• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sabina Findapatri

Natania berjalan memasuki kamarnya dengan wajah tertekuk, senyuman manis yang biasanya menghiasi wajahnya menghilang seketika. Lagi dan lagi, alasan mengapa senyuman Natania menghilang adalah Natasya. Yeah, Natasya Azelia a.k.a adik sambung Natania Kalista adalah penyebab hilangnya senyuman manis itu.

Seperti yang sudah-sudah, Natasya selalu menyusahkan

Natania dengan segala macam tugas dan tingkah lakunya di sekolah. Natania dan Natasya bersekolah di sekolah yang sama.

Hanya saja, Natania kelas 12 IPA1 sedangkan Natasya kelas 11 MIPA1.

Hari ini, ketika di sekolah lagi-lagi Natania dipanggil oleh ketua ekstrakulikuler teater Natasya. Dia diminta tolong untuk membujuk adiknya itu agar mau mengikuti lomba antar sekolah yang dua minggu lagi akan diadakan. Natania pusing tujuh keliling, kenapa harus dia? Kenapa selalu dia? Kenapa hanya dia? Natania menenggelamkan wajahnya ke dalam bantal. Dia sangat lelah, jujur saja.

Pintu kamar Natania diketuk, dengan sangat malas Natania bangkit dari kasurnya untuk membukakan pintu.

Banat Dalwa x Litime 67

“Natania, ayo makan siang dulu, Mama tau Natania pasti lapar.”

Natania menarik kedua sudut bibirnya, dia tersenyum

manis kepada wanita cantik yang tampak mirip dengan Natasya itu.

“Mama tau aja kalau Natania laper,” ucapnya sambil memeluk wanita cantik itu. Mereka berdua pun melangkah menuju meja makan untuk makan siang bersama-sama.

Di tengah-tengah makan, tiba-tiba Natasya datang dengan wajah tertekuk. Gadis itu langsung menenggak air putih yang ada di gelas sampai habis.

“Natasya capek banget Ma, Kak Nia, Pak Denis ngasih tugas mulu!” keluhnya yang dihadiahi gelengan kepala oleh Melisa dan Natania. Selalu seperti ini. Natasya akan pulang dengan sejuta keluhannya yang akan berujung dengan terjerambabnya Natania ke dalam sejuta keluhan itu. Ujung-ujungnya pasti Natasya akan meminta bantuannya dan lagi-lagi gadis itu pasti langsung pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Yeah, hal itu akan terus terulang bagaikan kaset rusak.

Natania tentunya akan senang hati membantu Natasya, walau mereka berbeda Ibu, tapi mereka tetaplah saudara. Ibu Natania sudah meninggal delapan tahun lalu, karena kesulitan untuk mengurus Natania sendirian, ayahnya menikah lagi dengan janda beranak satu, yaitu Melisa. Sejak saat itu, Natania menjadi kakaknya Natasya. Natania menyayangi Natasya, semua orang bahkan seantero sekolah, mengetahui hal itu. Namun, Natania sangat membenci satu sifat Natasya yang selalu menyusahkan dirinya. Ah, andai saja dia tidak menyayangi gadis itu, pasti sudah dia caci maki habis-habisan.

68 Secangkir Kopi Hitam

Natania tidak menginginkan apa pun dari Natasya, hanya dengan gadis itu mengucapkan kata terima kasih saja sudah lebih dari cukup.

“Kak Nia, bantuin aku ngerjain tugas ya? Please ...”

Natasya menggenggam tangan Natania. Nah kan, pasti ujung-ujungnya dia yang akan kena imbasnya.

“Natasya, Kak Nia, gak bisa terus-terusan bantuin kamu, dia juga punya kesibukan sendiri, dia sudah kelas 12, sebentar lagi lulus, tugas-tugas dia itu pasti banyak banget.” Melisa mencoba untuk menolong Natania. Dia tau Natania akan sulit menolak permintaan adik sambungnya itu.

“Tapi, Ma ... Natasya cepat paham kalo Kak Nia yang ngejelasin. Natasya cepet paham kok, Ma. Iya kan, Kak?”

Natania hanya mengangguk dan berujung dengan dia membantu Natasya mengerjakan tugasnya.

“Akhirnya selesai juga ... hoam ... aku ngantuk banget, Kak.

Aku ke kamarku dulu ya, Kak. Night, Kak Nia.”

Natasya keluar dari kamar Natania tanpa mengucapkan

kata terima kasih. Natania tersenyum miris, sesulit itukah untuk mengucapkan kata terima kasih?

Keesokan harinya ...

Natania bersiap untuk berangkat sekolah, baru saja ia akan menjalankan motor matic-nya, tiba-tiba Natasya mencegatnya.

“Stoopp! Aku nebeng dong, Kak, motor aku mogok, nih.”

Natasya menyengir lebar di depan Natania, membuat gadis itu tak dapat menolaknya.

“Cepetan naik! Ntar telat!”

Mereka pun berangkat menuju sekolah. Saat sudah sampai lagi-lagi Natasya pergi tanpa mengucapkan kata terima kasih.

Banat Dalwa x Litime 69

Natania menghela napas lelah. Haruskah dia tegur adiknya itu?

Tapi, itu kan terkesan seperti mengemis kata terima kasih.

Tidak! Dia tidak menginginkan hal itu.

Natania pun berjalan menuju kelasnya, gadis itu menarik kedua sudut bibirnya agar senyuman tampak di wajahnya.

Semua berjalan seperti biasa, sampai di saat pulang sekolah, Natania mendengar kabar bahwa adik sambungnya, Natasya Azelia terjatuh di tangga sehingga salah satu kakinya patah dan dibawa ke rumah sakit terdekat.

Natania panik? Tentu saja dia sangat khawatir dengan

keadaan adiknya itu. Baru saja Natania ingin pergi ke rumah sakit itu, ia sudah ditelepon oleh Melisa.

“Natania, Natasya ....”

“Natasya jatuh dari tangga Ma, kata teman Natania dia lagi di rumah sakit di deket sekolah.”

“Iya, Nak, Mama udah dikasih tahu sama pihak sekolah.

Kamu jangan panik, Natasya udah pulang ke rumah. Kaki Natasya udah digips sama dokter dan dia langsung minta pulang. Jadi, Natania gak usah ke rumah sakit ya, Nak.”

“Iya Ma, Natania langsung pulang ke rumah.”

“Hati-hati di jalan ya, Sayang.”

“Iya Ma, makasih banyak.”

Sambungan pun diputus oleh Melisa. Natasya melega, dia bersyukur adiknya sudah di rumah bersama dengan Mamanya.

Natania melirik jam digital yang melingkar di tangan kanannya.

Pukul 16.00 PM. Cepat-cepat Natania pulang ke rumahnya untuk melihat keadaan Natasya.

Sesampainya di rumah, Natania langsung menghampiri Natasya kemudian menanyakan keadaannya.

70 Secangkir Kopi Hitam

“Kamu gak apa-apa, Sya?” ucap Natania dengan penuh kekhawatiran.

“Gak apa-apa kok, Kak Nia, Aku cuma jatuh dari tangga.”

balasnya sambil tersenyum kecil.

Natania menggelengkan kepalanya, dia tidak habis pikir dengan Natasya.

“Kak, kata dokter aku belum bisa jalan sampai satu bulan, soalnya tulang aku retak.”

Natania tidak merespon, dia tau Natasya masih ingin melanjutkan ucapannya.

“Hm ... bentar lagi aku akan ikut lomba mewakili sekolah, tapi aku belum bisa jalan, Kakak mau gak gantiin aku di theater? Peranku gak susah kok, Kak, aku yakin gak nyampe satu minggu Kakak pasti udah nguasain peran itu.”

Natania terdiam, ekspresi wajahnya kaku. Siapa pun yang melihatnya pasti tau kalau Natania tidak menyukai pembahasan ini.

“Kamu istirahat gih, Kakak juga mau istirahat,” ucap Natania datar, kemudian keluar dari kamar Natasya.

Natania menenggelamkan wajahnya ke dalam bantal, dia harus bagaimana? Jika dia iyakan, dia akan terbebani. Tapi, jika tidak, sekolah akan kesulitan untuk mencari pengganti.

“Ah ... aku harus gimana?” keluhnya.

Jarum jam terus bergerak ke arah kanan sehingga

menandakan bahwa waktu terus berjalan. Setiap detik berubah menjadi menit, setiap menit berubah menjadi jam dan setiap jam berubah menjadi hari. Tak terasa, hari demi hari berlalu.

Dan hari ini ... adalah hari di mana lomba antar sekolah itu dilaksanakan. Natania melihat pantulan dirinya di kaca besar

Banat Dalwa x Litime 71

yang ada di ruang peserta lomba. Yeah, Natania memilih untuk menggantikan peran Natasya di club theater itu.

Natania menghirup udara sebanyak yang dia bisa.

Beberapa saat lagi, dia akan tampil mewakili sekolah. Persetan dengan menang atau kalah, Natania tidak peduli, toh dia sudah mengerahkan semua kemampuannya.

Lomba pun akhirnya selesai, Natania dan anggota theater lainnya saling memberi selamat atas kerja keras mereka selama dua minggu terakhir ini. Pemenang lomba akan diumumkan beberapa hari lagi, seluruh peserta pun akhirnya pulang ke rumahnya masing-masing.

Natania disambut oleh Melisa, Natasya dan Rendra –ayah Natania–mereka bertiga langsung memeluk Natania dengan sangat erat. Setelah mengucapkan selamat, pamit untuk masuk ke dalam kamarnya. Dia lelah dan ingin beristirahat.

Baru lima menit dia memejamkan mata, pintu kamarnya diketuk oleh seseorang.

“Kak Nia, aku masuk ya?” izin Natasya sebelum gadis itu masuk ke dalam kamar Natania. Natania duduk di atas kasur, menunggu Natasya mengutarakan maksud kedatangannya.

Natasya tersenyum manis kemudian berjalan tertatih dengan tongkat jalannya menuju Natania.

“Ini buat Kak Nia,” ucapnya sambil menyodorkan sebuah diary kecil yang langsung diterima oleh Natania.

“Thanks Kak Nia, maaf baru bisa ngucapin sekarang, di buku itu kakak bakal tau jawabannya kok.”

Setelah ngucapin itu, Natasya pergi. Namun, sebelumnya gadis itu mengecup pipi sang kakak. Membuat empunya terkejut atas perlakuannya barusan. Natania tersadar dari

72 Secangkir Kopi Hitam

“Hai, Kak Nia! Maaf ya baru berani ngucapin langsung ke kakak.

Untuk semua yang kakak lakuin buat aku, aku ucapin terima kasih yang sebesar-besarnya.

Maaf kalau aku suka nyusahin kakak.

Maaf juga kalo bikin kakak kesel.

Thanks For All, Kak Natania...”

keterkejutannya saat pintu kamarnya tertutup. Natania membuka diary kecil itu, di setiap lembaran tertulis hari, tanggal dan bulannya. Natania mulai membacanya satu persatu, perlahan air matanya menetes, mengalir di kedua pipinya. Di diary itu tertulis banyak sekali kata terima kasih yang Natasya peruntukkan untuk dirinya. Alasan mengapa gadis itu tidak pernah mengucapkannya adalah dia terlalu malu. Dia merasa kata terima kasih saja tak cukup untuk sang kakak.

Natania pun sampai di lembar yang terakhir. Dia tersenyum begitu lebar saat membacanya.

Natania tersenyum. Ternyata, selama ini dia salah. Natasya bahkan lebih dari satu kali mengucapkan kata terima kasih kepadanya.

“You’re welcome, Natasya,” ucapnya pelan.

Menu ke-6

Akhir - Hubadah Khodijah Al-Hinduan - Janji

Banat Dalwa x Litime 75

Akhir

Ada mereka yang ketika itu ...

Ada mereka yang ketika itu ...

Ada pula mereka yang ketika itu ...

Layar monitor menampilkan garis lurus Tubuh terbujur kaku, membiru nan kurus Syahadat terucap, bibir tersenyum tulus

Dahi menyatu di atas sajadah Ruh tercabut halus jama’ah

dan lisan yang terus meminta husnul khotimah Al Qur’an di tangan terjatuh

Dalam dekapan tubuh yang mulai membeku Lepas terlantun ayat-ayat suci yang dibaca selalu

76 Secangkir Kopi Hitam Syf. Nur Atika Assegaf Ya Allah biha

Ya Allah bihusnil khotimah ...

Ya Allah...

Kadang diri ini sadar

Akan gundukan dosa yang terus membesar Tapi lupa tuk terus istighfar

Aku malu pada Allahul Ghoffar Akankah diri ini layak

Tuk bisa melihat-Mu kelak

Dan bersanding dengan kekasih-Mu Muhammad Sang penyempurna akhlak Sedangkan aku tak tahu akhir hidupku, bahagia atau tidak

Banat Dalwa x Litime 77

Hubabah Khodijah Al-Hinduan

Nurul Hasanah Achmad

Melihat wajahmu bagaikan embun di pagi hari Bagai candu di malam hari

Mendung di kala musim panas Senja di kala petang

Pelangi di kala usai hujan Dan aroma petrikor di kala sendu

Bagai mentari yang bersinar setelah kegelapan Aku bertanya pada Tuhanku

Ya Rabb, sebahagia apa saat Engkau menciptakannya ? Karena memandang wajahnya

menjadi obat di hatiku yang kumuh Menjadi tenang otakku yang kalut

78 Secangkir Kopi Hitam

Dalam dokumen Secangkir Kopi Hitam by Litime Dalwa.pdf (Halaman 72-83)

Dokumen terkait