• Tidak ada hasil yang ditemukan

78 Secangkir Kopi Hitam

Banat Dalwa x Litime 79

pagi buta ini.”

Astaga, rasanya aku ingin pingsan saat itu juga.

“Em ... tidak, hanya mencatat beberapa bunga yang mati hari ini. Em ... dan kau kenapa tidak ke kelas saja? Simpan dulu tasnya!” jawabku dengan nada gagu dan canggung. Jelas, aku sangat sulit menutupi suasana hatiku yang mulai salah tingkah.

Akhir-akhir ini dia mulai sering mengajakku berbicara, entah hanya sekedar bertanya atau bahkan bercanda ria seperti sekarang, membuatku menaruh harapan besar padanya, berharap rasaku padanya berbalas.

“Oh, begitu. Semangat, ya!” ujarnya tenang sambil berlalu.

Aku mulai menutup wajahku dengan sebelah tangan, terlihat sedang berpikir. Kenyataannya aku malu, wajahku merah bersemu, sulit untuk dikondisikan seperti semula.

Perkenalkan, dia Arka. Orang yang kusuka sejak lama, Arka pindah ke sekolahku sejak satu tahun yang lalu. Pengalaman pertamanya pindah sekolah membuatnya sulit terbiasa dengan bahasa yang ada, aku adalah salah satu dari beberapa teman di kelas yang membantunya beradaptasi sampai sekarang. Arka lebih sering menggunakan saya-kamu dalam berucap sehari- hari, salah satu kebiasaan “yang sulit dihilangkan” jika ia ditanya seseorang sewaktu-waktu.

Bel istirahat sudah berbunyi dari tadi, aku mulai tergesa- gesa menghabiskan minum yang kubawa ke kelas. “Gelasnya kukembalikan pulang sekolah saja,” pikirku.

Bel tanda istirahat selesai berbunyi lima menit setelah aku selesai minum. Aku bersiap-siap menyambut pelajaran ketiga.

“Hei, jam ketiga kali ini kosong!” teriak salah satu anak yang baru saja dari ruang guru, serta merta anak-anak bersorak gembira. Aku ber-haah kecewa. Seandainya aku tahu lebih

80 Secangkir Kopi Hitam

awal, mungkin minumanku habis dengan perlahan-lahan. Aku memegang gelasku yang kosong, menatapnya datar tanpa arti.

“Seharusnya disimpan aja di laci!” komentar Arka dari seberang. “Kan aku ndak tahu!” tanggapku merengut.

Arka menyodorkan air mineral padaku. “Makasih,”

ucapku. Aku menuangkan air mineral itu ke dalam gelas punya ibu kantin. “Lumayan, masih ada es batunya,” pikirku. Aku mengembalikan air mineral pada Arka, dia tertawa kecil melihat tingkahku.

Ya Tuhan, ini keberapa kalinya dalam hari ini.” Aku hanya bisa diam sambil menikmati gelasku yang sekarang terisi, mungkin apabila aku sedang sendirian di rumah (tanpa Arka tentunya) aku sudah senyum sendiri seperti orang gila kegirangan.

“Ya Tuhan kenapa dengan perlakuan kecilnya membuatku

senang,” gumamku dalam hati, anak-anak kelas mulai bercanda tawa, membuat kelas terdengar gaduh. Salah satu anak mulai bertanya kepada kami semua hendak ke mana meneruskan sekolah? Sampai akhirnya giliranku yang menjawab.

“Aku melanjutkan sekolah di luar pulau, kakak laki-lakiku yang di sana!” jawabku tenang.

“Kalau Arka di mana?” tanya seorang teman. “Mungkin di luar pulau juga, di sana ada paman!” ucapnya.

“Daerah mana?” tanyaku penasaran.

“Jawa Barat!” jawab Arka diiringi senyum kecil khas miliknya.

***

“Selamat ulang tahun, Kayla!” teriak teman-teman sekelasku, tepat ketika aku membuka pintu hendak masuk.

“Makasih semua!” ucapku terharu. Tak kusangka, pagi ini

Banat Dalwa x Litime 81

aku mendapat kejutan. Dua teman dekatku membawa balon warna-warni. Mereka mulai bergantian mengucapkan selamat, beberapa bahkan memberikan bingkisan kecil tanda hadiah, tak bisa kupungkiri aku sangat bahagia.

“Buat kamu,” ucap Arka sambil menyodorkan kotak kecil berwarna hitam dihiasi pita putih. Lucu sekali, pikirku.

“Ma ... makasih!,” jawabku kikuk.

“Selamat ulang tahun ke-17, Kay!” lanjutnya. Sorot matanya hangat, membuatku semakin salah tingkah. Aku menunduk, pura-pura memperhatikan bingkisannya, memainkan jari- jemariku, membalas perlakuannya dengan senyum kecil. “Buka kotaknya!” pinta Arka. Aku mulai membukanya perlahan, sebuah kalung berbandul bintang yang dikelilingi tujuh bintang kecil di setiap sisinya.

“Unik!” ucapku berkomentar.

“Janji sama saya Kay, pakai terus kalungnya!” pinta Arka.

Aku terdiam, berusaha memahami perkataannya. Sorot

matanya berubah sendu, terlalu banyak menyimpan makna di dalamnya.

“Janji juga sama Kay, Arka balik ke sini tiap tahun. Arka bakal pindah kan. Oh ya, Arka juga jangan lupa datang kalau sekolah kita reunian oke!” pintaku balik.

“Janji!,” jawab Arka diiringi senyum tipis. Aku menatapnya, lalu mengangguk kecil tanda mengiyakan. Arka terdiam lama, tatapnya berubah kosong. Aku memandangnya heran. “Ada apa gerangan?” bisikku pada diri sendiri.

Esoknya Arka tidak masuk sekolah, kehadirannya tertulis izin di buku absen. Para guru memberitahukan kepada kami bahwa Arka sedang mengurus kepindahannya ke pulau

82 Secangkir Kopi Hitam

seberang, tempat tujuan sekolahnya setelah lulus nanti. Para guru juga berkata Arka akan kembali secepatnya setelah segala urusannya selesai.

Tapi dia tak pernah kembali ...

Bahkan sampai kelulusan tiba.

Tentu saja kami sebagai “teman sekolahnya” mulai bertanya- tanya ke mana perginya Arka, beberapa teman mencoba

menghubungi Arka. Tapi, tetap saja Arka memberi jawaban yang sama dengan yang disampaikan para guru. Tapi, tak bisakah dia datang bahkan di saat-saat terakhir seperti sekarang, memberi kepastian pada kami? Memberi kabar kepadaku? Ah, mungkin aku terlalu berharap padanya setelah kejadian tempo hari. Bukankah aku dan dia tak pernah mengatakan apa yang dirasa satu sama lain? Bodohnya aku.

Aku mengemasi koperku, esok aku akan berangkat ke

pulau seberang menggunakan penerbangan pertama, menyusul kakak, melanjutkan sekolah. Kupandang langit-langit kamar untuk yang terakhir kali, mungkin aku akan merindukan saat- saat di sini, juga ... dia. Kugenggam kalung pemberiannya erat-erat. “Arka, untuk kali ini aku akan menepati janji sampai akhir!” gumamku dalam hati.

Hari demi hari berlalu, kehidupan sekolahku berjalan

lancar di pulau asing ini, melalui tahap demi tahap belajar dan mencoba hal baru. Setidaknya berusaha melupakan “dia”, menepis perasaanku yang tak berujung dan semakin lama bertambah besar.

Rindu? Mungkin.

Suatu hari di penghujung tahun, aku menerima ajakan reuni dari beberapa teman kelasku, aku pun menyanggupinya, dari dalam lubuk hatiku berharap semoga Arka menepati janjinya.

Banat Dalwa x Litime 83

Arka Senja.

Untuk Kayla

Dari seorang pengagum yang tak mungkin gapai bintangnya. Saya tepati janji, walau tidak dengan raga yang hadir. Saya kembali, walau jasad sudah bersemayam abadi, maaf untuk segalanya. Karena dari awal senja tak mungkin bertemu bintang. Bahkan sore tak pernah bergandeng dengan malam. Di penghujung waktu nanti, tepatilah selalu janji walalu malammu berganti pagi.

Aku pun terbang kembali ke rumah asalku, sehari sebelum acara reuni dimulai. Selama perjalanan, aku mengumpulkan keberanian dan menata hatiku sedemikian rupa, agar nantinya jika kecewa tak sesakit biasanya bukan?

“Apa kabar, Kay?” ucap seorang teman padaku ketika tiba di acara reuni.

“Baik,” balasku diiringi senyum kecil, walau bergulir

pembicaraan berjalan santai dan nyaman, tapi tidak denganku.

Mataku mulai mencari-cari sosok itu, menantinya, tapi ia tak kunjung datang.

“Teman-teman, ada yang tahu kabar Arka?” tanyaku

bingung. Sontak mereka semua terdiam, saling tatap satu sama lain menciptakan keheningan yang ambigu.

“Sekarang saya!” ujar seseorang memberi isyarat.

“Kay ....” Teman dekatku memanggil.

“Kenapa?” tanyaku bingung.

Ia menyodorkan sebuah surat. “Baca!” pintanya padaku.

Dia menunduk sangat dalam, membuatku heran.

84 Secangkir Kopi Hitam

Air mataku mulai mengalir membasahi kertas di tangan. Aku genggam kalung pemberiannya erat-erat entah untuk keberapa kalinya.

“Kita semua diminta untuk merahasiakannya darimu,

Kay!” ucap seorang teman kepadaku. Aku tak bisa berhenti menangis, tergugu dalam linangan air mata, mencoba ikhlaskan dia yang tak mungkin kembali, walau waktu kuputar lagi.

Menu ke-7

Bidadari Bumi - Malaikat Pembunuhku

Banat Dalwa x Litime 87

Bidadari Bumi

Biarlah rindu ini menyayat hatiku Melemahkan tiap denyut nadiku Biarlah saat ini jarak memisahkan kau dan aku

Asalkan kelak aku mampu memberikanmu bahagia yang tiada semu Pekat malam dan daun yang berterbangan

Aku terbawa pada suatu kenangan Tentang aku dan Ibu sebelum jarak memisahkan Hangat dekapanmu selalu menjadi tempat pulang ternyaman

Jikalau ada yang lebih indah dari senja di sore hari Itu adalah aku saat masih berada dekat denganmu

Betapa aku sangat merindukanmu

Ribuan bait puisi pun tak mampu mewakilkan rinduku Andai jarak dapat kutempuh

Wahai Ibu Ingin selalu aku berada dalam hangatnya pelukmu

88 Secangkir Kopi Hitam Kalila Putri Rahayu

Kutelan pahit getirnya kehidupan saat jauh darimu Bukan harta dunia yang ingin kuberikan untukmu Karena semua itu tak bernilai

jika dibandingkan dengan besarnya cintamu Melainkan surga dan kenikmatannya yang ingin kupersembahkan untukmu Membangunkan singgasana abadi untukmu Menjadikanmu ratu di alam surga ke tujuh Yang tiada mampu aku memberikan semua itu Kecuali dengan ilmu yang saat ini sedang kutempuh

Biarlah saat ini jarak terbentang jauh

Asalkan kelak aku kekal di surga bersama denganmu, Ibu hebatku

Lewat sebuah puisi yang kutulis di secarik kertas Kepada angin dan rintik yang membasahi bumi Raci Selamat Hari Ibu, Bidadari Bumi

Terima kasih atas segala cinta yang telah kau beri Ibu ...

Kau adalah sosok mulia yang kujaga ridhomu

Kau adalah surga yang selalu kumohon keberkahan doamu Sungguh aku mencintaimu tanpa batas ruang dan waktu

Banat Dalwa x Litime 89

Dalam dokumen Secangkir Kopi Hitam by Litime Dalwa.pdf (Halaman 83-93)

Dokumen terkait