِسَّاتلا َم ََ ْوي َانْمُص َُِلبْقُمْلا َمَاعْلا َناَك

Terjemahan:

Dari Abdullah ibn Abbas. Ia berkata, “ketika Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa, mereka berkata, “Ya Rasulallah hari ini merupakan hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nasrani”. Rasulullah kemudian bersabdah, “tahun yang akan datang insya Allah aku akan berpuasa pada hari yang kesembilan” (HR. Muslim no. 1134)

Dari hadis di atas bahwa Rasulullah ingin melaksanakan puasa pada tahun berikutnya, namun belum sempat merealisasikan hasrat ini dikarnakan beliau wafat sebelum datangnya bulan ‘Asyura tahun berikutnya. Adapun dalam menyikapi hadis ini menurut para ulama’

seperti imam Syafi’i dan para pengikutnya melaksanakan hadis hammi ini disunnahkan, sebagaimana melaksanakan sunnah-sunnah yang lainya.

(10)

5. Hadis Ahwali

Hadis ahwali ialah hadist yang berisi tentang hal ikhwal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maksudnya hadis ini tidak termasuk salah satu dari keempat hadits di atas.

Adapun hadis-hadis yang bekaitan dengan hal ikhwal nabi ialah sifat-sifat dan kepribadian serta keadaan fisik Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti contoh dibawah ini:

Sifat-Sifat Nabi

.ًاُقلُخ ِسَّانلا َنَس ََْحأ َمل َس َو ِه ََْيلَع ُالله َّىلَص ِالله َل ْوُس َر َناَك

{هيلع قفتم}

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan orang yang paling mulia akhlaqnya. (HR. Muslim)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ِقَل ََْخ ْلأا َم ِراَكَم َم ََِم ُتلأ ُتْث َُِعب اَمَّنِإ

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia”. [HR. Ahmad, Hakim, dll]

Fisik Nabi Berikut hadits-hadits tentang perangai dan fisik Rasulullah Shallallahu

‘alaihi wa sallam;

Pertama, dalam Shahihaini (Bukhari [3284]; Muslim [4330]), sahabat Anas bin Malik memberikan gambaran umum mengenai fisik Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya,

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan orang yang tinggi sekali dan tidak pula pendek. Tidak juga putih sekali dan tidak berwarna coklat. Rambutnya tidak terlalu keriting dan tidak terlalu lurus. Beliau diutus Allah ketika berusia empat puluh tahun dan di Madinah selama sepuluh tahun. Beliau wafat ketika berusia enam puluh tahun sementara rambut di kepala dan janggut beliau tidak lebih dari dua puluh helai uban

Kedua, senada dengan riwayat dalam Shahihaini, Ibn Hisyam (w. 213 H) dalam al Sirah (I/ h. 402) dan Ibn Sa’ad (w. 230 H) dalam at Tabaqat (I/ h. 422), masing-masing meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib r.a. dan Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi Shallallahu

‘alaihi wa sallam mempunyai perawakan yang tidak jangkung juga tidak pendek. Selain itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mempunyai dada serta perut yang rata.

Keenam, Ibn Abbas pernah meriwayatkan sebuah hadis yang artinya,

Gigi depan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tampak renggang. Ketika berbicara, diantara gigi depan beliau itu seperti keluar cahaya” (H.R. Tirmizi dalam Syamail Muhammadiyah no.15 dan ad Darimi no.58). Selain itu, Ibn Sa’ad (I/ h. 422) kembali melalui riwayat Hind bin Abi Halah, menyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu

‘alaihi wa sallam memiliki bibir yang tipis dan ada sela di gigi serinya.

D. Unsur-Unsur Dalam Hadits 1. Perawi

Perawi adalah orang yang menyampaikan atau memindahkan Hadits kepada orang lain.

Perawi memiliki beberapa tingkatan sebagai berikut:

(11)

a. Perawi dari kalangan sahabat. Mereka adalah orang yang meriwayatkan Hadits langsung dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau dari sahabat lain.

b. Perawi dari kalangan tabi’in. Mereka adalah generasi sesudah sahabat. Mereka meriwayatkan Hadits dari dari kalangan sahabat atau dari tabi’in lain.

c. Perawi dari kalangan tabi’ut-tabi’in. Mereka adalah generasi sesudah tabi’in. Mereka meriwayatkan Hadits dari kalangan tabi’in atau dari tabi’ut-tabi’in lain.

d. Perawi dari kalangan tabi’ut atba’. Mereka adalah generasi setelah tabi’ut-tabi’in.

Perhatikan Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berikut ini

ِيَبأ ْنَع ،ٍحِلاَص ِيَبأ ْنَع ،ٍني ِصَح ِيَبأ ْنَع ، ِص َو ََْحلأا ُوَبأ َاَنَّثدَح، ٍديِعَس ُنْب ََُةب ََْيُتق َاَنَّثدَح : َََّملَس َو ِه ََْيلَع ُالله َّىلَص ََ ََِّْللا ُلوُس َر َلَاق :َلَاق ،َ ة َرْي َرُه ِم ََ ْويلا َو ََ َّْ ََِّْللِاب ُنِم َُْؤي َناَك ْنَم «

ُ ه َراَج ِذ َُْؤي َََلف ِر ِخلآا

Artinya:

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami Abu Al Ahwash dari Abu Hashin dari Abu Shalih dari Abu Hurairah dia berkata:

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa berimana kepada Allah dan hari Akhir, janganlah ia mengganggu tetangganya…. (HR. al-Bukari. No. 5559)

Nama-nama yang dicetak tebal pada terjemahan hadis di atas, yaitu Qutaibah bin Sa’id, Abu Al Ahwash, Abu Hashin, Abu Shalih, dan Abu Hurairah adalah orang-orang yang menyampaikan/meriwayatkan Hadits. Merika disebut perawi.

Dalam contoh tersebut, yang menerima Hadis langsung dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Abu Hurairah. Kemudian, ia menyampaikan Hadits kepada Abu Shalih. Abu Shalih lalu menyampaikan kepada Abu Hashin dan seterusnya hingga perawi terakhir, yaitu Qutaibah bin Sa’id.

Adapun tingkatan para perawi tersebut adalah sebagai berikut:

1) Abu Hurairah Sahabat 2) Abu Shalih Tabi’in 3) Abu Hashin Tabi’in 4) Abu Al Ahwash Tabi’ut-tabi’in

5) Qutaibah bin Sa’id Tabi’ut-tabi’in

2. Sanad

Sanad secara etimologis berarti sandaran. Sedangkan pengertian sanad secara terminologis adalah:

ََِن ت َمْل ِل ِةَل ِص ْو َملا ِلا َج ِر لا ُ ةَل ِسْل ِس

“Silsilah orang-orang yang menghubungkan Hadis” atau rangkaian perawi yang memberikan Hadits.

Sisilah orang-orang maksudnya adalah susunan atau rangkaian orang-orang perawi Hadits yang menyampaikan materi Hadis sejak mukharrij sampai kepada perawi terakhir yang bersambung kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

(12)

Dalam contoh Hadits sebelumnya, rangkaian perawi dari Abu Hurairah hingga Qutaibah bin Sa’id merupakan sanad. Dengan demikian, sanad terdiri dari para perawi yang meriwayatkan suatu Hadits secara berantai.

Perawi yang meriwayatkan Hadits langsung dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam disebut sebagai akhir sanad. Rangkaian perawi pada Hadits Abu Hurairah tersebut dapat digambarkan pada bagan berikut ini

3. Matan

Secara bahasa matan memiliki arti apa yang tampak dari sesuatu, Dalam ilmu Hadits, pengertian matan adalah isi pembicaraan atau materi berita yang terdapat dalam Hadits. Untuk memahami pengertian matan, perhatikan contoh Hadits berikut ini !

َّمَحُم ُنْب ُدَم ََْحأ َاَنَّثدَح ْنَع ٍث ََْيل ْنَع َةاَّيَحُم ُوَبأ َاَنَّثدَح ٍرِماَع ُنْب ُد َو ََ ْس ْلأا َاَنَّثدَح ي ِدَادْغَبْلا َك َز َِْين ِنْب ِد

َم ََِّْنَإف َي ََ ِر َّعتلا َو ْم ُكَّاِيإ َلَاق َمَّلَس َو ِه ََْيلَع َُ َََّللا َّىلَص ََ ََِّْللا َلوُس َر َََّنأ َرَمُع ِنْبا ْنَع ٍعِفَان ْم َُ َكع

ُفي َل ْنَم َني ِح َو ِطِئَاغْلا َدْنِع ََِّْلإ ْم َُُكق ِرَا

ْمُهوُم ِر ََ ْكأ َو ْمُه ُوي ََْحتْسَاف ِهِل ََْهأ َىلِإ ُلُج َّرلا ي ِض َْ ُفي

Artinya:

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin Nizak Al Baghdadi telah menceritakan kepada kami Al Aswad bin 'Amir telah menceritakan kepada kami Abu Muhayyah dari Laits dari Nafi' dari Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah kalian telanjang (tanpa busana), karena kalian selalu bersama golongan (Malaikat) yang tidak berpisah dengan kalian, kecuali ketika buang air besar dan ketika seorang lelaki bersetubuh dengan istrinya, karena itu, malulah kepada mereka dan muliakanlah mereka."

Matan Hadits tersebut adalah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, berikut ini.

Abu Hurairah Akhir Sanad

Rasulullah

Qutaibah Abu Shalih Abu Hashin

Abu Al Ahwash Awal Sanad

(13)

و ْمُكَّاِيإ ي ِض َْ ُفي ني ِح و ِطِئ اغْلا دْنِع َ َِِّلإ ْم َُُكق ِر اُفي َ ل ْن م ْمُك ع م َِِّن إف ي َ ِر َّعتلا

ِهِل َْهأ ىلِإ ُلُج َّرلا

ْمُهوُم ِر َ ْكأ و ْمُه ُوي َْحتْس اف

"Janganlah kalian telanjang (tanpa busana), karena kalian selalu bersama golongan (Malaikat) yang tidak berpisah dengan kalian, kecuali ketika buang air besar dan ketika seorang lelaki bersetubuh dengan istrinya, karena itu, malulah kepada mereka dan muliakanlah mereka."

Sanad dan matan Hadits tersebut dapat digambarkan dalam bagan berikut ini

4. Mukharrij

Di samping unsur-unsur perawi, sanad, dan matan, sebuah Hadis biasanya juga memiliki unsur lain yang disebut mukharrij. Secara bahasa, mukharrij

( ٌج ِر خ ُم(

berarti orang yang mengeluarkan. Dalam ilmu Hadits, pengertian mukharrij adalah orang yang memuat Hadits dalam kitab kumpulan Hadits yang disusunnya.

Pada akhir suatu Hadits yang diriwayatkan, biasanya tercantum istilah

ي ِرا ََُخبلْا ُها َور

(diriwayatkan oleh al-Bukhari) atau

ي ِرا ََُخبلْا ُهه َج َر ََْخأ

(dikeluarkan oleh al-Bukhari).

ْم ُك ع م ِِّن َ

إف ي ِر َ

َّعتلا و ْم ُكا ِِّي َ إ ْم ُك

َُ

ق ِرا ُف َ

ي ل َ

ْن م Ibnu Umar

Al Aswad Nafi'

Laits

Abu Muhayyah Akhir Sanad

Awal Sanad Ahmad

(14)

Satu Hadits kadang dimuat dalam beberapa kitab kumpulan Hadits. Jika pada akhir suatu Hadits disebutkan

ْم ِلْسُم َو ي ِرا ََُخبلْا ُها َو َر

(driwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim), hal itu mengandung arti bahwa Hadits tersebut terdapat dalam kitab kumpulan Hadits milik imam alBukhari dan terdapat juga dalam kitab kumpulan Hadits milik imam Muslim.

Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut beberapa perawi yang meriwayatkan Hadits yang sama. Beberapa istilah tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

No. Istilah Maksud

1.

ُناَخْيَّشلا ُهَج َر ََْخأ

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Bukahri dan Muslim

2.

ِه ْيَلَع ٌق ََ َّفتُم

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sumber sahabat yang sama, dikenal dengan Hadits Bukhari dan Muslim

3.

ث َََّلثلا ُهَج َر ََْخأ ََُة

Hadits tersebut diriwayatkan oleh tiga ulama hadits (Abu Dawud, Tirmidzi dan an-Nasa’i)

4.

ُة َعَب ْرلأا ُهَج َر ََْخأ

Hadits tersebut diriwayatkan oleh empat ulama hadits yaitu Abu Dawud, Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ibnu Majah.

Keempatnya sering juga disebut ashabus Sunan (Ulama hadits yang mengarang kitab Sunan)

5.

ُ ةَسْمَخلا ُهَج َر ََْخأ

Hadits tersebut diriwayatkan oleh lima ulama hadits, yaitu Abu Dawud, Tirmidzi an-Nasa’i Ibnu Majah dan Imam Ahmad.

6.

لا ُهَج َر ََْخأ ُ َّةتِس

Hadits tersebut diriwayatkan oleh enam ulama hadits, yaitu Imam al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi an-Nasa’i dan Ibnu Majah

7.

ُة َعَبَّسلا ُهَج َر ََْخأ

Hadits tersebut diriwayatkan oleh lima ulama hadits, yaitu Imam al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi an-Nasa’I, Ibnu Majah dan Imam Ahmad 8.

ُ ةَعاَمَجلا ُهَج َر ََْخأ

Hadits tersebut diriwayatkan oleh banyak ulama ahli

hadits

E. Model Periwayatan hadits

Ada dua model yang digunakan para sahabat (rawi) dalam meriwayatkan hadis dari Nabi, yaitu:

1. Periwayatan bil-lafzi, yaitu periwayatan hadis yang redaksi atau matannya persis sama dengan apa yang diucapkan oleh Nabi.

2. Periwayatan bil makna, yaitu periwayatan hadis yang redaksi atau matannya tidak persis sama dengan apa yang diucapkan Nabi, namun maknanya sama dengan yang dimaksudkan oleh Nabi.

Menurut H.Said Agil Husain al-Munawar, mengatakan bahwa di antara para sahabat yang sangat ketat berpegang kepada periwayatan bi al-lafzhi, ialah Abdullah bin Umar.

Menurutnya, tidak boleh ada satu kata atau huruf yang dikurangi atau ditambah dari yang disabdakan Rasul shallallahu 'alaihi wasallam.

(15)

Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai sumber ajaran Islam, satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Al-Qur’an memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global, yang perlu dijelaskan dan diperinci lebih lanjut. Dalam hal ini haditslah yang berfungsi sebagai penjelas dari Al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nahl 44 yang berbunyi:

َن و ُرَّك ََ َفَتي ْمُهَّلَعَل َو ْمِه ََْيلِإ َل َُ ِز ن اَم ِسَّانلِل َن ََِيُبتِل َرْك ِذلا َك ََْيلِإ َانْل َز ََْنأ َو

Terjemahan:

Dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,

Fungsi hadits sebagai penjelas terhadap Al-Qur’an tersebut, dapat diperinci sebagai berikut:

1. Bayan at-Taqrir

Bayan at-Taqrir disebut juga Bayan at-Ta’kid dan Bayan al-Isbat. Yang dimaksud dengan Bayan ini adalah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam Al- Qur’an. Fungsi hadits dalam hal ini hanya, memperkokoh isi kandungan Al-Qur’an. Seperti contoh ayat Al-Qur’an Surah Al-Maidah ayat 6 tentang keharusan berwudlu sebelum shalat, yang berbunyi:

َىلِإ ْمُكَيِد ََْيأ َو ْمُكَهوُج ُو ۟ا ُولِسْغَٱف ِة َو لَّصلٱ َىلِإ َُْمت َُْمق َاذِإ ۟ا َُ َٰٓ َونَماَء َنيِذَّلٱ اَه َيَأَٰٓ َي

وُحَسْمٱ َو ِقِفا َرَمْلٱ ْمُكَلُج ََ ْرأ َو ْمُكِسوُء َُ ِرب ۟ا

ِن ََْيبْعَكْلٱ َىلِإ

Terjemahan:

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki

Ayat di atas ditaqrir oleh hadits Nabi dalam riwayat al-Bukhari dari Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

َأ َّض ََ َوَتي َّىتَح ََ َثد ََْحأ َاذِإ ْمُكِد َََحأ َةَلَص َُ َََّللا ََُلب ََْقي َل

F. Fungsi Hadits Terhadap Al - Qur’an

Fungsi Hadits Terhadap Al - Quran

Bayan Tafsir Bayan Ta qrir Bayan T asyri’

1 . Merinci 2 . Membatasi 3 . Mentakhsihs

Menguatkan Isi Al - Quran

Menetapkan Hukum Baru

(16)

Terjemahan: “Allah tidak akan menerima shalat salah seorang diantara kalian jika ia berhadats sampai ia berwudhu.” (HR. Bukhari & Muslim)

Contoh lain, ayat Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 185, yang berbunyi:

ُ هْم َُ َصيْلَف َرْهَّشلٱ ُمُكنِم َدِهَش نَمَف

Terjemahan: Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu

Ayat di atas ditaqrir oleh hadits riwayat imam Muslim dari Ibnu Umar radhiyallahu

‘anhuma, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

bersabda,

او َُ ُردْقا َف ْمُك ََْيلَع َّمُغ َِْنَإف, ا و ُرِط ََ ْفَأف ُهو َُُمت ََْيأ َر َاذِإ َو ,اوُمو ََ ُصف ُهو َُُمت ََْيأ َر َاذِإ

ََُهل

ِ هْيَلَع ٌق ََ َّفتُم

-

Terjemahan: Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Jika kalian melihatnya lagi, maka berhari rayalah. Jika hilal tertutup, maka genapkanlah (bulan Sya’ban menjadi 30 hari).”

(Muttafaqun ‘alaih).

Contoh berikutnya ialah dalam banyak ayat Al-Qur’an dijelaskan tentang syahadah (QS.

al-Hujurat: 182 dan 185), tentang kewajiban Shalat 5 waktu (QS. An-Nisa: 103), Kewajiban Zakat (QS. At-Taubah: 103), dan tentang kewajiban puasa Ramadhan (QS. Al-Baqarah: 183) serta kewajiban berhaji (QS. Ali Imran 97).

Ayat-ayat diatas ditaqrir oleh hadist riwayat imam al-Bukhari dan Muslim, hadits yang bersumber dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia mengatakan bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َّمَحُم َََّنأ َو ُالله ََِّْلإ َََهلِإ َل ََ ْنأ ََِةداَهَش : ٍسْمَخ َىلَع ُمَلْسِ ْلإا ََِيُنب ِءَات َِْيإ َو ِة َلَّصلا ِمَاقِإ َو ِالله ُل ْوُس َر ًاد

ِج َح َو ِةاَك َّزلا َناَضَم َر ِم ْوَص َو ِت ََْيبْلا

Terjemahan: Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah; menunaikan shalat;

menunaikan zakat; menunaikan haji (ke Baitullah); dan berpuasa Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Menurut sebagian ulama bahwa Bayan at-Taqrir atau Bayan at ta’kid ini disebut juga dengan Bayan al-Muwafiq li Nash al-Kitab al-Karim. Hal ini karena munculnya hadits-hadits itu sesuai dan untuk memperkokoh nash al-Qur’an.

2. Bayan at-Tafsir

Yang dimaksud dengan Bayan at-tafsir adalah penjelasan hadits terhadap ayat-ayat yang memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut, seperti pada ayat-ayat yang mujmal, muthlaq, dan ‘aam. Maka fungsi hadits dalam hal ini memberikan perincian (tafshil) dan penafsiran terhadap ayat-ayat yang masih muthlaq dan memberikan takhsis terhadap ayat-ayat yang masih umum.

(17)

a. Memerinci ayat-ayat yang mujmal

Yang mujmal artinya yang ringkas atau singkat. Dari ungkapan yang singkat ini terkadang banyak makna yang perlu dijelaskan. Hal ini karena belum jelas makna mana yang dimaksudkannya, kecuali setelah adanya penjelasan atau perincian. Dengan kata lain, ungkapannya masih bersifat global yang memerlukan mubayyin.

Dalam al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang mujmal, yang memerlukan perincian. Sebagai contoh, ialah ayat-ayat tentang perintah Allah Subhaanahu wa Ta’ala untuk mengerjakan shalat, puasa, zakat, jual beli, nikah, qishas dan hudud. Ayat-ayat alQur’an yang menjelaskan masalah-masalah tersebut masih bersifat global atau garis besar, atau meskipun diantaranya sudah ada beberapa perincian, akan tetapi masih memerlukan uraian lebih lanjut secara pasti. Hal ini karena dalam ayat tersebut tidak dijelaskan misalnya, bagaimana cara mengerjakanya, apa sebabnya, apa syarat-syaratnya atau, apa. halangan-halangannya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di sini menafsirkan dan menjelaskan secara, terperinci.

Di antara contoh perincian itu dapat dilihat pads hadits dibawah ini, yang berbunyi:

يِل َُ َصأ ِينو َُُمت ََْيأ َر اَمَك اول َص …

… “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat” … [HR al-Bukhari]

Dari perintah shalatnya, sebagaimana dalam hadits tersebut, Rasulullah shallallahu

‘alaihi wa sallam kemudian memberinya contoh dimaksud secara sempurna. Bahkan bukan hanya itu, beliau melengkapinya dengan berbagai kegiatan lainnya yang harus dilakukan sejak sebelum shalat sampai dengan sesudahnya. Dengan demikian, maka hadits di atas menjelaskan bagaimana seharusnya shalat dilakukan, sebagaimana perincian dari perintah Allah Subhaanahu wa Ta’ala dalam Surah al-Baqarah ayat 43 yang berbunyi:

َنيِعِكا َّرلا َعَم ا ُوعَك ْرا َو َةاَك َّزلا ا ُوتآ َو َةَلَّصلا اوُمِيَقأ َو

Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.

Masih juga berkaitan dengan ayat di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya berbagai penjelasan dan perincian mengenai zakat secara lengkap, baik yang berkaitan dengan jenisnya maupun ukuranya, sehingga menjadi suatu pembahasan yang memiliki cakupan sangat luas.

b. Men-taqyid ayat-ayat yang muthlaq.

Kata muthlaq, artinya kata yang menunjukkan pada hakekat kata itu sendiri apa adanya, dengan tanpa memandang kepada jumlah maupun sifatnya. Men-taqyid dan muthlaq artinya membatasi ayat-ayat yang muthlaq dengan sifat, keadaan atau syaratsyarat tertentu. Penjelasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berupa mentaqyid ayat- ayat al-Qur’an yang bersifat muthlaq, antara lain dapat dilihat pada sabdanya, yang berbunyi:

ًا دِعا ََ َصف ٍرَانْيِد ِعْبُر ِيف ََ ِّْلإ ِق ِراَّسلا ََُدي ُعَط َُْقت َل

Pencuri tidak dipotong tangannya kecuali barang yang dicuri senilai seperempat dinar atau lebih.” (Muttafaqun ‘alahi)

(18)

Hadits di atas men-taqyid ayat al-Qur’an yang memotong tangan bagi si pencuri, sebagaimana firman Allah dalam Surah al Maidah ayat 38, yang berbunyi:

ُق ِراَّسلا َو ٌم يِكَح ٌزي ِزَع َُ َََّللا َو ۗ ََ ََِّْللا َنِم ًلاَكَن َاب ََ َسك اَمِب ًءا َزَج اَمُهَيِد ََْيأ ا ُوعَطْقَاف ََُةق ِراَّسلا َو

Terjemahan:

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.

Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Contoh lain adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لا َو ُدِبَكْلَاف ِنا َََّمدلا ا َََّمأ َو، ُدا َرَجْلا َو ُتوُحْلَاف ِنَاَتتْيَمْلا ا َََّمَأف ،ِنا َََمد َو ِنَاَتتْيَم َاَنل ْتَّل َُِحأ ُلاَح ِط

Terjemahan:

Telah dihalalkan bagi kami dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai adalah ikan dan belalang; dan dua macam darah adalah hati dan limpa”. (HR. Ibnu Majah, al Hakim, dan al Baihaqi)

Hadist ini men-taqyid ayat al-Qur’an yang mengharamkan semua bangkai dan darah, sebagaimana firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala dalam Surah al-Maidah ayat. 3, yang berbunyi:

… ََُّمدلا َو ََُةتْيَمْلا ُمُك ََْيلَع ْتَم ِر ُح

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, … c. Men-takhsis ayat yang ‘amm.

Kata, ‘amm ialah kata, yang menunjukkan atau memiliki makna, dalam jumlah yang banyak. Sedang kata, takhsis atau khash, ialah kata yang menunjukkan arti khusus, tertentu atau tunggal. Yang dimaksud mentakhsis yang ‘amm disini ialah membatasi keumuman ayat al-Qur’an sehingga tidak berlaku pada bagianbagian tertentu. Mengingat fungsinya ini, maka ulama berbeda pendapat apabila mukhasis-nya dengan hadits ahad.

Menurut Imam asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hambal, keumuman ayat bisa ditakhsish oleh hadits ahad yang menunjukkan kepada sesuatu yang khash, sedang menurut ulama Hanafiah sebaliknya.

Contoh hadits. yang berfungsi untuk mentakhsish ayat-ayat al-Qur’an ialah Hadits yang bersumber dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu

‘alaihi wa sallam bersabda.

ُث ََ ِرَيل َُِلتَاقْلا

“Pembunuh tidaklah memperoleh harta waris” (Hadits Riwayat Tirmidzi 3/288).

Hadits tersebut men-takhsish keumuman firman Allah Surah an-Nisa’ ayat 11 yang berbunyi:

ِن ََۡيَيث َُۡنۡلا ِظ َح ُلۡثِم ِر َََّكذلِل ۖ ۡم ُكِدَل ََ ۡوا َ َۡ َِۡىف ََُللاه ُمُكۡي ِص َۡ ُوي

Terjemahan:

Allah mensyariatkan bagimu tentang pembagian pusaka untuk anak-anakmu. Yaitu bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan....”.

(19)

3. Bayan at Tasyri’

Kata tasyri’ artinya pembuatan, mewujudkan atau menetapkan aturan atau hukum.

Maka yang dimaksud dengan Bayan at-Tasyri’ di sini ialah penjelasan hadist yang berupa mewujudkan, mengadakan atau menetapkan suatu hukum atau aturan-aturan syara’ yang tidak didapati nashnya dalam al-Qur’an. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini berusaha menunjukkan suatu kepastian hukum terhadap beberapa persoalan yang muncul pada saat itu dengan sabdanya sendiri.

Banyak hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang termasuk dalam kelompok ini. Diantara hadits tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara (antara isteri dengan bibinya), hukum syuf’ah, hukum merajam pezina wanita yang masih perawan, hukum membasuh bagian atas sepatu dalam berwudlu, hukum tentang hak waris bagi seseorang anak.

Suatu contoh dapat dikemukakan di sini hadis tentang kewajiban zakat fitrah yang berbunyi sebagai berikut:

ََ ََِّْللا ُلوُس َر َض ََ َرف –

ملسو هيلع الله ىلص ْن ِم اًعاَص ِرْطِفْلا َةاَك َز –

ٍريِعَش ْنِم اًعاَص ََ ْوأ ، ٍر ََْمت

ِر ُحْلا َو ِد َْ َبعْلا َىلَع َّانلا ِجوُرُخ َل ََ ْبق َّىد ََُؤت ََْنأ اَهِب َر َََمأ َو َنيِمِلْسُمْلا َنِم ِرِيبَكْلا َو ِريِغَّصلا َو ، َىث َُْنلأا َو ِر َََّكذلا َو ، ِةَلَّصلا َىلِإ ِس

Terjemahan:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri dengan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum bagi setiap muslim yang merdeka maupun budak, laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun dewasa. Zakat tersebut diperintahkan dikeluarkan sebelum orang-orang keluar untuk melaksanakan shalat ‘ied.” (HR. Bukhari no. 1503 dan Muslim no. 984)

Bayan ini oleh sebagian ulama disebut juga dengan “Bayan zaa’id ‘ala al-Kitaab alKariim (tambahan terhadap nash al-Qur’an).

Disebut tambahan di sini, karena sebenarnya di dalam al-Qur’an sendiri ketentuanketentuan pokoknya sudah ada, sehingga datangnya hadits tersebut merupakan tambahan terhadap ketentuan pokok itu. Hal ini dapat dilihat misalnya, Hadits mengenai ketentuan diyat. Dalam al-Qur’an masalah ini sudah ditemukan ketentuan pokoknya, yaitu pada Surah an-Nisa’ ayat 92. Begitu juga Hadits mengenai haramnya binatang-binatang buas dan keledei jinak (himar al-ahliyah).

Masalah ini ketentuan pokoknya sudah ada, sebagaimana disebutkan, diantaranya pada Surah al-A’raf ayat 157. Dengan demikian menurut mereka lebih lanjut, sebagaimana dikatakan Abu Zahrah, tidak ada suatu Hadits pun yang berdiri sendiri yang tidak ditemukan aturan pokoknya dalam al-Qur’an.

Hal tersebut di atas menurutnya, sesuai dengan ayat al-Qur’an Surah al An’am ayat 38, yang menjelaskan bahwa di dalam al-Qur’an tidak ada yang dilewatkan atau dialpakan sesuatu pun. Pandangan ini diantaranya dinukil oleh Imam Asy-Syafi’i dalam ar Risalah, yang diperkuat oleh asy-Syatibi dalam al-Muwafaqat.

Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang termasuk Bayan tasyri’ ini wajib diamalkan sebagaimana kewajiban mengamalkan Hadits-Hadits lainnya. Ibnu al Qayim

(20)

berkata, bahwa Hadits-Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berupa tambahan terhadap al-Qur’an, merupakan kewajiban atau aturan yang harus ditaati, tidak boleh menolak atau menginkarinya, dan bukanlah sikap (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) itu mendahului al-Qur’an melainkan semata-mata karena perintah-Nya.

Ketiga Bayan yang telah diuraikan di atas, kelihatannya disepakati oleh para ulama, meskipun untuk Bayan yang ketiga sedikit dipersoalkan. Kemudian untuk Bayan yang lainnya, seperti Bayan an-nasakh terjadi perbedaan pendapat. Ada yang mengakui dan menerima fungsi Hadits sebagai na>sikh dan ada yang menolaknya. Yang menerima adanya nasakh, diantaranya ialah jumhur ulama mutakallimin, baik Mu’tazilah maupun Asy’ariyah, ulama Malakiah, Hanafiah, Ibn Hazm dan sebagian Zahiriyah. Sedang yang menolaknya diantaranya ialah asy Sya>fi’i dan mayoritas ulama pengikutnya, serta mayoritas ulama Zahiriyah.

4. Bayan an-Nasakh

Kata an-nasakh secara bahasa ada bermacam-macam arti. Bisa berarti

ُلاَطْبلإا

al-ibthal (membatalkan), atau

ُ َةلا َز ِلإا

al-izaalah (menghilangkan), atau

ُلْيِوْح تلا

at-tahwil (memindahkan), atau

ُر َِْيي ََّْْغتلا

at-taghyir (mengubah).

Di antara para ulama, baik mutaakhirin maupun mutaqaddimin terdapat perbedaan pendapat dalam mendefinisikan Bayan an-nasakh memahami arti nasakh dari sudut kebahasaan. Menurut ulama mutaqaddimin, bahwa yang disebut Bayan an-nasakh ialah adanya dalil syara’ yang datangnya kemudian.

Dari pengertian di atas bahwa ketentuan yang datang kemudian dapat menghapus ketentuan yang datang terdahulu. Hadits sebagai ketentuan yang datang kemudian daripada alQur’an dalam hal ini dapat menghapus ketentuan atau isi kandungan al-Qur’an. Demikian menurut pendapat ulama yang menganggap adanya fungsi Bayan an-nasakh.

Di antara para ulama yang membolehkan adanya nasakh Hadits terhadap al-Qur’an juga berbeda pendapat dalam macam Hadits yang dapat dipakai untuk me-nasakh-nya. Dalam hal ini mereka terbagi kepada tiga kelompok. Pertama, yang membolehkan me-nasakh al-Qur’an dengan segala Hadits, meskipun dengan Hadits Ahad. Pendapat ini di antaranya dikemukakan oleh para ulama mutaqaddimin dan Ibn Hazm serta sebagian para pengikut Zahiriyah. Kedua, yang membolehkan me-nasakh dengan syarat bahwa Hadits tersebut harus mutawatir. Pendapat ini diantaranya dipegang oleh Mu’tazilah. Ketiga, ulama yang membolehkan me-nasakh dengan Hadits masyhur, tanpa harus dengan Hadits mutawatir. Pendapat ini dipegang diantaranya oleh ulama Hanafiyah.

Salah satu contoh yang bisa diajukan oleh para ulama, ialah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Abu Umamah al Bahili, yang berbunyi:

َّلك ىطعأ دق َالله َّنإ ٍثراول َََّةيصو لف ُ؛َّهقح ٍق ح يذ

Terjemahan:

“Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada tiap-tiap orang haknya (masing-masing), maka tidak ada wasiat bagi ahli waris”. (HR. Ahmad dan al Arba’ah, kecuali an-Nasa‘i).

(21)

Hadits di atas dinilai hasan oleh Ahmad dan At-Tirmidzi. Hadits ini menurut mereka menasakh isi al-Qur’an Surah al-Baqarah ayat 180, yang berbunyi:

َرَضَح َاذِإ ْمُك ََْيلَع َبِتُك

ِّْقتُمْلا َىلَع ًّاقَح ۖ ِفو ُرْعَمْلِاب َنِيب َر ََْق ْلأا َو ِن ََْيدِلا َوْلِل ََُّةي ِص َوْلا ا َْ ًريَخ َك ََ َرت ْنِإ ُت ْوَمْلا ُم ََُكد َََحأ َني ََ

Terjemahan:

“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah : 180)

Kewajiban melakukan wasiat kepada kaum kerabat dekat berdasarkan Surah al-Baqarah ayat 180 di atas, di-nasakh hukumnya oleh Hadits yang menjelaskan bahwa kepada ahli waris tidak boleh dilakukan wasiat.

E. PENGERTIAN HADITS TARBAWI 1. Pengertian Hadits Tarbawi

Tarbawi adalah terjemahan dari bahasa Arab, yaitu Rabba-Yurabbi-Tarbiyyatan. Yang bermakna pendidikan, pengasuhan, dan pemeliharaan. Jadi yang dimaksud dengan Hadits Tarbawi ialah Hadits yang membahas tentang pendidikan yang di ajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kata “Pendidikan” yang umum kita gunakan sekarang dalam bahasa Arabnya adalah Tarbiyah, dengan kata kerja Rabba. Kata “Pengajaran” dalam bahasa arabnya adalah ta’lim dengan kata kerjanya adalah Allama. Pendidikan dan pengajaran dalam bahasa Arabnya Tarbiyah wa ta’lim. Sedangkan pendidikan Islam dalam bahasa Arabnya adalah Tarbiyah Islamiyah. Namun Islam memiliki konsep yang sangat universal tentang sebuah pendidikan.

Oleh karena itu, pendidikan tidak hanya diartikan atau di maknai sebagai tarbiyah, tetapi mencakup juga ta’lim dan ta’dib, sebagaimana telah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu

‘alaihi wa sallam. Pendidikan dalam Islam tidak hanya mengacu pada transfer pengetahuan atau ilmu ke otak sebagai simbol intelektualitas, namun juga melibatkan hati (spiritualitas) dan perilaku (akhlak).

Dengan adanya pendidikan seseorang akan mendapatkan sebuah nilai dan juga ilmu, yang nantinya dengan nilai dan ilmu tersebut seseorang bisa memahami dirinya sebagai seorang khalifah di bumi, yang ditugaskan oleh Allah Azza wa Jalla untuk mengabdi kepada- Nya. Rasulullah pernah bersabda:

ْني ِص لِاب ََ ْول َو َم ْلِعلا َُُبل َُْطا

Terjemahan hadits:

Tuntutlah ilmu sekalipun ke negeri Cina.” (HR. Ibnu Adi dan Baihaqi).

Dari pernyataan Rasulullah tersebut jelaslah bahwa sebuah pendidikan sangatlah penting.

Ilmu tidak ada batasnya seperti halnya belajar memahamipun tidak akan ada batasnya.

Sampai kapanpun, belajar atau menuntut ilmu adalah wajib. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tuntutlah ilmu sejak buaian hingga liang lahat.” (HR. Bukhari).

Tidak ada batas ataupun ukuran usia dalam menuntut ilmu. Menuntut ilmu juga dihukumi wajib bagi setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan, hal ini telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits yang berbunyi:

ِمْلِعْلا ُبَلَط

ْسُم َو ٍمِلْسُم ِل ُك َىلَع ُةَضْي ََ ِرف ٍة َمِل

Terjemahan Hadits:

(22)

“Mencari ilmu itu adalah wajib bagi setiap muslim laki-laki maupun muslim perempuan”.

(H.R Ibnu Abdil Barr).

2. Ruang Lingkup Hadits Tarbawi

Pendidikan sebagai ladang dari ilmu memiliki beberapa ruang lingkup, diantara ruang lingkupnya yaitu: a. Anak Didik

Anak didik merupakan unsur terpenting dalam sebuah pendidikan, karena anak didik termasuk peran utama dalam pendidikan. Karena semua upaya yang dilakukan dalam pendidikan adalah demi untuk mengarahkan dan membimbing anak didik ke arah yang lebih baik.

b. Pendidik

Pendidik atau guru merupakan ujung tombak dalam proses pendidikan Islam.

Proses pendidikan Islam tidak akan berhasil dengan baik tanpa peran seorang pendidik atau guru. Dalam suatu hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يبأ نع ِمْلِعْلا َاذ ََِهب ْمُك ََْيلَع ملسو هيلع الله ىلص الله لوسر لاق ةمامأ

ِناَك ِرَش ُمِل َََعتُمْلا َو ُمِلاعْلا ..……

ِيف ىناربطلا هاور . ِسَّانلا َِ ِرئاَس ِيف َرْيَخَل َو ِر ََْجْلا

Terjemahan Hadits:

“Hendaklah kamu ambil ilmu ini………Orang alim (pendidik) dan muta’allim (peserta didik) berserikat dalam pahala dan tidak ada manusia yang lebih baik daripadanya.”

Dari hadits tersebut dijelaskan bahwa seorang guru dan peserta didik adalah orang yang menempati posisi terbaik daripada yang lainnya.

c. Perbuatan Mendidik

Yang dimaksud perbuatan mendidik ialah seluruh kegiatan, tindakan, dan sikap pendidik sewaktu menghadapi anak didiknya. Dalam perbuatan mendidik ini sering disebut dengan tahzib. Adapun hadits tentang perbuatan mendidik adalah:

اق :لاق هنع الله يضر يلع نع ِث َََلث َىلَع ْم َُ َكدَل ََ ْوا ا َُ ْوب ََِدا :ملسو هيلع الله ىلص ِالله ُلوُس َر ل

ِظ َِْيف ََُنأ َُ ْرقْلا َََةلْمَح َّن ََِأف ََِنأ َُ ْرقْلا ََُةأ ََ ِرق َو َِِهت ََْيب ِل ََْها ِب ُح َو ْمُك ََِّْيَبن ِب ُح :ٍلاَص ِخ َِِهئَايِف ََ ْصا َو َِِهئَاِيب ََْنا َعَم ََُّهل ِظ ل ِظَل َم ََ ْوي ِالله ِل

اور يمليدلا ه Terjemahan Hadits:

“Dari Ali R.A Ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Didiklah anak-anak kalian dengan tiga macam perkara yaitu mencintai Nabi kalian dan keluarganya serta membaca Al-Qur’an, karena sesungguhnya orang yang menjunjung tinggi Al-Qur’an akan berada di bawah lindungan Allah, diwaktu tidak ada lindungan selain lindungan-Nya bersama para Nabi dan kekasihnya”. (H.R Ad-Dailami).

d. Materi Pendidikan Islam

Materi pendidikan yaitu bahan atau pengalaman-pengalaman belajar yang disusun sedemikian rupa untuk disajikan kepada anak didik. Adapun Hadits yang menerangkan

(23)

tentang pentingnya materi pendidikan yaitu:

ََ ِضت ْنَل اَمِهِب َُْمتْكَس ََْمت ْنِا ْمُك َِْيف ُتْك ََ َرت ِهِل ْوُس َر َََّةنُس َو ِالله َبَاتِك ًاد ََ َبا ا ْول

ر مكاحلا هاو

Terjemahan Hadits:

“Telah aku tinggalkan kepada kalian semua dua perkara yang jika kalian berpegang teguh padanya maka tidak akan tersesat selama-lamanya yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan Sunnah Nabi-Nya.” (HR. Hakim).

e. Metode Pendidikan

Metode yaitu cara yang dilakukan oleh pendidik dalam menyampaikan materinya.

Metode tersebut mencakup cara pengelolaan, penyajian materi pendidikan agar materi tersebut dapat dengan mudah diterima oleh anak didik. Dalam suatu hadits dijelaskan:

ْنَع

ع نبا َََلأ ُلاَّؤُسَلا اَه َُِحَتفَم َو ُنِئ َزَخ ِالله ُل ْوُس َر : ملسو هيلع ُالله َّىلَص ُمْلِع ََْلا لاق : لاق هنع الله يل

ا َُ ْوَلئ ََ ْسف

ُمِلَاعْلا َو َُِلئاَّسَلا : ٌََةعَب ََ ْرا ِه َِْيف ُرَّج ََُؤي ََُّهن ََِأف

)مهل بحملاو عمتسملاو ميعن اوبا هاور)

Terjemahan Hadits:

“Dari Ibnu Ali R.A ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Ilmu itu laksana lemari (yang tertutup rapat) dan sebagai anak kunci pembukanya adalah pertanyaan. Oleh karena itu, bertanyalah kalian, kerena sesungguhnya dalam tanya jawab akan diberi pahala empat macam, yaitu penanya, orang yang berilmu, pendengar dan orang yang mencintai mereka.” (Diriwayatkan oleh Abu Mu’aim).

f. Dasar dan Tujuan Pendidikan

Dasar dan tujuan pendidikan Islam yaitu landasan yang menjadi fundamen serta sumber dari segala kegiatan pendidikan, dalam hal ini dasar atau sumber pendidikanlah yang akan membawa kemanakah anak didik tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits:

ِالله ُل ْوُس َر لاق : لاق ُهْنَع ُالله َي ِض َر ِسَّابَع ُنِبا ْنَع ََِقُفي ا ًرْيَخ َِِهب ُالله ِد َُ ِري ْنَم : ْمَّلَس َو ِه ََْيلَع ُالله َّىلَص

َِْيف ُهْه ِنْي ِدلا

)ىراخبلا هاور) Terjemahan Hadits:

“Dari Ibnu Abbas Ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barang siapa yang dikehendaki Allah menjadi baik, maka dia akan difahamkan dalam hal agama. Dan sesungguhnya ilmu itu dengan belajar” (HR. Bukhori).

g. Sarana dan Prasarana Pendidikan

Tanpa sarana pendidikan, proses pendidikan akan mengalami kesulitan yang sangat serius, bahkan bisa menggagalkan pendidikan. Sarana pendidikan adalah peralatan dan perlengkapan yang secara langsung dipergunakan dalam proses belajar mengajar, seperti gedung, ruang kelas, meja, kursi, papan tulis, dll. Sedangkan prasarana ialah fasilitas yang secara tidak langsung menunjang jalannya proses pengajaran seperti halaman dan parkiran. Adapun hadits tentang sarana prasarana yaitu:

(24)

يهو افصلا ىلع هراد تناكو ةعبس عباس يبأ ملسأ ملسلإا عبس نبا انأ :لوقي ناك هنا مقرلأا نبا نامثع نوكي ملسو هيلع الله ىلص يبنلا ناك يتلا رادلا ىف مكاحلا هاور) ملسلإا سانلا اعد اهيفو ملسلإايف اهيف

)كردتسملا

Terjemahan Hadits:

“Utsman bin Arqam berkata: saya masuk Islam usia tujuh tahun, ayah saya orang yang ke tujuh masuk Islam. Rumahnya di tanah Safa dan rumah itu pernah di tempati oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berdakwah dan berdo’a kepada manusia untuk masuk Islam. (HR. Al-Hakim)”.

h. Evaluasi Pendidikan

Evaluasi adalah pengadaan penilaian terhadap hasil belajar anak didik di akhir pertemuan atau pembahasan. Evaluasi ini diadakan dengan tujuan untuk mengukur tingkat keberhasilan belajar selama proses pembelajaran. Dalam sebuah hadits dijelaskan:

با رمع نع ْمُك َُ َسف ََْنا ا َُ ْوبِساَح: ملسو الله لوسر لاق : لاق هيلع الله ىلص هنع الله يضر باطخلا

Referensi

Dokumen terkait

Dokumen ini berisi pengertian lahan menurut para ahli, seperti FAO, Arsyad, dan Hardjowigeno &

Materi ini memberikan penjelasan mengenai sistem saraf manusia, termasuk pengertian, fungsi, dan

Dokumen tersebut berisi tentang penjelasan mengenai karakteristik

Dokumen ini berisi tentang pengertian dasar, tokoh-tokoh, etika, dan pentingnya profesionalisme dalam

Dokumen berisi tentang penjelasan mengenai perbedaan antara monitoring dan evaluasi dalam organisasi sektor publik, cakupan pengawasan intern pemerintah, dan konsep pengendalian yang menggunakan metode pemecahan masalah dan perbaikan

Dokumen ini berisi tentang pengertian, tujuan, jenis-jenis, tahap-tahap, dan proses

Dokumen ini merangkum pengertian mode choice dalam transportasi, faktor-faktor yang mempengaruhinya, dan bentuk/nilai dari model

Dokumen ini berisi pengertian dan macam-macam join pada