Referat
SINUSITIS DAN POLIP NASAL
Oleh:
M. Ali Ridho, S.Ked 04054821820135 Annisa Istiqomah, S.Ked 04054821820006 Shafira Irmayati, S.Ked 04084821921001 Berliana Agustin, S.Ked 04084821921070
Pembimbing:
dr. Yoan Levia Magdi, Sp.T.H.T.K.L.(K), FICS
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN THT-KL RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019
HALAMAN PENGESAHAN
Judul:
SINUSITIS DAN POLIP HIDUNG
Oleh:
M. Ali Ridho, S.Ked 04054821820135 Annisa Istiqomah, S.Ked 04054821820006 Shafira Irmayati, S.Ked 04084821921001 Berliana Agustin, S.Ked 04084821921070
Pembimbing:
dr. Yoan Levia Magdi, Sp.T.H.T.K.L.(K), FICS
Laporan kasus ini diajukan untuk memnuhi salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 28 Juli – 1 September 2019.
Palembang, Agustus 2019 Pembimbing
dr. Yoan Levia Magdi, Sp.T.H.T.K.L.(K), FICS
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“Sinusitis dan Polip Hidung”. Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi tugas laporan kasusyang merupakan bagian dari sistem pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya pada Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL RSMH Palembang.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Yoan Levia Magdi, Sp.T.H.T.K.L.(K), FICS selaku pembimbing yang telah banyak membimbing dalam penulisan dan penyusunan laporan kasus ini, serta semua pihak yang telah membantu hingga selesainya laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih memiliki kekurangan dan kesalahan akibat keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penulis. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan laporan kasus di masa mendatang. Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi pembaca.
Palembang, Agustus 2019
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...i
HALAMAN PENGESAHAN...ii
KATA PENGANTAR...iii
DAFTAR ISI...iv
BAB I PENDAHULUAN...1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...3
2.1 Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal ...3
2.1.1 Anatomi Hidung...3
2.1.2 Anatomi dan Fisiologi Sinus Paranasal...7
2.1.3 Kompleks Ostiomeatal...11
2.2 Sinusitis...13
2.2.1 Definisi dan Klasifikasi...13
2.2.2 Etiologi...14
2.2.3 Epidemiologi...15
2.2.4 Patofisiologi...16
2.2.5 Manifestasi Klinis...18
2.2.6 Kriteria Diagnosis...19
2.2.7 Penatalaksanaan...22
2.2.8 Komplikasi...24
2.3 Polip Nasal...26
2.3.1 Definisi...26
2.3.2 Epidemiologi...26
2.3.3 Etiologi...27
2.3.4 Patofisiologi...28
2.3.5 Makroskopis...29
2.3.6 Mikroskopis...29
2.3.7 Gejala Klinis...29
2.3.8 Diagnosis...30
2.3.9 Stadium Polip...32
2.3.10 Penatalaksanaan...32
2.3.11 Prognosis...36
BAB III KESIMPULAN...37
DAFTAR PUSTAKA...39
BAB I
PENDAHULUAN
Sinusitis dianggap salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di dunia.. Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran 1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerja sama dengan PERHATI dan Bagian THT RSCM mendapatkan data penyakit hidung dari 7 propinsi. Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari- Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien, 69% nya adalah sinusitis.1,2
Kejadian sinusitis umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sinusitis sering juga disebut dengan rhinosinusitis. Rinosinusitis adalah penyakit inflamasi yang sering ditemukan dan mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang berat, sehingga penting bagi dokter umum atau dokter spesialis lain untuk memiliki pengetahuan yang baik mengenai definisi, gejala dan metode diagnosis dari penyakit rinosinusitis ini.2,3
Penyebab utamanya ialah infeksi virus yang kemudian diikuti oleh infeksi bakteri. Secara epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinusetmoid dan maksila. Yang berbahaya dari sinusitis adalah komplikasinya keorbita dan intrakranial. Komplikasi ini terjadi akibat tatalaksana yang inadekuat atau faktor predisposisi yang tak dapat dihindari.1
Polip hidung merupakan massa edematous yang lunak berwarna putih atau keabu-abuan yang terdapat di dalam rongga hidung dan berasal dari pembengkakan mukosa hidung atau sinus. Etiologi dan patogenesis dari polip nasi belum diketahui secara pasti. Sampai saat ini, polip nasi masih banyak menimbulkan perbedaan pendapat.6
Prevalensi polip nasi dilaporkan 1-2% pada orang dewasa di Eropa dan
1-4%. Pada anak-anak sangat jarang ditemukan dan dilaporkan hanya sekitar 0,1%. Penelitian Larsen dan Tos di Denmark memperkirakan insidensi polip nasi sebesar 0,627 per 1000 orang per tahun. Di Indonesia studi epidemiologi menunjukkan bahwa perbandingan pria dan wanita 2-3:1 dengan prevalensi 0,2%- 4,3%. Polip hidung dapat timbul pada semua umur tetapi umumnya terjadi pada penderita dewasa muda dengan rentang usia 30-60 tahun.4
Polip hidung merupakan salah satu penyakit THT yang memberikan keluhan sumbatan pada hidung yang menetap dan semakin lama semakin berat dirasakan. Etiologi polip terbanyak merupakan akibat reaksi hipersensitivitas yaitu pada proses alergi, sehingga banyak didapatkan bersamaan dengan adanya sinusitis. Pada anamnesis pasien, didapatkan keluhan obstruksi hidung, anosmia, adanya riwayat rinitis alergi, keluhan sakit kepala daerah frontal atau sekitar mata, adanya sekret hidung. Bila menyumbat ostium sinus paranasalis mengakibatkan terjadinya sinusitis dengan keluhan nyeri kepala dan hidung berair. Penegakan diagnosis polip nasi dapat didapatkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaan dapat secara medikamentosa, non medikamentosa, maupun operatif.4,5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal 2.1.1 Anatomi Hidung
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari nares anterior hingga koana di posterior yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Septum nasi membagi tengah bagian hidung dalam menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Bagian inferior kavum nasi berbatasan dengan kavum oris dipisahkan oleh palatum durum. Ke arah posterior berhubungan dengan nasofaring melalui koana.
Di sebelah lateral dan depan dibatasi oleh nasus externus. Di sebelah lateral belakang berbatasan dengan orbita: sinus maksilaris, sinus etmoidalis, fossa pterygopalatina, fossa pterigoides.7
Dasar hidung
Dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal os palatum. Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, dan tulang-tulang os nasale, os frontale lamina cribrosa, os
etmoidale, dan corpus os sphenoidale. Dinding medial rongga hidung adalah septum nasi. Septum nasi terdiri atas kartilago septi nasi, lamina perpendikularis os etmoidale, dan os vomer. Sedangkan di daerah apex nasi, septum nasi disempurnakan oleh kulit, jaringan subkutis, dan kartilago alaris major.7
Dinding lateral
Dinding lateral dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu di anterior terdapat prosesus frontalis os maksila, di medial terdapat os etmoidal, os maksila serta konka, dan di posterior terdapat lamina perpendikularis os palatum, dan lamina pterigoides medial. Bagian terpending pada dinding lateral adalah empat buah konka. Konka terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior kemudian konka yang lebih kecil adalah konka media, konka superior dan yang paling kecil adalah konka suprema. Konka suprema biasanya akan mengalami rudimenter.7
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang dinamakan dengan meatus. Terdapat tiga meatus yaitu meatus inferior, media dan superior. Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Resesus sfenoetmoidal terletak di posterosuperior konka superior dan di depan konka os spenoid. Resesus sfenoetmoidal merupakan tempat bermuaranya sinus sfenoid. Meatus media merupakan salah satu celah yang di dalamnya terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateralnya terdapat celah berbentuk bulan sabit yang disebut sebagai infundibulum.
Muara atau fisura berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum dinamakan hiatus semilunaris.7
Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus frontal. Meatus nasi inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di belakang batas posterior nostril.7
Septum membagi kavum nasi menjadi ruang kanan dan kiri.
Bagian posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago septum, premaksila dan kolumela membranosa.
Bagian posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila, krista palatina dan krista sfenoid.7
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang- cabang a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang disebut Pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis (pendarahan hidung) terutama pada anak. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arteri. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung
Vena-vena di hidung tidak memiliki katup sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intrakranial. 4,7
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N.V1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila (N.V2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.Nervus olfaktorius turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.4,7
2.1.2 Anatomi dan Fisiologi Sinus Paranasal
Sinus paranasal merupakan rongga yang terdapat pada bagian dalam tulang maksila, frontal, sfenoid dan etmoid, serta berhubungan dengan kavum nasi melalui dinding lateral kavum nasi. Terdapat empat pasang sinus paranasal yaitu sinus etmoid, maksila, frontal dan sfenoid.
Sinus paranasal dilapisi oleh mukoperiosteum tipis berupa epitel torak berlapis atau berlapis semu bersilia yang berisi udara dengan sejumlah sel goblet. Dibawahnya terdapat tunika propria yang merupakan jaringan fibroelastik dan terdapat kelenjar serosanguinus. Kelenjar ini dan sel goblet secara konstan memproduksi mukus. Sekresi mukus ini terdapat enzim lisozim (muramidase) yang mampu membunuh kuman. Palut lendir (mucous blanket) yang terdapat di permukaan epitel bersilia mempunyai fungsi dalam melembabkan, menghangatkan udara yang dihirup dan menangkap (membersihkan) polutan berbagai material yang dapat merugikan bagi tubuh. Mukus beserta bahan material yang telah di proses dihancurkan) selanjutnya oleh pergerakan silia akan di dorong dengan gerakan ritmis menuju ostium dengan pola tertentu.9
Patensi ostium sangat diperlukan agar berbagai bahan yang dapat menyebabkan iritasi serta perubahan histopatologik mukosa dapat dialirkan keluar sinus. Oleh gerakan silia, mucous blanket yang ada di
setiap sinus akan dialirkan seluruhnya keluar ostium (klirens mukosilier) dalam waktu 20-30 menit. Mukus yang berasal dari sinus frontal, maksila dan etmoidalis anterior selanjutnya akan menuju kompleks ostiomeatal di meatus medius. Sedangkan mukus dari sinus etmoidalis losterior dan sfenoid akan mengalir menuju meatus superior melalui resesus sfenoetmoidalis.Transport mukus selanjutnya menuju nasofaring dengan mengelilingi tuba eustachius.4,9
Sinus frontalis berada pada os frontalis, dipisahkan oleh septum tulang. Masing-masing sinus berbentuk segitiga (triangular), memanjang sampai batas atas ujung medial alis dan kebelakang hingga bagian medial atap orbita. Sinus frontalis bermuara pada meatus media melalui infundibulum nasi. Sinus sfenoid berada pada os sfenoid. Sinus ini bermuara pada resesus sfenoetmoidal diatas konka superior.Sinus etmoid berada pada anterior, media dan posterior os etmoid, antara hidung dan orbita. Sinus etmoid anterior bermuara pada infundibulum, sinus etmoid media bermuara pada meatus media, di atas bula etmoidalis, dan sinus etmoid posterior bermuara pada meatus superior.9
Gambar 5. Dinding lateral nasal tanpa konka
Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan rongga pneumatisasi yang merupakan sinus paranasal paling besar dengan bentuk seperti piramid, volume pada dewasa antara 15-30 ml, dan terletak pada regio maksilaris dibelakang
kulit pipi. Atap sinus terbentuk dari dasar orbita dan dasar sinus berhubungan dengan akar premolar dan molar. Sinus ini bermuara pada meatus media melalui hiatus semilunaris. Dinding anterior terbentuk dari bagian fasialis maksila, dinding posterior membatasi fosa infratemporal, dinding medial terbentuk dari dinding lateral kavum nasal, dasar sinus yaitu prosesus alveolar dan dasar orbita sebagai dinding superior. Pada 2%
kasus, akar gigi molar pertama dan kedua dapat masuk kedalam sinus maksila. Ostium sinus ini terbuka pada bagian superior dinding medial untuk drainase sinus menuju infundibulum etmoid. Ostium sinus maksila aksesorius ditemukan 15% sampai 40% orang, kebanyakan umumnya di bagian superior dan posterior prosesus unsinatus diatas insersi konka inferior. 9
Sinus Frontal
Sinus frontal mempunyai variabilitas tinggi dalam perkembangan, jumlah dan ukuran. Bagian dari sinus ini yang meluas ke meatus medius membentuk penonjolan, disebut resesus frontalis. Sinus frontal terbagi oleh septa tak beraturan dan memiliki batas tulang yang juga tak beraturan.
Pada dinding posterior dan inferior sinus ini berbatasan dengan anyaman pembuluh vena besar yang menuju otak dan orbita. Sekret yang berasal dari sinus frontalis mengalir ke dalam resesus frontalis melalui ostium nasofrontalis. Dari resesus frontalis, sekret langsung menuju meatus medius, atau tidak langsung melalui aspek superior infundibulum dan hiatus semilunaris.9
Sinus Etmoid
Sinus etmoid merupakan struktur sentral hidung dengan anatomi yang kompleks. Bagian lateral sinus etmoid membentuk dinding medial orbita, sfenoid membentuk bagian posterior wajah sedangkan permukaan superior dibentuk oleh dasar tengkorak fosa kranial anterior dan beberapa struktur dinding lateral nasal, yang berasal dari lamela basalis, meluas
secara posteroinferior dari dasar tengkorak. Dinding lateral sinus etmoid, atau lamina papirasea, membentuk dinding medial orbita. Lempeng vertikal pada bagian tengah tulang etmoid dibentuk dari bagian superior fosa kranial anterior yang dinamakan krista gali dan bagian inferior kavum nasi yang dinamakan lempeng perpendikular tulang etmoid, yang akan membentuk septum nasal. Fosa kranial anterior terpisah dari sel etmoid pada bagian superior oleh lempeng horizontal tulang etmoid, yang terdiri dari lamina kribiformis medial yang tipis dan yang lebih tebal pada lateral atap etmoid. Atap etmoid berartikulasi dengan lamina kribiformis pada lamela lateral lamina kribiformis, yang merupakan tulang paling tipis pada semua dasar tengkorak. Panjang lamela lateral tergantung dari posisi lamina kribiformis dengan atap etmoid. Sinus etmoid dipisahkan oleh lima sekat bertulang atau lamela. Kelima lamela ini, dari anterior ke posterior, yaitu prosesus unsinatus, bula etmoid, lamela basalis, konka superior, konka suprema.
Dasar lamela merupakan batas yang memisahkan sinus etmoid anterior dan posterior. Bagian inferior dasar lamela menghubungkan konka media ke dinding nasal lateral pada bidang aksial dan berfungsi dalam stabilisasi konka saat operasi sinus endoskopi. Sel etmoid posterior umumnya lebih besar dan memiliki pneumatisasi secara lateral dan superior ke sinus sfenoid. Lamela sinus etmoid dipisahkan oleh empat buat resesus yaitu resesus frontal yang merupakan drainase sinus frontalis, infundibulum pada bagian lateral prosesus unsinatus, sinus lateralis dan resesus sfenoetmoidalis pada bagian posterior meatus superior yang merupakan drainase sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Lamina basalis konka media membagi sinus etmoid menjadi kompleks etmoidalis anterior dan posterior. Kompleks etmoidalis anterior terdiri atas selule dan celah yang membuka dan mengalirkan sekret kearah anterior dan inferior menuju lamela basalis. Bula etmoidalis merupakan sel etmoidalis yang terletak paling anterior dan berlokasi di dalam lamina papirasea orbita.
Kompleks etmoidalis posterior terdiri atas selulule dan celah yang
mengalirkan sekret mukosa kearah posterior dan medial menuju lamela dari konka media, selanjutnya ke dasar tengkorak, dan dinding medial orbita.9
Sinus Sfenoid
Sinus ini terletak paling posterior dari sinus paranasal lainnya.
Pada dinding lateral sinus berbatasan dengan beberapa struktur penting seperti sinus kavernosus, arteri karotis interna, nervus kranialis I, III, IV, V dan VI. Ostium sinus sfenoid membuka ke resesus sfenoetmoid. Penelitian pada ostium sinus sfenoid mengidentifikasi ujung posteroinferior konka superior yang merupakan bagian paling baik dalam identifikasi ostium sinus sfenoid. Pada kebanyakan kasus, ujung posteroinferior konka superior berada pada bidang horizontal yang sama dengan dasar sinus sfenoid. Ostium berada pada bagian medial konka superior pada 83%
kasus dan di lateral pada 17% kasus. Septum sfenoid biasanya mengalami deviasi ke arah posterior dari garis tengah, membagi sinus menjadi dua bagian asimetris dan dapat masuk ke dalam penonjolan tulang yang melapisi nervus optikus atau arteri karotis.9
Gambar 6. Sinus Paranasal
2.1.3 Kompleks ostiomeatal (KOM)
KOM adalah unit drainase fungsional yang terdiri atas bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya, prosesus unsinatus,
infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, ostium sinus maksila dan resesus frontalis. Celah sempit ini (KOM) berperan sangat penting dalam mempertahankan kondisi fisiologis sinus paranasal. Mukus atau sekret yang berasal dari sinus frontal, etmoid anterior dan maksila akan mengalir melalui daerah ini. Kompleks ostiomeatal merupakan area yang dikelilingi oleh konka media di bagian medial, lamina papirasea di bagian lateral dan lamela basalis pada bagian posterior serta atap etmoid pada bagian superior. 9,10
Prosesus unsinatus adalah penonjolan tulang mirip bukit pada dinding meatus medius yang letaknya anterior dari bula etmoidalis.
Infundibulum merupakan ruang berbentuk corong antara bula etmoidalis dan prosesus unsinatus, pada akhirnya menerima aliran sekret dari sinus frontalis dan maksilaris. Hiatus semilunaris merupakan cekungan berbentuk sabit dengan panjang sekitar 2 cm dan kedalaman 3-4 mm, terletak diantara bula etmoidalis dan prosesus unsinatus. Sekret yang berada di hiatus semilunaris berasal dari infundibulum, selanjutnya menuju meatus medius dan kemudian ke dalam hidung. 4,9
Gambar 7. Kompleks Ostiomeatal
Sampai saat ini belum ada kesesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka. Namun ada beberapa pendapat yang dicetuskan mengenail fungsi sinus paranasal yakni :9,10
1. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi.Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata tidak didapati pertukaran udara yang definitive antara sinus dan rongga hidung.Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.
2. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.
3. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi, bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori dianggap tidak bermakna.
4. Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara.Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif.Lagipula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.
5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus
6. Membantu produksi mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.
2.2 Sinusitis
2.2.1 Definisi dan Klasifikasi
Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau infeksi virus, bakteri maupun jamur. Sinusitis bisa terjadi pada salah satu dari keempat sinus yang ada (maksilaris, etmoidalis, frontalis atau sfenoidalis). Sinusitis bisa bersifat akut (berlangsung selama 3 minggu atau kurang) maupun kronis (berlangsung selama 3-8 minggu tetapi dapat berlanjut sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun). Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Dari semua jenis sinusitis, yang paling sering ditemukan adalah sinusitis maksilaris dan sinusitis ethmoidalis.Secara klinis sinusitis dibagian atas:
Sinusitis akut, bila infeksi beberapa hari sampai beberapa minggu.
Sinusitis subakut, bila infeksi beberapa minggu hingga beberapa bulan.
Sinusitis Kronis, bila infeksi beberapa bulah hingga beberapa tahun.
Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi atas:
Rhinogenik (penyebab kelainan atau masalah di hidung), Segala sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis. Contohnya rinitis akut (influenza), polip, dan septum deviasi
Dentogenik/Odontogenik (penyebabnya kelainan gigi), yang sering menyebabkan sinusitis infeksi adalah pada gigi geraham atas (pre molar dan molar). Bakteri penyebabnya adalah Streptococcus pneumoniae, Hemophilus influenza, Steptococcus viridans, Staphylococcus aureus, Branchamella catarhatis2,10
2.2.2 Etiologi4
Berbagai faktor infeksius dan nonifeksius dapat memberikan kontribusi dalam terjadinya obstruksi akut ostia sinus atau gangguan pengeluaran cairan oleh silia, yang akhirnya menyebabkan sinusitis.
Penyebab nonifeksius antara lain adalah rinitis alergika, barotrauma, atau iritan kimia. Penyakit seperti tumor nasal atau tumor sinus (squamous cell carcinoma), dan juga penyakit granulomatus (Wegener’s granulomatosis atau rhinoskleroma) juga dapat menyebabkan obstruksi ostia sinus, sedangkan konsisi yang menyebabkan perubahan kandungan sekret mukus (fibrosis kistik) dapat menyebabkan sinusitis dengan mengganggu pengeluaran mukus.4
Di rumah sakit, penggunaan pipa nasotrakeal adalah faktor resiko mayor untuk infeksi nosokomial di unit perawatan intensif. Infeksi sinusitis akut dapat disebabkan berbagai organisme, termasuk virus, bakteri, dan jamur. Virus yang sering ditemukan adalah rhinovirus, virus parainfluenza, dan virus influenza. Bakteri yang sering menyebabkan sinusitis adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan moraxella catarralis. Bakteri anaerob juga terkadang ditemukan sebagai penyebab sinusitis maksilaris, terkait dengan infeksi pada gigi premolar.
Sedangkan jamur juga ditemukan sebagai penyebab sinusitis pada pasien dengan gangguan sistem imun, yang menunjukkan infeksi invasif yang mengancam jiwa. Jamur yang menyebabkan infeksi antara lain adalah dari spesies Rhizopus, rhizomucor,Mucor, Absidia, Cunninghamella, Aspergillus, dan Fusarium.4
2.2.3 Epidemiologi
Sinusitis adalah penyakit yang benyak ditemukan di seluruh dunia, terutama di tempat dengan polusi udara tinggi. Iklim yang lembab, dingin, dengan konsentrasi pollen yang tinggi terkait dengan prevalensi yang lebih tinggi dari sinusitis. Sinusitis maksilaris adalah sinusitis dengan insiden yang terbesar. Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit
peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit.
Di Amerika Serikat, lebih dari 30 juta orang menderita sinusitis. Virus adalah penyebab sinusitis akut yang paling umum ditemukan. Namun, sinusitis bakterial adalah diagnosis terbanyak kelima pada pasien dengan pemberian antibiotik. Lima milyar dolar dihabiskan setiap tahunnya untuk pengobatan medis sinusitis, dan 60 milyar lainnya dihabiskan untuk pengobatan operatif sinusitis di Amerika Serikat.2,4
Kejadian sinusitis umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sinusitis sering juga disebut dengan rhinosinusitis. Rinosinusitis adalah penyakit inflamasi yang sering ditemukan dan mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang berat.10
2.2.4 Patofisiologi
Dalam keadaan fisiologis, sinus adalah steril. Sinusitis dapat terjadi bila klirens silier sekret sinus berkurang atau ostia sinus menjadi tersumbat, yang menyebabkan retensi sekret, tekanan sinus negatif, dan berkurangnya tekanan parsial oksigen. Lingkungan ini cocok untuk pertumbuhan organisme patogen. Apabila terjadi infeksi karena virus, bakteri ataupun jamur pada sinus yang berisi sekret ini, maka terjadilah sinusitis.10
Pada dasarnya patofisiologi dari sinusitis dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu obstruksi drainase sinus (sinus ostia), kerusakan pada silia, dan kuantitas dan kualitas mukosa. Sebagian besar episode sinusitis disebabkan oleh infeksi virus. Virus tersebut sebagian besar menginfeksi saluran pernapasan atas seperti rhinovirus, influenza A dan B, parainfluenza, respiratory syncytial virus, adenovirus dan enterovirus.
Sekitar 90 % pasien yang mengalami ISPA akan memberikan bukti gambaran radiologis yang melibatkan sinus paranasal. Infeksi virus akan menyebabkan terjadinya oedem pada dinding hidung dan sinus sehingga
menyebabkan terjadinya penyempitan atau obstruksi pada ostium sinus, dan berpengaruh pada mekanisme drainase dalam sinus. Selain itu inflamasi, polyps, tumor, trauma, scar, anatomic varian, dan nasal instrumentation juga menyebabkan menurunya patensi sinus ostia.10,11
Virus yang menginfeksi tersebut dapat memproduksi enzim dan neuraminidase yang mengendurkan mukosa sinus dan mempercepat difusi virus pada lapisan mukosilia. Hal ini menyebabkan silia menjadi kurang aktif dan sekret yang diproduksi sinus menjadi lebih kental, yang merupakan media yang sangat baik untuk berkembangnya bakteri patogen.
Silia yang kurang aktif fungsinya tersebut terganggu oleh terjadinya akumulasi cairan pada sinus. Terganggunya fungsi silia tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kehilangan lapisan epitel bersilia, udara dingin, aliran udara yang cepat, virus, bakteri, environmental ciliotoxins, mediator inflamasi, kontak antara dua permukaan mukosa, parut, primary cilliary dyskinesia (Kartagener syndrome).12
Adanya bakteri dan lapisan mukosilia yang abnormal meningkatkan kemungkinan terjadinya reinfeksi atau reinokulasi dari virus. Konsumsi oksigen oleh bakteri akan menyebabkan keadaan hipoksia di dalam sinus dan akan memberikan media yang menguntungkan untuk berkembangnya bakteri anaerob. Penurunan jumlah oksigen juga akan mempengaruhi pergerakan silia dan aktivitas leukosit. Sinusitis kronis dapat disebabkan oleh fungsi lapisan mukosilia yang tidak adekuat, obstruksi sehingga drainase sekret terganggu, dan terdapatnya beberapa bakteri patogen.10,13
Antrum maksila mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan akar gigi pre molar dan molar atas. Hubungan ini dapat menimbulkan problem klinis seperti infeksi yang berasal dari gigi dan fistula oroantral dapat naik ke atas dan menimbulkan infeksi sinus. Sinusitis maksila diawali dengan sumbatan ostium sinus akibat proses inflamasi pada mukosa rongga hidung. Proses inflamasi ini akan menyebabkan gangguan aerasi dan drainase sinus. Keterlibatan antrum unilateral seringkali
merupakan indikasi dari keterlibatan gigi sebagai penyebab. Bila hal ini terjadi maka organisme yang bertanggung jawab kemungkinan adalah jenis gram negatif yang merupakan organisme yang lebih banyak didapatkan pada infeksi gigi daripada bakteri gram positif yang merupakan bakteri khas pada sinus.12,13
Penyakit gigi seperti abses apikal, atau periodontal dapat menimbulkan gambaran radiologi yang didominasi oleh bakteri gram negatif, karenanya menimbulkan bau busuk. Pada sinusitis yang dentogennya terkumpul kental akan memperberat atau mengganggu drainase terlebih bila meatus medius tertutup oleh oedem atau pus atau kelainan anatomi lain seperti deviasi, dan hipertropi konka. Akar gigi premolar kedua dan molar pertama berhubungan dekat dengan lantai dari sinus maksila dan pada sebagian individu berhubungan langsung dengan mukosa sinus maksila. Sehingga penyebaran bakteri langsung dari akar gigi ke sinus dapat terjadi.10
2.2.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis sinusitis sangat bervariasi. Keluhan utama yang paling sering ditemukan adalah tidak spesifik, dan dapat berupa sekret nasal purulen, kongesti nasal, rasa tertekan pada wajah, nyeri gigi, nyeri telinga, demam, nyeri kepala, batuk, rasa lelah, halitosis, atau berkurangnya penciuman. Gejala seperti ini sulit dibedakan dengan infeksi saluran nafas atas karena virus, sehingga durasi gejala menjadi penting dalam diagnosis. Pasien dengan gejala diatas selama lebih dari 7 hari mengarahkan diagnosis ke arah sinusitis.10
Sinusitis maksilaris akut biasanya menyusul infeksi saluran napas atas yang ringan. Alergi hidung kronik, benda asing, dan deviasi septum nasi merupakan faktor-faktor predisposisi lokal yang paling sering ditemukan. Gejala infeksi sinus maksilaris akut berupa demam, malaise,
dan nyeri kepala yang tak jelas yang biasanya reda dengan pemberian analgetik biasa seperti aspirin.11,12
Pada sinusitis maksila nyeri terasa di bawah kelopak mata dan kadang menyebar ke alveolus hingga terasa di gigi. Nyeri alih dirasakan di dahi dan depan telinga. Wajah terasa bengkak, penuh, dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik atau turun tangga.
Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri pada palpasi dan perkusi. Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non produktif seringkali ada.10,11 Gambaran radiologik sinusitis akut mula-mula berupa penebalan mukosa, selanjutnya opasifikasi sinus lengkap akibat mukosa yang membengkak hebat, atau akibat akumulasi cairan yang memenuhi sinus.
Biakan bakteri yang muncul biasanya Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, bakteri anaerob, Branghamella catarrhalis. Jika tidak mendapatkan penanganan yang adekuat Sinusitis maksilaris akut dapat berubah menjadi sinusitis maksilaris kronis yang berlangsung selama beberapa bulan atau tahun.12
Gambar 8. Cairan pada sinus maksilaris
2.2.6 Kriteria Diagnosis1,2,12,14 A. Sinusitis akut2,12,14 Anamnesis
Gejala mayor Gejala minor
Nyeri atau rasa tertekan pada
wajah Sakit kepala
Sekret nasal purulen Batuk
Demam Rasa lelah
Kongesti nasal Rasa lelah
Obstruksi nasal Halitosis
Hiposmia atau anosmia Nyeri gigi
Gejala subyektif terdiri dari gejala sistemik dan gejala lokal. Gejala sistemik ialah demam dan rasa lesu. Gejala lokal pada hidung terdapat ingus kental yang kadang-kadang berbau dan dirasakan mengalir ke nasofaring. Dirasakan hidung tersumbat, rasa nyeri didaerah infraorbita dan kadang-kadang menyebar ke alveolus, sehingga terasa nyeri di gigi.
Nyeri alih dirasakan di dahi dan di depan telinga. Penciuman terganggu dan ada perasaan penuh dipipi waktu membungkuk ke depan. Terdapat perasaan sakit kepala waktu bangun tidur dan dapat menghilang hanya bila peningkatan sumbatan hidung sewaktu berbaring sudah ditiadakan.
Gejala obyektif, pada pemeriksaan sinusitis maksila akut akan tampak pembengkakan di pipi dan kelopak mata bawah. Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema. Pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis etmoid anterior tampak mukopus atau nanah di meatus medius. Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip).
Pemeriksaan fisik
Pada Inspeksi yang diperhatikan adalah ada tidaknya pembengkakan pada muka, pipi sampai kelopak mata atas/bawah yang berwarna kemerahan. Pada palpasi dapat sinus paranasal ditemukan nyeri tekan dan tenderness.
Rhinoskopi anterior dengan atau tanpa dekongestan. Untuk menilai status dari mukosa hidung dan ada tidaknya,warna cairan yang keluar.
Kelainan anatomis juga dapat dinilai dengan pemeriksaan ini.Pemeriksaan transiluminasi pada sinus maksila dan frontal dapat menunjukkan adanya gambaran gelap total, apabila hanya sebagian dinyatakan tidak spesifik.1
Gambar 9 dan 10. Pus pada meatus medius dan pembengkakan pipi
Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan transluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap. Transluminasi bermakna bila salah satu sinus yang sakit, sehingga tampak lebih suram dibandingkan dengan sisi yang normal.
Pemeriksaan radiologik yang dibuat adalah posisi waters. Akan tampak perselubungan atau penebalan mukosa atau batas cairan-udara (air fluid level) pada sinus yang sakit.
Pemeriksaan mikrobiologik atau biakan hapusan hidung dilakukan dengan mengambil sekret dari meatus medius. Mungkin ditemukan bermacam-macam bakteri yang merupakan flora normal atau kuman patogen, seperti Pneumokokus, Streptokokus, Stafilokokus dan Haemofilus influenza. Selain itu mungkin ditemukan juga virus atau jamur.
B. Sinusitis Kronis1,2,14 Anamnesis
Keluhan umum yang membawa pasien sinusitis kronis untuk berobat biasanya adalah kongesti atau obstruksi hidung. Keluhan biasanya
diikuti dengan malaise, nyeri kepala setempat, sekret di hidung, sekret pasca nasal (post nasal drip) , gangguan penciuman dan pengecapan.
Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret kental purulen dari meatus medius. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke tenggorok.
Pemeriksaan penunjang
Transluminasi dapat dipakai untuk memeriksa sinus maksilaris dan sinus frontal, bila fasilitas pemeriksaan radiologik tidak tersedia. Bila pada pemeriksaan transluminasi tampak gelap didaerah infraorbita, mungkin berarti antrum terisi oleh pus atau mukosa antrum menebal atau terdapat neoplasma di dalam antrum. Bila terdapat kista yang besar didalam sinus maksila, akan tampak terang pada pemeriksaan transluminasi.
Pemeriksaan radiologik pada sinusitis kronis tidak dianjurkan, penggunaannya dibatasi hanya untuk sinusitis maksilaris akut atau sinusitis frontalis.
Gambar 11 Gambaran CT scan menunjukan penebalaan mukosa sinus
CT scan salah satu modalitas yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi anatomi dan patologi sinus. Staging dapat dilakuan dengan menggunakan CT scan. Sistem stagging ini
sederhana, mudah diingat dan sangat efektif untuk mengklasifikasikan sinusitis kronis. Stagging ini membantu dalam perencanaan operasi dan hasil terapi. Stagging didasarkan pada perluasan penyakit setelah terapi medis. Stagging tersebut terbagi atas:
- Stage I : Satu fokus penyakit
- Stage II : Penyakit noncontiguous melalui labirin ethmoid - Stage III : Difuse yang responsif terhadap pengobatan - Stage IV : Difuse yang tidak responsif dengan pengobatan.
2.2.7 Penatalaksanaan1,2,4
Tujuan utama penatalaksanaan sinusitis adalah:1
Mempercepat penyembuhan
Mencegah komplikasi
Mencegah perubahan menjadi kronik.
Sinusitis akut dapat diterapi dengan pengobatan (medikamentosa) dan pembedahan (operasi).Penatalakanaan yang dapat diberikan pada pasien sinusitis akut, yaitu:
Pada sinusitis akut, diberikan amoksisilin (40 mg/kgbb/hari) yang merupakan first line drug, namun jika tidak ada perbaikan dalan 48-72 jam, dapat diberikan amoksisilin/klavulanat. Sebaiknya antibiotik diberikan selama 10-14 hari.1,4
Pada kasus sinusitis kronis, antibiotik diberikan selama 4-6 minggu sebelum diputuskan untuk pembedahan. Dosis amoksisilin dapat ditingkatkan sampai 90 mg/kgbb/hari. Pada pasien dengan gejala berat atau dicurigai adanya komplikasi diberikan antibiotik secara intravena.
Sefotaksim atau seftriakson dengan klindamisin dapat diberikan pada Streptococcus pneumoniae yang resisten.1,2
Terapi tambahan: Terapi tambahan meliputi pemberian antihistamin, dekongestan, dan steroid.
Antihistamin: antihistamin merupakan kontra indikasi pada sinusitis, kecuali jelas adanya etiologi alergi. Pemberian antihistamin dapat mengentalkan sekret sehingga menimbulkan penumpukan sekret di sinus,dan memperberat sinusitis.1,4
Dekongestan: dekongestan topikal seperti oksimetazolin, penileprin akan menguntungkan jika diberikan pada awal tata laksana sinusitis.
Aktifitasnya akan mengurangi edem atau inflamasi yang mengakibatkan obstruksi ostium, meningkatkan drainase sekret dan memperbaiki ventilasi sinus. Pemberian dekongestan dibatasi sampai 3-5 hari untuk mencegah ketergantungan dan rebound nasal decongestan. Pemberian dekongestan sistemik, seperti penilpropanolamin, pseudoefedrin dapat menormalkan ventilasi sinus dan mengembalikan fungsi pembersih mukosilia.
Dekongestan sistemik dapat diberikan sampai 10-14 hari.1,4
Steroid : steroid topikal dianjurkan pada sinusitis kronis. Steroid akan mengurangi edem dan inflamasi hidung sehingga dapat memperbaiki drainase sinus. Untuk steroid oral, dianjurkan pemberiannya dalam jangka pendek mengingat efek samping yang mungkin timbul.1,2
Pembedahan: Untuk pasien yang tidak responsif dengan terapi medikamentosa yang maksimal, tindakan bedah perlu dilakukan. Indikasi
bedah apabila ditemukan perluasan infeksi intrakranial seperti meningitis, nekrosis dinding sinus disertai pembentukan fistel, pembentukan mukokel, selulitis orbita dengan abses dan keluarnya sekret terus menerus yang tidak membaik dengan terapi konservatif.Beberapa tindakan pembedahan pada sinusitis antara lain adenoidektomi, irigasi dan drainase, septoplasti, andral lavage, caldwell luc dan functional endoscopic sinus surgery (FESS).Terdapat tiga pilihan operasi yang dapat dilakukan pada sinusitis maksilaris, yaitu unisinektomi endoskopik dengan atau tanpa antrostomi maksilaris, prosedur Caldwell-Luc, dan antrostomi inferior. Saat ini, antrostomi unilateral dan unisinektomi endoskopik adalah pengobatan standar sinusitis maksilaris kronis refrakter. Prosedur Caldwell-Luc dan antrostomi inferior antrostomy jarang dilakukan.1,4
2.2.8 Komplikasi
Komplikasi Orbita
Sinus etmoidalis merupakan penyebab komplikasi tersering pada daerah orbita. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi etmoiditis akut, namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat pula menimbulkan infeksi isi orbita. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis, dan perkontinuitatum. Variasi yang dapat timbul dari kelainan ini adalah edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiosteal, abses orbita, dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus kavernosus.15.16
Komplikasi Intrakranial
Kelainan dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak, dan trombosis sinus kavernosus.Meningitis akut disebabkan infeksi dari sinus paranasalis yang menyebar sepanjang vena atau langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribiformis di dekat sistem sel udara etmoidalis.15,16
Abses dura adalah kumpulan pus di antara dura dan tabula interna
timbul lambat sehingga mungkin pasien hanya mengeluh nyeri kepala, dan sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan tekanan intrakranial yang memadai, mungkin tidak terdapat gejala neurologik lain.16
Abses otak biasanya terjadi melalui tromboflebitis yang meluas secara langsung. Dengan demikian, lokasi abses yang lazim adalah pada ujung vena yang pecah, meluas menembus dura dan arakhnoid hingga ke perbatasan antara substansia alba dan grisea korteks serebri.16
Osteomielitis dan Abses Subperiosteal
Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral ataufistula pada pipi. Nyeri dan nyeri tekan dahi setempat sangat berat.Gejala sistemik berupa malaise demam dan menggigil.
Pembengkakan di atas alis mata juga lazim terjadi dan bertambah hebat bila terbentuk abses subperiosteal, dimana terbentuk edema supraorbita dan mata menjadi tertutup.15,16
Komplikasi Paru
Kelainan pada paru seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis.
Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitis disembuhkan.15,16
Mukokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam sinus. Kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya.
Dalam sinus frontalis, etmoidalis, dan sfenoidalis, kista ini dapat membesar dan melalui atrofi tekanan mengikis struktur di sekitarnya.
Dengan demikian, kista ini dapat bermanifestasi sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke lateral.
Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan dengan menekan saraf di sekitarnya.15
2.3 Polip Nasal 2.3.1 Definisi
Polip nasi ialah massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam rongga hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa. Bentuk menyerupai buah anggur, lunak dan dapat digerakkan. Polip timbul dari dinding lateral hidung. Polip yang diakibatkan proses inflamasi biasanya bilateral.2,4
2.3.2 Epidemiologi
Polip nasi biasanya diderita oleh orang dewasa usia 30-60 tahun.
Laki-laki lebih dominan dengan perbandingan 2:1 sampai 4:1.Prevalensi polip hidung dari seluruh orang dewasa Thailand sekitar 1-4%.Prevalensi pada anak-anak jauh lebih rendah. Prevalensi polip hidung di Swedia sekitar 2,7% dengan laki-laki lebih dominan 2,2:1. Di Finlandia, prevalensi polip nasi sekitar 4,3%. Di Amerika Serikat dan Eropa, prevalensi polip 2,1-4,3%.2,,4
Di Indonesia, Sardjono Soejak dan Sri Herawati melaporkan penderita polip nasi sebesar 4,63% dari semua pengunjung poliklinik THT-KL RS.Dr. Soetomo Surabaya. Rasio pria dan wanita 2-4:1. Di RSUPH. Adam Malik Medan selama Maret 2004 sampai Februari 2005, kasus polip nasi sebanyak 26 orang terdiri dari 17 pria (65%) dan 9 wanita(35%). Selama Januari sampai Desember 2010 didapatkan kasus polip nasi sebanyak 43 orang terdiri dari 22 pria (51,2%) dan 21 perempuan (48,8%). Indrawati (2011) melakukan penelitian di RS DR.
SardjitoYogyakarta, melaporkan terdapat 24 penderita polip dimana tipe 1 sekitar20,8%, tipe 2 sekitar 58,3%, tipe 3 sekitar 16,7% dan tipe 4 sekitar 4,2%.2
Faktor genetik dianggap berperan dalam etiologi polip nasi.Sekitar 14% penderita polip memiliki riwayat keluarga menderita polip nasi. Etnis dan geografis memiliki peranan dalam patofisiologi polip. Pada populasi
Caucasian dominan polip eosinofilik sementara di Asia dominan neutrofilik.2,4
2.3.3 Etiologi
Polip nasal biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif atau reaksi alergi pada mukosa hidung. Peranan infeksi pada pembentukan polip hidung belum diketahui dengan pasti tetapi ada keragu – raguan bahwa infeksi dalam hidung atau sinus paranasal seringkali ditemukan bersamaan dengan adanya polip. Polip berasal dari pembengkakan lapisan permukaan mukosa hidung atau sinus, yang kemudian menonjol dan turun ke dalam rongga hidung oleh gaya berat.1-4,6 Polip banyak mengandung cairan interseluler dan sel radang (neutrofil dan eosinofil) dan tidak mempunyai ujung saraf atau pembuluh darah. Polip biasanya ditemukan pada orang dewasa dan jarang pada anak – anak. Pada anak – anak, polip mungkin merupakan gejala dari kistik fibrosis.17
Yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya polip antara lain alergi terutama rinitis alergi, sinusitis kronik, iritasi, dan sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan hipertrofi konka.17 2.3.4 Patofisiologi
Alergi ditengarai sebagai salah satu faktor predisposisi polip hidung karena mayoritas polip hidung mengandung eosinofil, ada hubungan polip hidung dengan asthma dan pemeriksaan hidung menunjukkan tanda dan gejala alergi. Suatu meta-analisis menemukan 19% dari polip hidung mempunyai Ig E spesifik yang merupakan manifestasi alergi mukosa hidung.17,18
Ketidakseimbangan vasomotor dianggap sebagai salah satu faktor predisposisi polip hidung karena sebagian penderita polip hidung tidak menderita alergi dan pada pemeriksaan tidak ditemukan alergen yang dapat mencetuskan alergi.Polip hidung biasanya mengandung sangat sedikit pembuluh darah. Regulasi vaskular yang tidak baik dan meningkatnya permeabilitas vaskular dapat menyebabkan edema dan
pembentukan polip hidung.2,18
Fenomena Bernouilli terjadi karena menurunnya tekanan akibat konstriksi. Tekanan negatif akan mengakibatkan inflamasi mukosa hidung yang kemudian memicu terbentuknya polip hidung.Ruptur epitel mukosa hidung akibat alergi atau infeksi dapat mengakibatkan prolaps lamina propria dari mukosa. Hal ini akan memicu terbentuknya polip hidung.2,18
Infeksi merupakan faktor yang sangat penting dalam pembentukan polip hidung. Hal ini didasari pada percobaan yang menunjukkan rusaknya epitel dengan jaringan granulasi yang berproliferasi akibat infeksi bakteri Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus atau Bacteroides fragilis (merupakan bakteri yang banyak ditemukan pada rhinosinusitis) atau Pseudomonas aeruginosa yang sering ditemukan pada cystic fibrosis.19
2.3.5 Makroskopis
Secara makroskopik polip merupakan massa bertangkai dengan permukaan licin. Berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu- abuan, agak bening, lobular, dapat tunggal atau multipel dan tidak sensitif (bila ditekan/ditusuk tidak terasa sakit). Warna polip yang pucat tersebut disebabkan karena mengandung banyak cairan dan sedikitnya aliran darah ke polip. Bila terjadi iritasi kronis atau proses peradangan warna polip dapat berubah menjadi kemerah-merahan dan polip yang sudah menahun warnanya dapat menjadi kekuning-kuningan karena banyak mengandung jaringan ikat.5
Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari kompleks ostiomeatal di meatus medius dan sinus etmoid. Bila ada fasilitas pemeriksaan dengan endoskop, mungkin tempat asal tangkai polip dapat dilihat. Ada polip yang tumbuh ke arah belakang dan membesar di nasofaring, disebut polip koana. Polip koana kebanyakan berasal dari dalam sinus maksila dan disebut juga polip antro-koana. Ada juga sebagian kecil polip koana yang
berasal dari sinus etmoid.5
2.3.6 Mikroskopis
Secara mikroskopis tampak epitel pada polip serupa dengan mukosa hidung normal yaitu epitel bertingkat semu bersilia dengan submukosa yang sembab. Sel-sel nya terdiri dari limfosit, sel plasma, eosinofil, neutrophil dan makrofag. Mukosa mengandung sel-sel goblet.
Pembuluh darah, saraf dan kelenjar sangat sedikit. Polip yang sudah lama dapat mengalami metaplasia epitel karena sering terkena aliran udara, menjadi epitel transisional, kubik atau gepeng berlapis tanpa keratinisasi.5
2.3.7 Gejala Klinis
Gejala utama yang ditimbulkan oleh polip hidung adalah rasa sumbatan di hidung. Sumbatan ini tidak hilang – timbul dan makin lama semakin berat keluhannya. Pada sumbatan yang hebat dapat menyebabkan gejala hiposmia atau anosmia. Bila polip ini menyumbat sinus paranasal, maka sebagai komplikasinya akan terjadi sinusitis dengan keluhan nyeri kepala dan rinore.4,18
Bila penyebabnya adalah alergi, maka gejala yang utama ialah bersin dan iritasi di hidung. Bila disertai infeksi sekunder mungkin didapatkan post nasal drip dan rinorhea purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul ialah bernapas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup. Dapat menyebabkan gejala pada saluran napas bawah, berupa batuk kronik dan mengi, terutama pada penderita polip nasi dengan asma.4,18
Pada pemeriksaan fisik, polip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada rinoskopi anterior polip hidung seringkali harus dibedakan dari konka hidung yang menyerupai polip (konka polipoid).
Perbedaannya adalah massa berwarna pucat berasal dari meatus medius,
bertangkai, mudah digerakkan, konsistensi lunak, tidak nyeri bila ditekan, tidak mudah berdarah dan pada pemakaian vasokonstriktor (kapas adrenalin) tidak mengecil.4,18
2.3.8 Diagnosis
Keluhan utama penderita polip nasi ialah hidung rasa tersumbat dari yang ringan sampai berat, rinore mulai yang jernih sampai purulen, hiposmia atau anosmia. Mungkin disertai bersin, bersin, rasa nyeri pada hidung disertai sakit kepala di daerah frontal. Bila disertai infeksi sekunder mungkin didapati post nasal drip dan rinore purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul ialah bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup. Dapat menyebabkan gejala pada saluran napas bawah, berupa batuk kronik dan mengi terutama pada penderita polip nasidengan asma. Selain itu harus ditanyakan riwayat rintisalergi, asma, intoleransi terhadap aspirin danalergi obat lainnya serta alergi makanan.5,18
Polip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior terliha tsebagai massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah digerakkan.5
Adanya fasilitas endoskop (teleskop) akan sangat membantu diagnosis kasus polip yang baru. Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan nasoendoskopi. Pada kasus polip koanal juga sering dapat dilihat tangkai polip yang berasai dari ostium asesorius sinus maksila.2,4,5
Gambar 12. Polip di hidung
Foto polos sinus paranasal (posisi Waters, AP, Caldwell dan lateral) dapat memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara cairan di dalam sinus, tetapi kurang bermafaat pada kasus polip.
Pemeriksaan tomografi komputer (TK, CT scan) sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks ostiomeatal. TK terutama diindikasikan pada kasus polip yang gagal diobati dengan terapi medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi. CT scan diindikasikan pada kasus polip yang gagal terapi medikamentosa, ada komplikasi sinusitis dan rencana tindakan bedah terutama bedah sinus endoskopi fungsional.5
Pemeriksaan histopatologi merupakan baku emas penegakan diagnosa polip hidung. Menurut Hellquist (1996), ada empat tipe histopatologi polip hidung, antara lain : Edematous, Eosinophilic Polyp (Allergic Polyp), Chronic Inflammatory Polyp (Fibroinflammatory Polyp), Chronic Inflammatory Polyp (Fibroinflammatory Polyp) dan Polyp with Stromal Atypia.18,19
2.3.9 Stadium polip17,20
Tabel 1. Stadium Polip Menurut Mackay and Lund 1995.
Kondisi Polip Stadium
Tidak ada polip 0
Polip terbatas pada meatus media 1
Polip sudah keluar dari meatus media tetapi belum 2 memenuhi rongga hidung
Polip yang massif (memenuhi rongga hidung) 3
Tabel 4. Stadium Polip Menurut Yamada et al 2000.
Kondisi Polip Stadium
Tidak ada polip 0 Polip di meatus media dan belum mencapai batas bawah 1 konka media
Polip belum mencapai titik tengah antara batas bawah 2 konka media dan batas atas konka inferior
Polip belum melewati batas bawah konka inferior 3 Polip melewati batas bawah konka inferior 4 2.3.10 Penatalaksanaan4,17,18,21
Polip nasi sangat mengganggu pada kebanyakan pasien. Penyakit ini sering berulang dan memerlukan pengobatan yang lama sampai bertahun-tahun. Dengan demikian pengobatannya bertujuan untuk mengurangi besarnya atau menghilangkan polip agar aliran udara hidung menjadi lapang dan penderita dapat bernafas dengan baik. Selanjutnya gejala-gejala rinitis dapat dihilangkan dan fungsi penciuman kembali normal. Terdapat beberapa pilihan pengobatan untuk polip nasi mulai dari pemberian obat-obatan, pembedahan konvensional sederhana dengan menggunakan snare polip sampai pada bedah endoskopi yang memakai alat lebih lengkap. Walaupun demikian, angka kekambuhan masih tetap tinggi sehingga memerlukan sejumlah operasi ulang.
Tujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi adalah menghilangkan keluhan-keluhan, mencegah komplikasi dan mencegah rekurensi polip. Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga polipektomi medikamentosa. Dapat di berikan topikal atau sistemik. Polip eosinofilik memberikan respon yang lebih baik terhadap pengobatan kortikosteroid intranasi dibandingkan polip tipe neutrofilik.
Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip yang sangat masif dipertimbangkan untuk terapi bedah. Dapat dilakukan ekstraksi polip (polipektomi)menggunakan senar polip atau cunam dengananalgesi Iokal etmoidektomi intranasal atauetmoidektomi ekstranasal untuk polip etmoid,operasi Caldwell-Luc untuk sinus maksila.
Yang terbaik ialah bila tersedia fasilitasendoskop maka dapat dilakukan
guideline PERHATI-KL, stadium 1 (menurut Mackay and Lund) dapat diterapi dengan medikamentosa (polipektomi medikamentosa), untuk stadium 2 dapat diterapi medikamentosa atau operasi dan stadium 3 dianjurkan untuk dioperasi.
Prinsip pengelolaan polip adalah dengan operatif dan non operatif.
Pengelolaan polip nasi seharusnya berdasarkan faktor penyebabnya, tetapi sayangnya penyebab polip nasi belum diketahui secara pasti. Karena penyebab yang mendasari terjadinya polip nasi adalah reaksi alergi, pengelolaanya adalah mengatasi reaksi alergi yang terjadi. Polip yang masih kecil dapat diobati dengan konservatif.
1. Terapi Konservatif
Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga polipektomi medikamentosa. Untuk polip stadium 1 dan 2, sebaiknya diberikan kortikosteroid intranasal selama 4-6 minggu. Bila reaksinya baik, pengobatan ini diteruskan sampai polip atau gejalanya hilang. Bila reaksinya terbatas atau tidak ada perbaikan maka diberikan juga kortikosteroid sistemik.
a. Kortikosteroid spray
Dapat mengecilkan ukuran polip, tetapi relatif tidak efektif unutkpolip yang masif. Kortikosteroid topikal, intranasal spray, mengecilkan ukuran polip dan sangat efektif pada pemberian postoperatif untuk mencegah kekambuhan.
b. Kortikosteroid sistemik
Merupakan terapi efektif sebagai terapi jangkapendek pada polip nasal. Pasien yang responsif terhadap pengobatan kortikosteroid sistemik dapat diberikan secara aman sebanyak 3-4 kali setahun,terutama untuk pasien yang tidak dapat dilakukan operasi. Prednison 50 mg/hari atau deksametason selama 10 hari, kemudian dosis diturunkan perlahan – lahan (tappering off).
c.Leukotrin inhibitor.
Menghambat pemecahan asam arakidonat oleh enzyme 5 lipoxygenase yang akan menghasilkan leukotrin yang merupakan mediator inflamasi.
2. Terapi operatif
Kriteria polip yang diangkat adalah polip yang sangat besar, berulang,dan jelas terdapat kelainan di kompleks osteomeatal sehingga tidak dapat diobati dengan terapi konservatif. Antibiotik sebagai terapi kombinasi pada polip hidung bisa kita berikan sebelum dan sesudah operasi. Berikan antibiotik bila ada tanda infeksi dan untuk langkah profilaksis pasca operasi .
Gambar 13. Algoritma Penatalaksanaan Polip Hidung & Sinus Paranasal
2.4.10 Prognosis
Untuk polip yang ukurannya sudah besar dilakukan ektraksi polip (polipektomi) dengan menggunakan senar polip. Selain itu bila terdapat sinusitis, perlu dilakukan drainase sinus. Oleh karena itu sebelum operasi polipektomi perlu dibuat foto sinus paranasal untuk melihat adanya sinusitis yang menyertai polip ini atau tidak. Selain itu, pada pasien polip dengan keluhan sakit kepala, nyeri di daerah sinus dan adanya perdarahan pembuatan foto sinus paranasal tidak boleh dilupakan. Prosedur polipektomi dapat mudah dilakukan dengan senar polip setelah pemberian dekongestan dan anestesi local.
2.3.11 Prognosis
Umumnya setelah penatalaksanaan yang dipilih prognosis polip hidung ini baik (dubia et bonam) dan gejala-gejala nasal dapat teratasi.
Akan tetapi kekambuhan pasca operasi atau pasca pemberian kortikosteroid masih sering terjadi. Untuk itu follow-up pasca operatif merupakan pencegahan dini yang dapat dilakukan untuk mengatasi kemungkinan terjadinya sinekia dan obstruksi ostia pasca operasi, bagaimana patensi jalan nafas setelah tindakan serta keadaan sinus, pencegahan inflamasi persisten, infeksi, dan pertumbuhan polip kembali, serta stimulasi pertumbuhan mukosa normal. Untuk itu sangat penting dilakukan pemeriksaan endoskopi post operatif. Penatalaksanaan lanjutan dengan intra nasal kortikosteroid diduga dapat mengurangi angka kekambuhan polip hidung,22,23
BAB III KESIMPULAN
Sinusitis, istilah bagi suatu proses inflamasi yang melibatkan mukosa hidung dan sinus paranasal, merupakan salah satu masalah kesehatan yang memberikan dampak bagi pengeluaran finansial masyarakat.Rinitis dan sinusitis umumnya terjadi bersamaan, sehingga terminologi saat ini yang diterima adalah rinosinusitis.Rinosinusitis dibagi menjadi kelompok akut, subakut dan kronik.
Polip nasi merupakan salah satu penyakit THT yang memberikan keluhan sumbatan pada hidung yang menetap dan semakin lama semakin berat dirasakan.
Etiologi polip terbanyak merupakan akibat reaksi hipersensitivitas yaitu pada proses alergi, sehingga banyak didapatkan bersamaan dengan adanya rinosinusitis.
Pada anamnesis pasien, didapatkan keluhan obstruksi hidung, anosmia, adanya riwayat rinitis alergi, keluhan sakit kepala daerah frontal atau sekitar mata, adanya sekret hidung. Penegakan diagnosis polip nasi dapat didapatkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior ditemukan massa yang lunak, bertangkai, mudah digerakkan, tidak ada nteri tekan dan tidak mengecil pada pemberian vasokonstriktor lokal.Penatalaksanaan untuk polip nasi ini bisa secara konservatif maupun operatif, yang biasanya dipilih dengan melihat ukuran polip itu sendiri dan keluhan dari pasien sendiri.
Diagnosis sinusitis ditegakkan berdasarkan klinis, baik gejala maupun tanda yang didapat pada anamnesis dan pemeriksaan fisik, atau prosedur diagnostik lain seperti pemeriksaan penunjang. Kriteria diagnosis sinusitis akut berdasarkan EPOS (European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps) tahun 2012, yaitu adanya onset tiba-tiba 2 atau lebih gejala, dimana salah satunya yaitu hidung tersumbat atau sekret nasal (anterior atau postnasal drip) disertai sensasi nyeri atau tertekan pada wajah dan perubahan kemampuan menghidu. Pemeriksaan fisik berupa rinoskopi anterior yang menunjukkan adanya pembengkakan, kemerahan dan pus.
Antibiotik merupakan pengobatan yang paling sering digunakan dalam tatalaksana sinusitis akut. Tatalaksana sinusitis viral lebih difokuskan pada kontrol gejala, karena ini merupakan suatu keadaan yang akan membaik spontan (self limited disease). Antibiotik yang direkomendasikan yaitu amoksisilin sebagai terapi lini pertama. Pemberian analgesik dan antipiretik akan membantu mengurangi gejala nyeri dan demam. Penggunaan dekongestan, baik lokal maupun sistemik dapat membantu meringankan gejala yang dikeluhkan pasien.
Tindakan operatif dibutuhkan bila pasien mengalami gejala yang terus menerus dan bila terbukti adanya kelainan pada mukosa yang persisten.
Gejala akan membaik secara sempurna dengan pengobatan medis hingga mencapai 90% kasus. Komplikasi rinosinusitis bakterial akut diperkirakan terjadi 1 dari 1000 kasus. Komplikasi sinusitis dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu komplikasi orbital, intrakranial dan pada tulang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mackay DN. Antibiotic therapy of the rhinitis & sinusitis. Dalam : Settipane GA, penyunting. Rhinitis. Edisi ke-2. Rhode Island: Ocean Side Publication;1991. p. 253-5.
2. Mangunkusumo Endang, Soetjipto Damajanti. Sinusitis. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Jakarta:
FKUI, 2010: h. 152
3. Pletcher SD, Golderg AN. 2003. The Diagnosis and Treatment of Sinusitis. In advanced Studies in Medicine. Vol 3 no.9. PP. 495-505
4. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinus Paranasal. Dalam: Soepardi EA, Iskandar. Telinga, Hidung, Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi 7. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012.hal.122-124.
5. Hwang PH, Abdalkhani A. Anatomy and Physiology of the Nose and Paranasal Sinuses. In James B, Snow JR, Wackym PA, eds. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery 17th ed. Vol 1. Connecticut: BC Decker Inc, 2009:484-494
6. Soepardi, Efiaty. Iskandar, Nurbaiti. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok edisi IV cetakan I. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta. 2000 7. Ferguson BJ, Johnson JT. Chronic sinusitis. In Cummings CW, Flint PW,et al
eds. Cummings: otolaryngology - head & neck surgery. 4th ed. Philadelphia:
Elsevier Mosby, 2005; 1-4.
8. USA: American Academy of Otolaryngology—Head and Neck Surgery Foundation;2015:p1-39.
9. Behrbohm H, Kaschke O, Nawka T, Swift A. Chapter II. Nose, Nasal Sinuses and Face, Acute and Chronic Rhinosinusitis. In : Ear, Nose and Throat Disease With Head and Neck Surgery. 3rd Ed. Thieme: New York.
2009.p.155-66.
10. Anonim. 2001. Sinusitis, dalam Kapita Selekta Kedokteran, ed. 3. Media Ausculapius FK UI. Jakarta : 102-106.
11. Higler PA. Nose: Applied Anatomy dan Physiology. In: Adams GL, Boies LR, Higler PA, editors. Boies Fundamentals of Otolaryngology. 6th ed.
Philadelphia, PA: WB Saunders Company; 1989. p.173-90