Banat Dalwa x Litime 89
90 Secangkir Kopi Hitam
jendela, kuamati pemandangan kota Gaza. Pemandangan yang jauh dari kata indah, yang ada hanya pemandangan mengiris hati siapa pun yang melihatnya, tampak kota yang luluh lantak porak poranda, bangunan rumah, bau anyir darah, asap mengepul, dan mayat ada di mana-mana. Pemandangan ini tidak lagi hal yang asing bagi kami, rakyat Gaza.
Nina bobo kami adalah suara tembakan, mimpi malam kami adalah suara ledakan. Inikah negaraku? Kami dijajah tanpa rasa ampun dan iba, yang mereka lakukan bukan sekedar menjajah, mereka menindas, memperkosa, merampas bahkan menyiksa tanpa iba. Perempuan mereka lecehkan, anak-anak mereka setrum, laki-laki mereka tembak tanpa cara yang sangat manusiawi. Menyiksa kami adalah hiburan mereka, suara ledakan dan tembakan adalah mimpi indah bagi mereka.
Kutarik napas dalam-dalam, miris akan keadaan yang
terjadi, tapi inilah garis takdir yang harus kami jalani, hidup untuk berjuang lalu mati sebagai pejuang.
Kuraih foto yang ada di sakuku, kupandangi foto itu dalam- dalam, keluarga kecilku ... mereka semua telah syahid, hanya aku dan ... tapi Ayah, entah ke mana sejak 15 tahun yang lalu, pada waktu itu umurku masih 7 tahun. Ayah tiba-tiba menghilang dari rumah, tak ada satu pun yang tahu ke mana Ayah pergi.
Aku sempat khawatir karena Ayah berdarah Bani Israel lalu mengikuti jejak leluhurnya, tapi itu adalah hal sangat tidak mungkin bagiku. Ayah adalah seorang pejuang yang cinta tanah air dan agama. Lalu, mana mungkin Ayah berkhianat? Tapi Ibu menenangkan kekhawatiranku, Ibu bilang Ayah sedang pergi berjihad untuk tanah air kita, ia pergi diam-diam agar kita tidak terlalu terpukul jika suatu saat Ayahmu gugur sebagai seorang syuhada, Ayahmu adalah sosok pejuang pemberani dan taat
Banat Dalwa x Litime 91
pada agama.
Masih jelas di ingatanku bagaimana Ayah selalu menasihati agar aku tak pernah takut pada musuh. “Lawan mereka yang telah meluluh lantakkan tanah dan kebebasan kita, buat Ayah bangga jika suatu saat nanti anak Ayah yang pemberani ini akan menjadi salah satu pejuang bala tentara agama Allah.” Kini, nasihat Ayah itu yang menjadi pembakar semangatku, meski keluarga sudah tak ada, namun demi tanah air dan darah yang tumpah karena kezaliman, maka dengan alasan itu aku harus terus berjuang, semoga kelak takdir bisa mempertemukanku dengan Ayah, dan Ayah akan bangga melihatku sebagai prajurit untuk Gaza.
Aku labuh dalam lamunan dengan tatapan kosong tanpa aba-aba. Tembakan bertubi-tubi dari arah utara, satu persatu bangunan hancur, jeritan para wanita dan anak-anak, suara helikopter dan pesawat tempur berada di atas langit Gaza.
Dengan sigap aku dan prajurit lain bersiap-siap dengan senjata dan amunisi lain. Yang paling terpenting, berbekal semangat jihad para mujahid, Ahlu Badar membara di hati kami, tak ada rasa takut sedikitpun pada musuh, apalagi pada kematian.
Darrr... daarr... darrr...
Suara ledakan bom di mana-mana, tembakan memekakkan telinga, kami semua menuju tempat yang sudah kami susun saat pertemuan tadi. Aku dan Zehrat meluncurkan tembakan beberapa kali pada musuh, tapi jumlah musuh semakin
bertambah banyak, takutkah kami? Sama sekali tidak, malah semangat kami makin menjadi-jadi. Kuperhatikan musuh, satu- satu kucari tempat strategis untuk meluncurkan bom granat, tepat di depanku musuh berkerumun, mereka semua seperti anjing yang haus darah, tak ada rasa iba atau bahkan tak tega
92 Secangkir Kopi Hitam
mereka memperlakukan kami dengan cara seperti ini. Kutarik dengan gigi sumbu bom, dengan takbir kulemparkan bom ke arah musuh dan ...
Bommmm!
Meledak seketika, hatiku berdecak seketika menambah semangat juangku saat itu juga, seakan-akan ringkikan kuda Rasulullah dan takbir Ahlu Badar terdengar jelas di telingaku.
Mataku mencari Zehrat, ternyata ia sedang duel peluru dengan salah satu zionis. Dengan dua sampai tiga kali tembakan musuh berhasil dilumpuhkan. Zehrat menarik napas lega, aku bergerak sedikit demi sedikit mendekati musuh, sayangnya salah satu dari mereka menemukanku yang tanpa ampun menghujaniku dengan tembakan. Ah ... peluruku habis. Segera kuisi peluru baru, lalu kuatur siasat di mana musuh mulai lengah. Satu tembakan nyaris mengenaiku, akan kuberi paham dia bawa senapan miliknya tidak ada apa-apanya dengan sniper jituku. Dengan tenang dan fokus kubidik musuh, pedal sniper kutekan, satu tembakan berhasil menembus kepala zionis itu.
Aku pun tersenyum sinis. “Rasakan itu, wahai kafir!”
Mataku teralih ke arah Zehrat berada, ia lengah. Ada musuh yang sedang mengincarnya, Zehrat tersenyum dan bersorak takbir ke arahku, tapi ...
“Zehraaattt!” Teriakanku kalah oleh laju peluru musuh.
Darr... darr... darrr...
Tiga tembakan menembus tubuh Zehrat, ia mulai kaku melihat ke arahku. Senyum tipis terukir di bibirnya yang telah memuntahkan darah, kakinya tak mampu lagi menopang tubuh, Zehrat jatuh ke tanah. Dengan suara lirih, dia bersyahadat tepat.
Di depan mataku Zehrat telah jatuh di bumi Gaza sebagai seorang syuhada.
Banat Dalwa x Litime 93
Tak sepatah kata pun aku berbicara, melihat jasad Zehrat dengan tatapan kosong. “Kau pemuda pemberani, Zehrat.
Jasadmu akan harum sebagai seorang pejuang, darahmu adalah saksi, istirahatlah sekarang dengan tenang tak ada lagi suara bom yang kau dengar, sekarang rindumu pada Rasulullah akan tersampaikan.”
Dengan berat hati jasad Zehrat kutinggalkan, aku harus segera ke pos utama, musuh akan tahu kalau aku hanya
sendirian di sini. Dengan susah payah, aku menuju pos utama, diserang bertubi-tubi dengan peluru dan bom botol. Aku berusaha melindungi diri sendiri dari kejaran helikopter dan pada akhirnya aku menemukan satu tempat berlindung walau harus adu peluru dengan dua musuh.
Ah ... satu peluru menancap masuk ke daging lengan atasku, darah segar mengucur keluar, tak ada yang bisa kulakukan, hanya meringis menahan rasa sakit saat kuikat dengan syal pemberian Ayah agar darah tidak banyak keluar, rasa sakit ini tak sebanding dengan rasa sakit yang telah rakyat Gaza terima.
Dijajah, ditindas, dan dirampas, kami hampir kehilangan segalanya hampir tak tersisa. Kami telah kehilangan keluarga, rumah, pasangan, anak-anak, semuanya mereka hancurkan seakan-akan kebebasan itu bukanlah hak kami. Kami terisolasi, kami kelaparan, dengan keadaan yang sudah begini, bukan tambah iba malah mereka semakin membabi buta menindas kami, siapa yang harus disalahkan? Kami hanya menjaga tanah yang telah diamanahkan, Masjidil Aqso adalah tumpuan bagi ummat Islam, maka tugas kami menjaga tanah ini walau harus berkorban sampai titik darah penghabisan, pengorbanan kami tidak akan sia-sia karena hidup untuk menjaga lalu mati sebagai seorang syuhada.
94 Secangkir Kopi Hitam
Aku hampir tiba di pos utama bagian Selatan. Orang pertama yang ku lihat adalah Sulaiman, sepertinya jumlah kita tidak berkurang saat ini. “Mungkin hanya Zehrat yang ditakdirkan syahid hari ini,” gumamku.
“Sulaiman!” teriakku.
Sulaiman tak mendengarkan, mungkin karena kalah oleh nyaringnya suara senapan, tapi kulihat Sulaiman sedang kewalahan mempertahankan benteng pertahanan. Husain dan Yasin saling adu peluru dengan musuh lain. Kami terkepung musuh, semakin ramai dan berusaha merobohkan benteng kami. Kami kewalahan. Jumlah peluru semakin terbatas, bom botol dan granat pun tersisa sedikit. Kami tak patah arang, mereka hanya menakuti kami dengan jumlah mereka yang banyak, mereka tak tahu bahwa satu prajurit pemberani bisa mematahkan sepuluh prajurit biasa, itulah kekurangan orang Yahudi, meremehkan hal kecil tanpa tahu saat lawan diremehkan, hal itulah yang akan membawanya pada kematian.
Tapi di sana ... ada sosok dengan perawakan tak asing kulihat. “Itu prajurit Israel, mana mungkin aku hafal dengan postur tubuh lawanku satu-satu,” batinku mulai penasaran, mungkinkah ia orang yang kukenal? “Tapi mana mungkin aku punya teman sekejam Israel.”
Saat ia lengah dan aku yang terlalu penasaran, kubuntuti ia diam-diam dari belakang. Krek ... kakiku tak sengaja menginjak botol bekas, menimbulkan suara yang membuat zionis itu sadar kalau ada orang yang sedang mengikutinya. Ia spontan berbalik badan dan mencari asal suara, seketika itu juga ia berhadapan denganku. Waktu seketika berjalan lambat, tubuhku lemas, mimpi burukku benar-benar terjadi, memori masa kecilku berputar, tapi yang ada hanya kenangan kehancuran seakan-
Banat Dalwa x Litime 95
akan aku dibawa terbang ke atas, lalu sayapku dipatahkan tanpa rasa kasihan. Hampir saja senapan jatuh dari genggaman, tak menyangka dengan apa yang telah kulihat saat ini.
“Ayah ...” Suaraku mulai parau, bahkan hampir tak
terdengar. Aku sangat tahu pasti bahwa itu adalah Ayah, tapi Ayah tak tahu kalau itu Aku karena wajahku berbalut kain sorban peninggalan mendiang Ibu.
“Ay ...”
Darr... daarr...
Dua tembakan tepat di dadaku, tempat di mana dulu Ayah menimangku, tempat di mana Ayah telah menghancurkan segalanya, tempat di mana dulu Ayah membuatku seakan-akan adalah singanya, kini aku adalah musuh yang ia bunuh dengan tangannya sendiri.
Kesadaranku mulai melemah, tubuhku jatuh ke tanah,
padanganku mulai samar, terputar memori bersama Ayah saat ia menimang dan menasihatiku, saat ... Ayah telah berkhianat pada agama dan tanah airnya sendiri. Kesadaranku makin melemah, samar-samar kulihat seorang pemuda tampan bersih nan bercahaya di belakangnya, banyak orang berbaju sama berimamah, mereka mengulurkan tangannya padaku. “Ana Muhammad nahnu min Ahlu Badar nastaqbiluka ilal jannah.”
(Aku Muhammad kami dari Pasukan Ahlu Badar menyambutmu untuk ke surga). Aku tersenyum, dengan tenang menyambut uluran tangannya, perlahan langit semakin hitam ... gelap dan menghilang.
Menu ke-8
Tutup - Peluk yang Tak Sampai
98 Secangkir Kopi Hitam
Tutup
Tuan ...
Bukan karena jarak Tersiksa terbit air mata Bukan karena tak bertuan
Namun, Tuan ...
Cinta tumbuh tanpa derita
Kerinduan yang menyiksa hanya tipuan belaka Nyatanya, pada puas ...
Kasihnya tak berjarak
Menjerit asa, terhempit kesunyian Bukan karena derita
Sesak degup jantung, meremas relung tiada daya
Sebab ia hidup dalam nadi menjalar Kasihnya memang tak bertuan
Sebab ia hanya menari bersama sukma menjiwa Kasihnya tak pernah beri derita
Sebab kerinduan, air mata dan kesesakan Hanya tentang keindahan kasihnya.
Fayza Alicia
100 Secangkir Kopi Hitam