• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peluk yang Tak Sampai

Dalam dokumen Secangkir Kopi Hitam by Litime Dalwa.pdf (Halaman 102-112)

100 Secangkir Kopi Hitam

Banat Dalwa x Litime 101

Namanya Reyhan Dzaki Adnan, aku bertemu dengannya setahun yang lalu. Toko roti milik Bu Arum menjadi latar cerita. Kebetulan, akulah salah seorang pelanggan kala itu, dengan ia sebagai kasirnya.

Aku masih ingat saat pertama kali kami bertemu. Bagaimana senyum sumringah yang tak lepas dari rautnya, yang beberapa hari lalu baru kutahu bahwa senyum itu hanya disunggingkan padaku. Lalu tangan besarnya dengan cekatan membungkus roti-roti hangat pilihanku ke kantong kertas. Kemudian dengan cekatan pula memasukkan ke kantong plastik berlogo toko roti tersebut.

Seminggu setelah pertemuan itu, Bu Arum yang memang langgananku bertamu ke rumah. Ia berbincang ringan denganku dan Ibu, disuguhi secangkir teh dan beberapa biskuit.

Setelah agak berbasa-basi. Ia pun berterus terang tentang alasannya bertamu adalah untuk menyampaikan salam dari si kasir toko roti.

“Untukku?” Aku agak terkejut karena tak mengenal si penjaga kasir tersebut.

Bu Arum mengiyakan. Lantas bercerita bahwa penjaga kasir tersebut adalah keponakannya. Bu Arum tertawa dan bercerita bagaimana keponakannya itu menggebu-gebu bertanya tentang gadis dengan kerudung abu muda yang tadi ia layani. Lantas mengatakan bahwa ia menyukai gadis tersebut.

Ibuku tersenyum. Kemudian mengirim salam kembali untuk si penjaga kasir, untuk berkunjung ke rumah dan berkenalan denganku.

Pipiku bersemu kala itu, saat ia sungguh-sungguh berkunjung ke rumah, berkenalan denganku, ayah dan ibu. Aku

102 Secangkir Kopi Hitam

masih ingat jelas saat pemuda berkemeja biru tua itu dengan santunnya berbincang dengan kedua orangtuaku. Dari sanalah, kedua orangtuaku memberi kepercayaan kepadanya untuk menjagaku.

Dari sana pula, kami mulai dekat, seringkali mencari kesempatan untuk bertemu di sela kesibukannya menjaga toko roti. Dengan dua buah cangkir kopi, biasanya kami saling bercerita.

Ia pun menceritakan bagaimana kedua orangtuanya mengalami kecelakaan beruntun yang membuatnya yatim piatu di usia 11 tahun. Mulai dari sana, ia dirawat oleh nenek dan pamannya. Syukurlah, keluarga Reyhan memang orang berpunya. Ia bisa melanjutkan sekolah hingga saat ini berkat ditanggung oleh sang paman yang pengusaha. Lalu di usianya yang kini menjajaki masa kuliah, sang paman menyuruhnya untuk melanjutkan studi di luar kota. Reyhan pun mengiyakan pamannya itu.

“Soal bekerja di toko roti?” Reyhan tertawa saat

pertanyaanku itu terlontar. “Paman menyuruhku mencari pengalaman sebelum berangkat ke kota orang,” jawabnya kala itu.

≠ ≠ ≠

Reyhan membenarkan letak jam tangannya sejenak.

“Jangan lupa untuk sering-sering berkunjung ke sini.” Aku mengingatkan.

Ia pun tersenyum. “Iya, Nadh,” jawabnya.

Tak lama, tangannya merogoh saku, ia mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna abu muda. Ia lantas tersenyum.

Banat Dalwa x Litime 103

“Ketika melihat warna kotak ini, aku teringat seorang pelanggan di toko roti. Namanya Nadhira Adiba dan aku menyukainya.”

Aku tersenyum mendengar penuturannya.

Reyhan

membuka kotak kecil tersebut, memperlihatkan cincin perak bermatakan kristal biru keunguan, sangat cantik.

“Aku tak bisa menjagamu selama aku pergi. Namun, aku percaya kau akan menjaga cincin ini.” Ia menatapku teduh tanpa aba-aba, bulir air mata mengalir di pipiku. Aku cepat- cepat menghapusnya.

Reyhan kembali terkekeh. “Maaf membuatmu menangis, Nadh.” Ia lantas mengisyaratkanku untuk mengambil cincin tersebut. Aku mengangguk, lantas mengambil dan memakainya di jari manis tangan kiri, tampak sangat pas di sana.

“Cantik,” ujarnya. Aku tersenyum.

“Baiklah, sepertinya Aku harus benar-benar berangkat

sekarang.” Reyhan melirik jam tangan di pergelangannya. Aku kembali mengangguk.

Wajah Reyhan yang tadinya sumringah berubah lemas perlahan.

“Maaf, tak bisa memelukmu. Akan kupeluk lain kali saat pernikahan telah mengikat kita.” Ia mulai menggeret koper Polo hitamnya. Aku mengangguk lagi, disertai beberapa bulir air mata. Aku melambai, ia lantas berangkat masuk ke dalam bandara, setelah membalas lambaianku.

Entah mengapa, aku agak berat melepas kepergiannya.

≠ ≠ ≠

104 Secangkir Kopi Hitam

Aku merebahkan tubuh di kasur setelah puas mencuci piring makan malam. Sejenak, kupejamkan mata sambil mengingat- ingat saat-saat bersama Reyhan. Padahal baru saja ia berangkat sore tadi dan aku sudah merindukannya kini.

Kunyalakan tombol hijau di remot televisi untuk mengusir sepi. Tak berselang lama, ponselku berbunyi, tanda panggilan masuk. Segera saja kulihat nama penelepon tersebut.

Ah ... itu Bu Arum. “Hallo, assalamu’alaikum, Bu.”

“Nadhira ...” Suara Bu Arum terdengar bergetar di seberang sana. “... Pesawat yang Reyhan tunggangi … j- jatuh ....” Lalu disusul suara Bu Arum yang menangis.

Aku masih tak mengerti, ini terlalu cepat untuk kucerna.

Aku tak percaya. “Apa? Apa Bu ....”

“Coba lihat berita di televisi, Nak.”

Sambungan telepon kumatikan sepihak. Lantas kuganti channel TV tersebut ke channel berita.

Remot televisi itu tanpa sengaja terjatuh dari genggamanku ketika penyiar berita berbicara.

Badanku melemas, mataku memanas, kututup mulutku

dengan kedua telapak tangan sedang badanku jatuh terduduk.

Kupandang cincin pemberian Reyhan itu. Lantas teringat lambaiannya tadi.

“Bohong ....” Suaraku bergetar. “R … Reyhan ....”

“Pesawat White Air dengan nomor penerbangan MD305 tujuan Sumatra – Jakarta jatuh di perairan Jawa.” Penyiar berita bersuara.

Banat Dalwa x Litime 105

- dari Nadhira untuk Reyhan

Hari itu kamu belum bisa memelukku, dengan kepergianmu hanya kenangan kita yang bisa kupeluk sendiri. Ayo berpelukan kala bertemu di keabadian.

Menu ke-9

Harimau-mu - Tetap - Sultanah

108

Harimau-mu

Ia bagai Harimau buas Yang berlagak tak pernah puas Yang terlihat seperti raja

Tapi tiap kata tak dipikir dan dieja Jaga daging tak bertulangmu Ia memang pandai bersilat

Tapi jangan jadikan ia sebagai temanmu Bisa saja ia jadi pedang yang membunuhmu Padahal ... sudah tertutup dua penghalang Tapi ia sungguh licik tak terhalang

Mungkin karenanya sudah banyak yang terluka Karena kata yang tak terteka

Walaupun tak menyakitkan, manis pun ia ucapkan Jangan terlalu percaya setiap kata-katanya

Mungkin itu hanya sekedar bualan Agar terlihat lebih berkesan

Tazkia Awwani_ Dalwa.271222

Aku hanya sekedar mengingatkan Karena kita bukan lawan Sebab...

banyak yang tergelincir karena lisan

Bukan karena kaki yang berjalan

110 Secangkir Kopi Hitam

Tetap

(hollonim)

Aku pulang merebahkan diri Di atas ranjang memejam mata Walau hanya sejam

Aku pulang menyendok nasi Dua tiga suap

Merintih sebab perih perut Belum sempat terisi

Aku pulang

Kini rumahku tak lagi nyaman Pelarian juga bukan jalan Aku tetap kembali pulang

Banat Dalwa x Litime 111

Dalam dokumen Secangkir Kopi Hitam by Litime Dalwa.pdf (Halaman 102-112)

Dokumen terkait