Banat Dalwa x Litime 111
112 Secangkir Kopi Hitam
pertama menahan napasnya. Udara dalam ruangan memberat.
“Lanjutkan besok.” Sultanah mengakhiri pembicaraan dengan singkat, sebelum dirinya menyingkap selendangnya untuk mangkal dari ruang kerjanya. Tiga penasihat, abdi-abdinya dan pengawal bertombak mengekori Sultanah menuju ruang makan Istana.
Di depan pintu kayu berukir yang besar dan megah ruang makan, Sultanah berhenti memanggil gadis abdinya untuk merapikan jubahnya dan memasang mahkota bertahtakan hablur-hablur mengkilau yang ia lepas ketika bekerja. Dua pengawal membuka pintu dan mengumumkan kedatangan Sultanah. Rombongan tidak ikut masuk karena pertemuan bersifat pribadi, mereka berjejer di dekat pintu bergabung dengan rombongan anggota kerajaan lain yang sudah menunggu lebih dulu. Kecualis gadis abdi yang memang dekat dengan Sultanah dan diperintah masuk untuk membantu Sultanah.
“Maaf atas keterlambatan ini.” Dibantu abdinya, Sultanah duduk di satu-satunya bangku yang kosong. Di seberang sana ada suaminya, sang Raja, tiga putra dan dua putrinya duduk tegak dengan sikap yang sesuai tata krama yang diajarkan pada mereka.
Dengan titah Raja, abdi-abdi masuk membawa hidangan yang beraneka ragam dalam nampan-nampan emas. Minuman- minuman yang menyegarkan dituang. Dari balik tirai alunan musik mulai dimainkan oleh para pemetik. Makan-makan berlangsung sunyi, tidak ada yang berbicara, kelima anak Sultanah pun diam membisu, menundukkan kepalanya untuk makan dengan sopan. Diam-diam Raja mengeluh, kekakuan ini yang tak berisi kehangatan sekelompok keluarga. Makna keluarga seolah dilupakan oleh istri dan anak-anaknya.
Banat Dalwa x Litime 113
Semuanya penuh dengan kepalsuan. Raja menatap Sultanah yang makan dengan penuh keanggunan, gerakannya seolah tak bercela, semua sesuai dengan porsi seorang Ratu, sempurna.
Namun, Raja mengetahui bagian dari Sultanah yang tak benar, Sultanah keliru akan satu hal.
#
Di kamar, Raja dan Sultanah sibuk membersihkan diri di ruangan terpisah dengan bantuan para abdi masing- masing.
Sultanah melepas mahkota, selendang dan jubahnya, sebelumnya ia lebih dulu menghapus riasan tebal yang memberatkan wajahnya. Kemudian ia memasuki kolam kecil berisi air hangat dengan campuran herbal-herbal yang wangi juga menenangkan. Abdinya mulai memijat dan menggosok tubuhnya. Lentera dengan api kecil digantung di beberapa sudut kamar, tirai-tirai tipis menutupi balkon, angin lembut padang pasir membawa sedikit butiran pasir sampai ke istana, tapi angin lembut di malam hari cukup nyaman, begitulah balkon dibiarkan terbuka dengan tirai yang menutupinya.
Tersisa Raja dan Sultanah ketika para abdi sudah keluar.
Keduanya menaiki ranjang yang cukup besar, segera tidur karena seharian cukup lelah mengurus masalah negara yang tak ada habisnya.
“Sultanah, sepertinya dirimu terlalu sibuk akhir-akhir ini.”
Raja membuka pembicaraan, mengurungkan Sultanah yang hendak berbaring.
“Hanya mengurus masalah pertanian yang sedang kacau,”
jawab Sultanah singkat, tidak mau terlalu diperinci. Sedari dulu dia begitu hanya menjawab poin penting, membicarakan yang perlu dan tidak terlalu bertele-tele, tak terkecuali jika berbincang dengan sang Raja.
114 Secangkir Kopi Hitam
“Aku tau kau sibuk, aku pun sama halnya begitu. Aku tak pernah memintamu untuk ikut mengurus negara, aku lebih senang jika kau sibuk menyenangkan dirimu sendiri atau mungkin menemani anak-anak.”
Sultan yang tau ke mana arah pembicaraan sedikit berwajah masam. Negara ini adalah negara ayah dan kakeknya, mimpinya sedari kecil juga menjadi seseorang yang mengurus negara, memimpin dan mencintai rakyatnya. “Raja tak perlu khawatir, hamba melakukan sesuatu yang diinginkan, tidak dipaksa dan suka rela.”
Raja bangkit, mengambil jubah dan menyampirkan di kedua bahunya. “Perang akan dilaksanakan tiga hari lagi, kuharap Sultanah mau memperhatikan anak-anak setelah aku pergi untuk memimpin pasukan. Aku tak pernah meminta banyak hal darimu. Sekali saja, Sultanah, aku meminta hak ini padamu, untuk pertama dan terakhir kalinya.” Kemudian Raja berjalan keluar, saat membuka pintu Sultanah mendengar suara Raja yang seolah terbawa angin. “Tidurlah lebih dulu, aku akan memeriksa kolam istana yang baru dibuat, selamat malam.”
Malam itu Sultanah terjaga, memikirkan kata-kata Raja.
Apakah ia membuat kesalahan sehingga Raja memberinya peringatan. Tapi Sultanah ikut andil atas semua urusan anak- anaknya, bukannya ia tidak peduli. Dirinya memberi kehidupan yang nyaman untuk para pangeran dan putri, Sultanah tak pernah membiarkan mereka sengsara. Sejak lahir anak-anaknya sudah merasakan kemewahan, barang-barang merka selalu berkualitas tinggi. Pendidikan mereka adalah yang terbaik dari guru-guru paling handal di bidangnya masing-masing. Maka di manakah letak kesalahannya ketika bersangkutan dengan anak- anak yang ia lahirkan sendiri penuh perjuangan.
Banat Dalwa x Litime 115
Malam itu juga, Raja tak kembali. Sultanah pun tidak bisa tidur sampai abdinya membangunkannya di pagi hari.
#
Tiga hari kemudian, diadakan upacara pemberkatan untuk pasukan yang akan berangkat. Meski bukan pertama kalinya berperang, namun Sultanah tetap khawatir untuk Raja. Apalagi tiga hari belakangan tidak banyak interaksi yang terjadi antara Sultanah dan Raja, ada sedikit kesenjangan sejak malam Raja meninggalkan Sultanah, sejak topik tentang ranah Sultanah dan anak-anaknya dibicarakan.
Sultanah memberi banyak berkat untuk Raja, dari ucapan- ucapan sampai pemberian jimat mahal penangkal marabahaya.
Setelah selesai, Sultanah kembali memusatkan dirinya untuk mengurus masalah-masalah yang bermunculan di ruang kerjanya.
Pangeran Asad, pangeran pertama dan putra mahkota yang baru berumur 17 tahun mengunjungi Sultanah yang berada di perpustakaan pada malam hari. Sultanah yang sedang memeriksa naskah-naskah kuno kerajaan kemudian berhenti ketika anak pertamanya mengunjunginya. Kunjungan yang jarang terjadi, Sultanah bertanya-tanya apa yang akan dibicarakan oleh putra mahkota.
Para abdi segera menggelar bantal-bantal yang berisi bulu angsa untuk tempat duduk keduanya, meja panjang ditaruh, kudapan ringan segera disajikan serta cangkir emas di tuang minuman yang menyegarkan.
“Ada apa pangeran kemari?” tanya Sultanah sesudah meminum sari buah dingin.
“Hanya ingin menemani Ibunda jika diizinkan.” Putra mahkota menjawab, tapi jawabannya memang sesuai dengan
116 Secangkir Kopi Hitam
keinginannya mendatangi Sultanah.
“Apa yang tidak diberi izin jika itu adalah permintaan.”
Sultanah menjawab hangat. Ia menatap Pangeran Asad yang juga menatapnya. Suasana terasa sangat menenangkan dengan obor-obor yang menjadi penerang. Aliran pembicaraan
mengalir dengan lembut, tak ada pembahasan kaku tentang politik yang berat atau keputusan-keputusan menyangkut hidup dan mati. Untuk pertama kalinya Sultanah bisa bersantai, jaringan-jaringan uratnya yang biasa menegang kini mengendur.
Pangeran Asad yang pandai mencari topik terus-terusan membicarakan keseharian Sultanah atau tentang keindahan negara-negara jauh yang seolah penuh mimpi. Mereka hanya membicarakan tentang kesenangan dan kebahagiaan kudapan di atas meja diganti setiap uap panas menghilang dan minuman dituang setiap kali habis. Selesai berbincang, Pangeran Asad mengantarkan Sultanah kembali ke kamarnya, mereka berpisah setelah saling bertukar salam.
#
“Sultanah!” Penasihat Ratu berjalan tergesa ke arah
Sultanah yang sedang berbincang dengan para Arsitek untuk membahas tentang pembangunan Istana musim panas yang baru.
“Penasihat, berbicaralah dengan tenang.” Sultanah sedikit mengingatkan ketika penasihat yang sudah berumur itu melupakan protokol kesopanannya, walaupun hal ini jarang terjadi jika tidak ada yang mendesak.
“Bagindaku, ada kabar buruk dari selatan.” Ketika mendengar ucapan penasihat Sultanah tau ada hal buruk menimpa sang Raja. Segera ia mengusir semua Arsitek yang
Banat Dalwa x Litime 117
diundangnya juga tak lupa para Abdinya, menyisakan penasihat yang berwajah mendung.
“Katakanlah, ada apa dengan Raja?” tanya Sultanah
mendesak firasat buruk membuat kedua alisnya yang terjalin rapi bertaut.
“Racun, seorang musuh berhasil menyusup ke Istana dan meracuni Raja.” Penasihat berusaha menenangkan suaranya sendiri yang tergagap oleh berita mengerikan yang ia bawa.
“Siapa saja yang mengetahui hal ini?”
“Hanya Jenderal dan Menteri peperangan yang berada di sana, juga Abdi-abdi setia Raja.”
“Bagus, sekarang mari kita pergi ke selatan.”
Begitu titah diucap oleh Sultanah, segera kuda-kuda paling cepat dipersiapkan untuk perjalan yang mendesak. Sultanah menyerahkan urusan negara pada penasihatnya dan Pangeran Asad sebagai Putra Mahkota dalih mempersiapkan diri menjadi pemimpin.
#
Istana hijau adalah Istana yang dibangun di perbatasan sebelah selatan, berbatasan dengan negara selatan. Negara kecil yang akhir-akhir ini mendeklarasikan perang, negara kecil yang mampu membuat Raja yang juga seorang Jenderal dilemahkan.
“Bagindaku.” Sultanah menghampiri Raja yang lemah di pembaringan, wajahnya yang biasa membawa sosok tegas itu kini tampak putih pucat, keringat yang mengucur di dahinya selalu diseka oleh Abdi setianya. Sultanah memberi isyarat pada Abdi Raja dan mengambil kain lembut yang dipakai untuk menyeka keringatnya. Menggantikan para Abdi agar ia bisa berdua dengan Raja.
118 Secangkir Kopi Hitam
“Sultanah, engkau tak perlu datang.” Raja berucap lemah, matanya yang sudah tidak bisa melihat jelas menangkap sosok istrinya.
“Anda perlu istirahat sebentar, Aku akan mengambil alih peperangan ini.” Ada air mata yang berusaha ditahan dalam semua perhiasan tebal yang menutupi wajah cantiknya.
“Waktu tidak akan bertahan lama.” Dan Raja ini berharap kau menikmati hidup kau bersusah payah.
“Tidakkah engkau lelah, wahai Sultanahku. Raja hanya butuh pengobatan dan semua akan sembuh seperti sediakala.”
“Aku tau dan engkau tau melebihi para tabib yang mengobatiku.”
“Raja!”
“Anak-anak, kau perlu menjadi Ibu bagi mereka sebenar- benarnya Ibu. Bukan hanya memainkan peran saja, tapi sosok itu sendiri. Kau sudah menjadi Sultanah yang dicintai rakyatnya, kau sudah cukup baik sebagai istriku, maka kuharap kau pun menjadi Ibu bagi anak-anak kita, karena hanya dirimulah tempat pulang mereka.”
Sultanah menangis, sudah lama sejak ia menangis, bahkan ketika ayahnya meninggal ia tak menangis. Sultanah yang mewarisi sifat keras leluhurnya, menangis karena kesadaran yang baru hadir. Hatinya terbuka, setelah lama sekali terkunci dari perasaan-perasaan yang menurutnya melemahkan.
#
“Jangan biarkan para pasukan maupun musuh mendengar kabar bahwa Raja terluka. Atur ulang strategi dan semua siasat.
Tambahkan jumlah para prajurit. Jika kekurangan senjata, maka ambil dari gudang. Persediaan makan harus selalu tersedia,
Banat Dalwa x Litime 119
jangan sampai ada yang kelaparan.”
Untuk pertama kalinya seorang wanita memimpin peperangan, dengan bantuan para Jenderal dan Menteri
peperangan, dalam 3 hari mereka berhasil mengalahkan musuh.
Tak sampai di situ, Sultanah memerintahkan untuk merebut negara musuh, menjadikannya bagian dari negerinya.
Berita kemenangan berbarengan dengan berita kematian Raja. Seluruh rakyat berduka dan tidak bersenang-senang seperti ketika memenangkan suatu perang. Baju berkabung dikenakan, dupa-dupa dibakar, jalan-jalan dipenuhi kesedihan.
Setelah selesai memimpin upacara pemakaman dan upacara-upacara lainnya selama 10 hari, Sultanah menjadi satu- satunya pemimpin yang berkuasa. Menunggu sampai Putra Mahkota siap menjadi pengganti Raja.
Suatu malam, Sultanah mengundang lima anaknya untuk makan malam bersama. Makan malam pertama tanpa sang Raja.
Sultanah, para pangeran dan putri menyapa sesuai tata
krama, menampilkan kesopanan yang tak memiliki kedekatan sebagai keluarga.
Sultanah tersenyum, sedikit pedih ia rasakan ketika ia
dipanggil begitu dingin oleh para anaknya. Dulu mungkin ia akan puas karena kesempurnaan yang dimiliki anak-anaknya, tapi sekarang ia begitu merasakan kelonggaran itu. Seharusnya tidak seperti ini hubungan yang disatukan darah, bukankah ratusan tata krama yang dipelajari begitu menghilangkan kedekatan antara Ibu dan anak.
“Duduklah anak-anakku, pangeran dan putri kerajaan.”
Ketika pangeran dan putri mendengar ajakan Sultanah yang tak biasanya, kepala mereka hampir terangkat, kalau saja bukan
120 Secangkir Kopi Hitam
karena latihan-latihan berat yang mereka jalani demi mampu menerapkan semua protokol kerajaan dengan sempurna.
Sekali lagi keheningan menyesakkan dada Ratu, anak- anaknya makan dengan tenang, sama sekali tidak menimbulkan suara yang tidak perlu, dengan gerakan yang seperti boneka digerakkan. Setelah para Abdi membawa kembali peralatan makan, Sultanah meminta kelima anaknya tetap tinggal.
“Siapa aku?” Pertanyaan tiba-tiba Sultanah membuat kelima anaknya membeku, jenis pertanyaan apakah ini.
“Baginda adalah Sultanah kami, Ratu yang memimpin kerajaan ini,” jawab Pangeran Asad, berharap jawabannya memuaskan Sultanah.
“Salah, aku tidak hanya Sultanah, aku juga seorang Istri dan juga seorang Ibu.” Pernyataan yang diucap Sultanah menambah kebingungan kelima anaknya. Seorang Ibu? Bukankah Sultanah yang berkata untuk tidak terlalu sering memanggil dengan panggilan yang intim? Ibu merekalah yang menciptakan jarak di antara mereka. Ibu yang mereka rindukan, Ibu yang membuat mereka berharap untuk menjadi seseorang yang bukan anggota Kerajaan.
Tiga pangeran dan dua putri terdiam, mengiris hati Sultanah yang tak mendapat respon.
“Panggil aku Ibu. Kalian adalah anak-anakku, aku yang melahirkan kalian setelah mengandung kalian berbulan-
bulan lamanya. Aku terlalu sibuk dulu, sekarang kuharap kita bisa bersatu sebagai keluarga. Raja telah pergi, maka dari itu bergantunglah padaku. Untuk yang lalu, Ibu berharap kalau mau memberiku maaf.”
Kelima anaknya saling melirik satu sama lain, lalu muncul senyuman di bibir mereka. Putri Neftiye, anak paling muda
Banat Dalwa x Litime 121
bahkan menangis. Dia kemudian beranjak dari kursinya, menghampiri Sultanah dan memeluknya. Tidak ada permintaan lain yang paling ia inginkan selain memeluk sosok ibunya.
Begitulah makan malam diakhiri dengan tangisan bahagia, semoga Sultanah dan keluarganya hidup dengan kebahagiaan.
Menu ke-10
Bidadari Hidup - Juang - Karena Cadar
Bidadari Hidup
Sosok mulia berhati surga Nan rela mengorbankan jiwa raga Bahagia walau sedikit terpaksa
Agar permata hatinya bisa memijak dunia
Tetesan keringat yang ia jatuhkan Tak pernah kembali ia pertanyakan Selalu ketulusan dan kasih yang dicurahkan Bahkan menjadi bintang dalam kegelapan Sang penyemangat ketika buah hatinya iba Bahkan pelindung kala bencana bahaya Sosok pendidik di langkah sekolah pertama Mentutur cinta serta rahmat dari Allah Ta’ala Jasa yang tak dapat ditukar dengan harta Kasih sayangnya melebihi luasnya angkasa Pencurah pengorbanan tak terhingga
Senyuman hangatnya penenang bagi tiap jiwa
Syf. Jihan Al Habsyi
Oh ibu, bidadari mulia pujian tiap insan ...
Pahlawan yang tak pernah kesiangan Tokoh penting dalam ranting kehidupan Engkaulah lentera dari tiap bayangan
Wanita hebat tanpa perlu mahkota gemerlap Bahkan gelar dan namanya diabadikan baginda Doa dan ridhonya menjadi sayap
Akan jalan indah menuju surga-Nya
Juang
tenggelam di tengah lautan sunyi, sepi di dalam kesendirian canda, tawa selalu kualami luka, perihpun mulai aku dapati
menyendiri membuat diriku tersakiti menghilang di dalam kepiluan ini merajut asa yang tak akan pernah ada mencoba bangkit dari dunia yang fana perasaanku kian suram dalam kesepian duniaku mulai terhimpit oleh kesunyian kehidupanpun runtuh dengan kenyataan sehingga aku hilang ditelan kegelapan
dengan tekad kumelangkah mencoba memperbaiki masalah segala cara mulai kucoba
hingga aku berserah diri dengan berdo’a
Syf. Syalaisya Amani al-Qodry
pada akhirnya
aku bisa memperbaiki semua
walaupun perjuanganku tak mulus
tapi aku tak akan pernah putus
128 Secangkir Kopi Hitam