• Tidak ada hasil yang ditemukan

Selamat Datang - Digital Library

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Selamat Datang - Digital Library"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN TREFFINGER TERHADAP HIGHER ORDER THINKING SKILLS PESERTA DIDIK

KELAS V SEKOLAH DASAR

(Skripsi)

Oleh

TIARA FADILAH NPM 1813053086

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2022

(2)

ABSTRAK

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN TREFFINGER TERHADAP HIGHER ORDER THINKING SKILLS

PESERTA DIDIK KELAS V SEKOLAH DASAR

Oleh

TIARA FADILAH

Masalah dalam penelitian ini adalah rendahnya higher order thinking skills peserta didik kelas V di SD Negeri 1 Triharjo. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh penerapan model pembelajaran treffinger terhadap higher order thinking skills peserta didik. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian eksperimen dengan jenis penelitian kuantitatif dan desain penelitian pre-experimental design. Populasi berjumlah 115 dan sampel yang digunakan yaitu 26 peserta didik kelas VA. Teknik pengambilan sampel menggunakan cluster sampling. Teknik pengambilan data menggunakan tes dan dokumentasi. Uji hipotesis menggunakan uji t. Berdasarkan hasil penelitian ini terdapat pengaruh yang signifikan penerapan model pembelajaran treffinger terhadap higher order thinking skills peserta didik kelas V di SD Negeri 1 Triharjo yang ditunjukkan dengan nilai signifikansi sebesar 0.000 (p=<0,05).

Kata Kunci : higher order thinking skills, model pembelajaran treffinger

(3)

ABSTRACT

THE EFFECT OF THE TREFFINGER LEARNING MODEL ON THE HIGHER ORDER THINKING SKILLSOF

ELEMENTARY SCHOOL V CLASS STUDENTS

BY

TIARA FADILAH

The problem in this study is the low higher order thinking skills of fifth grade students at SD Negeri 1 Triharjo. This study aims to analyze the effect of the application of the treffinger learning model on the students' higher order thinking skills. The research method used is an experimental research method with quantitative research and pre-experimental design. The population is 115 and the sample used is 26 students in class VA. The sampling technique used was cluster sampling. Data collection techniques using tests and documentation. Hypothesis test using t test. Based on the results of this study, there is a significant effect the application of the treffinger learning model on the higher order thinking skills grade students at SD Negeri 1 Triharjo, which is indicated by a significance value of 0.000 (p = <0.05).

Keywords : higher order thinking skills, treffinger learning model

(4)

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN TREFFINGER TERHADAP HIGHER ORDER THINKING SKILLS PESERTA DIDIK

KELAS V SEKOLAH DASAR

Oleh

TIARA FADILAH

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN

Pada

Jurusan Ilmu Pendidikan

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2022

(5)
(6)
(7)
(8)

RIWAYAT HIDUP

Peneliti bernama Tiara Fadilah lahir di dusun

Hargomulyo Kabupaten Lampung Selatan, pada tanggal 02 November 2000. Peneliti adalah anak keempat dari empat bersaudara, dari pasangan Bapak M.Ali, Md dan Ibu Emilia.

Pendidikan formal yang pernah ditempuh peneliti :

1. Sekolah Dasar Negeri 2 Suban Kecamatan Merbau Mataram lulus 2006 – 2012

2. Sekolah Menengah Pertama Al – Kautsar Bandar Lampung lulus 2012 – 2015 3. Sekolah Menengah Atas Al – Kautsar Bandar Lampung lulus 2015 – 2018 Pada tahun 2018, peneliti diterima dan terdaftar sebagai mahasiswa program studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Jurusan Ilmu Pendidikan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN).

Pada tahun 2021, peneliti melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) dan praktik mengajar melalui Program Lapangan Terpadu (PLP) di desa Hargomulyo, Kecamatan Merbau Mataram, Kabupaten Lampung Selatan.

(9)

MOTTO

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”

(Q.S Al – Baqarah : 286)

(10)

PERSEMBAHAN

Bismillahirrohmanirrohim

Dengan mengucap puji syukur atas kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan shalawat Nabi Muhammad SAW, dengan kerendahan hati, saya persembahkan

sebuah karya ini kepada :

Kedua orangtua tercinta: Bapak M. Ali, Md dan Ibu Emilia yang selalu memberikan saya kasih sayang dengan penuh dan atas do’a baiknya sehingga

Guru dan Dosen yang telah berjasa memberikan bimbingan dan ilmu yang sangat berharga melalui ketulusan dan kesabaran.

SDN 1 Triharjo

Keluarga besar PGSD 2018

Almamater tercinta Universitas Lampung

(11)

SANWACANA

Alhamdulillahirrobilalamin, puji syukur kehadirat Allah Subhanahu wata’ala yang dengan rahmat dan hidayahnya, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi yang berjudul “Pengaruh Model Pembelajaran Treffinger terhadap Higher Order Thinking Skills Peserta Didik Kelas V Sekolah Dasar”. Peneliti berharap karya yang merupakan wujud kerja keras peneliti dapat memberikan manfaat

dikemudian hari. Serta tidak lupa peneliti berterimakasih kepada Ibu Prof. Dr.

Herpratiwi, M.Pd., selaku pembimbing 1 yang telah bersedia meluangkan waktu dan memberikan pelajaran selama membimbing, Ibu Amrina Izzatika, M.Pd., selaku pembimbing 2 yang telah bersedia membimbing dan memberikan pelajaran dan Ibu Dra. Erni, M.Pd., selaku pembahas yang telah memberikan bimbingan dan nasihat kepada peneliti.

Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Peneliti mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Dr. Mohammad Sofwan Effendi, M. Ed., selaku Pelaksana Tugas Rektor Universitas Lampung yang membantu mengesahkan ijazah dan gelar sarjana kami, sehingga peneliti termotivasi dalam penyelesaian skripsi ini.

2. Bapak Prof. Dr. Patuan Raja, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung yang membantu mengesahkan skripsi ini dan memfasilitasi administrasi dalam penyelesaian skripsi.

3. Bapak Dr. Riswandi M.Pd., selaku Ketua Jurusan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung yang menyetujui skripsi ini dan membantu memfasilitasi administrasi dalam penyelesaian skripsi.

4. Bapak Drs. Rapani, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung yang telah membantu memfasilitasi administrasi dan memberikan semangat serta motivasi dalam penyelesaian skripsi ini.

(12)

iii 5. Bapak dan ibu dosen serta Staff Pendidikan Guru Sekolah Dasar

Universitas Lampung.

6. Ibu kepala sekolah SDN 1 Triharjo dan wali kelas VA, VB dan VC yang telah menerima saya untuk melaksanakan penelitian di SDN 1 Triharjo Lampung Selatan.

7. Sahabat – sahabat saya Ade Maria Ulfa, Exy Pratiwi, Anggi Ayu, Wanda Hamidah, Rani Rahayu, Hanifah Ulfa, Charis Claudia, Dina Oktaviana, Shafhira Jhea, Rezka Hutami yang telah memberikan banyak pertolongan, suka duka, canda tawa, dan memberikan semangat disetiap proses selama penyusunan skripsi saya.

8. Semua pihak yang terlibat dalam proses penyelesaian skripsi ini.

Terimakasih.

Bandar Lampung, 19 September 2022 Peneliti

Tiara Fadilah NPM. 1813053086

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Identifikasi Masalah 6

C. Batasan Masalah 7

D. Rumusan Masalah 7

E. Tujuan Penelitian 7

F. Manfaat Penelitian 7

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Belajar

1. Pengertian Belajar 9

2. Ciri – Ciri Belajar 10

3. Teori Belajar 11

B. Model Pembelajaran 19

1. Pengertian Model Pembelajaran 19

2. Ciri – Ciri Model Pembelajaran 20

C. Model Pembelajaran Treffinger 21

1. Pengertian Model Pembelajaran Treffinger 21 2. Langkah – Langkah Model Pembelajaran Treffinger 23 3. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Treffinger 25 D. Higher Order Thinking Skills (HOTS) 26

1. Pengertian HOTS 26

2. Karakteristik HOTS 28

3. Indikator HOTS 30

4. Langkah – Langkah Penyusunan Soal HOTS 33

E. Pembelajaran Tematik 34

1. Pengertian Pembelajaran Tematik 34

2. Tujuan Pembelajaran Tematik 35

3. Karakteristik Pembelajaran Tematik 37

4. Prinsip Pembelajaran Tematik 38

5. Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran Tematik 40

(14)

v

F. Penelitian Relevan 42

G. Kerangka Pikir 48

H. Hipotesis Penelitian 50

III. METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian 51

B. Tempat dan Waktu Penelitian 52

1. Tempat Penelitian 52

2. Waktu Penelitian 52

C. Populasi dan Sampel 52

1. Populasi Penelitian 52

2. Sampel Penelitian 53

D. Varibel Penelitian 54

1. Variabel Bebas 55

2. Variabel Terikat 55

E. Prosedur Penelitian 55

F. Definisi Konseptual dan Operasional 56

1. Definisi Konseptual 56

2. Definisi Operasional 57

G. Teknik Pengumpulan Data 58

1. Teknik Tes 58

2. Teknik Non Tes 59

H. Instrumen Penelitian 59

1. Instrumen Tes 59

I. Uji Persyaratan Instrumen 62

1. Uji Validitas 62

2. Uji Reliabilitas 63

J. Analisis Data 64

1. Uji Normalitas Data 64

2. Uji Homogenitas 66

3. Uji Hipotesis Penelitian 66

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penelitian 68

B. Hasil Penelitian 68

1. Data Analisis Higher Order Thinking Skills Peserta Didik 68

2. Pengujian Hipotesis 72

C. Pembahasan 73

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 76

B. Saran 76

DAFTAR PUSTAKA 78

LAMPIRAN 83

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Level Kognitif Butir Soal PAS SD Negeri

di Gugus 02 Kecamatan Merbau Mataram 3 2. Rekapitulasi nilai PAS SD Negeri di Gugus

02 Kecamatan Merbau Mataram 4

3. Perbedaan Taksonomi Bloom Anderson 31 4. Deskripsi dan Kata Kunci Revisi Taksonomi Bloom 32 5. Data Jumlah Peserta Didik Kelas V SD Negeri

di Gugus 02 Kecamatan Merbau Mataram 53

6. Sampel Penelitian 54

7. Kisi – kisi Instrumen Pretest 60

8. Kisi – kisi Instrumen Posttest 61

9. Rekapitulasi Hasil Uji Validitas Instrumen Soal 63 10. Hasil Uji Normalitas Shapiro Wilk 65 11. Hasil Uji Homogenitas Pretest dan Posttest 66

12. Jadwal Pelaksanaan Penelitian 68

13. Distribusi Hasil Pretest 69

14. Distribusi Hasil Posttest 71

15. Deskripsi Hasil Pretest dan Posttest 72

16. Uji Hipotesis Paired Sample T Test 73

(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka Pikir 49

2. Desain Penelitian 51

3. Grafik Distribusi Frekuensi Pretest 70 4. Grafik Distribusi Frekuensi Posttest 71

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Surat Izin Penelitian 84

2. Surat Balasan Penelitian 87

3. SuratValidasi Instrumen 90

4. SuratValidasi RPP 91

5. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran 92

6. Kisi – Kisi Soal 102

7. Soal Uji Coba 104

8. Lembar Soal 117

9. Kunci Jawaban 128

10. Dokumentasi Jawaban Pretest dan Posttest 130

11. Rekapitulasi Uji Validitas Soal 132

12. Rekapitulasi Uji Reliabilitas Soal 134

13. Rekapitulasi Hasil Pretest 135

14. Rekapitulasi Hasil Posttest 136

15. Tabel Product Moment 137

16. Tabel Logaritma 138

17. Dokumentasi Penelitian 139

(18)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan memegang peran penting bagi peningkatan kualitas SDM di Indonesia. Seiring dengan perkembangan dan perubahan zaman menuntut adanya perubahan pendidikan untuk terus meningkatkan kualitas SDM.

Perubahan ini dapat dilihat dari berbagai perubahan sistem pendidikan yang digunakan di Indonesia. Sistem pendidikan tersebut terdiri dari kurikulum, belajar mengajar, perkembangan peserta didik, media pembelajaran, sarana prasarana yang tersedia, kompetensi kelulusan dan lain sebagainya.

Menurut (Rusuli, 2014) bahwa dalam teori belajar behavioristik menjelaskan bahwa belajar merupakan adanya suatu perubahan tingkah laku yang dapat diamati, dibuktikan secara empiris, dan diukur secara kuantitatif. Proses belajar tersebut membutuhkan adanya stimulus dan respon antara pendidik dan peserta didik. Kualitas pembelajaran juga dapat meningkat dengan adanya sistem pendidikan nasional yang sesuai dengan kebutuhan pendidikan di Indonesia. Era modern menjadikan dunia pendidikan dituntut mampu membekali peserta didik dengan keterampilan di abad 21. Keterampilan tersebut merupakan keterampilan yang mampu berpikir kritis dan

memecahkan masalah, komunikasi dan kolaborasi serta keterampilan kreatif dan inovatif.

Pendidikan di Indonesia pada abad 21 mengalami berbagai permasalahan yang salah satunya adalah kemampuan berpikir peserta didik yang masih tergolong rendah atau Lower Order Thinking Skill (LOTS). Menurut (Driana

& Ernawati, 2019) berpikir secara kritis dan kreatif dibutuhkan dalam menyelesaikan berbagai permasalahan, karena perkembangan pengetahuan dan teknologi yang menghasilkan tantangan dan masalah lebih kompleks.

(19)

Berdasarkan hasil studi Internasional Programme for International Students Assesment (PISA) yang tergabung dalam Organization for Economic Coopeation and Development (OECD) yang berkedudukan di Paris

(Perancis), telah memonitor pencapaian belajar yang menunjukkan prestasi dalam literasi membaca (Reading Literacy), literasi matematika

(mathematical literacy) dan literasi sains (scientific) yang dicapai peserta didik Indonesia masih rendah.

Sedangkan hasil pada Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) menunjukkan rangking peserta didik masih rendah dalam

kemampuan (1) memahami informasi – informasi yang kompleks, (2) teori analisis dan pemecahan masalah, (3) pemakaian alat dan prosedur serta (4) melakukan investigasi. Berdasarkan hasil studi tersebut maka pendidik harus mampu untuk mengembangkan dan mengonversikan pembelajaran yang masih bersifat LOTS menjadi pembelajaran bersifat Higher Order Thinking Skill (HOTS).

Menurut Brookhart dalam (Driana & Ernawati, 2019) kemampuan berpikir tingkat tinggi (HOTS) meliputi kemampuan logika dan penalaran (logic and reasoning), analisis (analysis), evaluasi (evaluation), kreasi (creation) pemecahan masalah (problem solving), dan pengambilan keputusan

(judgement). Selaras dengan pendapat tersebut, menurut (Annuuru, T. et al., 2017) HOTS merupakan kemampuan dalam menggabungkan fakta dan ide pada proses menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta dengan memberikan penilaian terhadap fakta yang dipelajari atau mencipta dari yang telah dipelajari.

Kemampuan berpikir tingkat tinggi (HOTS) dapat ditingkatkan melalui proses pembelajaran yang dilakukan dalam kelas melalui pendidik kepada peserta didik. Penemuan penelitian dari (Seman et al., 2017) menjelaskan bahwa sebagian besar peserta didik tidak dapat mentransfer pengetahuan yang telah mereka pelajari di kelas menggunakan HOTS ke konteks di luar kelas dikarenakan salah satu faktor utama yaitu pendidik, yang dijelaskan sebagai berikut:

(20)

3

The achievement in this area is discouraging, that is, research findings indicated that majority of students were not able to transfer the

knowledge they have learnt in the classroom using HOTS to the context outside of the classroom. Studies revealed that teacher was one of the main factors that influenced success or failure in teaching for HOTS.

Hasil kajian oleh Retnawati dalam (Saraswati & Agustika, 2020)

menjelaskan bahwa pengetahuan pendidik tentang HOTS, kemampuan dalam meningkatkan HOTS peserta didik, memecahkan masalah berbasis HOTS, dan kegiatan dalam mengukur HOTS peserta didik masih rendah. Hasil kajian dari (Driana & Ernawati, 2019) menunjukkan bahwa pendidik di sekolah dasar yang berpartisipasi dalam penelitiannya belum memiliki pemahaman komprehensif mengenai HOTS. Permasalahan utama juga ditemukan pada saat penelitian pendahuluan yang dilakukan di SD Gugus 02 Kecamatan Merbau Mataram.

Berdasarkan penelitian pendahuluan yang telah dilakukan di sekolah

menunjukkan butir – butir pada soal kelas tinggi yang digunakan pada ujian penilaian akhir semester masih tergolong LOTS. Hal tersebut dikarenakan pada butir – butir soal yang diberikan masih didominasi oleh C1-C3 yang tergolong rendah berdasarkan dari taksonomi Bloom. Penjelasan pada butir – butir soal tersebut terdapat pada tabel berikut ini.

Tabel 1. Level kognitif butir soal PAS SD Negeri di Gugus 02 Kecamatan Merbau Mataram

Kelas IV Fokus

Pembelajaran

LOTS HOTS

Angka Persentase Angka Persentase

PKN 36 90,00 4 10,00 40

B. Indonesia 39 97,50 1 2,50 40

IPA 37 92,50 3 7,50 40

IPS 40 100,00 0 0,00 40

Kelas V Fokus

Pembelajaran

LOTS HOTS

Angka Persentase Angka Persentase

PKN 36 90,00 4 10,00 40

B. Indonesia 39 97,50 1 2,50 40

IPA 38 95,00 2 5,00 40

IPS 40 100,00 0 0,00 40

(21)

Kelas VI Fokus

Pembelajaran

LOTS HOTS

Angka Persentase Angka Persentase

PKN 35 87,50 5 12,50 40

B. Indonesia 36 90,00 4 10,00 40

IPA 38 95,00 2 5,00 40

IPS 40 100,00 0 0,00 40

Sumber: Data soal SD Negeri di Gugus 02 Kecamatan Merbau Mataram Berdasarkan tabel 1 tersebut menunjukkan bahwa soal yang digunakan pada ujian penilaian akhir semester masih didominasi oleh LOTS. Berdasarkan fakta tersebut menunjukkan bahwa tingkat level kognitif HOTS yang

terendah terdapat di kelas V, sehingga peneliti akan melaksanakan penelitian eksperimen di kelas tersebut. Selain itu, nilai ujian penilaian akhir semester peserta didik di kelas V yang masih rendah mengindikasikan bahwa

kemampuan berpikir peserta didik masih pada kategori rendah. Berikut penyajian hasil dari ujian penilaian akhir semester peserta didik semester ganjil tahun pelajaran 2021.

Tabel 2. Rekapitulasi nilai PAS SD Negeri di Gugus 02 Kecamatan Merbau Mataram

Sekolah Kelas

Ketuntasan

Tuntas (≥ 70) Belum Tuntas (< 70) Angka Persentase Angka Persentase SD Negeri 1

Triharjo

VA 13 50,00 13 50,00 26

VB 15 58,00 11 42,00 26

VC 14 58,00 10 42,00 24

SD Negeri 1

Karang Raja V 17 39,00 11 61,00 28

SD Negeri 2

Karang Raja V 23 66,00 12 34,00 35

Sumber: Data nilai SD Negeri di Gugus 02 Kecamatan Merbau Mataram Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa persentase hasil belajar yang masih cukup rendah, sehingga kemampuan berpikir peserta didik juga masih dalam kategori LOTS. Berdasarkan fakta tersebut, pada Kurikulum 2013 di tingkah sekolah dasar sebagai penguatan proses pembelajaran dan penerapan tematik terintegrasi dengan menggunakan pendekatan saintifik dan sebagai

pengembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi belum berjalan secara optimal. Selaras dengan data tersebut, data wawancara yang telah dilakukan

(22)

5

peneliti dengan pendidik kelas V SD Negeri di Gugus 02 Kecamatan Merbau Mataram menunjukkan bahwa proses pembelajaran masih dominan dilakukan dengan metode ceramah sehingga variasi pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran masih kurang.

Pendidikan di Indonesia saat ini menggunakan kurikulum 2013 yang merupakan pembelajaran berpusat pada peserta didik dan mendorong agar peserta didik dapat lebih aktif pada proses pembelajaran sedangkan pendidik bertindak sebagai fasilitator. Sehingga pendidik berperan penting untuk menghasilkan peserta didik yang memiliki kemampuan dan keterampilan yang dibutuhkan pada zaman modern ini. Menurut (Rusman, 2015) menyatakan bahwa peran pendidik sebagai fasilitator diharuskan mampu untuk membangkitkan ketertarikan peserta didik terhadap materi belajar dengan cara menerapkan berbagai pendekatan pembelajaran.

Terdapat beberapa model pembelajaran yang sesuai dengan penggunaan kurikulum 2013 dan guna meningkatkan aktivitas peserta didik dalam proses pembelajaran yaitu salah satunya adalah model pembelajaran Treffinger.

Menurut (Huda, 2013) menyatakan bahwa model Treffinger ini didasari dengan adanya perkembangan zaman yang terus menerus berubah dan permasalahan yang harus dihadapi semakin kompleks. Model pembelajaran Treffinger ini dapat merumuskan suatu masalah, mencari suatu informasi terkait permasalahan yang ada, menganalisis, mencari solusi dan dapat berfikir secara kreatif serta kritis.

Pendapat tersebut juga relevan dengan hasil penelitian dari (Annuuru, T. et al., 2017) bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi pada aspek menganalisis (C4), evaluasi (C5), dan aspek mencipta (C6) pada peserta didik yang

memperoleh model pembelajaran Treffinger lebih tinggi dibandingkan dengan peserta didik yang memperoleh model pembelajaran Osborn. Hasil penelitian dari (Ndiung et al., 2020) juga menunjukkan bahwa penggunaan model pembelajaran Treffinger lebih efektif daripada model konvensional dalam meningkatkan keterampilan berpikir kreatif peserta didik kelas V

(23)

sekolah dasar. Dijelaskan lebih lanjut pada penelitian (Ndiung et al., 2019) yaitu:

The results showed that the creative thinking skill of the students who learned mathematics Treffinger creative learning model with RME principles was higher than those who learned mathematics through conventional model, and the creative thinking skill of the students who learned through Treffinger creative learning model with RME principles was higher than those who learned through conventional learning model.

Beberapa hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa model

pembelajaran Treffinger memiliki pengaruh terhadap Higher Order Thinking Skills (HOTS). Model pembelajaran Treffinger ini dapat digunakan dalam pembelajaran tematik yang memerlukan suatu cara agar dapat menyelesaikan permasalahan di setiap fokus pembelajaran dan menghasilkan solusi yang tepat dengan memperhatikan fakta – fakta penting yang ada di lingkungan sekitar lalu dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari – hari. Namun berdasarkan pendapat dari (Huda, 2013) bahwa salah satu dari kelemahan model pembelajaran Treffinger adalah model ini tidak cocok untuk diterapkan kepada peserta didik kelas awal atau kelas rendah di sekolah dasar.

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, peneliti

terinspirasi untuk mengadakan penelitian eksperimen dengan judul “Pengaruh Model Pembelajaran Treffinger Terhadap Higher Order Thinking Skills Peserta Didik Kelas V SD Negeri di Gugus 02 Kecamatan Merbau Mataram”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka diperoleh beberapa identifikasi masalah berikut:

1. Soal yang diberikan dan hasil belajar peserta didik masih tergolong LOTS.

2. Pembelajaran masih belum berpusat kepada peserta didik.

3. Pendidik belum menggunakan model pembelajaran Treffinger pada proses pembelajaran.

(24)

7

C. Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, peneliti membatasi masalah agar penelitian dapat lebih fokus dan terarah. Masalah yang difokuskan yaitu:

1. Model pembelajaran Treffinger

2. Higher Order Thinking Skills peserta didik kelas V SD Negeri 1 Triharjo.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, peneliti merumuskan masalah dalam penelitian ini untuk dijadikan pedoman dalam pelaksanaan penelitian. Rumusan masalah penelitian ini yaitu “Apakah terdapat pengaruh model pembelajaran Treffinger terhadap Higher Order Thinking Skills peserta didik di kelas V SD Negeri 1 Triharjo tahun pelajaran 2021/2022?”.

E. Tujuan Penelitian

Hasil penelitian yang maksimal dapat diperoleh dengan menetapkan tujuan penelitian terlebih dahulu. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh model pembelajaran Treffinger terhadap Higher Order Thinking Skills peserta didik kelas V SD Negeri 1 Triharjo tahun pelajaran 2021/2022.

F. Manfaat Penelitian 1. Pendidik

Penelitian ini diharapkan dapat memperluas wawasan dan pengetahuan kepada pendidik tentang alternatif dari model pembelajaran sehingga pembelajaran dapat dilaksanakan secara variatif. Penelitian ini juga diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan kemampuan professional pendidik dalam menyelenggarakan pembelajaran di kelas.

(25)

2. Kepala Sekolah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif untuk meningkatkan mutu pendidikan di SD Negeri 1 Triharjo. Selain itu,

penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dalam meningkatkan kualitas pembelajaran di SD Negeri 1 Triharjo.

3. Peneliti Lain

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan pertimbangan kepada peneliti lain dalam mencari informasi lebih rinci mengenai

pengaruh model pembelajaran Treffinger terhadap Higher Order Thinking Skills (HOTS) peserta didik di sekolah dasar.

(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Belajar

1. Pengertian Belajar

Pengertian belajar adalah kegiatan berproses yang fundamental dalam penyelenggaraan setiap jenis dan jenjang pendidikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa berhasil atau gagalnya dalam pencapaian suatu tujuan pendidikan bergantung pada proses belajar peserta didik di sekolah maupun di lingkungan kehidupan sehari – harinya. Menurut (Pane &

Darwis Dasopang, 2017) pengertian belajar merupakan proses perubahan tingkah laku dan pemahaman, yang awalnya seorang anak tidak dibekali potensi fitrah, kemudian terjadinya proses belajar maka anak tersebut berubah dalam tingkah laku dan pemahaman yang semakin bertambah.

Menurut Muhibbin Syah dalam (Mursyidi, 2020) mendefinisikan belajar sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku manusia yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungannya yang melibatkan proses berpikir kognitif. Menurut (Isrok’atun & Rosmala, 2018) pengertian belajar adalah suatu perubahan meliputi kecakapan, keterampilan, kebiasaan, sikap, dan pemahaman dalam diri manusia ke arah yang lebih baik, sebagai hasil dari pengalaman yang dilakukan melalui proses interaksi di sekitar manusia.

Berdasarkan penjelasan para ahli di atas, peneliti menyimpulkan bahwa pengertian belajar merupakan proses berpikir yang melibatkan fisik maupun psikis sebagai perubahan tingkah laku berdasarkan pengalaman atau interaksi dengan lingkungan atau sumber belajar yang lainnya. Proses

(27)

belajar yang baik adalah pembelajaran bermakna yang akan memberi perubahan bagi diri peserta didik ke arah yang lebih baik.

2. Ciri – ciri Belajar

Belajar merupakan suatu perubahan tingkah laku seseorang. Namun, tidak semua perubahan perilaku berasal dari hasil belajar. Menurut Wardani dalam (Isti’adah, 2020) perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar mempunyai ciri – ciri, yaitu:

1) Belajar merupakan perubahan yang terjadi secara sadar.

2) Perubahan dalam belajar bersifat fungsional.

3) Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif.

4) Perubahan dalam belajar bersifat permanen.

5) Perubahan dalam belajar terarah.

6) Perubahan belajar mencakup seluruh aspek tingkah laku.

Menurut Ngalim Purwanto dalam (Fathurrohman, 2017) bahwa ada beberapa elemen penting yang mencirikan belajar, antara lain:

1) Belajar merupakan perubahan tingkah laku yang mengarah kepada tingkah laku lebih baik, tetapi ada kemungkinan mengarah kepada tingkah laku yang lebih buruk.

2) Belajar adalah perubahan yang terjadi karena pengalaman atau latihan yang menunjukkan bahwa perubahan tidak disebabkan oleh pertumbuhan atau kematangan.

3) Perubahan harus relatif mantap.

4) Tingkah laku yang mengalami perubahan karena belajar menyangkut berbagai aspek kepribadian.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa ciri – ciri belajar yaitu, belajar merupakan adanya perubahan tingkah laku secara sadar, perubahan dalam belajar bersifat permanen, perubahan belajar terarah, perubahan belajar mencakup seluruh aspek tingkah laku,

perubahan belajar bersifat positif dan aktif serta perubahan dalam belajar terjadi karena pengalaman atau latihan.

(28)

11

3. Teori Belajar

Teori belajar merupakan teori yang menjelaskan pandangan dalam proses belajar, metode dan pengaplikasian proses pembelajaran baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Teori belajar ini dibagi menjadi empat macam, yaitu teori belajar behavioristik, kognitif, konstruktivisme, dan

humanistik.

1) Teori Belajar Behavioristik

Teori belajar behavioristik merupakan perubahan tingkah laku individu sebagai hasil dari belajar atau pengalaman. Peserta didik diibaratkan kertas putih yang perilakunya dibentuk melalui penguatan positif atau negatif. Menurut (Wibowo, 2012) teori belajar

behavioristik merupakan salah satu aliran psikologi yang memandang manusia hanya dari sisi fenomena dalam jasmaniah, dan mengabaikan aspek mental yang artinya tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat, dan perasaan dalam proses belajar.

Menurut (Pratama, 2019) teori belajar behavioristik merupakan teori belajar yang menekankan pada aspek pembentukan tingkah laku yang didasarkan oleh stimulus dan respon yang diberikan . Selaras dengan pendapat tersebut, menurut (Mursyidi, 2020) teori belajar behavioristik adalah teori belajar yang menekankan pada tingkah laku manusia sebagai akibat dari interaksi stimulus dan respon.

Menurut Suyono dan Hariyanto dalam (Pratama, 2019) teori belajar behavioristik memiliki 5 ciri yaitu:

a. Mengutamakan unsur atau bagian – bagian kecil, b. Bersifat mekanis,

c. Mementingkan pembentukan respon, d. Menekankan peran lingkungan,

e. Mementingkan akan pentingnya latihan.

(29)

Menurut (Gunawan & Karimah, 2022) teori belajar behavioristik berasal dari aliran psikologi behaviorisme yang menyimpulkan bahwa manusia dapat dibentuk menjadi baik atau tidak baik oleh lingkungan.

Adapun tokoh – tokoh yang beraliran behavioristik adalah sebagai berikut.

a. Edward Lee Thorndike

Menurut Thorndike, belajar merupakan proses interaksi antara stimulus dan respon. Teori belajar menurut Thorndike disebut dengan teori connectionism, karena belajar merupakan proses dari pembentukan koneksi – koneksi antara stimulus dan respon. Teori ini juga sering disebut teori Trial and Error, karena dalam eksperimen Thorndike mengalami proses trial dan error berkali – kali hingga menemukan teori yang dapat disimpulkan. Proses eksperimen yang dilakukan oleh Thorndike tersebut menemukan 3 hukum pokok, yaitu:

 Hukum latihan (The law of exercise), hukum ini menghasilkan sebuah teori bahwa dalam proses pembelajaran diperlukan latihan agar dapat

memperkuat hubungan antara stimulus dan respon.

 Hukum akibat (The law of effect), hukum ini menghasilkan sebuah teori bahwa tindakan yang menghasilkan perasaan menyenangkan akan cenderung diulang, sebaliknya jika tindakan yang menghasilkan perasaan yang tidak menyenangkan maka akan cenderung tidak diulang.

 Hukum kesiapan (The law of readiness), hukum ini menghasilkan sebuah teori bahwa kesiapan peserta didik pada mental ataupun motivasi dalam belajar akan memberikan proses pembelajaran yang efektif.

b. Pavlov

Menurut (Umaruddin & Casmini, 2020) Pavlov

menyampaikan bahwa perilaku yang dapat berubah karena adanya suatu proses pembiasaan dengan interaksi antara stimulus dan respon. Hal tersebut berdasarkan

penemuannya terkait pengondisian klasik (classical conditioning) yang merupakan suatu percobaan melalui hewan yaitu anjing dengan diberikan stimulus bersyarat yaitu perangsang netral dan asli yang dilakukan secara berulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan.

Penjelasan dari eksperimen Pavlov tersebut yaitu:

 US (Unconditioned stimulus), sebuah stimulus netral atau asli yang dipergunakan untuk menimbulkan respon langsung.

(30)

13

 UR (Unconditioned respons), sebuah respons yang tidak bersyarat yaitu timbulnya suatu respons disebabkan adanya sebuah stimulus netral.

 CS (Conditioning stimulus), stimulus bersyarat yaitu stimulus yang tidak dapat langsung menimbulkan suatu respon, sehingga perlu digunakan US secara terus menerus.

 CR (Conditioning Respons), respons bersyarat yaitu respon yang muncul karena adanya CS.

c. Burrhusm Frederic Skinner

Menurut (Gunawan & Karimah, 2022) Skinner

menyebutkan bahwa hubungan antara stimulus dan respon terjadi melalui interaksi dalam lingkungannya yang akan menimbulkan perubahan tingkah laku. Skinner

berpandangan bahwa hal pertama yang perlu dilakukan oleh pendidik adalah menentukan kerangka utama perilaku yang tepat dan ingin dibentuk. Perilaku tersebut didorong melalui petunjuk bersifat konstruksional, kemudian perlahan

dorongan itu dihilangkan.

Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti menyimpulkan teori belajar behavioristik adalah teori belajar yang menekankan pada perubahan tingkah laku sebagai akibat dari stimulus dan respon serta

mengabaikan aspek mental manusia selama proses pembelajaran Definisi tersebut menunjukkan bahwa apa yang diberikan oleh pendidik dan apa yang dihasilkan oleh peserta didik harus dapat diamati dan diukur dengan tujuan untuk melihat terjadinya perubahan tingkah laku peserta didik. Pada teori belajar behavioristik, peneliti menggunakan teori belajar menurut pandangan Burrhusm Frederic Skinner.

2) Teori Belajar Kognitif

Teori belajar kognitif tidak menekankan belajar merupakan adanya perubahan tingkah laku, namun seorang anak harus terlibat langsung dalam situasi belajar dan mendapatkan pemahaman untuk

memecahkan masalah. Menurut Moh. Sholeh dalam (Rosyid, R &

Baroroh, 2020) menjelaskan bahwa tingkah laku seseorang didasarkan

(31)

pada kognisi, yang artinya adalah tindakan mengenal sekaligus memikirkan situasi ketika tingkah laku terjadi.

Menurut (Wibowo, 2012) teori belajar kognitif berfokus pada aktivitas mental batin dan membuka pikiran manusia yang berharga dan

diperlukan untuk memahami bagaimana manusia belajar. Menurut (Rosyid, R & Baroroh, 2020) teori belajar kognitif adalah perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu terlihat sebagai tingkah laku.

Menurut Puspo Nugroho dalam (Rosyid, R & Baroroh, 2020) menyebutkan lima ciri aliran teori belajar kognitif, yaitu:

a. Mementingkan apa yang terjadi dalam diri anak, b. Mementingkan peranan kognitif,

c. Mementingkan keseluruhan daripada bagian – bagian, d. Mementingkan kondisi waktu sekarang, dan

e. Mementingkan pembentukan struktur kognitif.

Adapun teori – teori belajar kognitif dari beberapa tokoh adalah sebagai berikut.

a. Teori kognitif Jean Piaget

Menurut (Saomah, 2017) Piaget beranggapan bahwa anak berinteraksi dengan situasi disekitarnya dalam

menyelesaikan masalah yang dihadapinya di lingkungan tersebut seingga pembelajaran terjadi dalam kegiatan pemecahan masalah. Menurut (Ratnawati, 2016) proses belajar perlu disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik yang dibagi dalam empat tahap yaitu:

 Tahap sensorimotor (usia 0 – 2 tahun). Tahap ini individu memahami suatu tentang dunia dengan mengkoordinasikan pengalaman sensoris dan dengan tindakan motoric fisik.

 Tahap pra – operasional (usia 2 – 7 tahun), individu mulai menggambarkan dunia melalui tingkah laku dan kata – kata tetapi belum mampu memahami secara mental (makna atau hakekat) terhadap apa yang dilakukannya.

 Tahap operasional konkret (usia 7 – 11 tahun), individu mulai berpikir secara logis tentang kejadian yang bersifat konkret.

(32)

15

 Tahap operasional formal (11 tahun ke atas), individu mengalami perkembangan penalaran abstrak yaitu dapat berpikir secara abstrak, lebih logis dan idealis.

b. Teori kognitif Ausubel

Menurut Ausubel peserta didik akan belajar dengan baik jika pengatur kemajuan belajar didefinisikan dan

dipresentasikan dengan baik dan tepat. Menurut (Ratnawati, 2016) pengatur kemajuan belajar adalah informasi umum atau konsep yang mencakup seluruh isi pelajaran yang akan diajarkan kepada peserta didik. Oleh karena itu,

pengetahuan pendidik terhadap isi dari mata pelajaran harus sangat baik, sehingga pendidik akan mampu menemukan informasi yang menurut Ausubel sangat abstrak, umum dan inklusif, serta logika berfikir pendidik dituntut sebaik mungkin. Menurut Ausubel pengatur kemajuan belajar dapat memberikan tiga manfaat, yaitu:

 Berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara apa yang sedang dipelajari peserta didik saat ini dengan apa yang akan dipelajari peserta didik.

 Menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi belajar yang dipelajari peserta didik.

 Membantu peserta didik untuk memahami bahan belajar lebih mudah.

c. Teori kognitif Jerome Bruner

Menurut Jerome Bruner dalam (Anidar, 2017)

pembelajaran hendaknya dapat menciptakan situasi agar peserta didik dapat belajar dari pengalaman dan eksperimen yang dilalui dari diri sendiri untuk menemukan pengetahuan dan kemampuan baru. Dalam teori belajar, Jerome Bruner berpendapat bahwa kegiatan belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika peserta didik menemukan sendiri suatu aturan atau kesimpulan. Menurut Bruner dalam (Anidar, 2017) membedakan menjadi tiga tahapan belajar, yaitu:

 Tahap informasi, yaitu tahap awal untuk memperoleh suatu pengetahuan atau pengalaman baru,

 Tahap transformasi, yaitu tahap memahami, mencerna dan menganalisis pengetahuan yang baru serta

mentransformasikan dalam bentuk baru yang bermanfaat untuk hal lain,

 Tahap evaluasi, yaitu tahap mengetahui apakah hasil dari tahap kedua benar atau salah.

Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa teori belajar kognitif adalah perubahan dalam pengetahuan dan pemahaman yang melibatkan aktivitas langsung sekaligus memikirkan situasi

(33)

ketika tingkah laku terjadi. . Pada teori belajar kognitif, peneliti menggunakan teori belajar menurut pandangan Jerome Bruner.

3) Teori Belajar Konstruktivistik

Teori belajar konstruktivistik merupakan teori tentang bagaimana manusia membangun pengetahuan dari berbagai pengalaman. Menurut Ricardson dalam (Wibowo, 2012) teori belajar konstruktivistik

merupakan salah satu dalam aliran pendidikan yang menekankan pengetahuan invidu merupakan hasil bentuk individu setelah melewati berbagai pengalaman.

Menurut Rangkuti dalam (Sugrah, 2020) teori belajar konstruktivistik adalah :

Teori yang memberikan kebebasan terhadap individu yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan menemukan kebutuhan atau keinginan dengan bantuan fasilitasi orang lain, sehingga teori ini memberikan keaktifan terhadap individu untuk belajar menemukan kompetensi, pengetahuan, dan teknologi serta hal lainnya yang diperlukan guna mengembangkan dirinya sendiri.

Menurut (Masgumelar & Mustafa, 2021) teori belajar konstruktivistik adalah pendekatan belajar yang menyempurnakan teori belajar

behavioristik dan kognitif dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman peserta didik karena dalam teori ini menekankan pada keterlibatan peserta didik dalam menghadapi berbagai masalah yang terjadi. Menurut Donald, dkk dalam (Masgumelar & Mustafa, 2021) implementasi teori belajar konstruktivistik dalam aktivitas

pembelajaran memiliki karakteristik, yaitu:

a. Belajar aktif,

b. Peserta didik terlibat dalam aktivitas pembelajaran yang bersifat otentik dan situasional,

c. Aktivitas belajar harus menarik dan menantang, d. Peserta didik harus dapat mengaitkan informasi baru

dengan informasi lama dengan sebuah proses yang disebut

bridging”,

(34)

17

e. Peserta didik mampu merefleksikan pengetahuan yang sedang dipelajari,

f. Pendidik lebih berperan sebagai fasilitator yang membantu peserta didik dalam melakukan konstruksi pengetahuan, g. Pendidik dapat memberikan bantuan berupa scaffolding

yang diperlukan oleh peserta didik dalam proses pembelajaran.

Menurut (Muwakhidah, 2020) terdapat tokoh aliran teori konstruktivistik, yaitu:

a. Pandangan konstruktivistik Giambattista Vico, menurutnya seseorang baru mengetahui sesuatu jika ia dapat

menjelaskan unsur – unsur apa yang membangun sesuatu itu. Sehingga Vico percaya bahwa tidak ada yang nyata atau benar selain apa yang mengalaminya dan menciptakan dalam pikiran. Konsepnya adalah menangani sebagian besar dengan hubungan antara pengetahuan, kebenaran da nasal – usul bahasa serta keinginan dari pikiran manusia sendiri untuk menciptakan sebuah pengetahuan.

b. Pandangan konstruktivistik Ernst Von Glasersfeld,

menurutnya pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran pendidik ke pikiran peserta didik. Bahkan bila pendidik bermaksud untuk memindahkan ide, pengertian dan konsep kepada peserta didik, pemindahan itu harus diinterpretasikan dan dibentuk oleh diri peserta didik, sehingga tanpa adanya keaktifan peserta didik dalam membentuk suatu pengetahuan, maka pengetahuan itu tidak akan terjadi.

c. Pandangan konstruktivistik Jean Piaget, menurutnya mengajar adalah penciptaan lingkungan dimana struktur kognitif peserta didik dapat muncul dan berubah. Ada empat teori konstruktivistik menurut Piaget yang dipergunakan untuk menjelaskan bagaimana seseorang mencapai suatu pengertian yaitu, skema atau skemata, asimilasi, akomodasi, dan equilibration.

d. Pandangan konstruktivistik Lev Vygotsky, menurutnya pembelajaran yang terjadi dalam kegiatan dan pengalaman peserta didik menekankan pada interaksi dengan kelompok – kelompok sosial. Vygotsky bertentangan dengan

behavioris, ia menegaskan bahwa pikiran berkembang untuk merefleksikan kenyataan sosial. Proses komunikasi dengan orang lain menghasilkan perkembangan makna kata yang kemudian membentuk struktur kesadaran.

e. Pandangan konstruktivistik John Dewey, menurutnya pengetahuan tidak pernah merupakan representasi dari realitas. Hubungan antara pengetahuan dan realitas adalah

(35)

hasil dari pengalaman individu dan sosial. Mengetahui sesuatu bukan untuk menemukan dan merekam suatu realitas, melainkan merupakan suatu proses mereka menjadi bagian dari realitas. Oleh karena itu, pengetahuan tidak realitas eksternal dan objektif, tetapi sebuah proses yang meliputi tindakan itu sendiri, sehingga membuat suatu kesimpulan dari pengalaman adalah membangun salah dan benar tentang dunia.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa teori belajar konstruktivistik adalah proses belajar yang menekankan pada hasil pengalaman peserta didik dengan tujuan meningkatkan pengetahuan dan pemahaman peserta didik. Teori ini juga dapat dikatakan bahwa menggunakan pembelajaran bermakna, sehingga peserta didik tidak hanya mengetahui suatu pengetahuan, namun dapat mengerti dan memahami melalui pengalaman kehidupan sehari – hari. Pada teori belajar konstruktivistik, peneliti menggunakan teori belajar menurut pandangan Lev Vygotsky.

4) Teori Belajar Humanistik

Teori belajar humanistik ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia. Teori belajar ini tidak hanya membahas tentang perubahan perilaku sebagai tanda seseorang berhasil dalam pembelajaran, tetapi sangat mementingkan isi yang dipelajari untuk membentuk manusia yang dicita – citakan. Menurut (Perni, 2019) teori belajar humanistik adalah teori yang menggunakan pandangan elektik yaitu dengan cara memanfaatkan atau merangkumkan berbagai teori belajar lain dengan tujuan memanusiakan manusia, tidak hanya mungkin untuk dilakukan tetapi justru harus dilakukan.

Menurut (Sumantri et al., 2019) proses belajar dalam pandangan teori belajar humanistik bersifat pengembangan kepribadian, kerohanian, perkembangan tingkah laku serta mampu memahami berbagai fenomena di masyarakat. Menurut (Wibowo, 2012) teori belajar

(36)

19

humanistik adalah mempelajari atau mengkaji studi tentang diri manusia, motivasi, dan dengan tujuan bidang minat tertentu.

Menurut (Perni, 2019) terdapat tokoh penganut aliran teori belajar humanistik, antara lain:

a. Pandangan Kolb terhadap belajar dengan membagi tahapan belajar menjadi 4 yaitu, tahap pengalaman konkret, tahap pengamatan aktif dan reflektif, tahap konseptualisasi, dan tahap eksperimentasi aktif.

b. Pandangan Honey dan Mumford dengan mengggolongkan orang yang belajar dalam 4 macam yaitu, kelompok aktivis, golongan reflektor, kelompok teoritis, dan golongan

pragmatis.

c. Pandangan Habernas terhadap belajar adalah belajar akan terjadi jika ada interaksi antara individu dengan

lingkungannya. Habernas membagi tipe belajar menjadi 3 yaitu, belajar teknis, belajar praktis, dan belajar

emansipatoris.

d. Pandangan Bloom dan Krathwohl terhadap belajar dengan menekankan perhatiannya pada apa yang harus dikuasai oleh individu sebagai tujuan belajar, setelah melalui peristiwa belajar. Tujuan belajar dirangkum dalam 3 kawasan yang dikenal dengan sebutan Taksonomi Bloom yaitu domain kognitif, domain psikomotor, dan domain afektif.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa teori belajar humanistik adalah teori yang mempelajari atau mengkaji manusia dengan tujuan memanusiakan manusia. Teori ini mampu memberikan arah terhadap seluruh komponen pembelajaran untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut. Teori belajar humanistik yang digunakan peneliti adalah menurut pandangan dari Bloom dan Krathwol.

B. Model Pembelajaran

1. Pengertian Model Pembelajaran

Pengertian model pembelajaran merupakan salah satu komponen

pembelajaran yang menjadi panduan dalam melakukan tahapan kegiatan

(37)

selama proses pembelajaran. Menurut (Isrok’atun & Rosmala, 2018) pengertian model pembelajaran merupakan pola desain pembelajaran yang menggambarkan secara sistematis terkait langkah demi langkah

pembelajaran untuk membantu peserta didik dalam mengonstruksi ide, informasi, dan membangun pola pikir untuk mencapai tujuan

pembelajaran.

Menurut (Rahman, 2018) pengertian model pembelajaran adalah bingkai atau bungkus dari penerapan suatu pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran. Menurut Huda dalam (Isrok’atun & Rosmala, 2018) pengertian model pembelajaran sebagai rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum pendidikan dan mendesain materi – materi instruksional serta memandu proses pembelajaran di kelas atau di tempat yang berbeda.

Berdasarkan pendapat di atas, peneliti menyimpulkan pengertian model pembelajaran merupakan desain pembelajaran yang menggambarkan tahapan pembelajaran secara sistematis dari penerapan pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran untuk memandu proses pembelajaran di kelas atau tempat belajar lainnya.

2. Ciri – Ciri Model Pembelajaran

Model pembelajaran memiliki makna yang luas daripada strategi, prosedur, atau metode pembelajaran. Menurut (Muzakir Saiful, 2020) suatu model pembelajaran memiliki 4 ciri khusus yang tidak dimiliki oleh strategi atau metode tertentu, yaitu :

1) Rasional teoritik yang logis disusun oleh penciptanya, 2) Tujuan pembelajaran yang akan dicapai,

3) Tingkah laku mengajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran dapat tercapai,

4) Serta lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.

(38)

21

Menurut (Octavia, 2020) model – model pembelajaran yang baik memiliki sifat atau ciri – ciri yang dapat dikenali secara umum, yaitu:

1) Memiliki prosedur yang sistematik.

2) Hasil belajar ditetapkan secara khusus.

3) Ukuran keberhasilan.

4) Penetapan lingkungan secara khusus.

5) Interaksi dengan lingkungan.

Menurut Muslimin,dkk dalam (Muzakir Saiful, 2020) seluruh model pembelajaran ditandai dengan adanya struktur tugas, struktur

penghargaan, dan struktur tujuan. Menurut (Nurdyansyah, & Fahyuni, 2016) model pembelajaran memiliki ciri – ciri sebagai berikut:

1) Memiliki misi atau tujuan pendidikan tertentu.

2) Memiliki bagian – bagian model yang dinamakan, langkah – langkah pembelajaran, adanya prinsip – prinsip reaksi, sistem sosial, dan sistem pendukung.

3) Dapat dijadikan pedoman untuk perbaikan kegiatan belajar mengajar di kelas.

4) Membuat persiapan mengajar dengan pedoman model pembelajaran yang dipilih.

5) Memiliki dampak sebagai akibat terapan model pembelajaran.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa ciri – ciri model pembelajaran adalah, memiliki tujuan pembelajaran, dapat dijadikan pedoman untuk kegiatan pembelajaran, memiliki prosedur yang sistematik, rasional teoritik yang telah disusun oleh penciptanya, dan memiliki dampak sebagai akibat terapan model pembelajaran.

C. Model Pembelajaran Treffinger

1. Pengertian Model Pembelajaran Treffinger

Model pembelajaran Treffinger dikenalkan oleh Donald J. Treffinger pada tahun 1980. Donald J. Treffinger adalah seorang presiden di Center of Creative Learning, Inc Sarasota, Florida. Oleh karena itu model pembelajaran ini diberi nama dengan model pembelajaran Treffinger.

(39)

Pengertian model pembelajaran Treffinger merupakan salah satu dari model pembelajaran yang mendukung kreativitas peserta didik untuk menangani kemampuan berpikir tingkat tinggi dan memberikan saran – saran praktis untuk mencapai keterpaduan.

Menurut Sunata dalam (Shoimin, 2014) pengertian model pembelajaran Treffinger merupakan model pembelajaran yang bersifat developmental dan mengutamakan proses. Pernyataan tersebut didukung oleh hasil penelitian (Triwibowo et al., 2017) yang menunjukkan secara signifikan bahwa model pembelajaran Treffinger ini efektif dalam meningkatkan kemampuan berpikir peserta didik dan menjadikan peserta didik kreatif dalam memecahkan permasalahan.

Menurut Treffinger dalam (Huda, 2013) digagasnya model Treffinger ini adalah dikarenakan perkembangan zaman yang terus menerus berubah dan permasalahan yang dihadapi semakin kompleks sehingga diperlukan suatu cara agar dapat menyelesaikan permasalahan tersebut dengan

menghasilkan solusi yang tepat. Hal tersebut dapat diatasi dengan memerhatikan fakta – fakta penting yang ada di lingkungan sekitar lalu memunculkan berbagai gagasan dan memilih solusi paling tepat untuk dapat diimplementasikan secara nyata.

Pomalato dalam (Juanti et al., 2016) menyatakan model pembelajaran Treffinger ini adalah upaya dalam mengintegrasikan dimensi kognitif dan afektif peserta didik untuk mencari arah – arah dalam penyelesaian yang akan ditempuh untuk memecahkan permasalahan yang merupakan

karakteristik paling dominan dari model pembelajaran Treffinger. Menurut (Shoimin, 2014) pengertian model pembelajaran Treffinger adalah model pembelajaran yang mendorong pembelajaran kreatif untuk meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi yang menggambarkan susunan tiga tahap yaitu mulai dengan unsur – unsur dan menanjak ke fungsi – fungsi berfikir yang lebih majemuk, lalu peserta didik terlibat aktif dalam

(40)

23

kegiatan membangun keterampilan pada dua tahap pertama agar kemudian dapat menangani masalah di kehidupan nyata pada tahap ketiga.

Setiap tahap dari model pembelajaran Treffinger ini mencakup segi kognitif dan segi afektif. Peserta didik terlibat dalam kegiatan tahap pertama dan kedua yaitu membangun keterampilan dan tahap ketiga untuk kemudian dapat menangani masalah kehidupan secara nyata.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa pengertian model pembelajaran Treffinger adalah model pembelajaran kreatif untuk meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi peserta didik dengan melibatkan keterampilan kognitif dan afektif pada setiap tingkatannya serta memerhatikan fakta – fakta penting yang ada di lingkungan sekitar lalu memunculkan berbagai gagasan dan memilih solusi paling tepat untuk dapat diimplementasikan secara nyata.

2. Langkah – Langkah Model Pembelajaran Treffinger

Model pembelajaran Treffinger dalam pelaksanaannya memerlukan prosedur kematangan dan pengetahuan sikap. Menurut Munandar dalam (Shoimin, 2014) langkah – langkah dalam pelaksanaannya adalah sebagai berikut :

1) Tahap I : Basic Tools

Basic tool atau teknik kreativitas meliputi keterampilan

berpikir secara divergen (Guildford, 1967, dikutip Parke, 1989) dan teknik – teknik kreatif. Tahap I ini merupakan landasan atau dasar dari belajar kreatif berkembang. Adapun kegiatan pada tahap I ini yaitu pendidik memberikan suatu masalah terbuka dengan jawaban lebih dari satu penyelesaian, lalu pendidik membimbing peserta didik melakukan diskusi untuk menyampaikan ide atau gagasan sekaligus memberikan penilaian pada masing – masing kelompok.

2) Tahap II : Practice with process

Practice with process yaitu memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menerapkan keterampilan yang telah dipelajari sebelumnya di tahap I dalam situasi praktis. Kegiatan pembelajaran pada tahap II ini yaitu pendidik membimbing dan mengarahkan peserta didik untuk berdiskusi dengan

memberikan contoh analog, lalu guru meminta peserta didik membuat contoh dalam kehidupan sehari – hari.

(41)

3) Tahap III : Working with real problems

Working with real problems adalah menerapkan keterampilan yang dipelajari pada dua tahap sebelumnya terhadap tantangan pada dunia nyata. Di tahap ini peserta didik menggunakan kemampuannya dengan cara – cara yang bermakna bagi kehidupannya. Peserta didik tidak hanya belajar terkait keterampilan berpikir kreatif, tetapi juga bagaimana menggunakan informasi tersebut dalam kehidupan nyata.

Sedangkan Treffinger dalam (Huda, 2013) menyebutkan bahwa model pembelajaran ini memiliki tiga komponen penting dengan rincian tahapannya yaitu sebagai berikut :

1) Komponen I – Understanding Challenge (Memahami Tantangan)

a) Menentukan tujuan : pendidik menginformasikan kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran tersebut.

b) Menggali data : pendidik menyajikan fenomena alam atau permasalahan yang dapat mengundang keingintahuan peserta didik.

c) Merumuskan masalah : pendidik memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengidentifikasi permasalahan tersebut.

2) Komponen II – Generating Ideas (Membangkitkan Gagasan) a) Memunculkan gagasan : pendidik memberi waktu dan

kesempatan pada peserta didik untuk mengungkapkan ide atau gagasannya dan membimbing peserta didik untuk menyepakati alternatif pemecahan masalah yang akan diuji.

3) Komponen III – Preparing for Action (Mempersiapkan Tindakan)

a) Mengembangkan solusi : pendidik mendorong peserta didik untuk mengumpulkan informasi yang sesuai dengan

permasalahan, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalahnya.

b) Membangun penerimaan : pendidik memeriksa solusi yang telah diperoleh peserta didik dan memberikan

permasalahan yang baru namun lebih kompleks agar

peserta didik dapat menerapkan solusi yang telah diperoleh.

Berdasarkan langkah – langkah dari model pembelajaran Treffinger yang telah dijelaskan, peneliti menggunakan langkah – langkah model

pembelajaran menurut Treffinger. Hal tersebut dikarenakan proses

penerapannya mudah dipahami untuk dapat diterapkan pada pembelajaran kelas V sekolah dasar.

(42)

25

3. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Treffinger 1) Kelebihan Model Pembelajaran Treffinger

Menurut (Huda, 2013) model pembelajaran Treffinger mempunyai kelebihan yang dapat diperoleh yaitu sebagai berikut:

a) Mengembangkan kemampuan berpikir peserta didik karena disajikan permasalahan pada awal pembelajaran dan

memberi keleluasaan kepada peserta didik untuk mencari langkah penyelesaiannya sendiri.

b) Membuat peserta didik aktif dalam proses pembelajaran.

c) Mengembangkan kemampuan peserta didik untuk mendefinisikan masalah, mengumpulkan data atau informasi, menganalisis data, membangun hipotesis, dan percobaan untuk memecahkan suatu permasalahan.

d) Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk

memahami konsep – konsep dengan cara menyelesaikan suatu permasalahan yang ada.

e) Membuat peserta didik dapat menerapkan pengetahuan yang sudah dimilikinya ke dalam situasi yang baru.

Sedangkan menurut (Shoimin, 2013) model pembelajaran Treffinger memiliki kelebihan yaitu :

a) Dilaksanakan kepada seluruh peserta didik dalam berbagai latar belakang dan tingkat kemampuan.

b) Mengasumsikan bahwa kreativitas merupakan proses dan hasil dari belajar.

c) Mengintegrasikan dimensi kognitif dan afektif dalam pengembangannya.

d) Memiliki tahapan pengembangan yang sistematik, dengan beragam metode dan teknik untuk setiap tahap yang dapat diterapkan secara fleksibel.

e) Melibatkan secara bertahap kemampuan berpikir

konvergen dan divergen dalam proses pemecahan masalah.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa kelebihan dari model pembelajaran Treffinger yaitu lebih menekankan kepada kemampuan kognitif dan afektif peserta didik.

Pada model pembelajaran Treffinger ini peserta didik diajarkan untuk dapat memahami konsep – konsep materi dengan menyelesaikan

(43)

permasalahan, peserta didik dapat lebih aktif selama proses

pembelajaran, dan kemampuan berpikir kreatif peserta didik dapat lebih berkembang.

2) Kekurangan Model Pembelajaran Treffinger

Menurut (Shoimin, 2013) kekurangan dari model pembelajaran Treffinger adalah membutuhkan waktu yang lama dalam proses pelaksanaannya. Sedangkan menurut (Huda, 2013) model

pembelajaran Treffinger memiliki kekurangan yaitu sebagai berikut:

a) Perbedaan level pemahaman dan kecerdasan peserta didik dalam menghadapi permasalahan.

b) Model ini mungkin tidak terlalu cocok untuk di terapkan anak di taman kanak – kanak atau di kelas awal sekolah dasar.

c) Ketidaksiapan peserta didik untuk menghadapi masalah baru yang dijumpai di lapangan.

d) Membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk

mempersiapkan peserta didik melakukan berbagai tahapan sesuai dengan tahapan model pembelajaran Treffinger.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa kekurangan dari model pembelajaran Treffinger yaitu setiap peserta didik memiliki perbedaan kemampuan dan pemahaman sehingga proses dalam pelaksanaan model pembelajaran ini akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Sehingga untuk meminimalisir kekurangan tersebut pendidik perlu memperhatikan perbedaan dalam level kemampuan dan pemahaman peserta didik dalam menyelesaikan suatu permasalahan dalam proses pembelajaran.

D. Higher Order Thinking Skills (HOTS) 1. Pengertian HOTS

Kemampuan berpikir tingkat tinggi/ HOTS merupakan proses berpikir kognitif peserta didik untuk dapat memproses informasi dengan

(44)

27

pemahaman yang tinggi hingga diharapkan dapat menciptakan sebuah produk atau karya. Menurut (Gunawan, 2012) pengertian HOTS adalah proses berpikir yang mengharuskan peserta didik untuk memanipulasi suatu informasi dan gagasan dalam cara tertentu yang memberikan

pengertian serta implikasi baru. Proses berpikir tersebut merupakan bagian dari ranah kognitif yang diklasifikasikan Bloom ke dalam enam tingkatan proses kognitif dalam (Anderson, 2010), antara lain: pengetahuan

(knowledge), pemahaman (comprehension), penerapan (application), menganalisis (analysis), menilai (evaluation), dan mencipta (creat) Menurut (Kusnawa, 2012), berpikir kritis dan berpikir kreatif saling ketergantungan seperti pada kriteria dan nilai – nilai, nalar, serta emosi.

Menurut Ernawati dalam (Katni & Ikhwanah, 2017) pengertian HOTS merupakan cara berpikir yang tidak hanya menghafal secara verbalistik, namun juga memaknai hakikat yang terkandung didalamnya sehingga untuk mampu memaknai maknanya tersebut dibutuhkan cara berpikir yang integralistik dengan analisis, sintesis, mengasosiasi dan menarik

kesimpulan menuju penciptaan ide – ide kreatif dan produktif.

Kemampuan berpikir tingkat tinggi/ HOTS juga telah mengalami revisi oleh Anderson dalam (Sunaryo, 2012) pada tataran HOTS menjadi kemampuan menganalisis, mengevaluasi dan mencipta. Selaras dengan pendapat tersebut , menurut Barrat dalam (Fanani, 2018) bahwa

pengertian HOTS adalah keterampilan berpikir tingkat tinggi yang menuntut pemikiran secara kreatif, kritis, analitis terhadap informasi dan data dalam memecahkan permasalahan. Saputra dalam (Dinni, 2018) mengemukakan bahwa pengertian HOTS adalah suatu proses berpikir peserta didik pada level kognitif yang lebih tinggi dan dikembangkan dari berbagai konsep, metode kognitif, dan taksonomi pembelajaran seperti metode problem solving, taksonomi bloom, taksonomi pengajaran, pembelajaran, dan penilaian.

(45)

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, peneliti menyimpulkan bahwa pengertian HOTS adalah proses berpikir yang membutuhkan kemampuan dalam menganalisis, mengevaluasi dan menciptakan untuk memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi. Peserta didik dituntut untuk memiliki proses berpikir secara kritis, kreatif dan analitis terhadap berbagai permasalahan sehingga tidak lagi sekedar mengingat atau menyatakan kembali materi yang telah dipelajari.

2. Karakteristik HOTS

Sebelum menerapkan pembelajaran HOTS kepada peserta didik, pendidik dapat terlebih dahulu memahami karakteristiknya. Conklin dalam (Fanani, 2018) mengemukakan karakteristik dari HOTS tersebut antara lain:

characteristics of higher – order thinking skills: higher – order thingking skills encompass both critical thinking and creative thinking”. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa karakteristik dari keterampilan berpikir tingkat tinggi mencakup berpikir kritis dan berpikir kreatif.

Sedangkan menurut (Widana, 2017) karakteristik dari HOTS adalah sebagai berikut:

1) Mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi

Kemampuan berpikir tingkat tinggi merupakan kemampuan untuk memecahkan masalah (problem solving), berpikir kreatif (creative thinking), kemampuan berargumen (reasoning), dan kemampuan mengambil keputusan (decision making). Pada penyajian soal HOTS belum tentu tiap butir soalnya memiliki tingkat kesukaran yang tinggi dikarenakan tingkat kesukaran dalam butir soal tersebut tidak sama dengan kemampuan berpikir tingkat tinggi.

2) Berbasis permasalahan kontekstual

Soal – soal HOTS merupakan asesmen yang berbasis situasi yang nyata dalam kehidupan sehari – hari, peserta didik diharapkan dapat menerapkan konsep – konsep pembelajaran di kelas untuk menyelesaikan berbagai permasalahan. Terdapat lima karakteristik dalam asesmen kontekstual yaitu asesmen yang terkait langsung dengan pengalaman kehidupan nyata (relating), asesmen yang ditentukan dengan penggalian, penemuan dan penciptaan (experiencing), asesmen dalam penerapan ilmu

(46)

29

pengetahuan di kelas pada penyelesaian permasalahan nyata (applying), asesmen untuk mampu

mengkomunikasikan kesimpulan model pada konteks masalah (communicating), dan asesmen yang

mentransformasi konsep pengetahuan dalam kelas ke dalam konteks baru (transferring).

3) Membangun bentuk soal beragam

Bentuk soal yang dapat digunakan untuk menulis butir – butir soal HOTS dan digunakan pada model pengujian PISA yaitu pilihan ganda, pilihan ganda kompleks

(benar/salah atau ya/tidak), isian singkat atau melengkapi, jawaban singkat dan uraian.

Selaras dengan karakteristik di atas yang telah diuraikan, Kemendikbud dalam (Fanani, 2018) memaparkan karakteristik dari HOTS yaitu sebagai berikut:

1) Mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi

Pada mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi dalam Taksonomi Bloom membutuhkan kemampuan untuk menganalisis (C4), mengevaluasi (C5), dan membuat (C6).

2) Berbasis permasalahan kontekstual

Soal – soal HOTS merupakan asesmen untuk menguji peserta didik pada konsep – konsep pembelajaran di kelas untuk menyelesaikan berbagai permasalahan dalam situasi nyata di kehidupan sehari – hari.

3) Tidak rutin (tidak akrab)

Penilaian HOTS bukan penilaian regular yang diberikan di dalam kelas. Penilaian HOTS tidak digunakan berkali – kali pada peserta tes yang sama karena penilaian HOTS belum pernah dilakukan sebelumnya.

4) Menggunakan bentuk soal yang beragam

Bentuk – bentuk soal yang beragam dalam soal – soal HOTS yang digunakan dalam PISA bertujuan agar dapat memberikan informasi lebih rinci dan menyeluruh tentang kemampuan seluruh peserta tes.

Berdasarkan pendapat para ahli mengenai karakteristik HOTS di atas, peneliti mengacu pada karakteristik HOTS menurut Kemendikbud.

Peneliti menyimpulkan bahwa karakteristik HOTS yaitu dapat mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi sesuai dengan permasalahan

kontekstual yang pelaksanaannya tidak secara rutin diberikan di kelas dan menggunakan bentuk soal yang beragam.

Gambar

Tabel    Halaman
15. Tabel Product Moment   137
Tabel 1. Level kognitif butir soal PAS SD Negeri di Gugus 02 Kecamatan    Merbau Mataram
Tabel 2. Rekapitulasi nilai PAS SD Negeri di Gugus 02 Kecamatan    Merbau Mataram
+7

Referensi

Dokumen terkait

ii ABSTRAK PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE TERHADAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA Studi pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 14 Bandar Lampung

Hasil uji lapangan menunjukan bahwa ada perbedaan kemampuan berpikir kritis peserta didik kelas ekseperimen dan kelas kontrol, Kemampuan berpikir kritis peserta didik yang menggunakan

Oleh karena itu, peneliti melakukan penelitian dengan judul “Pengembangan Media Pembelajaran Berbasis Audio-Visual pada Platform Youtube yang Adaptif dalam Meningkatkan Hasil Belajar

Berdasarkan pendapat ahli diatas, peneliti menyimpulkan bahwa politik mercusuar yang dijalankan oleh Presiden Sukarno pada masa demokrasi terpimpin adalah semata-mata untuk kemaslahatan

ABSTRAK PENGARUH PENERAPAN PENDEKATAN STEM DALAM PEMBELAJARAN IPA TERHADAP KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS PESERTA DIDIK KELAS V SD NEGERI 2 WAY GUBAG Oleh Diah Ayu Eka Rusmita

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang kandungan kualitas nutrisi protein kasar dan serat kasar pada tiga varietas rumput gajah rumput red

Pengumpulan soal tes hasil belajar dilakukan dengan mengumpulkan hasil data test pada akhir pembelajran menggunakan model pembelajaran konvensional dan juga model pembelajaran inkuiri

32 𝐻0 ∶ 𝜇1 = 𝜇2 rata-rata kemampuan pemahaman konsep matematis awal siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik sama dengan rata-rata kemampuan pemahaman