• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jendral Kematian

Dalam dokumen Secangkir Kopi Hitam by Litime Dalwa.pdf (Halaman 44-72)

Lilah Khirid

Aku membenci ayahku melebihi apa pun yang ada di dunia ini.

Bagaimana tidak? Sosok yang seharusnya menjadi penerang di hidupku malah menjadi penghancur seluruh hidupku, dengan wajah buruk rupanya ia membuatku kehilangan banyak hal.

Termasuk teman-temanku, mereka menjauhiku lantaran ayahku yang miskin dan buruk rupa. Aku juga harus menutup rapat-rapat telingaku sehari-hari karena banyak sekali mulut- mulut yang siap menghinaku.

Kutarik napasku dalam-dalam, mengumpulkan kesiapan untuk melangkahkan kakiku masuk ke dalam sekolah. Baru beberapa langkah aku masuk, suara yang amat kukenal sudah terdengar lantang.

“Lihat, si miskin anak monster sudah tiba!”

“Jangan mendekat padanya, karena ayah monsternya akan siap memakanmu!” teriak Arya dari kejauhan yang diiringi suara tawa dari kawan-kawannya.

Aku menundukkan kepalaku, mencoba menahan emosiku.

“Hei, kenapa kau diam saja?”

“Dasar pengecut keturunan monster!” timpalnya lagi tak berhenti tuk menghina. Aku menarik napasku dalam-

38 Secangkir Kopi Hitam

dalam, wajahku sudah memerah padam akibat emosiku yang memuncak. Aku berjalan mendekatinya lalu berteriak-teriak di hadapannya.

“AYAHKU BUKAN MONSTER!.”

“Ayahmu adalah monster Dev, lihatlah wajahnya sangat menyeramkan!”

“Dan ada satu hal yang amat aku bingungkan, mengapa kau bisa masuk ke sekolah ini? Bukankah ayahmu amat miskin?

Atau ayahmu menakut-nakuti Kepala Sekolah dengan wajah monsternya?”

Aku terdiam, mencoba menenangkan diri memilih jawaban yang tepat.

“Tidak, aku masuk ke sekolah ini dengan beasiswa, karena aku mengandalkan otakku, bukan mengandalkan harta ayahku agar bisa masuk ke dalam kelas unggulan.”

“KAU BILANG APA?”

“Kasihan, bahkan kalimat sederhana saja otakmu tidak bisa menerimanya.”

Selesai berucap, aku melambaikan tangan dan pergi

meninggalkan Arya dengan wajah merahnya. Namun, baru saja berjalan beberapa langkah, tiba-tiba ia menabrakku dari belakang dan meluncurkan satu tinjuan tepat di rahangku.

Mendapat perlakuan seperti itu, aku tak bisa diam. Aku pun membalasnya, namun tiga lawan satu membuatku kewalahan.

Teman-temannya ikut mengeroyokku. Murid-murid berteriak, salah satu dari mereka berlari melaporkan kejadian ini ke ruang guru. Sepuluh menit kemudian, aku dan Arya digiring menuju ruang Kepala Sekolah.

Banat Dalwa x Litime 39

Ayah dan ayah Arya dipanggil untuk menemui Kepala Sekolah.

Beberapa kali ayah Arya meminta maaf kepada ayahku, bahkan sampai menundukkan kepalanya di hadapan kami. Namun, hal itu tetap tidak bisa mengubah raut wajahku yang terlipat tujuh.

Ayah Arya pamit duluan, sedangkan Ayah masih berbicara dengan Kepala Sekolah. Aku duduk di dekat pintu jauh dari tempat mereka mengobrol. Samar-samar aku mendengar ayah Arya membentaknya di kantor sekolah.

“Kau bilang apa!? Ayah di depan itu terhormat, bahkan lebih terhormat dari bos di perusahaannya! Sekali lagi kau menghina keluarga mereka miskin dan mengatakan Ayah Dev adalah monster, Ayah akan menghukummu tiga hari tanpa handphone!

Aku terdiam, menelan ludah dan menatap langit-langit ruang Kepala Sekolah. Aku tidak mengerti. Keluargaku biasa- biasa saja, dan Ayahku bukan seorang jaksa, hakim, atau jenderal. Ia hanya pegawai negeri biasa. Lalu, mengapa Ayah Arya berkata Ayahku amat terhormat

“Dev!” panggil Ayahku, memecah lamunanku.

“Ayo pulang,” ajaknya, yang hanya kubalas dengan anggukan pelan

Sesampainya di rumah, Ayah langsung menyuruhku

mengganti baju dan sholat Dzuhur. Setelah itu, ia memanggilku untuk mengobati luka lebam hasil perkelahian tadi.

“Mengapa kau berkelahi, Dev?” ucapnya sambil membasahi kain dengan air hangat.

“Ia menghinaku!”

40 Secangkir Kopi Hitam

“Ah, orang yang menghina belum tentu lebih mulia dari pada orang yang dihina. Bukankah Ayah sudah berkali-kali bilang, bahkan kebanyakan orang justru menghina diri mereka sendiri dengan menghina orang lain? Sudahlah, bersiaplah untuk makan siang.” Ayah menepuk pundakku pelan, lalu pergi meninggalkanku.

Namun, nasihat Ayah siang ini malah membuatku yakin bahwa ia adalah seorang pengecut. Setelah makan siang, Ayah langsung pergi melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.

Gelapnya malam sudah menyelimuti seluruh langit, sudah waktunya Ayah pulang. Gerimis membasahi kota saat Ayah pulang ia menepuk-nepuk jaket lusuhnya, mengucapkan salam lalu menyapaku dengan riang.

“Sup hangat sudah tiba!” ucapnya sembari mengangkat kantong plastik yang dibawanya, lalu duduk di salah satu kursi.

“Ayo siapkan mangkok,” titah Ayah. Namun, tak kuhiraukan sedikitpun.

“Ada apa, Dev? Apakah kau bosan dengan sup? Baiklah kita akan makan yang lain besok, oke!”

“Dev?” tanyanya lagi memastikan.

Tanganku sudah mengepal. Aku menggebrak meja.

“Apa Ayah lupa kejadian tadi siang? Tidakkah Ayah ingin berbuat sesuatu kepada mereka! Mereka memukulku dan menghinaku karena Ayah!”

“Sudahlah, Dev. Lupakan saja. Bukankah mereka sudah meminta maaf?” Ayah mencoba menenangkanku, namun hasilnya nihil. Emosiku tetap meledak.

“Lupakan!? Bagaimana aku bisa melupakannya?” Aku terdiam sejenak.

Banat Dalwa x Litime 41

“Ternyata benar, Ayah bukan hanya seorang monster, tapi juga seorang pengecut!

Aku pun pergi, meninggalkan Ayah yang terdiam sambil memegang erat plastik sup hangat miliknya.

Mentari kini kembali menguasai langit. Aku keluar dari kamarku dan menjumpai Ayah. Namun, anehnya Ayah menyambutku dengan senyuman yang tak berubah, sama seperti biasanya, seolah-olah tidak terjadi apa-apa tadi malam.

“Dev! Cepat makan rotimu!”

“Maafkan Ayah tidak bisa menyiapkan yang lebih, karena Ayah harus berangkat lebih pagi!” Ayah pun mengucapkan salam.

“Jangan lupa berdoa sebelum makan!” timpalnya, lalu pergi meninggalkanku.

Namun, semenjak kejadian malam itu aku membuat benteng antara aku dan ayahku.

Aku memberikan kabar baik, sekolah mengadakan beasiswa ke sekolah SMA militer bagi murid-murid yang menobatkan nilai tertinggi di ujian akhir nanti. Aku bekerja keras untuk mendapatkannya, dan aku mendapatkannya!

Malam keberangkatan tiba, Ayahku masuk ke kamarku.

“Apakah semua sudah siap Dev?” Ayahku melihat ke sekeliling

“Ya, semua sudah siap” balasku dengan wajah yang tak berekspresi

“Ayah akan mengantarmu besok Dev!”

“Tidak perlu, Yah!” ucapku spontan, membuat Ayahku mengerutkan dahi kebingungan.

42 Secangkir Kopi Hitam

Pagi keberangkatan tiba, aku pergi tanpa diantar oleh Ayah.

Sebelum pergi ia memberikanku satu kotak besar sembari ber ucap.

“Kau akan membutuhkannya nanti!” Aku menurutinya lalu meninggalkan rumah beserta Ayah yang masih dengan senyuman lebarnya.

Aku berangkat jam tujuh pagi dan sampai di sana jam delapan malam. Perjalanan yang panjang membuatku kelelahan. Aku pun langsung menuju kamar yang ditunjukkan. Aku disuruh beristirahat karena akan ada pelatihan militer besok pagi.

Mentari belum juga muncul. Aku sudah dipaksa bangun oleh teman sekamarku tuk melaksanakan sholat Subuh. Aku

“Kenapa? Bukankah semua orang tua akan begitu, Dev?”

ucapnya dengan senyuman yang sempurna.

“Tapi Ayah berbeda!” Aku berucap lumayan keras, setelah itu Aku langsung terdiam, menyadari apa yang baru saja kuucapkan. Aku terdiam.

“Apa yang berbeda, Dev?”

“Apa karena luka bakar di wajah Ayah?” Ucapan Ayah

membuatku semakin menundukkan kepala. Melihat itu Ayah menarik napasnya, lalu mengembuskannya pelan.

“Baiklah, Dev. Jika itu yang kau mau, Ayah tak akan mengantarmu.” Ayah berdiri dari duduknya, berjalan beberapa langkah lalu berbalik sejenak

“Jaga dirimu baik-baik Dev, jangan lupakan sholatmu.

Maafkan Ayah monstermu ini,” ucapnya membelakangiku, lalu pergi meninggalkanku sendirian di kamar kecilku.

Banat Dalwa x Litime 43

berjalan malas mengambil air wudhu lalu menunaikannya.

Setelah sholat Subuh, aku memutuskan untuk membereskan barang-barang milikku, hingga mataku tertuju pada kotak hitam pemberiannya Ayah. Tanganku langsung meraihnya, kubuka dan kutemukan sepasang sepatu militer lusuh yang sepertinya model lama, kuletakkan sepatu itu di kamar bagian paling bawah.

Sembilan tahun aku sudah berada di sini, tinggal menunggu satu jam lagi untuk kelulusan. Telah banyak surat yang kudapat dari Ayah, surat yang isinya membuatku malas membaca, apa lagi membalasnya.

“Dev, ayo cepat, acara sudah mau dimulai!” teriaknya

dari balik pintu. Aku pun mengangguk. Namun, sialnya aku kehilangan sepatuku. Sudah kucari ke mana-mana, namun tak juga kutemukan. Ingatanku tertuju kepada sepatu pemberian Ayahku, tanpa pikir panjang aku pun menggunakannya dan langsung berlari menuju ke lapangan. Aku berada di barisan paling depan, baru beberapa menit acara dimulai, Jenderal Baron langsung berteriak memanggilku.

“Siapa namamu!”

“D … Devan,” ucapku gugup.

“Dari mana kau mendapatkan sepatu itu!” ucap Jendeal Baron sembari menunjuk ke arah sepatuku.

“Pemberian Ayah saya.”

“Apakah kamu berkata jujur?” Jenderal Baron mengintrogasiku.

“Ya, Jenderal!” ucapku degan mantap meski pikiranku tengah memunculkan ribuan pertanyaan.

44 Secangkir Kopi Hitam

Mendengar hal itu Jenderal Baron menegakkan tubuhnya lalu berteriak.

“Beri hormat kepada Penerus Jenderal Legendaris Eidon Lonesco Zale!” Jenderal Baron memberi hormat diikuti seluruh militer yang ada di sana, membuatku kebingungan bukan kepalang.

“Ayahku seorang Jenderal? Jenderal Legendaris? Tidak, tidak mungkin ini pasti mustahil, mereka pasti salah orang!”

Aku pun turun dari panggung dan kembali ke tempatku, seluruh temanku menatapku kagum.

Di kamar …

“Devan! Kau benar-benar hebat!”

“Kau anak Jenderal Eidon!”

“Wah. Aku beruntung bisa bertemu denganmu.”

Semua pujian tertuju padaku, membuatku kebingungan.

Belum lagi aku sadar dari kebingunganku, malah ditambah dengan Jenderal Baron yang tengah berjalan ke kamarku, ingin berjumpa denganku.

“Hai, Devan!” Jenderal Baron meninju pelan bahuku

“Kau tahu, aku merasa ini adalah sebuah keajaiban bisa bertemu denganmu, putra Jenderal terhormat. Ayahmu adalah Jenderal terbaik. Ia lulus dari militer dengan nilai tertinggi, dan sampai saat ini belum ada yang bisa mengalahkannya.

Kau tahu, ia pernah menghancurkan benteng lawan setinggi 15 meter sendirian dan melawan 100 tentara Eropa dengan tangan kosong! Hal itu menjadikannya Jenderal paling ditakuti.

Bahkan, ia mendapatkan julukan ‘Jenderal Kematian. Kau tahu, ia mendidik kami dengan sangat keras. Ia tak pernah tersenyum

Banat Dalwa x Litime 45

Assalamu’alaikum...

Salam hormat kepada Pak Militer.

Apa kabarmu, Nak? Kuharap baik-baik saja. Maafkan Ayah monstermu ini yang telah banyak menyusahkanmu. Sudah empat tahun kepada kami, bahkan suara dehamannya mampu membuatku kehilangan separuh nyawa,” Jenderal Baron tertawa kecil.

“Namun, pada tahun 1998, ayahmu tiba-tiba mengambil cuti secara mendadak. ‘Aku akan menyerahkan penerusku kepada Sekolah Militer ini,’ katanya. Tanda penerus itu adalah sepatu yang kau pakai, Dev. Sepatu itu dibuat khusus untuk ayahmu. Tak ada lagi di dunia ini, hanya itu.”

Aku terdiam seribu kata, tak menyangka Ayah yang pernah kucela dulu adalah sosok yang amat dihormati dan diinginkan kehadirannya

Pagi ini, aku membereskan barang-barangku dan bersiap pulang menemui Ayah. Setelah menempuh perjalanan selama sepuluh jam, aku akhirnya sampai di depan rumah kecilku.

“Assalamu’alaikum, Ayah!” seruku sembari mengetuk pintu rumah. Tak ada jawaban. Aku memanggilnya sekali lagi, namun tetap sunyi.

“Nak Devan?” panggil Pak Rion dari belakang, tetangga samping rumahku. Aku mengerutkan alis saat ia menyerahkan selembar kertas putih.

“Ini dari ayahmu. Ia telah wafat 2 tahun yang lalu.” Kalimat yang amat menyakitkan yang tak bisa kuterima dengan tangan yang bergolak. Aku menerima surat itu, yang langsung kubuka saat itu juga.

Isi surat Ayah:

46 Secangkir Kopi Hitam

Salam Sayang, Ayah Monstermu Aku terdiam. Air mataku lalu mengalir deras. Ini adalah penyesalan terbesarku.

aku tak melihatmu, dan Ayah monstermu ini sangat merindukanmu.

Aku pikir aku akan kuat merelakanmu pergi, namun ternyata aku salah. Rasa rindu ini ternyata lebih menyakitkan daripada tusukan belati yang Ayah dapatkan saat berperang dulu.

Mungkin saat kau membaca surat ini, kau sudah mengetahui

kebenaran tentang Jenderal Kematian dan tentang sepatu militer yang amat rusuh itu. Namun, hanya satu yang kau tidak tahu—tentang ibumu.

Pada tahun 1998, saat aku mendapat kabar tentang kelahiranmu, aku meninggalkan segala urusan untukmu. Namun, saat kau lahir, ibumu mengalami pendarahan hebat hingga membuatnya tak bisa bertahan.

Ia hanya memintaku berjanji untuk menjagamu dan selalu tersenyum padamu, persis seperti saat aku pertama kali melihatmu.

Dan kau tahu, Dev, Ayah monstermu ini tak pernah menginginkan janjinya. Namun, Jenderal Kematian ini sudah tua, ia sudah tak sanggup bertahan. Maka dari itu, melalui surat ini, aku—Eidon Lonesco Zale—memutuskan untuk mundur sebagai Jenderal Militer Asley dan juga mundur sebagai Ayah monstermu, Dev.

Menu ke-4

Drama di Balik Kursi - Bidadari Tak Bersayap - Menjemput Asa

Banat Dalwa x Litime 49

Drama

di Balik Kursi

Panjang cakapnya dalam layar Tuai buih manis janji-janjinya Slogan aktif disuarakannya Tak kalah berisiknya

Mereka dengan hewan peliharaan Hadirmu seakan-akan beri penerangan

Tapi jangankan tindakan, jejak telapak kakimu pun tak ada Yang ingin tau

Banat Dalwa x Litime 49 Sampah masyarakat, jangan kau samakan

Dirimu dengan tikus berdasi itu

Kami masyarakatmu, temanmu, amanatmu, Bukan budak politikusmu

Junjung tinggi pusaka negara Bukan dasi jabatan yang pasi.

Amanatmu besar dalam mengayomi

Namun, tugasmu seakan hanya rehat di kursi Keadilanmu yang kami tunggu,

Bukan drama sirkuit bergelut janji-janji itu

Dewi Rizky Maulidia

50 Secangkir Kopi Hitam

Bidadari Tak Bersayap

Hiruk-pikuk gemuruh hujan berpadu tenang dalam dada Anandamu di sini terbelenggu menahan rasa

Sunyi malam ini membawa daku pada rindu Terlukis di khayalku indah raut wajahmu

Bunda, ku rindu belaianmu di kala bulan menjemput malam Rindu kecupanmu di kala embun menciumi hari

Rinduku ditemani hujan di malam ini Rembulan menanti di antara kelabu Namun, hanya cahayamu nan abadi Sejenak ku terdiam menetes air mata

Mengenang kasih sayang yang pernah engkau berikan Lelahmu saat menjagaku pengorbanan tuk membahagiakanku

Air mata saat melahirkanku bertaruh nyawa demi keselamatan hidupku Dunia seisinya pun tak sanggup membayar semua kasihmu

Banat Dalwa x Litime 51 Ragamu mungkin saja tenggelam oleh zaman

Namun, luhur cintamu tak ‘kan pernah padam Tersemat di lubuk hati yang dalam

Terima kasih telah menjadi malaikatku

Di mataku engkau layaknya malaikat tak bersayap

Dekaplah aku dalam sayapmu, Bunda

Untuk kali ini saja sungguh aku merindukan itu Sudikah engkau menjadi bunga tidurku malam ini?

Agar kutunjukkan pada gelap betapa indahnya sinarmu Walaupun saat fajar tiba aku kembali membuka mata Namun, dengan rindu yang sama

Hujan kini telah reda, Bunda, tapi mengapa ...

Rindu ini berkesumat enggan tuk mereda?

Bintang-bintangku telah siap siaga temani hampaku Hampaku yang tak mudah jauh darimu

Tahukah engkau wahai semesta?

Aku amat merindukannya

Berbisik padamu hanya dengan puisi sederhana Agar engkau sampaikan rinduku padanya Bantu tuk aminkan doaku wahai langit Semoga malaikatku tenang di atas sana

52 Secangkir Kopi Hitam Raisyah Chaerani W.

Pertemuan kita telah usai, namun rindu berkecamuk tiada usai Selagi ragaku masih sanggup berdiri, ada namamu di setiap napasku

Berpetualang mengarungi kehidupan di alas petuah-petuah lamamu Aku pastikan engkau bangga akan hal itu

Sebagai baktiku padamu,

Bunda yang selalu kurindu

Banat Dalwa x Litime 53

Menjemput Asa

kimiku

07.00 am. Rusia

Selena Bostos, agen zionis Yahudi yang tadi malam baru saja menyelesaikan misinya meletakkan bom di salah satu gereja di pinggiran Rusia. Mottonya hanya satu: “Hanya agama Yahudi yang berhak menguasai dunia.”

Smartphone di atas nakas apartemen Selena berkedip, ada panggilan masuk.

“Oh ... hallo, Mr. Birchov.” Ia me-loudspeaker panggilannya sembari tangannya sibuk menyeduh kopi impor dari negara yang selama ini ingin ia kunjungi karena keeksotisan alamnya.

“Hallo Selena, tugas yang bagus tadi malam.”

“Terima kasih, Mr. Jadi ... bolehkah aku pergi berlibur?”

Mr. Birchov tertawa di seberang telepon. “Baiklah, baiklah, waktu liburmu tiga minggu, Selena. Setelah itu ada banyak tugas penting yang harus kau lakukan untuk merebut tanah yang dijanjikan Tuhan untuk kita.”

“Baik, Mr. Birchov.” Selena mengangguk meski ia tahu Mr.

Birchov tak akan melihatnya.

# # #

54 Secangkir Kopi Hitam

Sebuah kereta berhenti tepat di stasiun, seorang wanita bule keluar dari salah satu gerbang kereta. Di pundaknya tersampir tas ransel besar, keramaian lalu lalang manusia seketika menyergapnya begitu sepatunya menginjak lantai stasiun yang dingin. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru stasiun, sejenak menikmati suasana yang ada. Ibu-ibu yang sibuk berlalu lalang dengan tas belanja di tangannya, penjaga tiket dengan peluh yang mengucur dari dahinya seakan kipas yang berputar di belakang punggung sama sekali tak berfungsi, pedagang asongan, anak-anak kecil yang berlarian, serta aroma besi panas yang bercampur dengan oli yang memenuhi indra penciuman, fantastic.

“Miss Selena!” Seseorang memanggil nama Selena dari kejauhan. Sejenak ia mengedarkan pandangan, dan pandangannya tertuju pada seorang laki-laki yang berlari ke arahnya seraya di tangannya membawa papan bertuliskan namanya.

“Andi?” ucap Selena begitu laki-laki itu sampai di hadapannya.

“Ya, Miss.”

Selena lantas menyerahkan gulungan kertas dari saku

ranselnya kepada Andi, sopir yang akan mengantarnya ke tujuan.

Andi membaca sekilas kemudian mengangguk. Pronojowo – Indonesia.

# # #

Sinar mentari mulai menyembul dari balik sela-sela pohon pinus yang berjajar rapi, perlahan naik dari kaki langit menyinari cakrawala, membias di antara riak air danau yang sesekali memantulkan cahayanya ke beberapa penjuru di sekitarnya.

Banat Dalwa x Litime 55

Selena keluar dari tenda, menghirup udara dalam-dalam,

membiarkan hawa dingin menyusup di antara tulang belulangnya.

Gunung Semeru berdiri kokoh di sebelah kanannya, awan- awan kecil beriringan berjalan di sekitar puncaknya, sungguh menakjubkan. Inilah yang ia inginkan selama ini, sebuah ketenangan, benar-benar sebuah ketenangan.

Selena kembali masuk ke tendanya, kemudian keluar lagi sembari di tangannya membawa sebuah botol kaca, ia bermaksud ingin mencari pemukiman terdekat. Setelah hampir setengah jam kakinya menapaki jalan setapak yang ada, matanya menangkap siluet genteng-genteng rumah penduduk.

Mendadak langit menjadi gelap, burung-burung berterbangan dari arah belakangnya, teriakan hewan-hewan gunung terdengar nyaring bersahut-sahutan. Selena menatap langit di atasnya kemudian ke arah gunung Semeru di belakangnya. Ada sesuatu yang ganjil, ini tanda bahaya!

Ia bergegas mempercepat langkahnya mendekati

pemukiman, mengerahkan segenap kekuatan yang ia punya untuk mempercepat ayunan langkahnya, beberapa kali kakinya tersangkut akar pohon yang melintang di jalan yang ia lewati.

Jatuh, bangkit lagi, jatuh terseok-seok, bangkit lagi, hingga ia sampai di sebuah jembatan penghubung ke pemukiman. Ia bisa mendapat bantuan dan dievakuasi bersama penduduk, tapi sayangnya ...

Byurr...

Aliran lahar dingin menghantam tubuhnya yang berada

di sisi jembatan, tubuhnya terseret aliran lahar sejauh sepuluh meter. Selena berusaha menggapai apa saja yang mampu ia gapai untuk menyelamatkan diri, namun banyaknya air yang masuk ke rongga hidupnya membuatnya sulit untuk mengatur

56 Secangkir Kopi Hitam

napas. Perlahan tubuhnya melemas, matanya tertutup dan ia yakin ini adalah akhir hidupnya, lalu tubuhnya semakin hanyut terbawa arus lahar.

# # #

Sehari pasca erupsi Gunung Semeru, beberapa gabungan tim relawan turun untuk mencari para korban yang tidak ditemukan di pengungsian. Langit sudah cerah seperti biasanya,

tapi mereka diharuskan untuk memakai masker, berjaga-jaga apabila ada debu vulkanik yang sesekali terbang terbawa angin.

“Tolong! Tolong!” Salah satu relawan wanita yang sedang menyusuri bantaran sungai yang dialiri lahar, berlari tergopoh- gopoh menghampiri beberapa temannya yang sedang

beristirahat. “Ada apa, Ay?” Mereka semua bergegas bangkit dari duduknya.

“Ada korban ya ... yang masih hidup,” ucapnya terengah- engah.

Mereka semua sigap menyiapkan tandu dan menenteng beberapa alat bantu jika sekali-kali dibutuhkan dan mengikuti langkah. Ayla menyusuri bantaran sungai. Begitu sampai di tempat yang dimaksud Ayla, betapa terkejutnya mereka mendapati korban adalah seorang bule perempuan yang tersangkut di antara batang-batang pohon di pinggir sungai.

# # #

Selena membuka matanya perlahan, beberapa kali matanya mengerjap menyesuaikan dengan cahaya ruangan tempat ia terbaring. Ia berusaha mengingat kejadian terakhir yang ia alami, namun mendadak kepalanya berputar.

Banat Dalwa x Litime 57

“Sshh ...” Selena meringis sambil memegangi kepalanya yang berdenyut.

“Alhamdulillah ... sudah sadar.” Selena baru menyadari ada seorang gadis yang duduk di sebelah kanannya, penampilannya sederhana dengan kain yang melilit di kepalanya, kulitnya kuning langsat dengan wajah khas wanita asia.

“Siapa kamu?” Dahi Selena mengernyit.

“Saya Ayla, saya yang menemukan Ibu kemarin.” Gadis itu tersenyum teduh.

“Kenapa kamu menolong saya? Kenapa kamu tidak membiarkan saya mati saja.” Selena berkata ketus, ia memalingkan wajah ke sebelah kiri, ia tahu gadis di sampingnya adalah seorang gadis muslim dari kain yang menutup seluruh kepalanya. Ia benci Islam, ia benci agama lain selain Yahudi di dunia ini.

“Bu, menolong sesama manusia itu kewajiban, bukan hanya menolong saudara seiman saya, tapi juga yang lain. Nyawa Ibu juga tanggung jawab kami, merawat Ibu juga tanggung jawab kami semua.” Selena masih memalingkan mukanya, tapi telinganya terbuka sempurna untuk mendengarkan.

“Ayla! Tolong sini.” Seseorang memanggil nama Ayla.

“Saya pergi sebentar, nanti saya ke sini lagi,” pamit Ayla.

Sayup-sayup ia mendengar langkah kaki Ayla menjauh, Selena menatap kepergian Ayla. Ia melihat Ayla dan kawan-kawannya bahu-membahu membawa korban yang berdatangan dengan tandu yang diletakkan di ruangan yang sama dengannya.

Memberikan pertolongan pertama atau melakukan apa saja untuk menyelamatkan nyawa pasiennya. Ia memejamkan mata, ini rumit. Ia menemukan ketenangan di diri Ayla, tidak seperti dirinya yang ambisius untuk mendapatkan sesuatu, inilah yang

Dalam dokumen Secangkir Kopi Hitam by Litime Dalwa.pdf (Halaman 44-72)

Dokumen terkait