Secangkir Kopi Hitam
Banat Dalwa x Litime
alhamdulillah
ISBN:
viii + 148 halaman;
14 x 20 cm
Copyright© Banat Dalwa x Litime, 2025 Nuha Publishing
Cetakan 1, Februari 2025
Hak cipta dilindungi undang-undang
L
DLW MKT HMJ NHBuku ini terlahir dari kolaborasi
@LITIMESQUAD @PONDOK_DALWAPUTRI @MAKTABAHABUYAHASAN @HMPI_UIIDALWAPUTRI @NURULHAYAH20
Tata letak dan editor naskah : Litime.id x Lovrinz Desain sampul by S. Bell
Segala puji bagi Allah, yang memberi waktu luang, memberi ide, dan memberi kesempatan menulis. Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad ﷺ, yang hidupnya adalah kisah paling indah yang pernah ditulis.
Secangkir Kopi Hitam
Sejumput
Buku ini mulai ditulis sejak 2022. Lalu tertunda. Lalu ditulis lagi.
Lalu dihapus. Lalu dirombak. Lalu didiamkan. Lalu lupa. Lalu ingat lagi. Lalu diubah. Lalu akhirnya selesai di 2025.
Kami menulis di sela kesibukan, di antara tugas pesantren dan secangkir kopi yang sering keburu dingin. Kadang di buku catatan, kadang di ujung kertas tugas, kadang di angan-angan yang tak sempat ditangkap.
Sekarang, tulisan-tulisan ini akhirnya sampai di hadapanmu.
Mau diseruput hangat atau dibiarkan dulu, itu urusan selera.
Yang jelas, ia sudah tersaji. Semoga ada yang bisa dinikmati.
Bismillahirrahmanirrahim
Basa-Basi
Dengan sepenuh hati, kami persembahkan karya ini kepada:
Abuya Hasan Baharun—seperti matahari yang tak pernah gagal menyinari jalan kami.
Hubabah Khodijah Al-Hinduan—bagaikan angin lembut yang membawa kami ke arah yang lebih baik.
Ustadzah Syarifah Rugayyah Hasan Baharun—seperti pohon yang memberi teduh saat kami lelah.
Ustadz Dr. Segaf Baharun, M.HI.—seperti langit yang memberi kami ruang untuk berkembang.
Tentunya,
Kepada para Ustadz, Ustadzah, Dosen dan Kakak Mentor
Teman seperjuangan
yang tak bisa kami sebut satu per satu, Terimakasih untuk segala dukungan dan inspirasinya.
Semoga Allah mengumpulkan kami di surga-Nya.
Banat Dalwa x Litime
Silakan Pilih Menu
Di sini ada yang pahit, ada yang manis. Ada yang ringan seperti obrolan di sore hari, ada yang pekat seperti rindu yang tak selesai.
Semua diracik tanpa tergesa-gesa. Kalau suka yang manis, silakan ambil. Kalau lebih suka yang pahit, nikmati saja.
Kalau ragu-ragu, cicipi dulu.
Tidak perlu buru-buru.
Kata-kata juga, seperti kopi, lebih enak dinikmati pelan-pelan.
Dengan semua rasa yang kami miliki, Tim Penulis Banat Dalwa 2022-2025
DAFTAR MENU
Item
Edisi Perdana Writers Code : 2022-2025
Invoice No : Pertama
BUKU SECANGKIR KOPI HITAM
Hlm VIP Table
Semenjak 1.
Sejenak Lagi 2.
Landasan Teori 3.
Senja dan Penikmatnya 4.
Outlet Vocher Ketenangan 5.
Dinamika kecil 6.
Kebahagiaan 7.
Gugur 8.
Mendewasakan Rindu 9.
Jendral Kematian 10.
Drama di Balik kursi 11.
Bidadari Tak Bersayap 12.
Menjemput Asa 13.
Lupa diri 14.
Tentang Bebas 15.
Thanks 16.
DAFTAR MENU
Item Invoice No : Dua
BUKU SECANGKIR KOPI HITAM
Hlm VIP Table
Akhir 1.
Hubabah Khidijah Al-Hinduan 2.
Janji 3.
Bidadari Bumi 4.
Malaikat Pembunuhku 5.
Tutup 6.
Peluk yang Tak Sampai 7.
Harimau-mu 8.
Tetap 9.
Sultanah 10.
Bidadari Hidup 11.
Juang 12.
Karena Cadar 13.
Pelitaku 14.
Sendayu Malam 15.
Hanya Ayah 16.
Secangkir Kopi Hitam 17.
Edisi Perdana Writers Code : 2022-2025
Semenjak - Sejenak Lagi - Landasan Teori - Senja dan Penikmatnya
Menu
ke-1
Aku lelah berpikir dalam hampa Aku terus tenggelam dalam tanya
Aku ingin menatap matamu dan berpulang ke sana Tapi kau tidak pernah ada.
Semenjak kepergian itu, Kini ikhlas benar tertaut di hati Terluka hati tertawan diri
Hingga ku belajar dan mengubah diri
Tenanglah takkan ku toleh lagi kini sudah sembilu takkan terbuai lagi Telah kusudahi 03:00
Aku ingin sembuh dari sembilu malam itu Aku ingin sembuh dari hampanya keniscayaan Hatiku lebab, mataku sembab engkau toreh itu
Kini aku berubah haluan, engkau yang di sebut kehancuran Aku ingin 12:54
Semenjak
Dikata engkau hanya setangkai duri Ragamu sulit di temui,
kesana kemari tak kunjung tepi Oh sengsara daku,
pantas saja susah digapai diri
Untuk menggapaimu harus berdarah diri Duri 1:03
Aina Durroh
Kali ini,
Aku bercengkrama dengan hati Iramanya sampai kini ada Pesonanya masih kuterima Memaksaku tuk tersesat
Memaksaku tuk tumbuh lagi dan lagi Bantu aku, Tuan,
Apa maksudmu?
Mengetuk pintu Minum kopi
Lalu kau tinggal pergi Kopinya masih hangat Ingin kubuang, tapi sayang Bersama kopimu
Aku duduk
Membawa riuh aromamu Yang Kau tinggal tak bertuan
Sejenak Lagi
Kholifatud Diniyah
Hula
Wahai sang pendengar hati Susah sekali menata hati
Lisan tak terucap sama sekali Ketika hati tersayat belati Tajamnya buah bibir
Semakin mengarungi jalanan
Semua tempat nyata dalam kehidupan Bahwa yang berpangkat & berderajat Tak memikirkan hati para rakyat Yang menerima segala hujatan Tanpa ada balasan
Landasan Teori
Banat Dalwa x Litime 5
Senja dan
Penikmatnya
Dinar
“Bab sholat ‘Ied, kita bahas di pertemuan selanjutnya.”
“Wallahu A’lam bissowab.”
Setelah Gus Ali menyelesaikan S2 di Al-Azhar, Kyai Suara lelaki berkemeja navy mengakhiri pembelajaran hari ini. Ia melangkah keluar dari kelas setelah mengucap salam.
Seperti biasa, suasana kelas langsung riuh setiap kali ia selesai mengajar. Ali Akbar, Gus Ali – cucu laki-laki Pak Kyai, dan lebih tepatnya, satu-satunya cucu laki-laki beliau.
Para santriwati selalu antusias mengikuti pelajaran yang diajarnya. Bukan hanya karena parasnya yang tampan, tapi juga karena metode mengajarnya yang menarik dan tidak membosankan.
“Kenapa kalian semangat banget ikut kelasnya Gus Ali?”
tanya Icha, santri berkacamata yang duduk di kursi nomor dua dari belakang. Dua temannya yang duduk di depan langsung membalikkan badan menghadapnya.
“Karena tampan!” sahut Nafa sambil tersenyum.
“Karena pintar banget, kayak Ustad Adi Hidayat!” timpal Latifah sambil merapikan alat tulisnya.
6 Secangkir Kopi Hitam
“Kalau kamu, kenapa?” tanya Latifah, menatap Icha penasaran.
“Karena cerita cinta beliau,” jawab Icha pelan. Nafa dan Latifah saling pandang, menuntut penjelasan lebih lanjut.
“Ya… menurut gosip yang beredar sih, gak tahu itu benar atau salah! Katanya kisah cinta beliau cukup menyedihkan.”
Di sebuah balkon kamar, seorang lelaki duduk di kursi
yang tersedia di sana, sesekali menyeruput kopi hitam yang ada di atas meja. Ia suka senja, melihat matahari terbenam memiliki sensasi tersendiri untuk dirinya.
Ia merogoh handphone dari kantong kemejanya, melihat foto-foto lamanya waktu kuliah. Saat itu ia berfoto di saat senja.
Senja adalah sebagian kecil dari masa lalu. Kenangan yang belum bisa ia lupakan, baginya senja sedikit menyembuhkan sakit yang ia rasa, kekecewaan mendalam dari harapan yang harusnya tak ia jatuhkan pada sebuah ketidak pastian.
“Kak Ali! Jam tangan ini bagus banget, buat aku aja ya!”
Seruan seorang gadis membuat Ali menoleh ke asal suara.
Pemilik suara itu adalah Aisyah, adiknya. Aisyah tersenyum sambil menunjukkan jam tangan berwarna hitam pada Ali. Ali tertegun.
“Itu ….”
Flash back Segaris senyuman tergambar di wajah Ali. Entah kenapa ia
ikut tersenyum saat melihat gadis di depannya tersenyum. Aneh memang. Dan ia seperti itu hanya pada gadis ini, senyuman itu tetap sama, senyuman teduh yang ia berikan saat pertama kali
Banat Dalwa x Litime 7
bertemu di acara wisuda MI, 7 tahun yang lalu, dan itu adalah momen pertama kali Ali bertemu dengannya.
“Kak Ali ... selamat ya atas kelulusannya! Kata Mama, kakak dapat nilai tertinggi seangkatan. Una ikut senang dengarnya, ini Una punya hadiah kecil buat Kakak!” seru gadis di depannya sambil memberikan sebuah kotak berukuran kecil pada Ali.
Ali terdiam, sebuah perasaan bagai desiran ombak
menyapu hatinya. Biasanya hanya dengan melihat senyumnya saja, Ali sudah sangat senang, dan sekarang ia mendapat pujian sekaligus hadiah.
“Eh … Li, bilang makasih kek! Kok diam aja sih?” Farhan menepuk bahu Ali, membuatnya tersadar dari lamunannya.
“E ... makasih ...” serunya pelan, lalu mengambil kotak itu.
Gadis itu menjauh setelah selesai ikut berfoto bersama.
“Li … keliatan banget kalau kamu suka ama Husna!”
Kata-kata Farhan, sepupunya, membuat Ali spontan menoleh padanya.
“Nah kan, kamu suka ama Husna!” Farhan tersenyum jahil.
“Hmm ... jangan-jangan kamu kuliah ke Al Azhar jarna Husna, ya?” Farhan lagi-lagi tersenyum jahil. Ia memang suka menggoda sepupunya.
“Apaan sih ….”
Di sebuah kamar asrama Al-Azhar Kairo.
Ali sedang membereskan pakaian dan barang-barangnya.
Ia akan pulang ke Indonesia besok, setelah enam tahun ia berjuang dan kini resmi menyandang gelar S2-nya.
Handphonenya bergetar. Ia segera mengambil handphone dari saku celananya.
8 Secangkir Kopi Hitam
“Hallo, Umah … Ahmad nikah sama siapa? Anaknya Tante Aminah?”
Ali terdiam sesaat.
“Ali baru pulang dua hari lagi, Mah, soalnya masih ada berkas yang harus diurus. Iya ... assalamu’alaikum.”
Tuut.
Sakit.
Harusnya hari ini menjadi hari bahagia bagi Ali. Akan
tetapi, berita dari Mamanya membuat dadanya sesak. Ia tak bisa pulang besok, ia tak mampu menerima kenyataan ini.
“Kak ... jamnya buat Aisyah, ya.” Aisyah menatap Ali penuh harap.
“Maaf ya ... kalau yang ini jangan!” seru Ali lalu mengambil jam tangan itu dari tangan Aisyah.
“Ya udah lah. Umah nyuruh Kakak turun, Kak Ahmad datang tuh!” seru Aisyah, lalu berlalu pergi meninggalkan Ali.
Ali menghela napas pelan. Ia tak bisa terus-menerus menghindari Ahmad karena perasaannya. Ali keluar dari kamarnya menuju ruang tamu.
“Ali ... Ya Allah, aku rindu banget sama kamu!” seru Ahmad, lalu memeluk Ali dengan erat.
“Padahal aku nunggu kamu hadir di acara pernikahan Aku!” Ali terdiam sejenak.
“Maaf ya …,” ujar Ali pelan. Ahmad terkekeh.
“Gak usah minta maag kali … aku tahu kamu juga terpaksa
gak bisa hadir,” seru Ahmad sambil tersenyum.
Banat Dalwa x Litime 9
Ali sedang pergi ke sebuah toko buku, ia akan membeli hadiah untuk ulang tahun untuk Aisyah. Ia mengambil satu buku, lalu berjalan menuju kasir. Tiba-tiba langkahnya terhenti saat melihat seseorang yang berdiri tak jauh dari tempatnya berdiri.
“Kau Ali ... apa kabar?” Gadis di hadapannya menyapa dengan ramah.
“Bu ... baik,” sahut Ali sedikit canggung.
“Selamat ya, atas pernikahanmu dengan Ahmad!” sambung Ali sambil berusaha tersenyum.
“Nikah?” Husna terkekeh pelan.
“Kak Ahmad? Aku belum nikah, Kak. Kak Ahmad
nikahnya ama Kak Sofia, bukan ama aku!” Jawaban Husna membuat Ali menatapnya tak percaya.
# --- #
Di kamar, Ali memandang jam tangan hitam di tangannya sambil tersenyum. Ia sangat senang ternyata ia masih punya kesempatan untuk mendapatkan cintanya.
‘Semoga kamu benar-benar takdirku,’ gumamnya dalam hati.
“Ali ....” Suara Umah membuat Ali spontan meletakkan jam itu di kantong bajunya. Umahnya duduk di atas kasur, di sebelah Ali.
“Emm ... menurut Umah, umur Ali sudah cukup untuk menikah, dan Umah udah punya calon yang pas buat Ali ... Ali mau gak?”
Ali tak akan bisa menolak permintaan Mamanya, dengan berat ia mengangguk pelan.
10 Secangkir Kopi Hitam
“Alhamdulillah. Besok keluarganya akan berkunjung ke sini.” Ummah memeluk Ali erat.
Keesokan harinya, Ummah menyiapkan banyak makanan untuk menyambut keluarga gadis itu, sedangkan Ali masih duduk di kamar. Hatinya masih sedikit berat untuk menerima takdir ini. Ia meletakkan jam yang ia pegang dari tadi, ia harus melupakannya. Ali membuka pintu kamarnya, berjalan dengan malas menuju tangga. Sekilas ia seperti melihat Husna ada di dekat dapur.
‘Tidak mungkin,’ batinnya lalu kembali berjalan menuju
meja makan. Ali terus menunduk, lalu duduk di kursi sebelah kursi Umahnya. Kursi di depannya masih kosong, Ali tidak tertarik untuk bertanya.
“Maaf, Tante, agak lama!” Ali sontak mengangkat
kepalanya, mencari sumber suara tadi. Ali terpaku, gadis itu duduk tepat di depannya. Ali masih belum percaya ini hanya mimpi atau nyata.
“Husna ....”
Menu ke-2
Outlet Voucher Ketenangan, Dinamika Kecil, Kebahagiaan
Outlet Voucher Ketenangan
Bagimu, ini cukup berat Perlu rehat
Namun, tak jua temu lokasi Yang pas untuk rasa hampa dan sahabat-sahabatnya Yang ikut bonceng di belakang Di saat orang-orang lembur berpikir Kau masih dipusingkan
Oleh urusan parkir perasaan
Kau akhirnya berhenti Di depan outlet pulsa
Maaf, Mbak
Sebaiknya anda langsung hubungi Call center sang Maha Kuasa Alamatnya tempat sujud
Biasanya sering promo, setiap sepertiga malam terakhir Jangan lupa tukarkan poin do’a, itu bonus
Pasti beruntung dan dapat kupon ketenangan
Salma Nab
Dinamika Kecil
Dinamika kecil kehidupan terlukiskan di tempat yang indah.
Masjid, menara dan gedung menjadi saksi Setiap perjuangan penghuninya. Sebuah tempat ketika hatiku luluh dan memilih Untuk berlabuh pada sebuah pilihan Keindahannya.
Tak mudah hanya untuk dilukiskan dengan kata dan gambar
Setiap asa yang dikabarkan
Setiap embus napas yang berembus.
Terus menjadi saksi antara sebuah perjuangan yang melelahkan.
Terkadang lelah, jenuh dan bosan menghampiri
Setiap insan yang menetap, tapi hal itu hanya sementara dan akan tergantikan Dengan asa dan semangat baru yang dikabarkan
Langit biru keabu-abuan sebagai naungan Meneduhkan insan yang tengah berjuang Merapikan sisa-sisa asa dan semangat untuk Bangkit dari keterpurukan
Ketika setiap komponen itu bersatu Menumbuhkan semangat yang baru
Seperti sebuah penyemangat untuk terus maju dan berkembang Tanpa ada rasa takut untuk menyerah
Naysa (MKTB 20/02/2023 16:36)
Banat Dalwa x Litime 17
Kebahagiaan
Byurr!
Aku terbangun karena air dingin yang menerpa tubuhku
tiba-tiba, hingga membuat tubuhku menggigil.
“Bangun! Ingin jadi apa jika tidur terus?!”
“Berikan rokok dan dua botol alkohol.” Lelaki paruh baya itu melempar uangnya ke wajahku begitu saja, hingga membuat uang tersebut berserakan di lantai. Aku tak memungutnya, hanya kuperhatikan uang tersebut, lalu kepalaku mendongak dan menatapnya.
“Toko mana yang buka di jam segini?” Saat ini jam menunjukkan pukul 02.15
“Tidak ingin tahu, terserah beli di mana, yang penting
barang itu sudah harus ada saat ini juga!” Aku pun beranjak menuju lemari, mengambil pakaian untuk mengganti pakaianku yang basah.
“Ingin ke mana?”
“Ingin mengganti pakaian, tidak mungkin aku keluar dengan pakaian seperti ini.”
“Tidak perlu ganti pakaian, pergi dengan pakaianmu yang seperti itu sekarang!” Tak bisa kulakukan apa pun selain hanya menurut. Aku pun pergi membawa uang yang kupungut tadi dalam keadaan seperti ini.
18 Secangkir Kopi Hitam
Aku berjalan sembari memeluk tubuhku karena dinginnya angin malam yang merasuk ke dalam tubuh. Aku sudah biasa diperlakukan lebih dari ini oleh lelaki itu. Aku mulai tinggal bersamanya sejak Ibuku menikah dengannya setelah kematian Ayah kandungku. Awalnya, dia sangat baik padaku, menganggapku bagai anak kandungnya sendiri. Namun, sikapnya berubah drastis setelah wafatnya Ibuku karena penyakit tumor hati yang dipendamnya selama ini.
Ibuku terlihat tenang ketika meninggalkanku, seperti
sudah percaya lelaki itu akan menjagaku selama ia tidak ada. Ibu berpikir ia akan memperlakukan aku seperti anaknya sendiri.
Namun, nyatanya justru ia memperlakukanku sebagai budak, menyiksaku tanpa alasan yang jelas. Seluruh harta warisku dirampas olehnya, hingga aku tak dapat pergi kemanapun tanpa uang. Dua tahun sudah aku tinggal bersamanya dengan siksaan ini, tapi aku tetap menjalaninya dengan sabar, karena aku yakin di balik 1000 kesedihan pasti ada satu kebahagiaan.
Di saat sedang merenung tentang kehidupan, tiba-tiba seseorang menyelimuti separuh tubuhku dengan jaket dari belakang. Aku menoleh ke belakang dan kulihat lelaki muda dengan senyumnya memakai kaus berwarna putih dengan celana jeans berlubang.
“Eh?” Aku ingin melepas jaket ini, tapi ia menahannya.
“Pakai saja, saya tahu kamu kedinginan.” Aku pun menerimanya sejenak, hening menyapa di antara kita.
“Sendirian aja? Malam-malam ingin ke mana?”
“Mencari toko yang buka.”
Banat Dalwa x Litime 19
“Hmmm? Mana mungkin ada toko yang buka jam segini.”
Aku menggeleng.
“Tidak, harus ada toko yang buka, Aku tidak boleh pulang dengan tangan kosong.” Lelaki itu tampak heran.
“Apa maksudnya?” Aku hanya diam tak ingin menjawab.
Kudengar ia menghela napas.
“Ingin beli apa memang?”
“Rokok dan dua botol alkohol.”
“Oh, saya punya.” Ia merogoh saku celananya, dan mengeluarkan satu pak rokok.
“Hanya punya rokok, tapi alkohol ada di rumah. Eumm tunggu di sini, saya ambilkan.” Ia berlari meninggalkanku. Tak lama ia kembali lagi dengan dua botol di tangannya, lalu ia berikan padaku.
“Kali ini kamu pulang dengan tenang, perlu saya antarkan?”
--- ∙ ∙ ∙ ---
Dia benar mengantarkanku sampai rumah, dia menghiburku selama berjalan tadi, membuatku beberapa kali tertawa, Aku tak pernah bertemu orang seperti dia.
“Ini rumahmu?” Aku mengangguk.
“Makasih ya, aku masuk dulu.” Aku berjalan menuju pintu, ketika aku ingin membukanya, sudah terbuka lebih dulu oleh seseorang di balik pintu.
“Dari mana saja kamu?!” Ia melihat arah belakang dan mengetahui aku pulang tidak sendirian.
“Mulai nakal kamu, ya!” Ia menarikku, lalu menutup pintu dengan keras.
BRAK!
20 Secangkir Kopi Hitam
“Sini kamu!” Ia menggeretku ke kamar mandi dan tubuhku didorongnya dengan kuat, hingga kepalaku terbentur bathtub.
Darah mulai mengalir perlahan dari kepala.
“Saya menyuruh kamu membeli rokok dan alkohol, bukan untuk bermain dengan laki-laki!”
Lelaki itu berjalan menghampiri shower dan menyalakannya pada bagian air dingin. Air itu mulai berjatuhan mengenai tubuhku.
“Ayah, tolong matikan.” Permohonanku tidak digubris olehnya sama sekali.
“Ini adalah hukuman untukmu!” Ia berlalu pergi dan mengunci ruangan ini. Aku bangkit secara perlahan untuk mematikan showernya. Namun, ini tidak akan membuatku dapat keluar dari sini. Aku pun hanya bisa memeluk tubuhku sendiri, menunggu seseorang datang menyelematkanku.
--- ∙ ∙ ∙ ---
“Ssst ssst!” Aku mencari dari mana suara itu berasal.
“Ssst ssst!”
Lagi. Kali ini suaranya semakin berasa dan aku
menemukannya. Suara itu berasal dari semak-semak, dibaliknya terdapat lelaki yang pernah bertemu denganku saat itu. Aku senang melihatnya lagi, tapi aku juga takut, mengapa ia
menghampiriku ke sini? Takut jika Ayah melihatnya, aku akan dimarahi lagi. Aku pun menghampirinya dan menariknya jauh dari rumah.
“Kenapa kamu kemari? Bagaimana jika Ayah lihat?!”
“Saya hanya ingin memberimu ini?” Dia memberikan
sekantung plastik berisi buah-buahan dan beberapa makanan ringan.
Banat Dalwa x Litime 21
“Saya juga ingin menawarkan sesuatu, saya memang tidak tahu bagaimana kehidupanmu di rumah, tapi jika kamu tidak tahan, kamu bisa ikut denganku.” Ia memberikan tangannya, sepertinya dia ingin membantuku keluar dari kesengsaraan, tapi ... aku menolak.
“Maaf, aku tidak bisa ikut denganmu. Aku tak bisa meninggalkannya. Bagaimanapun sikapnya padaku, aku menyayanginya, karena rasa sayang ini sudah terlanjur datang sebelum dia bersikap seperti ini.” Ia pun menurunkan tangannya kembali.
“Baiklah jika itu keputusanmu, tapi saya tidak akan menarik tawarannya. Sekali lagi, jika kamu benar-benar tidak tahan, kamu bisa ke rumahku.” Dia memberiku alamat rumahnya. Aku menerimanya, setelah itu dia pergi dan aku pulang membawa makanan pemberian lelaki tadi. Ketika sedang berjalan menuju kamar, aku bertemu dengan Ayah. Ia melihatku membawa sesuatu, segera ia bertanya.
“Apa itu?” Segera kusembunyikan ke belakang tubuh.
“B … bukan apa-apa.”
“Berikan.” Aku menggeleng.
“Berikan!”
“T … tidak!” Aku tak percaya. Aku membentaknya.
Sungguh, aku tidak sengaja melihat wajahnya yang kini mulai terlihat sangat merah.
“Felicya! Berani kamu membentak saya?!” Aku berlutut dan memohon maaf padanya.
“Maafkan aku, sungguh aku tidak sengaja.”
“Sini kamu!” Ia menarikku menuju gudang dan tubuhku didorongnya lagi dengan kuat, kulihat ia melepaskan sabuk dari
22 Secangkir Kopi Hitam
pinggangnya, lalu ia cambukkan ke tubuhku berkali-kali.
CTAK!
“Ayah! T … tolong hentikan, ini sak-”
CTAK!
“Akh!”
“Ini hukuman untukmu!”
CTAK!
Aku hanya bisa menangis, ingin berlari, tapi tubuhku tak kuat untuk melawannya.
CTAK!
Memar dan darah menyelimuti tubuhku, bajuku kini menjadi berwarna merah dikarenakan darah yang mengalir.
CTAK!
Setelah cambukan terakhir, ia melempar cambuknya ke
sembarang arah, kemudian ia pergi tanpa mengunci pintu. Ini kesempatan bagiku untuk kabur dari tempat ini.
--- ∙ ∙ ∙ ---
Kini aku berada di luar rumah, aku berhasil keluar dari rumah itu tanpa membawa apa pun. Aku bingung ingin ke mana. Aku tak punya tempat yang dapat kukunjungi. Oh, aku baru ingat. Aku merogoh saku celanaku, mencari sesuatu yang dapat membantuku pergi ke mana, yang kucari adalah kertas berisi alamat rumah lelaki tadi. Setelah kutemukan, aku mengeluarkannya dan kulihat, tulisan tersebut kini mulai terlihat samar-samar karena sedikit basah oleh darah. Akan tetapi, aku masih bisa membacanya. Aku berjalan menuju rumahnya sesuai dengan petunjuk yang ada di kertas, tubuhku beberapa kali tumbang karena tidak kuat dengan cambukan tadi, tapi kupaksakan diriku supaya tidak pingsan di tengah jalan.
Banat Dalwa x Litime 23
“Sedikit lagi.”
Dan akhirnya ... aku sampai di depan sebuah rumah yang cukup besar, tak perlu waktu lama aku segera memencet bel yang berada di samping pintu. Aku pencet tombol itu berkali- kali hingga pintu itu terbuka, menampilkan sosok lelaki yang kubutuhkan saat ini.
“Loh?”
“T … tolong aku.” Setelah mengucapkan kalimat itu, aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya, karena aku mulai tak sadarkan diri dan tubuhku jatuh seketika di hadapannya.
--- ∙ ∙ ∙ ---
Aku terbangun, dan melihat sekeliling terlihat asing bagiku.
Pandanganku kini tertuju pada tubuhku yang sudah memakai pakaian yang layak dibanding sebelumnya, dengan luka yang sudah dibaluti salep dan beberapa plester. Aku berpikir, siapa yang mengobati lukaku dan menggantikanku pakaian?.
Pintu ruangan ini terbuka, menampilkan sosok lelaki yang sedang berada di pikiranku saat ini. Ia berjalan menghampiriku, dengan membawa nampan berisi makanan.
“Makan ini.” Ia memberiku satu piring berisi nasi dan sup hangat.
“Kamu pasti lapar, kan?” Apa yang dikatakannya benar.
Aku menerima piring tersebut dan memakan makanannya dengan lahap.
“Bagaimana lukamu? Sudah tidak terlalu sakit?”
“Ya.”
“Saya menyuruh Bibi untuk mengobati lukamu.” Sempat aku berpikir ini semua ulahnya.
24 Secangkir Kopi Hitam
“Mulai sekarang kamu bisa tinggal bersama saya, tidak perlu khawatir dengan kebutuhanmu, biarkan saya yang mencukupi.”
“Terima kasih banyak, tanpa kamu mungkin aku tidak akan hidup sekarang, entah aku bisa membalas semua balasanmu atau tidak.”
“Tidak perlu pikirkan hal itu sekarang.”
“Makan yang kenyang ya, jika butuh apa-apa panggil saja saya di bawah, jika ingin menonton TV, ini remote-nya. Kamu tahu kan bagaimana caranya?” Aku mengangguk, ia tersenyum lalu mengelus kepalaku.
“Saya pergi dulu.” Ia pun pergi dari ruangan ini
meninggalkanku sendiri. Tak apa, aku merasa lebih aman berada di sini.
--- ∙ ∙ ∙ ---
Hari-hari berlalu aku tinggal bersamanya. Awalnya baik- baik saja, ia bersikap baik padaku dan aku mulai sedikit menyukainya. Namun, semakin hari sikap aslinya perlahan mulai terlihat. Ia sering mabuk-mabukan dan selalu pulang tengah malam membawa perempuan berpakaian sexy, awalnya aku biasa saja, tapi semakin lama aku tidak tahan dengan ulahnya yang keji itu. Sering kali perkataannya selalu membuat hatiku sakit, entah ia mengataiku dengan kata-kata yang tidak pantas, atau ia akan memfitnahku dan lain-lain. Lebih baik fisikku yang tersakiti, dibanding hatiku yang tersakiti.
Ding dong
Akhirnya yang kutunggu sedari tadi datang. Segera kubuka pintu tersebut dan aku dikejutkan dengan perlakuannya yang tiba-tiba. Ia mendorongku begitu saja, kemudian ia masuk dalam keadaan mabuk sembari dibopong tubuhnya oleh wanita
Banat Dalwa x Litime 25
lainnya lagi. Wanita itu bertanya padaku.
“Ada di mana kamarnya, Bi?”
“Apa katanya? Bi?” Ia mengira bahwa aku adalah pembantunya? Aku tak akan menjawabnya.
“Bi?” Ia bertanya lagi. Namun, aku tak menghiraukannya, mungkin ia tak ingin menunggu jawaban lagi, ia pun pergi dengan lelaki itu. Sungguh, aku tidak tahan, aku pun mengejar mereka dan kupisahkan mereka secara paksa.
“Kamu tidak bisa seperti ini terus!” Tanganku dihempaskannya oleh lelaki itu.
“Jangan ganggu kehidupan saya! Punya hak apa kamu melarang saya?! Ingat, kamu di sini hanya numpang.” Lagi, aku ditampar dengan perkataannya, setelah itu ia merangkul wanitanya lagi dan berjalan menuju kamarnya, tapi kutahan lelaki itu kembali.
“Kamu tidak boleh bersikap seperti itu padaku!” Kali ini bukan dia yang mendorong, melainkan wanita itu, ia mendorongku hingga aku terduduk.
“Jangan ganggu dia lagi, jalang!”
Apa? Jalang? Apakah ia tidak tahu bahwa dirinya jalang yang sebenarnya? Aku tidak terima dengan ucapannya. Aku bangkit, lalu menamparnya dengan kuat. PLAK!
“Kau yang sebenarnya jalang!”
“Apa-apaan kamu?!” Lelaki itu mendorongku dengan kuat ke arah meja hingga kepalaku terbentur ujung meja tersebut, darah mengalir perlahan, kepalaku mulai pusing karena
benturannya.
“Sudah saya bilang jangan ganggu kehidupan saya! Tidak perlu ikut campur urusan saya! Menyesal saya bawa kamu
26 Secangkir Kopi Hitam
kemari, pergi kamu dari sini!” Aku tak percaya, dia yang mengajakku kemari, tapi dia juga yang mengusirku.
“Baiklah.” Aku pun pergi dari rumah tersebut dengan keadaan darah mengucur dari pelipis.
--- ∙ ∙ ∙ ---
Saat ini aku berada di tengah-tengah keramaian banyak orang. Aku berhasil keluar dari tempat itu. Aku keluar dari penjara yang menyakitkan itu. Kini, aku bingung ingin ke mana, tidak mungkin aku kembali ke rumahku yang dulu. Sekarang aku sudah tidak memiliki tempat untuk pulang, tempat untuk istirahat, tempat untuk mengadu. Aku sudah tidak memiliki semuanya.
Jangan kalian berpikir bahwa aku masih memiliki Tuhan yang dapat menolongku. Apa itu Tuhan? Aku tidak percaya dengan adanya Tuhan yang katanya dapat menolong anak-Nya, namun kenyataannya Ia tak pernah sekalipun menolongku dari siksaan hidup. Ia tak pernah mengadili kehidupanku. Semenjak itulah aku tak percaya dengan Tuhan lagi.
Sekarang aku harus ke mana? Tidak ada tempat berlindung untukku lagi. Darah masih tetap mengalir dari pelipis karena lubang luka yang besar akibat benturan tadi. Aku tidak tahan lagi. Apakah ini sudah waktunya aku pergi meninggalkan dunia ini?
? Suara apa ini ﺮﺒﻛأﻪﻠﻟﺎﻬﻠﻟﺎﻬﻠﻟﺎﻬﻠﻟا ! ﺮﺒﻛأﻪﻠﻟﺎﻬﻠﻟﺎﻬﻠﻟﺎﻬﻠﻟا !”
ﺮﺒﻛأﻪﻠﻟﺎﻬﻠﻟﺎﻬﻠﻟﺎﻬﻠﻟا ! ﺮﺒﻛأﻪﻠﻟﺎﻬﻠﻟﺎﻬﻠﻟﺎﻬﻠﻟا !”
menenangkan hati dan jiwa.
“ﻪﻠﻟﺎﻬﻠﻟﺎﻬﻠﻟﺎﻬﻠﻟاﻻﻻإﻪﻟإﻻﻻنأﺪﻬﺷأ”
Suara dan kalimat yang dapat Benar-benar, aku tidak pernah mendengar kalimat ini.
BRUK!
Banat Dalwa x Litime 27
Aku terjatuh, kesadaranku perlahan hilang. Samar-samar kulihat orang-orang mengerumuniku. Sebelum semua menjadi gelap.
Aku terbangun, melihat sekitarku sangatlah asing.
“Oh, dia bangun. Ibu! Dia sudah bangun!” Gadis kecil yang berada di depanku berteriak memanggil Ibunya, yang dipanggil pun datang membawa nampan berisi makanan.
“Sudah sadar?” Aku hendak bangun dari tidurku, ia membantuku dan menaruh bantal di belakangku sebagai sandaran.
“Ini, makan dulu.” Ia memberiku satu piring berisi makanan. Namun, aku hanya diam saja.
“Ibu ga kasih racun kok. Ayo makan, Kak.” Gadis itu berucap, sedangkan Ibunya hanya tersenyum. Aku pun mengambil piring tersebut lalu memakannya.
“Siapa namamu?”
“Felicya.”
“Di mana orang tuamu? Mengapa mereka membiarkanmu keluar dengan luka besar di kepala?” Aku diam sejenak lalu menjawab.
“Mereka sudah tiada.” Ia tampak terkejut.
“Oh, maafkan aku.”
“Eumm, lalu kamu tinggal dengan siapa?”
“Dengan ayah tiri.”
“Apakah kamu ingin pulang? Biar kami antarkan.” Aku menggeleng dengan kuat.
“Tidak! Aku tidak ingin pulang, bolehkah aku tinggal di sini bersama kalian? Aku janji tidak akan mengusik kehidupan
28 Secangkir Kopi Hitam
kalian.”
Wanita itu tampak berpikir.
“Aku harus bicarakan ini dengan suamiku dulu.”
“Aku mohon.” Aku menyatukan kedua tanganku memohon, ia terlihat kasihan melihatku memohon padanya.
“Baiklah.”
“Terima kasih banyak.” Aku senang, masih ada orang baik di dunia ini yang ingin menolongku.
--- ∙ ∙ ∙ ---
Aku diizinkan oleh suaminya untuk tinggal bersama
mereka. Mereka sangat ramah dan baik padaku. Terkadang, mereka mengajakku melakukan kebiasaan yang sering mereka lakukan, tapi aku menolak karena tidak mengerti. Maksudku, kebiasaan mereka adalah beribadah. Kadang, mereka juga menceritakan tentang agama mereka.
Aku tertarik dengan ceritanya. Tuhan mereka berbeda dengan yang kupercaya sebelumnya. Aku bahkan sangat mengagumi tokoh wanita dalam cerita mereka. Mereka biasa menyebutnya Fatimah az-Zahra. Saking kagumnya aku dengan wanita itu, mereka mulai memanggilku dengan nama tersebut.
Sekarang, jangan panggil aku Felicya lagi. Panggil aku Fatimah.
Walaupun mereka sering menceritakan tentang agama mereka, mereka tidak pernah memaksaku untuk mengikuti keyakinan mereka. Setiap hari, aku melihat mereka beribadah tanpa henti. Terlihat begitu nikmat, dan aku ingin merasakan hal yang sama. Hingga suatu hari, aku meyakinkan diriku untuk mengikuti mereka. Aku pun meminta mereka menuntunku mengucapkan dua kalimat yang membuatku, saat ini juga, memiliki agama.
Banat Dalwa x Litime 29
“Asyhadu.” Aku mengikutinya. “Asyhadu.” “An laa ilaaha illa Allah.” “A-anla ilahaa illa Allah.” “Wa Asyhadu anna.”
“Wa Asyhadu anna.” “Muhammadan.” “Muhammadan.”
“Rasulullah.” “Rasulullah.” “Alhamdulillah.” Wanita itu memelukku dengan sangat
gembira.
“Selamat menempuh perjalanan baru, Nak!”
“Sekarang dosamu yang telah lalu sudah dihapus oleh Allah, dan mulai sekarang kamu adalah seorang muslimah.”
--- ∙ ∙ ∙ ---
Pertama kali mereka mengajak sholat, kita lakukan berjamaah.
“Gerakannya nanti lihat-lihat ke kita, ya.” Aku mengangguk, lelaki yang berada di depan kami memulai dahulu baru kami mengikutinya. Sebelumnya aku pernah diberi tahu gerakan- gerakannya, namun aku lupa. Ketika mereka sujud, aku ikut sujud.
“Allahu akbar.” Aku melihat ke samping wanita itu bangkit, aku pun ikut bangkit, kulihat mereka sujud lagi, aku hanya terus mengikutinya. Namun, ketika sujud yang ke-2 seketika semua gelap, aku mulai tidak merasakan bahkan mendengar apa pun lagi.
30 Secangkir Kopi Hitam
“Assalaamu’alaikum warahmatullah.” Setelah salam wanita itu segera membangunkan Fatimah, karena ia mengira Fatimah tertidur.
“Fatimah.” Ia menggoyangkan tubuhnya, namun tak ada reaksi, justru tubuh itu terjatuh, ketika didorong pelan seperti sudah tidak bernyawa.
“Loh, Fatimah? Bangun.” Ia menepuk-nepuk pipi Fatimah, sama saja tak ada reaksi.. Lalu ia beralih mengecek denyut nadi Fatimah, dan ...
“Innalillahi wainna ilaihi roojiun.” Semua yang berada di situ terkejut.
“Ia telah pergi dengan tenang, tanpa membawa dosa.”
Beginilah akhir kehidupanku, seperti yang selalu kuyakini bahwa 1000 kesedihan yang telah tertulis ini akan membawa pada 1 kebahagiaan, seperti yang saat ini sedang ku lakukan.
--- ∙ ∙ ∙ --- 1 kebahagiaan selesai.
Menu ke-3
Gugur - Mendewasakan Rindu - Jendral Kematian
Banat Dalwa x Litime 33
Gugur
Waktu, bolehkah aku menuntut Kenapa ... kenapa ...
Semuanya kau ambil Satu persatu Dariku yang lemah
Dariku yang masih butuh Tongkat untuk berpijak dan butuh dorongan
Untuk nampak di permukaan Melangkah di pusaran waktu Penuh sesak dan lara
Kelopak demi kelopak bungaku Telah berguguran
Dimakan keadaan
Melayu tanpa harapan kehidupan
Cahaya mentari Seperti patung, bisu tak berujung
34 Secangkir Kopi Hitam
Tuntutku tak pernah terdengar Kelopak-kelopakku
Takkan pernah berwujud kembali Hanya menunggu giliran
Gugur secara perlahan Dimakan oleh keadaan Khalifatun murajabah
Banat Dalwa x Litime 35
Mendewasakan Rindu
Kita dua hal yang berbeda Yang mencoba saling sama Kita adalah kesia-siaan Yang belajar mencari
Kita adalah nyaman yang menyisakan ragu Kita adalah cerita yang akan mulai Atau malah sudah selesai
Kita seumpama resah
Yang sama-sama menemukan jalan pulang Kita seumpama degup
Yang menabuh rindu bertalu-talu Untuk sebuah temu yang paling syahdu
Hingga akhirnya Kita kelelahan
Karena membiarkan rindu mengambil tahta Rindu yang egois
Rindu yang banyak menuntut temu
36 Secangkir Kopi Hitam Andriani Poetry
Kita dipasung jarak
dan dipaksa berlaku bijak
Bagaimana mendewasakannya
Bagaimana menenangkannya
Agar dia menerima permakluman
Tentang keadaan kita
Banat Dalwa x Litime 37
Jendral Kematian
Lilah Khirid
Aku membenci ayahku melebihi apa pun yang ada di dunia ini.
Bagaimana tidak? Sosok yang seharusnya menjadi penerang di hidupku malah menjadi penghancur seluruh hidupku, dengan wajah buruk rupanya ia membuatku kehilangan banyak hal.
Termasuk teman-temanku, mereka menjauhiku lantaran ayahku yang miskin dan buruk rupa. Aku juga harus menutup rapat-rapat telingaku sehari-hari karena banyak sekali mulut- mulut yang siap menghinaku.
Kutarik napasku dalam-dalam, mengumpulkan kesiapan untuk melangkahkan kakiku masuk ke dalam sekolah. Baru beberapa langkah aku masuk, suara yang amat kukenal sudah terdengar lantang.
“Lihat, si miskin anak monster sudah tiba!”
“Jangan mendekat padanya, karena ayah monsternya akan siap memakanmu!” teriak Arya dari kejauhan yang diiringi suara tawa dari kawan-kawannya.
Aku menundukkan kepalaku, mencoba menahan emosiku.
“Hei, kenapa kau diam saja?”
“Dasar pengecut keturunan monster!” timpalnya lagi tak berhenti tuk menghina. Aku menarik napasku dalam-
38 Secangkir Kopi Hitam
dalam, wajahku sudah memerah padam akibat emosiku yang memuncak. Aku berjalan mendekatinya lalu berteriak-teriak di hadapannya.
“AYAHKU BUKAN MONSTER!.”
“Ayahmu adalah monster Dev, lihatlah wajahnya sangat menyeramkan!”
“Dan ada satu hal yang amat aku bingungkan, mengapa kau bisa masuk ke sekolah ini? Bukankah ayahmu amat miskin?
Atau ayahmu menakut-nakuti Kepala Sekolah dengan wajah monsternya?”
Aku terdiam, mencoba menenangkan diri memilih jawaban yang tepat.
“Tidak, aku masuk ke sekolah ini dengan beasiswa, karena aku mengandalkan otakku, bukan mengandalkan harta ayahku agar bisa masuk ke dalam kelas unggulan.”
“KAU BILANG APA?”
“Kasihan, bahkan kalimat sederhana saja otakmu tidak bisa menerimanya.”
Selesai berucap, aku melambaikan tangan dan pergi
meninggalkan Arya dengan wajah merahnya. Namun, baru saja berjalan beberapa langkah, tiba-tiba ia menabrakku dari belakang dan meluncurkan satu tinjuan tepat di rahangku.
Mendapat perlakuan seperti itu, aku tak bisa diam. Aku pun membalasnya, namun tiga lawan satu membuatku kewalahan.
Teman-temannya ikut mengeroyokku. Murid-murid berteriak, salah satu dari mereka berlari melaporkan kejadian ini ke ruang guru. Sepuluh menit kemudian, aku dan Arya digiring menuju ruang Kepala Sekolah.
Banat Dalwa x Litime 39
Ayah dan ayah Arya dipanggil untuk menemui Kepala Sekolah.
Beberapa kali ayah Arya meminta maaf kepada ayahku, bahkan sampai menundukkan kepalanya di hadapan kami. Namun, hal itu tetap tidak bisa mengubah raut wajahku yang terlipat tujuh.
Ayah Arya pamit duluan, sedangkan Ayah masih berbicara dengan Kepala Sekolah. Aku duduk di dekat pintu jauh dari tempat mereka mengobrol. Samar-samar aku mendengar ayah Arya membentaknya di kantor sekolah.
“Kau bilang apa!? Ayah di depan itu terhormat, bahkan lebih terhormat dari bos di perusahaannya! Sekali lagi kau menghina keluarga mereka miskin dan mengatakan Ayah Dev adalah monster, Ayah akan menghukummu tiga hari tanpa handphone!
Aku terdiam, menelan ludah dan menatap langit-langit ruang Kepala Sekolah. Aku tidak mengerti. Keluargaku biasa- biasa saja, dan Ayahku bukan seorang jaksa, hakim, atau jenderal. Ia hanya pegawai negeri biasa. Lalu, mengapa Ayah Arya berkata Ayahku amat terhormat
“Dev!” panggil Ayahku, memecah lamunanku.
“Ayo pulang,” ajaknya, yang hanya kubalas dengan anggukan pelan
Sesampainya di rumah, Ayah langsung menyuruhku
mengganti baju dan sholat Dzuhur. Setelah itu, ia memanggilku untuk mengobati luka lebam hasil perkelahian tadi.
“Mengapa kau berkelahi, Dev?” ucapnya sambil membasahi kain dengan air hangat.
“Ia menghinaku!”
40 Secangkir Kopi Hitam
“Ah, orang yang menghina belum tentu lebih mulia dari pada orang yang dihina. Bukankah Ayah sudah berkali-kali bilang, bahkan kebanyakan orang justru menghina diri mereka sendiri dengan menghina orang lain? Sudahlah, bersiaplah untuk makan siang.” Ayah menepuk pundakku pelan, lalu pergi meninggalkanku.
Namun, nasihat Ayah siang ini malah membuatku yakin bahwa ia adalah seorang pengecut. Setelah makan siang, Ayah langsung pergi melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.
Gelapnya malam sudah menyelimuti seluruh langit, sudah waktunya Ayah pulang. Gerimis membasahi kota saat Ayah pulang ia menepuk-nepuk jaket lusuhnya, mengucapkan salam lalu menyapaku dengan riang.
“Sup hangat sudah tiba!” ucapnya sembari mengangkat kantong plastik yang dibawanya, lalu duduk di salah satu kursi.
“Ayo siapkan mangkok,” titah Ayah. Namun, tak kuhiraukan sedikitpun.
“Ada apa, Dev? Apakah kau bosan dengan sup? Baiklah kita akan makan yang lain besok, oke!”
“Dev?” tanyanya lagi memastikan.
Tanganku sudah mengepal. Aku menggebrak meja.
“Apa Ayah lupa kejadian tadi siang? Tidakkah Ayah ingin berbuat sesuatu kepada mereka! Mereka memukulku dan menghinaku karena Ayah!”
“Sudahlah, Dev. Lupakan saja. Bukankah mereka sudah meminta maaf?” Ayah mencoba menenangkanku, namun hasilnya nihil. Emosiku tetap meledak.
“Lupakan!? Bagaimana aku bisa melupakannya?” Aku terdiam sejenak.
Banat Dalwa x Litime 41
“Ternyata benar, Ayah bukan hanya seorang monster, tapi juga seorang pengecut!
Aku pun pergi, meninggalkan Ayah yang terdiam sambil memegang erat plastik sup hangat miliknya.
Mentari kini kembali menguasai langit. Aku keluar dari kamarku dan menjumpai Ayah. Namun, anehnya Ayah menyambutku dengan senyuman yang tak berubah, sama seperti biasanya, seolah-olah tidak terjadi apa-apa tadi malam.
“Dev! Cepat makan rotimu!”
“Maafkan Ayah tidak bisa menyiapkan yang lebih, karena Ayah harus berangkat lebih pagi!” Ayah pun mengucapkan salam.
“Jangan lupa berdoa sebelum makan!” timpalnya, lalu pergi meninggalkanku.
Namun, semenjak kejadian malam itu aku membuat benteng antara aku dan ayahku.
Aku memberikan kabar baik, sekolah mengadakan beasiswa ke sekolah SMA militer bagi murid-murid yang menobatkan nilai tertinggi di ujian akhir nanti. Aku bekerja keras untuk mendapatkannya, dan aku mendapatkannya!
Malam keberangkatan tiba, Ayahku masuk ke kamarku.
“Apakah semua sudah siap Dev?” Ayahku melihat ke sekeliling
“Ya, semua sudah siap” balasku dengan wajah yang tak berekspresi
“Ayah akan mengantarmu besok Dev!”
“Tidak perlu, Yah!” ucapku spontan, membuat Ayahku mengerutkan dahi kebingungan.
42 Secangkir Kopi Hitam
Pagi keberangkatan tiba, aku pergi tanpa diantar oleh Ayah.
Sebelum pergi ia memberikanku satu kotak besar sembari ber ucap.
“Kau akan membutuhkannya nanti!” Aku menurutinya lalu meninggalkan rumah beserta Ayah yang masih dengan senyuman lebarnya.
Aku berangkat jam tujuh pagi dan sampai di sana jam delapan malam. Perjalanan yang panjang membuatku kelelahan. Aku pun langsung menuju kamar yang ditunjukkan. Aku disuruh beristirahat karena akan ada pelatihan militer besok pagi.
Mentari belum juga muncul. Aku sudah dipaksa bangun oleh teman sekamarku tuk melaksanakan sholat Subuh. Aku
“Kenapa? Bukankah semua orang tua akan begitu, Dev?”
ucapnya dengan senyuman yang sempurna.
“Tapi Ayah berbeda!” Aku berucap lumayan keras, setelah itu Aku langsung terdiam, menyadari apa yang baru saja kuucapkan. Aku terdiam.
“Apa yang berbeda, Dev?”
“Apa karena luka bakar di wajah Ayah?” Ucapan Ayah
membuatku semakin menundukkan kepala. Melihat itu Ayah menarik napasnya, lalu mengembuskannya pelan.
“Baiklah, Dev. Jika itu yang kau mau, Ayah tak akan mengantarmu.” Ayah berdiri dari duduknya, berjalan beberapa langkah lalu berbalik sejenak
“Jaga dirimu baik-baik Dev, jangan lupakan sholatmu.
Maafkan Ayah monstermu ini,” ucapnya membelakangiku, lalu pergi meninggalkanku sendirian di kamar kecilku.
Banat Dalwa x Litime 43
berjalan malas mengambil air wudhu lalu menunaikannya.
Setelah sholat Subuh, aku memutuskan untuk membereskan barang-barang milikku, hingga mataku tertuju pada kotak hitam pemberiannya Ayah. Tanganku langsung meraihnya, kubuka dan kutemukan sepasang sepatu militer lusuh yang sepertinya model lama, kuletakkan sepatu itu di kamar bagian paling bawah.
Sembilan tahun aku sudah berada di sini, tinggal menunggu satu jam lagi untuk kelulusan. Telah banyak surat yang kudapat dari Ayah, surat yang isinya membuatku malas membaca, apa lagi membalasnya.
“Dev, ayo cepat, acara sudah mau dimulai!” teriaknya
dari balik pintu. Aku pun mengangguk. Namun, sialnya aku kehilangan sepatuku. Sudah kucari ke mana-mana, namun tak juga kutemukan. Ingatanku tertuju kepada sepatu pemberian Ayahku, tanpa pikir panjang aku pun menggunakannya dan langsung berlari menuju ke lapangan. Aku berada di barisan paling depan, baru beberapa menit acara dimulai, Jenderal Baron langsung berteriak memanggilku.
“Siapa namamu!”
“D … Devan,” ucapku gugup.
“Dari mana kau mendapatkan sepatu itu!” ucap Jendeal Baron sembari menunjuk ke arah sepatuku.
“Pemberian Ayah saya.”
“Apakah kamu berkata jujur?” Jenderal Baron mengintrogasiku.
“Ya, Jenderal!” ucapku degan mantap meski pikiranku tengah memunculkan ribuan pertanyaan.
44 Secangkir Kopi Hitam
Mendengar hal itu Jenderal Baron menegakkan tubuhnya lalu berteriak.
“Beri hormat kepada Penerus Jenderal Legendaris Eidon Lonesco Zale!” Jenderal Baron memberi hormat diikuti seluruh militer yang ada di sana, membuatku kebingungan bukan kepalang.
“Ayahku seorang Jenderal? Jenderal Legendaris? Tidak, tidak mungkin ini pasti mustahil, mereka pasti salah orang!”
Aku pun turun dari panggung dan kembali ke tempatku, seluruh temanku menatapku kagum.
Di kamar …
“Devan! Kau benar-benar hebat!”
“Kau anak Jenderal Eidon!”
“Wah. Aku beruntung bisa bertemu denganmu.”
Semua pujian tertuju padaku, membuatku kebingungan.
Belum lagi aku sadar dari kebingunganku, malah ditambah dengan Jenderal Baron yang tengah berjalan ke kamarku, ingin berjumpa denganku.
“Hai, Devan!” Jenderal Baron meninju pelan bahuku
“Kau tahu, aku merasa ini adalah sebuah keajaiban bisa bertemu denganmu, putra Jenderal terhormat. Ayahmu adalah Jenderal terbaik. Ia lulus dari militer dengan nilai tertinggi, dan sampai saat ini belum ada yang bisa mengalahkannya.
Kau tahu, ia pernah menghancurkan benteng lawan setinggi 15 meter sendirian dan melawan 100 tentara Eropa dengan tangan kosong! Hal itu menjadikannya Jenderal paling ditakuti.
Bahkan, ia mendapatkan julukan ‘Jenderal Kematian. Kau tahu, ia mendidik kami dengan sangat keras. Ia tak pernah tersenyum
Banat Dalwa x Litime 45
Assalamu’alaikum...
Salam hormat kepada Pak Militer.
Apa kabarmu, Nak? Kuharap baik-baik saja. Maafkan Ayah monstermu ini yang telah banyak menyusahkanmu. Sudah empat tahun kepada kami, bahkan suara dehamannya mampu membuatku kehilangan separuh nyawa,” Jenderal Baron tertawa kecil.
“Namun, pada tahun 1998, ayahmu tiba-tiba mengambil cuti secara mendadak. ‘Aku akan menyerahkan penerusku kepada Sekolah Militer ini,’ katanya. Tanda penerus itu adalah sepatu yang kau pakai, Dev. Sepatu itu dibuat khusus untuk ayahmu. Tak ada lagi di dunia ini, hanya itu.”
Aku terdiam seribu kata, tak menyangka Ayah yang pernah kucela dulu adalah sosok yang amat dihormati dan diinginkan kehadirannya
Pagi ini, aku membereskan barang-barangku dan bersiap pulang menemui Ayah. Setelah menempuh perjalanan selama sepuluh jam, aku akhirnya sampai di depan rumah kecilku.
“Assalamu’alaikum, Ayah!” seruku sembari mengetuk pintu rumah. Tak ada jawaban. Aku memanggilnya sekali lagi, namun tetap sunyi.
“Nak Devan?” panggil Pak Rion dari belakang, tetangga samping rumahku. Aku mengerutkan alis saat ia menyerahkan selembar kertas putih.
“Ini dari ayahmu. Ia telah wafat 2 tahun yang lalu.” Kalimat yang amat menyakitkan yang tak bisa kuterima dengan tangan yang bergolak. Aku menerima surat itu, yang langsung kubuka saat itu juga.
Isi surat Ayah:
46 Secangkir Kopi Hitam
Salam Sayang, Ayah Monstermu Aku terdiam. Air mataku lalu mengalir deras. Ini adalah penyesalan terbesarku.
aku tak melihatmu, dan Ayah monstermu ini sangat merindukanmu.
Aku pikir aku akan kuat merelakanmu pergi, namun ternyata aku salah. Rasa rindu ini ternyata lebih menyakitkan daripada tusukan belati yang Ayah dapatkan saat berperang dulu.
Mungkin saat kau membaca surat ini, kau sudah mengetahui
kebenaran tentang Jenderal Kematian dan tentang sepatu militer yang amat rusuh itu. Namun, hanya satu yang kau tidak tahu—tentang ibumu.
Pada tahun 1998, saat aku mendapat kabar tentang kelahiranmu, aku meninggalkan segala urusan untukmu. Namun, saat kau lahir, ibumu mengalami pendarahan hebat hingga membuatnya tak bisa bertahan.
Ia hanya memintaku berjanji untuk menjagamu dan selalu tersenyum padamu, persis seperti saat aku pertama kali melihatmu.
Dan kau tahu, Dev, Ayah monstermu ini tak pernah menginginkan janjinya. Namun, Jenderal Kematian ini sudah tua, ia sudah tak sanggup bertahan. Maka dari itu, melalui surat ini, aku—Eidon Lonesco Zale—memutuskan untuk mundur sebagai Jenderal Militer Asley dan juga mundur sebagai Ayah monstermu, Dev.
Menu ke-4
Drama di Balik Kursi - Bidadari Tak Bersayap - Menjemput Asa
Banat Dalwa x Litime 49
Drama
di Balik Kursi
Panjang cakapnya dalam layar Tuai buih manis janji-janjinya Slogan aktif disuarakannya Tak kalah berisiknya
Mereka dengan hewan peliharaan Hadirmu seakan-akan beri penerangan
Tapi jangankan tindakan, jejak telapak kakimu pun tak ada Yang ingin tau
Banat Dalwa x Litime 49 Sampah masyarakat, jangan kau samakan
Dirimu dengan tikus berdasi itu
Kami masyarakatmu, temanmu, amanatmu, Bukan budak politikusmu
Junjung tinggi pusaka negara Bukan dasi jabatan yang pasi.
Amanatmu besar dalam mengayomi
Namun, tugasmu seakan hanya rehat di kursi Keadilanmu yang kami tunggu,
Bukan drama sirkuit bergelut janji-janji itu
Dewi Rizky Maulidia
50 Secangkir Kopi Hitam
Bidadari Tak Bersayap
Hiruk-pikuk gemuruh hujan berpadu tenang dalam dada Anandamu di sini terbelenggu menahan rasa
Sunyi malam ini membawa daku pada rindu Terlukis di khayalku indah raut wajahmu
Bunda, ku rindu belaianmu di kala bulan menjemput malam Rindu kecupanmu di kala embun menciumi hari
Rinduku ditemani hujan di malam ini Rembulan menanti di antara kelabu Namun, hanya cahayamu nan abadi Sejenak ku terdiam menetes air mata
Mengenang kasih sayang yang pernah engkau berikan Lelahmu saat menjagaku pengorbanan tuk membahagiakanku
Air mata saat melahirkanku bertaruh nyawa demi keselamatan hidupku Dunia seisinya pun tak sanggup membayar semua kasihmu
Banat Dalwa x Litime 51 Ragamu mungkin saja tenggelam oleh zaman
Namun, luhur cintamu tak ‘kan pernah padam Tersemat di lubuk hati yang dalam
Terima kasih telah menjadi malaikatku
Di mataku engkau layaknya malaikat tak bersayap
Dekaplah aku dalam sayapmu, Bunda
Untuk kali ini saja sungguh aku merindukan itu Sudikah engkau menjadi bunga tidurku malam ini?
Agar kutunjukkan pada gelap betapa indahnya sinarmu Walaupun saat fajar tiba aku kembali membuka mata Namun, dengan rindu yang sama
Hujan kini telah reda, Bunda, tapi mengapa ...
Rindu ini berkesumat enggan tuk mereda?
Bintang-bintangku telah siap siaga temani hampaku Hampaku yang tak mudah jauh darimu
Tahukah engkau wahai semesta?
Aku amat merindukannya
Berbisik padamu hanya dengan puisi sederhana Agar engkau sampaikan rinduku padanya Bantu tuk aminkan doaku wahai langit Semoga malaikatku tenang di atas sana
52 Secangkir Kopi Hitam Raisyah Chaerani W.
Pertemuan kita telah usai, namun rindu berkecamuk tiada usai Selagi ragaku masih sanggup berdiri, ada namamu di setiap napasku
Berpetualang mengarungi kehidupan di alas petuah-petuah lamamu Aku pastikan engkau bangga akan hal itu
Sebagai baktiku padamu,
Bunda yang selalu kurindu
Banat Dalwa x Litime 53
Menjemput Asa
kimiku
07.00 am. Rusia
Selena Bostos, agen zionis Yahudi yang tadi malam baru saja menyelesaikan misinya meletakkan bom di salah satu gereja di pinggiran Rusia. Mottonya hanya satu: “Hanya agama Yahudi yang berhak menguasai dunia.”
Smartphone di atas nakas apartemen Selena berkedip, ada panggilan masuk.
“Oh ... hallo, Mr. Birchov.” Ia me-loudspeaker panggilannya sembari tangannya sibuk menyeduh kopi impor dari negara yang selama ini ingin ia kunjungi karena keeksotisan alamnya.
“Hallo Selena, tugas yang bagus tadi malam.”
“Terima kasih, Mr. Jadi ... bolehkah aku pergi berlibur?”
Mr. Birchov tertawa di seberang telepon. “Baiklah, baiklah, waktu liburmu tiga minggu, Selena. Setelah itu ada banyak tugas penting yang harus kau lakukan untuk merebut tanah yang dijanjikan Tuhan untuk kita.”
“Baik, Mr. Birchov.” Selena mengangguk meski ia tahu Mr.
Birchov tak akan melihatnya.
# # #
54 Secangkir Kopi Hitam
Sebuah kereta berhenti tepat di stasiun, seorang wanita bule keluar dari salah satu gerbang kereta. Di pundaknya tersampir tas ransel besar, keramaian lalu lalang manusia seketika menyergapnya begitu sepatunya menginjak lantai stasiun yang dingin. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru stasiun, sejenak menikmati suasana yang ada. Ibu-ibu yang sibuk berlalu lalang dengan tas belanja di tangannya, penjaga tiket dengan peluh yang mengucur dari dahinya seakan kipas yang berputar di belakang punggung sama sekali tak berfungsi, pedagang asongan, anak-anak kecil yang berlarian, serta aroma besi panas yang bercampur dengan oli yang memenuhi indra penciuman, fantastic.
“Miss Selena!” Seseorang memanggil nama Selena dari kejauhan. Sejenak ia mengedarkan pandangan, dan pandangannya tertuju pada seorang laki-laki yang berlari ke arahnya seraya di tangannya membawa papan bertuliskan namanya.
“Andi?” ucap Selena begitu laki-laki itu sampai di hadapannya.
“Ya, Miss.”
Selena lantas menyerahkan gulungan kertas dari saku
ranselnya kepada Andi, sopir yang akan mengantarnya ke tujuan.
Andi membaca sekilas kemudian mengangguk. Pronojowo – Indonesia.
# # #
Sinar mentari mulai menyembul dari balik sela-sela pohon pinus yang berjajar rapi, perlahan naik dari kaki langit menyinari cakrawala, membias di antara riak air danau yang sesekali memantulkan cahayanya ke beberapa penjuru di sekitarnya.
Banat Dalwa x Litime 55
Selena keluar dari tenda, menghirup udara dalam-dalam,
membiarkan hawa dingin menyusup di antara tulang belulangnya.
Gunung Semeru berdiri kokoh di sebelah kanannya, awan- awan kecil beriringan berjalan di sekitar puncaknya, sungguh menakjubkan. Inilah yang ia inginkan selama ini, sebuah ketenangan, benar-benar sebuah ketenangan.
Selena kembali masuk ke tendanya, kemudian keluar lagi sembari di tangannya membawa sebuah botol kaca, ia bermaksud ingin mencari pemukiman terdekat. Setelah hampir setengah jam kakinya menapaki jalan setapak yang ada, matanya menangkap siluet genteng-genteng rumah penduduk.
Mendadak langit menjadi gelap, burung-burung berterbangan dari arah belakangnya, teriakan hewan-hewan gunung terdengar nyaring bersahut-sahutan. Selena menatap langit di atasnya kemudian ke arah gunung Semeru di belakangnya. Ada sesuatu yang ganjil, ini tanda bahaya!
Ia bergegas mempercepat langkahnya mendekati
pemukiman, mengerahkan segenap kekuatan yang ia punya untuk mempercepat ayunan langkahnya, beberapa kali kakinya tersangkut akar pohon yang melintang di jalan yang ia lewati.
Jatuh, bangkit lagi, jatuh terseok-seok, bangkit lagi, hingga ia sampai di sebuah jembatan penghubung ke pemukiman. Ia bisa mendapat bantuan dan dievakuasi bersama penduduk, tapi sayangnya ...
Byurr...
Aliran lahar dingin menghantam tubuhnya yang berada
di sisi jembatan, tubuhnya terseret aliran lahar sejauh sepuluh meter. Selena berusaha menggapai apa saja yang mampu ia gapai untuk menyelamatkan diri, namun banyaknya air yang masuk ke rongga hidupnya membuatnya sulit untuk mengatur
56 Secangkir Kopi Hitam
napas. Perlahan tubuhnya melemas, matanya tertutup dan ia yakin ini adalah akhir hidupnya, lalu tubuhnya semakin hanyut terbawa arus lahar.
# # #
Sehari pasca erupsi Gunung Semeru, beberapa gabungan tim relawan turun untuk mencari para korban yang tidak ditemukan di pengungsian. Langit sudah cerah seperti biasanya,
tapi mereka diharuskan untuk memakai masker, berjaga-jaga apabila ada debu vulkanik yang sesekali terbang terbawa angin.
“Tolong! Tolong!” Salah satu relawan wanita yang sedang menyusuri bantaran sungai yang dialiri lahar, berlari tergopoh- gopoh menghampiri beberapa temannya yang sedang
beristirahat. “Ada apa, Ay?” Mereka semua bergegas bangkit dari duduknya.
“Ada korban ya ... yang masih hidup,” ucapnya terengah- engah.
Mereka semua sigap menyiapkan tandu dan menenteng beberapa alat bantu jika sekali-kali dibutuhkan dan mengikuti langkah. Ayla menyusuri bantaran sungai. Begitu sampai di tempat yang dimaksud Ayla, betapa terkejutnya mereka mendapati korban adalah seorang bule perempuan yang tersangkut di antara batang-batang pohon di pinggir sungai.
# # #
Selena membuka matanya perlahan, beberapa kali matanya mengerjap menyesuaikan dengan cahaya ruangan tempat ia terbaring. Ia berusaha mengingat kejadian terakhir yang ia alami, namun mendadak kepalanya berputar.
Banat Dalwa x Litime 57
“Sshh ...” Selena meringis sambil memegangi kepalanya yang berdenyut.
“Alhamdulillah ... sudah sadar.” Selena baru menyadari ada seorang gadis yang duduk di sebelah kanannya, penampilannya sederhana dengan kain yang melilit di kepalanya, kulitnya kuning langsat dengan wajah khas wanita asia.
“Siapa kamu?” Dahi Selena mengernyit.
“Saya Ayla, saya yang menemukan Ibu kemarin.” Gadis itu tersenyum teduh.
“Kenapa kamu menolong saya? Kenapa kamu tidak membiarkan saya mati saja.” Selena berkata ketus, ia memalingkan wajah ke sebelah kiri, ia tahu gadis di sampingnya adalah seorang gadis muslim dari kain yang menutup seluruh kepalanya. Ia benci Islam, ia benci agama lain selain Yahudi di dunia ini.
“Bu, menolong sesama manusia itu kewajiban, bukan hanya menolong saudara seiman saya, tapi juga yang lain. Nyawa Ibu juga tanggung jawab kami, merawat Ibu juga tanggung jawab kami semua.” Selena masih memalingkan mukanya, tapi telinganya terbuka sempurna untuk mendengarkan.
“Ayla! Tolong sini.” Seseorang memanggil nama Ayla.
“Saya pergi sebentar, nanti saya ke sini lagi,” pamit Ayla.
Sayup-sayup ia mendengar langkah kaki Ayla menjauh, Selena menatap kepergian Ayla. Ia melihat Ayla dan kawan-kawannya bahu-membahu membawa korban yang berdatangan dengan tandu yang diletakkan di ruangan yang sama dengannya.
Memberikan pertolongan pertama atau melakukan apa saja untuk menyelamatkan nyawa pasiennya. Ia memejamkan mata, ini rumit. Ia menemukan ketenangan di diri Ayla, tidak seperti dirinya yang ambisius untuk mendapatkan sesuatu, inilah yang
58 Secangkir Kopi Hitam
ia cari selama ini. Ketenangan yang sesungguhnya.
Setelah beberapa jam terlelap Selena terbangun dari
tidurnya, di dalam hidupnya ia bermimpi didatangi seorang tua berjubah putih, lantas orang tersebut memberikan cahaya di tangannya kepada Selena. Ia tidak tahu ini pertanda apa, ia menoleh ke sebelah kanan, gadis Indonesia muslim yang menyelamatkannya terkantuk-kantuk sembari di tangannya tergenggam sebuah buku tebal yang ia tahu itu adalah kitab suci orang Islam.
“Hey! Pemuda!” Ayla tersentak kaget.
“Eeh ...” Ayla tersentak kaget, ia sibuk mencium kitab sucinya yang hampir saja terjatuh.
“Ajari aku agamamu.” Ayla membulatkan matanya, belum selesai keterkejutannya tadi ia kembali dikejutkan dengan pernyataan wanita bule di depannya tersebut.
“I … Ibu se … serius ...?” Ayla ternganga.
“Yeah seperti yang kau lihat.”
“Fathum! Icha! Fitri!” Ia memanggil teman-temannya.
Mereka kemudian datang tergopoh-gopoh menghampiri Ayla.
Ayla menjelaskan apa yang baru ia dengar tadi, dahi mereka yang semula mengernyit berubah dengan sorot mata berbinar.
Mereka kemudian serempak membaca hamdalah bersama- sama.
# # #
Seorang wanita bule berjalan memasuki pelataran bandara, ada yang berbeda dengan penampilannya kini. Tubuhnya rapat terbalut baju panjang dengan kain yang melilit di kepalanya, senyumnya merekah setiap kali berpapasan dengan orang- orang yang ia temui. Ia menatap tiket pesawat di tangannya,
Banat Dalwa x Litime 59
penerbangan menuju Cairo – Egypt, tidak lagi menuju Rusia. Ia telah menghapus kontak-kontak yang berhubungan dengan masa lalunya, berganti handphone dan mengubah penampilannya, menuju kehidupan yang jauh lebih baik. Dari kejauhan seorang penembak jitu mengamati gerak-geriknya tanpa ia sadari, tangannya siap menarik pelatuk begitu sasaran pas pada objek bidikan. Dan ...
“Dorr!! Dorr!!”
Dua kali, dua kali tembakan dan timah panas itu menembus dada Selena tepat di bagian jantungnya. Ia memegangi dadanya yang telah basah oleh darah, ia sangat tahu siapa pelaku di balik semua ini. Bibirnya bergetar mengucap tahlil, kemudian tubuhnya ambruk menghantam lantai bandara yang sesungguhnya. Setelah ia mendapat ketenangan yang selama ini ia cari.
# # #
Kimiku adalah nama pena dari Lailatus Sofia Al Fadillah.
Lahir di kota pisang Lumajang, memiliki hobi membaca sejak pertama kali bisa membaca. Mulai aktif menulis sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama dengan menulis di blog sekolah. Sekarang menjadi santri aktif di pondok pesantren Darullughah Wadda’wah tepatnya di kamar 74 mantiqoh Sayyidah Ruqayyah dan Mahasiswa aktif di Universitas Islam Internasional Darullughah Wadda’wah semester 5, Program Studi Bimbingan Konseling Islam. Bisa dihubungi Instagram
@sofiafadh.
Menu ke-5
Lupa Diri - Tentang Bebas - Thanks
62 Secangkir Kopi Hitam
Lupa Diri
Luka di mana-mana Robek, patah dan hancur
Bahkan menopan