• Tidak ada hasil yang ditemukan

perkawinan di bawah tangan dan implikasi hukum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "perkawinan di bawah tangan dan implikasi hukum"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh:

NUR ILMI PUTRI FEBRIYANTI NIM. 170202068

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM MATARAM

2021

(2)

ii

PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DAN IMPLIKASI HUKUM TERHADAP ISTRI DAN ANAK DI DESA NUNGGI KECAMATAN

WERA KABUPATEN BIMA

Skripsi

Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Mataram Untuk melengkapi persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum

Oleh:

NUR ILMI PUTRI FEBRIYANTI NIM. 170202068

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM MATARAM

2021

(3)

iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi oleh : Nur Ilmi Putri Febriyanti, NIM: 170202068 dengan judul ” Perkawinan di Bawah Tangan dan Implikasi Hukum Terhadap Istri dan Anak di Desa Nunggi Kecamatan Wera Kabupaten Bima” telah memenuhi syarat dan disetujui untuk diuji.

Disetujui pada tanggal:...2021

Pembimbing I, Pembimbing II,

Hj. Ani Wafiroh, M.Ag. Ma’ shum Ahmad, M.H.

NIP: 197407162005012003 NIP: 198012052009011012

(4)

iv

NOTA DINAS PEMBIMBING

Mataram,...2021 Hal: Ujian Skripsi

Kepada

Yth. Dekan Fakultas Syariah UIN Mataram di Mataram

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Dengan hormat, Setelah Melakukan bimbingan, arahan, dan koreksi, kami berpendapat bahwa skripsi Saudara:

Nama : Nur Ilmi Putri Febriyanti

NIM : 170202068

Jurusan/prodi : Hukum Keluarga Islam

Judul : Perkawinan di Bawah Tangan dan Implikasi Hukum Terhadap Istri dan Anak di Desa Nunggi Kecamatan Wera Kabupaten Bima

Telah memenuhi syarat untuk diajukan dalam sidang Munaqasyah Syariah UIN Mataram.Oleh karena itu, kami berharap agar skripsi ini dapat segera di Munaqasyah.

Wassalammu’ alaikum, Wr. Wb.

Di bawah bimbingan :

Pembimbing I Pembimbing II

Hj Ani Wafiroh, M. Ag. Ma’ shum Ahmad, M. H.

NIP: 197407162005012003 NIP: 198012052009011012

(5)

vi PENGESAHAN

Skripsi oleh : Nur Ilmi Putri Febriyanti, NIM 170202068 dengan judul Perkawinan di Bawah Tangan dan Implikasi Hukum Terhadap Istri dan Anak di Desa Nunggi Kecamatan Wera Kabupaten Bima, telah dipertahankan di depan penguji Jurusan Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah UIN Mataram pada tanggal……

Dewan Munaqasyah

Hj. Ani Wafiroh, M.Ag. (______________________) (Ketua Sidang/Pemb. I)

Ma,shum Ahmad, M.H. (______________________) (Sekertaris Sidang /Pemb. II)

Tuti Harwati, M.Ag (______________________) ( Penguji I)

Apipudin, S.HI, LL, M (______________________) (Penguji II)

Mengetahui, Dekan Fakultas Syariah

Drs. H. Musawar. M.Ag NIP:196912311998031008

(6)

vii MOTTO

Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan- pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang.

Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.(QS. Ar Rum : 21)

(7)

viii

PERSEMBAHAN

Dengan penuh ketulusan hati, skripsi ini saya persembahkan untuk:

1. Kedua orang tua yang saya hormati dan saya cintai, Bapak Drs. Syamsul Bahri dan Ibu Idanur Hijab yang selalu ikhlas mengiringi langkah saya dengan do’a tulus sampai dititik akhir.

2. Kedua kakakku yang saya sayangi Agus Haryanto dan Egis Haryandi, yang telah mendukung saya sehingga saya bisa menyelesaikan studi.

3. Seluruh mahasiswa/i Prodi Hukum Keluarga Islam kelas C, almamater dan kampusku tercinta Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram.

(8)

ix

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT., Tuhan semesta alam atas segala limpahan rahmat, Taufik, Hidayah dan Karunia yang senantiasa memberikan jalan kepada penulis sehingga mampu merampungkan skripsi yang berjudul “PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DAN IMPLIKASI HUKUM TERHADAP ISTRI DAN ANAK DI DESA NUNGGI KECAMATAN WERA KABUPATEN BIMA” ini sebagai salah satu tugas akhir sebagai syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram. Sholawat serta salam tercurahkan kepada baginda Nabi besar Muhammad saw., yang telah membimbing kita ke jalan yang lurus yakni agama Islam yang rahmatanlil’alamin

Segala kemampuan penulis tercurahkan dalam penyusunan tugas akhir ini.

Namun penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna, oleh karena itu, segala bentuk saran dan kritik konstruktif senantiasa penulis harapan agar kedepannya tulisan ini menjadi lebih baik.

Terimakasih penulis haturkan kepada:

1. Ibu Hj Ani Wafiroh, M.Ag selaku pembimbing I dan bapak Ma'shum ahmad, M.H. selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan, motivasi, dan koreksi yang sangat mendetail terus menerus, dan tanpa bosan di tengah kesibukannya sehingga menjadikan skripsi ini lebih matang dan bisa selesai.

(9)

x

2. Ibu Hj Ani Wafiroh, M.Ag selaku Kaprodi dan Ibu Nunung Susfita, M.Si selaku sekprodi Hukum Keluarga Islam Universitas Islam Negeri Mataram 3. Bapak Dr. H. Musawar, M. Ag, selaku Dekan Fakultas Syari’ah beserta

seluruh Bapak dan Ibu dosen yang telah bekerja keras mendidik dan memberi bimbingan dengan penuh keikhlasan dan kesabaran kepada peneliti selama melaksanakan studi di UIN Mataram.

4. Bapak Prof. Dr. H. Mutawali selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram beserta staf akademik UIN Mataram. Yang telah memberi tempat bagi penulis untuk menuntut ilmu dan memberikan bimbingan dan keringanan untuk tidak berlama-lama di kampus tanpa pernah selesai dan jajarannya.

5. Teman-teman seperjuangan Prodi Hukum Kelurga Islam (HKI) Kelas C angkatan 2017 terimakasih untuk empat tahun terakhir yang berkesan, setiap momen akan selalu membekas dalam ingatan.

Akhir kata penulis mengucapkan terimaksih kepada semua pihak yang telah membantu dan penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan menjadi bahan masukan dalam dunia pendidikan.

Mataram, 2021 Penulis,

Nur Ilmi Putri Febriyanti

(10)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

NOTA DINAS PEMBIMBING ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... v

PENGESAHAN DEWAN PENGUJI ... vi

HALAMAN MOTTO ... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... viii KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... x

ABSTRAK ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat ... 7

D. Ruang Lingkup dan Setting Penelitian ... 8

E. Telaah Pustaka ... 8

F. Kerangka Teori... 11

G. Metode Penelitian ... 25

H. Sistematika Pembahasan ... 31

(11)

xii

BAB II PAPARAN DATA DAN TEMUAN ... 32

A. Gambaran Umum Lokasi ... 32

B. Status Hukum Perkawinan di Bawah Tangan dan Implikasi Hukum Bagi Anak dan Istri di Desa Nunggi Kecamatan Wera Kabupaten Bima ... 39

C. Implikasi Hukum Perkawinan di Bawah Tangan Terhadap Istri dan Anak di Desa Nunggi Kecaatan Wera Kabupaten Bima ... 44

BAB III ANALISIS TERHADAP PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DI DESA NUNGGI KECAMATAN WERA KABUPATEN BIMA ………...53

A. Analisis Status Hukum Perkawinan di Bawah Tangan dan Implikasi Hukum Bagi Anak dan Istri di Desa Nunggi Kecamatan Wera Kabupaten Bima... 53

B. Analisis Implikasi Hukum Perkawinan di Bawah Tangan Bagi Anak dan Istri di Desa Nunggi Kecamatan Wera Kabupaten Bima ... 57

BAB IV PENUTUP ... 62

A. Kesimpulan... 62

B. Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 64

(12)

xiii

PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DAN IMPLIKASI HUKUM TERHADAP ANAK DAN ISTRI DI DESA NUNGGI KECAMATAN

WERA KABUPATEN BIMA Oleh :

NUR ILMI PUTRI FEBRIYANTI NIM. 170202068

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status hukum perkawinan di bawah tangan dan implikasi hukum terhadap istri dan anak di Desa Nunggi Kecamatan Wera Kabupaten Bima. Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode penelitian lapangan, sehingga peneliti terjun langsung ke masyarakat. Instrument yang digunakan dalam penelitian ini yakni observasi, wawancara dan juga dokumentasi.

Berdasarkan hasil penelitian yang di peroleh peneliti mengabil kesimpulan bahwa terdapat perkawinan di bawah tangan di Desa Nunggi Kecamatan Wera Kabupaten Bima. Perkawinan di bawah tangan ini merupakan suatu perkawinan yang sah secara agama islam karena telah memenuhi syarat dan rukunnya tetapi sangat dilarang oleh hukum yang berlaku di Indonesia karena tidak memenuhi persyaratan yang telah di atur oleh Undang-undang. Akan tetapi hal ini masih saja terjadi di Desa Nunggi Kecamatan Wera Kabupaten Bima karena kurangnya kesadaran hukum yang terjadi pada masyarakat. Implikasi Hukum Perkawinan di Bawah Tangan Bagi Anak Dan Istri di Desa Nunggi Kecamatan Wera Kabupaten Bima, yaitu:Tidak bisa membuat Kartu Keluarga dan anak tidak bisa mendaftar sekolah,Tidak mempunyai akta kelahiran anak, tidak mendapat harta warisan bagi istri dan anak ketika suami meninggal dunia atau ditinggal cerai, rentan terjadi KDRT karena tidak adanya perlindungan hukum terhadap istri dan anak sehingga suami bisa saja berlaku seenaknya, tidak memiliki Kartu Identitas Anak.

Kata Kunci: Perkawinan di Bawah Tangan, Implikasi Hukum.

(13)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan umat manusia. Dengan adanya perkawinan rumah tangga dapat ditegakkan dan dibina sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan masyarakat. Dalam rumah tangga terkumpul dua insan yang berlainan jenis (suami-istri), mereka saling berhubungan agar mendapat keturunan sebagai penerus generasi. 1

Pernikahan atau perkawinan yang berasal dari kata “nikah”

berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan dua pengertian; pertama, perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi), dan kedua, perkawinan. Sedangkan, dalam kitab suci Al-Qur’an menggunakan kata ini untuk makna tersebut, di samping secara majazi diartikannya dengan hubungan seks. Kata nikah dijumpai dalam Al-Qur’an sekitar 23 kali, yang secara umum maknanya berhimpun.2

Berdasarkan perspektif hukum normatif, perkawinan merupakan suatu peristiwa hukum, dengan adanya perkawinan maka harus terdapat suatu aparatur negara dan undang-undang yang menjamin dengan jelas

1 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana 2006), hlm.1.

2Wawan Susetya, Merajut Benang Cinta Perkawinan, (Republika: 2008), hlm.7.

(14)

terhadap suatu pelanggaran yang terjadi suatu saat kelak akibat peristiwa hukum tersebut. Perkawinan dapat dikaitkan dengan kata perikatan.

Soebekti berpendapat bahwa perikatan kata abstrak dari sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi dapat dibayangkan dalam pikiran. 3

Dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan disebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap- tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa pencatatan perkawinan bukanlah merupakan syarat yang menentukan sahnya perkawinan, karena segala perkawinan di Indonesia sudah dianggap sah apabila sudah dilakukan menurut agama dan kepercayaannya itu. Tetapi dalam penjelasan umum ditentukan bahwa setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini dapat menimbulkan kesan bahwa pencatatan perkawinan merupakan hal yang sangat penting dalam suatu perkawinan, karena pencatatan itu merupakan suatu syarat di akui atau tidaknya suatu perkawinan oleh negara dan hal ini banyak membawa konsekuensi bagi yang melaksanakan perkawinan tersebut.

Perintah pencatatan perkawinan tidak ada dalam nash yang menyebut secara langsung. Pelaksanaan pencatatan itu didasarkan ijtihad para ulama dan diadopsi oleh negara dalam menyusun peraturan

3 Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 2.

(15)

perundang-undangan tentang perkawinan ini. Pencatatan perkawinan ini didasarkan kepada “mashlahah mursalah”, karena nash tidak melarang dan tidak menganjurkannya. Pencatatan perkawinan itu sangat penting untuk dilaksanakan oleh pasangan mempelai, sebab buku nikah yang mereka peroleh itu merupakan autentik tentang keabsahan pernikahan itu baik menurut agama maupun oleh negara. Surat/buku nikah itu, mereka dapat membuktikan pula keturunan sah yang dihasilkan dari perkawinan tersebut dan memperoleh hak-haknya sebagai ahli waris.4 Kewajiban pencatatan itu diberikan oleh negara agar tidak terjadinya pelanggaran- pelanggaran terhadap perempuan atau istri dan anak yang dihasilkan dari perkawinan.

Ketentuan terhadap pencatatan perkawinan menjadi suatu keharusan ketika melangsungkan perkawinan. Karena ketentuan ini yang akan menimbulkan berbagai maslahat terhadap perkawinan harus dicatat dihadapan petugas Kantor Urusan Agama (KUA). Perkawinan yang di maksud adalah untuk menertibkan kehidupan manusia dalam menjalani kehidupan rumah tangganya, tanpa adanya pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan hakikat keberadaan seorang wanita menjadi perhiasan dunia laki-laki semata, seorang laki-laki dengan enaknya melangsungkan perkawinan tanpa adanya keterikatan secara hukum maka yang akan menjadi korbannya adalah seorang wanita, diakibatkan tanpa adanya keterikatan secara

4 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta:

KENCANA, 2006), hlm. 19-20.

(16)

hukum seorang wanita ini bisa diabaikan begitu saja oleh seorang laki- laki apabila ketentuan perkawinannya tidak memenuhi unsur-unsur sebagaimana diamanatkan didalam ketentuan peraturan Perundang- undangan yang mngahuruskan setiap perkawinan di catat. 5

Berdasarkan hasil observasi awal yang dilakukan di Desa Nunggi Kecamatan Wera Kabupaten Bima terdapat beberapa pasangan yang melakukan perkawinan di bawah tangan. Kondisi ini berdasarkan hasil pengamatan peneliti terhadap masyarakat Desa Nunggi Kecamatan Wera bahwa pasangan yang tidak melakukan pencatatan perkawinan berasal dari keluarga yang kurang mampu. Pasangan yang melakukan perkawinan di bawah tangan memiliki beberapa alasan untuk tidak melakukan pencatatan perkawinan yaitu karena ada beberapa pasangan yang masih di bawah umur dan telah hamil di luar nikah sehingga tidak memungkinkan pernikahan tersebut untuk dicatatkan.6 Selain berdasarkan alasan hamil di luar nikah dan masih di bawah umur, peneliti juga menemukan alasan yang dipaparkan oleh beberapa pasangan berdasarkan wawancara singkat, pasangan tersebut mengemukakan alasan tidak dicatatkannya pernikahan tersebut dikarenakan poligami yang dilakukan tidak berdasarkan prosedur hukum yang berlaku di Indonesia.

Akibat hukum dari perkawinan di bawah tangan, walaupun secara agama atau kepercayaan dianggap sah, namun perkawinan yang

5Dahwadin dkk, Perceraian Dalam Sistem Hukum Di Indonesia, (Jawa Tengah: Penerbit Mangku Bumi, 2018), hlm. 39.

6 Observasi Awal, Tanggal 21 Agustus 2020.

(17)

dilakukan di luar pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatat nikah tidak memiliki kekuatan hukum yang tetap dan dianggap tidak sah dimata hukum negara. Akibat hukum tersebut berdampak sangat merugikan bagi perempuan dan istri pada umumnya, baik secara hukum dan sosial, serta bagi anak yang dilahirkan.7

Undang-Undang Perkawinan, mengenal dua macam status anak yaitu anak sah dan anak luar nikah, sebagaimana dijelaskan di dalam Pasal 42 Undang-undang Perkawinan menyebutkan bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Undang-undang ini tidak menyebutkan adanya suatu tenggang waktu untuk dapat menentukan keabsahan seorang anak. Sementara Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa seorang anak supaya dapat dianggap sebagai anak yang sah dari suami ibunya, anak itu harus lahir sekurang-kurangnya enam bulan sesudah pernikahan atau di dalam tenggang 'iddah selama empat bulan sepuluh hari sesudah perkawinan terputus.8 Selanjutnya kedudukan anak luar nikah terdapat dalam Pasal 43 Undang-undang Perkawinan, menyebutkan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Anak hanya mendapatkan hak waris dari ibunya.

7 “A. Hasyim Nawawi, Perlindungan Hukum dan Akibat Hukum Anak Dari Perkawinan Tidak Dicatatkan”, Ahkam, Vol. 3, Nomor 1, Juli 2015, hlm. 114.

8Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Sumur, 2010),

hlm. 72.

(18)

Kedudukan anak luar nikah di dalam hukum ternyata adalah lebih rendah dibanding dengan anak sah. Anak sah pada asasnya berada di bawah kekuasaan orang tua, sedangkan anak luar nikah berada di bawah perwalian. Perwaliannya ada pada penguasa atau hakim. Selain itu hak bagian anak sah dalam pewarisan orang tuanya lebih besar dari pada anak luar nikah dan hak anak luar nikah untuk menikmati warisan melalui surat wasiat di batasi.9

Berdasarkan uraian di atas penulis bermaksud untuk meneliti lebih dalam mengenai permasalahan perkawinan yang tidak dicatatkan serta implikasi hukum terhadap istri dan anak, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fenomena perkawinan yang tidak di catatkan dan konsekuensi-konsekuensi yang timbul terhadap istri dan anak di Desa Nunggi Kecamatan Wera Kabupaten Bima. Maka dari itu penulis mengadakan penelitian mengenai: PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DAN IMPLIKASI HUKUM TERHADAP ISTRI DAN ANAK DI DESA NUNGGI KECAMATAN WERA KABUPATEN BIMA.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka dapat di tentukan rumusan masalah yang akan di kaji dalam penelitian ini, yakni:

9 J Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, (Bandung:Citra Aditya Bakti, 2005), hlm. 110.

(19)

1. Bagaimana status hukum perkawinan di bawah tangan di Desa Nunggi Kecamatan Wera Kabupaten Bima?

2. Apakah implikasi hukum dari perkawinan di bawah tangan terhadap istri dan anak di Desa Nunggi Kecamatan Wera Kabupaten Bima?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui status hukum perkawinan di bawah tangan di Desa Nunggi Kecamatan Wera Kabupaten Bima

b. Untuk mengetahui implikasi hukum dari perkawinan di bawah tangan terhadap istr dan anak di Desa Nunggi Kecamatan Wera Kabupaten Bima

2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini selain menambah wawasan keilmuan bagi peneliti juga dapat berguna bagi pengembangan khazanah keilmuan khususnya dalam perkawinan di bawah tangan dan implikasi hukum terhadap istri dan anak di Desa Nunggi Kecamatan Wera Kabupaten Bima.

b. Manfaat Praktis

1) Bagi peneliti, peneliti dapat mengetahui tentang ilmu pengetahuan dalam bidang hukum keluarga khususnya mengenai perkawinan di bawah tangan dan implikasi hukum

(20)

terhadap istri dan anak di Desa Nunggi Kecamatan Wera Kabupaten Bima

2) Secara umum, dari hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan dan sebagai bahan masukan kepada pihak-pihak yang ingin mengetahui tentang perkawinan di bawah tangan dan implikasi hukum terhadap istri dan anak.

D. Ruang Lingkup dan Setting Penelitian

Agar penelitian ini tetap pada koridor dan tidak keluar dari pembahasan, maka penulis membatasi ruang lingkup yang akan diteliti.

Adapun fokus kajian dalam penelitian ini adalah mengenai perkawinan di bawah tangan dan implikasi hukum terhadap istri dan anak di Desa Nunggi Kecamatan Wera Kabupaten Bima dengan alasan terdapat beberapa masyarakat yang melakukan perkawinan di bawah tangan.

E. Telaah Pustaka

Kajian pustaka dalam penelitian ini adalah untuk menemukan jelajahan literatur guna menemukan gambaran bagaimana penelitian dengan topik yang sama atau mirip yang telah dilakukan oleh peneliti lain, penggunaan konsep-konsep tertentu oleh peneliti lain yang mungkin juga akan digunakan atau setidaknya dianggap relevan, dan temuan- temuan empiris oleh peneliti lain yang mungkin dapat dirujuk,10 peneliti

10 Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitiatif, (Yogyakarta: LKis Yogyakarta, 2007), hlm.

81.

(21)

mengemukakan dengan tegas bahwa penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya.

Dalam penelitian ini, peneliti akan memaparkan hasil penelitian dan kajian terdahulu guna tetap menjaga keaslian dari penelitiannya.

Adapun hasil penelitian relevan dengan yang akan peneliti lakukan sebagai berikut:

1. M. Mashud Ali “Praktik Perkawinan Siri Dan Akibat Hukum Terhadap Istri, Anak Serta Harta Kekayaan (Analisis Perbandingan Fikih Dan Hukum Positif)”11 Persamaan penelitian M. Mashud Ali dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah membahas tentang implikasi hukum bagi anak dan istri akibat dari perkawinan yang tidak dicatat. Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh M. Mashud Ali memfokuskan kajian penelitiannya menggunakan analisis perbandingan fikih dan hukum positif dengan ruang lingkup pembahasan yang cukup luas dan implikasi hukum bagi anak dan istri yang dipaparkan berdasarkan ketentuan fikih, sedangkan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah mengenai perkawinan di bawah tangan dan implikasi hukum bagi anak dan istri di Desa Nunggi Kecamatan Wera Kabupaten Bima.

11 M. Mashud Ali, “Praktik Perkawinan Siri Dan Akibat Hukum Terhadap Istri, Anak Serta Harta Kekayaan (Analisis Perbandingan Fikih Dan Hukum Positif”), Skripsi UIN Syarif Hidayatullah 2014.

(22)

2. Yoga Kurniawan “Hukum Perkawinan Sirri Dan Implikasinya Terhadap Anak Dan Istri”.12 Persamaan penelitian Yoga Kurniawan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah membahas tentang implikasi hukum nikah tidak dicatat bagi anak dan istri . Perbedaan dalam penelitian yang diteliti oleh Yoga Kurniawan memfokuskan kajiannya menggunakan analisis perbandingan Hukum Positif dan Kompilasi Hukum Islam sehingga sumber data primer yang didapatkan adalah berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI, sedangkan perbedaannya dengan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah sumber data primer yang didapatkan berdasarkan hasil wawancara langsung dengan pasangan yang melakukan perkawinan di bawah tangan.

3. Muhammad Hidaya Tulloh “Studi Analisis Terhadap Faktor Dan Akibat Hukum Praktik Nikah Di Bawah Tangan (Studi Kasus Di Kecamatan Bumi Jawa Kabupaten Tegal)”.13 Persamaan penelitian Muhammad Hidaya Tulloh dengan penelitian yang akan dilakukan adalah membahas akibat hukum pernikahan yang tidak tercatat.

Perbedaan dalam penelitian yang diteliti oleh Muhammad Hidaya Tulloh memfokuskan kajiannya terhadap faktor yang melatar belakangi terjadinya pernikahan di bawah tangan secara lebih rinci

12 Yoga Kurniawan, “Hukum Perkawinan Sirri dan Implikasinya Terhadap Anak Dan sitri (Studi Pasal 2 Ayat 2 UU No.1 Tahun 1974 Dan KHI Di Indonesia Pasal 5 ayat 1)”, Skripsi IAIN Purwokerto 2018.

13 Muhammad Hidaya Tulloh, “Studi Analisis Terhadap Faktor dan Akibat Hukum Praktik Nikah Di Bawah Tangan (Studi Kasus Di Kecamatan Bumi Jawa Kabupaten Tegal)”, Skripsi UIN Walisongo 2018.

(23)

sedangkan perbedaannya dengan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah lebih fokus terhadap perkawinan di bawah tangan dan implikasi hukum terhadap istri dan anak di Desa Nunggi Kecamatam Wera Kabupaten Bima,

F. Kerangka Teori

1. Konsep Umum Tentang Perkawinan Di Bawah Tangan a. Pengertian Perkawinan

Pernikahan berasal dari kata nikah yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti persetubuhan (wathi).14

Jika dilihat dari Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan tentang pengertian perkawinan, “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Berdasarkan pasal tersebut dijelaskan bahwa perkawinan tidak hanya sebagai suatu perbuatan hukum saja, tetapi juga merupakan suatu perbuatan keagamaan, sehingga sah atau tidaknya perkawinan tersebut harus berdasarkan pada hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Indonesia. 15

14 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), hlm. 5.

15 Irfan Islami, “Perkawinan Sirri dan Akibat Hukumnya”, ADIL, Vol. 8, Nomor 1, Juli 2017, hlm. 70.

(24)

b. Rukun Dan Syarat Perkawinan 1) Rukun Perkawinan

Para ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas:

a) Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan.

b) Adanya wali dari calon mempelai perempuan

c) Adanya dua orang saksi yang yang menyaksikan akad nikah.

d) Shigat akad nikah, yaitu ijab yang diucap oleh wali atau wakilnya dari pihak pengantin perempuan dan qabul yang diucap oleh pengantin laki-laki16.

2) Syarat Perkawinan Menurut Peraturan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

a) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai

b) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai usia 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua c) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal

dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat 2 pasal ini cukup diperoleh dari dua orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya

d) Dalam hal orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendak, maka izin diperoleh dari wali orang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dapat menyatakan kehendaknya.

e) Dalam hal kedua orang tua antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini atau salah satu seoarang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang

16 H. Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenamedia Group, 2003), hlm.

33-34.

(25)

tersebut data memberi izin setelah terlebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini.

c. Pengertian Perkawinan Di Bawah Tangan

Perkawinan di bawah tangan adalah perkawinan tanpa adanya pencatatan di istansi yang telah ditentukan oleh Undang-undang.

Perkawinan di bawah tangan ada setelah berlakunya Undang-undang Perkawinan secara efektif tahun 1975. Hukumnya sah apabila tidak ada motif “sirri”, tentunya juga telah memenuhi ketentuan syariat yang benar.17

d. Faktor Pendorong Pelaku Perkawinan Di Bawah Tangan

Meskipun ulama Indonesia pada umunya menyatakan setuju atas ketentuan pencatatan perkawinan sebagaimana diatur Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo Undang- undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, namun pada kenyataannya masyarakat muslim Indonesia masih ada yang menanggapi pencatatan perkawinan dengan mempertanyakan apakah perkawinan yang tidak dicatatkan itu menjadi tidak sah dari segi agama. Efek dari penolakan secara diam-diam ini, melahirkan budaya hukum orang Islam Indonesia melakukan kawin bawah tangan tanpa memperdulikan akibatnya di kemudian hari.

17 Irfan Islami, “Perkawinan Sirri dan Akibat Hukumnya”, ADIL, Vol. 8, Nomor 1, Juli 2017, hlm. 80.

(26)

Setidaknya ada empat alasan orang lebih memilih untuk menikah di bawah tangan:

1) Untuk menghindari pembayaran biaya administrasi dan berbagai pungutan hak resmi maupun tidak resmi dari pencatatan perkawinan

2) Mencari barokah dari kiyai bagi pelaku perkawinan baik wali nikah maupun mempelai laki-laki dari kelompok santri 3) Pernikahan dalam rangka poligami liar ntuk menghilangkan

jejak sehingga bebas dari tuntutan hukum dan hukuman administrasi dari instansinya bagi pegawai negeri sipil, dan agar tidak diketahui oleh istri yang sudah ada terlebih dahulu dan menghindari izin poligami yang harus di urus di pengadilan.

4) Perkawinan dibawah tangan agar gaji pensiunan janda tidak hilang. Ini terjadi bagi seorang yang suaminya seorang Pegawi Negeri Sipil meninggal dunia, maka perempuan janda tersebut mendapatkan pensiunan kemudian menikah di bawah tangan agar pensiunannya tidak hilang.18

e. Pengertian Pencatatan Perkawinan

Pencatatan perkawinan adalah kegiatan pengadministrasian dari sebuah perkawinan yang dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang berkedudukan di Kantor Urusan Agama (KUA) di wilayah kedua calon mempelai melangsungkan perkawinan yang beragama Islam, dan di Kantor Catatan Sipil (KCS) bagi yang beragama selain Islam.19

Dalam konteks hukum Indonesia, pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan bahwa perkawinan harus dicatat menurut

18 H. Endang Ali Mas’un, “Pernikahan yang Tidak Dicatatkan Dan Problematikanya”, Musawa, Vol. 12, Nomor 12, Juli 201 2013, hlm.207.

19 Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2016), hlm. 53.

(27)

aturan yang berlaku.20 Pencatatan perkawinan ditujukan kepada seluruh warga negara Indonesia, baik ia berada di Indonesia maupun di luar Indonesia. Bagi warga negara Indonesia yang melangsungkan perkawinan di luar negeri di atur dalam pasal 56 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa dalam waktu satu tahun pasangan suami istri kembali ke Indonesia maka surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan ke kantor pencatatan perkawinan di tempat mereka tinggal.

Pencatatan perkawinan bagi masyarakat muslim dilakukan di Kantor Urusan Agama sedangkan bagi non muslim dilakukan di Kantor Catatan Sipil. 21

Negara Indonesia adalah negara hukum. Setiap warga negara yang tinggal di dalamnya wajib menaati segala aturan yang telah dibuat oleh pemerintah. Melaksanakan suatu perkawinan dapat dikatakan sebagai perbuatan apabila telah dilaksanakan sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Ketentuan hukum yang mengatur mengenai tata cara perkawinan yang dibenarkan oleh perundang-undangan perkawinan.

Perkawinan yang dilakukan dengan tata cara tersebut adalah perkawinan yang memiliki akibat hukum yakni mendapat pengakuan di depan dan perlindungan hukum dengan adanya bukti autentik berupa akta nikah.22

20 Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

21 Dwi Arini Zubaidah, “Pencatatan Perkawinan Sebagai Perlindungan Hukum Dalam Perspektif Maqashid Asy-Syari’ah”, Al-Ahwal, Vol. 12, Nomor 1, Tahun 2019, hlm. 18.

22Ibid.

(28)

f. Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan

Di Indonesia, aturan tentang pencatatan perkawinan dapat dilihat di Undang-undang Nomor 22 Tahun 1964. Undang-undang ini mengatur hanya administrasi perkawinan dan menegaskan bahwa pernikahan diawasi oleh pegawai pencatat nikah. Aturan pencatatan pernikahan diperkuat dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan bahwa perkawinan dinyatakan sah dengan hadirnya pencatat perkawinan yang resmi atau jika didaftarkan. Tidak dipenuhinya pendaftaran perkawinan berakibat ada ketidakabsahannya perkawinan, dan upaya hukum di pengadilan akan ditolak jika perkawinan tidak terdaftar. Ini berarti Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak memberi ruang bagi perkawinan yang tidak terdaftar. Namun, Kompilasi Hukum Islam (KHI) membedakan antara keabsahan secara agama dan legalitas perkawinan menurut negara, dan dengan demikian tidak menganggap perkawinan batal secara agama jika pihak-pihak yang terkait hanya tidak mendaftarkan perkawinan. 23

Adapun dasar hukum pencatatan perkawinan secara lebih rinci adalah:

23 Asep Saepudin Jahar, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis (Kajian Perundang- undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional), (Jakarta: KENCANA, 2013), hlm.26.

(29)

1) Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan:

tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku”.24

2) Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan:

a) Akta perkawinan di buat dalam dalam rangkap 2 (dua), helai pertama di simpan oleh Pegawai Pencatat Nikah, helai kedua disimpan pada Panitera Pengadilan dalam wilayah kantor pencatatan perkawinan itu berada.

b) Kepada suami dan istri masing-masing di berikan kutipan akta perkawinan25.

3) Pasal 5-6 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 5 yang berbunyi:

a) Agar terjamin ketertiban bagi masyarakat islam setiap perkawinan harus di catat.

b) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang di atur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 jo Undang- undang Nomor 32 Tahun 1954.

Ketentuan pasal 6 yang berbunyi:

(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus di langsungkan di hadapan dan di bawah Pegawai Pencatatan Nikah.

(2) Perkawinan yang di lakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. 26

Memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang pencatatan perkawinan, dapat dipahami bahwa pencatatan tersebut adalah syarat administartif. Artinya perkawinan tetap sah, karena standar sah dan tidaknya perkawinan oleh norma-norma agama dari pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan. Pencatatan perkawinan di atur karena tanpa pencatatan, suatu perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum. Akibat yang timbul adalah apabila salah

24Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

25Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

26Pasal 5-6 Kompilasi Hukum Islam (KHI).

(30)

satu pihak melalaikan kewajibannya, maka pihak lain tidak bisa melakukan upaya hukum, karena tidak memiliki bukti-bukti yang sah dan autentik dari perkawinan yang di langsungkannya. Tentu saja keadaan yang demikian bertentangan dengan misi dan tujuan perkawinan itu sendiri.27

g. Tujuan Pencatatan perkawinan

Meskipun perkawinan termasuk dalam lingkup keperdataan, namun negara wajib memberikan jaminan kepastian hukum dan memberikan perlindungan hukum kepada pihak-pihak yang terkait dalam perkawinan (suami-istri dan anak) terutama dalam hubungannya dengan pencatatan administrasi kependudukan terkait dengan hak keperdataan dan kewajibannya. Oleh karena itu pencatatan tiap-tiap perkawinan menjadi suatu kebutuhan formal untuk legalitas atau suatu peristiwa yang mengakibatkan suatu konsekuensi yuridis dalam hak- hak keperdataan dan kewajibannya seperti memberi nafkah dan hak waris. Pencatatan perkawinan dinyatakan dalam suatu akta resmi (akta autentik) dan dimuat dalam daftar pencatatan yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan. Tujuan pencatatan perkawinan yaitu:

1) Untuk tertib administrasi perkawinan

2) Jaminan memperoleh hak-hak tertentu (memperoleh akta kelahiran, membuat Kartu Tanda Penduduk, membuat Kartu Keluarga, dan lain-lain).

27 Hamda Sulfinadia, Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat Studi Atas Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perkawinan, (Yogyakarta: Deepublish, 2020), hlm. 98.

(31)

3) Memberikan perlindungan terhadap status perkawinan;

4) Memberikan kepastian terhadap status hukum suami, istri dan anak

5) Memberikan perlindungan terhadap hak-hak sipil yang di akibatkan oleh adanya perkawinan.28

h. Manfaat Pencatatan Perkawinan

Manfaat yang dapat dirasakan terhadap ketentuan yang mengharuskan setiap perkawinan dicatat dapat dirasakan terutama oleh sang istri dan anak-anak yang akan dihasilkan dari perkawinannya.

Dengan adanya pencatatan perkawinan maka perkawinan mereka telah diakui oleh negara dengan diterbitkannya buku nikah yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) setempat. Dengan demikian, apabila di suatu hari seorang suami menjatuhkan talak kepada istrinya harus melalui prosedur perundang-undangan pula yang mengharuskan mengucapkan kata thalaq itu di hadapan sidang pengadilan. Walaupun seorang suami menjatuhkan thalaq kepada istrinya tanpa dihadapan sidang pengadilan agama secara hukum seorang istri tersebut masih menjadi ikatan suami istri yang sah karena tidak adanya bukti ikrar talak yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama. Dengan demikian, secara hukum seorang istri ini dapat menuntut hak nafkah kepada suaminya.

Selain mendapatkan pengakuan secara hukum terhadap manfaat pencatatan perkawinan ini dapat memudahkan urusan perbuatan hukum lain yang terkait dengan pernikahan. Akta nikah akan membantu suami

28Badriyah Khaleed, Mekanisme Judicial Review, (Yogyakarta: Medpress Digital, 2014), hlm. 93.

(32)

istri untuk melakukan kebutuhan lain yang berkaitan dengan hukum.

Manfaat selanjutnya adalah tentang legalitas formal pernikahan di hadapan hukum. Legalitas formal ini memberikan kepastian hukum bagi keabsahan suatu ikatan perkawinan bagi suami maupun istri, memberikan kepastian hukum bagi anak-anak yang dilahirkan, mengurus Akta Kelahiran anak-anaknya, mengurus tunjangan keluarga bagi PNS, TNI/POLRI, BUMN/BUMD dan karyawan swasta, megurus warisan. Kemudian terhadap manfaat ini akan dapat terjamin keamanannya. Sebuah pernikahan yang dicatatkan resmi akan terjamin keamanannya dari kemungkinan terjadinya pemalsuan dan kecurangan lainnya.

Manfaat tersebut dapat dirasakan oleh kedua pasangan bahkan anak yang dilahirkan dari perkawinannya secara terus menerus dan berkepanjangan sampai akhir kehidupan salah satu anggota keluarganya, manfaat tersebut tidak dapat dirasakan bahkan sebaliknya yang dapat dirasakan oleh kedua pasangan bahkan anak atau anak-anak mereka yang dihasilkan dari hubungan biologis antara suami istri yang belum terikat perkawinan secara sah di hadapan petugas pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) setempat. 29

29Dahwadin dkk, Perceraian Dalam Sistem Hukum Di Indonesia, (Jawa Tengah: Penerbit Mangku Bumi, 2018), hlm.43-45.

(33)

2. Konsep Umum Tentang Implikasi Hukum bagi Anak dan Istri

a) Akibat Hukum Dari Perkawinan di bawah Tangan Bagi Istri dan Anak

Para ulama sepakat bahwa pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada lembaga yang berwenang, sebagai langkah preventif untuk menolak dampak negatif. Pernikahan yang tidak dicatatkan hukumnya sah karena telah terpenuhinya syarat dan rukun nikah. 30

Pencatatan perkawinan bagi orang islam bertujuan dan berfungsi sebagai alat ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam dan sebagai pelengkap “perkawinan belum atau tidak dicatat”, yaitu perkawinan yang sah berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan jo.

Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam.

Perkawinan di bawah tangan lebih tidak dilindungi dibandingkan dengan perzinaan dan perkawinan antara pemeluk agama yang berbeda, khususnya status hukum anak. Dengan kata lain, perzinaan dan perkawinan beda agama yang dilarang hukum islam ternyata lebih mendapat perlindungan hukum dibandingkan orang yang perkawinannya sah berdasarkan hukum islam.

Perkawinan sah sesuai islam yang tidak dicatat sebagai

“perkawinan yang tidak mempunyai kekuatan hukum atau lemah hukum” adalah perkawinan sah yang sesuai hukum islam, tetapi tidak dapat ditegakkan atau lumpuh, termasuk segala akibat hukumnya pun

30 Liky Faizal, “Akibat Hukum Pencatatan Perkawinan”, Asas, Vol. 8, Nomor 2, Juni 2016, hlm. 65.

(34)

menjadi lumpuh, karena tidak dicatat. Sedangkan perkawinan sah sesuai islam yang tidak dicatat sebagai “perkawinan yang tidak sah” adalah perkawinan yang keabsahannya hanya tergantung kepada pencatatan perkawinan semata, sehingga segala akibat hukumnya pun menjadi tidak sah pula, jika tidak dicatatkan.31

Perkawinan di bawah tangan walaupun sah, namun menimbulkan banyak kelemahan dan kerugian bagi anak juga perempuan jika suatu saat menghadapi persoalan dengan suami sehingga harus berpisah, sedangkan pihak istri tidak mempunyai bukti dokumen kuat secara hukum. Di samping itu, bagi anak-anak kelak yang nanti memerlukan kartu identitas dan surat-surat keterangan lain akan mengalami kesulitan bila orang tua tidak mempunyai surat-surat resminya. “Perkawinan di bawah tangan memberikan dampak negatif, baik kepada istri dan anak, yakni:

1) Terhadap Istri

Perkawinan di bawah tangan atau perkawinan yang tidak tercatat berdampak sangat merugikan bagi istri dan perempuan umumnya, baik secara hukum maupun social. Secara hukum, perempuan tidak dianggap sebagai istri sah. Ia tidak berhak atas nafkah dan warisan suami jika ditinggal meninggal dunia. Selain itu sang istri tidak berhak atas harta gono gini jika terjadi

31 Sukma Rochayat, “Perlindungan Hukum Terhadap Wanita Dan Anak Yang Perkawinannya Tidak Tercatat Di Indonesia”, Jurnal Hukum Khaira Ummah, Vol. 2, Nomor 1, Maret 2017, hlm. 93.

(35)

perpisahan, karena secara hukum perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi.

Secara sosial, sang istri akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan perkawinan di bawah tangan sering dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan (alias kumpul kebo) atau dianggap menjadi istri simpanan. Tidak sahnya perkawinan di bawah tangan menurut hukum negara, memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum. Status anak yang di lahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu.

2) Terhadap Anak

Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu. Sedang hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada. Tidak sahnya perkawinan bawah tangan menurut negara memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum,yakni:

a) status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Artinya, si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya (Pasal 42 dan 43 Undang-undang Perkawinan, Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam). Di dalam akte kelahirannya statusnya dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya di cantumkan nama ibu yang melahirkannya. Keterangan

(36)

berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya.

b) Ketidakjelasan status si anak dimuka hukum, mengakibatkan hubungan antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga bisa saja, suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya.

c) Yang jelas merugikan adalah, anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan, nafkah dan warisan dari ayahnya.32

d) Anak akan menemui kesulitan untuk memperoleh dokumen keimigrasian.33

G. Metode Penelitian

1. Pendekatan Dan Jenis Penelitian

Pada penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan jenis penelitian perkawinan di bawah tangan dan implikasi hukum terhadap istri dan anak di Desa Nunggi Kecamatan Wera Kabupaten Bima, yaitu penelitian kepustakaan (library research) berdasarkan data sekunder yang hasil kajiannya bersifat deskriptif34, dan metode hukum empiris dengan meneliti secara nyata terhadap masyarakat Desa Nunggi Kecamatan Wera Kabupaten Bima yang melakukan perkawinan di bawah tangan. Metode kualitatif dalam penelitian ini lebih menekankan kepada peneliti untuk memperhatikan pada prosesi, peneliti sebagai instrumen pokok pengumpulan dan analisis data sehingga peneliti terlibat langsung dalam kerja lapangan.

32Ibid.

33 H. Endang Ali Ma’sum, “Pernikahan Yang Tidak Dicatatkan dan Problematikanya”, Musawa, Vol. 12 No. 2, Juli 2013, hlm. 211.

34 J. Supranto, Metode Penelitian Hukum Dan Statistik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hlm. 2.

(37)

2. Kehadiran Penelitian

Dalam penelitian ini, kehadiran peneliti di lapangan adalah suatu hal yang mutlak, karena peneliti bertindak sebagai instrument penelitian sekaligus pengumpul data. Keuntungan yang didapat dari kehadiran peneliti sebagai instrumen adalah subjek lebih tanggap akan kehadiran peneliti, peneliti dapat menyesuaikan diri dengan setting penelitian. Keputusan yang berhubungan dengan penelitian dapat diambil dengan cara cepat dan terarah, demikian juga dengan informasi dapat di peroleh melalui sikap dan cara informan dalam memberikan sumber informasi.

Peneliti dalam penelitian kualitatif sebagai human instrument, berfungsi untuk menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan data, dan membuat kesimpulan dari apa yang ditemukan di lapangan.35 Dalam penelitian yang dilakukan ini, peneliti hanya sekedar mengumpulkan data melalui wawancara dan observasi.

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini berlokasi di Desa Nunggi Kecamatan Wera Kabupaten Bima. Sebagaimana telah diuraikan dalam latar belakang bahwa dipilihnya Desa Nunggi Kecamatan Wera Kabupaten Bima sebagai lokasi penelitian karena penduduknya mayoritas beragama

35 Albi Anggito dan Johan Setiawan, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jawa Barat: CV Jejak, 2018), hlm.75-76.

(38)

Islam sehingga pelaksanaan perkawinan ada yang tercatat dan ada yang tidak tercatat.

4. Sumber Data

Yang dimaksud sumber data ialah data itu di peroleh. Apabila peneliti di dalam mengumpulkan data dengan menggunakan kuesioner, maka sumber data disebut responden. Jadi pengertian sumber data ialah subjek atau objek penelitian darinya akan diperoleh data.

Adapun data yang digunakan adalah :

a) Sumber data primer adalah ialah sumber data yang pertama dari subjek atau objek penelitian data penelitian langsung diambil. 36 Sumber data primer dalam penelitian ini adalah perempuan atau istri dan anak hasil perkawinan di bawah tangan di Desa Nunggi Kecamatan Wera Kabupaten Bima.

b) Data sekunder merupakan tambahan data guna melengkapi kekurangan dari data yang diperoleh melalui sumber data primer diantaranya yaitu jurnal ilmiah, dan literatur-literatur lainnya yang berkaitan langsung dengan fokus peneliti.

5. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dapat dilakukan dalam berbagai setting, berbagai sumber dan berbagai sumber di antaranya:

36 Johni Dimyati, Metodologi Penelitian Pendidikan dan Aplikasinya, (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 39.

(39)

a. Observasi

Observasi merupakan metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematik gejala-gejala yang diselidiki37. Observasi ini dilakukan untuk mendapatkan data-data yang berkaitan langsung dengan permasalahan perkawinan di bawah tangan dan implikasi hukum bagi istri dan anak di Desa Nunggi.

b. Wawancara

Wawancara adalah metode pengambilan data dengan cara menanyakan sesuatu kepada orang yang menjadi informan.

Caranya dengan tatap muka.38

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan wawancara tidak berstruktur dalam mengumpulkan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Wawancara tidak terstruktur adalah wawancara bebas yang menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk mengumpulkan datanya.39

Adapun tujuan penelitian yang dilakukan ini untuk mendapatkan data-data yang berkaitan dengan perkawinan perkawinan di bawah tangan dan implikasi hukum terhadap istri dan anak di Desa Nunggi. Dalam metode ini, yang menjadi objek

37 Fitrah dan Luthfiyah, Metodologi Penelitian: Penelitian Kualitatif, Tindakan Kelas &

Studi Kasus, (Jawa Barat: CV Jejak, 2017), hlm. 72.

38 Affinudin dan Benu Ahmad Saebani, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung:

Pustaka Setia, 2012), hlm. 131.

39 Sugiono, Metode Peneltian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2018), hlm. 116.

(40)

penelitian yakni istri, masyarakat, tokoh masyarakat, pemerintah Desa Nunggi dan lainnya yang relevansi dengan pembahasan tersebut.

c. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumentasi bisa berbentuk tulisan, gambar atau karya- karya monumental dari seseorang. Dokumen yang berbentuk tulisan misalnya sejarah kehidupan (life history), cerita, biografi peraturan. Dokumen yang berbentuk gambar, misalnya foto.

Dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif.40

6. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan kegiatan untuk mengurai suatu masalah atau fokus kajian menjadi bagian-bagian (decomposition).

Analisis data didefinisikan sebagai usaha mengolah data tersebut menjadi suatu informasi, sehingga karakteristik atau ciri-ciri dari data tersebut mudah untuk dimengerti dan berguna dalam rangka untuk memberikan jawaban yang berkaitan dengan kegiatan penelitian.41

Dalam penelitian ini proses analisis data menggunakan analisis kualitatif atau data yang dikumpulkan bersifat deskriptif dalam bentuk kata-kata atau gambar, data tersebut diperoleh dari

40Sugiono, Metode Peneltian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2018), hlm.124.

41 Tarjo, Metode Penelitian Sistem 3x Baca, (Yogyakarta: Deepublish Publisher, 2019), hlm. 103.

(41)

berbagai sumber yakni dari hasil wawancara, observasi dan juga dokumnetasi. Ada beberapa langkah yang akan ditempuh dalam analisis data di antaranya sebagai berikut:

a) Tahap Pengumpulan Data

Pada saat pengumpulan data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data pada saat wawancara dilakukan untuk hasil data yang memuaskan dan kongkrit atau kredibel. Data yang telah di kumpulkan merupakan data yang berhubungan dengan perkawinan di bawah tangan.

b) Tahap Reduksi Data

Reduksi data berarti merangkum data yang diperoleh dari informan-informan yang berhubungan dengan perkawinan di bawah tangan kemudian di pilih hal-hal pokok yang difokuskan.

7. Validasi Data

Validasi data yakni derajat ketetapan antara data yang terjadi pada objek penelitian dengan data yang dapat dilaporkan dari penelitian tersebut. Dengan demikian data yang valid merupakan data yang tidak berbeda antara data yang di laporkan oleh peneliti dengan data yang sesungguhnya terjadi pada objek penelitian42.

Agar dapat memperoleh data yang lebih akurat, tentu memerlukan teknik agar temuan-temuan yang didapatkan itu lebih valid. Teknik-teknik yang digunakan di antaranya:

42Sugiono, Metode Peneltian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2018), hlm.367.

(42)

a) Meningkatkan ketekunan yakni melakukan pengamatan secara lebih cermat dan kesinambungan. Dengan cara ini maka kepastian data dan urutan peristiwa agar dapat direkam secara sistematis.

b) Triangulasi dalam menguji kredibilitas diartikan sebagai pengecekan data, sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu.

H. Sistematika Pembahasan

BAB I. Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari beberapa sub bab meliputi, Latar Belakang, Fokus Kajian, Tujuan dan Manfaaat Penelitan, Ruang Lingkup dan Setting Peneltian, Telaah Pustaka, Kerangka Teori, Metodologi Penelitian dan Sistematika Pembahasan.

BAB II, Memaparkan tentang temuan data selama penelitian. Bab ini meliputi: paparan data dan temuan tentang perkawinan di bawah tangan dan implikasi hukum terhadap istri dan anak di Desa Nunggi Kecamatan Wera Kabupaten Bima.

BAB III adalah penelitian yang berisi tentang penjelasan penyajian analisis data yakni tentang analisis terhadap perkawinan di bawah tangan dan analisis terhadap implikasi hukum bagi istri dan anak Di Desa Nunggi Kecamatan Wera Kabupaten Bima.

BAB IV yakni bab penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran-saran. Dalam bab ini, penulis membuat kesimpulan atas masalah

(43)

yang telah dibahas dan mengemukakan saran dan solusi pada permasalah tersebut.

(44)

32 BAB II

PAPARAN DAN TEMUAN A. Gambaran Umum Lokasi

1. Kondisi Geografis dan Kondisi Demografis

Desa Nunggi adalah sebuah desa yang berada di Kecamatan Wera Kabupaten Bima. Masyarakat Nunggi berdasarkan keterangan para tokoh masyarakat di sini, berasal dari suku Mbojo, yaitu suku awal yang mendiami Pulau Sumbawa bagian timur, yang sekarang terbagi menjadi tiga bagian secara administratif, yaitu Kota Bima, Kabupaten Bima dan Kabupaten Dompu. Istilah bima digunakan untuk menyebut kata

“Mbojo” dalam bahasa Indonesia.

Desa Nunggi merupakan desa yang berada di bagian paling selatan letaknya di Jalan Lintas Nunggi-Ntoke. Luas wilayah Desa Nunggi adalah (+-) 4086 Ha.

(45)

Urutan Pejabat Ompu Gelarang dan Kepala desa Nunggi di antaranya:

1. H. Idris : Menjabat selama 15 tahun1931- 1946 2. Usman ( Ompu Mbangi ) : Menjabat selama 35 tahun 1946-1976 3. H. Adrus A.Latif : Menjabat selama 10 tahun 1976-1981 4. H.M.Yusuf : Menjabat selama 10 tahun 1981-1996 5. Anwar : Menjabar selama 6 Tahun 1996-2002 6. Abdul Hair H. Idrus : Menjabat selama 6 tahun 2002-2008 7. Sarjan H. M. Tayeb : Menjabat selama 6 tahun 2008-2014 8. Abdul Hair H. Idrus : Menjabat selama 1 tahun 2015-2016 9. Rahmat Anshari, S.Ip : Menjabat selama 6 Tahun 2016-2022

A. Batasan wilayah.

1.1 Tabel

Secara administrasi Desa Nunggi adalah salah satu desa yang berada di Kec. Wera Kab. Bima Propinsi NTB. Desa Nunggi terdiri dari 9 dusun yaitu :

a. Dusun Benteng b. Dusun Sigi

(46)

c. Dusun Amba d. Dusun Nari e. Dusun Wai Miro f. Dusun Ngodu g. Dusun Karang Baru h. Dusun Kiki

i. Dusun Woke Dana

Tabel 2.1

a. Lembaga Pendidikan/Keagamaan

Penduduk yang tinggal di Desa Nunggi terdiri dari satu suku yaitu, Suku Bima. Penduduk Desa Nunggi mayoritas agama Islam dan hidup dalam suasana tolong menolong dan gotong royong sudah menjadi ritme kehidupan sehari-hari di Nunggi. Kebiasaan sosial itu sering disebut malomkub, yaitu tradisi kumpul bersama. Nilai-nilai solidaritas sosial dan kebersamaan masyarakat seperti istilah bar, yang berarti saling membantu, gotong royong untuk menyelesaikan sesuatu pekerjaan tanpa mengharapkan suatu imbalan jasa. Istilah lain yang diserap dari Bahasa Arab dan telah membudaya di Kepulauan Bima

(47)

yakni walima yang artinya sama dengan istilah bar, Selain itu, terdapat istilah Maksaria yang bermakna saling mengunjungi dalam rangka memupuk silaturrahmi dan istilah makmaked yang berarti saling dengar dan saling menghormati satu sama lain. keyakinan terhadap adat istiadat yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Desa Nunggi sangat dihormati dan dilaksanakan sejalan dengan nilai-nilai agama.

Tabel 3.1

Lembaga keagamaan Desa Nunggi ada informal yaitu ada TPQ di setiap 9 dusun untuk kegiatannya ialah literasi baca tulis Iqro’ dan Al-Quran yang bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada anak-anak yang dikelompokkan sesuai tingkat usia dan pemahaman anak-anak selain itu juga memberikan pemahaman tentang dasar-dasar agama.

(48)

Tabel 3.1 Sarana Pendidikan di Desa Nunggi

b. Keadaan Sosial

Masyarakat Desa Nunggi masih menjunjung tinggi kebudayaan asli Indonesia. Salah satunya adalah budaya gotong royong. Hal ini terbukti dari adanya kegiatan kerja bakti yang masih terlaksana dengan baik. Tidak hanya laki-laki, perempuan pun juga mengambil bagian dalam kerja bakti, untuk konsumsi warga yang kerja bakti disediakan oleh masyarakat secara swadaya. Hubungan sosial masyarakat Desa Nunggi antar warganya terbilang sangat akrab karena jika disambung-sambungkan warga Desa Nunggi sebenarnya masih mempunyai ikatan sekeluarga satu sama lain.

Sehingga hubungan kekerabatan mereka sangat baik. Hal ini terbukti dengan adanya sikap sosial yang mereka miliki antara satu sama lain. Mereka saling membantu satu sama lain dan saling bergotong royong. Kedekatan atau kehidupan sosial warga Desa Nunggi yang selaras juga tercermin ketika ada acara hajatan yang dilaksanakan di

(49)

dusun mereka juga saling bahu membahu memasak bersama menyiapkan acara secara bersama-sama. Keterbukaan masyarakat Desa Nunggi terhadap mahasiswa juga terbilang sangat terbuka dan ramah. Hal ini juga menunjukkan bahwa jiwa sosial masyarakat Desa Nunggi terlaksana sangat baik.

c. Keadaan Ekonomi

Sebagian besar potensi masyarakat Desa Nunggi adalah petani karena wilayah administratifnya sebagain besar adalah lahan persawahan dan pegunungan. Pada masa dahulu kebanyakan masyarakat Desa Nunggi hanya mengandalkan cocok tanam di pergunungan dengan menanam tanaman padi akan tetapi belakangan ini masyarakat Desa Nunggi sudah mulai banyak yang mengembangkan tanaman jagung, kacang, bawang, dan kedelai dikarenakan nilai ekonomisnya lebih tinggi dari pada tanaman padi.

d. Keadaan Budaya

Budaya Bima juga masih kental dalam kehidupan masyarakat Desa Nunggi terbukti dari tindak tanduk atau sopan santun yang warga miliki. Warga Desa Nunggi sangat baik dan sangat ramah. Tradisi-tradisi budaya bima juga masih kental dan sering mereka lakukan. Salah satu buktinya adalah dari segi bangunan masjid, dari segi bahasa, dan adat istiadat yang dilaksanakan di Desa Nunggi ini masih sangat kental budaya bima.

Dapat dikatakan keadaan sosial budaya masyarakat Desa Nunggi

(50)

sangat baik karena masih memegang teguh budaya bima yang mengutamakan rasa kebersamaan dan menjunjung tinggi nilai sopan santun atau tata krama di dalamnya.

B. Status Hukum Perkawinan di Bawah Tangan di Desa Nunggi Kecamatan Wera Kabupaten Bima

Perkawinan di bawah tangan merupakan hal yang biasa terjadi di Indonesia, perkawinan di bawah tangan tidak di atur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Istilah perkawinan di bawah tangan ini biasa digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk orang-orang yang melakukan perkawinan tanpa prosedur tang telah diatur dalam Undang- undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan jo Undang-undang No. 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 1 Tahun 1974.

Biasanya perkawinan di bawah tangan dilakukan berdasarkan agama atau adat istiadat dari calon suami atau calon istri.

Perkawinan di bawah tangan yang dilakukan secara agama atau adat, maka perkawinan tersebut dianggap sah secara agama atau adat karena standar sah atau tidaknya perkawinan tersebut diatur oleh norma-norma agama dari pihak yang melangsungkan perkawinan. Undang-undang perkawinan maupun peraturan-peraturan yang ada sebelumnya tidak mengatur tentang perkawinan di bawah tangan.

Adanya peraturan tentang pencatatan perkawinan karena tanpa pencatatan, suatu perkawinan tidak memiliki kekuatan hukum, dan akibat

(51)

yang timbul adalah, apabila salah satu dari pihak telah melalaikan kewajibannya, maka pihak lain tidak dapat melakukan upaya hukum apapun, itu disebabkan oleh tidak adanya bukti-bukti yang autentik dari perkawinan yang telah dilakukan.43

Sampai saat ini, praktik perkawinan di bawah tangan masih banyak terjadi di masyarakat, padahal perkawinan di bawah tangan sangat merugikan bagi pihak perempuan dan anak. Dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia tidak mengenal istilah perkawinan di bawah tangan dan tidak memiliki aturan secara khusus. Namun secara sosiologis yang berkembang di masyarakat, istilah perkawinan di bawah tangan ini diberikan bagi perkawinan yang tidak tercatat dan dilakukan tanpa memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang tertera pada pasal 2 ayat (2) jo Undang- undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Hal itu bisa di lihat berdasarkan data perkawinan baik tercatat maupun tidak tercatat yang ada di Desa Nunggi Kecamatan Wera Kabupaten Bima.

43 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada 2003), hlm. 110.

(52)

Tabel 3.3 Jumlah Pernikahan di Desa Nunggi Kecamatan Wera Tahun 2021

No. Bulan Banyak

Perkawinan

Keterangan

1 Januari -

2 Februari -

3 Maret -

4 April -

5 Mei 7

Jumlah Perkawinan 7

Tabel 3.4 Data Perkawinan di Bawah Tangan dan Anak Hasil Perkawinan di Bawah Tangan di Desa Nunggi Kecamatan Wera

No Dusun Jumlah Perkawinan

Tidak di Catat

Jumlah Anak Hasil Perkawinan Tidak di

Catat

Status Perkawinan

1 Benteng - - Janda

2 Sigi 4 4 Janda

3 Amba 2 3 Janda

4 Nari - - -

5 Wa’i

Miro

2 2 Janda

6 Ngodu - - -

7 KRB 1 1 Janda

8 Kiki - - -

9 Woke

Dana

- - -

(53)

Kenyataannya hingga saat ini masih banyak masyarakat yang belum mengetahui tentang pentingnya pencatatan perkawinan seperti yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 2 ayat (2) jo Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Oleh sebab itu peraturan-peraturan yang tertera dalam undang-undang maupun peraturan yang terbaru harus terus disosialisasikan ke masyarakat agar masyarakat paham akan pentingnya pencatatan perkawinan, karena semakin berkembangnya masyarakat maka segala sesuatu yang dilakukan sangat memerlukan suatu kepastian hukum.44

Berdasarkan hasil wawancara yang telah penulis lakukan dengan salah satu masyarakat Desa Nunggi Kecamatan Wera yaitu ibu Erlina, berikut penuturannya:

“Nika lia ntene mpa sah na, ba wa’u ja ra kalengka na syara agama, beda kai na nika lia labo nika ma bune ngina kai re ba wara labo dawara buku nika na mpa”

Gambar

Tabel 3.1 Sarana Pendidikan di Desa Nunggi
Tabel 3.3 Jumlah Pernikahan di Desa Nunggi Kecamatan Wera Tahun  2021
Tabel 3.4 Data Perkawinan di Bawah Tangan dan Anak Hasil Perkawinan  di Bawah Tangan di Desa Nunggi Kecamatan Wera
Gambar 1. Wawancara dengan Ibu Arini pelaku perkawinan di bawah tangan
+3

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan ketentuan pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum1. masing-masing agamanya

Dengan demikian hukum yang berlaku menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pertama-tama adalah hukum masing- masing agama dan kepercayaannya bagi

Namun dengan menyandarkan keabsahan perkawinan pada pasal 2 ayat (1), perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya itu atau

sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agam dan kepercayaannya; b) Namun keberadaan pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan yang menyebabkan tiap-tiap perkawinan

1) Perkawinan yang sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu. 2) Tiap-tiap Perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan

Sesuai dengan isi undang-undang perkawinan tersebut di atas, perkawinan yang sah menurut hukum perkawinan nasional adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib

dari segi syarat-syarat perkawinan.13 Dalam Pasal 2 ayat 1 dikatakan, bahwa perkawinan itu sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.14 Secara umum,

Ketentuan pada Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 yaitu “ perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai” maka perkawinan harus disetujui oleh kedua