BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perilaku
Dari aspek biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari segi biologis semua makhluk hidup termasuk binatang dan manusia, mempunyai aktivitas masing-masing.
Manusia sebagai salah satu mahkluk hidup mempunyai bentangan kegiatan yang sangat luas, sepanjang kegiatan yang dilakukannya, antara lain berjalan, berbicara, menulis, membaca, berfikir dan seterusnya. Secara singkat aktivitas manusia tersebut dikelompokkan menjadi dua yakni a) aktivitas yang dapat diamati oleh orang lain b) aktivitas yang tidak dapat diamati orang lain (dari luar) seperti berfantasi, bersikap, dan sebagainya. (Notoatmodjo, 2010).
Skinner (1938), dalam Notoatmodjo (2010), seorang ahli psikologi merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Perilaku tertutup (covert behavior)
Merupakan respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (covert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.
b. Perilaku terbuka (overt behavior)
Merupakan respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus ini sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek, yang dapat dengan mudah dilihat oleh orang lain.
Perilaku manusia sangatlah kompleks dan mempunyai bentangan yang sangat luas.
Sejalan dengan batasan perilaku menurut Skinner tersebut, maka untuk perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau kegiatan seseorang, baik yang dapat diamati (observable) maupun yang tidak dapat diamati (unobservable) yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Becker (1979) dalam Notoatmodjo (2010) membuat klasifikasi lain tentang perilaku kesehatan, dan membedakannya menjadi tiga , yaitu :
1. Perilaku sehat (health behavior) a. Makan dengan menu seimbang
b. Kegiatan fisik secara teratur dan cukup
c. Tidak merokok dan meminum inuman keras serta menggunakan narkoba
d. Istirahat cukup
e. Pengendalian atau manajemen stress
f. Perilaku atau gaya hidup positis yang lain utnuk kesehatan 2. Perilaku sakit
3. Perilaku peran orang sakit
Dalam perkembangan selanjutnya, berdasarkan pembagian domain oleh Bloom utnuk kepentingan pendidikan praktis dikembangkan 3 ranah perilaku sebagai berikut :
1. Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan merupakan hasil dari penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimiliki (mata, hidung dan sebagainya). Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau yang dibagi dalam 6 tingkat pengetahuan yaitu :
a) Tahu (know)
Tahu diartikan hanya sebagai recall memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu.
b) Memahami (comperhension)
Memahami diartikan suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahuinya, dapat menginterprestasikan materi secara benar.
c) Aplikasi (Aplicaton)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).
d) Analisis (analysis)
Suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek kedalam komponen – komponen, tetapi masih dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
e) Sintesis (synthesis)
Menunjukan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian – bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
f) Evaluasi (evaluation)
Berkaitan dengan kemampuan melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek menggunakan criteria yang ada
2. Sikap (Attitude)
Sikap adalah juga respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau tertentu yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya).
Campbell (1950) mendefinisikan sangat sederhana, yakni: ” An individual’s attitude is syndrome of response consistency with regard to object.” Jadi jelas, disini dikatakan bahwa sikap itu suatu sindroma atau kumpulan gejala dalam merespons stimulus atau objek, sehingga sikap itu melibatkan pikiran, perasaan, perhatian, dan gejala kejiwaan yang lainnya. (Notoatmodjo, 2010).
Menurut Allport (1954), sikap itu terdiri dari 3 komponen pokok yaitu : a. Kepercayaan atau keyakinan, ide dan konsep terhadap objek. Artinya,
bagaimana keyakinan dan pendapat atau pemikiran seseorang terhadap objek. Sikap orang terhadap penyakit kusta misalnya, berarti bagaimana pendapat atau keyakinan orang tersebut terhadap penyakit kusta.
b. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek, artinya bagaimana penilaian (terkandung di dalamnya faktor emosi) orang tersebut terhadap objek. Seperti contoh butir a tersebut, bagaimana orang menilai terhadap penyakit kusta, apakah penyakit yang biasa saja atau penyakit yang membahayakan.
c. Kecenderungan untuk bertindak (trend to behavior), artinya sikap adalah merupakan komponen yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka.
Sikap adalah ancang-ancang untuk bertindak atau berperilaku terbuka (tindakan). Contoh dari butir a adalaha apa yang dilakukan seseorang bila ia menderita kusta.
Ketiga komponen tersebut secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam pembentukan sikap utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. (Notoatmodjo, 2010).
Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap juga mempunyai tingkat-tingkat berdasarkan intensitasnya sebagai berikut:
1) Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa seseorang atau subyek mau menerima stimulus yang diberikan (objek).
2) Menanggapi (responding)
Menanggapi disini diartikan memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi..
3) Menghargai (valuing)
Menghargai diartikan subyek, atau seseorang memberikan nilai yang positif terhadap objek atau stimulus, dalam arti , membahasnya dengan orang lain dan bahkan mengajak atau mempengaruhi atau menganjurkan orang lain merespon.
4) Bertanggung jawab (responsible)
Sikap yang paling tinggi tingkatannya adalah tanggung jawab terhadap apa yang telah diyakininya. Seseorang yang telah berani mengambil risiko bila ada orang lain yang mencemooh atau adanya risiko lain.
(Notoatmodjo, 2010)
Tingkah laku yang menunjukkan sikap positif terhadap seksualitas adalah sebagai berikut ;
1. Menempatkan seks sesuai dengan fungsi dan tujuan 2. Tidak menganggap seks itu jijik, tabu dan jorok 3. Tidak dijadikan candaan dan bahan obrolan murahan 4. Mengikuti norma atau aturan dalam menggunakannya
5. Membicarakan seks dalam konteks ilmiah atau belajar untuk memahami diri dan orang lain, serta pemanfaatan secara baik dan benar sesuai dengan fungsi dan tujuan sakralnya. (Kusmiran, 2011)
3. Praktik Kesehatan (Health Practice)
Praktik kesehatan atau tindakan untuk hidup sehat adalah semua kegiatan atau aktivitas orang dalam rangka memelihara kesehatannya.
Green membedakan adanya dua determin masalah kesehatan yakni faktor perilaku (behavioral factor), dan faktor non perilaku atau non behavioral factor.
Selanjutnya Green menganalisis bahwa faktor perilaku sendiri ditentukan oleh 3 faktor utama, yaitu :
1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factor) yaitu faktor –faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi, dan sebagainya.
2. Faktor-faktor pemungkin (enabling factor), adalah faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan. Yang dimaksud faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana fasilitas untuk terjadinya perilaku.
3. Faktor-faktor penguat (reinforcing) adalah faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku. (Green, 2005)
B. Perilaku Seksual Remaja
Perubahan perkembangan perilaku seksual yang terjadi pada masa remaja dipengaruhi oleh berfungsinya hormon seksual (testoteron utnuk laki-laki dan progesteron untuk peremmpuan). Hormon-hormon inilah yang berpengaruh terhadap
dorongan seksual manusia. Perilaku sosial memiliki pengeretian yang berbeda dengan aktivitas seksual dan hubungan seksual. (Kusmiran, 2011).
Perilaku seksual sering ditanggapi sebagai hal yang berkonotasi negatif, padahal perilaku seksual ini sangat luas sifatnya. Perilaku seksual merupakan perilaku yang bertujuan untuk menarik perhatian lawan jenis. Contohnya antara lain mulai dari berdandan, mejeng, mengerlingkan mata, merayu, menggoda, bersiul.
(Kusmiran, 2011)
Aktivitas seksual adalah kegiatan yang dilakukan dalam upaya memenuhi dorongan seksual atau kegiatan mendapatkan kesenangan organ kelamin atau seksual melalui berbagai perilaku. Contoh perilakunya adalah berfantasi, masturbasi, cium pipi, cium bibir, petting, berhubungan intim (intercourse). (Kusmiran, 2011).
Hubungan seksual adalah kontak seksual yang dilakukan berpasangan dengan lawan jenis. Contohnya : masturbasi, fantasi seksual, atau memonton/membaca buku yang berisi informasi porno. Cara yang biasa dilakukan orang untuk menyalurkan dorongan seksual antara lain ;
1. Menahan diri dengan berbagai cara;
2. Menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas;
3. Menghabiskan tenaga dengan berolahraga
4. Memperbanyak ibadah dengan mendekatkan diri kepada Tuhan 5. Menyalurkannya melalui mimpi erotis (mimpi basah);
6. Berkhayal atau berfantasi tentang seksual;
7. Masturbasi atau onani;
8. Melakukan aktivitas seksual nonpenetrasi (berpegangan tangan, berpelukan, cium pipi, cium bibir, cumbuan berat, petting);
9. Melakukan aktivitas seksual penetrasi (intercourse). (Kusmiran, 2011)
Kusmiran (2011) menyebutkan Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja antara lain :
1. Perubahan biologis yang terjadi pada masa pubertas dan pengaktifan hormonal dapat menimbulkan perilaku seksual;
2. Kurangnya pengaruh orang tua melalui komunikasi antara orang tua dan remaja seputar masalah seksual dapat memperkuat munculnya penyimpangan perilaku seksual (Oom, 1981)
3. Pengaruh teman sebaya sangat kuat sehingga munculnya penyimpangan perilaku dikaitkan dengan norma kelompok sebaya;
4. Remaja dengan prestasi rendah dan tahap aspirasi yang rendah cenderung lebih sering memunculkan aktivitas seksual dibandingkan remaja dengan prestasi yang baik di sekolah (perspektif akademik)
5. Perspektif sosial kognitif diasosiasikan dengan pengambilan keputusan yang menyediakan pemahaman periaku seksual kalangan remaja (Muss, 1990).
C. REMAJA
1. Pengertian Remaja
Pendapat tentang rentang usia remaja bervariasi antara beberapa ahli, organisasi, atau lembaga kesehatan. Usia remaja merupakan periode transisi
perkembangan dari masa anak ke masa dewasa, usia antara 10-24 tahun. (kusmiran, 2011)
Secara etimiologi, remaja berarti “tumbuh menjadi dewasa”. Definisi remaja (adolescence) menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) adalah periode usia antara 10-19 tahun, sedangkan perserikatan bangsa-bangsa (PBB) menyebut kaum muda (youth) untuk usia antara 15 sampai 24 tahun. Sementara itu menurut The Health Resources and Services Administration Guidelines Amerika Serikat, rentang usia remaja adalah 11-21 tahun dan terbagi dalam tiga tahap yaitu remaja awal (11-14 tahun); remaja menengah (15-17 tahun); dan remaja akhir (18-21 tahun). Definisi ini kemudian disatukan dalam terminoloogi kaum muda (young people) yang mencakup usia 10-24 tahun.(Kusmiran, 2011)
Gunarsa (1978) dalam Kusmiran (2011) mengungkapka bahwa masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, yang meliputi semua perkembangan yang dialami sebagai persiapan memasuki masa dewsa.
Masa remaja adalah masa yang penting dalam perjalanann kehidupan manusia. Golongan umur ini penting karena menjadi jembatan antara masa kanak- kanak yang bebas menuju masa dewasa yang menuntut tanggung jawab.
Dengan semakin mendekatnya usia kematangan yang sah, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa. Berpakaian dan bertindak seperti orang dewasa ternyata belumlah cukup. Oleh karena itu remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, yaitu merokok, minum-minuman
keras, menggunakan obat-obatan, dan gerlibat perbuatan seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberikan citra yang mereka inginkan. (Hurlock, 2009).
2. Ciri-ciri kejiwaan dan psikososial remaja (Kusmiran 2011) Usia remaja muda (12-15 tahun)
a. Sikap protes terhadap orang tua
Remaja pada usia ini cenderung tidak menyetujui nilai-nilai hidup orang tuanya, sehingga sering menunjukkan sikap protes terhadap orang tua.
Mereka berusaha mencari identitas diri dan seringkali disertai dengan menjauhkan diri dari orang tuanya. Dalam upaya pencarian identitas diri, remaja cenderung melihat kepada tokoh-tokoh diluar lingkungan keluarganya, yaitu : guru, figur ideal yang terdapat di film, atau tokoh idola.
b. Preokupasi dengan badan sendiri
Tubuh seorang remaja pada usia ini mengulangi perubahan yang cepat sekali. Perubahan-perubahan ini menjadi perhatian khusus bagi diri remaja.
c. Kesetiakawanan dengan kelompok seusia
Para remaja pada kelompok umur ini merasakan keterikatan dan kebersamaan dengan kelompok seusia dalam upaya mencari kelompok senasib. Hal ini tercermin dalam cara berperilaku sosial.
d. Kemampuan untuk berpikir secara abstrak
Daya kemampuan berpikir seorang remaja mulai berkembang dan dimanifestasikan dalam bentuk diskusi untuk mempertajam kepercayaan diri.
e. Perilaku yang labil dan berubah-ubah
Remaja sering memperlihatkan perilaku yang berubah-ubah. Pada suatu waktu tampak bertanggung jawab, tetapi dalam waktu lain tampak masa bodoh dan tidak bertanggung jawab. Remaja merasa cemas akan perubahan dalam dirinya. Perilaku demikian menunjukkan bahwa dalam diri remaja terdapt konflik yang memerlukan pengeretian dan penanganan bijaksana.
Usia remaja penuh (16-19 tahun) a. Kebebasan dari orang tua
Dorongan untuk menjauhkan diri dari orang tua menjadi realitas. Remaja mulai merasakan kebebasan, tetapi juga merasakan kurang menyenangkan. Pada diri remaja timbul kebutuhan untuk terikat dengan orang lain melalui ikatan cinta yang stabil.
b. Ikatan terhadap pekerjaan atau tugas
Seringkali remaja menunjukkan minat pada suatu tugas tertentu yang ditekuni secara mendalam. Terjadi pengembangan akan cita-cita masa depan yaitu mulai memikirkan melanjutkan sekolah atau langsung bekerja untuk mencari nafkah.
c. Pengembangan nilai dan etis yang mantap
Remaja mulai menyusun nilai-nilai moral dan etis sesuai dengan cita-cita.
d. Pengembangan hubungan pribadi yang labil
Adanya tokoh panutan atau hubungan cinta yang stabil menyebabkan terbentuknya kestabilan diri remaja.
e. Penghargaan kembali pada orang tua dalam kedudukan yang sejajar.
D. Pengaruh Orang Tua
Kurangnya komunikasi secara terbuka antara orang tua dengan remaja dalam masalah seksual, dapat memperkuat munculnya penyimpangan prilaku seksual.
Hubungan orangtua yang membaik bermula ketika orang tua mulai menyadari bahwa anak-anak mereka bukan anak kecil lagi. Hubungan orang tua anak lebih menyenangkan pada saat orang tua berusaha mengerti rema dan nilai-nilai budayabaru dari kelompok remaja, meskipun tidak sepenuhnya menyetujui dan menyadari bahwa remaja masa kini hidup dalam dunia yang berbeda dengan dunia ketika ia dibesarkan. (Hurlock, 2009).
Masalah yang terjadi pada remaja dan keluarga adalah kesenjangan generasi.
Kesenjangan generasi yang paling menonjol terjadi di bidang norma-norma sosial, seperti perilaku seksual yang sekarang dilakukan oleh para remaja adalah perilaku yang sangat terlarang oleh orang tua pada usia yang sama. Sementara remaja sering menganggap standar perilaku orang tua yang kuno dan yang modern berbeda dan standar orang tua yang kuno harus menyesuaikan diri dengan yang modern.(Hurlock, 2009).
Keluarga dan sekolah merupakan tempat yang tepat bagi remaja untuk mendapatkan informasi yang benar mengenai pendidikan seks, karena biasanya remaja mengambil contoh dari prilaku orang tua dan orang dewasa lain di sekitarnya.
Memang sampai saat ini banyak orang yang masih merasa tabu untuk membicarakan masalah seks tersebut dengan sesama orang dewasa apalagi dengan anak-anak. Tetapi yang harus disadari adalah, biasanya remaja akan mencari panutan dari orang tua, jadi apabila orang tua hanya diam saja tanpa memberikan informasi yang tepat mengenai seksualitas, maka remaja dapat memperoleh informasi yang salah dan menjerumuskan mereka dalam bahaya. (http://www.duniaremaja.net/remaja-dan- kebiasaan-sehat-922.html )
E. Pengaruh Teman Sebaya
Keinginan menjadi mandiri akan timbul dari dalam diri remaja. Salah satu bentuk kemandirian itu adalah dengan mulai melepaskan diri dari pengaruh orang tua dan ketergantungan secara emosional pada orangtua. Berdasarkan ciri-ciri yang dimiliki seperti egosentris, kebingunan peran dan lain-lain, maka seorang remaja mulai mencari pengakuan dirinya. Remaja lebih banyak berada diluar rumah bersama dengan teman-teman sebaya sebagai kelompok, maka dapatlah dimengerti bahwa pengaruh teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku lebih besar daripada pengaruh keluarga. Pengaruh teman sebaya membuat remaja mempunyai kecenderungan untuk memakai norma teman sebaya dibandingkan norma sosial yang ada.(Hurlock, 2009)
Penelitian pada remaja SMU negeri Padang pola asuh demokratis sebagai pola asuh diantara pola asuh permisif dan pola pola asuh otoriter. Pola asuh permisif mempunyai berisiko berperilaku seksual 600,92 kali berperilaku seksual berat dibandingkan demokratis dan otoriter. Pola asuh menjadi faktor paling berhubungan dengan perilaku seksual.(Nursal, 2007)
F. Media
Media informasi atau pesan adalah stimulus yang efektif dalam perubahan perilaku dari masyarakat (komunikan) yang diharapkan oleh komunikator.
(Notoatmodjo, 2010).
Saat ini, kita banyak dibanjiri oleh berbagai informasi yang bisa dengan mudahnya didapat baik melalui media cetak, media elektronik ataupun yang terbaru melalui dunia maya atau internet. Informasi-informasi tersebut dapat berupa hal yang positif maupun negatif.
Salah satu informasi negatif yang banyak menjadi perhatian adalah informasi mengenai konten-konten dewasa, yang dapat diakses oleh semua orang dengan mudah terutama melalui internet. Dikhawatirkan dengan banyaknya arus informasi tanpa batasan tersebut dapat
merubah persepsi remaja mengenai seks dan seksualitas.
(http://www.duniaremaja.net/remaja-dan-kebiasaan-sehat-922.html)
Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Murti (2008) di SMU Muhammadiyah 3 Jakarta Selatan bahwa frekuensi paparan media pornografi memperngaruhi perilaku seksual, dimana dengan semakin sering terpapar semakin memperngaruhi untuk berperilaku seksual berat daripada yang tidak terpapar. Hal yang dirasakan setelah mengalami paparan pornografi melalui media sebanyak 51,3%
Faktor Predisposisi : Pengetahuan
Kepercayaan Nilai
Sikap Keyakinan
Kapasitas (capacity)
Faktor Pendukung/Enabling : Ketersediaan sarana
Akses
Faktor Penguat/Reinforcing : Keluarga
Teman (Peers) Guru
Petugas Kesehatan To-Ma
Pembuat Kebijakan
Perilaku merasa terangsang namun tidak ingin mempraktekkannya dan 23% merasa terangsang dan ingin mempraktekkannya.
G. Kerangka Teori
Berdasarkan teori yang telah dikemukakan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi perilaku, dengan mengikuti teori yang dikemukakan oleh Green pembentuk perilaku spesifik dipengaruhi oleh faktor pemungkin ( Enabling factor), faktor penguat (Reinforcing factor), dan faktor pendorong (Predisposing factor).
Berdasarkan telaah pustaka diatas maka dapat disusun kerangka teori sebagai berikut:
Gambar 2.1 Kerangka Teori
-
ber : Green, 2005.
2005
Sumber : Green, 2005