• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karena Cadar

Dalam dokumen Secangkir Kopi Hitam by Litime Dalwa.pdf (Halaman 128-150)

128 Secangkir Kopi Hitam

Banat Dalwa x Litime 129

tadi karena kelelahan mengikuti aktivitas pondok seharian.

“Duh, ga bisa tidur!” rutuk Irda sembari membenarkan posisi tidurnya untuk yang kesekian kali.

“Ya Allah ... di akhirat kelak kira-kira Irda ada di golongan mana ya.” Inilah yang membuat Irda tidak bisa tidur, semakin larut malam semakin kalut pikiran.

“Pantaskah Irda menjadi salah satu pengikut Sayyidah Fatimah? Pantaskah ya Rabb? Pantaskah?” Mulai malam ini Irda bertekad untuk mencari jawabannya, karena Irda merasa ini benar-benar bukan masalah sepele.

Baru saja Irda telah selesai melaksanakan rutinitas dhuhanya.

Bel sekolah masih sekitar 20 menit berdering, tapi Irda telah siap.

“Irdaaa, ayo sarapan! Mau bareng gakkk?” ajak Fina sembari setengah teriak.

“Lah, kalian ga puasa? Ini kan hari Senin!” tanya Irda keheranan, melihat teman-temannya sedang bersiap untuk sarapan bersama.

Irda, Ana dan Fina mempunyai kebiasaan puasa sunnah tiap Senin dan Kamis.

“Kami kan haid,” ucap Ana dan Fina bersamaan.

“Oh iya lupa.”

“Yeuuu dasar Irda si paling lupa!” canda Fina dibarengi gelak tawa.

“Eh, eh! Muhadoroh malem kemarin cakep ya temanya,”

ucap Ana membuka topik .

130 Secangkir Kopi Hitam

Deg!

Topik pembicaraan Ana membuat Irda fokus, langsung teringat pada dirinya yang memikirkannya semalam.

“Iya Jal, cocok banget emang buat jadi obat hati apalagi buat kita perempuan akhir zaman,” sambung Fina dengan serius.

“Bisa ndak ya ... kita yang pendosa ini berada dalam rombongannya Sayyidah Fatimah.” Terungkap sudah hal yang membuat Irda tidak tidur semalaman ia utarakan pada temannya.

“Kalau gitu sih, Allah itu sesuai prasangka hamba-Nya.

Nah ... kita harus optimis kalau kita pasti ada di salah satu rombongannya Sayyidatuna Fatimah, ya gak?”

“Terus kalau ternyata kita bukan termasuk 2 golongan itu gimana?” tanya Ana dengan polosnya.

“Naudzubillahhh dehh Anaa,” teriak Fina sembari melotot gemas pada temannya.

Kalimat yang meluncur mulus di mulut Ana membuat hati Irda mencelos masuk dalam ke otaknya. Irda belum pernah terpikir sebelumnya, bagaimana jika dia bukan dari golongan dari keduanya, kemanakah dia akan berada? Pantaskah?

Pantaskah?

“Eh! Tapi serius,” ucap Ana sambil merengutkan alisnya, menunjukkan bahwa dia benar-benar sedang tidak bercanda.

yang dicintainya, dan seorang pecinta itu pasti akan sering menyebut, menceritakan apa yang dia cinta, meniru dan

meneladaninya, mangkanya aku bilang kita harus optimis!” jelas Fina, memang di antara ketiganya Finalah yang paling dewasa.

Na! Seseorang itu akan bersama dengan

“ﺐﺣاﻦﻣﻊﻣءﺮﻤﻟا,

Banat Dalwa x Litime 131

LIST MUJAHADAH

Tahajud, Dhuha, Puasa Sunnah Senin-Kamis, Tidak Marah, Murah Senyum.

“Memang cukup ya kalau cuma modal cinta?” tanya Ana pada akhirnya.

“No! No! Makanya tadi aku bilang dengan meneladaninya, kita tambahin ke list mujahadah kita.”

“Caranya gimana tuh, Na?” Lagi-lagi Ana bertanya dengan polosnya.

“Yaampunnnn Ana.” Merasa gemes pada Ana karena temannya yang satu ini tidak paham-paham.

“Dengan cara ... eh! Udah bel masuk.” Baru aja Fina ingin menjelaskan lebih lebar lagi, tapi terpotong karena jam sudah menunjukkan waktu 07.00.

Setengah berlari Irda melangkahkan kakinya keluar kelas, dengan tergesa-gesa masuk ke dalam kamarnya, bergegas naik ke atas ranjang, lalu merogoh-rogoh rak kitabnya, mencari notes berwarna biru.

List mujahadah ... list mujahadah,” batin Irda sambil

membolak-balikkan kertas notesnya. Jujur saja, perkataan Fina pagi tadi membuat konsentrasi Irda selama di jam sekolah menjadi buyar.

“Oh ... ini dia.”

132 Secangkir Kopi Hitam

“Ya Allah ... beda banget ya sama kita yang kerjanya ngafe, ngemall, bioskop, bikin konten,” ucap Ana sembari membuang napas.

“Makanya aku sering mikir, emang kita pantas ya jadi salah satu rombongannya Sayyidatuna Fatimah kelak? Aku ga mau kalau kita cuma jadi golongan yang nunduk pas Sayyidatuna Selepas Ashar, Fina, Ana dan Irda duduk santai menikmati pemandangan dari lantai 4 sambil menikmati kopi coklat dan beberapa cemilan.

“Kalau di Tarim bisa ga ya ... kita ngeliat pemandangan sore-sore kaya gini,” tanya Fina sembari tersenyum, matanya belum lepas dari pemandangan langit yang dilihatnya sambil membayangkan kota yang amat mereka dambakan.

“Emang kenapa ga bisa?” tanya Ana dengan polos, entah untuk yang ke berapa kalinya.

“Wanita di Tarim hanya keluar rumah karena 3 hal:

Saat mereka kecil bermain dengan teman-temannya Saat mereka telah menikah untuk pindah ke rumah suaminya

Saat mereka meninggal & hendak dikuburkan ke liang lahat,” jelas Fian.

“Duh ... kayaknya list mujahadah aku belum cukup deh kalo cuma modal begini doang,” rintih Irda sedih.

“Kira-kira tambahan apa lagi, ya?” Lagi-lagi Irda harus memutar otaknya untuk yang kesekian kalinya, untuk memantaskan diri.

Banat Dalwa x Litime 133

Fatimah lewat.” Irda terlihat sedih sambil mengingat dosa- dosanya.

“Inget ga? Sayyidatuna Fatimah pernah bilang kalo sebaik- baiknya wanita adalah yang tidak melihat laki-laki & tidak di lihat laki-laki.”

“Caranya?”

“Aku ga tau, tapi aku pikir dengan ga upload foto ke sosial media, soalnya kalo kita udah di rumah aja nih, ga ke mana- mana tapi muka kita tetap bisa diliat sama ajnabi, ya sama aja ga sih? Lebih berhati-hati dalam bersosial media. Kan kata Ustadz Segaf: Perempuan itu harus menjaga kemaluannya dengan gak teleponan, chattingan sama ajnabi. Kata Ustadz itu termasuk AIB.”

Bertafakur, berdiskusi, berbenah diri adalah hal yang menyenangkan dilakukan di sore santai seperti ini.

“Semenjak mahasiswa ya, Fin ... aku bertekad buat

mengubah hidupku jadi fase yang lebih baik lagi, masa nggak ada bedanya sebelum jadi mahasiswa sama sesudah masuk dunia perkuliahan. Ya nggak?” tanya Irda, berusaha membagi opini pada temannya.

“Perubahan yang kek gimana nih yang kamu maksud Da?”

“Kalian ga ada niatan buat make cadar?”

“Uhuk! Uhuk ... apa, Na?” Fina tersedak ayam yang ditelannya karena mendengar pertanyaan Ana yang seolah ajakan.

“Aku seriusan, ih! Kamu nih pake acara kesedak,” gemas Irda yang merasa Fina terlalu lebay menanggapi ucapannya tadi.

“Ya ... aku mikir di dalam pondok aja kalau ada pelajaran Ustadz yang ngajar kita diwajibkan pake cadar, apalagi kalau di

134 Secangkir Kopi Hitam

Irda sedang berdiri di depan kaca sembari mencoba cadar baru yang dibelinya di butik sore tadi.

“Aku cocok ga sih Fin pake cadar?”

“Gustiii Ing Kang Agunggg ... kamu udah nanya itu untuk yang ke-69 kalinya.”

“Soalnya ... aku ga PD tau Fin, beneran cakep ga sih?.”

“Dan ... kamu juga udah bilang itu yang ke-69 kalinya.”

Fina merasa frustasi melihat kelakuan temannya.

“Semangat dong, Da! Nanti kalau kamu terjun ke masyarakat pasti kamu bakal dapet respon dan reaksi orang beda-beda, dan kamu harus nyiapin buat itu, makanya kamu harus inget niat amal kamu apa,” nasihat Ana sungguh-sungguh.

“Ya Allah ... kapan ya buat make cadar,” batin Ana di dalam hatinya, dirinya terharu melihat temannya ke fase yang lebih baik.

luar kan ketemu banyak, lebih gede fitnahnya.”

“Eh! Eh kok tiba-tiba bahas cadar sih?” tanya Fina bingung karena merasa dirinya belum siap.

“Kan kamu sendiri tadi Fin yang bilang kalau sebaik- baiknya wanita adalah yang tidak melihat dan dilihat laki-laki.”

“Iya, sih ... tapi kan ….”

“Udah, deh ... nanti temenin aku ya ke butik, pengen beli cadar yang model cadar mata keknya lebih cakep model kek gitu deh kalau lagi di luar, ya kan?” Final, Irda sungguh-sungguh, matanya berbinar memancarkan semangat.

Fina melongo, bertatap-tatapan dengan Ana. “Hei ... kita lagi ga salah denger kan?” bisik mereka diam-diam.

Banat Dalwa x Litime 135

Antara bumi dengan langit

Di manakah doa-doaku bergantung Demi Tuhan Ya Rabb

Hanya ridho Engkau-lah yang selalu kami nanti.

“Ya Allah, Irda niat make cadar dapet ridho-Nya Allah, ridhonya Rasulullah, jadi golongannya Sayyidatuna Fatimah kelak dan semoga Irda bisa amanah memakai cadar yang Irda pakai.”

“Amin ...,” ucap Fina dan Ana kompak sambil berpelukan hangat.

“Ya Rabb ... pertemukanlah kami kembali kelak karena demi

Allah, kami berteman karena-Mu,” doa Irda dengan tulus di dalam hatinya.

Menu ke-11

Pelitaku - Sendayu Malam - Hanya Ayah - Secangkir Kopi Hitam

Pelitaku

Ibu

Engkau adalah cahaya penerang hidupku.

Menjadi pelita pada setiap jalan yang ku lewati.

Ibu

Engkau bentangkan sayap kasih sayang mu yang tak terhingga.

Dengan pengorbanan yang tak terukur.

Engkau yang mengajarkan ku menghadapi kesulitan dengan tegar.

Engkau yang membesarkanku dengan penuh cinta.

Engkau selalu menjadi inspirasi semangat hidup ku Menjadi sumber utama bangkit ku dikala ku tumbang

Terima kasih, Ibu

Engkau adalah alasan utama ku bertahan hingga kini.

Terima kasih atas segala yang telah kau berikan

Tak akan cukup seumur hidupku untuk membalas semua jasamu.

Aku akan mencintaimu dengan sepenuh hati di setiap waktu sisa hidupku.

Lathisa

Sendayu Malam

Dan kata fajar sempurnanya purnama Tirainya mengelus cakrawala

Cahayanya yang merombak terang Puncak langit tajam dipandang Tuhan sandaran kuat setiap ummat Dan cintanya yang tak pernah terlambat Kemudian disambung gemerintik hujan gerimis Basah klimisnya membasahi dunia yang penuh manis Namun miris

Rayuan malam fajar mendamaikan nan menyejukkan Ribuan jiwa terengkuh hangat oleh semesta

Dan Tuhan semesta alam yang menjadikannya luar biasa Adalah anugerah sang Kuasa yang tak dapat ternilai harga Fajar Subuh namanya

Fajar Pesantren, Desember – 2022 Asya Naila Najwa

Terdapat purnama tenggelam di balik layarnya

Dimulai senyumnya tersembunyi di balik pandangannya Pacaran yang remangnya akan tak terkirakan

Ini adalah agenda waktu permulaan

Tuhan pencipta segala jadwal kehidupan Tetesan takdir yang tak akan pernah terlewatkan

Bait-bait puisi ini yang menjadi goresan pena titipan darinya Tuhan, aku kembalikan dan kuserahkan hatiku pada-Mu Dalam keseluruhannya

Hanya Ayah

wahai ayah

engkau jiwa yang memberi kehangatan perjuanganmu tak bisa dibandingkan cintamu tak terhitung kadarnya kasih sayangmu selalu ada selamanya wahai ayah

aku mulai bercerita tentang masa depan dan berusaha menjadi seperti yang kau inginkan yaitu seseorang yang mempunyai mimpi semangat tekun dan mandiri

wahai ayah

ketiak aku hadir di duniamu

engaku memberikan segalanya untukku lalu engkau mengenalkan Allah padaku melalui suara azan di bibirmu

wahai ayah

kini anakmu telah sampai pada titik yang hendak dicapai

anakmu ini bukan si kecil yang berdiri di hadapanmu lagi kini, anakmu tumbuh dengan mimpinya yang tinggi

Ai Kamisa Bella

Wahai ayah

hidupmu sebagian kekuatanku Ajaranmu motivasi hidupku Pengalamanmu pelajaran untukku

Wahai engkau cinta pertama di hidupku

142 Secangkir Kopi Hitam

Secangkir Kopi Hitam

Syf. Nur Atikah As-segaf

Oktober 1945

“Fanatik kau, Lan!”

“Kau bicara apa, Lim! Aku bukan fanatik!”

“Alah ... mana ada maling yang mau ngaku! Kalau kau bukan fanatik Lan, ngapain kau sering nyebut-nyebut Kiai Somad?!”

“Lim! Beliau itu Kiai kita.”

“Kalau kau fanatik komunis, Lan! Negara ini sudah penuh sama komunis!”

Langit menguning, awan masih berarak. Lembayung mentari tampak, bayangan mulai memudar. Burung-burung camar berlari ke sana ke mari, mencari tempat tuk menginap nanti.

Aku masih di sini, duduk menikmati terbenamnya matahari sambil menyeruput secangkir hangatnya kopi. Duduk di bawah rumah yang langsung menampilkan hamparan pasir putih dan birunya air laut yang mulai menguning. Suasananya sangat tenang di sini.

Kopi hitam tinggal setengah lagi, mengingatkan akan waktu yang pernah terjadi.

Banat Dalwa x Litime 143

Ini yang kesekian kalinya pertengkaran dengan Salim. Hanya karena kesalahan kecil dan aku membawa-bawa nama Kiai Somad, pertengkaran ini terus terjadi.

Ya, negara kami saat ini sedang krisis. Bukan krisis moneter, tapi krisis moral dan akhlak. Kami taat pada Kiai kami dibilang fanatik. Kami dakwah ke sana-sini, dituduh teroris. Kami berkecimpung di dunia politik difitnah komunis. Aneh, entah karena minimnya pengetahuan mereka, atau mereka telah terprovokasi oleh pelaku komunis sendiri tanpa mereka sadari.

Katanya, kita telah merdeka–nyatanya Jepang masih berkeliaran di sekitar pesantren ini. Sewaktu-waktu mereka dapat saja menembakkan pelurunya–sesuka hati.

Aku memilih diam. Salim langsung pergi meninggalkanku dengan menyisakan tanda tanya. Ada apa dengannya? Apa ada yang salah denganku? Entahlah. Tapi dia selalu begitu.

Sore ini aku pergi ke rumah Kiai Somad yang tak jauh dari kamar santri. Aku biasa menemani sore beliau muthola’ah kitab. Aku memberanikan diri bertanya.

Monggo, Lan.” Kiai membetulkan kotak kacamatanya.

“Kiai, apakah taatnya murid kepada gurunya termasuk fanatik?”

Kiai Somad tertawa.

“Yo ora, Lan. Dunia emang koyok gitu. Supaya kita ora taat sama gurunya, supaya persatuan agama dan negoro kita iki pecah, Lan. Itu sebenarnya misi mereka.”

Kiai Somad menyeruput kopi hitam hangatnya di atas

meja. Beliau sangat suka kopi hitam, ittiba’an ke ulama salaf terdahulu jawab beliau ketika aku tanya waktu itu.

144 Secangkir Kopi Hitam

Rasanya memang tidak terlalu pahit dan tidak terlalu manis. Pas di lidah seorang Kiai Somad dengan wangi harumnya yang khas, buatan sang istri tercinta, Nyai Dijah.

“Ojo didengerin, Lan. Seng penting kita terus dakwah dan berjuang buat negoro kita iki, Lan.”

“Inggih, Kiai.”

“Sekarang iki Lan, para ulama kita, para Kiai kita, para Habaib kita lagi berjuang di luar sana. Mau dikata opo wae mereka terus berjuang, Lan.” Kiai Somad tersenyum padaku.

“Inggih, Kiai,” takzimku.

Aku masih mencari kitab yang diinginkan Kiai Somad.

Kiai benar, baru saja beberapa minggu yang lalu pesantren kami dikepung tentara Jepang, tiba-tiba dituduh sebagai provokator gerakan pemberontakan pada negara. Padahal, kami hanya dakwah, datang ke tempat-tempat berkumpulnya orang-orang untuk berbagi ilmu. Tiba-tiba saja mereka datang dan menembakkan pelurunya. Sepuluh orang meninggal atas kejadian itu.

Aku terus mencari kitab yang diinginkan Kiai Somad di rak tinggi besar di kamar beliau.

Tiba-tiba ... plak!

Sebuah buku usang jatuh. Aku ambil buku itu dan kubuka isinya. Sebuah buku tulis penuh debu, isinya ada banyak coretan-coretan nahwu berbahasa Jawa. Aku buka lembaran demi lembaran dan berhenti di satu halaman. Ada bercak merah tua di sana, seperti darah yang sudah lama sekali mengering.

“Wes ketemu, Lan?” tanya Kiai

“Eh, belum, Kiai. Tapi Sahlan dapat ini.” Aku mendekati beliau sambil membawa buku tua tadi.

Banat Dalwa x Litime 145

“Kiai, ini buku apa, ya? Ada bekas darah di sini,” tanyaku.

“Oh iku, kamu ketemu di mana, Lan? Sudah lama saya cari, itu bekas darah guru saya, Lan,” jelas Kiai Somad. Aku heran penuh tanda tanya.

“Waktu itu, saya lagi belajar nahwu sama guru saya di

dekat rumah. Saya se’ muda sekali waktu itu, belum keriput koyok sak iki, Lan.” Kiai tertawa, berwibawa sekali. Terlihat keriput-keriput di wajah beliau, menandakan betapa kerasnya kehidupan yang beliau jalani.

“Tiba-tiba saja orang Jepang datang dan menebas kepala guru saya di depan mata saya Lan, darahnya muncrat ke saya.

Pas iku memang kami dilarang belajar baca, apalagi belajar agama, Lan. Saya langsung lari ke dalam rumah sambil bawa buku saya,” lanjut Kiai Somad. Aku diam seribu bahasa.

“Mulai saat itu, saya berjanji. Kalau saya wes gede nanti, saya akan meneruskan beliau, Lan.” Kiai Somad tersenyum.

Engkau telah menepati janjimu, Kiai, batinku dalam hati.

Malam ini jadwal mengajar Kiai Somad di langgar pesantren, seluruh santri telah berkumpul di sana. Kitab Bughyatul Mustarsyidin karya Al Habib Abdurrahman Al Masyhur terbuka di pangkuan mereka. Aku memilih duduk di shaf depan. Kiai Somad datang dan duduk di tengah-tengah kami.

Beliau memulai pengajiannya dengan tawassul, basmalah, dan hamdalah. Para santri diam dan dibuat mendengarkan.

Kiai Somad membaca kitab, diterjemahkan ke Bahasa Jawa.

Tiba-tiba saja Salim datang sambil membawa secangkir kopi hitam. Entah dari mana asalnya, Salim meletakkan cangkir tadi

146 Secangkir Kopi Hitam

di dekat Kiai Somad, kemudian kembali ke tempat duduknya.

Kami masih fokus menyimak Kiai Somad. Beliau sesekali meneguk kopi hitamnya.

Tiba-tiba badan Kiai Somad miring dan jatuh ke lantai tak sadarkan diri. Kami terkejut dan spontan mendekati beliau, mencoba membangunkan tubuh sang pahlawan tanpa tanda jasa ini, tapi hasilnya nihil.

Pikiranku melayang. Bayangan seseorang berkelebat di pikiranku. Salim! Dan ... kopi hitamnya!

Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh ruangan

dan tidak menemukannya. Aku meminta santri lainnya untuk membawa Kiai ke rumah sakit terdekat. Aku berlari mencari Salim di sekitar pondok, tapi tidak menemukannya.

Hanya ada satu jalan akses keluar pondok, yaitu jalan sempit bertanah kuning. Sisanya dikelilingi hutan belantara.

Salim pasti lewat sini, batinku.

Aku terus berlari ditemani lentera kecil di tanganku, menelusuri jalan sempit sendirian, langkah demi langkah.

Kakiku basah menginjak tanah kuning becek ini, karena kemarin malam turun hujan. Di ujung jalan sana, ada setitik cahaya api, seperti ada yang sedang menghangatkan diri. Aku memberanikan diri mendekati cahaya itu. Aku harus siap, apa pun resikonya. Entah itu memang Salim atau malah tentara sipit itu. Dan aku ternyata mengenal sosok itu.

“Salim!”

Dia terkejut melihat kedatanganku yang tanpa aba-aba, dia sendirian.

“Ngapain kamu di sini, Lan?”

“Kau yang kenapa? Kenapa kau lakukan itu pada Kiai

Banat Dalwa x Litime 147

Somad?” Aku langsung saja.

Dia diam sebentar.

“Ibuku hilang gara-gara Kiai Somad, Lan,” jawabnya.

Aku terpaku.

“Dia menuduh ibuku komunis, Lan. Akhirnya Ibuku ditangkap. Aku nggak tau keadaannya sekarang,” lanjutnya.

Malam ini sangat sunyi, langit sunyi bertabur bintang. Angin sesekali menggoyangkan rambut kami. Aku masih berdiri.

“Sudahlah, Lan. Aku harus pergi mencari ibuku. Tolong, jangan cari aku lagi. Pulanglah!” pinta Salim, lalu memadamkan apinya.

“Maafkan aku, Lan.”

Sosok itu langsung pergi menghilang ditelan malam. Aku memutuskan untuk berhenti mengejarnya. Aku harus pulang.

# # #

Pagi ini Kiai Somad baru siuman. Beliau berbaring di atas ranjang rumah sakit. Aku berada di sampingnya, pikiranku masih kacau.

“Ono opo, Lan?” tanya Kiai Somad. Khayalanku buyar.

“Kiai.” Aku mencoba menarik napas, perlahan.

“Salim, yo?” tebak Kiai, namun tepat sasaran.

“Inggih, Kiai,” jawabku. Kepalaku tunduk.

“Iki hanya salah faham, Lan,” tegas Kiai Somad.

“Maksudnya, Kiai?”

“Duh, Salim hanya tinggal berdua sama ibunya. Ibunya sering metu tanpa sepengetahuannya. Ibunya komunis, Lan.

Ibunya ikut bergabung bareng poro komunis lainnya, mencoba untuk ngeganggu pesantren iki, Lan. Akhirnya, ibunya

148 Secangkir Kopi Hitam

ditangkap dan saya membawa Salim ke pesantren iki.”

“Dia juga tidak berniat membunuh saya, Lan.”

“Bagaimana bisa, Kiai? Sedangkan dia jelas-jelas memberi Kiai kopi beracun.”

“Iku bukan racun, Lan. Tadi dokter bilang, itu hanya obat pingsan sementara. Koyo bius pas operasi. Salim nggak berniat membunuh saya,” jelas Kiai Somad.

“Suatu saat dia bakal kembali lagi ke sini, Lan. Dia bakal tau sopo ibune dan menemukan makamnya di sini.”

“Inggih, Kiai.”

# # #

Waktu menunjukkan pukul 17.50. Adzan Maghrib berkumandang. Aku masih duduk di sini. Matahari sudah tenggelam, langit menggelap, angin sepoi-sepoi masih bertiup, bulan sabit tampak dari atas sana.

“Lan, sudah adzan. Yuk, sholat jama’ah! Ditunggu Kiai tuh.”

“Oke, Lim!”

Aku dan Salim pergi ke tempat wudhu, bersiap-siap untuk sholat Maghrib berjama’ah. Kenangan itu kembali tersimpan rapi di memoriku.

Buku ini akhirnya sampai di ujung. Ditulis lama, selesai sebentar. Kadang yang dikerjakan bertahun-tahun memang cuma butuh beberapa jam untuk dibaca, beberapa detik untuk dilupakan, atau—kalau beruntung—selamanya untuk diingat.

Terima kasih sudah meluangkan waktu. Kalau ada yang berkesan, semoga menetap. Kalau ada yang terasa janggal, anggap saja hiburan. Kalau ada yang mengganggu, lupakan.

Dalam dokumen Secangkir Kopi Hitam by Litime Dalwa.pdf (Halaman 128-150)

Dokumen terkait